Industri Farmasi
Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 14 Mei 2024
Jakarta. Indonesia menerapkan strategi pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam upaya mengurangi impor farmasi tanpa perlu khawatir akan digugat di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Indonesia sangat bergantung pada bahan-bahan farmasi dan alat kesehatan yang diimpor. Untuk mengatasi ketergantungan yang berlebihan ini, Jakarta saat ini memiliki kebijakan konten lokal yang mempromosikan input atau sumber daya dalam negeri dalam produksi industri. Peraturan ini berlaku untuk pengadaan barang dan jasa pemerintah yang memungkinkan pemerintah - termasuk rumah sakit milik pemerintah - untuk berbelanja secara online melalui e-katalog. Barang-barang yang memenuhi tingkat kandungan lokal tertentu akan diprioritaskan dalam sistem katalog digital. Dengan cara ini, Indonesia dapat mengembangkan industri dalam negerinya tanpa melanggar aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Budi mengenang masa-masa ketika Indonesia bergulat dengan pandemi Covid-19. Indonesia telah memiliki kapasitas untuk memproduksi obat-obatan. Namun, negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini harus mengimpor hampir 95 persen dari bahan-bahan farmasi yang dibutuhkan untuk produksinya.
"Sekitar dua tahun 10 bulan telah berlalu sejak saya menjadi menteri kesehatan. Dari 10 bahan farmasi yang paling banyak digunakan di Indonesia, enam di antaranya sudah dapat diproduksi di dalam negeri. Kami [pemerintah] meminta para produsen farmasi untuk membeli bahan-bahan yang diproduksi di dalam negeri. Jika tidak, pemerintah tidak akan membeli produk mereka," ujar Budi dalam acara Investor Daily Roundtable yang diselenggarakan oleh B-Universe di Jakarta, Kamis malam.
"Jadi mengapa kami melakukan strategi pengadaan pemerintah ini untuk mendorong industri farmasi lokal? Karena ini tidak melanggar aturan WTO," ujar Budi pada forum tersebut.
Mantan bankir ini mengatakan bahwa meskipun sistem pengadaan barang masih perlu diperbaiki, namun impor barang di sektor kesehatan telah menurun.
"Kami telah meminta rumah sakit-rumah sakit milik pemerintah untuk membeli produk lokal melalui e-katalog. Sistemnya mungkin belum sempurna. Namun, pengeluaran saya [Kementerian Kesehatan] sekitar Rp 20 triliun [$ 1,3 miliar], tetapi kami telah memangkas barang impor dari 90 persen menjadi hampir 50 persen," kata Budi.
Perjanjian-perjanjian WTO pada umumnya mengadopsi apa yang disebut sebagai prinsip "perlakuan nasional", yang menyerukan agar negara-negara tidak melakukan diskriminasi terhadap barang-barang impor yang mendukung barang-barang yang diproduksi secara lokal. Hal ini termasuk Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan (GATT) di mana Indonesia merupakan salah satu penandatangannya. Namun, GATT menyatakan bahwa pengadaan barang dan jasa pemerintah dikecualikan dari prinsip perlakuan nasional.
Indonesia juga merupakan negara anggota WTO yang menandatangani Perjanjian tentang Tindakan Investasi Terkait Perdagangan (TRIMS), yang mendorong perlakuan yang sama terhadap barang.
Aturan kandungan lokal di Jakarta telah memicu kekhawatiran di antara negara-negara anggota dalam pertemuan-pertemuan Komite TRIMS sebelumnya. Sebagai contoh, Uni Eropa (UE) menganggap kebijakan kandungan lokal mengkhawatirkan karena Indonesia mengimpor lebih dari 95 persen bahan baku aktif farmasi. Uni Eropa mencoba untuk mendorong Indonesia agar berfokus pada kebijakan yang memberikan insentif lebih banyak investasi di industri farmasi lokal daripada memberlakukan kebijakan konten lokal. Meskipun sama seperti GATT, aturan kandungan lokal pada produk yang dibeli untuk keperluan pemerintah tidak akan dianggap sebagai pelanggaran pakta TRIMS.
Tidak masuknya pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam perjanjian WTO mendorong sejumlah negara untuk merundingkan peraturan perdagangan mengenai hal tersebut. Dengan demikian, terbentuklah Perjanjian Pengadaan Pemerintah (Government Procurement Agreement/GPA). Perjanjian ini mengharuskan negara-negara untuk tidak memberikan perlakuan khusus kepada produk yang diproduksi di dalam negeri dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Namun, GPA tidak berlaku untuk Indonesia karena Indonesia belum menandatangani perjanjian tersebut. Pihak-pihak yang menandatangani GPA termasuk Uni Eropa dan Amerika Serikat. Namun, Indonesia adalah negara pengamat GPA.
Disadur dari: jakartaglobe.id
Industri Farmasi
Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 14 Mei 2024
Jakarta. Pandemi COVID-19 yang terjadi saat ini memaksa semua negara untuk memberikan respon yang cepat, termasuk dalam penyediaan obat-obatan. Untuk memastikan keberhasilan tujuan ini, industri farmasi lokal harus mengambil peran sentral sebagai salah satu pilar pembangunan kesehatan nasional.
Permasalahan dalam rantai pasok menjadi salah satu masalah yang harus dipecahkan. Industri farmasi Indonesia sangat bergantung pada impor dan ekspor bahan baku dan peralatan, dan hal ini menjadi perhatian besar selama pandemi saat ini.
Pietradewi Hartrianti, staf pengajar di Departemen Farmasi, Indonesia International Institute for Life Sciences (i3L), mengatakan bahwa selama ini Indonesia sangat bergantung pada impor bahan baku dari China dan India. Tingginya ketergantungan impor ini menyebabkan menurunnya daya saing obat yang diproduksi di Indonesia.
Kimia Farma (Persero) Tbk. sebagai salah satu perusahaan farmasi milik negara telah berupaya untuk memproduksi bahan baku sendiri sejak tahun 2016 melalui anak perusahaannya PT. Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP). Namun, produksi tersebut masih dalam skala yang relatif kecil.
"Fasilitas yang kami miliki saat ini baru sebatas delapan bahan baku, namun bahan-bahan tersebut tidak terkait dengan pengobatan atau terapi COVID-19," jelas Pietradewi dalam keterangan resminya.
Pietradewi menjelaskan bahwa belum ada langkah yang diambil untuk mengantisipasi penghentian produksi bahan baku tersebut. Selain itu, penggantian produsen bahan baku harus melalui proses registrasi ulang di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
"Industri farmasi biasanya bergantung pada beberapa pemasok bahan baku yang berbeda dari berbagai negara yang terdaftar. Namun, jika impor produk dihentikan, maka produksi obat akan terancam," jelas Pietradewi.
Pietradewi menambahkan bahwa perusahaan farmasi milik negara lainnya, PT. Bio Farma (Persero), memiliki kapasitas untuk memproduksi vaksin. Namun, bahan baku untuk memproduksi vaksin masih harus diperoleh melalui impor.
"Permasalahan tidak hanya muncul dari keterbatasan kapasitas Indonesia dalam memproduksi bahan baku farmasi, tetapi juga keterbatasan Indonesia dalam menyediakan bahan kimia dan biologi untuk mensintesis dan memurnikan ketika kita masih mengandalkan impor bahan baku," jelas Pietradewi.
Momentum yang Tepat
Pandemi COVID-19 saat ini dapat menjadi momentum yang tepat bagi Indonesia untuk membangkitkan dan memperkuat industri kesehatan nasional. Indonesia juga dapat membebaskan diri dari ketergantungan impor produk kesehatan.
Leonny Yulita Hartiadi, Kepala Departemen Farmasi di Indonesia International Institute for Life Sciences (i3L) menjelaskan bahwa saat COVID-19 pertama kali masuk ke Indonesia, sempat terjadi kelangkaan barang-barang yang dapat membantu mencegah penyebaran virus corona. Barang-barang tersebut antara lain hand sanitizer, alkohol, masker, pakaian pelindung, suplemen, dan multivitamin. Namun, seiring berjalannya waktu, industri farmasi Indonesia telah mampu beradaptasi dengan tantangan pandemi COVID-19. "Pemerintah telah memberikan izin kepada kami untuk mengimpor bahan baku dan peralatan untuk memproduksi obat dengan mudah. Proses perizinan untuk perusahaan peralatan medis juga telah dipermudah. Dukungan dari pemerintah ini sangat membantu dalam memenuhi kebutuhan obat dan alkes di Indonesia," kata Leonny dalam keterangan resminya.
Leonny menambahkan, di masa depan, pemerintah diharapkan dapat memproduksi lebih banyak peralatan medis untuk menangani COVID-19. Industri yang memproduksi obat-obatan, farmasi, pakaian pelindung, masker, dan ventilator juga perlu didukung. Hal ini sejalan dengan Instruksi Presiden (Inpres) nomor 6 tahun 2016 untuk mendukung kemandirian dan meningkatkan daya saing industri farmasi dan alat kesehatan dalam negeri.
Jakarta. Pandemi COVID-19 yang terjadi saat ini memaksa semua negara untuk memberikan respon yang cepat, termasuk dalam penyediaan obat-obatan. Untuk memastikan keberhasilan tujuan ini, industri farmasi lokal harus mengambil peran sentral sebagai salah satu pilar pembangunan kesehatan nasional. Permasalahan dalam rantai pasok menjadi salah satu masalah yang harus dipecahkan. Industri farmasi Indonesia sangat bergantung pada impor dan ekspor bahan baku dan peralatan, dan hal ini menjadi perhatian besar selama pandemi saat ini.
Pietradewi Hartrianti, staf pengajar di Departemen Farmasi, Indonesia International Institute for Life Sciences (i3L), mengatakan bahwa selama ini Indonesia sangat bergantung pada impor bahan baku dari China dan India. Tingginya ketergantungan impor ini menyebabkan menurunnya daya saing obat yang diproduksi di Indonesia. Kimia Farma (Persero) Tbk, perusahaan farmasi milik negara, telah berupaya untuk memproduksi bahan baku sendiri sejak tahun 2016 melalui anak perusahaan mereka PT. Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP). Namun, produksi tersebut masih dalam skala yang relatif kecil.
"Fasilitas yang kami miliki saat ini baru sebatas delapan bahan baku, namun bahan-bahan tersebut tidak terkait dengan pengobatan atau terapi COVID-19," jelas Pietradewi dalam keterangan resminya.
Pietradewi menjelaskan bahwa belum ada langkah yang diambil untuk mengantisipasi terhentinya produksi bahan baku tersebut. Selain itu, penggantian produsen bahan baku harus melalui proses registrasi ulang di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
"Industri farmasi biasanya bergantung pada beberapa pemasok bahan baku yang berbeda dari berbagai negara yang terdaftar. Namun, jika impor produk dihentikan, maka produksi obat akan terancam," jelas Pietradewi.
Pietradewi menambahkan bahwa perusahaan farmasi milik negara lainnya, PT. Bio Farma (Persero), memiliki kapasitas untuk memproduksi vaksin. Namun, bahan baku untuk memproduksi vaksin masih harus diperoleh melalui impor.
"Masalah tidak hanya muncul dari keterbatasan kapasitas Indonesia dalam memproduksi bahan baku farmasi, tetapi juga keterbatasan Indonesia dalam menyediakan bahan kimia dan biologi untuk mensintesis dan memurnikannya ketika kita masih mengandalkan impor bahan baku," jelas Pietradewi.
Momentum yang Tepat
Pandemi COVID-19 saat ini dapat menjadi momentum yang tepat bagi Indonesia untuk membangkitkan dan memperkuat industri kesehatan nasional. Indonesia juga dapat membebaskan diri dari ketergantungan impor produk kesehatan.
Leonny Yulita Hartiadi, Kepala Departemen Farmasi di Indonesia International Institute for Life Sciences (i3L) menjelaskan bahwa saat COVID-19 pertama kali masuk ke Indonesia, sempat terjadi kelangkaan barang-barang yang dapat membantu mencegah penyebaran virus corona. Barang-barang tersebut antara lain hand sanitizer, alkohol, masker, pakaian pelindung, suplemen, dan multivitamin.
Namun, seiring berjalannya waktu, industri farmasi Indonesia telah mampu beradaptasi dengan tantangan pandemi COVID-19. "Pemerintah telah memberikan izin kepada kami untuk mengimpor bahan baku dan peralatan untuk memproduksi obat dengan mudah. Proses perizinan untuk perusahaan peralatan medis juga telah dipermudah. Dukungan dari pemerintah ini sangat membantu dalam memenuhi kebutuhan obat dan alkes di Indonesia," kata Leonny dalam keterangan resminya.
Leonny menambahkan, di masa depan, pemerintah diharapkan dapat memproduksi lebih banyak peralatan medis untuk menangani COVID-19. Industri yang memproduksi obat-obatan, farmasi, pakaian pelindung, masker, dan ventilator juga perlu didukung. Hal ini sejalan dengan Instruksi Presiden (Inpres) nomor 6 tahun 2016 untuk mendukung kemandirian dan meningkatkan daya saing industri farmasi dan alat kesehatan dalam negeri.
Disadur dari: i3l.ac.id
Industri Farmasi
Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 14 Mei 2024
Pertumbuhan global pasar farmasi saat ini sangat menjanjikan. Diperkirakan dalam lima tahun ke depan akan tumbuh sekitar 4,7% pada tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR). Pada tahun 2023, diprediksi penjualan pasar global akan mencapai US$1,5 triliun.
Pasar Negara Maju Utama masih akan menjadi kontributor dominan dalam pertumbuhan penjualan global. Sedangkan kelompok negara Pharmerging atau kelompok negara yang memiliki posisi rendah di pasar farmasi, namun memiliki laju pertumbuhan yang cepat seperti China, India, Brazil, Rusia, Afrika Selatan, Meksiko, Indonesia, dan Turki, secara keseluruhan kontribusinya terhadap pertumbuhan penjualan global akan terus meningkat menjadi hampir 35% selama periode proyeksi.
Kontribusi Indonesia sebagai salah satu pharmerging dapat dikatakan cukup signifikan. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan salah satu pasar farmasi dengan pertumbuhan tercepat di Asia dan merupakan rumah bagi 260 juta penduduk. Dengan nilai pasar sekitar Rp 141,6 miliar atau setara dengan USD 10,11 miliar pada tahun 2021, hal ini menjadikan Indonesia sebagai pasar farmasi terbesar di kawasan ASEAN.
3 Faktor Utama Pertumbuhan Farmasi Indonesia
Pertumbuhan pasar farmasi Indonesia bisa dibilang sangat menjanjikan karena didukung oleh beberapa faktor seperti:
Pertumbuhan farmasi yang kuat dan stabil
Faktor pertumbuhan yang kuat ini juga didukung oleh beberapa elemen seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Obat Generik, dan manufaktur obat.
JKN merupakan program pemerintah yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan setiap penduduk yang berkisar 260 juta jiwa untuk memiliki asuransi dan akses kesehatan. Program yang dijalankan mulai tahun 2016 ini diharapkan dapat merata pada tahun 2019.
Pasar obat generik tidak bermerek memberikan kontribusi sebesar 10,8% terhadap pertumbuhan pasar farmasi. Diperkirakan sekitar Rp 8,7 triliun atau setara dengan USD 619 juta. Diharapkan pertumbuhan ini akan terus meningkat seiring dengan adanya program JKN.
Dari 210 produsen obat, 70% di antaranya adalah produsen dalam negeri, pemerintah telah melonggarkan pembatasan kepemilikan. Peraturan baru pemerintah mengenai batasan kepemilikan menyatakan bahwa perusahaan asing dapat memiliki 100% saham, yang sebelumnya hanya 75%. Peraturan baru ini akan memberikan dampak yang sangat positif, diperkirakan pada periode 2015-2025 investasi langsung di sektor farmasi akan mencapai Rp 277,4 triliun atau setara dengan USD 19,8 miliar.
Konsumsi Obat-obatan Farmasi di Indonesia
Sedikit menengok sejarah, Indonesia pernah menduduki peringkat terendah di Asia dalam hal Konsumsi Obat. peningkatan pendapatan per orang yang signifikan dapat secara perlahan membalikkan situasi ini. Dalam dekade mendatang, seiring dengan pendapatan per kapita yang terus meningkat, semakin banyak orang Indonesia yang akan membelanjakan uangnya untuk perawatan kesehatan. Lonjakan pengeluaran untuk perawatan kesehatan di Indonesia pada tahun 2022 dapat mencapai Rp 277,4 triliun atau 47,1 miliar dalam USD.
Ukuran Pasar
Pemenuhan kebutuhan obat di Indonesia terbagi sebesar 75% untuk perusahaan dalam negeri dan 25% sisanya untuk perusahaan asing. Kunci utama dari perluasan pasar farmasi di Indonesia adalah peningkatan jenis produk dan obat generik.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, peraturan pemerintah yang baru mengenai kepemilikan parsial perusahaan asing menjadi 100% diharapkan dapat menarik lebih banyak investor asing di sektor farmasi. Pada tahun 2017, hasil tersebut mulai terlihat dengan semakin banyaknya perusahaan multinasional yang membangun pabrik di sektor farmasi, terutama untuk bahan baku. Keanekaragaman hayati Indonesia menjadi sangat besar karena Indonesia merupakan rumah bagi 30.000 tanaman obat dan herbal dari total 40.000 tanaman obat dan herbal yang ada di dunia. Perusahaan-perusahaan ini mengambil keuntungan dari sumber daya tersebut.
Disadur dari: i3l.ac.id
Industri Farmasi
Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 13 Mei 2024
Jakarta (ANTARA) - Indonesia mencatatkan kenaikan sebesar 8,78 persen pada total nilai yang diperoleh dari ekspor produk farmasi pada tahun 2023, demikian disampaikan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Selasa.
"Nilai ekspor produk farmasi Indonesia, termasuk obat kimia dan obat tradisional, pada tahun 2023 mencatatkan kenaikan sebesar 8,78 persen dibandingkan dengan tahun 2022," katanya.
Dia mencatat bahwa meskipun mengalami peningkatan, kontribusi produk farmasi Indonesia ke pasar obat tradisional global masih belum signifikan.
"Nilai pasar obat tradisional global telah mencapai US$200,95 miliar pada tahun 2023 dan diperkirakan akan terus meningkat. Namun, kontribusi Indonesia terhadap pasar tersebut masih berada pada tingkat yang rendah," katanya.
Kartasasmita mencatat bahwa Indonesia memiliki potensi obat alami yang sangat besar yang harus dioptimalkan, mengingat fakta bahwa tanah air Indonesia dikaruniai kekayaan sumber daya alam yang melimpah.
Oleh karena itu, menteri menekankan perlunya Indonesia mengerahkan upaya yang lebih besar lagi untuk mengembangkan industri obat alami agar dapat bersaing di tingkat global.
Dia menyarankan agar Indonesia mengoptimalkan potensi obat-obatan herbal dalam upaya untuk mempercepat pengembangan industri farmasi, mencatat bahwa UNESCO telah mendaftarkan jamu, jamu tradisional khas Indonesia, sebagai bagian dari warisan budaya takbenda dunia pada tanggal 6 Desember 2023.
Menperin kemudian menyoroti bahwa pelaku industri obat bahan alam Indonesia telah memproduksi 17 ribu obat jenis jamu, 79 obat herbal terstandar, dan 22 jenis fitofarmaka.
Berdasarkan data Bank Indonesia, volume industri kimia, farmasi, dan obat tradisional Indonesia dalam Prompt Manufacturing Index telah mencapai skor yang lebih baik yaitu 52,50 poin pada kuartal keempat tahun 2023.
Sementara itu, Kementerian Perindustrian telah merilis skor Indonesia dalam Indeks Keyakinan Industri (IKI) untuk periode Januari 2024, di mana Indonesia mencapai skor 52,35 poin, meningkat 1,03 poin dibandingkan dengan skor pada Desember 2023.
Menurut kementerian, skor ICI baru-baru ini didasarkan pada kinerja 23 subsektor. Penilaian skor memperhitungkan tingkat ekspansi dan jumlah pesanan baru, produksi, dan ketersediaan produk. (INE)
Disadur dari: en.antaranews.com
Industri Farmasi
Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 13 Mei 2024
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia sedang menyiapkan strategi untuk mengatasi penurunan posisi Indonesia di antara produsen produk farmasi halal terkemuka di dunia, kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.
Menurut The State of the Global Islamic Economy Report 2022, peringkat global sektor farmasi halal Indonesia turun ke posisi kesembilan pada tahun 2022 dari posisi keenam pada tahun 2021, katanya.
"Kita tentu perlu mencermati penurunan ini. Kita perlu mengidentifikasi negara mana saja yang menyalip kita, terutama di sektor farmasi, dan bagaimana mereka melakukannya. Kita perlu memetakannya," kata Menteri Kartasasmita dalam acara Indonesia Halal Industry Awards 2023 di Jakarta, Senin.
Dia juga menginformasikan bahwa dia telah menginstruksikan kepala Pusat Pemberdayaan Industri Halal (PPIH) kementerian untuk melakukan uji tuntas.
"Kami perlu melakukan uji tuntas, sehingga kami memiliki tolok ukur dan dapat melancarkan 'serangan balik' dengan harapan dapat mengembalikan posisi kami setidaknya ke posisi enam besar. Mudah-mudahan, di masa depan, kita akan naik ke posisi lima besar," katanya.
Menteri mengutip temuan laporan tersebut bahwa dalam hal sektor makanan halal, Indonesia naik ke posisi kedua pada tahun 2022 dari posisi keempat pada tahun 2021.
Di sektor fesyen modest, Indonesia tetap berada di posisi ketiga selama periode 2021-2022, katanya.
Namun, dalam hal indikator ekonomi syariah, Indonesia masih berada di peringkat keempat di dunia selama periode tersebut, kata menteri.
"Secara pribadi, saya tidak puas dengan (Indonesia) berada di posisi keempat," katanya.
Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa ia berharap semua pemangku kepentingan terkait akan memperkuat kolaborasi dan sinergi untuk menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan industri halal nasional.
Indonesia menargetkan untuk menjadi pusat industri halal dunia dengan mencapai target sertifikasi halal sebanyak 10 juta produk pada tahun depan, tambahnya.
Disadur dari: en.antaranews.com
Industri Farmasi
Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 13 Mei 2024
Jakarta (ANTARA) - Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pusat industri farmasi di Asia Tenggara, untuk itu transformasi di industri ini menjadi hal yang sangat penting, dengan mengadopsi inovasi sebagai basisnya, kata Center for Indonesian Policy Studies (CIPS).
"Indonesia perlu memilih kebijakan industri yang tepat dan memperhatikan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap keberhasilan. Misalnya, meningkatkan anggaran penelitian dan pengembangan serta mengadopsi fleksibilitas dalam Hak Kekayaan Intelektual (HKI)," kata peneliti madya di Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ronald Tundang dalam sebuah pernyataan yang diterima di Jakarta, Senin.
Tundang mengatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang mengusulkan agar obat dan vaksin COVID-19 menjadi komoditas publik, melalui dukungannya terhadap pengecualian perlindungan HKI untuk obat dan vaksin COVID-19 berdasarkan Perjanjian Hak Kekayaan Intelektual (TRIPs).
Pemerintah telah menerapkan kebijakan untuk memfasilitasi kemandirian industri farmasi, khususnya dalam produksi Bahan Baku Obat (BBO), misalnya melalui kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN).
Pemerintah juga mewajibkan penggunaan produk dalam negeri untuk pengadaan barang dan jasa, termasuk melalui skema Jaminan Kesehatan Nasional oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Kebijakan lain termasuk insentif fiskal, seperti pengurangan pajak dan pembebasan bea masuk bagi perusahaan farmasi yang akan memproduksi bahan baku.
Pemerintah perlu menyiapkan kebijakan yang dapat digunakan dalam skenario normal dan saat kondisi mendesak, seperti pandemi. Kebijakan industri, seperti TKDN dan insentif untuk industri BBO, dapat meningkatkan harga obat dalam kondisi mendesak.
"Harga obat yang terjangkau dan kemandirian industri farmasi merupakan dua hal yang penting namun memiliki tujuan yang berbeda. Harga obat yang terjangkau dapat dicapai melalui impor BBO, sesuatu yang bertentangan dengan kemandirian industri farmasi," katanya.
Kemandirian industri farmasi dalam jangka panjang dapat menghasilkan harga obat yang terjangkau, katanya. Namun, hal itu tidak mudah, karena membutuhkan kemampuan riset dan pengembangan yang tinggi.
Tundang mengatakan ada beberapa pilihan bagi Indonesia untuk mengembangkan industri ini.
Pertama, Indonesia dapat meniru India dan China dalam memproduksi obat generik atau mengikuti langkah Amerika Serikat dan Swiss yang menjadi pusat riset dan pengembangan teknologi.
"Selama ini Indonesia belum memiliki posisi yang jelas dalam hal ini," katanya.
Apabila Indonesia memilih opsi pertama, maka Indonesia harus menyiapkan strategi yaitu identifikasi obat paten yang akan segera habis masa berlakunya.
Hal ini memungkinkan produsen obat generik nasional untuk mengajukan izin edar untuk menggunakan obat paten yang masih berlaku. Ketentuan Bolar juga berlaku untuk opsi kedua, karena banyak negara yang menggunakannya untuk tujuan penelitian dan pengembangan.
Indonesia belum dipertimbangkan karena tidak ada basis industri untuk bahan baku obat dan karena kapasitas penelitian dan pengembangan yang rendah.
Pemerintah juga harus meningkatkan kapasitas penelitian dan mengembangkan skala industri farmasi dengan menambah anggaran untuk itu.
Saat ini, anggaran penelitian dan pengembangan Indonesia berada di peringkat terendah di G20, dengan hanya 0,2 persen dari PDB.
Disadur dari: en.antaranews.com