Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Anisa pada 05 Mei 2025
Pendahuluan: Ancaman Kolusi dalam Dunia Proyek Pemerintah
Di balik gemerlap pembangunan infrastruktur, tersembunyi praktik-praktik kelam yang dapat merusak fondasi tata kelola yang sehat. Salah satunya adalah persekongkolan tender, praktik ilegal yang merugikan negara, mematikan persaingan usaha, dan menurunkan kualitas hasil proyek. Studi berjudul “Analisis Persekongkolan Tender dalam Pengadaan Pemerintah” oleh Oktarina (2023), dipublikasikan di Jurnal Pengadaan Indonesia, memberikan kontribusi penting dalam mengurai kompleksitas persoalan ini dari sisi regulasi, pelaku, hingga model tindakan hukum.
Fokus dan Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
Menganalisis efektivitas regulasi yang telah ada, seperti Perpres No. 16 Tahun 2018 dan peraturan LKPP.
Mengidentifikasi modus dan aktor utama dalam praktik persekongkolan tender di sektor pengadaan pemerintah.
Menyusun strategi atau langkah preventif berbasis data hukum dan studi kasus.
Dengan demikian, paper ini tidak hanya bersifat deskriptif, tapi juga analitis dan solutif—sebuah pendekatan yang sangat dibutuhkan dalam konteks korupsi struktural di sektor publik.
Metodologi: Pendekatan Yuridis Normatif dengan Studi Kasus
Metode yang digunakan adalah yuridis normatif dengan kombinasi pendekatan perundang-undangan dan studi kasus yang diteliti dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 1616 K/PID.SUS/2020. Studi kasus ini sangat krusial karena membedah bagaimana praktik kolusi berlangsung secara konkret, dari tahap perencanaan hingga evaluasi tender.
Metode ini memperkuat argumentasi paper karena tidak hanya mengandalkan kerangka teori, namun juga bersandar pada praktik nyata di lapangan yang telah diuji secara hukum.
Temuan Utama: Pola, Aktor, dan Kelemahan Sistem
1. Modus Persekongkolan Tender: Terselubung dan Terstruktur
Paper ini mengidentifikasi dua bentuk persekongkolan tender:
Horizontal: Antara para penyedia jasa (kontraktor) yang membentuk kartel untuk membagi proyek dan menyusun pemenang tender secara bergiliran.
Vertikal: Melibatkan pejabat pengadaan atau panitia lelang yang bekerja sama dengan penyedia untuk memenangkan pihak tertentu.
Contoh konkrit dari kasus yang dianalisis: tiga perusahaan milik individu yang saling berhubungan diajukan sebagai peserta tender, padahal seluruhnya dikendalikan oleh satu orang. Mereka mengatur dokumen, penawaran, dan keikutsertaan dengan cara yang tidak wajar, sehingga menutup peluang penyedia yang sah dan kompeten .
2. Peran Aktor Internal dan Eksternal
Penelitian ini menyebut bahwa selain pelaku usaha, pihak internal pemerin tahan seperti:
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
Kelompok Kerja (Pokja) Pemilihan
Panitia Pengadaan
juga berpotensi terlibat aktif atau pasif dalam praktik persekongkolan. Di sinilah letak kompleksitasnya: korupsi dalam pengadaan bukan hanya soal penyedia curang, tetapi juga lemahnya integritas birokrasi.
3. Celah Regulasi dan Pengawasan
Meski regulasi sudah berkembang, implementasinya belum efektif. Misalnya, sistem e-procurement yang dirancang untuk transparansi, justru bisa dimanipulasi jika pihak-pihak terkait memiliki niat untuk bermain curang.
Selain itu, sanksi administratif dari LKPP belum mampu memberikan efek jera. Banyak pelaku yang hanya dikenai sanksi larangan ikut tender selama beberapa tahun, tanpa konsekuensi pidana yang signifikan.
Studi Kasus: Pembelajaran dari Putusan MA
Kasus konkret yang dianalisis menyangkut proyek pembangunan infrastruktur jalan di Kabupaten Empat Lawang. Tiga perusahaan fiktif digunakan untuk mengikuti tender. Pemiliknya, yang sama, memanipulasi dokumen dan proses seleksi. Menariknya, hanya satu terdakwa yang dijatuhi hukuman pidana, meskipun aktor-aktor lain diduga kuat turut berperan.
Poin penting dari studi kasus ini:
Penyalahgunaan sistem LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik).
Ketidakmampuan aparat hukum membongkar jejaring persekongkolan yang lebih luas.
Tidak adanya audit forensik terhadap proses digital (misalnya jejak IP address, login akun LPSE).
Analisis Tambahan: Mengapa Persekongkolan Tender Sulit Diberantas?
A. Struktur Oligopolistik dan Politik Lokal
Banyak pengusaha yang terafiliasi dengan elite politik lokal, sehingga mereka mendapatkan ‘jatah’ proyek tertentu. Sistem tender hanyalah formalitas. Hal ini membuat pelaporan menjadi tidak efektif, karena pelapor justru terancam secara sosial atau ekonomi.
B. Lemahnya Peran APIP dan BPKP
Aparat pengawasan internal pemerintah (APIP) sering kali tidak memiliki kapasitas atau keberanian untuk menindak penyimpangan, terlebih jika yang terlibat adalah kepala dinas atau pejabat daerah.
C. Tidak Ada Perlindungan bagi Pelapor
Dalam sistem whistleblower Indonesia, pelapor korupsi tender masih rawan diintimidasi. Bandingkan dengan sistem whistleblower di AS, yang memberi insentif dan perlindungan hukum nyata.
Rekomendasi & Solusi Pencegahan
Penulis menawarkan tiga solusi strategis:
1. Penguatan Sistem Deteksi Dini di LKPP
Perlu integrasi sistem audit digital dengan LPSE, seperti log analysis dan pemetaan jaringan IP.
AI dan machine learning bisa digunakan untuk mendeteksi pola pengulangan peserta fiktif atau penawaran yang terlalu seragam.
2. Revitalisasi Peran Pokja
Pokja Pemilihan harus direkrut secara independen dan bukan dari ASN yang memiliki relasi lokal.
Penilaian kinerja Pokja harus berbasis hasil audit dan pelaporan publik.
3. Sanksi Pidana dan Perdata yang Tegas
Penegakan hukum harus menyasar seluruh aktor, termasuk pejabat yang membiarkan persekongkolan terjadi.
Perlu penerapan pidana korporasi jika perusahaan terbukti menjadi alat persekongkolan.
Kritik dan Perbandingan: Apa yang Masih Kurang?
Paper ini sangat kaya dari sisi analisis hukum, tetapi belum mengupas cukup mendalam aspek sosiologis dan politik ekonomi dari persekongkolan tender. Sebagai tambahan:
Penelitian lain dari Transparency International menunjukkan bahwa reformasi pengadaan harus dimulai dari transparansi anggaran publik dan pembukaan akses data kepada masyarakat luas.
Di beberapa negara, seperti Korea Selatan, sistem tender dilengkapi dengan random audit dan citizen review panel untuk menekan kolusi.
Kesimpulan: Saatnya Reformasi Menyeluruh di Sistem Pengadaan
Persekongkolan tender bukan sekadar praktik bisnis curang, melainkan kejahatan sistemik yang melemahkan pemerintahan, mem boroskan anggaran, dan merusak kepercayaan publik. Paper ini memberikan kontribusi besar dengan memperlihatkan bagaimana praktik kolusi berlangsung, celah dalam regulasi, serta rekomendasi konkret berbasis data hukum.
Namun untuk membasminya, dibutuhkan reformasi menyeluruh: mulai dari pembenahan sistem digital, penguatan kelembagaan LKPP dan APIP, hingga keberanian menindak aktor besar di balik layar.
Sumber Artikel
Oktarina. (2023). Analisis Persekongkolan Tender dalam Pengadaan Pemerintah. Jurnal Pengadaan Indonesia. Diakses dari: https://ejournal.stialanbandung.ac.id/index.php/jurnalpengadaan/article/view/991
Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 05 Mei 2025
Pendahuluan: Mengapa Evaluasi Kinerja Proyek Itu Krusial?
Dalam dunia konstruksi yang kompleks, dinamis, dan penuh risiko, keberhasilan sebuah proyek tidak hanya dinilai dari selesai atau tidaknya pembangunan, tetapi juga dari seberapa efektif proses manajemen yang diterapkan. Di sinilah peran evaluasi kinerja menjadi krusial.
Artikel ini membedah bagaimana Panduan Manajemen Proyek Konstruksi (PMPK) dari Kementerian PUPR menjadi alat evaluasi dalam proyek pembangunan Kantor Pusat Komando Pangkalan TNI AU Haluoleo di Kendari. Penelitian ini tidak hanya menilai hasil akhir proyek, tetapi juga menelusuri ketercapaian proses dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pengendalian.
Metodologi: Studi Kasus Terapan dengan Pendekatan Kuantitatif-Kualitatif
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif dan kualitatif dengan metode studi kasus. Data dikumpulkan melalui:
Observasi langsung di lapangan
Wawancara dengan pelaku proyek
Dokumentasi proyek dan checklist berbasis PMPK
PMPK sendiri merupakan panduan terstruktur yang mencakup lima fase utama manajemen proyek:
Inisiasi
Pelaksanaan
Pengendalian
Penutupan
Evaluasi dilakukan dengan membandingkan pelaksanaan proyek terhadap indikator dalam PMPK, menghasilkan penilaian dalam tiga kategori:
Kurang (≤55%)
Hasil Temuan: Evaluasi Menyeluruh Berdasarkan Lima Tahapan PMPK
1. Inisiasi (93,75%) – Sangat Baik
Proses awal proyek menunjukkan kinerja optimal. Dokumen studi kelayakan, lingkup pekerjaan, dan analisis risiko telah dipenuhi sesuai standar. Ini menunjukkan keseriusan pihak proyek dalam memulai dengan fondasi yang kuat.
2. Perencanaan (71,93%) – Cukup
Tahapan ini justru menunjukkan celah terbesar. Meskipun aspek waktu, biaya, dan mutu direncanakan, dokumentasi manajemen risiko dan strategi pengadaan belum optimal. Hal ini bisa berdampak pada ketidaksiapan dalam menghadapi perubahan selama pelaksanaan.
3. Pelaksanaan (84,09%) – Baik
Implementasi di lapangan cukup berhasil. Namun, terdapat kekurangan dalam integrasi pengawasan dan komunikasi antar stakeholder, yang bisa menimbulkan keterlambatan atau miskomunikasi.
4. Pengendalian (81,25%) – Baik
Proses kontrol menunjukkan keberhasilan dalam memonitor anggaran dan waktu. Sayangnya, pengendalian risiko belum maksimal karena tidak adanya sistem early warning.
5. Penutupan (83,33%) – Baik
Proses akhir proyek ditutup dengan baik—dokumentasi lengkap, pelaporan disampaikan, dan hasil akhir proyek sesuai kontrak.
Analisis Tambahan: Apa yang Bisa Dipelajari?
Ketimpangan antara Inisiasi dan Perencanaan
Skor tinggi pada tahap inisiasi yang kontras dengan perencanaan menunjukkan adanya “semangat awal” yang tidak diimbangi dengan kesiapan implementasi. Dalam banyak proyek di Indonesia, semangat eksekusi sering kali tidak diiringi dengan ketelitian perencanaan.
Kebutuhan Digitalisasi Manajemen Risiko
Tidak adanya sistem pengendalian risiko yang terdigitalisasi menyebabkan keterlambatan dalam mitigasi masalah. Implementasi sistem seperti BIM (Building Information Modeling) atau software manajemen proyek seperti Primavera bisa menjadi solusi konkret.
Pengaruh terhadap Efisiensi Biaya dan Waktu
Dengan kinerja perencanaan yang hanya “cukup”, potensi pembengkakan biaya dan deviasi waktu sangat besar. Data BPS menunjukkan bahwa 30% proyek konstruksi pemerintah di Indonesia mengalami keterlambatan karena perencanaan yang tidak matang (BPS, 2023).
Studi Kasus Pendukung: Proyek Tol Cisumdawu
Sebagai perbandingan, proyek Tol Cisumdawu juga mengalami hambatan besar di tahap perencanaan karena masalah pembebasan lahan yang tidak dipetakan secara strategis sejak awal. Akibatnya, proyek molor hampir 3 tahun.
Bandingkan dengan proyek TNI AU dalam artikel ini: meskipun dalam lingkup militer, proyek tetap mengalami kendala serupa. Artinya, sektor dan institusi berbeda tetap menghadapi masalah manajemen proyek yang mirip.
Opini Kritis: PMPK Perlu Diperbarui?
PMPK versi Kementerian PUPR sudah menjadi pedoman utama, tetapi masih ada ruang untuk pembaruan. Misalnya:
Tidak adanya indikator ESG (Environmental, Social, Governance) dalam evaluasi proyek. Padahal, aspek keberlanjutan kini krusial dalam proyek-proyek modern.
Kurangnya penekanan pada transformasi digital dalam manajemen proyek.
Belum ada mekanisme pembobotan risiko dan kompleksitas proyek.
Penambahan parameter-parameter tersebut akan membuat PMPK lebih adaptif terhadap kebutuhan industri konstruksi saat ini.
Implikasi Praktis bagi Manajer Proyek
Manajemen Risiko Harus Proaktif
Buat sistem deteksi dini risiko, bukan hanya sistem pelaporan setelah masalah terjadi.
Dokumentasi Wajib Digital
Gunakan platform seperti Microsoft Project, BIM 360, atau Trello untuk manajemen dokumen dan koordinasi.
Pendidikan Berkelanjutan Bagi Tim Proyek
Banyak proyek gagal bukan karena teknologi, tapi karena SDM tidak memahami prinsip dasar manajemen proyek.
Kesimpulan: Apakah PMPK Efektif?
Secara umum, PMPK terbukti sebagai alat evaluasi kinerja yang cukup efektif. Namun efektivitasnya sangat bergantung pada konsistensi implementasi oleh tim proyek. PMPK tidak akan berdaya jika hanya digunakan sebagai formalitas tanpa komitmen dari pelaku proyek.
Studi kasus proyek pembangunaEvaluasi proyek konstruksi dengan PMPK PUPR: studi kasus TNI AU Kendari, temuan kinerja, kritik metode, dan solusi digital yang aplikatif.n Komando TNI AU menunjukkan bahwa meskipun proyek mencapai kategori “baik”, masih ada ruang besar untuk perbaikan, terutama di aspek perencanaan dan manajemen risiko.
Sumber Resmi Artikel
Rahmatullah, Muh. Chaiddir Hajia, dan Muhammad Rusmin. Evaluasi Kinerja Proyek Konstruksi Berdasarkan Panduan Manajemen Proyek Konstruksi (PMPK) Kementerian PUPR. Jurnal Media Ilmiah Teknik Sipil, Vol. 10, No. 1, 2023.
Akses jurnal: https://ejournal.uho.ac.id/index.php/MITS/article/view/135
Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 05 Mei 2025
Pendahuluan: Masalah Klasik dalam Proyek Konstruksi Indonesia
Keterlambatan, pembengkakan biaya, serta mutu hasil pekerjaan yang kurang optimal seringkali menjadi momok dalam industri konstruksi di Indonesia. Kendala-kendala ini tak hanya berdampak pada citra pelaksana proyek, namun juga terhadap efisiensi penggunaan anggaran negara. Untuk menjawab tantangan tersebut, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menerbitkan Panduan Manajemen Proyek Konstruksi (PMPK) sebagai pedoman praktis dalam pelaksanaan proyek infrastruktur nasional.
Namun, seberapa efektif PMPK ini diimplementasikan di lapangan? Itulah pertanyaan kunci yang dijawab oleh penelitian Rahmatullah dkk. melalui studi evaluatif pada proyek pembangunan Gedung Kuliah Terpadu Universitas Muhammadiyah Buton tahun 2022.
Metodologi: Menyelaraskan Praktik Lapangan dengan Standar PMPK
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif, dengan metode survei dan analisis kinerja menggunakan dimensi PMPK sebagai tolok ukur. Fokusnya meliputi 4 aspek utama dari siklus manajemen proyek:
Manajemen Lingkup
Manajemen Waktu
Manajemen Biaya
Manajemen Mutu
Setiap aspek dievaluasi berdasarkan indikator keberhasilan PMPK dan dikonversi dalam bentuk skor, kemudian diklasifikasikan ke dalam kategori “Kurang Baik”, “Cukup Baik”, “Baik”, atau “Sangat Baik”.
Hasil Penelitian: Evaluasi Kinerja dari 4 Perspektif PMPK
1. Manajemen Lingkup: Nilai 77,26% (Baik)
Pada aspek lingkup, proyek sudah memiliki definisi pekerjaan yang jelas dan Work Breakdown Structure (WBS) yang cukup rinci. Hal ini penting dalam menjaga fokus pelaksanaan proyek agar tidak terjadi “scope creep” (perluasan pekerjaan tanpa kendali). Namun, masih ditemukan kekurangan dalam dokumentasi perubahan pekerjaan dan kontrol lingkup secara dinamis.
Analisis tambahan:
Dalam praktik global, manajemen lingkup yang kuat berkontribusi besar terhadap keberhasilan proyek. Studi McKinsey (2017) mencatat bahwa proyek dengan lingkup yang terdokumentasi baik cenderung selesai 30% lebih cepat dari estimasi awal.
2. Manajemen Waktu: Nilai 79,62% (Baik)
Kinerja waktu diklasifikasikan sebagai “Baik”, karena penjadwalan proyek (dengan metode kurva-S dan bar chart) sudah cukup terstruktur. Namun, kontrol terhadap deviasi waktu masih kurang responsif. Artinya, meskipun jadwal dibuat, tindakan perbaikan ketika terjadi keterlambatan belum sepenuhnya optimal.
Data relevan: Proyek rampung dalam 180 hari kerja, sesuai target awal. Namun, terjadi keterlambatan minor di beberapa bagian (misalnya pada pekerjaan struktur atap).
3. Manajemen Biaya: Nilai 76,68% (Baik)
Kontrol anggaran cukup baik, tetapi pelaporan penggunaan biaya tidak selalu real-time, sehingga menyulitkan deteksi awal terhadap potensi pemborosan.
Studi pembanding: Dalam proyek World Bank di Asia Tenggara, implementasi real-time cost tracking mampu menekan pembengkakan biaya hingga 20%. Hal ini menunjukkan bahwa transparansi dan kecepatan pelaporan adalah kunci efisiensi anggaran.
4. Manajemen Mutu: Nilai 71,68% (Cukup Baik)
Aspek mutu mendapatkan skor terendah di antara keempat indikator. Prosedur Quality Control dan Quality Assurance memang ada, namun penerapannya belum maksimal. Dokumentasi hasil pengujian material dan evaluasi mutu pekerjaan masih kurang lengkap.
Implikasi lapangan: Kurangnya dokumentasi mutu dapat mempersulit proses audit, serta berisiko memicu pekerjaan ulang (rework) yang mahal dan menghambat progres proyek.
Analisis Nilai Tambah: Menghubungkan Penelitian dengan Praktik Industri
1. PMPK vs Realitas Lapangan
Penelitian ini menyoroti bahwa meskipun PMPK telah disusun secara sistematis, implementasinya belum sepenuhnya optimal. Hal ini lazim ditemui dalam proyek pemerintah di berbagai daerah, di mana keterbatasan SDM, waktu, dan pengawasan sering kali menjadi penghambat.
2. Perbandingan dengan Proyek Internasional
Jika dibandingkan dengan pendekatan Project Management Body of Knowledge (PMBOK) atau PRINCE2 yang digunakan secara internasional, PMPK masih cenderung bersifat instruksional dan kurang fleksibel dalam adaptasi terhadap dinamika lapangan.
Misalnya:
PMBOK menekankan pentingnya lessons learned documentation dan risk management yang terus-menerus diperbaharui.
Sementara itu, PMPK belum secara eksplisit menekankan pembelajaran berkelanjutan dan manajemen risiko strategis.
3. Rekomendasi Praktis
Beberapa langkah perbaikan yang dapat diambil berdasarkan hasil penelitian ini:
Penerapan sistem manajemen proyek berbasis digital seperti Primavera atau MS Project untuk meningkatkan kontrol jadwal dan biaya.
Pelatihan berkala bagi pelaksana lapangan terkait penggunaan PMPK.
Audit internal berkala untuk menilai konsistensi pelaksanaan PMPK pada tiap fase proyek.
Kritik Konstruktif terhadap Penelitian
Meskipun artikel ini memberikan kontribusi besar dalam mengevaluasi implementasi PMPK, terdapat beberapa keterbatasan yang perlu dicatat:
Keterbatasan studi kasus tunggal: Fokus hanya pada satu proyek membuat hasil evaluasi belum bisa digeneralisasi secara nasional.
Kurangnya dimensi sosial dan lingkungan: Aspek keberlanjutan belum disorot, padahal kini menjadi pilar penting dalam manajemen proyek modern.
Data kuantitatif masih terbatas: Akan lebih kuat jika ditambahkan komparasi antar proyek sejenis.
Kesimpulan: Pentingnya Evaluasi Berbasis Standar Nasional
Penelitian ini menjadi pijakan awal yang penting dalam menilai efektivitas Panduan Manajemen Proyek Konstruksi (PMPK) dari Kementerian PUPR. Temuan bahwa aspek waktu dan lingkup relatif baik, sementara mutu dan biaya masih perlu ditingkatkan, seharusnya menjadi refleksi bagi seluruh pemangku kepentingan di industri konstruksi nasional.
Insight Utama:
PMPK adalah alat bantu yang kuat, tetapi efektivitasnya sangat bergantung pada kapasitas SDM dan disiplin dalam pelaksanaannya.
Untuk meningkatkan daya saing proyek konstruksi nasional, integrasi antara standar nasional dan praktik manajemen proyek global menjadi keharusan.
Sumber Asli Artikel
Rahmatullah, Muh. Chaiddir Hajia, & Muhammad Rusmin. Evaluasi Kinerja Proyek Konstruksi Berdasarkan Panduan Manajemen Proyek Konstruksi (PMPK) Kementerian PUPR. Jurnal Sipil dan Arsitektur, Vol. 44 No. 1 (2024).
Akses: https://ojs.umkendari.ac.id/index.php/JSDA/article/view/3662
Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 30 April 2025
Pendahuluan: Mengapa Produktivitas Pekerja Jadi Isu Penting?
Produktivitas dalam sektor konstruksi bukan sekadar hitung-hitungan teknis, melainkan indikator vital efisiensi, mutu hasil bangunan, dan kecepatan penyelesaian proyek. Artikel ilmiah yang ditulis oleh Fiqra Afrian, Fitriah Mas’ud, dan La Ode M. Nurrakhmad Arsyad dalam Jurnal Media Konstruksi Vol. 9 No. 2 (2024), mengangkat persoalan ini secara spesifik. Fokus penelitian mereka adalah membandingkan produktivitas aktual tukang dan pekerja dalam pemasangan dinding bata ringan dengan standar produktivitas versi Permen PUPR No. 1 Tahun 2022.
Penelitian dilakukan pada proyek pembangunan rumah susun STAIN Kendari Kampus II dan menjadi salah satu studi penting yang menyandingkan praktik di lapangan dengan ketentuan formal pemerintah.
Apa Itu Produktivitas dalam Konstruksi?
Secara umum, produktivitas kerja diartikan sebagai rasio antara output (volume pekerjaan selesai) terhadap input (tenaga kerja dan waktu). Di sektor konstruksi, produktivitas sering kali diukur dalam satuan Bh/OH (buah per orang per hari), di mana "buah" merujuk pada luasan atau jumlah elemen bangunan yang selesai dikerjakan.
Permen PUPR No. 1 Tahun 2022 menetapkan nilai standar produktivitas untuk pekerjaan pasangan bata ringan sebesar 96 Bh/OH. Angka ini menjadi tolok ukur untuk mengevaluasi apakah pelaksanaan pekerjaan di lapangan sudah efisien atau belum.
Metodologi Penelitian: Kombinasi Observasi Lapangan dan Perbandingan Kuantitatif
Penelitian ini bersifat survei lapangan, dilakukan selama 14 hari kerja di proyek rumah susun STAIN Kendari. Tim peneliti mengamati langsung volume pekerjaan yang diselesaikan setiap harinya oleh tim berisi 2 tukang dan 2 pekerja. Hasil pengamatan kemudian dihitung menggunakan rumus:
Produktivitas = Volume Pekerjaan / Jumlah Tenaga Kerja
Sebagai data pembanding, peneliti menggunakan Analisis Harga Satuan Pekerjaan (AHSP) dari PUPR No. 1 Tahun 2022.
Apa Penyebab Produktivitas Rendah?
Peneliti mengidentifikasi empat faktor utama yang berkontribusi terhadap rendahnya produktivitas di lapangan:
1. Jumlah Tenaga Kerja yang Terbatas
Meski proyek berjalan, hanya ada 2 tukang dan 2 pekerja per hari. Sistem overlaping dalam pengerjaan (menumpuk beberapa pekerjaan sekaligus di lokasi yang sama) juga memperparah efisiensi kerja.
2. Teknik Pemasangan Bata Ringan yang Rumit
Bata ringan perlu dipotong secara presisi agar cocok dengan dimensi ruangan. Proses ini memakan waktu, terutama jika tidak menggunakan alat bantu pemotong modern.
3. Disiplin Kerja Rendah
Peneliti mencatat adanya waktu kerja yang terbuang karena tukang lebih banyak mengobrol atau menganggur di jam kerja. Ini jelas menurunkan efektivitas jam kerja aktual.
4. Jarak Material Terlalu Jauh
Jika bata ringan disimpan jauh dari area kerja, waktu dan energi tukang akan habis hanya untuk mengangkut material, bukan untuk membangun.
Analisis Kritis: Kelebihan dan Kekurangan Penelitian
Kelebihan:
Menggunakan data aktual selama 14 hari berturut-turut, bukan sekadar estimasi.
Membandingkan langsung hasil lapangan dengan standar resmi PUPR.
Menggabungkan pendekatan kuantitatif (perhitungan Bh/OH) dan kualitatif (observasi dan wawancara).
Kekurangan:
Jumlah responden terbatas hanya pada satu proyek dan satu tim kerja.
Tidak mempertimbangkan variabel cuaca, jenis dinding (interior vs eksterior), atau pengaruh alat bantu kerja.
Penelitian belum mengusulkan solusi konkrit berbasis teknologi atau manajemen sumber daya.
Studi Pembanding: Bagaimana Negara Lain Mengelola Produktivitas?
Di Singapura, penggunaan Building Information Modeling (BIM) dan manajemen berbasis sensor telah meningkatkan produktivitas pekerja hingga 30% (Lau et al., 2019). Mereka juga mewajibkan pelatihan modular setiap tahun untuk pekerja konstruksi.
Sementara itu, di Jepang, pekerja konstruksi bekerja dalam sistem rotasi shift yang fleksibel untuk menjaga stamina dan fokus. Hal ini berdampak pada produktivitas yang stabil dan minim human error.
Implikasi Praktis: Kenapa Temuan Ini Penting untuk Kontraktor dan Pemerintah?
Jika produktivitas tukang tidak dikontrol:
Durasi proyek akan molor
Biaya tenaga kerja membengkak
Kualitas pekerjaan menurun akibat kelelahan dan terburu-buru
Dengan memahami gap antara standar dan realita, kontraktor dapat:
Menyusun jadwal kerja yang lebih realistis
Melatih ulang tukang dalam teknik pemasangan bata ringan modern
Mengoptimalkan distribusi logistik material
Rekomendasi untuk Proyek Selanjutnya
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis, berikut rekomendasi untuk meningkatkan produktivitas tukang dalam proyek dinding bata ringan:
Pelatihan teknis rutin tentang pemasangan bata ringan (terutama potong presisi)
Manajemen waktu kerja: hindari waktu kosong dan tingkatkan pengawasan onsite
Penempatan material lebih strategis agar waktu tempuh lebih efisien
Penambahan tenaga kerja saat volume kerja tinggi
Penggunaan alat bantu pemotong bata agar pengerjaan lebih presisi dan cepat
Kesimpulan: Antara Idealitas Standar dan Realita Lapangan
Penelitian ini memperlihatkan realita penting: meskipun pemerintah telah menetapkan standar produktivitas melalui Permen PUPR No. 1 Tahun 2022, implementasinya di lapangan belum optimal. Rata-rata produktivitas di proyek rumah susun STAIN Kendari hanya mencapai 49 Bh/OH, atau setengah dari standar nasional.
Artinya, terdapat ruang besar untuk perbaikan teknis, manajerial, dan SDM agar proyek-proyek serupa dapat lebih efisien dan tepat waktu. Jika tidak, proyek infrastruktur akan terus terhambat oleh masalah klasik: banyak tukang, sedikit hasil.
Referensi Sumber Asli
Artikel ini dapat diakses di:
Fiqra Afrian, Fitriah Mas’ud, La Ode M. Nurrakhmad Arsyad. (2024). Produktivitas Pekerja Konstruksi pada Pekerjaan Dinding Bata Ringan Berdasarkan PUPR No. 1 Tahun 2022. Jurnal Media Konstruksi, Vol. 9, No. 2, hlm. 131–140.
Tautan resmi: https://medkons.uho.ac.id/index.php/journal
Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Anisa pada 30 April 2025
Pendahuluan: Mengapa Waktu Proyek Menjadi Taruhan Besar di Dunia Konstruksi?
Industri konstruksi di Indonesia terus menunjukkan tren pertumbuhan yang signifikan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa nilai konstruksi bangunan meningkat sebesar 201% dalam satu dekade terakhir dan naik 61% hanya dalam lima tahun terakhir. Dengan peningkatan permintaan ini, tekanan terhadap efektivitas waktu dan kualitas proyek semakin besar. Dalam konteks ini, metode Design and Build (Desain dan Bangun) dipandang sebagai pendekatan ideal yang menyatukan proses perancangan dan pelaksanaan konstruksi dalam satu paket terintegrasi.
Namun, apakah benar metode ini menjamin proyek selesai tepat waktu dan sesuai standar? Penelitian yang dilakukan oleh Ade Achmad Al-Fath dkk. dari Universitas Pelita Harapan terhadap proyek-proyek PT ABC justru membongkar realitas yang lebih kompleks. Meski menjanjikan efisiensi, metode desain dan bangun tetap menyimpan potensi risiko signifikan yang berpengaruh terhadap waktu penyelesaian proyek.
Apa Itu Metode Design and Build?
Metode design and build adalah sistem pengadaan proyek di mana satu entitas (biasanya kontraktor) bertanggung jawab atas proses desain sekaligus pelaksanaan konstruksi. Ini berbeda dari metode tradisional design-bid-build yang memisahkan tahapan desain dan pelaksanaan dalam dua kontrak berbeda.
Keunggulan:
Satu tanggung jawab (minim konflik antara desainer dan kontraktor)
Waktu pengerjaan lebih cepat karena proses tender dilakukan sekali
Biaya lebih pasti sejak awal kontrak
Kekurangan:
Transfer risiko lebih besar ke kontraktor
Bila tidak dikelola baik, kualitas dan waktu bisa terganggu
Risiko dominan tersembunyi di balik “efisiensi” semu
Tujuan dan Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
Mengidentifikasi risiko-risiko dalam metode design and build yang mempengaruhi waktu pengerjaan proyek.
Menilai risiko mana yang paling signifikan dari sisi dampak dan frekuensi.
Memberikan rekomendasi tindakan mitigasi risiko berdasarkan analisis empiris.
Metode yang digunakan:
Kuesioner terhadap 79 responden dari PT ABC
Uji validitas dan reliabilitas
Analisis regresi berganda
Uji korelasi Pearson dan analisis faktor
Validasi oleh pakar industri
Risiko Utama: Internal vs Eksternal
Dari 35 variabel risiko yang diteliti, hanya dua kategori besar yang terbukti berpengaruh signifikan terhadap keterlambatan proyek:
A. Risiko Internal (H3)
Berasal dari kemampuan manajemen internal kontraktor dan Project Manager (PM):
Kemampuan manajemen kapasitas dan kontrol kualitas kontraktor (X17)
Kepemimpinan, organisasi, dan motivasi tim oleh PM (X31)
Risiko ini menunjukkan bahwa meskipun memiliki kendali penuh, tanpa keahlian dalam mengelola sumber daya dan tim, keunggulan metode desain dan bangun akan sia-sia.
B. Risiko Eksternal
Datang dari pihak luar seperti subkontraktor:
Kelalaian dan keterlambatan subkontraktor (X20)
Pekerjaan yang tidak sesuai kesepakatan (X22)
Kasus nyata seperti proyek EPC Security LNG Donggi-Senoro dan Transmart Cilegon yang mengalami keterlambatan disebabkan oleh dua risiko ini.
Studi Statistik: Bukti Empiris Keterkaitan Risiko dan Waktu
Temuan Kunci:
Tujuh variabel risiko berhubungan negatif signifikan terhadap waktu proyek.
Dua faktor utama ditemukan melalui analisis faktor (rotasi Varimax):
Dimensi Eksternal: X20 & X22
Dimensi Internal: X17 & X31
Hasil Regresi Berganda:
Model regresi menunjukkan Adjusted R² sebesar 85,4% → mengindikasikan bahwa mayoritas variasi keterlambatan proyek dapat dijelaskan oleh dua dimensi risiko tersebut.
Semua variabel signifikan pada uji T dan F (p < 0.05)
Artinya, manajemen risiko tidak bisa lagi dipandang sebagai formalitas. Ia adalah inti keberhasilan implementasi metode desain dan bangun.
Perbandingan dengan Penelitian Terkait
Penelitian ini sejalan dengan temuan Hale et al. (2009) yang menyatakan bahwa design and build memang unggul dari segi waktu, namun hanya jika manajemen risiko dilakukan dengan matang. Berbeda dengan studi Chen et al. (2016) yang menyoroti efisiensi biaya, fokus utama dari penelitian ini lebih pada dimensi waktu sebagai indikator keberhasilan.
Implikasi Praktis untuk Industri Konstruksi
Rekomendasi:
Seleksi subkontraktor berbasis rekam jejak → bukan sekadar harga
PM harus dilibatkan sejak awal hingga akhir proyek
Pelatihan intensif untuk kontraktor terkait manajemen risiko proyek terpadu
Dampak Positif Jika Diterapkan:
Mengurangi risiko project overrun hingga 30%
Meningkatkan kepercayaan klien terhadap efisiensi metode design and build
Menciptakan sinergi berkelanjutan antara stakeholder internal dan eksternal
Studi Kasus Nyata: Proyek MRT Jakarta
Proyek MRT Jakarta fase 1 menggunakan pendekatan mirip design and build untuk beberapa paket pengerjaan. Meski secara umum proyek ini dinilai berhasil, sempat terjadi keterlambatan di beberapa titik akibat miskomunikasi antar subkontraktor dan ketidakcocokan dalam pelaksanaan desain. Ini mencerminkan realitas yang ditemukan dalam studi PT ABC — bahwa manajemen risiko eksternal harus ditangani dengan serius, bahkan dalam proyek besar berskala nasional.
Kesimpulan: Metode Desain dan Bangun Bukan Jaminan Tanpa Risiko
Meski secara teori metode design and build menawarkan efisiensi luar biasa dalam waktu dan biaya, realitas di lapangan menunjukkan bahwa tanpa manajemen risiko yang baik, justru risiko keterlambatan meningkat.
Dua akar risiko utama:
Faktor eksternal (subkontraktor)
Faktor internal (kemampuan manajemen kontraktor dan PM)
Dengan tingkat pengaruh lebih dari 85% terhadap kinerja waktu proyek, kedua faktor ini seharusnya menjadi fokus dalam perencanaan dan eksekusi proyek berbasis design and build.
Sumber
Penelitian utama:
Ade Achmad Al-Fath, Yunan Hanun, Manlian Ronald. A. Simanjuntak. (2019). Analysis of Design and Build Risk on the Completion Time of the Project in Building by PT ABC. International Journal of Education and Research. Vol. 7 No. 12. Link resmi
Penelitian pendukung:
Chen, Q., et al. (2016). Time and Cost Performance of Design and Build Projects. Journal of Engineering Construction Management.
Hale, D. R., et al. (2009). Empirical Comparison of Design and Build and Design Bid Build Project Delivery Methods. Journal of Construction Engineering and Management.