Keselamatan Kebakaran

Perencanaan Emergency Response Plan (ERP) dan Penentuan APAR di Gedung Office PT. Putra Perkasa Abadi: Evaluasi dan Rekomendasi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Februari 2025


Dalam dunia industri, penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) menjadi aspek krusial yang bertujuan untuk mengurangi risiko kecelakaan kerja, termasuk kebakaran. PT. Putra Perkasa Abadi, perusahaan kontraktor pertambangan batubara yang beroperasi di Kalimantan Selatan, menyadari pentingnya memiliki Emergency Response Plan (ERP) yang efektif guna melindungi karyawan serta aset perusahaan dari bencana kebakaran.

Penelitian ini bertujuan untuk menyusun perencanaan ERP dan menentukan lokasi serta jenis Alat Pemadam Api Ringan (APAR) yang optimal di gedung office PT. Putra Perkasa Abadi. Metode yang digunakan adalah kuantitatif-deskriptif, dengan pendekatan identifikasi fire hazard, perencanaan jalur evakuasi, dan optimasi pemasangan APAR menggunakan metode set covering.

Penelitian ini melibatkan tiga tahap utama:

  1. Identifikasi Bahaya Kebakaran
    • Mengumpulkan data mengenai dimensi bangunan, fungsi setiap ruangan, dan potensi bahaya kebakaran (fire hazard).
    • Menggunakan pendekatan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 04 Tahun 1980 dan SNI 03-6574-2001 untuk evaluasi proteksi kebakaran.
  2. Perencanaan Jalur Evakuasi dan Meeting Point
    • Menentukan jalur evakuasi dengan minimal dua alternatif rute per lantai.
    • Menetapkan titik kumpul (muster point) yang aman dari risiko gedung runtuh.
  3. Optimasi Pemasangan APAR
    • Menentukan lokasi strategis pemasangan APAR menggunakan metode set covering untuk menjaga efisiensi jumlah APAR tanpa mengorbankan cakupan proteksi kebakaran.
    • Menentukan jenis APAR yang sesuai dengan klasifikasi kebakaran di gedung kantor.

Penelitian mengidentifikasi berbagai sumber kebakaran di dalam gedung, antara lain:

  • Peralatan elektronik (komputer, printer, AC) yang berpotensi mengalami korsleting.
  • Material mudah terbakar seperti meja, kursi, dan dokumen kertas.
  • Dapur/pantry yang memiliki risiko kebakaran akibat peralatan pemanas dan gas.

Sebagian besar kebakaran yang terjadi di kantor umumnya berkaitan dengan korsleting listrik, yang merupakan penyebab utama 80% kebakaran gedung di Indonesia berdasarkan data Kementerian PUPR.

Evaluasi Jalur Evakuasi

  • Gedung memiliki dua akses utama, tetapi beberapa koridor masih dianggap terlalu sempit untuk evakuasi massal.
  • Jarak maksimal evakuasi harus berada dalam batas 61 meter, sesuai standar NFPA 101 Life Safety Code.
  • Tanda evakuasi dan petunjuk arah belum sepenuhnya jelas, menyebabkan potensi kebingungan saat terjadi kebakaran.

Optimasi Pemasangan APAR

Jenis APAR yang digunakan di gedung ini adalah:

  • 1 unit APAR CO₂, digunakan untuk perlindungan terhadap kebakaran akibat perangkat elektronik.
  • 7 unit APAR Multi-Purpose Powder, yang efektif dalam memadamkan kebakaran kelas A (benda padat), kelas B (cairan mudah terbakar), dan kelas C (peralatan listrik).

Lokasi pemasangan APAR ditentukan berdasarkan:

  • Aksesibilitas: Harus mudah dijangkau dari setiap ruangan.
  • Jarak maksimal: Setiap APAR harus bisa meng-cover radius 15 meter.
  • Potensi bahaya: Ruang server dan pantry mendapat prioritas pemasangan APAR tambahan.

Metode set covering digunakan untuk mengoptimalkan lokasi pemasangan APAR, sehingga jumlah alat yang digunakan tetap efisien tetapi tetap memberikan perlindungan maksimal.

Komunikasi Darurat

Untuk memastikan respons cepat dalam situasi kebakaran, setiap ruangan akan dilengkapi dengan:

  • Papan informasi darurat yang mencantumkan nomor darurat dan channel radio emergency.
  • SOP keadaan darurat yang disosialisasikan kepada seluruh karyawan

Sebagai perbandingan, studi ini mengulas beberapa insiden kebakaran yang terjadi di gedung perkantoran di Indonesia, termasuk:

1. Kebakaran Gedung Cyber 1 Jakarta (2021)

  • Penyebab: Korsleting listrik di ruang server.
  • Dampak: 2 orang meninggal akibat terjebak di dalam ruangan tanpa ventilasi.
  • Evaluasi: Kurangnya sistem deteksi asap dan sprinkler menyebabkan keterlambatan respons pemadaman.

2. Kebakaran Gedung Keuangan Negara Jakarta (2020)

  • Penyebab: Ledakan panel listrik di ruang arsip.
  • Dampak: Kerugian materiil miliaran rupiah karena dokumen penting terbakar.
  • Evaluasi: Sistem alarm tidak aktif secara otomatis, memperlambat evakuasi.

Dari studi kasus ini, terlihat bahwa kurangnya perencanaan ERP yang baik serta sistem deteksi kebakaran yang tidak optimal dapat memperburuk dampak kebakaran.

1. Peningkatan Kesadaran dan Pelatihan Karyawan

  • Melakukan simulasi kebakaran setiap enam bulan sekali.
  • Melatih karyawan dalam penggunaan APAR dengan benar.
  • Membentuk tim tanggap darurat internal yang siap siaga dalam situasi kebakaran.

2. Optimalisasi Jalur Evakuasi dan Meeting Point

  • Menyediakan tanda jalur evakuasi yang lebih besar dan jelas.
  • Memastikan semua jalur evakuasi tidak terhalang oleh perabotan atau sekat ruangan.
  • Menambah jumlah meeting point untuk menghindari kepadatan saat evakuasi.

3. Peningkatan Sistem Proteksi Kebakaran

  • Menambahkan sprinkler di setiap lantai untuk deteksi dan pemadaman dini.
  • Memasang detektor asap di semua ruangan dengan risiko tinggi.
  • Meningkatkan jumlah dan kualitas APAR, serta memastikan pengecekan rutin.

4. Peningkatan Infrastruktur Teknologi Keselamatan

  • Mengintegrasikan sistem alarm kebakaran dengan perangkat IoT untuk deteksi dini.
  • Menggunakan aplikasi mobile untuk memberikan instruksi evakuasi dalam keadaan darurat.

Penelitian ini menunjukkan bahwa perencanaan Emergency Response Plan (ERP) dan penentuan lokasi APAR di gedung office PT. Putra Perkasa Abadi masih perlu ditingkatkan. Dengan menerapkan rekomendasi yang telah disebutkan, perusahaan dapat Meningkatkan efektivitas evakuasi dalam keadaan darurat. Meminimalkan risiko korban jiwa dan kerusakan materiil akibat kebakaran. Meningkatkan kepatuhan terhadap regulasi keselamatan kerja yang berlaku. Implementasi yang lebih baik dari sistem ERP dan optimasi proteksi kebakaran akan membantu menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman dan terlindungi dari ancaman kebakaran.

 

Sumber Asli Paper

Apgani, M. J. A., Fachruzzaki, & Lestari, R. (2023). Perencanaan Emergency Response Plan (ERP) dan Penentuan Alat Pemadam Api Ringan (APAR) pada Gedung Office PT. Putra Perkasa Abadi. Jurnal Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lingkungan, 4(2), 113-120.

Selengkapnya
Perencanaan Emergency Response Plan (ERP) dan Penentuan APAR di Gedung Office PT. Putra Perkasa Abadi: Evaluasi dan Rekomendasi

Keselamatan Kebakaran

Penerapan Manajemen Keselamatan Kebakaran di Gedung Grand Slipi Tower: Analisis Kepatuhan terhadap Standar Keselamatan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Februari 2025


Kebakaran di gedung tinggi merupakan salah satu risiko terbesar dalam dunia konstruksi dan perkantoran. Tanpa sistem manajemen keselamatan kebakaran (Fire Safety Management/FSM) yang baik, insiden kebakaran dapat menyebabkan kerugian finansial yang besar, korban jiwa, serta gangguan operasional. Studi ini mengevaluasi penerapan FSM di Grand Slipi Tower, Jakarta, sebuah gedung perkantoran 40 lantai dengan luas 79.492,32 m². Evaluasi dilakukan berdasarkan Human System (faktor manusia), Equipment System (sistem peralatan proteksi kebakaran), dan SOP (prosedur operasional baku) serta kepatuhannya terhadap regulasi teknis proteksi kebakaran di Indonesia.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan teknik survei kuesioner yang dibagikan kepada 55 responden dari total 122 staf pengelola gedung.

Tiga variabel utama yang diteliti adalah:

  1. Human System 
  2. Equipment System 
  3. SOP (Standard Operating Procedure) 

Analisis data dilakukan dengan menggunakan regresi linier sederhana dan uji statistik t-test dan F-test untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel terhadap tingkat kepatuhan terhadap standar keselamatan kebakaran. Berdasarkan hasil analisis, faktor manusia (Human System) memiliki pengaruh sebesar 71,3% terhadap kepatuhan standar kebakaran.

Beberapa temuan penting terkait faktor manusia adalah:

  • Kurangnya pelatihan kebakaran rutin, yang menyebabkan sebagian staf tidak mengetahui langkah-langkah darurat dengan baik.
  • Minimnya kesadaran akan penggunaan alat pemadam api.
  • Tidak adanya tim tanggap darurat yang terlatih secara profesional.

Sistem proteksi kebakaran yang digunakan di gedung ini mencakup fire alarm, alat pemadam api ringan (APAR), sprinkler, dan hydrant. Namun, penelitian menemukan bahwa tingkat efektivitas sistem peralatan hanya mencapai 64,8% dari standar ideal. Beberapa masalah yang ditemukan adalah:

  • Beberapa alat pemadam api tidak diperiksa secara berkala.
  • Sistem deteksi kebakaran belum terintegrasi dengan sistem evakuasi gedung.
  • Beberapa sprinkler tidak berfungsi dengan baik.

Beberapa kendala dalam penerapan SOP antara lain:

  • Tidak semua karyawan mengetahui jalur evakuasi.
  • Dokumentasi SOP tidak tersedia dalam bentuk yang mudah diakses oleh seluruh staf.
  • Kurangnya latihan evakuasi kebakaran secara berkala.

Ketika ketiga variabel (Human System, Equipment System, dan SOP) dikombinasikan, pengaruhnya terhadap kepatuhan terhadap standar keselamatan kebakaran mencapai 83,1%. Hal ini menunjukkan bahwa keselamatan kebakaran tidak hanya bergantung pada satu aspek saja, tetapi harus melibatkan sumber daya manusia, peralatan yang memadai, serta SOP yang jelas dan diterapkan secara konsisten.

Sebagai perbandingan, studi ini mengulas beberapa insiden kebakaran di Jakarta yang terjadi akibat kurangnya penerapan FSM, antara lain:

  1. Kebakaran Wisma Kosgoro (2015)
    • Penyebab: Korsleting listrik di lantai 16.
    • Dampak: Api menyebar ke 5 lantai lainnya karena tidak ada sprinkler yang berfungsi dengan baik.
    • Evaluasi: Sistem alarm berfungsi, tetapi proses evakuasi terganggu karena minimnya latihan kebakaran sebelumnya.
  2. Kebakaran Gedung Keuangan Negara (2020)
    • Penyebab: Ledakan panel listrik di ruang arsip.
    • Dampak: Data penting terbakar, kerugian mencapai miliaran rupiah.
    • Evaluasi: Sistem deteksi asap tidak dapat mengaktifkan alarm secara otomatis, menyebabkan keterlambatan respons.

Kedua kasus ini menunjukkan bahwa tanpa FSM yang baik, kebakaran bisa menyebabkan kerugian besar dan menghambat operasional perusahaan dalam jangka panjang. Berdasarkan hasil penelitian, beberapa rekomendasi yang dapat diterapkan di Grand Slipi Tower dan gedung perkantoran lainnya adalah:

1. Peningkatan Kesadaran dan Pelatihan Karyawan

  • Pelatihan keselamatan kebakaran harus dilakukan setiap 6 bulan.
  • Simulasi evakuasi harus dilakukan secara berkala dengan keterlibatan seluruh karyawan.
  • Setiap lantai harus memiliki petugas keamanan khusus yang dilatih sebagai tim tanggap darurat kebakaran.

2. Optimalisasi Sistem Proteksi Kebakaran

  • Seluruh peralatan pemadam api harus diuji setiap 3 bulan.
  • Memastikan semua sprinkler berfungsi dengan baik dan diperiksa oleh tim teknis.
  • Mengintegrasikan alarm kebakaran dengan sistem evakuasi otomatis untuk mempercepat respons darurat.

3. Penyesuaian SOP dengan Standar Internasional

  • Dokumentasi SOP harus tersedia dalam bentuk yang mudah diakses oleh seluruh staf, termasuk dalam bentuk digital.
  • Petunjuk jalur evakuasi harus diperjelas dengan tanda-tanda yang lebih besar dan mudah terlihat.
  • Tim keselamatan gedung harus melakukan audit berkala terhadap penerapan SOP.

Studi ini menegaskan bahwa Fire Safety Management (FSM) di Grand Slipi Tower masih perlu ditingkatkan, terutama dalam aspek pelatihan karyawan, sistem peralatan proteksi kebakaran, dan penerapan SOP.

Dengan menerapkan strategi perbaikan yang telah direkomendasikan, gedung ini dapat:
✔ Meningkatkan kesiapan dalam menghadapi kebakaran.
✔ Meminimalkan potensi korban jiwa dan kerugian finansial.
✔ Mematuhi standar keselamatan kebakaran yang berlaku.

Implementasi FSM yang lebih baik tidak hanya akan meningkatkan keselamatan penghuni gedung, tetapi juga memastikan keberlanjutan operasional bisnis dalam jangka panjang.

Sumber 

Effendie, M. I. N. (2017). Penerapan Fire Safety Management pada Bangunan Gedung Grand Slipi Tower Dikaitkan dengan Pemenuhan Peraturan dan Standar Teknis Proteksi Kebakaran. Jurnal Media Teknik & Sistem Industri, 1(1), 66-71.

Selengkapnya
Penerapan Manajemen Keselamatan Kebakaran di Gedung Grand Slipi Tower: Analisis Kepatuhan terhadap Standar Keselamatan

Keselamatan Kebakaran

Meningkatkan Respons Darurat Kebakaran: Perspektif Pemadam Kebakaran di Rawalpindi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Februari 2025


Kebakaran di bangunan bertingkat tinggi menjadi tantangan besar bagi petugas pemadam kebakaran di banyak kota, termasuk Rawalpindi, Pakistan. Salah satu insiden kebakaran paling tragis terjadi di Ghakkar Plaza, Rawalpindi, pada 2008, yang menewaskan 13 petugas pemadam kebakaran. Kejadian ini menyoroti berbagai kelemahan dalam sistem tanggap darurat kebakaran, seperti kurangnya koordinasi, keterbatasan sumber daya, dan ketidakpatuhan terhadap peraturan keselamatan gedung.

Studi ini bertujuan untuk mengeksplorasi pandangan pemadam kebakaran mengenai cara meningkatkan respons darurat kebakaran di bangunan tinggi. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian ini melibatkan 25 petugas pemadam kebakaran dari lima stasiun penyelamatan di Rawalpindi serta dua diskusi kelompok terfokus (focus group discussion) dengan 10 peserta.

Penelitian ini menggunakan metode wawancara semi-terstruktur dan diskusi kelompok terfokus untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi respons darurat kebakaran. Terdapat empat aspek utama yang diteliti:

  1. Keterbatasan sumber daya dalam operasi pemadaman kebakaran.
  2. Koordinasi antar-lembaga, termasuk kepolisian dan dinas lalu lintas.
  3. Tingkat kepatuhan terhadap standar keselamatan gedung.
  4. Keterampilan dan pelatihan pemadam kebakaran.

Berdasarkan wawancara, 95% responden menyatakan bahwa kurangnya peralatan dan kendaraan pemadam kebakaran menjadi tantangan utama dalam operasi pemadaman kebakaran di bangunan tinggi.

  • Rawalpindi hanya memiliki sedikit unit mobil tangga (aerial ladder truck), yang membuat sulit bagi petugas untuk menjangkau lantai atas bangunan yang lebih tinggi dari 38 kaki.
  • Persediaan air tidak selalu tersedia di lokasi kebakaran, yang mengakibatkan keterlambatan dalam operasi pemadaman.
  • Jumlah alat pelindung diri (APD) seperti Self-Contained Breathing Apparatus (SCBA) masih terbatas, sehingga menyulitkan petugas dalam menangani kebakaran di ruang tertutup dengan asap tebal.

Sebanyak 90% responden melaporkan bahwa kurangnya koordinasi dengan dinas lalu lintas dan kepolisian menghambat respons kebakaran.

  • Kemacetan lalu lintas sering memperlambat kedatangan tim pemadam kebakaran ke lokasi kejadian, terutama di kawasan pasar yang padat seperti Raja Bazaar.
  • Ketiadaan sistem komando insiden (Incident Command System/ICS) menyebabkan lambatnya pengambilan keputusan dalam menangani kebakaran besar.
  • Koordinasi dengan perusahaan listrik (WAPDA) dan gas (Sui Gas) sering terlambat, sehingga aliran listrik dan gas tidak segera diputus di lokasi kebakaran.

Menurut 95% responden, banyak bangunan di Rawalpindi yang tidak mematuhi peraturan keselamatan kebakaran.

  • Kurangnya jalur evakuasi yang memadai di gedung-gedung tinggi menyebabkan banyak korban jiwa dalam kebakaran besar.
  • Hanya sedikit bangunan yang memiliki sistem pemadam kebakaran otomatis, seperti sprinklers dan alarm asap.
  • Inspeksi keselamatan kebakaran oleh otoritas setempat jarang dilakukan, sehingga banyak bangunan yang tetap beroperasi meskipun tidak memenuhi standar keselamatan.

Meskipun sebagian besar petugas telah mendapatkan pelatihan dasar, 70% responden menyatakan bahwa mereka membutuhkan pelatihan lanjutan dalam menangani kebakaran gedung tinggi.

  • Kurangnya latihan bersama antar-instansi menyebabkan kurangnya kesiapan dalam skenario kebakaran berskala besar.
  • Sebagian besar petugas hanya menerima pelatihan dasar dalam menggunakan peralatan penyelamatan dari ketinggian.

Salah satu insiden kebakaran paling tragis yang dianalisis dalam penelitian ini adalah kebakaran di Ghakkar Plaza pada 20 Desember 2008.

  • 13 petugas pemadam kebakaran tewas setelah bangunan runtuh akibat kebakaran hebat.
  • Keterlambatan dalam pemutusan listrik dan gas menyebabkan api menyebar lebih cepat.
  • Tidak adanya jalur evakuasi yang memadai membuat penghuni gedung terperangkap dalam asap tebal.
  • Tim pemadam kebakaran tidak memiliki peta bangunan, sehingga mereka kesulitan menemukan jalur masuk dan keluar dengan aman.

Insiden ini menunjukkan pentingnya implementasi sistem keselamatan kebakaran yang lebih ketat, termasuk inspeksi rutin terhadap gedung bertingkat tinggi dan peningkatan kapasitas tim pemadam kebakaran. Berdasarkan hasil penelitian, beberapa langkah dapat dilakukan untuk meningkatkan efektivitas respons kebakaran di Rawalpindi:

1. Peningkatan Infrastruktur dan Peralatan Pemadam Kebakaran

  • Menambah jumlah mobil tangga (aerial ladder truck) untuk menangani kebakaran di bangunan tinggi.
  • Membangun lebih banyak tangki air cadangan di lokasi strategis untuk mempercepat respons pemadaman.
  • Menambah jumlah alat pelindung diri (APD) seperti SCBA agar petugas dapat bekerja lebih lama dalam kondisi berasap tebal.

2. Meningkatkan Koordinasi Antar-Instansi

  • Membentuk sistem komando insiden (ICS) untuk mempercepat pengambilan keputusan dalam keadaan darurat.
  • Melakukan latihan gabungan secara berkala antara pemadam kebakaran, kepolisian, dan dinas lalu lintas untuk meningkatkan koordinasi dalam situasi darurat.
  • Memastikan pemadaman listrik dan gas dilakukan segera setelah kebakaran dilaporkan.

3. Memperketat Standar Keselamatan Gedung

  • Mengharuskan semua bangunan tinggi memiliki jalur evakuasi yang jelas dan berfungsi.
  • Mewajibkan pemasangan sistem pemadam kebakaran otomatis, seperti sprinkler dan alarm asap di semua gedung tinggi.
  • Melakukan inspeksi keselamatan kebakaran secara berkala dan memberikan sanksi tegas bagi pemilik gedung yang tidak mematuhi regulasi.

4. Peningkatan Kapasitas dan Pelatihan Pemadam Kebakaran

  • Melakukan pelatihan khusus dalam menangani kebakaran gedung tinggi secara berkala.
  • Mengembangkan program pelatihan bersama dengan negara lain yang memiliki pengalaman lebih dalam respons kebakaran di bangunan tinggi.
  • Menggunakan teknologi simulasi untuk latihan pemadaman kebakaran, sehingga petugas dapat berlatih dalam skenario realistis tanpa risiko cedera.

Studi ini menegaskan bahwa respons pemadam kebakaran di Rawalpindi masih menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam aspek sumber daya, koordinasi antar-lembaga, dan kepatuhan terhadap standar keselamatan gedung. Dengan meningkatkan infrastruktur, memperkuat koordinasi, serta menerapkan regulasi yang lebih ketat, keselamatan publik dalam kebakaran bangunan tinggi dapat ditingkatkan secara signifikan.

Sumber

Akhter, S. (2014). Firefighters’ View on Improving Fire Emergency Response: A Case Study of Rawalpindi. International Journal of Humanities and Social Science, 4(7), 143-149.

Selengkapnya
Meningkatkan Respons Darurat Kebakaran: Perspektif Pemadam Kebakaran di Rawalpindi

Keselamatan Kebakaran

Keselamatan Kebakaran dan Evakuasi di Fasilitas Medis: Tantangan dan Solusi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Februari 2025


Keselamatan kebakaran di fasilitas medis menjadi perhatian utama, terutama karena tingginya kadar oksigen di rumah sakit yang dapat mempercepat penyebaran api. Selain itu, mobilitas terbatas pasien juga meningkatkan risiko dalam proses evakuasi darurat. Paper ini mengeksplorasi simulasi kebakaran dan evakuasi untuk menilai Required Safe Evacuation Time (RSET) dan Available Safe Evacuation Time (ASET) menggunakan perangkat lunak Fire Dynamic Simulator (FDS) dan Pathfinder. Penelitian ini menemukan bahwa kadar oksigen yang lebih tinggi dapat mengurangi waktu aman evakuasi hingga kurang dari 150 detik, menjadikan tindakan mitigasi sangat penting untuk keselamatan pasien dan tenaga medis.

Penelitian ini menggunakan pendekatan berbasis simulasi dengan langkah-langkah sebagai berikut:

  1. Pemodelan kebakaran dengan Fire Dynamic Simulator (FDS) untuk mengukur suhu, visibilitas, kadar CO, O₂, dan CO₂ di rumah sakit.
  2. Simulasi evakuasi dengan Pathfinder, dengan mempertimbangkan berbagai karakteristik penghuni rumah sakit, seperti pasien dengan keterbatasan mobilitas.
  3. Perbandingan ASET dan RSET untuk mengevaluasi keamanan evakuasi dalam skenario kebakaran.
  4. Analisis dampak kadar oksigen tinggi terhadap penyebaran api dan visibilitas selama evakuasi.

Dalam lingkungan normal, kadar oksigen atmosfer adalah 21%, namun di rumah sakit, terutama di ruang operasi atau ruang perawatan intensif, kadar ini bisa meningkat hingga 25%. Studi ini menemukan bahwa:

  • Oksigen tinggi meningkatkan suhu api, mempercepat penyebaran kebakaran hingga mencapai 500°C dalam 150 detik.
  • Visibilitas berkurang drastis dalam ruangan dengan oksigen tinggi, sehingga pasien dan tenaga medis kesulitan menemukan jalur keluar.
  • Waktu aman evakuasi berkurang drastis dibandingkan dengan lingkungan normal, dengan batas aman kurang dari 150 detik.

Paper ini membandingkan Required Safe Evacuation Time (RSET) dan Available Safe Evacuation Time (ASET):

  • ASET adalah waktu yang tersedia bagi penghuni untuk meninggalkan bangunan sebelum kondisi menjadi fatal.
  • RSET adalah waktu yang dibutuhkan bagi seluruh penghuni untuk mengevakuasi bangunan dengan aman.

Simulasi menunjukkan bahwa jika ASET lebih kecil dari RSET, maka penghuni tidak akan memiliki cukup waktu untuk melarikan diri.

  • Dalam kondisi kadar oksigen normal, ASET sekitar 192 detik, memungkinkan evakuasi yang relatif aman.
  • Dalam kondisi kadar oksigen tinggi, ASET berkurang menjadi kurang dari 150 detik, meningkatkan risiko korban jiwa.

Penelitian ini juga menguji berbagai skenario keterlambatan evakuasi (delay time), yang mencakup:

  • Waktu deteksi kebakaran (alarm)
  • Waktu reaksi tenaga medis
  • Kesiapan jalur evakuasi

Hasilnya menunjukkan bahwa:

  • Keterlambatan 60 detik dapat meningkatkan jumlah korban hingga 25%.
  • Keterlambatan 120 detik membuat lebih dari 40% penghuni gagal keluar sebelum kondisi menjadi fatal.

Penelitian ini menggunakan model simulasi jalur evakuasi Pathfinder untuk menguji efektivitas berbagai jalur keluar. Hasilnya menunjukkan bahwa:

  • Tangga merupakan jalur utama evakuasi, tetapi dapat menjadi hambatan jika tidak cukup luas atau memiliki banyak penghuni dengan mobilitas terbatas.
  • Lift tidak direkomendasikan untuk evakuasi kebakaran, tetapi dalam beberapa kasus bisa digunakan dengan prosedur khusus.
  • Jumlah tenaga medis dan petugas evakuasi sangat berpengaruh, dengan rekomendasi minimal 20-30 petugas evakuasi untuk rumah sakit berukuran besar.

Salah satu kejadian nyata yang diangkat dalam penelitian ini adalah ledakan tangki oksigen di rumah sakit Baghdad pada April 2021, yang menyebabkan 82 kematian dan ratusan korban luka.

  • Kadar oksigen tinggi di ruangan tertutup meningkatkan risiko kebakaran spontan.
  • Kurangnya sistem deteksi dini membuat kebakaran sulit dikendalikan sebelum mencapai tingkat berbahaya.
  • Evakuasi yang lambat menyebabkan banyak korban terjebak dalam ruangan penuh asap dan api.

Kasus ini menggarisbawahi pentingnya sistem mitigasi oksigen berlebih dan protokol evakuasi yang lebih efisien untuk fasilitas medis.

Berdasarkan temuan penelitian, beberapa langkah mitigasi yang direkomendasikan untuk meningkatkan keselamatan kebakaran di rumah sakit meliputi:

1. Kontrol Kadar Oksigen

  • Mencegah akumulasi oksigen di ruang tertutup dengan sistem ventilasi yang baik.
  • Memastikan oksigen tidak kontak dengan bahan mudah terbakar seperti minyak dan pelumas medis.

2. Meningkatkan Sistem Deteksi Kebakaran

  • Menggunakan detektor asap dan sensor oksigen untuk mendeteksi kondisi berbahaya lebih awal.
  • Memasang alarm otomatis yang terhubung ke sistem evakuasi rumah sakit.

3. Optimalisasi Jalur Evakuasi

  • Menambah jumlah petugas evakuasi minimal 20-30 orang di fasilitas besar.
  • Mengurangi waktu keterlambatan evakuasi dengan pelatihan berkala bagi staf medis.
  • Menyesuaikan desain rumah sakit dengan jalur keluar yang lebih luas untuk pasien dengan keterbatasan mobilitas.

4. Penggunaan Teknologi dalam Evakuasi

  • Menggunakan simulasi evakuasi berbasis AI untuk mengoptimalkan rute keluar yang paling aman.
  • Penerapan sistem pemantauan real-time dengan CCTV dan perangkat IoT untuk meningkatkan respons dalam keadaan darurat.

Penelitian ini menunjukkan bahwa fasilitas medis dengan kadar oksigen tinggi memiliki risiko kebakaran yang jauh lebih besar dibandingkan bangunan biasa.

  • ASET dapat berkurang drastis hingga kurang dari 150 detik, membuat evakuasi menjadi lebih sulit.
  • Penambahan tenaga evakuasi serta sistem deteksi dini sangat penting untuk mengurangi risiko korban jiwa.
  • Desain rumah sakit harus mempertimbangkan jalur evakuasi yang lebih efisien untuk pasien dengan keterbatasan mobilitas.

Dengan menerapkan rekomendasi ini, rumah sakit dapat mengurangi dampak kebakaran, meningkatkan efisiensi evakuasi, serta melindungi pasien dan tenaga medis dari risiko yang tidak perlu.

Sumber 

Shaikh, M. A., Karim, R., Daniel, N. M., & Khan, M. A. (2024). Fire Safety Status and Evacuation of Medical Facility Considering Elevated Oxygen Concentrations. Heliyon, 10, e36847.

Selengkapnya
Keselamatan Kebakaran dan Evakuasi di Fasilitas Medis: Tantangan dan Solusi
page 1 of 1