Industri Farmasi

Menghidupkan Kembali Industri Farmasi Lokal: Momentum Strategis dalam Penanganan Pandemi COVID-19

Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 14 Mei 2024


Jakarta. Pandemi COVID-19 yang terjadi saat ini memaksa semua negara untuk memberikan respon yang cepat, termasuk dalam penyediaan obat-obatan. Untuk memastikan keberhasilan tujuan ini, industri farmasi lokal harus mengambil peran sentral sebagai salah satu pilar pembangunan kesehatan nasional.

Permasalahan dalam rantai pasok menjadi salah satu masalah yang harus dipecahkan. Industri farmasi Indonesia sangat bergantung pada impor dan ekspor bahan baku dan peralatan, dan hal ini menjadi perhatian besar selama pandemi saat ini. 

Pietradewi Hartrianti, staf pengajar di Departemen Farmasi, Indonesia International Institute for Life Sciences (i3L), mengatakan bahwa selama ini Indonesia sangat bergantung pada impor bahan baku dari China dan India. Tingginya ketergantungan impor ini menyebabkan menurunnya daya saing obat yang diproduksi di Indonesia.

Kimia Farma (Persero) Tbk. sebagai salah satu perusahaan farmasi milik negara telah berupaya untuk memproduksi bahan baku sendiri sejak tahun 2016 melalui anak perusahaannya PT. Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP). Namun, produksi tersebut masih dalam skala yang relatif kecil. 

"Fasilitas yang kami miliki saat ini baru sebatas delapan bahan baku, namun bahan-bahan tersebut tidak terkait dengan pengobatan atau terapi COVID-19," jelas Pietradewi dalam keterangan resminya.

Pietradewi menjelaskan bahwa belum ada langkah yang diambil untuk mengantisipasi penghentian produksi bahan baku tersebut. Selain itu, penggantian produsen bahan baku harus melalui proses registrasi ulang di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). 

"Industri farmasi biasanya bergantung pada beberapa pemasok bahan baku yang berbeda dari berbagai negara yang terdaftar. Namun, jika impor produk dihentikan, maka produksi obat akan terancam," jelas Pietradewi.

Pietradewi menambahkan bahwa perusahaan farmasi milik negara lainnya, PT. Bio Farma (Persero), memiliki kapasitas untuk memproduksi vaksin. Namun, bahan baku untuk memproduksi vaksin masih harus diperoleh melalui impor. 

"Permasalahan tidak hanya muncul dari keterbatasan kapasitas Indonesia dalam memproduksi bahan baku farmasi, tetapi juga keterbatasan Indonesia dalam menyediakan bahan kimia dan biologi untuk mensintesis dan memurnikan ketika kita masih mengandalkan impor bahan baku," jelas Pietradewi.

Momentum yang Tepat

Pandemi COVID-19 saat ini dapat menjadi momentum yang tepat bagi Indonesia untuk membangkitkan dan memperkuat industri kesehatan nasional. Indonesia juga dapat membebaskan diri dari ketergantungan impor produk kesehatan.

Leonny Yulita Hartiadi, Kepala Departemen Farmasi di Indonesia International Institute for Life Sciences (i3L) menjelaskan bahwa saat COVID-19 pertama kali masuk ke Indonesia, sempat terjadi kelangkaan barang-barang yang dapat membantu mencegah penyebaran virus corona. Barang-barang tersebut antara lain hand sanitizer, alkohol, masker, pakaian pelindung, suplemen, dan multivitamin. Namun, seiring berjalannya waktu, industri farmasi Indonesia telah mampu beradaptasi dengan tantangan pandemi COVID-19. "Pemerintah telah memberikan izin kepada kami untuk mengimpor bahan baku dan peralatan untuk memproduksi obat dengan mudah. Proses perizinan untuk perusahaan peralatan medis juga telah dipermudah. Dukungan dari pemerintah ini sangat membantu dalam memenuhi kebutuhan obat dan alkes di Indonesia," kata Leonny dalam keterangan resminya.

Leonny menambahkan, di masa depan, pemerintah diharapkan dapat memproduksi lebih banyak peralatan medis untuk menangani COVID-19. Industri yang memproduksi obat-obatan, farmasi, pakaian pelindung, masker, dan ventilator juga perlu didukung. Hal ini sejalan dengan Instruksi Presiden (Inpres) nomor 6 tahun 2016 untuk mendukung kemandirian dan meningkatkan daya saing industri farmasi dan alat kesehatan dalam negeri.

Jakarta. Pandemi COVID-19 yang terjadi saat ini memaksa semua negara untuk memberikan respon yang cepat, termasuk dalam penyediaan obat-obatan. Untuk memastikan keberhasilan tujuan ini, industri farmasi lokal harus mengambil peran sentral sebagai salah satu pilar pembangunan kesehatan nasional. Permasalahan dalam rantai pasok menjadi salah satu masalah yang harus dipecahkan. Industri farmasi Indonesia sangat bergantung pada impor dan ekspor bahan baku dan peralatan, dan hal ini menjadi perhatian besar selama pandemi saat ini. 

Pietradewi Hartrianti, staf pengajar di Departemen Farmasi, Indonesia International Institute for Life Sciences (i3L), mengatakan bahwa selama ini Indonesia sangat bergantung pada impor bahan baku dari China dan India. Tingginya ketergantungan impor ini menyebabkan menurunnya daya saing obat yang diproduksi di Indonesia. Kimia Farma (Persero) Tbk, perusahaan farmasi milik negara, telah berupaya untuk memproduksi bahan baku sendiri sejak tahun 2016 melalui anak perusahaan mereka PT. Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP). Namun, produksi tersebut masih dalam skala yang relatif kecil. 

"Fasilitas yang kami miliki saat ini baru sebatas delapan bahan baku, namun bahan-bahan tersebut tidak terkait dengan pengobatan atau terapi COVID-19," jelas Pietradewi dalam keterangan resminya.

Pietradewi menjelaskan bahwa belum ada langkah yang diambil untuk mengantisipasi terhentinya produksi bahan baku tersebut. Selain itu, penggantian produsen bahan baku harus melalui proses registrasi ulang di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). 

"Industri farmasi biasanya bergantung pada beberapa pemasok bahan baku yang berbeda dari berbagai negara yang terdaftar. Namun, jika impor produk dihentikan, maka produksi obat akan terancam," jelas Pietradewi.

Pietradewi menambahkan bahwa perusahaan farmasi milik negara lainnya, PT. Bio Farma (Persero), memiliki kapasitas untuk memproduksi vaksin. Namun, bahan baku untuk memproduksi vaksin masih harus diperoleh melalui impor. 

"Masalah tidak hanya muncul dari keterbatasan kapasitas Indonesia dalam memproduksi bahan baku farmasi, tetapi juga keterbatasan Indonesia dalam menyediakan bahan kimia dan biologi untuk mensintesis dan memurnikannya ketika kita masih mengandalkan impor bahan baku," jelas Pietradewi.

Momentum yang Tepat

Pandemi COVID-19 saat ini dapat menjadi momentum yang tepat bagi Indonesia untuk membangkitkan dan memperkuat industri kesehatan nasional. Indonesia juga dapat membebaskan diri dari ketergantungan impor produk kesehatan.

Leonny Yulita Hartiadi, Kepala Departemen Farmasi di Indonesia International Institute for Life Sciences (i3L) menjelaskan bahwa saat COVID-19 pertama kali masuk ke Indonesia, sempat terjadi kelangkaan barang-barang yang dapat membantu mencegah penyebaran virus corona. Barang-barang tersebut antara lain hand sanitizer, alkohol, masker, pakaian pelindung, suplemen, dan multivitamin.

Namun, seiring berjalannya waktu, industri farmasi Indonesia telah mampu beradaptasi dengan tantangan pandemi COVID-19. "Pemerintah telah memberikan izin kepada kami untuk mengimpor bahan baku dan peralatan untuk memproduksi obat dengan mudah. Proses perizinan untuk perusahaan peralatan medis juga telah dipermudah. Dukungan dari pemerintah ini sangat membantu dalam memenuhi kebutuhan obat dan alkes di Indonesia," kata Leonny dalam keterangan resminya. 

Leonny menambahkan, di masa depan, pemerintah diharapkan dapat memproduksi lebih banyak peralatan medis untuk menangani COVID-19. Industri yang memproduksi obat-obatan, farmasi, pakaian pelindung, masker, dan ventilator juga perlu didukung. Hal ini sejalan dengan Instruksi Presiden (Inpres) nomor 6 tahun 2016 untuk mendukung kemandirian dan meningkatkan daya saing industri farmasi dan alat kesehatan dalam negeri.

Disadur dari: i3l.ac.id

Selengkapnya
Menghidupkan Kembali Industri Farmasi Lokal: Momentum Strategis dalam Penanganan Pandemi COVID-19

Industri Farmasi

Peran Indonesia dalam Pasar Farmasi: Pertumbuhan Signifikan dan Potensi Luas

Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 14 Mei 2024


Pertumbuhan global pasar farmasi saat ini sangat menjanjikan. Diperkirakan dalam lima tahun ke depan akan tumbuh sekitar 4,7% pada tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR). Pada tahun 2023, diprediksi penjualan pasar global akan mencapai US$1,5 triliun.

Pasar Negara Maju Utama masih akan menjadi kontributor dominan dalam pertumbuhan penjualan global. Sedangkan kelompok negara Pharmerging atau kelompok negara yang memiliki posisi rendah di pasar farmasi, namun memiliki laju pertumbuhan yang cepat seperti China, India, Brazil, Rusia, Afrika Selatan, Meksiko, Indonesia, dan Turki, secara keseluruhan kontribusinya terhadap pertumbuhan penjualan global akan terus meningkat menjadi hampir 35% selama periode proyeksi.

Kontribusi Indonesia sebagai salah satu pharmerging dapat dikatakan cukup signifikan. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan salah satu pasar farmasi dengan pertumbuhan tercepat di Asia dan merupakan rumah bagi 260 juta penduduk. Dengan nilai pasar sekitar Rp 141,6 miliar atau setara dengan USD 10,11 miliar pada tahun 2021, hal ini menjadikan Indonesia sebagai pasar farmasi terbesar di kawasan ASEAN.

3 Faktor Utama Pertumbuhan Farmasi Indonesia
Pertumbuhan pasar farmasi Indonesia bisa dibilang sangat menjanjikan karena didukung oleh beberapa faktor seperti:

Pertumbuhan farmasi yang kuat dan stabil
Faktor pertumbuhan yang kuat ini juga didukung oleh beberapa elemen seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Obat Generik, dan manufaktur obat.

JKN merupakan program pemerintah yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan setiap penduduk yang berkisar 260 juta jiwa untuk memiliki asuransi dan akses kesehatan. Program yang dijalankan mulai tahun 2016 ini diharapkan dapat merata pada tahun 2019.

Pasar obat generik tidak bermerek memberikan kontribusi sebesar 10,8% terhadap pertumbuhan pasar farmasi. Diperkirakan sekitar Rp 8,7 triliun atau setara dengan USD 619 juta. Diharapkan pertumbuhan ini akan terus meningkat seiring dengan adanya program JKN.

Dari 210 produsen obat, 70% di antaranya adalah produsen dalam negeri, pemerintah telah melonggarkan pembatasan kepemilikan. Peraturan baru pemerintah mengenai batasan kepemilikan menyatakan bahwa perusahaan asing dapat memiliki 100% saham, yang sebelumnya hanya 75%. Peraturan baru ini akan memberikan dampak yang sangat positif, diperkirakan pada periode 2015-2025 investasi langsung di sektor farmasi akan mencapai Rp 277,4 triliun atau setara dengan USD 19,8 miliar.

Konsumsi Obat-obatan Farmasi di Indonesia
Sedikit menengok sejarah, Indonesia pernah menduduki peringkat terendah di Asia dalam hal Konsumsi Obat. peningkatan pendapatan per orang yang signifikan dapat secara perlahan membalikkan situasi ini. Dalam dekade mendatang, seiring dengan pendapatan per kapita yang terus meningkat, semakin banyak orang Indonesia yang akan membelanjakan uangnya untuk perawatan kesehatan. Lonjakan pengeluaran untuk perawatan kesehatan di Indonesia pada tahun 2022 dapat mencapai Rp 277,4 triliun atau 47,1 miliar dalam USD.

Ukuran Pasar
Pemenuhan kebutuhan obat di Indonesia terbagi sebesar 75% untuk perusahaan dalam negeri dan 25% sisanya untuk perusahaan asing. Kunci utama dari perluasan pasar farmasi di Indonesia adalah peningkatan jenis produk dan obat generik.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, peraturan pemerintah yang baru mengenai kepemilikan parsial perusahaan asing menjadi 100% diharapkan dapat menarik lebih banyak investor asing di sektor farmasi. Pada tahun 2017, hasil tersebut mulai terlihat dengan semakin banyaknya perusahaan multinasional yang membangun pabrik di sektor farmasi, terutama untuk bahan baku. Keanekaragaman hayati Indonesia menjadi sangat besar karena Indonesia merupakan rumah bagi 30.000 tanaman obat dan herbal dari total 40.000 tanaman obat dan herbal yang ada di dunia. Perusahaan-perusahaan ini mengambil keuntungan dari sumber daya tersebut.

Disadur dari: i3l.ac.id

Selengkapnya
Peran Indonesia dalam Pasar Farmasi: Pertumbuhan Signifikan dan Potensi Luas

Industri Farmasi

Kenaikan 8,78 Persen: Ekspor Produk Farmasi Indonesia Meningkat, Tantangan dan Potensi di Pasar Global

Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 13 Mei 2024


Jakarta (ANTARA) - Indonesia mencatatkan kenaikan sebesar 8,78 persen pada total nilai yang diperoleh dari ekspor produk farmasi pada tahun 2023, demikian disampaikan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Selasa.

"Nilai ekspor produk farmasi Indonesia, termasuk obat kimia dan obat tradisional, pada tahun 2023 mencatatkan kenaikan sebesar 8,78 persen dibandingkan dengan tahun 2022," katanya.

Dia mencatat bahwa meskipun mengalami peningkatan, kontribusi produk farmasi Indonesia ke pasar obat tradisional global masih belum signifikan.

"Nilai pasar obat tradisional global telah mencapai US$200,95 miliar pada tahun 2023 dan diperkirakan akan terus meningkat. Namun, kontribusi Indonesia terhadap pasar tersebut masih berada pada tingkat yang rendah," katanya.

Kartasasmita mencatat bahwa Indonesia memiliki potensi obat alami yang sangat besar yang harus dioptimalkan, mengingat fakta bahwa tanah air Indonesia dikaruniai kekayaan sumber daya alam yang melimpah.

Oleh karena itu, menteri menekankan perlunya Indonesia mengerahkan upaya yang lebih besar lagi untuk mengembangkan industri obat alami agar dapat bersaing di tingkat global.

Dia menyarankan agar Indonesia mengoptimalkan potensi obat-obatan herbal dalam upaya untuk mempercepat pengembangan industri farmasi, mencatat bahwa UNESCO telah mendaftarkan jamu, jamu tradisional khas Indonesia, sebagai bagian dari warisan budaya takbenda dunia pada tanggal 6 Desember 2023.

Menperin kemudian menyoroti bahwa pelaku industri obat bahan alam Indonesia telah memproduksi 17 ribu obat jenis jamu, 79 obat herbal terstandar, dan 22 jenis fitofarmaka.

Berdasarkan data Bank Indonesia, volume industri kimia, farmasi, dan obat tradisional Indonesia dalam Prompt Manufacturing Index telah mencapai skor yang lebih baik yaitu 52,50 poin pada kuartal keempat tahun 2023.

Sementara itu, Kementerian Perindustrian telah merilis skor Indonesia dalam Indeks Keyakinan Industri (IKI) untuk periode Januari 2024, di mana Indonesia mencapai skor 52,35 poin, meningkat 1,03 poin dibandingkan dengan skor pada Desember 2023.

Menurut kementerian, skor ICI baru-baru ini didasarkan pada kinerja 23 subsektor. Penilaian skor memperhitungkan tingkat ekspansi dan jumlah pesanan baru, produksi, dan ketersediaan produk. (INE)

Disadur dari: en.antaranews.com

Selengkapnya
Kenaikan 8,78 Persen: Ekspor Produk Farmasi Indonesia Meningkat, Tantangan dan Potensi di Pasar Global

Industri Farmasi

Indonesia Membangun Strategi Peningkatan Peringkat Farmasi Halal

Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 13 Mei 2024


Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia sedang menyiapkan strategi untuk mengatasi penurunan posisi Indonesia di antara produsen produk farmasi halal terkemuka di dunia, kata Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.

Menurut The State of the Global Islamic Economy Report 2022, peringkat global sektor farmasi halal Indonesia turun ke posisi kesembilan pada tahun 2022 dari posisi keenam pada tahun 2021, katanya.

"Kita tentu perlu mencermati penurunan ini. Kita perlu mengidentifikasi negara mana saja yang menyalip kita, terutama di sektor farmasi, dan bagaimana mereka melakukannya. Kita perlu memetakannya," kata Menteri Kartasasmita dalam acara Indonesia Halal Industry Awards 2023 di Jakarta, Senin.

Dia juga menginformasikan bahwa dia telah menginstruksikan kepala Pusat Pemberdayaan Industri Halal (PPIH) kementerian untuk melakukan uji tuntas.

"Kami perlu melakukan uji tuntas, sehingga kami memiliki tolok ukur dan dapat melancarkan 'serangan balik' dengan harapan dapat mengembalikan posisi kami setidaknya ke posisi enam besar. Mudah-mudahan, di masa depan, kita akan naik ke posisi lima besar," katanya.

Menteri mengutip temuan laporan tersebut bahwa dalam hal sektor makanan halal, Indonesia naik ke posisi kedua pada tahun 2022 dari posisi keempat pada tahun 2021.

Di sektor fesyen modest, Indonesia tetap berada di posisi ketiga selama periode 2021-2022, katanya.

Namun, dalam hal indikator ekonomi syariah, Indonesia masih berada di peringkat keempat di dunia selama periode tersebut, kata menteri.

"Secara pribadi, saya tidak puas dengan (Indonesia) berada di posisi keempat," katanya.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa ia berharap semua pemangku kepentingan terkait akan memperkuat kolaborasi dan sinergi untuk menciptakan ekosistem yang mendukung pertumbuhan industri halal nasional.

Indonesia menargetkan untuk menjadi pusat industri halal dunia dengan mencapai target sertifikasi halal sebanyak 10 juta produk pada tahun depan, tambahnya.

Disadur dari: en.antaranews.com

Selengkapnya
Indonesia Membangun Strategi Peningkatan Peringkat Farmasi Halal

Industri Farmasi

Potensi Indonesia sebagai Pusat Industri Farmasi di Asia Tenggara: Transformasi, Inovasi, dan Kebijakan yang Mendukung

Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 13 Mei 2024


Jakarta (ANTARA) - Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pusat industri farmasi di Asia Tenggara, untuk itu transformasi di industri ini menjadi hal yang sangat penting, dengan mengadopsi inovasi sebagai basisnya, kata Center for Indonesian Policy Studies (CIPS).

"Indonesia perlu memilih kebijakan industri yang tepat dan memperhatikan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap keberhasilan. Misalnya, meningkatkan anggaran penelitian dan pengembangan serta mengadopsi fleksibilitas dalam Hak Kekayaan Intelektual (HKI)," kata peneliti madya di Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Ronald Tundang dalam sebuah pernyataan yang diterima di Jakarta, Senin.

Tundang mengatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang mengusulkan agar obat dan vaksin COVID-19 menjadi komoditas publik, melalui dukungannya terhadap pengecualian perlindungan HKI untuk obat dan vaksin COVID-19 berdasarkan Perjanjian Hak Kekayaan Intelektual (TRIPs).

Pemerintah telah menerapkan kebijakan untuk memfasilitasi kemandirian industri farmasi, khususnya dalam produksi Bahan Baku Obat (BBO), misalnya melalui kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN).

Pemerintah juga mewajibkan penggunaan produk dalam negeri untuk pengadaan barang dan jasa, termasuk melalui skema Jaminan Kesehatan Nasional oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Kebijakan lain termasuk insentif fiskal, seperti pengurangan pajak dan pembebasan bea masuk bagi perusahaan farmasi yang akan memproduksi bahan baku.

Pemerintah perlu menyiapkan kebijakan yang dapat digunakan dalam skenario normal dan saat kondisi mendesak, seperti pandemi. Kebijakan industri, seperti TKDN dan insentif untuk industri BBO, dapat meningkatkan harga obat dalam kondisi mendesak.

"Harga obat yang terjangkau dan kemandirian industri farmasi merupakan dua hal yang penting namun memiliki tujuan yang berbeda. Harga obat yang terjangkau dapat dicapai melalui impor BBO, sesuatu yang bertentangan dengan kemandirian industri farmasi," katanya.

Kemandirian industri farmasi dalam jangka panjang dapat menghasilkan harga obat yang terjangkau, katanya. Namun, hal itu tidak mudah, karena membutuhkan kemampuan riset dan pengembangan yang tinggi.

Tundang mengatakan ada beberapa pilihan bagi Indonesia untuk mengembangkan industri ini.

Pertama, Indonesia dapat meniru India dan China dalam memproduksi obat generik atau mengikuti langkah Amerika Serikat dan Swiss yang menjadi pusat riset dan pengembangan teknologi.

"Selama ini Indonesia belum memiliki posisi yang jelas dalam hal ini," katanya.

Apabila Indonesia memilih opsi pertama, maka Indonesia harus menyiapkan strategi yaitu identifikasi obat paten yang akan segera habis masa berlakunya.

Hal ini memungkinkan produsen obat generik nasional untuk mengajukan izin edar untuk menggunakan obat paten yang masih berlaku. Ketentuan Bolar juga berlaku untuk opsi kedua, karena banyak negara yang menggunakannya untuk tujuan penelitian dan pengembangan.

Indonesia belum dipertimbangkan karena tidak ada basis industri untuk bahan baku obat dan karena kapasitas penelitian dan pengembangan yang rendah.

Pemerintah juga harus meningkatkan kapasitas penelitian dan mengembangkan skala industri farmasi dengan menambah anggaran untuk itu.

Saat ini, anggaran penelitian dan pengembangan Indonesia berada di peringkat terendah di G20, dengan hanya 0,2 persen dari PDB.

Disadur dari: en.antaranews.com

Selengkapnya
Potensi Indonesia sebagai Pusat Industri Farmasi di Asia Tenggara: Transformasi, Inovasi, dan Kebijakan yang Mendukung

Industri Farmasi

Peran Etana dalam Masa Depan Layanan Kesehatan di Indonesia: Inovasi Bioteknologi untuk Produksi Lokal dan Kemandirian Kesehatan

Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 13 Mei 2024


Di negara dengan populasi yang berkembang pesat dan permintaan yang terus meningkat akan layanan kesehatan yang berkualitas, peran penting bioteknologi di Indonesia tidak dapat dilebih-lebihkan. Hal ini bukan hanya sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan warganya, namun juga sebagai jalan untuk mencapai kemandirian nasional dalam bidang kesehatan. Memanfaatkan bioteknologi untuk memenuhi kebutuhan kesehatan warganya sangat penting dalam membangun sistem kesehatan yang tangguh. 

Namun, Indonesia masih tertinggal dalam pengembangan bioteknologi. Menurut Global Biotechnology Innovation Scorecard 2021, Indonesia berada di peringkat ke-52 dari 54 negara dalam pengembangan bioteknologi. Indonesia masih bergantung pada bahan baku obat impor, dan sektor bioteknologi dalam negeri masih dalam tahap awal. 

Dalam memajukan lanskap kesehatan Indonesia, ada dua alasan kuat mengapa perusahaan teknologi kesehatan sangat penting, terutama untuk mengembangkan bioteknologi untuk aplikasi medis. Pertama, buku putih Genomics dari East Ventures mencatat bahwa Indonesia menyaksikan peningkatan kasus resistensi antimikroba, membuat antibiotik dan obat-obatan antimikroba menjadi kurang efektif dan infeksi semakin sulit untuk diobati. Kedua, kita menghadapi tantangan dalam pengobatan primer yang menggunakan obat-obatan yang disintesis secara kimiawi, sehingga membutuhkan terapi yang lebih agresif. Indonesia masih sangat bergantung pada produk biologi onkologi impor, sehingga kita perlu mengembangkan produksi biologi lokal untuk infeksi, hipertensi jantung, kanker, dan penyakit ginjal.

Untuk menjawab tantangan ini, Etana adalah perusahaan bioteknologi terkemuka yang didirikan di Indonesia pada tahun 2014. Etana telah menjadi pengubah permainan dalam merevolusi sistem perawatan kesehatan nasional. Melalui terobosan-terobosan yang dilakukannya dengan platform biologi, Etana menjadi ujung tombak kemajuan bioteknologi di Indonesia. Perusahaan ini baru-baru ini mendapatkan pendanaan dari East Ventures dan investor global lainnya untuk memperkuat lini produk dan portofolio mereka, dengan fokus pada produk onkologi biologi dan fasilitas manufaktur bahan obat.

Kami percaya pada Etana dan misi mereka untuk mentransformasi layanan kesehatan di Indonesia melalui bioteknologi. Karya mereka dalam teknologi mRNA dan antibodi monoklonal dapat memberikan solusi inovatif bagi pasien yang membutuhkan, membentuk kembali lanskap perawatan kesehatan.

Merintis bioteknologi untuk produksi lokal 
Kemajuan luar biasa dalam bioteknologi baru-baru ini datang dari platform RNA. Teknologi mRNA memiliki potensi yang sangat besar untuk sistem kesehatan Indonesia. Teknologi ini menyediakan platform pengembangan vaksin yang fleksibel yang dapat dengan cepat menanggapi permintaan akan produk biofarmasi yang inovatif dan mudah beradaptasi, termasuk vaksin kanker. 

Di Asia Tenggara, Etana merupakan pelopor dalam pemanfaatan platform berbasis mRNA dan peptida virus untuk produksi vaksin. Dengan memanfaatkan teknologi mRNA, Etana telah berhasil mengembangkan vaksin mRNA COVID-19 yang telah mendapatkan izin penggunaan darurat, ketentuan halal, dan sertifikat dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pencapaian ini mendapat apresiasi dari Presiden Joko Widodo.

"Peresmian pabrik biofarmasi Etana dilakukan oleh Presiden Republik Indonesia, Ir. H. Joko Widodo, didampingi oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan; Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin; Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Penny K. Lukito; dan Presiden Direktur Etana, Nathan Tirtana.  Pabrik ini diresmikan pada Oktober 2022 dan berlokasi di Kawasan Industri Pulogadung (JIEP), Jakarta. Sumber foto: Etana"

Komitmen Etana meluas ke produksi sel mamalia untuk antibodi monoklonal. Dengan membangun kapasitas produksi sel mamalia, Etana memastikan produksi dengan kandungan lokal yang tinggi dan kemampuan teknologi. Rencana Etana meliputi produksi biosimilar bevacizumab, obat antibodi monoklonal anti-VEGF rekombinan yang dimanusiakan untuk pasien kanker. Dengan menggunakan sel mamalia untuk memproduksi protein terapeutik, produk yang dihasilkan lebih menyerupai protein endogen manusia, sehingga fungsional dan relevan secara klinis. Strategi ini memungkinkan Etana untuk meningkatkan kapasitas produksi bahan baku obat biologis mereka.

Ke depannya, Etana akan fokus pada produksi lokal dan transfer teknologi melalui kerja sama dengan para mitra. Tujuannya adalah untuk meningkatkan jalur pengobatan dengan mengganti atau melengkapi produk kimia dengan alternatif biologis, sehingga memperluas jangkauan pilihan pengobatan yang tersedia bagi pasien. Etana secara aktif terlibat dalam pendidikan, diskusi, dan sesi konsultasi dengan institusi dan asosiasi medis untuk mendorong dialog dan berbagi pengetahuan, yang pada akhirnya meningkatkan kesadaran dan pemanfaatan produk biologis dalam komunitas medis.

Etana memberikan penekanan yang signifikan dalam memastikan sertifikasi halal dan ketertelusuran semua produk mereka. Dengan mayoritas penduduk Indonesia yang beragama Islam, mematuhi standar halal sangatlah penting. Vaksin mRNA COVID-19 Etana telah memperoleh sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), sehingga menjamin pasien yang lebih luas. Dengan memprioritaskan sertifikasi halal dan ketertelusuran, Etana tidak hanya memenuhi kebutuhan populasi Muslim Indonesia tetapi juga menunjukkan komitmennya terhadap kepatuhan dan kesesuaian produk. 

East Ventures mengakui Etana sebagai perintis dalam gelombang baru dalam lanskap kesehatan di Indonesia: memanfaatkan bioteknologi untuk mempromosikan produksi lokal. Kami akan terus mendukung perusahaan teknologi kesehatan seperti Etana dalam mengatasi tantangan kesehatan di Indonesia, untuk bangsa yang lebih sehat.

Disadur dari: east.vc

Selengkapnya
Peran Etana dalam Masa Depan Layanan Kesehatan di Indonesia: Inovasi Bioteknologi untuk Produksi Lokal dan Kemandirian Kesehatan
« First Previous page 4 of 5 Next Last »