Analisis Pemanenan Air Hujan Memanfaatkan Atap Rumah untuk Memenuhi Kebutuhan Air Bersih di Dusun Padak, Sumbawa

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

04 Juni 2025, 09.22

pixabay.com

Kebutuhan air bersih di Indonesia terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk, sementara ketersediaan sumber air bersih semakin menurun akibat perubahan iklim, pencemaran, dan degradasi lingkungan. Di kawasan pesisir seperti Dusun Padak, Desa Labuan Sumbawa, Kabupaten Sumbawa, permasalahan menjadi lebih kompleks: air sumur terasa asin akibat intrusi air laut, sementara distribusi air PDAM sangat terbatas karena kendala elevasi dan infrastruktur. Dalam tujuh tahun terakhir, masyarakat setempat bahkan tidak lagi mengandalkan PDAM dan sepenuhnya bergantung pada air hujan yang ditampung secara mandiri1.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di Sumbawa. Banyak wilayah pesisir di Indonesia menghadapi tantangan serupa, seperti di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, dan sejumlah desa di Aceh Barat, di mana air tanah dangkal tidak lagi layak konsumsi dan air permukaan tercemar limbah domestik maupun industri3. Oleh karena itu, pemanfaatan air hujan menjadi solusi strategis yang semakin relevan dalam menghadapi krisis air bersih di masa depan.

Latar Belakang Penelitian: Mengapa Air Hujan dan Atap Rumah?

Penelitian yang dilakukan oleh Suparman Ajis dan Adi Mawardin dari Universitas Teknologi Sumbawa ini berfokus pada analisis potensi pemanenan air hujan melalui media atap rumah sebagai solusi pemenuhan kebutuhan air bersih skala rumah tangga di Dusun Padak1. Lokasi penelitian dipilih karena karakteristiknya yang khas: wilayah pesisir dengan kualitas tanah yang buruk, rentan intrusi air laut, dan minimnya akses air PDAM.

Pemanenan air hujan (Rainwater Harvesting/RWH) adalah teknik menampung dan menyimpan air hujan secara lokal, biasanya dengan memanfaatkan atap rumah sebagai area tangkapan dan menyalurkan air ke bak penampungan. Teknologi ini sudah diterapkan sejak era 90-an, namun kini kembali relevan seiring meningkatnya kebutuhan air bersih dan menurunnya ketersediaan sumber air konvensional.

Metodologi Penelitian: Survei Lapangan, Analisis Hidrologi, dan Perhitungan Kebutuhan

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan pengambilan sampel acak. Data primer meliputi luas atap rumah dan jumlah penghuni, diperoleh melalui survei langsung. Data sekunder berupa jumlah penduduk dan curah hujan diambil dari BMKG Stasiun Meteorologi Sultan Muhammad Kaharuddin Sumbawa.

Analisis dilakukan dengan menghitung:

  • Kebutuhan air bersih per rumah tangga: Berdasarkan standar konsumsi 150 liter/orang/hari.
  • Luas atap rumah: Variasi dari 45,1 m² hingga 237,3 m².
  • Curah hujan rata-rata: Data 10 tahun terakhir (2014–2023), rata-rata tahunan 12.900 mm.
  • Koefisien runoff: 0,8 (mengacu pada jenis atap dan efisiensi penangkapan air).

Studi Kasus: Potensi Pemanenan Air Hujan di Dusun Padak

Kondisi Sosial dan Infrastruktur

Dusun Padak merupakan kawasan pesisir yang sangat rentan terhadap kekeringan. Pada musim kemarau panjang, 21 desa di Sumbawa (termasuk Labuan Sumbawa) dengan total 71.653 jiwa terdampak kekurangan air bersih. Warga bahkan rela membeli air tandon seharga Rp600 ribu per minggu untuk kebutuhan memasak dan mandi, atau menempuh jarak hingga 45 km untuk mengambil air bersih4. Bantuan air dari pemerintah dan lembaga sosial seringkali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh warga.

Analisis Luas Atap dan Ketersediaan Air

Total luas atap rumah yang dianalisis dalam penelitian ini adalah 3.118,36 m². Dengan rata-rata curah hujan tahunan 12.900 mm, potensi air hujan yang dapat dipanen sangat besar. Namun, untuk memastikan ketersediaan air pada musim kering, peneliti menggunakan curah hujan andalan (probabilitas 99%) sebesar 15,99 mm/bulan.

Hasil perhitungan menunjukkan:

  • Ketersediaan air rata-rata: 235,82 m³/bulan (dari seluruh atap yang diteliti).
  • Kebutuhan air rata-rata: 125 m³/bulan (untuk seluruh rumah tangga sampel).
  • Volume air hujan yang bisa ditampung per rumah: Tergantung luas atap, berkisar antara 9–42 m³/bulan.

Pada bulan-bulan tertentu (November, Desember, Januari, Oktober), ketersediaan air hujan lebih tinggi dari kebutuhan. Namun, pada bulan-bulan kering (Februari, Maret, April, Mei, Juni, Juli, September), terjadi defisit air karena curah hujan sangat minim atau bahkan nol.

Hasil dan Pembahasan: Efektivitas dan Tantangan Sistem Pemanenan Air Hujan

Perbandingan Kebutuhan dan Ketersediaan

Analisis data bulanan memperlihatkan fluktuasi tajam antara ketersediaan dan kebutuhan air. Misalnya:

  • Desember: Ketersediaan air 580,11 m³, kebutuhan 23 m³ (surplus).
  • April: Ketersediaan air 0 m³, kebutuhan 27 m³ (defisit).
  • Oktober: Ketersediaan air 511,36 m³, kebutuhan 14 m³ (surplus).

Secara total, selama setahun, potensi air hujan yang bisa dipanen mencapai 1.569,09 m³, sedangkan total kebutuhan air bersih 231 m³. Namun, distribusi curah hujan yang tidak merata menyebabkan beberapa bulan tetap mengalami kekurangan air.

Faktor Penentu Keberhasilan

  • Luas atap: Semakin luas atap, semakin besar volume air yang dapat ditampung. Rumah dengan atap 45 m² hanya mampu menampung 23 m³/bulan, sedangkan atap 237 m² bisa menampung hingga 42 m³/bulan.
  • Koefisien runoff: Jenis atap (genteng, seng, asbes) berpengaruh pada efisiensi penangkapan air. Permukaan atap yang halus dan bersih meningkatkan volume air yang bisa ditampung.
  • Kapasitas bak penampungan: Harus disesuaikan dengan volume air yang bisa ditampung pada bulan-bulan basah agar bisa digunakan saat musim kering.
  • Perawatan sistem: Saluran air, talang, dan bak penampungan harus rutin dibersihkan untuk mencegah kontaminasi dan pertumbuhan lumut.

Analisis Kritis: Kelebihan, Tantangan, dan Implikasi

Kelebihan Penelitian

  • Data empiris dan terukur: Penelitian ini menggunakan data curah hujan aktual, survei langsung luas atap, dan standar kebutuhan air, sehingga hasilnya sangat aplikatif.
  • Solusi berbasis kearifan lokal: Sistem pemanenan air hujan sudah menjadi tradisi masyarakat Sumbawa sejak era 90-an, sehingga penerapannya mudah diterima dan diadopsi.
  • Mengurangi tekanan pada air tanah: Dengan memanfaatkan air hujan, konsumsi air tanah dan risiko intrusi air laut dapat ditekan, mendukung konservasi lingkungan.

Tantangan Implementasi

  • Distribusi curah hujan tidak merata: Pada bulan-bulan kering, ketersediaan air hujan sangat minim sehingga tetap diperlukan sumber air alternatif.
  • Keterbatasan kapasitas penampungan: Banyak rumah belum memiliki bak penampung yang cukup besar untuk menyimpan air hujan selama musim kemarau.
  • Kualitas air hujan: Penelitian ini fokus pada kuantitas, belum membahas aspek kualitas air hujan dan perlunya filtrasi atau desinfeksi sebelum konsumsi, padahal air hujan dapat terkontaminasi debu, polutan, dan mikroorganisme.
  • Biaya investasi awal: Meski sistem sederhana, pembangunan bak penampung dan saluran air tetap memerlukan biaya, yang bisa menjadi kendala bagi keluarga berpenghasilan rendah.

Perbandingan dengan Penelitian Lain dan Tren Nasional

Studi di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, menunjukkan hasil serupa: potensi air hujan yang dapat dipanen dari atap rumah mencapai 1.318.781 m³/tahun, namun hanya mampu memenuhi sebagian kebutuhan air bersih penduduk3. Artinya, sistem pemanenan air hujan sangat efektif sebagai sumber air tambahan, tetapi belum bisa menjadi satu-satunya solusi, terutama di wilayah dengan musim kemarau panjang dan curah hujan yang fluktuatif.

Tren nasional kini mendorong adopsi sistem Rainwater Harvesting (RWH) di kawasan perkotaan dan pedesaan. Banyak kota besar mulai mewajibkan pembangunan sumur resapan dan bak penampung air hujan pada setiap bangunan baru untuk mengurangi banjir dan mendukung ketahanan air. Inovasi teknologi, seperti filter sederhana dari pasir, arang, dan keramik, juga semakin banyak dikembangkan untuk meningkatkan kualitas air hujan yang ditampung.

Opini dan Saran: Menuju Ketahanan Air Berbasis Komunitas

Penelitian ini sangat relevan untuk daerah pesisir dan kawasan rawan kekeringan di Indonesia. Pemerintah daerah sebaiknya:

  • Mendorong pembangunan bak penampung air hujan skala rumah tangga dengan insentif atau subsidi.
  • Mengintegrasikan program edukasi tentang pentingnya pemeliharaan sistem pemanenan air hujan dan filtrasi sederhana.
  • Mengembangkan sistem kolektif (komunal) di lingkungan padat penduduk, sehingga air hujan yang ditampung bisa dibagi secara adil antar warga.
  • Melakukan penelitian lanjutan tentang kualitas air hujan dan pengembangan teknologi filtrasi murah berbasis bahan lokal.

Relevansi dengan Tren Industri dan Urbanisasi

Pemanfaatan air hujan kini menjadi bagian dari strategi green building dan sustainable living di sektor properti. Banyak pengembang perumahan mulai memasukkan sistem penampungan air hujan sebagai selling point hunian ramah lingkungan. Selain itu, teknologi smart water management dan Internet of Things (IoT) mulai diintegrasikan untuk memantau volume air, kualitas, dan pemeliharaan sistem penampungan secara otomatis.

Dengan perubahan iklim yang semakin nyata, inovasi lokal seperti pemanenan air hujan akan menjadi kunci ketahanan air di masa depan, tidak hanya di Sumbawa, tetapi juga di seluruh Indonesia.

Kesimpulan: Pemanenan Air Hujan, Solusi Sederhana untuk Tantangan Kompleks

Penelitian ini membuktikan bahwa pemanenan air hujan melalui atap rumah adalah solusi praktis, murah, dan berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan air bersih di wilayah pesisir seperti Dusun Padak, Sumbawa. Dengan desain sistem yang tepat, edukasi masyarakat, dan dukungan kebijakan, air hujan dapat menjadi sumber air utama, mengurangi ketergantungan pada air tanah dan PDAM, serta mendukung konservasi lingkungan.

Namun, keberhasilan implementasi sangat bergantung pada kapasitas penampungan, distribusi curah hujan, dan kualitas air. Kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat sangat penting untuk memperluas cakupan dan manfaat sistem ini.

Sumber Artikel (Bahasa Asli):

Suparman Ajis, Adi Mawardin. "Analisis Pemanenan Air Hujan Dengan Memanfaatkan Atap Dalam Memenuhi Kebutuhan Air Bersih." Journal of Applied Civil Engineering and Infrastructure Technology (JACEIT), Vol. 5 No. 2 (2024), hlm. 95–98.