Kontruksi Jalan
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 Mei 2025
Pentingnya Kompetensi dalam Proyek Konstruksi Jalan
Dalam dunia konstruksi, khususnya proyek jalan raya, kualitas tidak hanya ditentukan oleh bahan bangunan atau teknologi semata, tetapi juga oleh manusia di balik pengerjaan proyek. Manajer lapangan memegang peran krusial dalam menjamin proyek berjalan sesuai rencana dan bebas dari kegagalan. Namun, sayangnya, banyak proyek yang mengalami keterlambatan, pembengkakan biaya, bahkan kegagalan teknis karena kurangnya kompetensi pada level manajerial.
Paper karya Wahyudi P. Rahadi dkk., yang dipublikasikan dalam MATEC Web of Conferences pada ajang ICDM 2018, mengangkat urgensi pelatihan kompetensi bagi manajer lapangan di proyek jalan. Melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif, penulis menyusun daftar prioritas topik pelatihan yang dinilai paling berdampak dalam mencegah kegagalan konstruksi. Artikel ini akan membedah temuan tersebut, membandingkannya dengan praktik industri, serta menawarkan opini dan nilai tambah untuk pembaca yang ingin memahami bagaimana pelatihan bisa menjadi senjata utama mencegah kerugian besar dalam proyek jalan.
Latar Belakang: Kenapa Proyek Jalan Rentan Gagal?
Indonesia menghadapi tantangan besar dalam sektor konstruksi jalan. Menurut data BPS, hanya 61% dari total jaringan jalan nasional dalam kondisi baik pada tahun 2017. Sisanya rusak ringan hingga berat, sering kali disebabkan oleh kesalahan teknis, spesifikasi tak terpenuhi, hingga lemahnya pengawasan.
Faktor manusia, terutama kemampuan manajerial di lapangan, menjadi penyumbang utama. Para manajer lapangan sering kali dipromosikan karena pengalaman, bukan karena pelatihan formal atau sertifikasi teknis. Di sinilah urgensi pelatihan kompetensi menjadi penting—tidak hanya sekadar formalitas, tetapi sebagai alat mitigasi risiko proyek.
Metodologi Penelitian: Gabungan Survei dan Analytical Hierarchy Process (AHP)
Rahadi dan tim menggunakan pendekatan AHP (Analytical Hierarchy Process) untuk menyusun prioritas topik pelatihan. Sebanyak 30 narasumber dari berbagai latar belakang—kontraktor, konsultan, akademisi, dan pemilik proyek—dilibatkan dalam proses penilaian. Mereka diminta untuk mengevaluasi topik pelatihan berdasarkan tiga kriteria utama:
Proses ini menghasilkan urutan prioritas pelatihan berdasarkan bobot komparatif. Hasilnya cukup mengejutkan dan memberikan arah strategis baru bagi industri konstruksi jalan.
Topik Pelatihan Prioritas Tinggi: Fokus pada Teknis & Supervisi
Dari total topik yang disusun, tiga yang paling diprioritaskan adalah:
1. Manajemen Mutu Konstruksi (Construction Quality Management)
Topik ini menempati posisi tertinggi karena berkaitan langsung dengan hasil akhir proyek. Kegagalan banyak terjadi karena kurangnya kontrol mutu, tidak sesuai spesifikasi, atau lemahnya pengujian.
2. Pemeriksaan Kualitas Material di Lapangan (On-Site Material Inspection)
Banyak kerusakan jalan terjadi akibat material di bawah standar. Pelatihan ini membantu manajer memahami karakteristik material seperti agregat, aspal, dan stabilisasi tanah.
3. Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
K3 tidak hanya mencegah kecelakaan kerja, tetapi juga menjamin proses berjalan tanpa gangguan. Kecelakaan yang mengakibatkan penghentian proyek dapat berdampak langsung pada kualitas dan waktu penyelesaian.
Kritik terhadap Temuan: Di Mana Pelatihan Soft Skill?
Menariknya, pelatihan soft skill seperti komunikasi tim, negosiasi, atau kepemimpinan berada pada prioritas menengah hingga rendah. Hal ini patut dikritisi. Di lapangan, kegagalan komunikasi antara kontraktor, subkontraktor, dan pemilik proyek sering menyebabkan miskomunikasi spesifikasi atau jadwal. Dalam konteks ini, pelatihan seperti “manajemen konflik” atau “koordinasi antar-pihak” justru memiliki nilai strategis yang tinggi.
Kemungkinan bias terjadi karena mayoritas responden berasal dari latar teknis, yang cenderung menilai tinggi pelatihan teknis dibandingkan interpersonal. Penelitian lanjutan seharusnya mempertimbangkan pandangan psikolog industri atau praktisi HRD proyek konstruksi.
Studi Kasus: Jalan Nasional di Jawa Tengah
Salah satu contoh nyata terjadi pada proyek perbaikan Jalan Nasional Semarang–Surakarta tahun 2016, yang mengalami kerusakan kembali hanya enam bulan pasca selesai. Audit menunjukkan bahwa penyebab utamanya adalah kualitas material agregat di bawah standar dan ketidaksesuaian campuran aspal. Jika manajer lapangan saat itu memiliki kompetensi kuat dalam pengawasan material, kerugian negara miliaran rupiah bisa dihindari.
Nilai Tambah: Integrasi Pelatihan dengan Sertifikasi
Salah satu implikasi praktis dari studi ini adalah pentingnya mengintegrasikan pelatihan kompetensi ke dalam skema sertifikasi resmi. LPJK (Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi) bisa menggunakan hasil studi ini untuk menyusun modul pelatihan yang wajib diikuti sebelum manajer lapangan menerima Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK).
Lebih lanjut, perusahaan konstruksi bisa menyusun KPI (Key Performance Indicators) berbasis kompetensi. Misalnya, manajer lapangan yang telah mengikuti pelatihan “Manajemen Mutu” harus mampu menunjukkan penurunan rasio cacat proyek minimal 30% dalam satu tahun.
Kaitkan dengan Tren Industri: Digitalisasi dan Pelatihan Berbasis Teknologi
Di tengah gelombang transformasi digital, industri konstruksi mulai memanfaatkan Building Information Modeling (BIM), Internet of Things (IoT), hingga drone untuk pengawasan proyek. Maka dari itu, topik pelatihan baru seperti “Pemanfaatan Teknologi Digital untuk Pengawasan Jalan” seharusnya mulai dimasukkan dalam daftar prioritas pelatihan masa depan.
Perusahaan seperti PT Waskita Karya bahkan sudah mulai menggunakan dashboard digital untuk memantau progres proyek. Maka kompetensi manajer lapangan juga harus naik kelas—tidak hanya mampu memeriksa material secara manual, tapi juga mengoperasikan perangkat pemantauan digital.
Kesimpulan: Investasi Pelatihan Adalah Investasi untuk Mencegah Kegagalan
Artikel ini memberikan kontribusi penting dalam perencanaan pelatihan tenaga kerja konstruksi, khususnya manajer lapangan. Dengan pendekatan sistematis menggunakan AHP, penulis berhasil memetakan topik-topik pelatihan yang memiliki dampak langsung terhadap pengurangan risiko kegagalan proyek jalan.
Namun untuk menjawab tantangan industri masa depan, pelatihan harus terus dievaluasi, diperluas cakupannya, dan diintegrasikan dengan sertifikasi serta teknologi. Pelatihan bukan sekadar formalitas, tapi strategi utama dalam menjaga mutu, keselamatan, dan keberlanjutan proyek konstruksi jalan di Indonesia.
Referensi:
Rahadi, W. P., Huda, M. K., Arifianto, E., & Azis, N. (2018). Priority Setting for Competency Development Training Topics for Road Construction Site Managers to Reduce the Risk of Construction Failure. MATEC Web of Conferences, 229, 01003. DOI: https://doi.org/10.1051/matecconf/201822901003
Kontruksi Jalan
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 26 Mei 2025
Pendahuluan: Infrastruktur Jalan dan Tantangan Global
Pembangunan infrastruktur jalan adalah tulang punggung pertumbuhan ekonomi di banyak negara berkembang, termasuk Ghana. Di Ghana, 95% transportasi bergantung pada jaringan jalan (Ministry of Roads, 2017). Namun, meskipun menjadi sektor vital, proyek-proyek jalan di negara ini sering kali gagal memenuhi harapan baik dari sisi biaya, waktu penyelesaian, maupun ruang lingkup pengerjaan. Studi yang dilakukan oleh Bernice Darffour Abankwah (2020) menyoroti isu ini dengan mendalam.
Metodologi dan Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berbasis paradigma konstruktivisme sosial melalui wawancara dengan para pemangku kepentingan proyek, termasuk pejabat Ghana Highway Authority, kontraktor, dan manajer proyek. Fokus utama adalah mengidentifikasi determinan kegagalan proyek jalan dalam tiga dimensi utama: biaya, waktu, dan lingkup (iron triangle).
Dimensi Biaya: Ketidakstabilan Ekonomi dan Kurangnya Keterampilan
Faktor Penyebab:
Studi Kasus:
Salah satu proyek jalan yang awalnya dianggarkan sebesar GH₵73 juta akhirnya membengkak menjadi GH₵100 juta, menunjukkan kenaikan lebih dari 35%. Kelemahan dalam estimasi awal dan perubahan harga material menjadi penyebab utamanya.
Analisis Tambahan:
Faktor biaya menunjukkan kelemahan dalam penganggaran berbasis risiko. Dalam praktik global, seperti yang dikemukakan Flyvbjerg et al. (2003), proyek konstruksi di negara berkembang cenderung mengalami pembengkakan biaya hingga 60% akibat proyeksi yang terlalu optimis.
Dimensi Waktu: Hambatan Finansial dan Kondisi Lingkungan
Faktor Penyebab:
Studi Kasus:
Dalam proyek jalan utama di Ghana Utara, keterlambatan pendanaan menyebabkan proyek mundur hingga 17 bulan dari jadwal awal. Hal ini tidak hanya menambah biaya, tetapi juga menghambat mobilitas masyarakat setempat.
Analisis Tambahan:
Dalam konteks Afrika, keterlambatan proyek sering kali terkait dengan struktur keuangan publik yang tidak fleksibel. Dalam laporan World Bank (2015), disebutkan bahwa rata-rata proyek infrastruktur di Afrika Sub-Sahara mengalami keterlambatan hingga 24 bulan.
Dimensi Lingkup: Intervensi Politik dan Perencanaan Buruk
Faktor Penyebab:
Studi Kasus:
Proyek jalan di wilayah Volta mengalami tiga kali perubahan desain akibat tekanan dari politisi lokal yang menginginkan penyesuaian demi kepentingan elektoral. Akibatnya, tim proyek harus merombak ulang rencana kerja, mengakibatkan penundaan dan pembengkakan anggaran.
Analisis Tambahan:
Perubahan lingkup tanpa kajian ulang anggaran dan waktu mengakibatkan ketidakseimbangan pada parameter proyek lainnya. Hal ini sesuai dengan teori sistem yang diangkat dalam studi ini—perubahan pada satu komponen akan berdampak pada keseluruhan sistem.
Implikasi Praktis dan Rekomendasi
1. Peningkatan kapasitas manajemen proyek melalui pelatihan berkelanjutan dan sertifikasi profesional.
2. Implementasi sistem estimasi biaya berbasis data historis dan skenario risiko.
3. Transparansi dalam proses pengambilan keputusan, terutama dalam aspek perubahan desain atau lingkup.
4. Pemanfaatan teknologi seperti Project Management Information System (PMIS) untuk pemantauan waktu nyata.
Perbandingan dengan Studi Internasional
Fenomena yang terjadi di Ghana serupa dengan kasus di Nigeria, India, dan Pakistan, di mana proyek infrastruktur besar seperti Ajaokuta Steel Complex (Nigeria) atau proyek-proyek jalan nasional India mengalami nasib serupa akibat faktor politik dan lemahnya sistem kontrol proyek.
Kesimpulan: Membangun Jalan Menuju Keberhasilan Proyek
Kegagalan proyek konstruksi jalan di Ghana bukan hanya soal anggaran atau cuaca buruk. Ia adalah akumulasi dari lemahnya manajemen risiko, intervensi politik, hingga kurangnya integrasi sistemik antar pihak. Studi ini memberi kontribusi nyata dengan tidak hanya mengidentifikasi masalah, tetapi juga menyarankan solusi berbasis praktik terbaik dan teknologi. Jika rekomendasi ini diadopsi secara menyeluruh, bukan tidak mungkin proyek-proyek masa depan di Ghana akan menjadi model keberhasilan infrastruktur di Afrika.
Sumber:
Abankwah, B. D. (2020). Project Failure in the Road Construction Industry of Ghana. University of Cape Coast. Diakses melalui https://ir.ucc.edu.gh/xmlui
Kontruksi Jalan
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 22 Mei 2025
Mengapa Produktivitas Tenaga Kerja Jadi Isu Strategis di Sektor Konstruksi?
Di tengah ambisi besar pembangunan infrastruktur nasional, produktivitas tenaga kerja menjadi indikator vital bagi keberhasilan proyek konstruksi, terutama proyek jalan yang tersebar dari Aceh hingga Papua. Dengan lebih dari 200 Proyek Strategis Nasional (PSN) yang dicanangkan pemerintah sejak Perpres No. 109 Tahun 2020, efisiensi dan efektivitas kerja lapangan menjadi kebutuhan mutlak.
Artikel ini memaparkan hasil penelitian komprehensif oleh Rusdi U. Latief dan tim dari Universitas Hasanuddin, yang mengidentifikasi dan memodelkan hubungan antara berbagai faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga kerja di proyek konstruksi jalan di Indonesia dengan menggunakan pendekatan Structural Equation Modeling (SEM) berbasis SmartPLS.
Metodologi: 200 Responden, 3 Kawasan, dan Analisis Statistik yang Kuat
Penelitian ini mengumpulkan data dari 200 responden yang tersebar di tiga wilayah berdasarkan pembagian Kementerian PUPR:
Data dikumpulkan menggunakan kuesioner berbasis skala Likert dan dianalisis dengan SmartPLS untuk mengukur hubungan antara empat variabel utama:
1. Kondisi Lapangan (Field Conditions)
2. Waktu (Time)
3. Faktor Finansial (Financial)
4. Tenaga Kerja Internal (Internal Labor)
Temuan Kunci: Faktor Internal Pekerja Adalah Penentu Tertinggi
1. Pengaruh Tenaga Kerja Internal
Faktor internal pekerja—yang meliputi pengalaman, keterampilan, motivasi, dan kondisi fisik—terbukti sebagai variabel paling dominan yang memengaruhi produktivitas.
Temuan ini memperkuat literatur terdahulu seperti Soekiman et al. (2011) yang menyatakan bahwa kualitas sumber daya manusia adalah inti dari efisiensi pelaksanaan proyek.
2. Kondisi Lapangan dan Ketersediaan Finansial
Kondisi lapangan seperti cuaca, aksesibilitas, dan topografi berdampak hingga 62,6% pada Wilayah III.
Faktor finansial menjadi penggerak kedua, terutama dalam keberlanjutan pekerjaan dan pembayaran upah secara tepat waktu.
3. Waktu Sebagai Faktor Risiko Operasional
Keterlambatan jadwal atau perencanaan waktu yang tidak realistis menurunkan produktivitas secara signifikan, terutama di Wilayah II dan III.
Model Kuantitatif: Rumus Produktivitas Berdasarkan Kawasan
Peneliti menyusun model matematis berbasis regresi untuk memetakan kontribusi masing-masing faktor:
Wilayah I:
Y = 0.462X₁ + 0.45X₂ + 0.44X₃ + 0.987X₄
Wilayah II:
Y = 0.499X₁ + 0.637X₂ + 0.581X₃ + 0.916X₄
Wilayah III:
Y = 0.626X₁ + 0.534X₂ + 0.643X₃ + 0.912X₄
Ket:
Studi Lapangan: Karakteristik Responden dan Relevansi Praktis
Mayoritas responden memiliki pengalaman 6–10 tahun dan berasal dari berbagai peran profesional seperti supervisor, quality engineer, dan manajemen konstruksi. Hal ini memberikan kredibilitas kuat terhadap keakuratan data karena berasal dari tenaga lapangan aktif.
Fakta Menarik:
Opini & Perbandingan dengan Penelitian Lain
Kelebihan Studi Ini:
Kekurangan:
Perbandingan:
Penelitian ini lebih mendalam dibanding studi seperti Hutasoit (2017) atau Ahn et al. (2014) yang hanya fokus pada satu aspek produktivitas seperti pengukuran waktu atau analisis RII.
Rekomendasi untuk Pemerintah dan Industri
1. Pelatihan Intensif Tenaga Kerja
Program peningkatan kapasitas untuk mengembangkan kompetensi kerja di lapangan harus jadi prioritas.
2. Perbaikan Sistem Insentif dan Upah
Agar motivasi kerja meningkat dan mengurangi turn-over pekerja.
3. Pemanfaatan Teknologi Pemantauan Produktivitas
Seperti BIM atau aplikasi berbasis mobile untuk real-time monitoring.
4. Peningkatan Integrasi Data Lapangan
Pemerintah dan asosiasi profesi bisa membuat sistem data nasional tentang produktivitas tenaga kerja untuk benchmarking proyek.
Kesimpulan: Meningkatkan Produktivitas adalah Investasi Masa Depan
Penelitian ini menegaskan bahwa produktivitas di sektor konstruksi jalan Indonesia tidak hanya bergantung pada alat berat atau dana proyek, tetapi lebih dari itu, pada kualitas manusia di balik pelaksanaannya. Fokus pada faktor internal pekerja, pengelolaan waktu, dan penguatan sistem logistik lapangan adalah kunci mencapai efisiensi yang lebih baik.
Sumber:
Latief, R. U., Anditiaman, N. M., Rahim, I. R., Arifuddin, R., & Tumpu, M. (2023). Labor Productivity Study in Construction Projects Viewed from Influence Factors. Civil Engineering Journal, Vol. 9, No. 3.
DOI: https://doi.org/10.28991/CEJ-2023-09-03-07
Kontruksi Jalan
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 19 Mei 2025
Pendahuluan: Jalan Rusak, Masalah Kualitas yang Sistemik
Infrastruktur jalan di Indonesia bukan hanya menjadi urat nadi mobilitas, tapi juga cerminan kematangan manajemen konstruksi nasional. Namun, realitas menunjukkan banyak proyek jalan yang tidak mencapai standar mutu. Dalam konteks ini, penelitian Febriane dkk. menghadirkan kontribusi penting untuk mengidentifikasi penyebab serta menawarkan solusi terhadap rendahnya mutu proyek jalan raya, khususnya di Indonesia. Dengan fokus pada proyek Manado Outer Ring Road (MOR) III, paper ini menjadi potret komprehensif bagaimana tiga aktor utama—pemerintah, kontraktor, dan konsultan pengawas—berinteraksi dalam proses mutu.
Metodologi Penelitian: Gabungan Delphi dan Focus Group
Penelitian ini menggabungkan pendekatan kualitatif dan kuantitatif melalui wawancara awal, dua putaran survei Delphi, serta wawancara kelompok terfokus. Tiga kelompok responden utama dilibatkan: perwakilan pemerintah (NRIA), konsultan pengawas, dan kontraktor proyek MOR III. Studi ini bertujuan menjawab tiga pertanyaan utama:
Bagaimana proses manajemen mutu saat ini dijalankan?
Apa tantangan kritis yang dihadapi dalam implementasinya?
Bagaimana solusi terbaik untuk mengatasi kendala tersebut?
Dengan nilai proyek mencapai Rp60 miliar, studi kasus MOR III menjadi representasi konkret dari persoalan nyata di lapangan.
Faktor Kunci yang Memengaruhi Kualitas Proyek Jalan
1. Dokumentasi Standar Kualitas yang Tidak Lengkap
Salah satu akar masalah utama adalah dokumen kualitas yang tidak memadai, termasuk form permintaan pekerjaan konstruksi dan checklist pengawasan. Kondisi ini menghambat proses awal proyek, menyebabkan ketidakjelasan standar, dan memperpanjang waktu pelaksanaan.
Analisis Tambahan: Masalah dokumentasi ini juga umum ditemukan dalam proyek skala kecil-menengah, terutama di daerah dengan kapasitas manajerial terbatas. Dalam era digital, penerapan e-QMS bisa menjadi solusi yang layak diterapkan secara bertahap.
2. Kompetensi Tim Proyek
Banyak proyek melibatkan tenaga kerja dan tim yang belum cukup berpengalaman, terutama pada pihak kontraktor dan konsultan. Ketidakhadiran tenaga ahli dalam rapat prapelaksanaan memperburuk komunikasi dan pengambilan keputusan teknis.
Opini: Ini menunjukkan perlunya standarisasi kompetensi minimal dan sertifikasi profesi teknis yang lebih ketat dalam pengadaan jasa konstruksi pemerintah.
3. Keterlibatan Stakeholder yang Tidak Merata
Konsultan pengawas kerap diperintahkan oleh pemilik proyek untuk bekerja tanpa kelengkapan dokumen, menyebabkan kebingungan dalam eksekusi. Selain itu, kurangnya independensi konsultan dalam mengawasi proyek milik pemerintah menjadi isu krusial.
Perbandingan: Di negara maju seperti Jepang, konsultan bersifat independen dan memiliki otoritas penuh dalam sistem audit mutu proyek, mencegah konflik kepentingan.
Kendala Sistemik dalam Proyek Jalan di Indonesia
A. Ketimpangan Kapasitas antara Kontraktor Besar dan Kecil
Distribusi proyek nasional kepada kontraktor kecil-menengah sebagai bagian dari pelatihan kerja justru menyumbang pada ketimpangan mutu. Kontraktor besar memiliki sistem manajemen mutu dan sumber daya yang matang, sementara yang kecil masih tertatih memahami dasar-dasar QMS.
B. Politik dan Nepotisme
Pengaruh politik dalam penunjukan kontraktor menurunkan objektivitas pemilihan dan membuka peluang bagi penyedia jasa yang tidak kompeten untuk terlibat dalam proyek bernilai besar.
C. Kurangnya Sistem Monitoring dan Evaluasi
Minimnya penerapan SOP dan pemeriksaan mutual checks (MC-0) pada fase awal konstruksi menghambat pengukuran kualitas secara konsisten.
Rekomendasi dan Strategi Solutif
1. Kewajiban Sertifikasi dan Audit Internal
Perlu diterapkan kewajiban memiliki sertifikasi ISO 9001 bagi semua kontraktor, terutama yang menangani proyek jalan nasional. Selain itu, perlu dibuat sistem audit internal bersama antara pemilik proyek, konsultan, dan kontraktor.
2. Digitalisasi Proses Mutu
Penggunaan sistem digital (misalnya Building Information Modeling dan e-QMS) bisa mempermudah pengumpulan dan evaluasi dokumen mutu. Sistem ini juga meningkatkan transparansi proses antara pihak-pihak yang terlibat.
3. Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan
Pelatihan berkala mengenai proses mutu dan manajemen proyek sangat dibutuhkan, terutama bagi kontraktor kecil. Pemerintah dapat menjadikan hasil riset ini sebagai modul pelatihan dalam coaching clinic proyek strategis nasional.
Studi Kasus Tambahan: Proyek yang Gagal karena Lemahnya Sistem Mutu
Beberapa kecelakaan konstruksi besar seperti ambruknya LRT Jakarta (2018) dan proyek tol Bekasi–Cawang (2018) mencerminkan lemahnya sistem manajemen mutu dan keselamatan. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan bukan sekadar teknis, melainkan sistemik dan manajerial.
Kesimpulan: Menuju Budaya Mutu di Industri Konstruksi Indonesia
Penelitian ini memperlihatkan bahwa kualitas proyek jalan di Indonesia bukan hanya ditentukan oleh kecanggihan alat atau material, melainkan juga oleh interaksi manusia dan sistem dokumentasi yang baik. Dengan pendekatan berbasis data, riset ini menjadi rujukan penting untuk perumusan kebijakan, pelatihan praktisi, hingga standar pemilihan kontraktor.
Membangun budaya mutu tidak bisa instan. Perlu sinergi antara pemerintah sebagai pemilik proyek, kontraktor sebagai pelaksana, dan konsultan sebagai pengawas independen. Kesadaran kolektif ini menjadi kunci utama dalam membenahi wajah infrastruktur nasional menuju pembangunan berkelanjutan.
Sumber Artikel:
Febriane, D., Huda, N., & Widiyanto, A. (2024). Management of Road Construction Projects. The TQM Journal. https://doi.org/10.1108/TQM-04-2022-0132