Industri Farmasi

Gaji Pokok Industri Kimia di Indonesia 25% Lebih Tinggi Dibandingkan Industri Lain, Kekurangan Tenaga Ahli Jadi Penyebabnya

Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 14 Mei 2024


JAKARTA, KOMPAS.com - Gaji pokok pada industri kimia di Indonesia 25 persen lebih tinggi dibandingkan industri lain pada umumnya. Demikian disampaikan perusahaan konsultan global bidang SDM dan organisasi, Korn Ferry, dalam laporan yang berjudul Reward in Asia Pacific Chemical Sector 2019. Chairman & Managing Director, Korn Ferry Indonesia, Satya Radjasa mengatakan, tingginya gaji di industri kimia Indonesia tersebut karena masih kurangnya tenaga ahli di bidang itu.

“Industri kimia di Indonesia yang sedang berkembang menghadapi tantangan terkait permintaan tenaga kerja dengan keahlian yang tepat. Kebutuhannya tidak hanya sebatas profesional saja, melainkan para profesional dengan keahlian industri yang tepat," kata dia dalam siaran pernya Rabu (21/08/2019).

Dia menyebutkan, studi terbaru Korn Ferry mengenai sumber daya manusia dalam industri kimia di wilayah Asia Pasifik menunjukkan bahwa lebih dari setengah perusahaan kimia di Asia Pasifik saat ini mengalami kekurangan insinyur dan tenaga ahli bidang quality assurance. Sementara itu lebih dari 40 persen perusahaan kesulitan merekrut tenaga ahli bidang Research & Development (R&D) dan bidang produksi.

"Khusus untuk Indonesia, hal ini menyebabkan proyeksi gaji pokok pada industri kimia di Indonesia meningkat sebesar 8,3 persen pada tahun 2019 dibandingkan dengan industri pada umumnya. Angka ini juga merupakan yang tertinggi kedua di kawasan Asia Pasifik setelah India yang diproyeksikan sebesar 9,8 persen,” ucap dia.

Menurut Cefic Chemdata International 2018, penjualan bahan kimia Indonesia pada 2017 mencapai 43 miliar euro (Rp 693 triliun). Jumlah ini kurang dari 2 persen dari penjualan bahan kimia global yang mencapai  3.475 miliar euro.

Kementerian Perindustrian Indonesia sendiri telah mengidentifikasi sektor kimia sebagai salah satu dari lima sektor prioritas dalam road map "Making Indonesia 4.0".

Industri kimia di Indonesia merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia dan mendukung kegiatan manufaktur utama dalam industri makanan & minuman, otomotif, tekstil, farmasi, dan elektronik. Industri kimia juga merupakan penyedia solusi yang penting untuk berbagai tantangan global seperti perubahan iklim, pertumbuhan populasi dan degradasi lingkungan.

Sumber: money.kompas.com

Selengkapnya
Gaji Pokok Industri Kimia di Indonesia 25% Lebih Tinggi Dibandingkan Industri Lain, Kekurangan Tenaga Ahli Jadi Penyebabnya

Industri Farmasi

Perusahaan Farmasi Indonesia Berpartisipasi dalam Pameran Medis di Vietnam, Mengeksplorasi Potensi Pasar dan Kerja Sama

Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 14 Mei 2024


Ho Chi Minh City, 3 Agustus 2023 - Sepuluh perusahaan farmasi dan alat kesehatan dari Indonesia berpartisipasi dalam pameran industri medis terbesar di Vietnam, The 21st International Medical, Hospital and Pharmaceutical Exhibition (Medi-Pharm Expo), yang diselenggarakan di Ho Chi Minh City (HCMC), 3-5 Agustus 2023.

PT Sugih Intrumendo Abadi, PT Dexa Medica, PT Graha Tekno Medika, PT Oneject Indonesia, PT Prodia Diagnostic Line, PT Meditech Indonesia, PT Likuid Farmalab Indonesia, PT Kalbe International, PT Brightgene Biomedical Indonesia, dan CV Bartec Indonesia turut serta dalam pameran ini untuk memperluas pasar di Vietnam.

Medipharm diselenggarakan dua kali dalam setahun di Vietnam (Agustus di HCMC dan Desember di Hanoi). Sektor farmasi di Vietnam memiliki pertumbuhan tertinggi di kawasan ini karena peningkatan pendapatan per kapita, jumlah penduduk Vietnam yang terus meningkat, pengembangan infrastruktur medis, dan kebijakan pemerintah yang mendukung pertumbuhan pasar farmasi di Vietnam.

Pasar farmasi Vietnam terus tumbuh mencapai nilai total US$ 6,98 miliar pada tahun 2022 dan diperkirakan akan mencapai US$ 16,1 miliar pada tahun 2026. Sementara itu, pengeluaran layanan medis Vietnam pada tahun 2019 tercatat sebesar US$17 miliar (6,6% dari PDB) dan mencapai US$23 miliar pada tahun 2022 dengan tingkat pertumbuhan CAGR sebesar 10,7%.

Dengan jumlah penduduk yang mencapai 100 juta jiwa tahun ini, dan ekonomi yang terus berkembang, pengeluaran untuk obat-obatan diperkirakan akan tumbuh lebih cepat. Data dari Bank Dunia memperkirakan pendapatan per kapita Vietnam pada tahun 2022 mencapai USD 4.163. Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi Vietnam yang pesat perlu diantisipasi oleh Indonesia. Industri farmasi dan alat kesehatan merupakan salah satu dari beberapa industri strategis yang perlu dikembangkan secara efektif di kawasan ini.

Viet Nam memiliki potensi besar untuk menjadi tujuan ekspor produk farmasi Indonesia, karena perannya sebagai rantai pasok di kawasan ini terutama untuk Kamboja dan Laos. Jumlah penduduk Vietnam yang besar dan peningkatan usia harapan hidup menjadi 76 tahun, telah mendorong pemerintah Vietnam untuk meningkatkan fasilitas kesehatan, baik produk farmasi maupun alat kesehatan yang berkualitas tinggi.

Pertumbuhan industri farmasi Vietnam juga mulai berkembang, di mana 10 perusahaan teratas (lokal dan asing) menguasai 28% pangsa pasar, dibandingkan dengan Indonesia yang telah mencapai 55% pangsa pasar. Industri farmasi Vietnam saat ini sedang berlomba untuk meningkatkan kapasitas mereka untuk memenuhi standar Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) Uni Eropa. Hal ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi upaya Indonesia dalam meningkatkan daya saing produknya.

Medipharm telah memberikan kesempatan untuk mengidentifikasi kompetitor dan produk utama yang dibutuhkan oleh pasar di kawasan ini serta potensi kerja sama di sektor medis yang dapat dikembangkan bersama oleh kedua negara.

Direktur Jenderal Administrasi Obat Viet Nam (DAV), Mr. Vu Tuan Cuong dalam kunjungannya ke Paviliun Indonesia mengapresiasi kualitas produk farmasi dan alat kesehatan Indonesia yang meliputi produk diagnostik in vitro, elektromedis, alat diagnostik, dan produk habis pakai.

Di sela-sela pameran, KBRI Hanoi menyelenggarakan seminar yang mengundang DAV untuk memberikan informasi terkini mengenai kebijakan Vietnam terkait registrasi obat dan alat kesehatan, serta peluang kerja sama dan investasi.

Mewakili KBRI Hanoi dan KJRI Hanoi, Konsul Jenderal RI Hanoi menegaskan potensi besar untuk kerja sama investasi dan akses pasar bagi kedua negara serta mendorong para pelaku usaha untuk saling mengenal dan memahami satu sama lain serta mengunjungi lokasi pabrik untuk menjajaki kerja sama yang lebih konkret.

Seminar ini dilaksanakan secara interaktif dan membahas potensi investasi, pengembangan produk, peningkatan kapasitas produksi, dan transfer teknologi di sektor farmasi dan alat kesehatan.

Pameran ini dihadiri oleh sekitar 400 peserta pameran dari 22 negara dan wilayah dan lebih dari 11.000 pengunjung. Pameran tahun ini menegaskan kembali pentingnya pasar Vietnam sebagai negara dengan populasi terbesar ketiga di ASEAN, yang harus diikuti dengan peningkatan branding produk farmasi dan alat kesehatan Indonesia di wilayah tersebut.

Disadur dari: kemlu.go.id

Selengkapnya
Perusahaan Farmasi Indonesia Berpartisipasi dalam Pameran Medis di Vietnam, Mengeksplorasi Potensi Pasar dan Kerja Sama

Industri Farmasi

Kebijakan Konten Lokal: Strategi Indonesia Mengurangi Impor Farmasi melalui Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 14 Mei 2024


Jakarta. Indonesia menerapkan strategi pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam upaya mengurangi impor farmasi tanpa perlu khawatir akan digugat di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Indonesia sangat bergantung pada bahan-bahan farmasi dan alat kesehatan yang diimpor. Untuk mengatasi ketergantungan yang berlebihan ini, Jakarta saat ini memiliki kebijakan konten lokal yang mempromosikan input atau sumber daya dalam negeri dalam produksi industri. Peraturan ini berlaku untuk pengadaan barang dan jasa pemerintah yang memungkinkan pemerintah - termasuk rumah sakit milik pemerintah - untuk berbelanja secara online melalui e-katalog. Barang-barang yang memenuhi tingkat kandungan lokal tertentu akan diprioritaskan dalam sistem katalog digital. Dengan cara ini, Indonesia dapat mengembangkan industri dalam negerinya tanpa melanggar aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.

Budi mengenang masa-masa ketika Indonesia bergulat dengan pandemi Covid-19. Indonesia telah memiliki kapasitas untuk memproduksi obat-obatan. Namun, negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini harus mengimpor hampir 95 persen dari bahan-bahan farmasi yang dibutuhkan untuk produksinya.

"Sekitar dua tahun 10 bulan telah berlalu sejak saya menjadi menteri kesehatan. Dari 10 bahan farmasi yang paling banyak digunakan di Indonesia, enam di antaranya sudah dapat diproduksi di dalam negeri. Kami [pemerintah] meminta para produsen farmasi untuk membeli bahan-bahan yang diproduksi di dalam negeri. Jika tidak, pemerintah tidak akan membeli produk mereka," ujar Budi dalam acara Investor Daily Roundtable yang diselenggarakan oleh B-Universe di Jakarta, Kamis malam.

"Jadi mengapa kami melakukan strategi pengadaan pemerintah ini untuk mendorong industri farmasi lokal? Karena ini tidak melanggar aturan WTO," ujar Budi pada forum tersebut.

Mantan bankir ini mengatakan bahwa meskipun sistem pengadaan barang masih perlu diperbaiki, namun impor barang di sektor kesehatan telah menurun.

"Kami telah meminta rumah sakit-rumah sakit milik pemerintah untuk membeli produk lokal melalui e-katalog. Sistemnya mungkin belum sempurna. Namun, pengeluaran saya [Kementerian Kesehatan] sekitar Rp 20 triliun [$ 1,3 miliar], tetapi kami telah memangkas barang impor dari 90 persen menjadi hampir 50 persen," kata Budi.

Perjanjian-perjanjian WTO pada umumnya mengadopsi apa yang disebut sebagai prinsip "perlakuan nasional", yang menyerukan agar negara-negara tidak melakukan diskriminasi terhadap barang-barang impor yang mendukung barang-barang yang diproduksi secara lokal. Hal ini termasuk Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan (GATT) di mana Indonesia merupakan salah satu penandatangannya. Namun, GATT menyatakan bahwa pengadaan barang dan jasa pemerintah dikecualikan dari prinsip perlakuan nasional.

Indonesia juga merupakan negara anggota WTO yang menandatangani Perjanjian tentang Tindakan Investasi Terkait Perdagangan (TRIMS), yang mendorong perlakuan yang sama terhadap barang.

Aturan kandungan lokal di Jakarta telah memicu kekhawatiran di antara negara-negara anggota dalam pertemuan-pertemuan Komite TRIMS sebelumnya. Sebagai contoh, Uni Eropa (UE) menganggap kebijakan kandungan lokal mengkhawatirkan karena Indonesia mengimpor lebih dari 95 persen bahan baku aktif farmasi. Uni Eropa mencoba untuk mendorong Indonesia agar berfokus pada kebijakan yang memberikan insentif lebih banyak investasi di industri farmasi lokal daripada memberlakukan kebijakan konten lokal. Meskipun sama seperti GATT, aturan kandungan lokal pada produk yang dibeli untuk keperluan pemerintah tidak akan dianggap sebagai pelanggaran pakta TRIMS.

Tidak masuknya pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam perjanjian WTO mendorong sejumlah negara untuk merundingkan peraturan perdagangan mengenai hal tersebut. Dengan demikian, terbentuklah Perjanjian Pengadaan Pemerintah (Government Procurement Agreement/GPA). Perjanjian ini mengharuskan negara-negara untuk tidak memberikan perlakuan khusus kepada produk yang diproduksi di dalam negeri dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Namun, GPA tidak berlaku untuk Indonesia karena Indonesia belum menandatangani perjanjian tersebut. Pihak-pihak yang menandatangani GPA termasuk Uni Eropa dan Amerika Serikat. Namun, Indonesia adalah negara pengamat GPA.

Disadur dari: jakartaglobe.id

Selengkapnya
Kebijakan Konten Lokal: Strategi Indonesia Mengurangi Impor Farmasi melalui Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

Industri Farmasi

Menghidupkan Kembali Industri Farmasi Lokal: Momentum Strategis dalam Penanganan Pandemi COVID-19

Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 14 Mei 2024


Jakarta. Pandemi COVID-19 yang terjadi saat ini memaksa semua negara untuk memberikan respon yang cepat, termasuk dalam penyediaan obat-obatan. Untuk memastikan keberhasilan tujuan ini, industri farmasi lokal harus mengambil peran sentral sebagai salah satu pilar pembangunan kesehatan nasional.

Permasalahan dalam rantai pasok menjadi salah satu masalah yang harus dipecahkan. Industri farmasi Indonesia sangat bergantung pada impor dan ekspor bahan baku dan peralatan, dan hal ini menjadi perhatian besar selama pandemi saat ini. 

Pietradewi Hartrianti, staf pengajar di Departemen Farmasi, Indonesia International Institute for Life Sciences (i3L), mengatakan bahwa selama ini Indonesia sangat bergantung pada impor bahan baku dari China dan India. Tingginya ketergantungan impor ini menyebabkan menurunnya daya saing obat yang diproduksi di Indonesia.

Kimia Farma (Persero) Tbk. sebagai salah satu perusahaan farmasi milik negara telah berupaya untuk memproduksi bahan baku sendiri sejak tahun 2016 melalui anak perusahaannya PT. Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP). Namun, produksi tersebut masih dalam skala yang relatif kecil. 

"Fasilitas yang kami miliki saat ini baru sebatas delapan bahan baku, namun bahan-bahan tersebut tidak terkait dengan pengobatan atau terapi COVID-19," jelas Pietradewi dalam keterangan resminya.

Pietradewi menjelaskan bahwa belum ada langkah yang diambil untuk mengantisipasi penghentian produksi bahan baku tersebut. Selain itu, penggantian produsen bahan baku harus melalui proses registrasi ulang di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). 

"Industri farmasi biasanya bergantung pada beberapa pemasok bahan baku yang berbeda dari berbagai negara yang terdaftar. Namun, jika impor produk dihentikan, maka produksi obat akan terancam," jelas Pietradewi.

Pietradewi menambahkan bahwa perusahaan farmasi milik negara lainnya, PT. Bio Farma (Persero), memiliki kapasitas untuk memproduksi vaksin. Namun, bahan baku untuk memproduksi vaksin masih harus diperoleh melalui impor. 

"Permasalahan tidak hanya muncul dari keterbatasan kapasitas Indonesia dalam memproduksi bahan baku farmasi, tetapi juga keterbatasan Indonesia dalam menyediakan bahan kimia dan biologi untuk mensintesis dan memurnikan ketika kita masih mengandalkan impor bahan baku," jelas Pietradewi.

Momentum yang Tepat

Pandemi COVID-19 saat ini dapat menjadi momentum yang tepat bagi Indonesia untuk membangkitkan dan memperkuat industri kesehatan nasional. Indonesia juga dapat membebaskan diri dari ketergantungan impor produk kesehatan.

Leonny Yulita Hartiadi, Kepala Departemen Farmasi di Indonesia International Institute for Life Sciences (i3L) menjelaskan bahwa saat COVID-19 pertama kali masuk ke Indonesia, sempat terjadi kelangkaan barang-barang yang dapat membantu mencegah penyebaran virus corona. Barang-barang tersebut antara lain hand sanitizer, alkohol, masker, pakaian pelindung, suplemen, dan multivitamin. Namun, seiring berjalannya waktu, industri farmasi Indonesia telah mampu beradaptasi dengan tantangan pandemi COVID-19. "Pemerintah telah memberikan izin kepada kami untuk mengimpor bahan baku dan peralatan untuk memproduksi obat dengan mudah. Proses perizinan untuk perusahaan peralatan medis juga telah dipermudah. Dukungan dari pemerintah ini sangat membantu dalam memenuhi kebutuhan obat dan alkes di Indonesia," kata Leonny dalam keterangan resminya.

Leonny menambahkan, di masa depan, pemerintah diharapkan dapat memproduksi lebih banyak peralatan medis untuk menangani COVID-19. Industri yang memproduksi obat-obatan, farmasi, pakaian pelindung, masker, dan ventilator juga perlu didukung. Hal ini sejalan dengan Instruksi Presiden (Inpres) nomor 6 tahun 2016 untuk mendukung kemandirian dan meningkatkan daya saing industri farmasi dan alat kesehatan dalam negeri.

Jakarta. Pandemi COVID-19 yang terjadi saat ini memaksa semua negara untuk memberikan respon yang cepat, termasuk dalam penyediaan obat-obatan. Untuk memastikan keberhasilan tujuan ini, industri farmasi lokal harus mengambil peran sentral sebagai salah satu pilar pembangunan kesehatan nasional. Permasalahan dalam rantai pasok menjadi salah satu masalah yang harus dipecahkan. Industri farmasi Indonesia sangat bergantung pada impor dan ekspor bahan baku dan peralatan, dan hal ini menjadi perhatian besar selama pandemi saat ini. 

Pietradewi Hartrianti, staf pengajar di Departemen Farmasi, Indonesia International Institute for Life Sciences (i3L), mengatakan bahwa selama ini Indonesia sangat bergantung pada impor bahan baku dari China dan India. Tingginya ketergantungan impor ini menyebabkan menurunnya daya saing obat yang diproduksi di Indonesia. Kimia Farma (Persero) Tbk, perusahaan farmasi milik negara, telah berupaya untuk memproduksi bahan baku sendiri sejak tahun 2016 melalui anak perusahaan mereka PT. Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP). Namun, produksi tersebut masih dalam skala yang relatif kecil. 

"Fasilitas yang kami miliki saat ini baru sebatas delapan bahan baku, namun bahan-bahan tersebut tidak terkait dengan pengobatan atau terapi COVID-19," jelas Pietradewi dalam keterangan resminya.

Pietradewi menjelaskan bahwa belum ada langkah yang diambil untuk mengantisipasi terhentinya produksi bahan baku tersebut. Selain itu, penggantian produsen bahan baku harus melalui proses registrasi ulang di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). 

"Industri farmasi biasanya bergantung pada beberapa pemasok bahan baku yang berbeda dari berbagai negara yang terdaftar. Namun, jika impor produk dihentikan, maka produksi obat akan terancam," jelas Pietradewi.

Pietradewi menambahkan bahwa perusahaan farmasi milik negara lainnya, PT. Bio Farma (Persero), memiliki kapasitas untuk memproduksi vaksin. Namun, bahan baku untuk memproduksi vaksin masih harus diperoleh melalui impor. 

"Masalah tidak hanya muncul dari keterbatasan kapasitas Indonesia dalam memproduksi bahan baku farmasi, tetapi juga keterbatasan Indonesia dalam menyediakan bahan kimia dan biologi untuk mensintesis dan memurnikannya ketika kita masih mengandalkan impor bahan baku," jelas Pietradewi.

Momentum yang Tepat

Pandemi COVID-19 saat ini dapat menjadi momentum yang tepat bagi Indonesia untuk membangkitkan dan memperkuat industri kesehatan nasional. Indonesia juga dapat membebaskan diri dari ketergantungan impor produk kesehatan.

Leonny Yulita Hartiadi, Kepala Departemen Farmasi di Indonesia International Institute for Life Sciences (i3L) menjelaskan bahwa saat COVID-19 pertama kali masuk ke Indonesia, sempat terjadi kelangkaan barang-barang yang dapat membantu mencegah penyebaran virus corona. Barang-barang tersebut antara lain hand sanitizer, alkohol, masker, pakaian pelindung, suplemen, dan multivitamin.

Namun, seiring berjalannya waktu, industri farmasi Indonesia telah mampu beradaptasi dengan tantangan pandemi COVID-19. "Pemerintah telah memberikan izin kepada kami untuk mengimpor bahan baku dan peralatan untuk memproduksi obat dengan mudah. Proses perizinan untuk perusahaan peralatan medis juga telah dipermudah. Dukungan dari pemerintah ini sangat membantu dalam memenuhi kebutuhan obat dan alkes di Indonesia," kata Leonny dalam keterangan resminya. 

Leonny menambahkan, di masa depan, pemerintah diharapkan dapat memproduksi lebih banyak peralatan medis untuk menangani COVID-19. Industri yang memproduksi obat-obatan, farmasi, pakaian pelindung, masker, dan ventilator juga perlu didukung. Hal ini sejalan dengan Instruksi Presiden (Inpres) nomor 6 tahun 2016 untuk mendukung kemandirian dan meningkatkan daya saing industri farmasi dan alat kesehatan dalam negeri.

Disadur dari: i3l.ac.id

Selengkapnya
Menghidupkan Kembali Industri Farmasi Lokal: Momentum Strategis dalam Penanganan Pandemi COVID-19

Industri Farmasi

Peran Indonesia dalam Pasar Farmasi: Pertumbuhan Signifikan dan Potensi Luas

Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 14 Mei 2024


Pertumbuhan global pasar farmasi saat ini sangat menjanjikan. Diperkirakan dalam lima tahun ke depan akan tumbuh sekitar 4,7% pada tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR). Pada tahun 2023, diprediksi penjualan pasar global akan mencapai US$1,5 triliun.

Pasar Negara Maju Utama masih akan menjadi kontributor dominan dalam pertumbuhan penjualan global. Sedangkan kelompok negara Pharmerging atau kelompok negara yang memiliki posisi rendah di pasar farmasi, namun memiliki laju pertumbuhan yang cepat seperti China, India, Brazil, Rusia, Afrika Selatan, Meksiko, Indonesia, dan Turki, secara keseluruhan kontribusinya terhadap pertumbuhan penjualan global akan terus meningkat menjadi hampir 35% selama periode proyeksi.

Kontribusi Indonesia sebagai salah satu pharmerging dapat dikatakan cukup signifikan. Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan salah satu pasar farmasi dengan pertumbuhan tercepat di Asia dan merupakan rumah bagi 260 juta penduduk. Dengan nilai pasar sekitar Rp 141,6 miliar atau setara dengan USD 10,11 miliar pada tahun 2021, hal ini menjadikan Indonesia sebagai pasar farmasi terbesar di kawasan ASEAN.

3 Faktor Utama Pertumbuhan Farmasi Indonesia
Pertumbuhan pasar farmasi Indonesia bisa dibilang sangat menjanjikan karena didukung oleh beberapa faktor seperti:

Pertumbuhan farmasi yang kuat dan stabil
Faktor pertumbuhan yang kuat ini juga didukung oleh beberapa elemen seperti Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), Obat Generik, dan manufaktur obat.

JKN merupakan program pemerintah yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan setiap penduduk yang berkisar 260 juta jiwa untuk memiliki asuransi dan akses kesehatan. Program yang dijalankan mulai tahun 2016 ini diharapkan dapat merata pada tahun 2019.

Pasar obat generik tidak bermerek memberikan kontribusi sebesar 10,8% terhadap pertumbuhan pasar farmasi. Diperkirakan sekitar Rp 8,7 triliun atau setara dengan USD 619 juta. Diharapkan pertumbuhan ini akan terus meningkat seiring dengan adanya program JKN.

Dari 210 produsen obat, 70% di antaranya adalah produsen dalam negeri, pemerintah telah melonggarkan pembatasan kepemilikan. Peraturan baru pemerintah mengenai batasan kepemilikan menyatakan bahwa perusahaan asing dapat memiliki 100% saham, yang sebelumnya hanya 75%. Peraturan baru ini akan memberikan dampak yang sangat positif, diperkirakan pada periode 2015-2025 investasi langsung di sektor farmasi akan mencapai Rp 277,4 triliun atau setara dengan USD 19,8 miliar.

Konsumsi Obat-obatan Farmasi di Indonesia
Sedikit menengok sejarah, Indonesia pernah menduduki peringkat terendah di Asia dalam hal Konsumsi Obat. peningkatan pendapatan per orang yang signifikan dapat secara perlahan membalikkan situasi ini. Dalam dekade mendatang, seiring dengan pendapatan per kapita yang terus meningkat, semakin banyak orang Indonesia yang akan membelanjakan uangnya untuk perawatan kesehatan. Lonjakan pengeluaran untuk perawatan kesehatan di Indonesia pada tahun 2022 dapat mencapai Rp 277,4 triliun atau 47,1 miliar dalam USD.

Ukuran Pasar
Pemenuhan kebutuhan obat di Indonesia terbagi sebesar 75% untuk perusahaan dalam negeri dan 25% sisanya untuk perusahaan asing. Kunci utama dari perluasan pasar farmasi di Indonesia adalah peningkatan jenis produk dan obat generik.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, peraturan pemerintah yang baru mengenai kepemilikan parsial perusahaan asing menjadi 100% diharapkan dapat menarik lebih banyak investor asing di sektor farmasi. Pada tahun 2017, hasil tersebut mulai terlihat dengan semakin banyaknya perusahaan multinasional yang membangun pabrik di sektor farmasi, terutama untuk bahan baku. Keanekaragaman hayati Indonesia menjadi sangat besar karena Indonesia merupakan rumah bagi 30.000 tanaman obat dan herbal dari total 40.000 tanaman obat dan herbal yang ada di dunia. Perusahaan-perusahaan ini mengambil keuntungan dari sumber daya tersebut.

Disadur dari: i3l.ac.id

Selengkapnya
Peran Indonesia dalam Pasar Farmasi: Pertumbuhan Signifikan dan Potensi Luas

Industri Farmasi

Kenaikan 8,78 Persen: Ekspor Produk Farmasi Indonesia Meningkat, Tantangan dan Potensi di Pasar Global

Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 13 Mei 2024


Jakarta (ANTARA) - Indonesia mencatatkan kenaikan sebesar 8,78 persen pada total nilai yang diperoleh dari ekspor produk farmasi pada tahun 2023, demikian disampaikan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita di Jakarta, Selasa.

"Nilai ekspor produk farmasi Indonesia, termasuk obat kimia dan obat tradisional, pada tahun 2023 mencatatkan kenaikan sebesar 8,78 persen dibandingkan dengan tahun 2022," katanya.

Dia mencatat bahwa meskipun mengalami peningkatan, kontribusi produk farmasi Indonesia ke pasar obat tradisional global masih belum signifikan.

"Nilai pasar obat tradisional global telah mencapai US$200,95 miliar pada tahun 2023 dan diperkirakan akan terus meningkat. Namun, kontribusi Indonesia terhadap pasar tersebut masih berada pada tingkat yang rendah," katanya.

Kartasasmita mencatat bahwa Indonesia memiliki potensi obat alami yang sangat besar yang harus dioptimalkan, mengingat fakta bahwa tanah air Indonesia dikaruniai kekayaan sumber daya alam yang melimpah.

Oleh karena itu, menteri menekankan perlunya Indonesia mengerahkan upaya yang lebih besar lagi untuk mengembangkan industri obat alami agar dapat bersaing di tingkat global.

Dia menyarankan agar Indonesia mengoptimalkan potensi obat-obatan herbal dalam upaya untuk mempercepat pengembangan industri farmasi, mencatat bahwa UNESCO telah mendaftarkan jamu, jamu tradisional khas Indonesia, sebagai bagian dari warisan budaya takbenda dunia pada tanggal 6 Desember 2023.

Menperin kemudian menyoroti bahwa pelaku industri obat bahan alam Indonesia telah memproduksi 17 ribu obat jenis jamu, 79 obat herbal terstandar, dan 22 jenis fitofarmaka.

Berdasarkan data Bank Indonesia, volume industri kimia, farmasi, dan obat tradisional Indonesia dalam Prompt Manufacturing Index telah mencapai skor yang lebih baik yaitu 52,50 poin pada kuartal keempat tahun 2023.

Sementara itu, Kementerian Perindustrian telah merilis skor Indonesia dalam Indeks Keyakinan Industri (IKI) untuk periode Januari 2024, di mana Indonesia mencapai skor 52,35 poin, meningkat 1,03 poin dibandingkan dengan skor pada Desember 2023.

Menurut kementerian, skor ICI baru-baru ini didasarkan pada kinerja 23 subsektor. Penilaian skor memperhitungkan tingkat ekspansi dan jumlah pesanan baru, produksi, dan ketersediaan produk. (INE)

Disadur dari: en.antaranews.com

Selengkapnya
Kenaikan 8,78 Persen: Ekspor Produk Farmasi Indonesia Meningkat, Tantangan dan Potensi di Pasar Global
« First Previous page 4 of 6 Next Last »