Konstruksi
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 12 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Penelitian ini berakar pada sebuah persimpangan krusial yang dihadapi oleh PT Hutama Karya Infrastruktur (HKI), anak perusahaan BUMN di sektor konstruksi jalan tol. Di satu sisi, HKI tengah mengalami ekspansi peran strategis yang signifikan, terlibat dalam proyek-proyek kompleks seperti Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dan merambah pasar di luar proyek penugasan Jalan Tol Trans Sumatra (JTTS). Di sisi lain, ekspansi ini dihadapkan pada tuntutan digitalisasi yang tak terelakkan, sejalan dengan arah kebijakan nasional INDI 4.0 dan tren global Industri 4.0.
Masalah inti yang diidentifikasi adalah ketidakmampuan sistem manajemen proses bisnis (BPM) HKI saat ini untuk menopang pertumbuhan dan kompleksitas tersebut. Proses bisnis yang ada dikelola secara manual menggunakan perangkat lunak umum seperti Microsoft Word, Excel, atau Visio. Pendekatan ini terbukti menimbulkan serangkaian inefisiensi kritis: rentan terhadap kesalahan saat pembaruan SOP, sulitnya mengidentifikasi proses yang redundan antar departemen, kesulitan dalam proses audit karena dokumentasi yang tersebar dan tidak konsisten, serta kurangnya standardisasi yang menghambat adaptasi karyawan baru atau yang mengalami mutasi. Dengan demikian, hipotesis yang mendasari studi ini adalah bahwa adopsi alat bantu BPM yang terotomatisasi dan terintegrasi merupakan sebuah keharusan strategis. Tujuan penelitian ini dirumuskan secara jelas: mengidentifikasi kriteria utama untuk memilih alat BPM yang paling sesuai dengan kebutuhan HKI, dan mengevaluasi alternatif yang ada untuk menghasilkan sebuah usulan yang berbasis bukti.
Metodologi dan Kebaruan
Untuk menjawab tantangan tersebut, penulis mengadopsi metodologi penelitian campuran (mixed-methods) yang menggabungkan kedalaman analisis kualitatif dengan objektivitas kuantitatif.
Pada fase kualitatif, identifikasi masalah diawali dengan analisis kesenjangan, pemetaan business model canvas, dan studi literatur. Langkah krusial berikutnya adalah penentuan kriteria pemilihan alat BPM, yang digali melalui wawancara semi-terstruktur dengan para pemangku kepentingan kunci dari departemen Sistem & TI. Pendekatan value-focused thinking digunakan untuk memastikan bahwa kriteria yang muncul benar-benar merefleksikan nilai dan prioritas organisasi. Transkrip wawancara kemudian dianalisis secara sistematis menggunakan metode analisis konten dengan bantuan perangkat lunak Atlas.ti.
Pada fase kuantitatif, evaluasi terhadap empat alternatif alat BPM—ARIS Express, EA Sparx, SAP Signavio, dan Bizagi—dilakukan menggunakan metode Simple Multi-Attribute Rating Technique (SMART). Proses pembobotan dan penilaian kriteria ini dilaksanakan melalui
Focus Group Discussion (FGD) yang melibatkan para kepala departemen inti dan pendukung, memastikan bahwa keputusan akhir mencerminkan konsensus dari level manajerial.
Kebaruan dari penelitian ini terletak pada aplikasi metodis dari kerangka kerja pengambilan keputusan multikriteria (Multi-Criteria Decision-Making - MCDM) pada sebuah studi kasus nyata di BUMN sektor konstruksi Indonesia. Alih-alih hanya memberikan rekomendasi umum, karya ini menyajikan sebuah proses yang transparan, dapat direplikasi, dan berbasis data untuk memandu sebuah keputusan investasi teknologi yang strategis.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis data yang cermat menghasilkan temuan yang jelas dan dapat ditindaklanjuti.
Pertama, dari fase kualitatif, analisis konten terhadap wawancara berhasil menyaring enam kriteria utama yang dianggap paling vital oleh para pemangku kepentingan dalam pemilihan alat BPM. Kriteria tersebut adalah: biaya, integrasi sistem, keamanan sistem, kemudahan penggunaan (UI/UX), kesesuaian fitur, dan dukungan pasca-implementasi. Identifikasi kriteria ini memastikan bahwa evaluasi selanjutnya berakar kuat pada kebutuhan riil organisasi.
Kedua, puncak dari temuan kuantitatif adalah hasil analisis SMART. EA Sparx memperoleh nilai tertinggi secara keseluruhan, menjadikannya alat BPM yang direkomendasikan untuk HKI. Kontekstualisasi temuan ini sangat penting: EA Sparx tidak hanya unggul secara absolut, tetapi juga menawarkan
kombinasi manfaat dan biaya yang paling seimbang di antara keempat alternatif. Kemenangannya diperkuat lebih lanjut oleh hasil analisis sensitivitas yang konsisten, yang menunjukkan bahwa rekomendasi ini tetap kokoh bahkan ketika bobot kriteria diubah. Rekomendasi ini secara langsung menjawab masalah awal; misalnya, kemampuan integrasi EA Sparx akan mengatasi masalah proses yang silo, sementara kemampuannya untuk menghubungkan model proses dengan SOP dapat membantu mengatasi masalah dokumen yang usang (di mana studi menemukan 17% dari 236 SOP perusahaan saat ini sudah kedaluwarsa).
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Penelitian ini secara jujur mengakui batasannya, yaitu hanya berfokus pada pemilihan alat BPM dan tidak mengeksplorasi metode optimisasi proses bisnis lainnya. Sebagai refleksi kritis, perlu dicatat bahwa metode SMART, meskipun terstruktur, sangat bergantung pada input subjektif dari para peserta FGD untuk pembobotan dan penilaian. Validitas hasilnya bergantung pada keahlian dan objektivitas para partisipan. Selain itu, penelitian ini merupakan sebuah
usulan alat, sehingga evaluasi terhadap keberhasilan implementasi aktualnya di HKI secara alami berada di luar cakupan studi ini dan menjadi area untuk penelitian di masa depan.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Implikasi dari penelitian ini bersifat praktis dan akademis. Secara praktis, tesis ini tidak hanya memberikan rekomendasi produk, tetapi juga menyajikan sebuah peta jalan implementasi yang komprehensif. Rekomendasi kunci bagi HKI meliputi: (1) melakukan simulasi proses bisnis menggunakan EA Sparx sesuai siklus hidup BPM, (2) menetapkan tata kelola dan peran yang jelas untuk memastikan akuntabilitas, (3) memanfaatkan EA Sparx sebagai repositori pengetahuan terpusat, (4) menghubungkan model BPM langsung ke SOP untuk meningkatkan ketertelusuran, dan (5) menyediakan pelatihan pengguna yang komprehensif untuk memastikan adopsi yang sukses.
Untuk penelitian di masa depan, penulis menyarankan eksplorasi metode MCDM alternatif seperti AHP untuk memvalidasi hasil, melakukan studi longitudinal pasca-implementasi untuk mengukur kinerja aktual, dan menilai dampak manajemen perubahan organisasi terhadap adopsi alat BPM. Sebagai refleksi akhir, karya ini memberikan kontribusi signifikan dengan menyediakan sebuah kerangka kerja yang solid dan berbasis bukti untuk menavigasi kompleksitas transformasi digital, sebuah panduan yang sangat berharga bagi organisasi lain yang menghadapi tantangan serupa.
Sumber
Astuti, R. D. (2025). Proposed Business Process Management (BPM) Tools for Optimizing Business Process Management at PT Hutama Karya Infrastruktur. Tesis Akhir, Program Magister Administrasi Bisnis, Institut Teknologi Bandung.
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 12 September 2025
Pendahuluan
Industri konstruksi secara perlahan mulai mengadopsi digitalisasi seiring dengan revolusi Industri 4.0. Namun, kemajuan ini berjalan lambat karena adanya kesenjangan keterampilan digital yang signifikan di antara para pemangku kepentingan. Jurnal ini menyoroti permasalahan tersebut dengan mengembangkan taksonomi komprehensif dari 35 keterampilan digital yang esensial untuk keberhasilan digitalisasi. Dengan menganalisis literatur global, penelitian ini memberikan landasan yang kuat bagi akademisi dan praktisi industri untuk merencanakan strategi pengembangan keterampilan yang terfokus, yang sangat dibutuhkan untuk memacu transformasi industri.
Kesenjangan Keterampilan sebagai Hambatan Utama Digitalisasi
Penelitian ini menunjukkan bahwa adopsi teknologi digital dan transisi menuju Industri 4.0 terhambat oleh kurangnya keterampilan, pengetahuan, dan pengalaman yang relevan di kalangan pekerja. Kesenjangan ini bukan hanya masalah kecil, tetapi juga memiliki dampak langsung pada produktivitas dan biaya proyek. Sebagai contoh, ada laporan yang menunjukkan bahwa sekitar
7.5% waktu kerja hilang akibat malfungsi perangkat ICT yang disebabkan oleh kurangnya keterampilan ICT di kalangan pekerja.
Meskipun kesenjangan ini nyata, ada juga tantangan lain, seperti kurangnya kolaborasi antar lembaga penelitian, universitas, dan industri. Hal ini menyebabkan upaya pengembangan keterampilan menjadi terisolasi dan kurang efektif. Selain itu, kurikulum pendidikan saat ini sering kali tidak sejajar dengan kebutuhan keterampilan yang terus berkembang di lapangan, menciptakan ketidaksesuaian antara lulusan baru dan tuntutan pekerjaan.
Taksonomi Keterampilan Digital untuk Industri Konstruksi
Studi ini berhasil menyusun taksonomi yang mengkategorikan 35 keterampilan digital ke dalam beberapa kelompok utama. Taksonomi ini sangat membantu para pemangku kepentingan untuk memiliki pemahaman yang jelas dan terstruktur tentang apa saja yang perlu dipelajari. Kategori-kategori tersebut meliputi:
Otomasi dan Robotika: Keterampilan terkait penggunaan 3D printing, kendaraan otonom, dan drones untuk meningkatkan keselamatan dan efisiensi di lokasi kerja.
Pengodean dan Pemrograman: Kemampuan dalam pengodean dan algoritma yang diperlukan untuk menerapkan teknologi canggih seperti kecerdasan buatan (AI) dan pembelajaran mesin (machine learning).
Pemodelan dan Simulasi: Keterampilan menggunakan perangkat lunak seperti BIM (Building Information Modeling) untuk desain, pemodelan, dan simulasi, yang merupakan salah satu keterampilan digital yang paling menonjol dan penting.
Akuisisi dan Integrasi Data Digital: Keterampilan menggunakan IoT, sensor pintar, dan teknologi wearable untuk mengumpulkan dan mengintegrasikan data penting di lokasi proyek.
Perencanaan dan Estimasi: Keterampilan menggunakan perangkat lunak perencanaan dan estimasi canggih seperti Navisworks dan Primavera untuk meningkatkan produktivitas.
Rekomendasi Kebijakan Publik
Pengembangan Kurikulum Berbasis Taksonomi Keterampilan Digital: Pemerintah, melalui kementerian terkait, harus mendorong institusi pendidikan tinggi untuk merevisi kurikulum mereka agar sesuai dengan taksonomi keterampilan digital ini. Kolaborasi dengan asosiasi industri harus menjadi bagian dari proses ini untuk memastikan kurikulum relevan dengan kebutuhan pasar kerja.
Pelatihan dan Sertifikasi Berkelanjutan: Perusahaan harus diwajibkan atau didorong melalui insentif kebijakan untuk menyediakan pengembangan profesional berkelanjutan bagi karyawannya. Ini akan membantu menutup kesenjangan keterampilan yang terus berkembang dan memastikan tenaga kerja tetap kompetitif.
Kesimpulan
Taksonomi keterampilan digital yang disajikan dalam penelitian ini adalah alat praktis yang sangat dibutuhkan untuk memandu industri konstruksi menuju era digital. Kesenjangan keterampilan adalah tantangan nyata yang memerlukan respons terpadu dari semua pemangku kepentingan. Dengan mengimplementasikan rekomendasi kebijakan ini, Indonesia dapat membangun fondasi yang kuat untuk transformasi digital yang berhasil, yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas, mengurangi biaya, dan mempromosikan keberlanjutan di sektor konstruksi.
Sumber
Siddiqui, F.H.; Thaheem, M.J.; Abdekhodaee, A. A Review of the Digital Skills Needed in the Construction Industry: Towards a Taxonomy of Skills.
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 12 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Karya Ahmed Farouk Kineber dkk. yang berjudul, "Revolutionizing Construction: A Cutting-edge Decision-making Model for Artificial Intelligence Implementation in Sustainable Building Projects," menyoroti sebuah paradoks sentral dalam industri arsitektur, rekayasa, konstruksi, dan operasi (AECO). Di satu sisi, sektor ini merupakan pilar fundamental ekonomi global; di sisi lain, ia juga menjadi kontributor signifikan terhadap konsumsi energi dan emisi gas rumah kaca, sambil berjuang melawan stagnasi produktivitas yang telah berlangsung selama beberapa dekade. Penelitian ini secara tajam mengidentifikasi lambatnya adopsi teknologi baru, khususnya Kecerdasan Buatan (AI), sebagai salah satu akar masalah, terutama di negara-negara berkembang seperti Nigeria, di mana metode konstruksi tradisional masih mendominasi.
Kerangka teoretis yang dibangun oleh penulis memposisikan AI bukan sebagai ancaman terhadap tenaga kerja, melainkan sebagai teknologi komplementer yang strategis. AI dipandang mampu mentransformasi industri dengan meningkatkan efisiensi proyek, mengurangi pemborosan, mengoptimalkan alokasi sumber daya, dan secara signifikan meningkatkan standar kesehatan serta keselamatan kerja. Dengan latar belakang ini, studi ini merumuskan dua pertanyaan penelitian yang esensial: (1) Sejauh mana AI dapat membantu sektor konstruksi modern di Nigeria? dan (2) Apa saja kondisi dan pendorong krusial untuk integrasi AI yang efektif di industri konstruksi? Hipotesis utama yang diajukan adalah bahwa terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara faktor-faktor pendorong implementasi AI dengan tingkat adopsi AI itu sendiri di dalam industri.
Metodologi dan Kebaruan
Untuk menguji hipotesisnya, penelitian ini mengadopsi metodologi kuantitatif yang canggih dan berlapis. Pengumpulan data primer dilakukan melalui survei terstruktur yang disebarkan kepada 150 pemangku kepentingan yang relevan di sektor konstruksi bangunan di Lagos, Nigeria, dengan tingkat respons yang valid mencapai 66,96%. Responden, yang terdiri dari arsitek,
quantity surveyor, pembangun, dan insinyur, memberikan penilaian mereka terhadap berbagai pendorong dan manfaat adopsi AI menggunakan skala Likert lima poin.
Analisis data dilakukan dalam dua tahap utama. Pertama, Exploratory Factor Analysis (EFA) digunakan untuk mereduksi sejumlah besar variabel pendorong dan manfaat menjadi beberapa konstruk laten yang lebih ringkas dan bermakna secara teoretis. Kedua, model hubungan antar konstruk ini diuji menggunakan
Partial Least Squares Structural Equation Modeling (PLS-SEM), sebuah teknik statistik yang kuat untuk menganalisis hubungan sebab-akibat yang kompleks antar variabel, bahkan dengan ukuran sampel yang relatif kecil.
Kebaruan dari penelitian ini terletak pada aplikasinya yang spesifik dan penggunaan metodologi yang canggih. Alih-alih hanya melakukan tinjauan literatur atau analisis regresi sederhana, studi ini membangun dan memvalidasi sebuah model pengambilan keputusan empiris dalam konteks negara berkembang. Dengan demikian, karya ini memberikan sebuah kerangka kerja yang dapat diukur dan direplikasi untuk memahami dinamika adopsi teknologi di lingkungan yang penuh tantangan.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis data menghasilkan serangkaian temuan kuantitatif yang memberikan wawasan mendalam.
Pertama, melalui EFA, 15 variabel pendorong adopsi AI berhasil dikelompokkan menjadi tiga konstruk utama yang secara kolektif menjelaskan 52,86% dari total varians. Ketiga pendorong ini adalah:
Teknologi (Technology): Mencakup aspek-aspek seperti ketersediaan perangkat dan keamanan siber.
Kemajuan (Advancement): Terkait dengan kemajuan pesat teknologi dan investasi dari para pemain besar di industri.
Pengetahuan (Knowledge): Meliputi peran AI dalam mengatasi tantangan informasi dan meningkatkan pengalaman klien.
Selanjutnya, 16 variabel manfaat adopsi AI juga berhasil dikelompokkan menjadi dua faktor utama yang menjelaskan 50,37% dari total varians: (1) Percepatan Penyelesaian Proyek dan (2) Peningkatan Kesehatan dan Keselamatan.
Puncak dari temuan ini adalah hasil dari model PLS-SEM, yang secara definitif mengonfirmasi hipotesis penelitian. Ditemukan bahwa ketiga konstruk pendorong (Teknologi, Kemajuan, dan Pengetahuan) secara kolektif memiliki pengaruh positif dan signifikan secara statistik terhadap implementasi AI di industri konstruksi. Secara deskriptif, penelitian menunjukkan bahwa ketiga pendorong ini berkontribusi sekitar 15% terhadap variasi dalam adopsi AI yang teramati. Di antara ketiganya, faktor "Teknologi" terbukti menjadi komponen dengan pengaruh terbesar. Temuan ini mengontekstualisasikan bahwa, meskipun pengetahuan dan kemajuan industri penting, ketersediaan dan keamanan perangkat teknologi itu sendiri merupakan prasyarat paling fundamental untuk mendorong adopsi AI di lapangan.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Penulis secara jujur mengakui beberapa keterbatasan dalam studi mereka. Ruang lingkup penelitian yang terbatas pada Lagos State, Nigeria, membuat generalisasi temuan ke wilayah lain harus dilakukan dengan hati-hati. Selain itu, studi ini tidak memasukkan pengaruh faktor budaya dalam industri konstruksi, yang sering kali menjadi penghalang signifikan terhadap adopsi teknologi baru.
Sebagai refleksi kritis, perlu dicatat bahwa meskipun model yang diajukan signifikan secara statistik, kemampuannya untuk menjelaskan variasi adopsi AI (R² = 15%) menunjukkan bahwa 85% dari faktor yang mempengaruhi adopsi AI berasal dari variabel lain yang tidak diteliti dalam model ini. Faktor-faktor seperti biaya implementasi, ketersediaan tenaga kerja terampil, resistensi terhadap perubahan, dan kebijakan pemerintah kemungkinan besar memainkan peran yang jauh lebih besar. Dengan demikian, model ini lebih tepat dilihat sebagai langkah awal yang penting, bukan sebagai penjelasan yang komprehensif.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Terlepas dari keterbatasannya, implikasi praktis dari temuan ini sangat luas. Bagi para pembuat kebijakan, penelitian ini memberikan dasar empiris untuk merancang strategi dan insentif yang mendorong adopsi AI yang etis dan efektif. Bagi para insinyur dan pemangku kepentingan proyek, model ini menawarkan wawasan berharga untuk menyusun argumen bisnis yang kuat dalam memanfaatkan potensi AI untuk meningkatkan keberlanjutan, efisiensi, dan keselamatan proyek.
Penelitian di masa depan harus diarahkan untuk memperluas model ini dengan memasukkan variabel-variabel penghambat (seperti biaya dan resistensi budaya) untuk menciptakan kerangka pengambilan keputusan yang lebih holistik. Melakukan studi komparatif di negara-negara berkembang lainnya juga akan sangat berharga untuk menguji validitas model ini di berbagai konteks. Sebagai refleksi akhir, karya Kineber dkk. ini memberikan kontribusi penting dengan menggeser diskusi tentang AI di bidang konstruksi dari ranah konseptual ke validasi empiris, sebuah langkah yang sangat dibutuhkan untuk mendorong transformasi nyata di salah satu industri terpenting di dunia.
Sumber
Kineber, A. F., Elshaboury, N., Oke, A. E., Aliu, J., Abunada, Z., & Alhusban, M. (2024). Revolutionizing construction: A cutting-edge decision-making model for artificial intelligence implementation in sustainable building projects. Heliyon, 10(2024), e37078. https://doi.org/10.1016/j.heliyon.2024.e37078
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 12 September 2025
Latar Belakang Teoretis
Industri konstruksi, sebuah pilar fundamental dalam pembangunan peradaban, secara paradoksal menghadapi tantangan produktivitas yang stagnan sejak pertengahan abad ke-20. Di tengah kemajuan teknologi yang pesat di sektor lain, konstruksi masih berjuang dengan inefisiensi, pemborosan, dan keterlambatan. Menjawab tantangan ini, karya Lesly Velezmoro-Abanto dkk. menyajikan sebuah tinjauan literatur sistematis yang mengeksplorasi konvergensi dua paradigma transformatif:
Lean Construction (LC) dan Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence - AI). Paper ini dibangun di atas premis bahwa sinergi antara filosofi efisiensi LC dan kapabilitas analitik AI dapat menjadi katalisator untuk revolusi yang telah lama dinantikan dalam manajemen proyek (Project Management - PM).
Kerangka teoretis yang diusung memposisikan LC sebagai filosofi manajemen yang berfokus pada identifikasi dan eliminasi segala bentuk pemborosan (waste), menjaga alur kerja yang stabil, dan mengelola sumber daya secara optimal untuk menghindari penundaan serta biaya tambahan. Di sisi lain, AI, khususnya sub-bidangnya
Machine Learning (ML), diperkenalkan sebagai seperangkat teknik komputasi yang mampu menganalisis data dalam volume masif, menghasilkan model prediktif untuk mengoptimalkan kinerja, dan belajar secara mandiri dari informasi yang diolahnya. Argumen sentral yang diajukan penulis adalah bahwa kombinasi antara prinsip-prinsip LC dan kekuatan analitik ML bukan lagi sekadar konsep teoretis, melainkan sebuah strategi praktis yang dapat meningkatkan profitabilitas dan efisiensi proyek secara signifikan. Dengan demikian, tujuan utama dari studi ini adalah untuk memetakan secara komprehensif lanskap penelitian yang ada, mengidentifikasi cakupan aplikasi teknik AI dalam metodologi LC, dan bagaimana keduanya dapat merevolusi PM dalam hal efisiensi biaya dan waktu.
Metodologi dan Kebaruan
Untuk mencapai tujuannya, penulis mengadopsi metodologi Tinjauan Literatur Sistematis (Systematic Literature Review - SLR) yang ketat, dengan berpedoman pada protokol PRISMA (Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses). Pendekatan ini memastikan bahwa proses seleksi artikel dilakukan secara transparan, dapat direplikasi, dan berbasis bukti, yang merupakan ciri khas dari penelitian ilmiah tingkat tinggi. Prosesnya melibatkan empat fase penyaringan yang berhasil mereduksi 43.654 artikel awal dari enam basis data terkemuka menjadi 63 artikel final yang paling relevan, berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang ketat, seperti rentang publikasi enam tahun terakhir (2018-2023) dan relevansi dengan topik penelitian.
Sebagai pelengkap, analisis bibliometrik dilakukan menggunakan perangkat lunak VOSviewer untuk memvisualisasikan jaringan dan hubungan antar kata kunci dari artikel-artikel yang terpilih. Analisis ini berhasil mengidentifikasi klaster-klaster penelitian utama, yang menegaskan bahwa
Lean Construction, AI, ML, dan Building Information Modeling (BIM) merupakan episentrum dari diskursus ilmiah di bidang ini.
Kebaruan dari karya ini tidak terletak pada penemuan data empiris baru, melainkan pada kontribusinya sebagai sebuah sintesis yang terstruktur dan komprehensif dari sebuah bidang yang bersifat interdisipliner dan cenderung terfragmentasi. Dengan memetakan secara sistematis titik temu antara LC dan AI, mengidentifikasi alat dan teknik yang paling dominan, serta membingkai manfaatnya dalam sebuah struktur yang koheren, paper ini menyajikan sebuah tinjauan "state-of-the-art" yang sangat berharga bagi akademisi maupun praktisi yang ingin memahami dan menavigasi frontier baru dalam manajemen konstruksi.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis mendalam terhadap 63 artikel terpilih menghasilkan serangkaian temuan yang menjawab tiga pertanyaan penelitian utama yang dirumuskan oleh penulis.
Dominasi Alat Lean Construction (RQ1)
Temuan pertama menegaskan bahwa metodologi LC dan perangkatnya semakin mendapatkan pengakuan dan relevansi dalam praktik umum industri konstruksi. Di antara berbagai alat yang diidentifikasi, dua di antaranya menunjukkan dominasi yang jelas dalam literatur:
Building Information Modeling (BIM) dan Last Planner System (LPS). BIM, sebagai platform untuk menciptakan model bangunan digital yang kaya informasi, berfungsi sebagai fondasi untuk kolaborasi yang lebih baik dan pengurangan kesalahan desain. Sementara itu, LPS adalah sistem kontrol produksi yang berfokus pada perencanaan kolaboratif dan peningkatan keandalan alur kerja di lapangan. Dominasi kedua alat ini mengontekstualisasikan bahwa digitalisasi perencanaan (melalui BIM) dan optimalisasi kontrol produksi kolaboratif (melalui LPS) merupakan dua vektor utama di mana prinsip-prinsip LC saat ini diimplementasikan dan diteliti.
Spektrum Teknik Kecerdasan Buatan (RQ2)
Pada ranah AI, temuan menunjukkan bahwa Machine Learning (ML) adalah sub-bidang yang paling banyak dieksplorasi dalam konteks manajemen proyek konstruksi. Di dalam ML, teknik yang paling sering dipelajari adalah
Artificial Neural Networks (ANN), yang meniru cara kerja otak manusia untuk mengenali pola kompleks dalam data, diikuti oleh Support Vector Machine (SVM), yang efektif untuk tugas klasifikasi dan regresi. Paper ini juga mengidentifikasi berbagai teknik lain seperti
Convolutional Neural Networks (CNN) untuk pemrosesan gambar (computer vision), Decision Trees, dan Random Forest.
Lebih penting lagi, studi ini mengontekstualisasikan bagaimana teknik-teknik ini berintegrasi dengan filosofi LC. Misalnya, ANN digunakan untuk membuat prediksi akurat mengenai jadwal dan biaya, yang secara langsung mendukung prinsip LC dalam mengurangi variabilitas dan ketidakpastian. Demikian pula, teknik computer vision berbasis CNN dapat digunakan untuk pemantauan lokasi proyek secara otomatis, membantu mengidentifikasi pemborosan sumber daya atau praktik kerja yang tidak aman, yang sejalan dengan tujuan eliminasi limbah dalam LC.
Manfaat Sinergistik (RQ3)
Pertanyaan penelitian ketiga mengeksplorasi manfaat dari kombinasi strategi LC dan ML. Temuan menunjukkan bahwa sinergi ini menghasilkan keuntungan yang signifikan, yang oleh penulis diklasifikasikan ke dalam empat kategori utama:
Efisiensi: Meliputi eliminasi limbah konstruksi, optimalisasi proses dan alur kerja, serta peningkatan efisiensi dalam alokasi sumber daya.
Kualitas dan Keselamatan: Dicapai melalui pemantauan jarak jauh secara real-time, peningkatan akurasi pelaporan, dan fokus yang lebih besar pada keselamatan di lokasi kerja.
Optimisasi Jadwal dan Anggaran: Terwujud melalui estimasi jadwal dan biaya yang lebih akurat, serta kemampuan untuk menghasilkan profitabilitas yang lebih tinggi.
Pengurangan Risiko: Diperoleh dari kemampuan untuk mengidentifikasi dan memprediksi potensi risiko, mengurangi masalah tak terduga, dan memfasilitasi pengambilan keputusan yang lebih baik dan berbasis data.
Secara kontekstual, manfaat-manfaat ini secara langsung selaras dengan prinsip-prinsip inti filosofi Lean. Hal ini menunjukkan bahwa AI tidak hanya berfungsi sebagai alat tambahan, tetapi sebagai enabler atau pemungkin yang memperkuat dan mempercepat pencapaian tujuan-tujuan LC, menjadikannya kombinasi yang sangat kuat untuk mencapai kesuksesan proyek.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Penulis secara transparan mengakui beberapa keterbatasan yang melekat dalam penelitian mereka, termasuk ketersediaan dan kualitas data yang digunakan untuk melatih model ML dalam studi-studi yang ditinjau, potensi bias dalam seleksi artikel, kelangkaan riset yang secara spesifik berfokus pada integrasi LC dan ML, serta tantangan resistensi terhadap perubahan di industri konstruksi.
Sebagai refleksi kritis, resensi ini menambahkan beberapa poin. Pertama, tinjauan ini sangat berhasil dalam mengidentifikasi "apa" (alat dan teknik yang digunakan), namun kurang mendalam dalam menganalisis "bagaimana" (mekanisme praktis dan tantangan integrasi di lapangan). Kedua, meskipun manfaat sinergi ini dipaparkan dengan baik, analisis yang lebih kritis mengenai potensi trade-off atau konflik akan memperkaya diskusi. Sebagai contoh, apakah investasi awal yang tinggi untuk implementasi AI bertentangan dengan prinsip reduksi biaya dalam LC, setidaknya dalam jangka pendek? Terakhir, ketergantungan pada analisis bibliometrik, meskipun berguna, berisiko menyederhanakan hubungan yang kompleks antar konsep yang mungkin dapat digali lebih dalam melalui analisis tematik kualitatif.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Sebagai penutup, Velezmoro-Abanto dkk. memberikan rekomendasi yang jelas untuk arah penelitian di masa depan, seperti melakukan studi kasus dan proyek percontohan untuk validasi di dunia nyata, merancang platform spesifik yang mengintegrasikan kedua metodologi, dan mengembangkan analisis biaya-manfaat yang komprehensif.
Implikasi dari temuan ini sangat luas. Penelitian di masa depan harus bergerak melampaui pertanyaan "apa" menuju "bagaimana", dengan fokus pada pengembangan dan pengujian kerangka kerja praktis untuk mengintegrasikan alat LC spesifik dengan teknik AI tertentu (misalnya, kerangka kerja yang menghubungkan data dari LPS dengan model prediksi penundaan berbasis ANN). Selain itu, investigasi terhadap "faktor manusia"—bagaimana pengenalan AI mengubah dinamika tim, proses pengambilan keputusan, dan keterampilan yang dibutuhkan oleh manajer proyek dalam lingkungan Lean—menjadi sangat krusial.
Sebagai refleksi akhir, di tengah meningkatnya kompleksitas proyek, tekanan efisiensi, dan tuntutan keberlanjutan, sinergi antara filosofi eliminasi limbah LC dan kapabilitas optimisasi berbasis data AI bukan lagi sekadar keingintahuan akademis. Ia merupakan jalur kritis menuju masa depan industri konstruksi. Paper ini, meskipun bersifat tinjauan, berhasil menyediakan sebuah peta jalan tingkat tinggi yang sangat berharga untuk menavigasi dan membentuk frontier baru yang menjanjikan ini.
Sumber
Velezmoro-Abanto, L., Cuba-Lagos, R., Taico-Valverde, B., Iparraguirre-Villanueva, O., & Cabanillas-Carbonell, M. (2024). Lean Construction Strategies Supported by Artificial Intelligence Techniques for Construction Project Management-A Review. International Journal of Online and Biomedical Engineering (IJOE), 20(3), 99-114. https://doi.org/10.3991/ijoe.v20i03.46769
Konstruksi
Dipublikasikan oleh pada 11 September 2025
Buruknya Kinerja Proyek Konstruksi: Masalah Lama yang Belum Seles
Dalam beberapa dekade terakhir, dunia konstruksi menyaksikan pertumbuhan pesat dalam hal skala, kompleksitas, dan tuntutan teknis. Namun, satu masalah klasik tak kunjung teratasi: buruknya kinerja proyek, terutama keterlambatan dan pembengkakan biaya. Dalam konteks Malaysia, dan bisa dikatakan berlaku pula di negara berkembang lainnya seperti Indonesia, persoalan ini menjadi penghambat utama efektivitas pembangunan.
Tesis ini bertujuan untuk menelisik akar penyebab kinerja buruk dalam proyek konstruksi berdasarkan data lapangan dan telaah literatur, dengan fokus pada kasus-kasus di wilayah Selangor. Fokus utama adalah pada keterlambatan ekstensif, sebagai indikator kinerja buruk yang paling mencolok.
Metodologi: Pendekatan Indeks dan Survei Langsung
Penelitian ini dilakukan melalui survei kuesioner yang melibatkan berbagai aktor konstruksi, mulai dari pengembang, konsultan, hingga kontraktor utama yang pernah terlibat dalam proyek bangunan dan infrastruktur di Malaysia. Total 44 faktor penyebab kinerja buruk diidentifikasi, kemudian dikategorikan ke dalam 8 kelompok besar. Analisis dilakukan menggunakan metode indeks rata-rata (average index) untuk menentukan tingkat keparahan setiap faktor.
Delapan Kategori Besar Penyebab Buruknya Kinerja Proyek
1. Karakteristik Proyek
Kinerja buruk sering kali sudah ditentukan sejak tahap awal proyek. Proyek berskala besar dengan desain kompleks, kurangnya perencanaan detail dan jadwal yang tidak realistis merupakan pemicu utama. Beberapa proyek jalan tol, misalnya, terhambat karena desain awal yang tidak mempertimbangkan kondisi geoteknik lapangan.
2. Faktor Klien atau Pengembang
Peran klien ternyata sangat krusial. Ketidaktegasan dalam keputusan, perubahan spesifikasi di tengah jalan, serta lambatnya pembayaran sangat berpengaruh terhadap ritme proyek. Dalam banyak kasus, kontraktor tidak dapat melanjutkan pekerjaan karena cash flow terganggu.
3. Faktor Kontraktor
Kurangnya keterampilan teknis, pelatihan yang minim, dan ketidakmampuan manajerial menyebabkan keterlambatan dan kesalahan pelaksanaan. Bahkan, kontraktor yang terpilih karena penawaran terendah cenderung gagal memenuhi standar teknis.
4. Faktor Konsultan
Kinerja konsultan juga tak lepas dari sorotan. Desain yang tidak matang, inspeksi yang tidak disiplin, hingga komunikasi yang lemah dengan tim lapangan menyebabkan miskomunikasi dan pekerjaan ulang. Sebagai contoh, proyek pembangunan rumah susun di Malaysia sempat terhambat karena desain arsitektur yang tidak sinkron dengan struktur.
5. Tenaga Kerja dan Material
Faktor ini mencakup keterlambatan pengiriman bahan, kekurangan material di lokasi, serta pekerja yang tidak kompeten atau tidak cukup jumlahnya. Bahkan, 54% kegagalan konstruksi terjadi karena kualitas tenaga kerja yang rendah dan manajemen logistik yang lemah.
6. Hubungan Kontraktual
Permasalahan hukum dalam kontrak, seperti ketidakjelasan hak dan kewajiban antar pihak, serta kurangnya klausul penyelesaian sengketa, turut memperpanjang durasi proyek. Kontrak yang lemah sering kali menjadi sumber konflik yang berlarut.
7. Prosedur Pengadaan Proyek
Sistem tender yang hanya mengutamakan harga terendah sering kali menjadi jebakan. Proyek diserahkan kepada pihak yang tidak memiliki kapasitas teknis memadai. Selain itu, proses lelang yang panjang dan birokratis menyebabkan proyek mundur sebelum dimulai.
8. Lingkungan Eksternal
Faktor cuaca, regulasi pemerintah, dan masalah sosial seperti protes warga sekitar turut menjadi penyebab. Dalam proyek jembatan antarnegara bagian, misalnya, keterlambatan izin lingkungan menyebabkan proyek tertunda hingga dua tahun.
Tiga Penyebab Utama Berdasarkan Hasil Survei
Dari 44 faktor yang dianalisis, tiga faktor teratas dengan tingkat keparahan tertinggi adalah:
Kolaborasi yang buruk antar pemilik, kontraktor, dan konsultan berpotensi menimbulkan konflik dan kesalahan eksekusi.
Minimnya alur informasi formal membuat keputusan penting tertunda atau tidak dipahami semua pihak.
Kurangnya jiwa kepemimpinan menyebabkan moral kerja menurun dan produktivitas terganggu.
Rekomendasi Perbaikan untuk Industri Konstruksi
1. Perkuat Peran Manajer Proyek sebagai Leader, Bukan Hanya Administrator
Pemimpin proyek perlu dibekali soft skills seperti komunikasi, manajemen konflik, dan motivasi tim.
2. Reformasi Sistem Tender
Gabungkan aspek harga dan kualifikasi teknis untuk memilih kontraktor yang benar-benar kompeten.
3. Audit Desain Sejak Awal
Semua dokumen desain harus diverifikasi oleh tim independen sebelum tahap pelaksanaan.
4. Bangun Tim Terintegrasi Sejak Pra-Konstruksi
Libatkan semua aktor proyek mulai dari klien, konsultan, hingga kontraktor dalam perencanaan agar ada rasa memiliki bersama.
5. Penerapan Teknologi Seperti BIM dan ERP Konstruksi
Penggunaan teknologi dapat mempercepat alur komunikasi, pemantauan progres, dan pengendalian biaya.
6. Standardisasi Dokumen Kontrak dengan Klausul Penyelesaian Sengketa
Kontrak harus jelas dalam mengatur hak, kewajiban, serta mekanisme alternatif penyelesaian masalah seperti mediasi dan arbitrase.
Kritik dan Evaluasi Studi
Tesis ini sangat kuat dari sisi struktur metodologi dan komprehensif dalam pengelompokan faktor. Namun, perlu dicatat beberapa keterbatasan:
Konteks Global dan Perbandingan dengan Negara Lain
Temuan Puspasari sejalan dengan riset di negara lain. Di Indonesia, Kaming et al. (1997) mencatat bahwa 87% proyek high-rise mengalami keterlambatan dan 86% mengalami pembengkakan biaya karena faktor serupa: tenaga kerja, logistik, dan perencanaan yang lemah.
Sementara itu, di Arab Saudi, Assaf & Al-Hejji (2005) menemukan bahwa kurangnya komunikasi dan perubahan desain adalah faktor utama keterlambatan. Ini menunjukkan bahwa isu-isu yang sama muncul di berbagai belahan dunia, meskipun dalam konteks lokal yang berbeda.
Kesimpulan: Akar Masalah Bukan pada Satu Pihak, tapi pada Sistem Kolaborasi
Berdasarkan temuan dalam tesis ini, penyebab buruknya kinerja proyek konstruksi tidak dapat ditimpakan kepada satu aktor saja. Sebaliknya, yang diperlukan adalah reformasi sistemik yang menyentuh seluruh siklus hidup proyek, mulai dari desain, kontraktual, hingga tahap pelaksanaan.
Solusi terbaik bukanlah mencari kambing hitam, melainkan memperbaiki sistem komunikasi, manajemen risiko, dan kolaborasi lintas aktor. Tesis Tatiana Rina Puspasari memberikan peta jalan yang sangat berguna bagi para pengambil keputusan, akademisi, maupun praktisi untuk mulai melakukan perbaikan dari dasar.
Sumber:
Puspasari, T. R. (2005). Factors Causing the Poor Performance of Construction Project. Master’s Thesis, Faculty of Civil Engineering, Universiti Teknologi Malaysia.
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 08 September 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Artikel ini membahas 22 kompetensi inti yang wajib dikuasai oleh tenaga ahli bangunan gedung—seperti BIM, perancangan tahan gempa, analisis struktur, dan komunikasi kerja. Temuan ini sangat relevan untuk kebijakan publik, karena standarisasi kompetensi menjadi fondasi utama untuk kualitas bangunan, keselamatan publik, dan daya saing industri konstruksi Indonesia.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak Positif dari Standarisasi Kompetensi
Kualitas dan Keamanan Bangunan: Tenaga ahli terlatih jadi lebih akurat dalam desain dan konstruksi.
Risiko Bencana Tereduksi: Kompetensi perancangan tahan gempa membantu mencegah dampak bencana.
Efisiensi Proyek: Teknologi seperti BIM meningkatkan koordinasi dan mengurangi kesalahan desain.
Hambatan yang Dihadapi
Ketimpangan Keterampilan SDM: Banyak tenaga di daerah belum menguasai teknologi mutakhir seperti BIM.
Biaya Sertifikasi Tinggi: Pelatihan dan sertifikasi profesional dianggap mahal bagi sebagian pekerja.
Regulasi Wajib Belum Ada: Standar ini masih dihimpun akademis, bukan diatur melalui kebijakan pemerintah.
Peluang Strategis
Sertifikasi Profesi yang Terstandarisasi: Pemerintah bisa menetapkan kompetensi sebagai syarat legal untuk praktik, termasuk BIM.
Penguatan Pendidikan Vokasi: Masukkan kompetensi inti ke kurikulum teknik sipil dan politeknik.
Pelatihan Digital Terjangkau: Kursus online seperti Building Information Modeling for Structure Design dapat memperluas akses.
5 Rekomendasi Kebijakan Publik Praktis
Tetapkan Standar Kompetensi Nasional
Kementerian PUPR dan asosiasi profesi harus menyusun dan melegalkan 22 kompetensi inti sebagai standar nasional.
Integrasikan Kompetensi ke Kurikulum Pendidikan Teknik
Keahlian seperti BIM, desain tahan gempa, dan analisis struktur harus menjadi bagian akademis wajib vokasi dan sarjana.
Program Sertifikasi dan Subsidi Pelatihan Massal
Pemerintah harus menyediakan subsidi pelatihan dan sertifikasi, terutama untuk tenaga konstruksi di area dengan akses pendidikan terbatas.
Mewajibkan Penggunaan BIM dalam Tender Publik
Implementasi BIM harus jadi syarat tender untuk proyek publik, dilengkapi akses ke kursus.
Integrasi Kompetensi Mitigasi Bencana dalam Regulasi
Kompetensi perancangan tahan gempa harus menjadi syarat dalam perizinan bangunan gedung, mendukung keselamatan publik dan program ketahanan infrastruktur.
Kritik: Risiko Jika Tanpa Kebijakan Serius
Tanpa kebijakan yang menegaskan pentingnya sertifikasi dan pelatihan, kualitas keamanan bangunan bisa bervariasi, proyek rawan kesalahan, dan tenaga ahli terbagi antara yang tersertifikasi dan tidak—memicu ketidaksetaraan dalam praktik industri.
Penutup: Relevansi Strategis untuk Indonesia
Standarisasi kompetensi tenaga ahli bangunan gedung adalah fondasi untuk:
Meningkatkan kualitas konstruksi,
Melindungi keselamatan publik,
Memperkuat profesionalisme dan daya saing industri.
Indonesia butuh regulasi, pendidikan vokasi, sertifikasi terjangkau, dan pelibatan teknologi digital—semua demi memastikan setiap tenaga ahli memiliki kompetensi mutakhir.
Sumber
Identifikasi Kompetensi yang Dibutuhkan Tenaga Ahli Teknik Bangunan Gedung pada Industri Konstruksi (2023).