Keselamatan Kebakaran

Korelasi Pengetahuan Kebakaran terhadap Respons dan Kesiapsiagaan Perawat di Rumah Sakit Klaten, Jawa Tengah

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Maret 2025


Keselamatan kebakaran di rumah sakit menjadi salah satu aspek penting dalam manajemen risiko bencana, terutama karena rumah sakit memiliki berbagai sumber potensi bahaya, seperti peralatan listrik, bahan kimia mudah terbakar, dan dapur operasional. 

Indonesia, sebagai negara yang rentan terhadap perubahan iklim, mengalami peningkatan suhu global yang berkontribusi terhadap risiko kebakaran di berbagai sektor, termasuk fasilitas kesehatan. Rumah sakit memiliki karakteristik unik dalam penanganan kebakaran karena melibatkan evakuasi pasien yang mungkin tidak dapat bergerak secara mandiri. Oleh karena itu, perawat memiliki peran penting dalam kesiapsiagaan terhadap kebakaran.

Studi ini bertujuan untuk menilai tingkat pengetahuan perawat tentang kebakaran dan menghubungkannya dengan kesiapsiagaan mereka dalam menghadapi bencana. Dengan pendekatan cross-sectional, penelitian ini memberikan gambaran komprehensif tentang kesiapan perawat dalam menghadapi kebakaran.

Penelitian ini menggunakan metode observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional. Data dikumpulkan melalui kuesioner yang diberikan kepada 71 perawat di instalasi rawat inap Rumah Sakit X, Klaten. Responden dipilih menggunakan metode simple random sampling, dengan fokus pada perawat dewasa yang bekerja di rumah sakit tersebut.

Variabel yang diteliti meliputi:

  • Variabel Independen: Pengetahuan perawat tentang kebakaran.
  • Variabel Dependen: Respons terhadap kebakaran dan kesiapsiagaan menghadapi bencana.

Analisis data dilakukan dengan uji korelasi Sommers' D untuk menilai hubungan antara kedua variabel tersebut.

Karakteristik Responden

  • Jumlah Perawat: 71 responden.
  • Jenis Kelamin: Mayoritas perempuan (91,5%).
  • Usia: 52,1% berusia 18–40 tahun, sementara 47,9% berusia 41–65 tahun.
  • Masa Kerja: 54,9% perawat telah bekerja lebih dari 10 tahun.
  • Tingkat Pendidikan: 81,7% memiliki gelar diploma keperawatan.

Pengetahuan Perawat tentang Kebakaran

Sebagian besar perawat (77,5%) memiliki pengetahuan yang baik tentang kebakaran. Faktor ini dianggap penting karena pemahaman yang memadai mengenai kebakaran dapat meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana.

Kesiapsiagaan dalam Respons Kebakaran

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 73,2% responden berada dalam kategori "Siap" dalam menghadapi bencana kebakaran. Hal ini mencerminkan tingkat kesiapan yang cukup baik, meskipun masih terdapat 26,8% perawat yang belum siap.

Analisis Korelasi

  • Uji Sommers' D menunjukkan nilai p = 0,037, yang menandakan adanya hubungan signifikan antara pengetahuan kebakaran dan kesiapsiagaan perawat.
  • Nilai korelasi r = 0,283, menunjukkan bahwa hubungan tersebut positif tetapi lemah. Artinya, meskipun ada hubungan antara pengetahuan dan kesiapsiagaan, faktor lain juga berperan dalam kesiapan perawat menghadapi kebakaran.

Implikasi dan Rekomendasi

1. Peningkatan Pelatihan dan Simulasi Kebakaran

Diperlukan pelatihan rutin yang lebih intensif, setidaknya dua kali dalam setahun, untuk meningkatkan kesiapsiagaan perawat. Simulasi kebakaran harus mencakup prosedur evakuasi pasien dan penggunaan alat pemadam kebakaran.

2. Peningkatan Kesadaran dan Pendidikan

Rumah sakit harus mengintegrasikan kurikulum keselamatan kebakaran dalam program pelatihan perawat. Perawat yang memiliki pemahaman yang lebih baik akan lebih siap dalam menghadapi bencana.

3. Penguatan Prosedur Darurat di Rumah Sakit

Perlu dilakukan evaluasi terhadap sistem alarm kebakaran, rencana evakuasi, dan fasilitas pemadam kebakaran yang tersedia di rumah sakit untuk memastikan semuanya berfungsi dengan baik.

4. Pemanfaatan Teknologi dalam Pelatihan Kesiapsiagaan

Teknologi seperti virtual reality (VR) dapat digunakan untuk memberikan simulasi kebakaran yang lebih realistis bagi perawat, membantu mereka memahami prosedur evakuasi dengan lebih baik.

Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi signifikan antara pengetahuan kebakaran dan kesiapsiagaan perawat dalam menghadapi bencana di rumah sakit. Meskipun hubungan ini tidak terlalu kuat, peningkatan edukasi dan pelatihan dapat menjadi langkah efektif untuk meningkatkan kesiapan perawat dalam menghadapi kebakaran. Dengan menerapkan strategi yang lebih baik dalam pelatihan, pendidikan, dan prosedur keselamatan, rumah sakit dapat memastikan bahwa tenaga medisnya siap menghadapi kebakaran dengan respons yang cepat dan efektif.

Sumber Artikel

Setyawan, H., Nugraheni, A. M., Haryati, S., Qadrijati, I., Fajariani, R., Wardani, T. L., Atmojo, T. B., & Sjarifah, I. (2021). The Correlation of Fire Knowledge toward Disasters Response and Preparedness Practice among Hospital Nurse Klaten Central Java, Indonesia. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 724(1), 012041.

Selengkapnya
Korelasi Pengetahuan Kebakaran terhadap Respons dan Kesiapsiagaan Perawat di Rumah Sakit Klaten, Jawa Tengah

Keselamatan Kebakaran

Strategi Meningkatkan Kesiapsiagaan Respons Darurat Kebakaran di Infrastruktur Kritis

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Maret 2025


Keselamatan kebakaran dalam infrastruktur kritis merupakan aspek penting dalam mencegah bencana besar yang dapat mengancam nyawa dan aset berharga. Dalam analisis ini, penulis membandingkan sistem tanggap darurat di Amerika Serikat dengan wilayah lain serta menyarankan langkah-langkah mitigasi yang dapat diterapkan dalam berbagai sektor, khususnya di terminal minyak dan gas.

Penelitian ini mengidentifikasi lima tantangan utama yang dihadapi dalam kesiapsiagaan respons darurat kebakaran di sektor infrastruktur kritis:

  1. Kurangnya Sistem Cadangan Air Pemadam
    • Banyak terminal tidak memiliki cadangan air pemadam yang memadai, sehingga tidak dapat menangani kebakaran besar.
    • Tidak adanya tangki penyimpanan air yang terhubung ke sistem pemadam utama.
  2. Kurangnya Pelatihan dan Standarisasi IMS (Incident Management System)
    • Minimnya latihan dan simulasi untuk menguji efektivitas sistem tanggap darurat.
    • Dampak pandemi COVID-19 menghambat pelaksanaan pelatihan reguler.
    • Tidak adanya sistem komando insiden yang seragam antara terminal dan departemen pemadam kebakaran.
  3. Kurangnya Sumber Daya dan Kolaborasi Antarinstansi
    • Terminal-terminal bekerja secara independen tanpa berbagi sumber daya, keahlian, atau informasi saat terjadi kebakaran.
    • Minimnya perjanjian kerja sama antara terminal dengan rumah sakit, kepolisian, atau ahli kimia untuk menangani insiden darurat.
  4. Keterlambatan Respons Akibat Kurangnya Pusat Kontrol Darurat
    • Tidak adanya ruang kontrol pemantauan kebakaran yang dapat segera mengirimkan bantuan pemadam kebakaran.
    • Ketidakefisienan dalam koordinasi respons insiden.
  5. Hambatan Akses dan Kendala Infrastruktur
    • Jalan masuk ke terminal terlalu sempit atau tidak memadai untuk mobil pemadam kebakaran.
    • Lalu lintas padat memperlambat respons tim pemadam.

Strategi untuk Meningkatkan Keselamatan Kebakaran

1. Instalasi Sistem Pemadam Kebakaran yang Terintegrasi

  • Membangun sistem pemadam kebakaran berbasis cincin yang dapat memasok air secara merata ke semua terminal.
  • Menambahkan pompa pemadam kebakaran dan sistem tekanan operasional untuk menjaga ketersediaan air.
  • Standarisasi konektor pemadam kebakaran di semua terminal agar kompatibel dengan peralatan pemadam kebakaran setempat.

2. Peningkatan Pelatihan dan Simulasi Tanggap Darurat

  • Mendirikan pusat pelatihan kebakaran industri untuk melatih tim pemadam dan staf terminal.
  • Mengadakan latihan meja (tabletop exercises) secara virtual menggunakan platform seperti Zoom atau Microsoft Teams.
  • Melaksanakan latihan darurat antarinstansi untuk menguji keefektifan sistem respons kebakaran.

3. Penguatan Kerja Sama dan Perjanjian Kolaboratif

  • Membangun kemitraan dengan rumah sakit, kepolisian, dan lembaga terkait untuk meningkatkan kesiapsiagaan tanggap darurat.
  • Mengembangkan nota kesepahaman (MoU) antara terminal dan pemadam kebakaran untuk berbagi sumber daya.

4. Pembentukan Pusat Komando Insiden dan Ruang Kontrol Darurat

  • Mendirikan pusat kontrol insiden utama di kawasan industri untuk mempercepat koordinasi saat terjadi kebakaran.
  • Membentuk tim manajemen krisis yang terdiri dari perwakilan semua terminal.

5. Optimalisasi Infrastruktur Akses Darurat

  • Mendesain ulang jalur akses untuk memastikan kendaraan pemadam kebakaran dapat mencapai area insiden dengan cepat.
  • Berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk membangun jalur darurat khusus bagi kendaraan pemadam kebakaran.

Penelitian ini menyoroti keunggulan sistem komando insiden (Incident Command System/ICS) yang diterapkan di Amerika Serikat. Sistem ini memungkinkan penyatuan semua sumber daya, tenaga kerja, dan informasi dalam satu pusat komando. Hal ini sangat kontras dengan banyak wilayah lain yang masih mengandalkan sistem independen tanpa koordinasi antarinstansi. Contohnya, pada kebakaran besar di fasilitas minyak dan gas di Texas, keberadaan pusat komando yang terpusat memungkinkan alokasi sumber daya yang cepat dan efisien, sehingga kebakaran dapat dikendalikan dalam waktu lebih singkat dibandingkan dengan kasus serupa di Timur Tengah yang mengalami keterlambatan respons akibat kurangnya koordinasi.

Paper ini memberikan rekomendasi yang sangat berharga bagi sektor infrastruktur kritis, khususnya dalam industri minyak dan gas. Namun, ada beberapa aspek yang dapat dikembangkan lebih lanjut:

  • Pemanfaatan Teknologi AI dan IoT dalam Deteksi Kebakaran: Sistem pemantauan berbasis sensor dan kecerdasan buatan dapat membantu mendeteksi kebakaran lebih dini.
  • Peningkatan Kesadaran Keselamatan di Lingkungan Kerja: Selain pelatihan teknis, perusahaan harus meningkatkan budaya keselamatan di kalangan pekerja agar mereka lebih proaktif dalam mengenali risiko kebakaran.
  • Penyusunan Standar Internasional untuk Kesiapsiagaan Darurat: Setiap negara memiliki regulasi yang berbeda. Perlu adanya standar internasional yang mengatur kesiapsiagaan kebakaran di sektor infrastruktur kritis.

Paper Emergency Response Preparedness oleh Sibanda dan Hansen memberikan wawasan mendalam mengenai tantangan dan solusi dalam meningkatkan kesiapsiagaan respons darurat kebakaran di sektor infrastruktur kritis. Dengan menerapkan strategi seperti pembangunan sistem pemadam kebakaran yang terintegrasi, peningkatan pelatihan, serta pembentukan pusat komando insiden, risiko kebakaran dapat diminimalisir secara signifikan. Sistem komando insiden yang telah berhasil diterapkan di Amerika Serikat dapat menjadi model bagi negara lain dalam meningkatkan efektivitas tanggap darurat kebakaran. Penerapan teknologi modern serta kerja sama lintas sektor juga menjadi faktor kunci dalam membangun sistem keselamatan yang lebih tangguh dan adaptif terhadap tantangan masa depan.

Sumber Artikel

Sibanda, M. & Hansen, C.T. (2022). Emergency Response Preparedness; Fourteen Strategies to Increase Fire Safety in Critical Infrastructure Sectors in Response to the Five Discovered Challenges. University of Applied Research & Development, Auckland.

Selengkapnya
Strategi Meningkatkan Kesiapsiagaan Respons Darurat Kebakaran di Infrastruktur Kritis

Keselamatan Kebakaran

Teknologi Pencegahan Kebakaran Berdasarkan Statistik Kebakaran di Korea Selatan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 15 Maret 2025


Kebakaran merupakan salah satu bencana paling destruktif yang dapat mengancam keselamatan manusia, infrastruktur, dan lingkungan. Penelitian ini menggunakan pendekatan data-driven dengan menganalisis data kebakaran dari tahun 1996 hingga 2021. Data yang digunakan mencakup:

  • Jumlah kejadian kebakaran tahunan, dengan rata-rata 38.532 kebakaran per tahun.
  • Jumlah korban jiwa, di mana rata-rata 419 orang meninggal dan 1.871 orang terluka per tahun.
  • Distribusi kebakaran berdasarkan lokasi, dengan 62,7% kebakaran terjadi di bangunan.
  • Penyebab utama kebakaran, termasuk kelalaian manusia (50%), faktor listrik (27,4%), dan faktor mekanis (10,5%).

Dengan data ini, penelitian membagi analisis pencegahan kebakaran menjadi tiga kategori utama: deteksi kebakaran dan gas, pencegahan kebakaran pada peralatan listrik, serta pencegahan kebakaran pada sistem energi generasi baru.

Hasil dan Pembahasan

Pencegahan kebakaran melalui deteksi dini menggunakan berbagai sensor, termasuk:

  • Sensor gas untuk mendeteksi kebocoran LPG dan LNG, serta teknologi IoT untuk pemantauan real-time.
  • Detektor asap yang telah terbukti mengurangi risiko kebakaran berdasarkan penelitian Montgomery County, AS.
  • Detektor api berbasis spektrum dan algoritma AI untuk meningkatkan akurasi deteksi dini.
  • Teknologi deteksi berbasis citra dan video yang memungkinkan pemantauan api secara real-time dengan memanfaatkan deep learning dan pengolahan gambar.

Penelitian menemukan bahwa rumah yang dilengkapi detektor asap memiliki tingkat kematian akibat kebakaran 50% lebih rendah dibandingkan rumah tanpa detektor. Faktor listrik merupakan penyebab utama kebakaran dalam bangunan, terutama akibat kegagalan mekanis, percikan busur listrik (arc fault), dan panas berlebih. Penelitian ini membahas beberapa inovasi dalam pencegahan kebakaran listrik, termasuk:

  • Algoritma deteksi percikan busur listrik untuk mencegah kebakaran akibat hubungan pendek.
  • Perangkat pemutus sirkuit otomatis yang dapat menghentikan arus listrik saat mendeteksi anomali.
  • Pengembangan kabel pemanas anti-beku yang lebih aman, mengingat meningkatnya kasus kebakaran akibat penggunaan kabel pemanas yang tidak sesuai standar.
  • Eksperimen dengan sensor hidrogen untuk deteksi dini risiko kebakaran akibat kabel listrik.

Studi ini menunjukkan bahwa peralatan listrik yang lebih tua memiliki risiko kebakaran yang lebih tinggi, sehingga inspeksi berkala dan pembaruan infrastruktur listrik sangat penting. Sumber energi generasi baru, seperti panel surya, sistem penyimpanan energi (ESS), dan sel bahan bakar hidrogen, memiliki risiko kebakaran yang unik.

  • Panel surya berisiko kebakaran akibat arus DC tinggi dan efek titik panas (hot spot effect). Penelitian menemukan bahwa kesalahan instalasi dan kegagalan komponen merupakan penyebab utama kebakaran dalam sistem PV (photovoltaic).
  • ESS (Energy Storage Systems) memiliki risiko kebakaran akibat thermal runaway dalam baterai lithium-ion, yang dapat menyebabkan kebakaran beruntun. Eksperimen dengan baterai 50Ah menunjukkan bahwa peningkatan suhu dapat menyebabkan kebakaran dalam hitungan detik.
  • Sel bahan bakar hidrogen membawa risiko ledakan jika terjadi kebocoran gas hidrogen. Studi menemukan bahwa kecepatan angin dan tekanan awal hidrogen dapat mempengaruhi tingkat keparahan kebakaran.

Berdasarkan temuan penelitian, ada beberapa langkah strategis yang disarankan untuk meningkatkan pencegahan kebakaran:

  1. Peningkatan Teknologi Deteksi dan Pemantauan
    • Menggunakan AI dan machine learning untuk menganalisis pola kebakaran.
    • Mengembangkan sistem pemantauan kebakaran berbasis IoT untuk respons lebih cepat.
  2. Regulasi dan Inspeksi Berkala
    • Menerapkan standar keamanan yang lebih ketat untuk kabel listrik, perangkat pemanas, dan ESS.
    • Melakukan inspeksi wajib pada bangunan dengan sistem PV dan ESS untuk mencegah kebakaran akibat kegagalan sistem.
  3. Edukasi dan Kesadaran Masyarakat
    • Meningkatkan kampanye keselamatan kebakaran bagi penghuni bangunan.
    • Mewajibkan pelatihan penggunaan alat pemadam kebakaran untuk masyarakat umum.
  4. Pengembangan Infrastruktur Keselamatan Kebakaran
    • Membangun pusat kendali kebakaran berbasis BIM (Building Information Modeling) untuk pemantauan bangunan secara real-time.
    • Mengembangkan sistem evakuasi cerdas berbasis IoT untuk meningkatkan respons terhadap kebakaran.

Kesimpulan

  1. Penyebab utama kebakaran di Korea Selatan adalah kelalaian manusia, faktor listrik, dan faktor mekanis.
  2. Deteksi dini kebakaran menggunakan sensor gas, asap, dan AI telah terbukti mengurangi dampak kebakaran secara signifikan.
  3. Pencegahan kebakaran dalam peralatan listrik dan sistem energi baru sangat penting untuk mengurangi risiko kebakaran di masa depan.
  4. Diperlukan pendekatan terpadu, termasuk regulasi, edukasi, dan pengembangan teknologi, untuk menciptakan sistem pencegahan kebakaran yang lebih efektif.

Dengan implementasi strategi ini, diharapkan tingkat kebakaran dan dampaknya di Korea Selatan dapat dikurangi secara signifikan.

Sumber Artikel

Hoon-Gi Lee, Ui-Nam Son, Seung-Mo Je, Jun-Ho Huh, Jae-Hun Lee. Overview of Fire Prevention Technologies by Cause of Fire: Selection of Causes Based on Fire Statistics in the Republic of Korea. Processes, Vol. 11, 2023, 244.

Selengkapnya
Teknologi Pencegahan Kebakaran Berdasarkan Statistik Kebakaran di Korea Selatan

Keselamatan Kebakaran

Tantangan dan Hambatan dalam Melindungi Cedera akibat Kebakaran di Hunian

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 15 Maret 2025


Kebakaran di lingkungan hunian merupakan ancaman besar terhadap keselamatan masyarakat dan sering kali menyebabkan cedera serius serta kerugian ekonomi yang signifikan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan grounded theory, yang memungkinkan eksplorasi mendalam terhadap faktor-faktor penyebab cedera kebakaran. Penelitian dilakukan di Iran pada tahun 2017, dengan melibatkan 25 partisipan yang terdiri dari petugas pemadam kebakaran, tenaga medis, korban kebakaran, dan pakar kebakaran. Data dikumpulkan melalui wawancara semi-terstruktur, observasi langsung, serta analisis dokumen terkait. Proses analisis data menggunakan pendekatan Strauss dan Corbin, dengan metode open coding, axial coding, dan selective coding untuk mengidentifikasi variabel inti yang berpengaruh terhadap cedera kebakaran di hunian.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurangnya pendekatan komprehensif terhadap pencegahan cedera akibat kebakaran menjadi variabel inti yang mempengaruhi keselamatan penghuni bangunan. Faktor-faktor penyebab utama diklasifikasikan dalam empat kategori besar:

  1. Tantangan Struktural Bangunan
  2. Tantangan Sosial-Ekonomi
  3. Karakteristik dan Perilaku Penghuni
  4. Kendala dalam Layanan Penyelamatan

Beberapa masalah utama yang diidentifikasi dalam kategori ini meliputi:

  • Desain interior yang tidak sesuai, seperti absennya tangga darurat dan pintu keluar darurat.
  • Penggunaan material bangunan yang tidak tahan api, seperti Styrofoam yang mempercepat penyebaran api.
  • Kurangnya pemeliharaan peralatan keselamatan kebakaran, termasuk alat pemadam api dan sistem alarm asap yang tidak berfungsi dengan baik.

Sebagai contoh, dalam salah satu kejadian kebakaran di sebuah apartemen tujuh lantai di Iran, api menyebar dengan cepat karena tangga dan lift ditempatkan di lokasi yang sama tanpa sekat pelindung. Akibatnya, penghuni mengalami kesulitan dalam proses evakuasi, yang meningkatkan jumlah korban.

Kurangnya budaya keselamatan di masyarakat, dengan banyak penghuni yang tidak menganggap keselamatan kebakaran sebagai prioritas. Ketidakefektifan regulasi dan pengawasan, di mana pemerintah tidak memiliki kebijakan yang kuat terkait dengan standar keselamatan bangunan. Masalah ekonomi, seperti harga tinggi peralatan keselamatan kebakaran, membuat banyak warga enggan untuk memasang alat pemadam atau alarm asap.

Salah satu contoh konkret adalah banyaknya pemilik rumah yang memilih kabel listrik dengan diameter lebih kecil untuk menghemat biaya, yang pada akhirnya menyebabkan korsleting dan memicu kebakaran.

  • Kelompok rentan, seperti anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas, menghadapi risiko lebih tinggi dalam situasi kebakaran.
  • Perilaku berisiko, seperti menggunakan bahan mudah terbakar di dalam rumah, membuang puntung rokok sembarangan, dan tidak memiliki rencana evakuasi.
  • Kurangnya kesadaran risiko, di mana banyak penghuni berpikir bahwa kebakaran "tidak akan terjadi" pada mereka, sehingga mengabaikan langkah-langkah pencegahan.

Sebagai ilustrasi, terdapat kasus di mana seorang ibu meletakkan selimut anaknya di atas pemanas, yang kemudian terbakar dan menyebabkan kebakaran besar di rumah tersebut.

Kendala dalam Layanan Penyelamatan

  • Keterbatasan akses bagi petugas pemadam kebakaran, terutama di daerah dengan infrastruktur perkotaan yang buruk.
  • Kurangnya koordinasi antar tim penyelamat, sehingga memperlambat proses evakuasi dan penanggulangan kebakaran.
  • Minimnya pelatihan bagi tenaga medis dan pemadam kebakaran dalam menangani korban luka bakar.

Contoh nyata terjadi ketika mobil pemadam kebakaran tidak dapat mencapai lokasi kebakaran karena jalan yang sempit dan penuh kendaraan parkir, menyebabkan keterlambatan dalam pemadaman api dan meningkatkan jumlah korban jiwa.

Kesimpulan

  1. Kurangnya pendekatan komprehensif dalam pencegahan kebakaran merupakan hambatan utama dalam melindungi penghuni bangunan dari cedera akibat kebakaran.
  2. Faktor struktural bangunan, masalah sosial-ekonomi, perilaku penghuni, dan kendala dalam layanan penyelamatan berkontribusi signifikan terhadap tingginya angka cedera akibat kebakaran.
  3. Perubahan kebijakan dan regulasi yang lebih ketat diperlukan untuk memastikan bahwa setiap bangunan hunian memiliki standar keselamatan yang memadai.

Rekomendasi

  1. Perbaikan Standar Keselamatan Bangunan
    • Mewajibkan pemasangan sistem alarm asap dan alat pemadam kebakaran di setiap hunian.
    • Menegakkan regulasi ketat terhadap penggunaan material tahan api dalam konstruksi bangunan.
  2. Peningkatan Kesadaran dan Pendidikan Keselamatan
    • Mengadakan pelatihan simulasi kebakaran secara berkala bagi masyarakat.
    • Menyediakan materi edukasi keselamatan kebakaran di sekolah dan tempat kerja.
  3. Penguatan Layanan Penyelamatan dan Respons Darurat
    • Memastikan akses jalan yang memadai bagi tim pemadam kebakaran di area perumahan.
    • Melatih tenaga pemadam kebakaran dalam manajemen evakuasi yang lebih efektif.
  4. Insentif Finansial untuk Meningkatkan Keamanan
    • Memberikan subsidi atau keringanan pajak bagi warga yang menggunakan alat keselamatan kebakaran di rumah mereka.

Dengan mengimplementasikan rekomendasi ini, diharapkan angka cedera dan kematian akibat kebakaran di hunian dapat dikurangi secara signifikan.

Sumber Artikel

Mohammadreza Shokouhi, Khadijeh Nasiriani, Hamidreza Khankeh, Hosein Fallahzadeh, Davoud Khorasani-Zavareh. Exploring Barriers and Challenges in Protecting Residential Fire-Related Injuries: A Qualitative Study. Journal of Injury & Violence Research, Vol. 11, No. 1, 2019, 81-92.

Selengkapnya
Tantangan dan Hambatan dalam Melindungi Cedera akibat Kebakaran di Hunian

Keselamatan Kebakaran

Perencanaan Emergency Response Plan (ERP) dan Penentuan APAR di Gedung Office PT. Putra Perkasa Abadi: Evaluasi dan Rekomendasi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 14 Maret 2025


Dalam dunia industri, penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) menjadi aspek krusial yang bertujuan untuk mengurangi risiko kecelakaan kerja, termasuk kebakaran. PT. Putra Perkasa Abadi, perusahaan kontraktor pertambangan batubara yang beroperasi di Kalimantan Selatan, menyadari pentingnya memiliki Emergency Response Plan (ERP) yang efektif guna melindungi karyawan serta aset perusahaan dari bencana kebakaran.

Penelitian ini bertujuan untuk menyusun perencanaan ERP dan menentukan lokasi serta jenis Alat Pemadam Api Ringan (APAR) yang optimal di gedung office PT. Putra Perkasa Abadi. Metode yang digunakan adalah kuantitatif-deskriptif, dengan pendekatan identifikasi fire hazard, perencanaan jalur evakuasi, dan optimasi pemasangan APAR menggunakan metode set covering.

Penelitian ini melibatkan tiga tahap utama:

  1. Identifikasi Bahaya Kebakaran
    • Mengumpulkan data mengenai dimensi bangunan, fungsi setiap ruangan, dan potensi bahaya kebakaran (fire hazard).
    • Menggunakan pendekatan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 04 Tahun 1980 dan SNI 03-6574-2001 untuk evaluasi proteksi kebakaran.
  2. Perencanaan Jalur Evakuasi dan Meeting Point
    • Menentukan jalur evakuasi dengan minimal dua alternatif rute per lantai.
    • Menetapkan titik kumpul (muster point) yang aman dari risiko gedung runtuh.
  3. Optimasi Pemasangan APAR
    • Menentukan lokasi strategis pemasangan APAR menggunakan metode set covering untuk menjaga efisiensi jumlah APAR tanpa mengorbankan cakupan proteksi kebakaran.
    • Menentukan jenis APAR yang sesuai dengan klasifikasi kebakaran di gedung kantor.

Penelitian mengidentifikasi berbagai sumber kebakaran di dalam gedung, antara lain:

  • Peralatan elektronik (komputer, printer, AC) yang berpotensi mengalami korsleting.
  • Material mudah terbakar seperti meja, kursi, dan dokumen kertas.
  • Dapur/pantry yang memiliki risiko kebakaran akibat peralatan pemanas dan gas.

Sebagian besar kebakaran yang terjadi di kantor umumnya berkaitan dengan korsleting listrik, yang merupakan penyebab utama 80% kebakaran gedung di Indonesia berdasarkan data Kementerian PUPR.

Evaluasi Jalur Evakuasi

  • Gedung memiliki dua akses utama, tetapi beberapa koridor masih dianggap terlalu sempit untuk evakuasi massal.
  • Jarak maksimal evakuasi harus berada dalam batas 61 meter, sesuai standar NFPA 101 Life Safety Code.
  • Tanda evakuasi dan petunjuk arah belum sepenuhnya jelas, menyebabkan potensi kebingungan saat terjadi kebakaran.

Optimasi Pemasangan APAR

Jenis APAR yang digunakan di gedung ini adalah:

  • 1 unit APAR COâ‚‚, digunakan untuk perlindungan terhadap kebakaran akibat perangkat elektronik.
  • 7 unit APAR Multi-Purpose Powder, yang efektif dalam memadamkan kebakaran kelas A (benda padat), kelas B (cairan mudah terbakar), dan kelas C (peralatan listrik).

Lokasi pemasangan APAR ditentukan berdasarkan:

  • Aksesibilitas: Harus mudah dijangkau dari setiap ruangan.
  • Jarak maksimal: Setiap APAR harus bisa meng-cover radius 15 meter.
  • Potensi bahaya: Ruang server dan pantry mendapat prioritas pemasangan APAR tambahan.

Metode set covering digunakan untuk mengoptimalkan lokasi pemasangan APAR, sehingga jumlah alat yang digunakan tetap efisien tetapi tetap memberikan perlindungan maksimal.

Komunikasi Darurat

Untuk memastikan respons cepat dalam situasi kebakaran, setiap ruangan akan dilengkapi dengan:

  • Papan informasi darurat yang mencantumkan nomor darurat dan channel radio emergency.
  • SOP keadaan darurat yang disosialisasikan kepada seluruh karyawan

Sebagai perbandingan, studi ini mengulas beberapa insiden kebakaran yang terjadi di gedung perkantoran di Indonesia, termasuk:

1. Kebakaran Gedung Cyber 1 Jakarta (2021)

  • Penyebab: Korsleting listrik di ruang server.
  • Dampak: 2 orang meninggal akibat terjebak di dalam ruangan tanpa ventilasi.
  • Evaluasi: Kurangnya sistem deteksi asap dan sprinkler menyebabkan keterlambatan respons pemadaman.

2. Kebakaran Gedung Keuangan Negara Jakarta (2020)

  • Penyebab: Ledakan panel listrik di ruang arsip.
  • Dampak: Kerugian materiil miliaran rupiah karena dokumen penting terbakar.
  • Evaluasi: Sistem alarm tidak aktif secara otomatis, memperlambat evakuasi.

Dari studi kasus ini, terlihat bahwa kurangnya perencanaan ERP yang baik serta sistem deteksi kebakaran yang tidak optimal dapat memperburuk dampak kebakaran.

1. Peningkatan Kesadaran dan Pelatihan Karyawan

  • Melakukan simulasi kebakaran setiap enam bulan sekali.
  • Melatih karyawan dalam penggunaan APAR dengan benar.
  • Membentuk tim tanggap darurat internal yang siap siaga dalam situasi kebakaran.

2. Optimalisasi Jalur Evakuasi dan Meeting Point

  • Menyediakan tanda jalur evakuasi yang lebih besar dan jelas.
  • Memastikan semua jalur evakuasi tidak terhalang oleh perabotan atau sekat ruangan.
  • Menambah jumlah meeting point untuk menghindari kepadatan saat evakuasi.

3. Peningkatan Sistem Proteksi Kebakaran

  • Menambahkan sprinkler di setiap lantai untuk deteksi dan pemadaman dini.
  • Memasang detektor asap di semua ruangan dengan risiko tinggi.
  • Meningkatkan jumlah dan kualitas APAR, serta memastikan pengecekan rutin.

4. Peningkatan Infrastruktur Teknologi Keselamatan

  • Mengintegrasikan sistem alarm kebakaran dengan perangkat IoT untuk deteksi dini.
  • Menggunakan aplikasi mobile untuk memberikan instruksi evakuasi dalam keadaan darurat.

Penelitian ini menunjukkan bahwa perencanaan Emergency Response Plan (ERP) dan penentuan lokasi APAR di gedung office PT. Putra Perkasa Abadi masih perlu ditingkatkan. Dengan menerapkan rekomendasi yang telah disebutkan, perusahaan dapat Meningkatkan efektivitas evakuasi dalam keadaan darurat. Meminimalkan risiko korban jiwa dan kerusakan materiil akibat kebakaran. Meningkatkan kepatuhan terhadap regulasi keselamatan kerja yang berlaku. Implementasi yang lebih baik dari sistem ERP dan optimasi proteksi kebakaran akan membantu menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman dan terlindungi dari ancaman kebakaran.

 

Sumber Asli Paper

Apgani, M. J. A., Fachruzzaki, & Lestari, R. (2023). Perencanaan Emergency Response Plan (ERP) dan Penentuan Alat Pemadam Api Ringan (APAR) pada Gedung Office PT. Putra Perkasa Abadi. Jurnal Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lingkungan, 4(2), 113-120.

Selengkapnya
Perencanaan Emergency Response Plan (ERP) dan Penentuan APAR di Gedung Office PT. Putra Perkasa Abadi: Evaluasi dan Rekomendasi

Keselamatan Kebakaran

Penerapan Manajemen Keselamatan Kebakaran di Gedung Grand Slipi Tower: Analisis Kepatuhan terhadap Standar Keselamatan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 14 Maret 2025


Kebakaran di gedung tinggi merupakan salah satu risiko terbesar dalam dunia konstruksi dan perkantoran. Tanpa sistem manajemen keselamatan kebakaran (Fire Safety Management/FSM) yang baik, insiden kebakaran dapat menyebabkan kerugian finansial yang besar, korban jiwa, serta gangguan operasional. Studi ini mengevaluasi penerapan FSM di Grand Slipi Tower, Jakarta, sebuah gedung perkantoran 40 lantai dengan luas 79.492,32 m². Evaluasi dilakukan berdasarkan Human System (faktor manusia), Equipment System (sistem peralatan proteksi kebakaran), dan SOP (prosedur operasional baku) serta kepatuhannya terhadap regulasi teknis proteksi kebakaran di Indonesia.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan teknik survei kuesioner yang dibagikan kepada 55 responden dari total 122 staf pengelola gedung.

Tiga variabel utama yang diteliti adalah:

  1. Human System 
  2. Equipment System 
  3. SOP (Standard Operating Procedure) 

Analisis data dilakukan dengan menggunakan regresi linier sederhana dan uji statistik t-test dan F-test untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel terhadap tingkat kepatuhan terhadap standar keselamatan kebakaran. Berdasarkan hasil analisis, faktor manusia (Human System) memiliki pengaruh sebesar 71,3% terhadap kepatuhan standar kebakaran.

Beberapa temuan penting terkait faktor manusia adalah:

  • Kurangnya pelatihan kebakaran rutin, yang menyebabkan sebagian staf tidak mengetahui langkah-langkah darurat dengan baik.
  • Minimnya kesadaran akan penggunaan alat pemadam api.
  • Tidak adanya tim tanggap darurat yang terlatih secara profesional.

Sistem proteksi kebakaran yang digunakan di gedung ini mencakup fire alarm, alat pemadam api ringan (APAR), sprinkler, dan hydrant. Namun, penelitian menemukan bahwa tingkat efektivitas sistem peralatan hanya mencapai 64,8% dari standar ideal. Beberapa masalah yang ditemukan adalah:

  • Beberapa alat pemadam api tidak diperiksa secara berkala.
  • Sistem deteksi kebakaran belum terintegrasi dengan sistem evakuasi gedung.
  • Beberapa sprinkler tidak berfungsi dengan baik.

Beberapa kendala dalam penerapan SOP antara lain:

  • Tidak semua karyawan mengetahui jalur evakuasi.
  • Dokumentasi SOP tidak tersedia dalam bentuk yang mudah diakses oleh seluruh staf.
  • Kurangnya latihan evakuasi kebakaran secara berkala.

Ketika ketiga variabel (Human System, Equipment System, dan SOP) dikombinasikan, pengaruhnya terhadap kepatuhan terhadap standar keselamatan kebakaran mencapai 83,1%. Hal ini menunjukkan bahwa keselamatan kebakaran tidak hanya bergantung pada satu aspek saja, tetapi harus melibatkan sumber daya manusia, peralatan yang memadai, serta SOP yang jelas dan diterapkan secara konsisten.

Sebagai perbandingan, studi ini mengulas beberapa insiden kebakaran di Jakarta yang terjadi akibat kurangnya penerapan FSM, antara lain:

  1. Kebakaran Wisma Kosgoro (2015)
    • Penyebab: Korsleting listrik di lantai 16.
    • Dampak: Api menyebar ke 5 lantai lainnya karena tidak ada sprinkler yang berfungsi dengan baik.
    • Evaluasi: Sistem alarm berfungsi, tetapi proses evakuasi terganggu karena minimnya latihan kebakaran sebelumnya.
  2. Kebakaran Gedung Keuangan Negara (2020)
    • Penyebab: Ledakan panel listrik di ruang arsip.
    • Dampak: Data penting terbakar, kerugian mencapai miliaran rupiah.
    • Evaluasi: Sistem deteksi asap tidak dapat mengaktifkan alarm secara otomatis, menyebabkan keterlambatan respons.

Kedua kasus ini menunjukkan bahwa tanpa FSM yang baik, kebakaran bisa menyebabkan kerugian besar dan menghambat operasional perusahaan dalam jangka panjang. Berdasarkan hasil penelitian, beberapa rekomendasi yang dapat diterapkan di Grand Slipi Tower dan gedung perkantoran lainnya adalah:

1. Peningkatan Kesadaran dan Pelatihan Karyawan

  • Pelatihan keselamatan kebakaran harus dilakukan setiap 6 bulan.
  • Simulasi evakuasi harus dilakukan secara berkala dengan keterlibatan seluruh karyawan.
  • Setiap lantai harus memiliki petugas keamanan khusus yang dilatih sebagai tim tanggap darurat kebakaran.

2. Optimalisasi Sistem Proteksi Kebakaran

  • Seluruh peralatan pemadam api harus diuji setiap 3 bulan.
  • Memastikan semua sprinkler berfungsi dengan baik dan diperiksa oleh tim teknis.
  • Mengintegrasikan alarm kebakaran dengan sistem evakuasi otomatis untuk mempercepat respons darurat.

3. Penyesuaian SOP dengan Standar Internasional

  • Dokumentasi SOP harus tersedia dalam bentuk yang mudah diakses oleh seluruh staf, termasuk dalam bentuk digital.
  • Petunjuk jalur evakuasi harus diperjelas dengan tanda-tanda yang lebih besar dan mudah terlihat.
  • Tim keselamatan gedung harus melakukan audit berkala terhadap penerapan SOP.

Studi ini menegaskan bahwa Fire Safety Management (FSM) di Grand Slipi Tower masih perlu ditingkatkan, terutama dalam aspek pelatihan karyawan, sistem peralatan proteksi kebakaran, dan penerapan SOP.

Dengan menerapkan strategi perbaikan yang telah direkomendasikan, gedung ini dapat:
✔ Meningkatkan kesiapan dalam menghadapi kebakaran.
✔ Meminimalkan potensi korban jiwa dan kerugian finansial.
✔ Mematuhi standar keselamatan kebakaran yang berlaku.

Implementasi FSM yang lebih baik tidak hanya akan meningkatkan keselamatan penghuni gedung, tetapi juga memastikan keberlanjutan operasional bisnis dalam jangka panjang.

Sumber 

Effendie, M. I. N. (2017). Penerapan Fire Safety Management pada Bangunan Gedung Grand Slipi Tower Dikaitkan dengan Pemenuhan Peraturan dan Standar Teknis Proteksi Kebakaran. Jurnal Media Teknik & Sistem Industri, 1(1), 66-71.

Selengkapnya
Penerapan Manajemen Keselamatan Kebakaran di Gedung Grand Slipi Tower: Analisis Kepatuhan terhadap Standar Keselamatan
page 1 of 4 Next Last »