Industri Farmasi
Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 06 Agustus 2025
H2: Pendahuluan – Evolusi Kritis Pengelolaan Risiko Mutu dalam Industri Farmasi
Artikel ini merupakan telaah mendalam tentang bagaimana proses manajemen risiko mutu (Quality Risk Management/QRM) menjadi fondasi penting dalam industri farmasi untuk mengurangi ketidaksesuaian produk (non-conformity) sepanjang siklus hidupnya. Dengan menggali sejarah regulasi, mulai dari Undang-Undang Impor Obat AS tahun 1848 hingga pedoman ICH Q9 modern, penulis menunjukkan bahwa pendekatan berbasis risiko bukan hanya tren, melainkan keniscayaan dalam menjamin keselamatan pasien dan kepatuhan regulasi.
Artikel ini mengusung semangat transformatif: dari pendekatan kontrol kualitas reaktif menuju paradigma proaktif berbasis risiko dan data.
H2: Kerangka Teoretis – Konsep Enabler sebagai Pilar Pengambilan Keputusan
H3: Apa itu QRM dan Enabler?
QRM didefinisikan sebagai suatu proses sistematis yang meliputi penilaian, pengendalian, komunikasi, dan peninjauan risiko terhadap mutu produk obat. Konsep "enabler" dalam artikel ini merujuk pada serangkaian alat bantu dan metode yang digunakan untuk memfasilitasi proses QRM, baik secara proaktif maupun retrospektif.
Enabler bukan hanya alat teknis, tapi juga kerangka kerja manajerial yang memastikan bahwa keputusan berbasis risiko dilakukan secara berulang (regeneratable) dan terdokumentasi.
H2: Argumen Utama Penulis dan Rangkaian Proses QRM
H3: Langkah-langkah Fundamental dalam QRM
Penulis membagi proses QRM menjadi tahapan sebagai berikut:
Inisiasi: Merumuskan pertanyaan risiko dan mengidentifikasi tim lintas disiplin.
Penilaian Risiko: Tiga pertanyaan kunci diajukan:
Apa yang bisa salah?
Seberapa besar kemungkinan itu terjadi?
Apa akibatnya?
Identifikasi dan Klasifikasi Risiko: Mencakup kategori operator, lingkungan, sistemik, reagen, dan sampling.
Analisis Risiko: Menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif seperti FMEA dan HACCP.
Evaluasi Risiko: Bandingkan tingkat risiko terhadap kriteria yang telah ditentukan.
Pengendalian Risiko: Menerapkan tindakan pengurangan atau penerimaan risiko.
Peninjauan dan Komunikasi Risiko: Dokumentasi menyeluruh dan komunikasi lintas pemangku kepentingan.
H3: Formulasi Matematika Risiko
Penilaian risiko dinyatakan dalam formula:
ini
CopyEdit
Risiko = Prioritas × Deteksi × Tingkat Keparahan
Dengan pembobotan skala:
Tingkat Keparahan (1–4): dari gangguan estetika hingga risiko kematian.
Probabilitas (1–5): dari kejadian sangat jarang hingga hampir selalu.
Deteksi (1–5): dari selalu terdeteksi hingga tidak terdeteksi sama sekali.
H3: Alat dan Metode yang Digunakan
Penulis mengulas berbagai metode QRM:
Dasar: Diagram alur, lembar cek, pemetaan proses.
Lanjutan:
Failure Mode Effect Analysis (FMEA)
Fault Tree Analysis (FTA)
Hazard Operability Analysis (HAZOP)
Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP)
H3: Studi Kasus Risiko
Tabel dalam artikel menggambarkan contoh risiko operasional:
Kualitas bahan baku: usia, stabilitas, penyimpanan.
Operator: kompetensi, pelatihan, komunikasi.
Peralatan: kalibrasi, kegagalan sistem.
Dokumentasi: prosedur sementara yang belum disetujui.
Vendor: ketidakkonsistenan kinerja.
H2: Refleksi Konseptual atas Prinsip dan Praktik QRM
H3: Teori Sistem dan Pendekatan Siklus Hidup
QRM digambarkan sebagai proses iteratif dan adaptif dalam suatu sistem mutu farmasi. Nilai filosofis dari pendekatan ini adalah berpijak pada teori sistem terbuka: semua bagian organisasi—R&D, produksi, kontrol kualitas—harus beroperasi sebagai satu kesatuan sadar risiko.
H3: Relasi antara QRM dan Pasien
Secara konseptual, artikel ini menekankan bahwa fokus utama QRM adalah keselamatan pasien. Risiko yang tidak terkendali bisa mengakibatkan kegagalan produk yang berdampak fatal, sehingga argumen utama bukan semata kepatuhan regulasi, tapi tanggung jawab etik dan sosial perusahaan.
H2: Kekuatan dan Kelemahan Metodologis Artikel
H3: Kekuatan
Komprehensif: Artikel menguraikan seluruh tahapan QRM dengan bahasa teknis yang sistematis.
Aplikatif: Penjabaran alat dan metode QRM memberikan peta jalan yang konkret untuk implementasi di industri.
Integratif: Konsep enabler memperkuat keterhubungan antara teori dan praktik lapangan.
H3: Kelemahan
Tidak menyertakan studi empiris: Artikel ini sepenuhnya deskriptif-konseptual tanpa studi kasus aktual dari industri farmasi.
Kurangnya diskusi kritis: Artikel tidak cukup membahas tantangan implementasi QRM di lapangan, seperti resistensi budaya organisasi atau keterbatasan sumber daya.
Terlalu teknis bagi pembaca awam: Bahasa yang digunakan mungkin sulit diakses oleh pembaca di luar komunitas farmasi atau regulatori.
H2: Dampak Konseptual dan Kontribusi Ilmiah
Artikel ini menyumbang pada literatur farmasi dalam beberapa cara penting:
H3: 1. Normalisasi Paradigma Proaktif
Dengan menempatkan QRM sebagai sistem yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, artikel ini membantu memindahkan industri dari pola pikir korektif menuju prevensi strategis.
H3: 2. Kerangka Evaluasi Risiko Berbasis Data
Pengenalan Risk Priority Number (RPN) sebagai metrik kuantitatif menegaskan pentingnya pengambilan keputusan berbasis data. Ini memperkuat pendekatan ilmiah dalam manajemen mutu.
H3: 3. Pengintegrasian QRM ke Sistem Mutu Organisasi
QRM tidak diposisikan sebagai modul terpisah, melainkan sebagai “urat nadi” yang mengalir di seluruh proses bisnis: dari pelatihan staf, audit, hingga teknologi transfer.
H2: Implikasi Praktis dan Potensi Penerapan
Artikel ini memiliki potensi penerapan luas dalam industri farmasi dan regulasi kesehatan:
Bagi Manajer Mutu: Menyediakan panduan sistematis dalam mengidentifikasi dan mengendalikan risiko proses.
Bagi Regulator: Menunjukkan bagaimana QRM dapat menjadi instrumen akuntabilitas dan pemantauan risiko pascaproduksi.
Bagi Peneliti: Menawarkan struktur konseptual untuk pengembangan model prediktif berbasis risiko.
Selain itu, metode seperti HACCP dan FMEA juga berpotensi diadaptasi dalam industri lain seperti makanan, kosmetik, bahkan layanan kesehatan.
Industri Farmasi
Dipublikasikan oleh Muhammad Reynaldo Saputra pada 02 Agustus 2025
Pengantar: Paradigma Baru dalam Analisis Farmasi
Pendekatan tradisional dalam jaminan mutu farmasi berbasis pengujian akhir produk telah lama dinilai tidak memadai, terlebih dalam konteks industri yang semakin menuntut presisi dan efisiensi. Paper karya Shaik Ayesha Ameen dan Nagaraju Pappula ini menyajikan sebuah narasi reflektif tentang pentingnya Analytical Quality by Design (AQbD), yaitu implementasi prinsip Quality by Design (QbD) dalam pengembangan metode analisis farmasi. Dengan menjadikan prinsip ilmiah dan manajemen risiko sebagai landasan, AQbD menjanjikan kualitas yang tidak hanya diuji, tetapi dirancang sejak awal.
Apa Itu AQbD? Konsep dan Filosofi Dasar
H2: Dari QbD ke AQbD
QbD adalah pendekatan sistematis untuk pengembangan produk yang menggabungkan pemahaman proses, kontrol, dan manajemen risiko dalam satu kerangka. AQbD memperluas prinsip ini ke ranah analitik, yakni ke dalam metode uji mutu dan kontrol kualitas. Inti dari AQbD adalah bahwa kualitas metode analitik tidak bisa “ditambahkan” di akhir proses, melainkan harus dirancang sejak awal.
H3: Pilar Utama AQbD
Penulis menyusun AQbD ke dalam lima elemen strategis:
Analytical Target Profile (ATP): Tujuan spesifik metode analitik.
Critical Method Variables (CMV) & Critical Analytical Attributes (CAA): Faktor kunci yang mempengaruhi performa analitik.
Design of Experiments (DoE): Eksperimen terstruktur untuk memahami parameter metode.
Method Operable Design Region (MODR): Ruang desain metode yang valid.
Control Strategy: Strategi pemantauan dan peningkatan berkelanjutan.
Kelima elemen ini membentuk siklus hidup metode analitik dari desain, pengembangan, validasi, hingga penerapan.
Kritik dan Refleksi Konseptual: Menerobos Keterbatasan Pendekatan Tradisional
H2: Keterbatasan Validasi Tradisional
Dalam pendekatan tradisional, validasi metode dilakukan satu kali, tanpa mempertimbangkan variabilitas proses jangka panjang. Ini meningkatkan risiko kegagalan metode saat transfer antar laboratorium atau ketika kondisi berubah. AQbD menjawab ini dengan menyediakan:
Pengendalian variabilitas sejak awal.
Pemahaman statistik terhadap ketahanan metode.
Kemampuan beradaptasi tanpa revalidasi (selama berada dalam MODR).
H3: Argumentasi Logis Penulis
Penulis menyajikan argumentasi bahwa AQbD bukan hanya kerangka teknis, tetapi juga perubahan paradigma berpikir. Ini mencerminkan pergeseran dari pendekatan berbasis checklist ke pendekatan berbasis pemahaman ilmiah.
Namun demikian, satu kritik terhadap makalah ini adalah kurangnya data kuantitatif atau studi kasus yang menunjukkan perbandingan langsung antara metode tradisional dan AQbD dalam praktik nyata. Hal ini membatasi verifikasi empiris dari klaim yang disampaikan.
Menggali Kedalaman Konsep Teoritis
H2: Teori Sistem dan Manajemen Risiko
Makalah ini mencerminkan penerapan teori sistem dan manajemen mutu berbasis risiko seperti yang diatur oleh ICH Q8–Q10. Penggunaan Ishikawa Diagram menunjukkan penerapan sistem berpikir dalam mengidentifikasi sebab-akibat dari variabilitas metode analitik.
Penerapan Design of Experiments (DoE) sebagai pendekatan statistik mencerminkan kontribusi penting dari ilmu matematika dalam dunia farmasi. Dengan DoE, peneliti dapat memetakan hubungan antara variabel metode dan respons yang dihasilkan dengan efisiensi tinggi.
Manfaat AQbD dalam Konteks Industri
H2: Efisiensi, Robustness, dan Fleksibilitas
AQbD membantu perusahaan dalam:
Mengurangi pengulangan validasi.
Memprediksi risiko proses secara real-time.
Menyederhanakan transfer teknologi antar laboratorium.
Beberapa keuntungan utama yang dicatat:
Robustness tinggi: Metode tahan terhadap variasi.
Real-time decision making: AQbD mendukung real-time release testing.
Peningkatan efisiensi biaya: Mengurangi biaya validasi ulang.
Namun, implementasi penuh AQbD membutuhkan pelatihan SDM, komitmen dari manajemen puncak, serta investasi awal dalam perangkat lunak dan pemodelan statistik.
Aplikasi Nyata dan Potensi Pengembangan
H2: Berbagai Ranah Implementasi
Paper ini memetakan potensi AQbD dalam beberapa area analitik:
HPLC/UPLC/HPTLC: Pengembangan metode kualitatif dan kuantitatif.
Bioanalisis: Ekstraksi analit dari matriks biologis.
Spektroskopi: Identifikasi senyawa tanpa kerusakan sampel.
Penetapan Impuritas dan Produk Degradasi: Deteksi kontaminan yang sensitif.
H3: Validasi AQbD vs Tradisional
Dalam validasi, AQbD memberikan fleksibilitas melalui pendekatan berbasis risiko dan MODR. Penulis menekankan bahwa metode AQbD lebih hemat sumber daya dibandingkan pendekatan konvensional, dengan tetap mempertahankan kualitas dan kepatuhan regulasi.
Kritik Metodologis dan Refleksi Ilmiah
H2: Ketidakseimbangan antara Teori dan Praktek
Kendati makalah ini kaya akan kerangka teoritis dan istilah regulasi (ATP, MODR, QTMP, CAAs, dll.), ia kekurangan data numerik atau tabel perbandingan berbasis kuantitatif. Akibatnya, pembaca sulit menilai seberapa besar perbedaan performa antara pendekatan tradisional dan AQbD secara objektif.
H3: Perluasan Kajian Interdisipliner
Mengingat AQbD berada pada persimpangan antara ilmu farmasi, statistik, manajemen mutu, dan rekayasa sistem, akan lebih kuat bila penulis menyentuh dimensi interdisipliner ini secara lebih eksplisit, misalnya dengan menyoroti dinamika implementasi AQbD di lapangan industri nyata.
Kesimpulan: Implikasi Ilmiah dan Arah Masa Depan
Pendekatan AQbD sebagaimana dijelaskan dalam paper ini membuka jalan baru dalam membangun sistem kualitas farmasi yang proaktif, bukan reaktif. Keunggulannya tidak hanya terletak pada ketahanan metode analitik, tetapi juga pada bagaimana ia membentuk fondasi bagi sistem mutu yang terintegrasi, berkelanjutan, dan fleksibel dalam menghadapi perubahan.
Secara ilmiah, AQbD merupakan penerapan konkret dari filosofi build-in quality, yang menggantikan logika test-and-fix. Ini selaras dengan tren global menuju continuous manufacturing dan real-time release testing, menjadikan AQbD sebagai pilar penting dalam transformasi industri farmasi menuju masa depan yang lebih adaptif dan berkelanjutan.
📄 Link resmi paper:
🔗 https://doi.org/10.18579/jopcr/v22.4.81
Apakah Anda ingin file resensi ini dalam bentuk .docx atau PDF? Saya bisa bantu ekspor.
Industri Farmasi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 27 Maret 2025
Terdapat beberapa kendala yang ada di Indonesia dalam mengimplementasikan langkah-langkah TBT (hambatan teknis dalam perdagangan) yang efektif dan prosedur notifikasi ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Kendala-kendala tersebut dapat diatasi dengan meningkatkan pemahaman mengenai konsep dan proses dasar mengenai TBT.
TBT bertindak sebagai tindakan regulasi untuk melindungi konsumen dan kesehatan masyarakat. Hal ini dapat berupa peraturan, standar, prosedur pengujian dan sertifikasi yang berkaitan dengan keamanan, kesehatan dan kualitas, dan dapat secara signifikan mempengaruhi perdagangan internasional produk farmasi. TBT dapat mengganggu perdagangan dengan menambah persyaratan dan biaya, tetapi diperlukan untuk melindungi kepentingan konsumen dan memastikan kualitas dan keamanan produk. Tantangan bagi para pembuat kebijakan adalah untuk membedakan TBT yang diperlukan untuk melindungi kepentingan kesehatan masyarakat dengan hambatan non-tarif yang tidak perlu, seperti persyaratan perizinan impor, larangan impor, dan lainnya yang mungkin terutama berfungsi untuk melindungi industri dalam negeri dari persaingan internasional.
Perjanjian TBT, sebuah perjanjian internasional yang dikelola oleh WTO, merupakan alat global utama yang bertujuan untuk memastikan bahwa peraturan, standar, pengujian, dan prosedur sertifikasi tidak menciptakan hambatan yang tidak perlu terhadap perdagangan dan akses terhadap produk dan teknologi. Sebagai anggota WTO, Indonesia diwajibkan untuk melaporkan semua peraturan teknis yang baru atau yang telah diubah kepada WTO. Staf pengawas di BPOM memiliki pengetahuan yang terbatas mengenai TBT, yang mempengaruhi kemampuan mereka untuk memfasilitasi, misalnya, proses registrasi produk impor. Mengingat kompleksitas proses dan jumlah produk yang terus meningkat di pasar global, penting untuk membangun pengetahuan dan memperdalam keakraban di dalam BPOM.
Prof Nurul Barizah selaku narasumber yang hadir dalam sesinya. Kredit: BPOM
WHO mendukung Direktorat Standardisasi Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor dan Zat Adiktif BPOM dalam lokakarya selama dua hari pada bulan Februari 2023, yang bertujuan untuk memperkuat pengetahuan di antara personil Badan POM di Indonesia tentang TBT. Kegiatan ini didukung oleh para ahli dari Kementerian Perdagangan, Badan Standardisasi Nasional, Kementerian Luar Negeri, Pusat Studi Hukum Perdagangan Internasional Universitas Airlangga. Peserta lokakarya mendapatkan pengetahuan mengenai langkah-langkah non-tarif, implementasi kewajiban internasional yang ditetapkan dalam peraturan Badan Standardisasi Nasional, dan harmonisasi peraturan nasional dengan perjanjian TBT. Selain itu, para ahli dan peserta juga berbagi studi kasus mengenai TBT, sementara Biro Kerjasama Internasional BPOM berbagi pengalaman mengenai notifikasi WTO.
Peserta mengikuti workshop interaktif. Kredit: BPOM
Selain meningkatkan pengetahuan dan berbagi pengalaman selama lokakarya, unit teknis BPOM juga menyepakati langkah-langkah selanjutnya, termasuk membangun proses notifikasi WTO yang kuat untuk mengurangi potensi masalah perdagangan khusus (STC) yang berasal dari negara lain. Unit ini juga ditugaskan untuk menyediakan peraturan teknis yang relevan kepada para pemangku kepentingan di luar negeri karena berkomitmen untuk memperkuat standar yang terkait dengan TBT. Saat ini, sebuah pedoman sedang dalam proses revisi yang diharapkan akan diterbitkan pada bulan Agustus 2023.
Hasil dari lokakarya ini memiliki potensi besar dalam memajukan keamanan farmasi, perdagangan yang adil, dan aksesibilitas global. Dengan peningkatan pengetahuan dan keahlian di bidang TBT, BPOM memperkuat kapasitasnya sebagai regulator yang akan memungkinkan Indonesia untuk menavigasi kompleksitas perdagangan internasional dengan lebih baik sambil menjaga kesehatan masyarakat.
Disadur dari: www.who.int
Industri Farmasi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 26 Maret 2025
"Bahan baku" dialihkan ke sini. Untuk kegunaan lain, lihat Bahan baku (disambiguasi).
Bahan mentah, juga dikenal sebagai bahan baku, bahan yang belum diproses, atau komoditas primer, adalah bahan dasar yang digunakan untuk memproduksi barang, barang jadi, energi, atau bahan setengah jadi yang menjadi bahan baku untuk produk jadi di masa depan. Sebagai bahan baku, istilah ini menunjukkan bahwa bahan-bahan ini merupakan aset yang menghambat dan diperlukan untuk menghasilkan produk lain.
Istilah bahan baku menunjukkan bahan yang belum diolah atau diolah secara minimal seperti lateks mentah, minyak mentah, kapas, batu bara, biomassa mentah, bijih besi, plastik, udara, kayu gelondongan, dan air. Istilah bahan baku sekunder menunjukkan bahan limbah yang telah didaur ulang dan disuntikkan kembali untuk digunakan sebagai bahan produktif.
Bahan baku dalam rantai pasokan
Rantai pasokan biasanya dimulai dengan akuisisi atau ekstraksi bahan baku. Misalnya, Komisi Eropa mencatat bahwa rantai pasokan makanan dimulai pada fase pertanian produksi makanan.
Laporan tahun 2022 tentang perubahan yang memengaruhi perdagangan internasional mencatat bahwa peningkatan sumber bahan baku telah menjadi salah satu tujuan utama perusahaan dalam mengkonfigurasi ulang rantai pasokan mereka.
Dalam survei tahun 2022 yang dilakukan oleh SAP, di mana 400 pemimpin logistik dan rantai pasokan yang berbasis di AS diwawancarai, 44% responden mengutip kurangnya bahan baku sebagai alasan masalah rantai pasokan mereka. Perkiraan untuk tahun 2023, 50% responden memperkirakan berkurangnya ketersediaan bahan baku di AS akan mendorong gangguan rantai pasokan.
Pasar bahan baku
Pasar bahan baku dipengaruhi oleh perilaku konsumen, ketidakpastian rantai pasokan, gangguan produksi, dan peraturan, di antara faktor-faktor lainnya. Hal ini mengakibatkan pasar bahan baku yang tidak stabil yang sulit untuk dioptimalkan dan dikelola. Perusahaan dapat mengalami kesulitan ketika dihadapkan pada volatilitas bahan baku karena kurangnya pemahaman tentang permintaan pasar, visibilitas yang buruk atau tidak adanya visibilitas ke dalam rantai pasokan tidak langsung, dan jeda waktu perubahan harga bahan baku.
Volatilitas di pasar bahan baku juga dapat disebabkan oleh bencana alam dan konflik geopolitik. Pandemi COVID-19 mengganggu industri baja, dan begitu permintaan pulih, harga naik 250% di AS. Perang di Ukraina menyebabkan harga gas alam meningkat 50% pada tahun 2022.
Pengolahan bahan baku
Keramik
Meskipun tembikar berasal dari berbagai tempat di seluruh dunia, dapat dipastikan bahwa tembikar dikenal sebagian besar melalui Revolusi Neolitikum. Hal ini penting karena ini merupakan cara bagi para agraris pertama untuk menyimpan dan membawa kelebihan persediaan. Meskipun sebagian besar guci dan pot terbuat dari keramik tanah liat api, masyarakat Neolitikum juga menciptakan tungku pembakaran yang dapat membakar bahan tersebut untuk menghilangkan sebagian besar air untuk menciptakan bahan yang sangat stabil dan keras. Tanpa adanya tanah liat di tepi sungai Tigris dan Eufrat di Bulan Sabit Subur, tanur semacam itu tidak mungkin dibuat oleh orang-orang di wilayah tersebut. Dengan menggunakan tungku-tungku ini, proses metalurgi menjadi mungkin ketika Zaman Perunggu dan Zaman Besi tiba pada orang-orang yang tinggal di sana.
Logam
Banyak bahan logam mentah yang digunakan dalam keperluan industri harus diproses terlebih dahulu menjadi bentuk yang dapat digunakan. Bijih logam pertama-tama diproses melalui kombinasi penghancuran, pemanggangan, pemisahan magnetik, pengapungan, dan pencucian agar sesuai untuk digunakan dalam pengecoran. Pabrik pengecoran kemudian melebur bijih menjadi logam yang dapat digunakan yang dapat dipadukan dengan bahan lain untuk meningkatkan sifat-sifat tertentu. Salah satu bahan baku logam yang banyak ditemukan di seluruh dunia adalah besi, dan jika dikombinasikan dengan nikel, bahan ini membentuk lebih dari 35% material di inti dalam dan luar bumi. Besi yang awalnya digunakan sejak 4000 SM disebut besi meteorik dan ditemukan di permukaan Bumi. Jenis besi ini berasal dari meteorit yang menghantam Bumi sebelum manusia muncul, dan persediaannya sangat terbatas. Jenis ini tidak seperti kebanyakan besi di Bumi, karena besi di Bumi jauh lebih dalam daripada yang bisa digali oleh manusia pada periode waktu itu. Kandungan nikel pada besi meteorik membuatnya tidak perlu dipanaskan, dan sebagai gantinya, besi tersebut dipalu dan dibentuk menjadi perkakas dan senjata.
Bijih besi
Bijih besi dapat ditemukan dalam berbagai bentuk dan sumber. Bentuk utama bijih besi saat ini adalah Hematit dan Magnetit. Meskipun bijih besi dapat ditemukan di seluruh dunia, hanya deposit dalam jumlah jutaan ton yang diproses untuk keperluan industri. Lima eksportir bijih besi terbesar adalah Australia, Brasil, Afrika Selatan, Kanada, dan Ukraina. Salah satu sumber pertama bijih besi adalah besi rawa. Besi rawa berbentuk bintil-bintil seukuran kacang polong yang terbentuk di bawah rawa gambut di dasar pegunungan.
Disadur dari: en.wikipedia.org
Industri Farmasi
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 06 Maret 2025
Industri farmasi merupakan sektor yang sangat berkontribusi terhadap perekonomian global, tetapi juga menghasilkan limbah berbahaya yang dapat mencemari lingkungan. Database ProQuest, Crossref, dan Google Scholar. Studi ini menggunakan kata kunci seperti "pharmaceutical industrial waste" dan "Asia" untuk mencari artikel yang relevan. Setelah dilakukan penyaringan, ditemukan bahwa kelima negara memiliki informasi yang cukup terkait regulasi dan metode penanganan limbah farmasi.
Di Indonesia, pengelolaan limbah farmasi diatur oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Metode yang umum digunakan mencakup:
Meskipun regulasi sudah ada, masih terdapat tantangan seperti kurangnya pengawasan dan kesadaran dari industri untuk mematuhi regulasi tersebut. Data menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki tempat pembakaran terbuka yang tidak diawasi dengan baik, menyebabkan pencemaran udara.
India memiliki salah satu industri farmasi terbesar di dunia, menyumbang sekitar 20% ekspor obat generik global. Regulasi limbah farmasi di India dikendalikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dengan beberapa peraturan utama:
Metode penanganan limbah di India mencakup incineration, autoclaving, microwaving, dan secure landfilling. Tantangan utama di India adalah pengelolaan limbah ilegal yang masih terjadi karena kurangnya pengawasan yang ketat.
Jepang telah mengembangkan sistem pengelolaan limbah yang sangat maju sejak tahun 1970-an. Negara ini menerapkan prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle) yang telah berhasil mengurangi pembuangan limbah industri ke landfill hingga 84% dalam kurun waktu 1990–2010. Regulasi utama meliputi:
Jepang mengadopsi metode seperti autoclaving, incineration, dan chemical disinfection serta memiliki sistem pengawasan yang ketat.
Pengelolaan limbah di Thailand dikendalikan oleh Departemen Pengendalian Polusi (PCD) di bawah Kementerian Sumber Daya Alam dan Lingkungan. Regulasi utama mencakup:
Thailand menghadapi tantangan dalam keterbatasan lahan dan infrastruktur, sehingga metode seperti secure landfilling dan deep burial masih menjadi pilihan utama.
China memiliki sistem regulasi yang cukup ketat dengan pengawasan dari Biro Perlindungan Lingkungan, Biro Manajemen Kota, dan Biro Kesehatan. Beberapa peraturan utama termasuk:
Metode yang digunakan mirip dengan negara lain, tetapi China mulai mengembangkan teknologi baru untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan limbah farmasi.
Berdasarkan penelitian ini, ada beberapa faktor utama yang mempengaruhi regulasi pengelolaan limbah farmasi di lima negara:
Untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan limbah farmasi di Asia, beberapa langkah yang dapat diterapkan:
Perbedaan regulasi dan implementasi pengelolaan limbah farmasi di lima negara Asia. Jepang dan China memiliki sistem yang lebih maju, sementara India, Indonesia, dan Thailand masih menghadapi tantangan dalam infrastruktur dan pengawasan. Dengan adanya perkembangan teknologi dan kerja sama antar negara, diharapkan sistem pengelolaan limbah farmasi di Asia dapat semakin berkembang menuju keberlanjutan lingkungan.
Sumber Artikel: Luthfia Azzahra, Nyi Mekar Saptarini, "Pharmaceutical Industrial Waste Regulation in Five Countries in Asia", Indo J Pharm, Vol 3, Issue 1, 2021, pp. 9-19.
Industri Farmasi
Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 16 Mei 2024
Kita sering mendengar isu penggunaan boraks pada bakso dan formalin pada mie. Selain itu, ternyata ada hal lain yang perlu diwaspadai, yaitu kandungan Bahan Kimia Obat (BKO) yang terdapat pada makanan atau jajanan yang dikonsumsi anak-anak. Hal ini disampaikan oleh Dr. apt. Baitha Palanggatan Maggadani, M.Si. dari Fakultas Farmasi (FF) Universitas Indonesia (UI).
Sebagai negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah, Indonesia memiliki berbagai jenis tanaman yang mudah dibudidayakan. Indonesia memiliki potensi yang sangat baik untuk menguasai pasar lokal dan global sebagai negara penghasil bahan baku obat tradisional dari tanaman-tanaman tersebut. Namun, untuk mencapai hal tersebut, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan, yaitu kualitas bahan baku, persyaratan keamanan, khasiat dan mutu.
"Obat tradisional yang aman dan bermutu tidak boleh mengandung bahan kimia obat atau BKO. BKO adalah bahan kimia obat yang biasanya ditambahkan ke dalam sediaan obat tradisional atau jamu untuk memperkuat indikasi obat tradisional. Namun, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) masih menemukan produk obat tradisional yang sengaja dicampur dengan bahan kimia obat oleh produsennya agar lebih berkhasiat," ujar Dr. apt. Baitha, Ketua Tim Pengabdian Masyarakat (Pengmas) FF UI.
Bersama timnya, ia melakukan penyuluhan tentang bahan kimia berbahaya dalam makanan dan obat tradisional di Desa Sasakpanjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan hasil wawancara dengan ketua RW setempat, diperoleh informasi bahwa konsumsi obat tradisional dan jajanan pasar di kalangan warga desa cukup tinggi. Oleh karena itu, dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat, tim pengabdian menghadirkan narasumber yang merupakan Guru Besar FFUI di Bidang Kimia Farmasi, yaitu Prof. Hayun, M.Si., yang juga merupakan salah satu Tim Pengabdian Masyarakat FFUI.
"BKO merupakan senyawa sintetik atau bisa juga produk kimia yang berasal dari bahan alam, yang umumnya digunakan dalam pengobatan modern. BKO banyak ditemukan pada obat tradisional yang beredar di pasaran, karena rendahnya kepatuhan produsen terhadap ketentuan yang berlaku di bidang obat tradisional, persaingan yang tidak sehat dalam meningkatkan penjualan produknya, dan keinginan masyarakat untuk cepat sembuh," ujar Prof. Hayun dalam presentasinya, Sabtu (4/11).
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa bahaya BKO disebabkan oleh ketidaktepatan dosis dan kemungkinan terjadinya interaksi antara BKO dengan zat aktif obat tradisional yang dapat menimbulkan efek samping. Beberapa efek samping yang ditimbulkan antara lain iritasi saluran pencernaan, kerusakan hati atau ginjal, gangguan penglihatan, atau gangguan irama jantung.
Ia menambahkan, dalam hal ini, BPOM terus berupaya memberantas peredaran obat tradisional yang mengandung BKO. Beberapa temuan BPOM terkait BKO pada obat tradisional, yaitu pada obat tradisional yang diperuntukkan untuk sakit rematik/asam urat/rematik, sering ditambahkan fenilbutazon, antalgin, deksametason, dan lain-lain. Pada obat tradisional yang diklaim dapat digunakan untuk melangsingkan tubuh, sering ditambahkan sibutramin HCl. Sementara itu, pada obat tradisional yang diklaim dapat digunakan sebagai obat kuat pria, sering ditambahkan sildenafil sitrat.
Selain BKO, juga dijelaskan mengenai zat-zat berbahaya pada jajanan anak. Zat-zat berbahaya tersebut antara lain boraks pada bakso, formalin pada mie dan tahu, pewarna rhodamin B dan metanil yellow. Prof. Hayun mengatakan bahwa bahaya yang ditimbulkan jika anak-anak dan orang dewasa mengkonsumsi zat-zat tersebut adalah mual, muntah, sakit perut, diare serta kerusakan hati dan ginjal.
Pada kegiatan ini juga dilakukan demo test zat berbahaya pada sampel yang telah disiapkan oleh tim. Pengujian dilakukan dengan menggunakan rapid test kit, yang dilakukan dengan cara meneteskan suatu zat pada sampel untuk menunjukkan perubahan warna. Pengujian dilakukan terhadap boraks, formalin, metanil yellow, dan rhodamin B. Tim pengabdian menyediakan sampel yang sebelumnya telah diberi bahan kimia untuk menunjukkan kepada warga perubahan warnanya saat dilakukan pengecekan. Warga juga menguji teh bunga rosela dan butterfly pea mereka sendiri dengan menggunakan alat uji rhodamin B, dan hasilnya negatif, yang menunjukkan bahwa teh tersebut 100% alami.
Dalam pelaksanaannya, Dekan FFUI Prof. Arry Yanuar, M.Si. dan Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pendidikan dan Kemahasiswaan FUI Prof. Fadlina Chany Saputri, M.Si. juga turut hadir. Dalam sambutan pembukaannya, Prof. Arry berharap sosialisasi yang disampaikan dapat dipahami oleh warga, karena mengkonsumsi bahan kimia obat dengan dosis yang tidak sesuai akan menimbulkan efek jangka pendek dan jangka panjang yang berbahaya bagi kesehatan. "Kami menghimbau agar warga berhati-hati dalam mengkonsumsi obat tradisional yang tidak memiliki sertifikat dari BPOM, dan selalu mengawasi apa yang dikonsumsi oleh anak-anaknya," ujar Prof.
Bersama Dr. apt Baitha dan Prof. Hayun, Tim Pengabdian Masyarakat FFUI yang terdiri dari Prof. Yahdiana Harahap, M.Si; Dr. apt. Febrina Amelia Saputri, M.Farm; Dr. apt. Taufiq Indra Rukmana, M. Farm; dan apt. Widya Dwi Aryati, M. Farm. Selain itu, terdapat juga anggota tambahan lainnya yang terdiri dari dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa FUI.
Disadur dari: www.ui.ac.id