Manajemen Proyek

Mitigasi Risiko dalam Proyek Pembangunan Rumah Khusus Suku Anak Dalam Studi Lapangan dari Jambi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Mei 2025


Pembangunan Inklusif di Wilayah Terpencil: Mengapa Risiko Tak Bisa Diabaikan

Pembangunan rumah khusus bagi komunitas adat seperti Suku Anak Dalam (SAD) bukanlah pekerjaan konstruksi biasa. Proyek ini menyatukan urusan teknis, sosial, budaya, bahkan spiritualitas masyarakat adat. Paper karya Novi Hazriyanti, Benny Hidayat, dan Taufika Ophiyandri dalam Rang Teknik Journal edisi Juni 2020 menyoroti tantangan unik dalam proyek semacam ini di Provinsi Jambi, khususnya di Kabupaten Merangin dan Sarolangun pada periode 2017–2018.

Keterlambatan, biaya membengkak, konflik sosial, hingga perubahan desain mendadak hanyalah sebagian dari tantangan nyata yang ditemui. Risiko-risiko ini bukan hanya bisa memperlambat pembangunan, tapi juga menghambat tujuan mulia dari proyek: memastikan masyarakat SAD hidup layak dalam rumah yang nyaman dan sesuai budaya mereka.

Latar Belakang Proyek: Kombinasi Kepentingan Sosial dan Tantangan Geografis

Pemerintah pusat melalui Satker SNVT Penyediaan Perumahan Provinsi Jambi melaksanakan proyek pembangunan rumah bagi SAD di dua kabupaten utama. Pada tahun 2017, dibangun 50 unit rumah semi permanen di Merangin dan Sarolangun. Lalu, pada 2018, proyek diperluas dengan pembangunan 23 unit rumah permanen di Merangin serta 57 unit rumah panggung di Sarolangun.

Proyek ini melibatkan komunitas yang sangat terikat dengan tanah leluhur, budaya turun-temurun, dan gaya hidup nomaden. Kondisi tersebut menciptakan tantangan besar baik dari sisi perencanaan desain, pemilihan lokasi, penyediaan material, hingga interaksi dengan masyarakat.

Metodologi Penelitian: Kombinasi Kualitatif dan Matriks Risiko

Penelitian dilakukan dengan pendekatan kualitatif menggunakan wawancara dan kuesioner. Sebanyak 40 responden terlibat, terdiri dari pemilik proyek (mayoritas), kontraktor, dan konsultan supervisi. Data dianalisis menggunakan pendekatan matriks risiko AS/NZS 4360, yang menilai tingkat risiko berdasarkan kemungkinan terjadinya (likelihood) dan dampaknya (severity).

Setiap risiko kemudian dikategorikan ke dalam tingkat risiko rendah, sedang, tinggi, hingga ekstrem. Validitas data juga diuji, dengan dua variabel risiko akhirnya dikeluarkan karena tidak lolos uji statistik.

Identifikasi Risiko: 84 Variabel Risiko, 3 Tahapan Proyek

Penelitian ini berhasil mengidentifikasi 84 variabel risiko yang diklasifikasikan ke dalam tiga fase utama:

Tahap Perencanaan

Sebanyak 13 risiko ditemukan, termasuk keterlambatan perizinan, korupsi dan kolusi, kesalahan dalam estimasi biaya, perubahan jadwal pelaksanaan yang tidak terprediksi, hingga kegagalan dalam memahami kondisi sosial masyarakat SAD.

Tahap Pelaksanaan

Fase ini paling kompleks, dengan 61 risiko yang mencakup perubahan kebijakan, kondisi cuaca ekstrem, lemahnya koordinasi antar pemangku kepentingan, kekurangan tenaga kerja, pencurian material oleh warga lokal, ketidaksesuaian spesifikasi peralatan, dan bahkan sabotase di lapangan.

Tahap Pasca Konstruksi

Sebanyak 10 risiko muncul setelah pembangunan, seperti rumah tidak dihuni, kualitas bangunan tidak sesuai harapan, penerima bantuan ganda, serta kegagalan fungsi bangunan akibat kurangnya perawatan rutin.

Risiko Dominan: Faktor Sosial dan Teknis yang Paling Berpengaruh

Dari seluruh temuan, terdapat sepuluh risiko utama yang dinilai paling mempengaruhi keberhasilan proyek. Risiko pertama yang paling sering terjadi adalah change order, yaitu perubahan desain atau lingkup kerja setelah kontrak ditandatangani. Penyebabnya antara lain kesalahan desain awal, kondisi lapangan yang berbeda dari dokumen, serta spesifikasi material yang tidak tersedia di daerah terpencil.

Risiko kedua adalah kepercayaan masyarakat SAD terhadap tanah leluhur, yang membuat pembebasan lahan menjadi rumit. SAD tidak terbiasa dengan sistem kepemilikan formal, sehingga proses perizinan seperti IMB (Izin Mendirikan Bangunan) juga mengalami hambatan.

Risiko ketiga adalah perubahan jadwal pelaksanaan proyek. Penyesuaian desain, cuaca ekstrem, dan kesulitan mobilisasi alat berat menyebabkan banyak kegiatan mundur dari rencana awal.

Selain itu, beberapa faktor teknis seperti akses lokasi yang sulit, cuaca hujan yang memperparah kondisi jalan, serta gangguan dari warga sekitar (misalnya pencurian material karena ketidaktahuan nilai benda tersebut) juga masuk dalam daftar risiko tertinggi.

Wawancara dengan lima responden kunci mengungkap detail yang lebih dalam. Misalnya, desain rumah yang awalnya menggunakan atap andulin terpaksa diganti dengan atap multiroof berlapis pasir. Alasan pergantian bukan teknis, melainkan kultural—SAD merasa takut dengan suara bising saat hujan yang dihasilkan oleh atap andulin.

Di sisi lain, desain tangga rumah panggung juga harus disesuaikan. Aslinya hanya memiliki satu pintu, tetapi atas permintaan masyarakat lokal, ditambahkan pintu belakang agar mereka bisa "keluar-masuk tanpa gangguan roh leluhur," sebagaimana kepercayaan adat mereka.

Kesulitan lain muncul dari segi perizinan. Salah satu responden menyebutkan bahwa proses IMB terganggu karena terjadi reshuffle pejabat di tingkat kabupaten. Dokumen yang sedang diproses harus diulang dari awal karena pejabat penandatangan berubah.

Tak kalah menantang, beberapa lokasi pembangunan berada di hutan lindung Taman Nasional Bukit Dua Belas, yang menyebabkan proses land clearing tertunda lama. Bahkan, alat berat harus diangkut secara manual melewati jalur tanah yang licin dan sempit.

Strategi Mitigasi Risiko: Integrasi Teknikal dan Sosial Budaya

Untuk menjawab kompleksitas risiko tersebut, penulis menyusun serangkaian strategi mitigasi yang terstruktur. Strategi ini dibagi ke dalam empat fase utama:

Perencanaan dan Desain

Proses ini harus diawali dengan survei lokasi mendalam. Setiap desain perlu mengakomodasi kepercayaan lokal dan kebiasaan masyarakat SAD. Penggunaan material juga harus mempertimbangkan ketersediaan lokal agar tidak menyebabkan delay akibat suplai yang sulit diakses.

Desain rumah bukan hanya soal struktur, tetapi simbol budaya. Oleh karena itu, arsitektur yang ramah budaya menjadi kebutuhan primer.

Pemberdayaan Masyarakat

Sosialisasi kepada SAD sejak awal sangat penting. Mereka perlu memahami manfaat rumah tersebut, termasuk aspek kesehatan, keamanan, dan kenyamanan. Pemberdayaan dilakukan secara partisipatif agar mereka terlibat langsung dalam proses pengambilan keputusan.

Melibatkan masyarakat lokal dalam pembangunan, meski dalam peran sederhana seperti angkut material, menciptakan rasa memiliki dan mengurangi potensi gangguan sosial.

Pelaksanaan dan Konstruksi

Fase ini menuntut ketelitian ekstra. Tim pengawas harus berada di lokasi lebih lama, bahkan tinggal di sana jika perlu. Koordinasi dengan pemangku kepentingan lokal, termasuk tokoh adat dan pemerintah desa, menjadi kunci kelancaran.

Selain itu, pemesanan alat berat dan material harus dilakukan lebih awal, dengan antisipasi keterlambatan karena cuaca atau akses buruk. Komunikasi lintas tim, mulai dari kontraktor, pemilik proyek, hingga pengawas lapangan, harus berjalan intensif dan rutin.

Pemeliharaan dan Evaluasi

Tahap ini sering diabaikan, padahal sangat penting. Banyak rumah yang tidak dihuni atau rusak dini karena tidak ada anggaran untuk perawatan. Oleh karena itu, perlu dialokasikan dana khusus untuk maintenance, dan warga SAD dilatih untuk melakukan perawatan ringan.

Refleksi Kritis: Mengapa Penelitian Ini Relevan?

Penelitian ini sangat kontekstual namun sekaligus universal. Di satu sisi, ia spesifik mengulas tantangan pembangunan rumah adat di komunitas SAD. Di sisi lain, temuan ini dapat diterapkan pada proyek serupa di daerah-daerah dengan karakteristik budaya kuat, seperti Papua, Kalimantan pedalaman, atau NTT.

Salah satu kekuatan utama studi ini adalah menyatukan perspektif teknis dan sosial. Pendekatan mitigasi tidak hanya fokus pada alat berat atau dokumen kontrak, tapi juga pada aspek psikososial, komunikasi, dan budaya masyarakat.

Namun demikian, tantangan implementasi tetap besar. Koordinasi lintas lembaga, keterbatasan anggaran, serta birokrasi daerah sering kali menjadi batu sandungan dalam menerapkan mitigasi risiko secara konsisten.

Penutup: Pembangunan Berbasis Kearifan Lokal sebagai Kunci Keberhasilan

Pembangunan rumah khusus bagi masyarakat SAD bukan hanya soal “membangun atap di atas kepala.” Ia adalah proses rekonsiliasi antara modernitas dan adat, antara kebutuhan teknis dan keluhuran budaya. Penelitian ini menunjukkan bahwa keberhasilan proyek sangat ditentukan oleh kemampuan para pelaksana untuk beradaptasi dengan nilai lokal, memperkuat komunikasi, serta mengedepankan pendekatan partisipatif.

Di era pembangunan berkelanjutan, proyek-proyek semacam ini akan semakin banyak. Oleh karena itu, hasil studi ini patut dijadikan rujukan utama dalam penyusunan kebijakan pembangunan berbasis masyarakat adat di Indonesia.

Sumber Asli Artikel:

Hazriyanti, N., Hidayat, B., & Ophiyandri, T. (2020). Manajemen Risiko Proyek Pembangunan Rumah Khusus Suku Anak Dalam (SAD) Provinsi Jambi. Rang Teknik Journal, Vol. 3 No. 2, Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat. ISSN 2599-2081.

 

Selengkapnya
Mitigasi Risiko dalam Proyek Pembangunan Rumah Khusus Suku Anak Dalam Studi Lapangan dari Jambi

Manajemen Proyek

Membedah Keterlambatan dan Tantangan Kebijakan Proyek Strategis Jalan Tol Serang–Panimbang: Studi Kasus Banten

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Mei 2025


Jalan Tol sebagai Urat Nadi Pertumbuhan Ekonomi Baru

Di tengah ambisi Indonesia untuk menjadi negara maju, pembangunan infrastruktur menjadi kunci utama dalam membuka akses ekonomi baru, mempercepat mobilitas, dan mengurangi ketimpangan wilayah. Salah satu proyek andalan pemerintah dalam kerangka Proyek Strategis Nasional (PSN) adalah Jalan Tol Serang–Panimbang di Provinsi Banten. Jalan tol ini bukan hanya menjanjikan kemudahan transportasi, tetapi juga menjadi penghubung vital menuju Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Tanjung Lesung, destinasi unggulan pariwisata nasional.

Namun, sebagaimana ditunjukkan dalam artikel ilmiah berjudul "Implementasi Kebijakan Proyek Strategis Nasional Jalan Tol Serang – Panimbang" karya Rina Nur Utami dkk., impian besar ini masih dibayangi oleh berbagai persoalan di lapangan. Kajian ini menyoroti realitas pahit dari kebijakan yang diharapkan mampu menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi—dari target yang meleset, keterlambatan pembangunan, hingga kerentanan sosial di tingkat komunitas.

Metodologi: Pendekatan Kualitatif Berbasis Model Van Metter dan Van Horn

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan kerangka evaluasi berdasarkan model implementasi kebijakan Donald Van Metter dan Carl Van Horn. Enam variabel utama dijadikan tolok ukur dalam menilai keberhasilan implementasi:

  1. Standar dan tujuan kebijakan
  2. Sumber daya
  3. Karakteristik organisasi pelaksana
  4. Sikap pelaksana
  5. Komunikasi antarorganisasi
  6. Lingkungan sosial, ekonomi, dan politik

Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, studi dokumentasi, serta observasi lapangan di Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak, yang berada dalam radius 5 km dari Gerbang Tol Rangkasbitung—ujung dari seksi 1 Jalan Tol Serang–Panimbang.

Gambaran Umum Proyek: Ambisi Besar, Kenyataan Tak Mudah

Jalan Tol Serang–Panimbang memiliki panjang total 83,67 km dan dibagi menjadi tiga seksi: Seksi 1 (Serang–Rangkasbitung, 26,5 km), Seksi 2 (Rangkasbitung–Cileles, 24,17 km), dan Seksi 3 (Cileles–Panimbang, 33 km). Proyek ini dikelola oleh PT Wijaya Karya Serang Panimbang, sebuah konsorsium dari tiga BUMN: PT Wijaya Karya (WIKA), PT Pembangunan Perumahan (PP), dan PT Jababeka Infrastruktur.

Meski telah ditetapkan sebagai PSN dengan berbagai kemudahan kebijakan, kenyataannya pembangunan tol ini masih menghadapi keterlambatan signifikan. Dari target integrasi penuh pada tahun 2023, kini mundur ke 2025. Hingga saat ini, hanya Seksi 1 yang telah beroperasi, sedangkan dua seksi lainnya masih dalam tahap konstruksi dan pengadaan pembiayaan.

Studi Kasus: Ketimpangan Target Lalu Lintas dan Dampaknya terhadap Konsesi

Salah satu indikator keterlambatan dan kegagalan pencapaian target adalah realisasi lalu lintas harian rata-rata (LHR) yang jauh di bawah proyeksi awal. Berdasarkan Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT), target LHR untuk tahun 2022 adalah 9.340 kendaraan, namun realisasi hanya 5.590 kendaraan (59,85%). Di tahun 2023, target 10.274 kendaraan hanya tercapai 5.770 kendaraan (56,16%).

Rendahnya trafik ini berdampak pada perpanjangan masa konsesi PT WIKA Serang Panimbang, dari 40 tahun menjadi 50 tahun. Ini menandakan bahwa asumsi awal proyek, khususnya dalam proyeksi pengguna dan pendapatan, belum mencerminkan realitas di lapangan.

Masalah Klasik: Legalitas Lahan dan Pendanaan

Salah satu kendala terbesar yang dihadapi proyek ini adalah pembebasan lahan. Meskipun masyarakat menerima harga ganti rugi yang ditawarkan, banyak dari mereka tidak memiliki dokumen legal atas tanahnya. Hal ini memperlambat proses pembebasan karena perlu intervensi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan koordinasi dengan pemerintah daerah untuk penerbitan sertifikat baru.

Di sisi lain, pendanaan proyek juga menghadapi hambatan. Pemerintah telah memberikan Viability Gap Fund (VGF) untuk mendukung pembangunan seksi 1 dan 2. Namun, pendanaan untuk seksi 3 mengandalkan pinjaman luar negeri dari Tiongkok yang ternyata hanya mampu membiayai sebagian proyek. Akibatnya, penyelesaian seksi 3 yang vital bagi akses ke KEK Tanjung Lesung tertunda.

Infrastruktur Minim, Dampak Sosial Terbatas

Jalan tol yang telah beroperasi baru memiliki satu Tempat Istirahat dan Pelayanan (TIP) di arah Rangkasbitung, dengan fasilitas yang minim: hanya ada warung kecil, toilet, musala, dan tambal ban. SPBU belum tersedia, kios masih kosong, dan jumlah pengunjung sangat rendah. Hal ini memperkuat kesan bahwa proyek ini belum memberikan dampak ekonomi yang nyata bagi masyarakat sekitar.

Masyarakat yang sebelumnya berharap pada peningkatan pendapatan, terutama pedagang makanan dan minuman, justru menyatakan bahwa peningkatan pelanggan hanya terjadi saat akhir pekan atau libur panjang. Artinya, manfaat ekonomi jalan tol belum menyentuh kehidupan sehari-hari mereka secara signifikan.

Realitas Sosial: Antara Dukungan dan Kekhawatiran

Observasi lapangan menunjukkan bahwa secara umum masyarakat mendukung keberadaan jalan tol. Mereka mengapresiasi kemudahan akses ke Jakarta, Merak, dan daerah lain karena terhubung dengan jaringan Tol Trans Jawa. Bahkan muncul minat dari investor untuk membuka usaha di Rangkasbitung, yang menunjukkan sinyal positif dari sektor properti dan UMKM.

Namun, ada kekhawatiran lain. Harga lahan di sekitar Kecamatan Cibadak melonjak dari di bawah Rp2 juta menjadi Rp3 juta per meter persegi, menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya urbanisasi liar dan spekulasi tanah. Di sisi lain, tarif tol yang tergolong mahal membuat masyarakat lebih memilih menggunakan KRL commuter line dari Rangkasbitung ke Jakarta. Biaya perjalanan tol mencapai Rp40 ribu per sekali jalan lebih tinggi dari tarif kereta api yang hanya sekitar Rp8.000–Rp10.000.

Kritik terhadap Implementasi: Apa yang Bisa Diperbaiki?

Meski struktur organisasi dan pelaksana proyek telah ditetapkan secara rapi, kenyataannya belum semua berjalan lancar. Pemerintah daerah Provinsi Banten sebenarnya telah aktif melakukan monitoring dan evaluasi, terutama terkait pembebasan lahan dan progress konstruksi. Namun, kendala di level teknis dan administratif tetap menjadi tantangan berat.

Beberapa kelemahan utama yang teridentifikasi antara lain:

  • Ketergantungan pada pembiayaan eksternal tanpa rencana kontingensi lokal
  • Kelemahan dalam memproyeksikan LHR secara realistis
  • Minimnya pelatihan bagi pelaksana kebijakan mengenai dokumen teknis dan mitigasi risiko
  • Fasilitas pendukung seperti TIP dan penerangan jalan yang belum memenuhi standar

Pelajaran untuk Proyek Strategis Nasional Lainnya

Dari studi kasus Serang–Panimbang ini, setidaknya ada tiga pelajaran penting yang bisa diambil untuk perencanaan dan pelaksanaan proyek strategis nasional lainnya:

  1. Validasi Data Awal Sangat Penting
    Perkiraan lalu lintas dan proyeksi dampak ekonomi harus berdasarkan studi lapangan yang lebih mendalam. Jangan hanya bergantung pada asumsi makro tanpa mempertimbangkan dinamika lokal.
  2. Integrasi Antar-Seksi Harus Direncanakan Sejak Awal
    Ketika hanya satu seksi beroperasi tanpa keterhubungan penuh, manfaat ekonomi sulit terwujud. Strategi pendanaan dan penyelesaian lahan harus disiapkan secara paralel untuk seluruh seksi.
  3. Kebijakan Tarif Harus Menimbang Kemampuan Ekonomi Lokal
    Jalan tol tidak hanya diperuntukkan bagi kendaraan barang, tapi juga masyarakat lokal. Tarif yang terlalu tinggi akan membuat pengguna beralih ke moda transportasi lain dan mengurangi manfaat jangka panjang proyek.

Kesimpulan: Infrastruktur Tidak Cukup, Perlu Kebijakan yang Adaptif

Kehadiran Jalan Tol Serang–Panimbang memang menjanjikan peningkatan konektivitas dan integrasi kawasan ekonomi baru. Namun, seperti yang disorot dalam penelitian ini, kebijakan saja tidak cukup. Harus ada penyesuaian strategi di tengah pelaksanaan agar proyek tidak hanya selesai secara fisik, tetapi juga berdampak nyata secara sosial dan ekonomi.

Implementasi kebijakan PSN harus lebih adaptif terhadap kondisi lapangan, tidak sekadar mengikuti kerangka kerja birokratis. Dengan perencanaan yang lebih responsif, komunikasi yang aktif antar pemangku kepentingan, dan strategi pembiayaan yang fleksibel, proyek jalan tol semacam ini bisa menjadi katalisator pembangunan wilayah, bukan sekadar monumen infrastruktur.

Sumber Asli Artikel

Utami, R. N., Wicaksana, H. H., Bratakusumah, D. S., & Hidayat, Y. R. (2024). Implementasi Kebijakan Proyek Strategis Nasional Jalan Tol Serang - Panimbang. Transparansi: Jurnal Ilmiah Ilmu Administrasi, Vol. 7, No. 1, Juni 2024, hlm. 64–73. ISSN 2622–0253.

 

Selengkapnya
Membedah Keterlambatan dan Tantangan Kebijakan Proyek Strategis Jalan Tol Serang–Panimbang: Studi Kasus Banten

Manajemen Proyek

Strategi Efektif Mengelola Risiko Proyek Konstruksi Perumahan: Studi Kasus PT ABC dengan Metode House of Risk

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Mei 2025


Mengapa Manajemen Risiko Jadi Penentu Kesuksesan Proyek Konstruksi?

Dalam industri konstruksi, setiap proyek memiliki risiko yang tidak bisa dihindari. Mulai dari keterlambatan pengiriman material, perubahan desain di tengah pengerjaan, hingga ketidaksesuaian antara perencanaan dan pelaksanaan di lapangan. Risiko-risiko ini, jika tidak dikelola dengan baik, berpotensi menyebabkan pembengkakan biaya, keterlambatan waktu, bahkan kerugian finansial yang signifikan.

Artikel berjudul “Analisis Risiko Pada Proyek Konstruksi Perumahan Dengan Metode House of Risk (HOR)” oleh Siti Aisyah Maharani dkk., memberikan kontribusi penting dalam memahami bagaimana risiko proyek perumahan dapat diidentifikasi, dianalisis, dan dimitigasi secara sistematis menggunakan pendekatan House of Risk (HOR). Penelitian ini mengambil studi kasus pada proyek PT ABC, perusahaan pengembang sekaligus kontraktor di wilayah Jakarta dan Depok.

Proyek Perumahan PT ABC: Masalah Klasik dalam Skala Modern

PT ABC kerap menghadapi sejumlah masalah dalam proyek konstruksinya, termasuk:

  • Biaya proyek yang melebihi RAB (Rencana Anggaran Biaya)
  • Keterlambatan pengiriman material
  • Perubahan desain selama pembangunan
  • Cuaca buruk yang mengganggu kegiatan konstruksi
  • Kesalahan estimasi biaya awal
  • Peralatan yang rusak atau tidak memadai

Masalah-masalah ini mengindikasikan lemahnya manajemen risiko di proyek-proyek sebelumnya. Oleh karena itu, dilakukan analisis mendalam menggunakan pendekatan HOR untuk mengidentifikasi sumber risiko utama dan menyusun strategi mitigasi yang konkret.

Metodologi: Menerapkan House of Risk (HOR) dalam Dua Tahap

Penelitian ini menggunakan metode House of Risk yang terbagi menjadi dua fase:

HOR Fase 1

Menentukan prioritas sumber risiko (risk agent) berdasarkan nilai ARP (Aggregate Risk Potential), yaitu gabungan antara frekuensi terjadinya risiko dan dampaknya terhadap proyek.

HOR Fase 2

Menentukan aksi mitigasi berdasarkan efektivitas dan kemudahan pelaksanaan, dihitung menggunakan skor ETD (Effectiveness to Difficulty Ratio).

Sampel dalam penelitian ini adalah enam responden dari total 52 orang dalam struktur proyek, dipilih menggunakan teknik purposive sampling. Data diolah menggunakan Excel dan SPSS untuk validasi dan analisis lebih lanjut.

Identifikasi Risiko: Dari Sumber Hingga Kejadian

Penelitian mengidentifikasi 25 kejadian risiko (risk event) dan 25 sumber risiko (risk agent), yang mencakup berbagai aspek:

  • SDM: Pemogokan kerja, kecelakaan, tenaga kerja tidak kompeten
  • Material: Keterlambatan pengiriman, kerusakan saat pemasangan, volume tidak sesuai
  • Peralatan: Keterlambatan, kerusakan, perawatan kurang
  • Desain: Perubahan desain mendadak, kesalahan perhitungan
  • Manajemen: Kurangnya koordinasi dan pengawasan
  • Finansial: Kesalahan estimasi, cash flow tidak lancar
  • Force Majeure: Cuaca ekstrem, bencana alam

Hasil observasi menunjukkan bahwa risiko seringkali tumpang tindih dan saling mempengaruhi, sehingga analisis multi-dimensi diperlukan untuk menangani akar permasalahannya secara komprehensif.

Analisis Risiko HOR Fase 1: Menemukan Sumber Risiko Tertinggi

Berdasarkan analisis HOR Fase 1, diperoleh tujuh sumber risiko dengan nilai ARP tertinggi, yaitu:

  1. Penambahan desain di tengah konstruksi – ARP: 656
  2. Perubahan desain mendadak – ARP: 576
  3. Keterlambatan pengiriman material – ARP: 528
  4. Keterlambatan pengiriman alat dari supplier – ARP: 450
  5. Kesalahan estimasi biaya – ARP: 372
  6. Kurangnya koordinasi antar pihak – ARP: 345
  7. Kurangnya pengawasan di lapangan – ARP: 344

Hasil ini diperkuat dengan prinsip Pareto (80/20), di mana sekitar 80% kejadian risiko berasal dari 20% sumber risiko utama. Temuan ini menjadi dasar dalam perumusan strategi mitigasi yang terfokus dan efisien.

Studi Kasus: Dampak Perubahan Desain di Tengah Konstruksi

Perubahan desain menjadi salah satu risiko paling krusial dalam proyek PT ABC. Dalam salah satu proyek perumahan, klien mengajukan permintaan perubahan layout dapur dan posisi kamar mandi setelah pekerjaan struktur selesai 70%. Perubahan ini berdampak pada:

  • Keterlambatan 3 minggu karena harus menunggu revisi gambar kerja
  • Tambahan biaya Rp 150 juta untuk bongkar pasang dan pekerjaan ulang
  • Disrupti jadwal supplier material yang sudah terlanjur dijadwalkan sesuai gambar awal

Risiko ini sebenarnya bisa diminimalisasi jika terdapat prosedur baku untuk menangani permintaan perubahan desain dari klien sejak awal.

HOR Fase 2: Strategi Aksi Mitigasi yang Direkomendasikan

Dari tujuh risk agent prioritas di atas, peneliti merancang delapan strategi mitigasi dengan memperhitungkan efektivitas dan kemudahan implementasi. Strategi tersebut meliputi:

  1. Meningkatkan efektivitas komunikasi antar pihak proyek
    → Mendapat skor ETD tertinggi: 7359,75
    → Strategi ini dianggap paling penting untuk mengurangi miskomunikasi dan kesalahan di lapangan.
  2. Pengawasan terhadap penjadwalan proyek
    → Menyasar risiko keterlambatan alat/material.
  3. Sistem pengawasan dan sanksi bagi pelaksana proyek
    → Untuk mendorong disiplin kerja dan mengurangi risiko human error.
  4. Prosedur pengawasan dan sanksi yang tertulis dan terstruktur
    → Menyediakan guideline bagi pengawas dan pekerja.
  5. Checklist pelaksanaan proyek yang komprehensif
    → Menjamin kualitas dan urutan pengerjaan tidak terlewat.
  6. SOP pembuatan dan perubahan desain
    → Untuk menghindari perubahan desain mendadak tanpa justifikasi teknis.
  7. Jadwal pemesanan material dan peralatan yang lebih adaptif
    → Meminimalisasi keterlambatan dari supplier.
  8. Estimasi biaya yang adaptif dan realistis
    → Untuk menghindari kesalahan perencanaan anggaran.

Setiap strategi ini dirancang tidak hanya untuk mengatasi risiko saat ini, tetapi juga memperkuat sistem manajemen risiko perusahaan secara jangka panjang.

Nilai Tambah Penelitian: Praktis dan Relevan untuk Industri

Penelitian ini memberikan kontribusi besar, terutama bagi perusahaan pengembang dan kontraktor yang ingin menerapkan manajemen risiko yang sistematis. Nilai plus dari penelitian ini antara lain:

  • Menggunakan data nyata dari proyek yang sedang berjalan
  • Memadukan pendekatan teoritis dengan observasi lapangan
  • Memberikan output yang actionable dan implementatif

Metode House of Risk, yang sebelumnya lebih banyak digunakan di industri manufaktur dan logistik, terbukti sangat relevan jika diterapkan pada proyek konstruksi.

Komparasi dengan Penelitian Sebelumnya

Pendekatan HOR dalam proyek konstruksi juga telah digunakan dalam:

  • Proyek pembangunan jalan tol Gempol–Pasuruan (Kurniasri Dewi, 2020)
  • Proyek utilitas PDAM di Jakarta (Safrudin & Hasibuan, 2020)
  • Proyek pembangkit listrik mini hidro di Blitar (Saraswati & Negoro, 2014)

Namun, keunikan dari penelitian ini adalah fokusnya pada proyek perumahan dengan skala yang lebih kecil namun frekuensi tinggi. Risiko di proyek perumahan cenderung lebih banyak muncul dari sisi koordinasi dan perubahan desain dibandingkan proyek besar seperti infrastruktur jalan atau energi.

Rekomendasi untuk Industri Konstruksi

Dari temuan dalam artikel ini, ada beberapa poin yang bisa menjadi pedoman industri konstruksi:

  1. Bangun budaya komunikasi proaktif
    Komunikasi lintas tim harus dijadwalkan rutin dan terdokumentasi dengan baik.
  2. Siapkan standar operasional perubahan desain sejak awal proyek
    Semua pihak harus memahami batasan perubahan dan prosedurnya.
  3. Gunakan pendekatan data-driven dalam merencanakan proyek
    Hindari estimasi yang hanya berdasarkan pengalaman subjektif.
  4. Manfaatkan digitalisasi dan software project management
    Banyak risiko seperti keterlambatan dan miskomunikasi bisa dikurangi dengan teknologi yang tepat.

Kesimpulan: Mitigasi Risiko = Menjamin Keberhasilan Proyek

Risiko adalah bagian tak terpisahkan dari proyek konstruksi. Yang membedakan proyek sukses dan gagal adalah kemampuan manajemen dalam mengidentifikasi, menganalisis, dan menanggapi risiko secara cepat dan tepat. Penelitian oleh Siti Aisyah Maharani dkk. ini menunjukkan bahwa pendekatan sistematik seperti House of Risk bukan hanya membantu memetakan risiko, tetapi juga merancang aksi nyata yang relevan, efektif, dan bisa langsung diterapkan di lapangan.

Dengan mengintegrasikan HOR ke dalam sistem kerja proyek, perusahaan seperti PT ABC dapat memperkecil kemungkinan kerugian, mempercepat waktu penyelesaian, dan meningkatkan kepercayaan klien. Bagi industri konstruksi di Indonesia, pendekatan seperti ini patut dipertimbangkan sebagai standar operasional baru.

Sumber Asli Artikel

Siti Aisyah Maharani, Santika Sari, Muhamad As’adi, Annisa Putriana Saputro. (2022). Analisis Risiko Pada Proyek Konstruksi Perumahan Dengan Metode House of Risk (HOR) (Studi Kasus: Proyek Konstruksi Perumahan PT ABC). Journal of Integrated System, Vol. 5 No. 1, Juni 2022: hlm. 16–26. ISSN: 2714-6349.

 

Selengkapnya
Strategi Efektif Mengelola Risiko Proyek Konstruksi Perumahan: Studi Kasus PT ABC dengan Metode House of Risk

Manajemen Proyek

Meningkatkan Produktivitas Proyek Konstruksi: Peran Vital Manajemen Material dalam Proyek Gedung Bertingkat

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 20 Mei 2025


Pendahuluan: Tantangan Efisiensi dalam Dunia Konstruksi

Dalam industri konstruksi, efisiensi adalah kunci. Salah satu aspek paling kritis dalam menjaga efisiensi tersebut adalah pengelolaan material. Penelitian yang dilakukan oleh Putri Azzahra dan Rida Respati pada proyek-proyek konstruksi bertingkat di Kota Palangka Raya membongkar peran manajemen material sebagai penentu utama dalam produktivitas tenaga kerja.

Material menyumbang sekitar 50-60% dari total biaya proyek konstruksi. Dengan angka sebesar ini, kesalahan dalam perencanaan, pengadaan, hingga penyimpanan dapat menyebabkan efek domino berupa keterlambatan, pemborosan, hingga penurunan mutu. Oleh karena itu, pertanyaan penting yang diajukan oleh studi ini adalah: "Apa saja faktor dalam manajemen material yang secara signifikan memengaruhi produktivitas kerja?"

Metodologi: Kombinasi Kuantitatif dan Kualitatif

Studi ini menggabungkan pendekatan kuantitatif (melalui penyebaran kuesioner kepada 25 responden berpengalaman di proyek konstruksi) dan pendekatan kualitatif (melalui wawancara dan brainstorming). Responden berasal dari berbagai posisi strategis seperti project manager, site engineer, dan quality control.

Analisis dilakukan menggunakan regresi linear berganda dengan bantuan software SPSS 23.0 untuk menguji pengaruh tujuh variabel bebas terhadap satu variabel terikat, yaitu produktivitas kerja proyek.

Temuan Kunci: Apa yang Meningkatkan dan Menurunkan Produktivitas?

Hasil analisis statistik menghasilkan model regresi berikut:

Y = (3,684) + 0,019X1 + 0,047X2 – 0,041X3 + 0,006X4 – 0,010X5 – 0,001X6 + 0,026X7

Dengan penjabaran:

  • Perencanaan & Penjadwalan Pengadaan Material

  • Organisasi & Personil Proyek

  • Pembelian Material Sesuai Perencanaan

  • Pengiriman Material Sesuai Spesifikasi & Jadwal

  • Penyimpanan & Gudang

  • Penggunaan Material Sesuai Karakteristik

  • Pengendalian & Pengawasan
     

Variabel Positif dan Signifikan:

  • Organisasi dan Personil Proyek mencatat pengaruh paling besar (koefisien 0,047). Ini menunjukkan bahwa keberhasilan tim proyek secara langsung meningkatkan produktivitas.

  • Perencanaan Pengadaan Material dan Pengendalian Proyek juga signifikan secara statistik dan meningkatkan produktivitas.

Variabel Negatif:

  • Anehnya, pembelian material sesuai perencanaan justru berdampak negatif. Hal ini bisa diinterpretasikan sebagai efek dari perencanaan yang terlalu kaku tanpa fleksibilitas di lapangan.

  • Penyimpanan material dan penggunaan sesuai karakteristik juga menunjukkan pengaruh negatif, yang bisa disebabkan oleh sistem gudang yang tidak efisien atau ketidaksesuaian antara karakteristik material dan kondisi proyek.

Studi Kasus: Proyek di Palangka Raya

Lokasi penelitian difokuskan pada proyek Gedung Kejaksaan Tinggi Kalimantan Tengah serta beberapa SD negeri di Palangka Raya. Proyek-proyek ini menjadi cerminan realistis bagaimana variasi manajemen material berdampak langsung terhadap progres harian dan output tenaga kerja.

Dampak Praktis:

  • Ketepatan waktu pengadaan terbukti sangat membantu kelancaran proyek.

  • Koordinasi tim proyek yang solid menghasilkan sinergi yang mempercepat penyelesaian pekerjaan.

  • Kendala gudang dan logistik menjadi sumber utama ketidakefisienan yang harus diatasi.

Kritik dan Komparasi: Perspektif Lebih Luas

Kritik:

Beberapa variabel penting seperti "pengiriman material" dan "penggunaan sesuai karakteristik" ternyata tidak signifikan. Ini bisa jadi karena dalam praktiknya, pengiriman sudah menjadi standar operasional rutin, sementara pemilihan material sangat ditentukan oleh kebijakan teknis, bukan preferensi lapangan.

Komparasi Penelitian:

Penelitian serupa oleh Suhardiyani et al. (2011) di Denpasar juga menunjukkan pentingnya integrasi antara sistem informasi logistik dan pengendalian stok dalam manajemen proyek. Sementara studi oleh Jusoh & Kasim (2016) menekankan perlunya pelatihan tim logistik agar pemahaman mereka menyeluruh, tidak hanya administratif.

Implikasi untuk Industri Konstruksi Nasional

  1. Pentingnya pelatihan SDM proyek khususnya dalam logistik material.

  2. Perlu sistem informasi manajemen material terintegrasi sejak tahap desain hingga pelaksanaan.

  3. Fleksibilitas dalam pengadaan material harus dikombinasikan dengan strategi just-in-time yang tepat.

  4. Evaluasi berkelanjutan terhadap sistem pergudangan wajib dilakukan tiap fase proyek.

Kesimpulan

Penelitian ini memperkuat pemahaman bahwa produktivitas dalam konstruksi bukan semata urusan tukang di lapangan, melainkan hasil dari manajemen logistik yang presisi dan koordinasi lintas fungsi yang rapi. Dengan kata lain, efisiensi dimulai dari rapat koordinasi hingga ke lantai kerja.

Temuan ini sangat relevan diterapkan tidak hanya pada proyek pemerintah, tetapi juga di sektor swasta yang kini makin fokus pada efisiensi biaya dan waktu.

Sumber Jurnal:
Putri Azzahra & Rida Respati. (2024). Analisa Pengaruh Manajemen Material Terhadap Produktivitas Kerja pada Proyek Konstruksi Gedung Bertingkat di Kota Palangka Raya. Media Ilmiah Teknik Sipil, Vol. 12, No. 2. Hal. 159-166.
DOI: https://doi.org/10.31294/mits.v12i2.7323

Selengkapnya
Meningkatkan Produktivitas Proyek Konstruksi: Peran Vital Manajemen Material dalam Proyek Gedung Bertingkat

Manajemen Proyek

Mengurai Risiko Proyek Migas untuk Masa Depan yang Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Mei 2025


Mengurai Risiko Proyek Migas untuk Masa Depan yang Berkelanjutan

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara penghasil migas (minyak dan gas bumi) dengan cadangan besar yang tersebar di berbagai wilayah. Salah satu wilayah yang sangat strategis adalah Blok Cepu di Bojonegoro, Jawa Timur. Wilayah ini telah menjadi fokus utama dalam pengembangan energi nasional sejak eksplorasi intensif dimulai pada 2005. Namun, proyek-proyek migas, terutama yang terkait dengan pembangunan infrastruktur pendukung seperti waduk dan jaringan pipa, tidak terlepas dari tantangan risiko yang tinggi.

Faktor risiko dalam proyek konstruksi di sektor migas bukan hanya menyangkut masalah teknis seperti kesalahan desain atau kendala operasional. Risiko juga mencakup aspek sosial, politik, hukum, hingga ancaman terhadap lingkungan hidup. Artikel ilmiah yang ditulis oleh Nova Nevila Rodhi, Nadjadji Anwar, dan I Putu Artama Wiguna mengulas secara mendalam berbagai faktor risiko ini dan bagaimana teknik penilaian risiko bisa digunakan untuk mengelola proyek dengan lebih berkelanjutan.

Studi yang menjadi dasar resensi ini mengangkat proyek migas di Bojonegoro sebagai contoh nyata. Proyek eksplorasi di Blok Cepu dimulai pada 2005 oleh salah satu perusahaan minyak besar, yang kemudian berhasil mencapai produksi 28.000 barel minyak mentah per hari pada 2007. Target puncak produksi sebesar 165.000 barel per hari awalnya diharapkan tercapai pada 2013, namun mundur hingga 2015.

Menariknya, pencapaian target produksi ini sangat bergantung pada pasokan air sebesar 0,944 meter kubik per detik, yang harus disuplai dari Sungai Bengawan Solo. Ketergantungan terhadap sumber daya alam ini membuka risiko baru yang berkaitan dengan lingkungan dan sosial, mulai dari kekeringan, konflik air, hingga degradasi ekosistem.

Klasifikasi Risiko: Internal dan Eksternal

Dalam literatur yang dianalisis oleh penulis, risiko proyek dibagi menjadi dua kategori utama: risiko internal dan risiko eksternal.

Risiko internal mencakup elemen yang berada dalam kendali langsung proyek, seperti:

  • Kualitas desain infrastruktur
  • Gangguan dalam pelaksanaan konstruksi
  • Pengadaan material yang terlambat atau tidak sesuai
  • Fluktuasi keuangan proyek
  • Kinerja personel lapangan
  • Gangguan logistik dan distribusi
  • Kontrak yang tidak jelas atau ambigu

Sedangkan risiko eksternal mencakup elemen-elemen yang sulit dikendalikan, seperti:

  • Perubahan kebijakan pemerintah
  • Penolakan dari masyarakat sekitar proyek
  • Konflik sosial di wilayah operasional
  • Fluktuasi harga minyak di pasar global
  • Bencana alam yang memengaruhi lokasi proyek
  • Regulasi lingkungan yang ketat

Pentingnya memahami kedua jenis risiko ini tidak bisa diabaikan. Jika salah satu dari elemen ini tidak diantisipasi sejak awal, proyek dapat mengalami pembengkakan biaya, keterlambatan, atau bahkan pembatalan total.

Risiko Lingkungan: Masalah yang Sering Diremehkan

Dalam sektor migas, risiko lingkungan menjadi aspek yang sangat kritis. Aktivitas eksplorasi dan produksi migas, apalagi di wilayah daratan seperti Blok Cepu, memiliki potensi mencemari air tanah, merusak ekosistem sungai, dan menghasilkan limbah berbahaya.

Ironisnya, banyak studi dan kebijakan masih terlalu fokus pada aspek teknis atau keuangan, dan mengabaikan pentingnya perlindungan lingkungan. Padahal, risiko lingkungan justru memiliki dampak jangka panjang yang sulit dipulihkan. Oleh karena itu, pendekatan penilaian risiko yang terintegrasi sangat diperlukan—yang tidak hanya menghitung dampak langsung terhadap proyek, tetapi juga terhadap keberlanjutan lingkungan dan sosial.

Teknik Penilaian Risiko: Dari Teori hingga Aksi Nyata

Penulis melakukan tinjauan mendalam terhadap teknik penilaian risiko yang digunakan secara global dalam proyek konstruksi, khususnya yang relevan untuk industri migas. Salah satu pendekatan yang sering direkomendasikan adalah Analytical Hierarchy Process (AHP). Teknik ini bekerja dengan membagi kompleksitas risiko menjadi hierarki sederhana, kemudian memberi bobot prioritas berdasarkan dampaknya.

Pendekatan lain yang cukup populer adalah Decision Tree Analysis (DTA), di mana berbagai skenario risiko dianalisis secara grafis untuk mengevaluasi kemungkinan hasil yang berbeda. Kombinasi antara AHP dan DTA memberikan hasil yang lebih akurat dalam menentukan strategi mitigasi.

Model-model berbasis statistik seperti Monte Carlo Simulation juga disebutkan sebagai alat bantu penting untuk mengevaluasi probabilitas risiko dalam kondisi ketidakpastian tinggi. Sementara itu, penggunaan teori Fuzzy Logic dapat membantu mengakomodasi ketidakjelasan data atau informasi yang bersifat kualitatif, seperti opini ahli atau persepsi masyarakat.

Tantangan Utama: Jarak antara Teori dan Praktik

Salah satu temuan paling penting dari studi ini adalah adanya kesenjangan besar antara teori penilaian risiko dan implementasi di lapangan. Meskipun tersedia banyak model dan perangkat penilaian, sangat sedikit proyek konstruksi migas di Indonesia yang benar-benar mengimplementasikannya secara menyeluruh.

Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya:

  • Kurangnya pelatihan teknis bagi manajer proyek
  • Minimnya data risiko yang terdokumentasi dengan baik
  • Keterbatasan software atau teknologi pendukung
  • Fokus yang terlalu berat pada biaya dan waktu, bukan pada keberlanjutan

Padahal, ketika penilaian risiko dilakukan dengan baik, proyek tidak hanya menjadi lebih aman dan efisien, tetapi juga lebih diterima oleh masyarakat dan ramah lingkungan.

Rekomendasi: Menuju Model Penilaian Risiko Terpadu

Penulis menyarankan agar ke depan dikembangkan model penilaian risiko yang sederhana, terintegrasi, dan mudah diimplementasikan oleh praktisi di lapangan. Model ini harus mencakup:

  1. Risiko teknis dan operasional, seperti desain, pengadaan, dan jadwal konstruksi.
  2. Risiko sosial dan ekonomi, seperti konflik masyarakat, fluktuasi harga, dan tenaga kerja.
  3. Risiko lingkungan, seperti pencemaran air dan dampak terhadap biodiversitas.

Model seperti ini akan sangat bermanfaat untuk membantu pemangku kebijakan dan manajer proyek dalam mengambil keputusan yang seimbang antara keuntungan ekonomi dan tanggung jawab sosial-lingkungan.

Menuju Keberlanjutan: Bukan Lagi Pilihan, Tapi Keharusan

Dalam konteks perubahan iklim global dan meningkatnya kesadaran publik terhadap dampak lingkungan proyek industri, manajemen risiko bukan lagi sekadar alat teknis. Ia telah menjadi strategi utama untuk memastikan keberlanjutan. Industri migas, yang sering kali dianggap sebagai industri "kotor", kini dituntut untuk berubah menjadi lebih transparan, adaptif, dan berorientasi pada masa depan.

Hal ini bisa dicapai jika pendekatan penilaian risiko yang menyeluruh benar-benar diadopsi sejak tahap awal proyek. Tidak cukup hanya dengan memenuhi regulasi minimum; proyek-proyek harus mampu menjadi contoh bagi penerapan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) yang sesungguhnya.

Penutup: Membangun Masa Depan dengan Mengelola Risiko Hari Ini

Resensi ini menegaskan bahwa memahami risiko bukan hanya tentang menghindari kerugian, tetapi juga tentang membuka peluang. Ketika proyek migas direncanakan dengan mempertimbangkan risiko sosial, lingkungan, dan operasional secara seimbang, hasilnya bukan hanya proyek yang sukses secara teknis, tetapi juga berkelanjutan secara sosial dan ekologis.

Model manajemen risiko yang diusulkan dalam studi ini bukan sekadar alat pengukur bahaya, melainkan juga kompas penunjuk arah dalam merancang masa depan industri konstruksi yang lebih bertanggung jawab.

Referensi Asli:

Rodhi, Nova Nevila; Anwar, Nadjadji; Wiguna, I Putu Artama. Studi Literatur terhadap Faktor Risiko Proyek Konstruksi dalam Industri Migas untuk Mencapai Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal Saintek, Vol. 15, No. 2, Desember 2018, hlm. 71–75.

Selengkapnya
Mengurai Risiko Proyek Migas untuk Masa Depan yang Berkelanjutan

Manajemen Proyek

Evaluasi SMK3 di Proyek Konstruksi: Studi Kasus Gedung A Universitas Muhammadiyah Kendari

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 06 Mei 2025


Pendahuluan: Menyoal Urgensi SMK3 di Sektor Konstruksi

Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah isu krusial dalam sektor konstruksi, terutama di Indonesia yang kerap mencatatkan tingginya angka kecelakaan kerja. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 50 Tahun 2012 menetapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) sebagai standar wajib di setiap proyek. Namun, implementasi di lapangan kerap kali jauh dari ideal.

Makalah yang disusun oleh Hardin dan tim ini mengambil studi kasus pada Proyek Pembangunan Gedung A Universitas Muhammadiyah Kendari, guna mengevaluasi seberapa jauh penerapan SMK3 dilaksanakan secara efektif. Hasilnya memunculkan perdebatan menarik: apakah regulasi sudah cukup kuat ataukah pelaksanaannya yang masih lemah?

Kerangka Evaluasi: SMK3 Menurut PP No. 50 Tahun 2012

Sistem Manajemen K3 yang diatur dalam PP No. 50 Tahun 2012 memiliki 166 kriteria yang dibagi ke dalam beberapa elemen kunci:

  • Komitmen dan Kebijakan

  • Perencanaan

  • Pelaksanaan

  • Evaluasi dan Tindakan Perbaikan

  • Dokumentasi dan Catatan

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif, dengan teknik pengumpulan data berupa observasi lapangan, wawancara langsung dengan pelaksana proyek, dan dokumentasi. Penilaian dilakukan dengan mengukur tingkat penerapan tiap kriteria dalam proyek.

Hasil Utama: Tingkat Penerapan SMK3 Hanya 66,36%

Dari total 166 kriteria yang dievaluasi, tingkat penerapan di proyek pembangunan gedung tersebut mencapai 66,36%, yang berarti masuk dalam kategori "cukup baik". Namun, angka ini masih menunjukkan bahwa ada hampir 34% elemen SMK3 yang belum diterapkan dengan baik, termasuk beberapa aspek fundamental seperti:

  • Kurangnya pelatihan formal bagi tenaga kerja

  • Tidak adanya struktur organisasi K3 yang jelas

  • Minimnya pelaporan dan dokumentasi kecelakaan

Studi Kasus Nyata: Proyek Gedung A Universitas Muhammadiyah Kendari

Proyek ini menjadi representasi umum proyek skala menengah di Indonesia. Dengan durasi pelaksanaan 180 hari dan melibatkan puluhan pekerja, proyek ini seharusnya menjadi contoh ideal penerapan SMK3. Namun, berdasarkan observasi peneliti:

  • Tidak semua pekerja dilengkapi Alat Pelindung Diri (APD)

  • Tidak tersedia tim khusus K3 di lapangan

  • Tidak dilakukan audit internal berkala

Masalah-masalah tersebut memperkuat hipotesis bahwa kendala utama bukan pada regulasi, tetapi pada komitmen manajemen proyek dan minimnya pengawasan.

Kritik & Komparasi: Apa Kata Penelitian Lain?

Studi ini sejalan dengan temuan dalam penelitian serupa oleh Iqbal (2021), yang menyatakan bahwa rata-rata implementasi SMK3 di proyek konstruksi swasta Indonesia hanya mencapai 60–70%. Hal ini diperparah dengan rendahnya literasi K3 di kalangan pekerja dan mandor.

Berbeda dengan proyek-proyek besar milik BUMN yang sering diaudit oleh lembaga independen, proyek kampus ini tidak menunjukkan adanya proses pengawasan yang terstruktur. Dengan kata lain, tidak ada paksaan berarti untuk mematuhi PP No. 50 Tahun 2012.

Tantangan Lapangan: Mengapa SMK3 Sulit Diterapkan?

Beberapa faktor yang menyebabkan rendahnya penerapan SMK3 antara lain:

1. Kurangnya SDM Terlatih

  • Banyak proyek tidak mempekerjakan petugas K3 bersertifikat.

  • Pekerja tidak diberi pelatihan rutin atau simulasi evakuasi darurat.

2. Biaya Tambahan

  • Penerapan SMK3 dianggap menambah biaya proyek, sehingga dihindari oleh kontraktor kecil.

3. Lemahnya Penegakan Hukum

  • Tidak ada sanksi konkret bagi pelanggaran implementasi K3 di banyak daerah.

Rekomendasi: Meningkatkan Efektivitas Penerapan SMK3

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis lapangan, beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk memperkuat penerapan SMK3:

  • Audit Wajib & Berkala
    Lakukan pemeriksaan eksternal dan independen setiap 3 bulan.

  • Insentif untuk Kontraktor Patuh
    Pemerintah daerah bisa memberikan insentif pajak atau prioritas tender kepada kontraktor yang terbukti menerapkan SMK3 secara penuh.

  • Penguatan Peran Pengawas Lapangan
    Supervisi harus difungsikan bukan hanya sebagai pengawas teknis, tetapi juga pengawas keselamatan.

  • Digitalisasi Laporan K3
    Gunakan sistem pelaporan berbasis aplikasi untuk memudahkan monitoring harian.

Opini Penulis: Saatnya SMK3 Jadi Standar Etika, Bukan Sekadar Regulasi

Penelitian ini menyentil persoalan mendasar dalam dunia konstruksi Indonesia: kesehatan dan keselamatan kerja masih dianggap beban, bukan kebutuhan. Padahal, banyak negara seperti Jepang dan Jerman menjadikan K3 sebagai budaya perusahaan.

Indonesia harus mulai membangun narasi bahwa SMK3 adalah bentuk etika kerja profesional. Bukan hanya demi menurunkan angka kecelakaan kerja, tetapi juga untuk membangun ekosistem konstruksi yang modern, manusiawi, dan berkelanjutan.

Penutup: Membangun Kesadaran, Bukan Sekadar Kepatuhan

Evaluasi yang dilakukan pada proyek pembangunan Gedung A Universitas Muhammadiyah Kendari menunjukkan adanya kesenjangan antara regulasi dan praktik di lapangan. Meski tingkat implementasinya cukup baik, namun masih banyak ruang untuk perbaikan, terutama dalam hal pelatihan, pengawasan, dan dokumentasi.

Studi ini penting sebagai pengingat bahwa pembangunan yang berkualitas bukan hanya soal desain dan anggaran, tapi juga soal keselamatan manusia yang terlibat di dalamnya.

Sumber Asli Artikel

Hardin, Muh. Chaiddir Hajia, & La Ode Asrun. (2022). Evaluasi Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) Berdasarkan PP No. 50 Tahun 2012 Pada Proyek Pembangunan Gedung A Universitas Muhammadiyah Kendari. Jurnal Karya Teknik Sipil, 11(1), 15-23.
Tautan resmi: https://ojs.unsultra.ac.id/index.php/jkteksipil/article/view/3624

Selengkapnya
Evaluasi SMK3 di Proyek Konstruksi: Studi Kasus Gedung A Universitas Muhammadiyah Kendari
« First Previous page 2 of 4 Next Last »