Ekonomi

Mengukur Sirkularitas: Membangun Ekonomi yang Hemat Sumber Daya dan Inklusif

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 10 November 2025


Isu ekonomi sirkular kini menjadi salah satu topik strategis dalam kebijakan pembangunan global. Model ekonomi yang menekankan efisiensi sumber daya dan pengurangan limbah ini dipandang sebagai solusi terhadap tiga krisis utama abad ke-21: degradasi lingkungan, ketimpangan sosial, dan volatilitas ekonomi akibat ketergantungan pada sumber daya alam terbatas.

Dokumen Conference of European Statisticians Guidelines for Measuring Circular Economy menegaskan bahwa ekonomi sirkular bukan sekadar agenda lingkungan, melainkan juga paradigma ekonomi baru. Pendekatan ini bertujuan menjaga nilai material dalam sistem ekonomi selama mungkin, meminimalkan konsumsi bahan baku, serta mencegah timbulan limbah dan dampak negatif lingkungan di sepanjang siklus hidup produk.

Bagi Indonesia, yang sedang memperkuat kebijakan green economy dan low-carbon development, memahami dan mengukur sirkularitas bukan sekadar kebutuhan statistik—tetapi fondasi bagi perencanaan industri masa depan.

Prinsip Utama: Dari Reduce hingga Recover

Salah satu kerangka paling dikenal dalam ekonomi sirkular adalah R-Framework, yang berkembang dari konsep 3R klasik (Reduce, Reuse, Recycle) menjadi 10R, dimulai dari Refuse hingga Recover. Setiap “R” mencerminkan tahapan intervensi untuk memperpanjang umur material dan produk, mulai dari perancangan produk yang menolak penggunaan bahan baru (Refuse), penggunaan bersama (Rethink), hingga pengolahan kembali limbah menjadi energi (Recover).

Kerangka ini memperluas perspektif bahwa ekonomi sirkular bukan hanya daur ulang, melainkan mencakup seluruh siklus hidup material—dari desain, konsumsi, pemeliharaan, hingga rekondisi. Dalam konteks kebijakan publik, pendekatan 10R membantu pemerintah dan industri menentukan prioritas intervensi, misalnya mendorong perancangan produk yang mudah diperbaiki (Repair), atau memperkuat ekosistem industri remanufaktur.

Mekanisme Sirkularitas: Menutup, Memperlambat, dan Menyempitkan Aliran Sumber Daya

Laporan ini membedakan tiga mekanisme utama yang membentuk transisi menuju ekonomi sirkular:

  1. Menutup (Closing) Siklus Sumber Daya
    Berfokus pada pencegahan limbah melalui penggunaan bahan daur ulang dan produk bekas, sehingga mengurangi ketergantungan terhadap bahan mentah baru.
    Contoh aplikatif di Indonesia adalah program pengelolaan limbah plastik menjadi secondary raw materials yang kini diadopsi oleh sektor kemasan dan tekstil.

  2. Memperlambat (Slowing) Aliran Sumber Daya
    Berupaya memperpanjang umur produk melalui desain tahan lama, kemudahan perbaikan, dan model bisnis berbasis kepemilikan bersama (sharing economy).
    Ini relevan bagi sektor otomotif dan elektronik Indonesia, di mana perpanjangan usia produk dapat menekan konsumsi material baru.

  3. Menyempitkan (Narrowing) Aliran Sumber Daya
    Meningkatkan efisiensi produksi dan konsumsi melalui inovasi teknologi dan perubahan perilaku.
    Pendekatan ini mendorong perusahaan untuk menghasilkan lebih banyak nilai ekonomi dari jumlah bahan yang lebih sedikit, seperti penerapan eco-efficiency di industri manufaktur.

Ketiga mekanisme ini membentuk fondasi operasional bagi negara yang ingin menurunkan jejak ekologis tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi.

Definisi Global dan Kerangka Konseptual

Salah satu kontribusi utama laporan ini adalah penyusunan definisi kerja internasional tentang ekonomi sirkular yang dapat diadaptasi oleh negara-negara anggota.
Definisi tersebut menekankan tiga prinsip utama:

  1. Nilai material harus dipertahankan selama mungkin dalam sistem ekonomi.

  2. Penggunaan dan konsumsi material harus diminimalkan baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

  3. Timbulan limbah dan dampak lingkungan harus dicegah di seluruh siklus hidup material.

Untuk mengukur kemajuan, dibangun kerangka konseptual yang terdiri dari empat komponen utama:

  • Siklus hidup material dan rantai nilai, mencakup input bahan baku, konsumsi, hingga limbah akhir.

  • Interaksi dengan lingkungan, mengukur dampak aktivitas ekonomi terhadap iklim, air, tanah, dan biodiversitas.

  • Tanggapan dan kebijakan, meliputi insentif ekonomi, inovasi teknologi, dan instrumen regulasi.

  • Peluang sosial ekonomi, termasuk penciptaan lapangan kerja, inovasi model bisnis, dan peningkatan keterampilan.

Kerangka ini menciptakan dasar bagi sistem indikator nasional yang konsisten dengan standar internasional seperti System of Environmental-Economic Accounting (SEEA).

Dampak Lingkungan dan Sosial dari Material Ekonomi

Salah satu bagian penting dalam laporan ini menyoroti bagaimana setiap kelompok material—biomassa, kayu, energi fosil, logam, hingga mineral konstruksi—memiliki jejak ekologis berbeda. Sebagai contoh, sekitar setengah emisi gas rumah kaca global berasal dari kegiatan pengelolaan material, sementara lebih dari 90% kehilangan biodiversitas terkait dengan ekstraksi sumber daya alam.

Pendekatan ekonomi sirkular dapat menekan dampak tersebut melalui:

  • Substitusi bahan tak terbarukan dengan sumber daya terbarukan.

  • Penerapan prinsip cascading use, seperti pemanfaatan kayu dalam beberapa siklus penggunaan sebelum dibakar untuk energi.

  • Pengurangan konsumsi energi fosil melalui efisiensi proses industri.

Lebih jauh, konsep ini juga berimplikasi sosial. Transisi menuju ekonomi sirkular menciptakan peluang kerja baru di sektor reuse, repair, dan remanufacture, sekaligus menuntut peningkatan kapasitas SDM melalui pelatihan teknis dan literasi lingkungan.

Kebijakan dan Instrumen Pendukung

Untuk mempercepat penerapan ekonomi sirkular, laporan ini merekomendasikan berbagai instrumen kebijakan, seperti:

  • Insentif fiskal untuk perusahaan yang menerapkan desain produk sirkular atau menggunakan bahan daur ulang.

  • Kebijakan publik hijau (green procurement) untuk mendorong permintaan pasar terhadap produk berkelanjutan.

  • Extended Producer Responsibility (EPR) yang menuntut produsen bertanggung jawab terhadap siklus hidup produknya.

  • Investasi R&D dalam teknologi daur ulang dan material alternatif.

  • Edukasi dan sertifikasi profesional dalam bidang sirkularitas, terutama di sektor konstruksi dan industri berat.

Indonesia telah mulai mengarah ke arah ini melalui Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon serta Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular yang tengah disusun oleh Kementerian PPN/Bappenas.

Kesimpulan

Ekonomi sirkular bukan hanya wacana ekologis, tetapi strategi pembangunan lintas sektor yang menghubungkan efisiensi ekonomi, keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan. Pedoman internasional seperti yang disusun oleh Conference of European Statisticians menyediakan fondasi metodologis yang dapat diadaptasi untuk konteks nasional, termasuk Indonesia.

Dengan membangun sistem pengukuran yang solid, memperkuat kebijakan insentif, serta meningkatkan kapasitas manusia, Indonesia berpeluang menjadi salah satu pionir ekonomi sirkular di kawasan Asia Tenggara—sebuah ekonomi yang tidak hanya tumbuh, tetapi juga berputar dengan bijak.

 

Daftar Pustaka

Conference of European Statisticians. (2024). Guidelines for Measuring Circular Economy: Part A. Geneva: United Nations Economic Commission for Europe (UNECE).

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2023). Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. (2022). Kebijakan pengelolaan limbah dan strategi circular economy nasional. Jakarta: KLHK RI.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). Measuring circular economy and material flows. Paris: OECD Publishing.

United Nations Environment Programme (UNEP). (2023). Global environment outlook: Circularity and resource efficiency. Nairobi: UNEP.

World Bank. (2023). Towards a circular economy in emerging markets: Policy insights for sustainable industrial growth. Washington, DC: World Bank Group.

Selengkapnya
Mengukur Sirkularitas: Membangun Ekonomi yang Hemat Sumber Daya dan Inklusif

Ekonomi

Kembang Api PDB atau Akar Ekonomi? Pilihan Jangka Panjang Indonesia

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 08 November 2025


Penulis: cakHP (Heru Prabowo)


Setiap kali Badan Pusat Statistik mengumumkan pertumbuhan PDB, headline media langsung ramai: ekonomi tumbuh 5%, inflasi terkendali, atau surplus perdagangan berlanjut. Kita bersorak seolah semua masalah selesai. Tapi benarkah demikian? Pertumbuhan sesaat bisa membuat kita bangga, tetapi apakah ia cukup untuk membawa Indonesia keluar dari middle income trap?

Pertanyaan mendasar muncul: apakah kita puas dengan pertumbuhan jangka pendek, atau berani melakukan restrukturisasi ekonomi jangka panjang?

📌
Mesin Pertumbuhan Jangka Pendek

Kerangka GDP = C + I + G + (X – M) menjelaskan empat mesin utama penggerak ekonomi.

Konsumsi (C):

- Konsumsi rumah tangga menyumbang 53–55% PDB Indonesia.

Artinya, lebih dari separuh pertumbuhan kita ditopang oleh belanja masyarakat.

Tapi apakah aman bergantung pada konsumsi semata? Pada 2022, inflasi pangan sempat menembus 5,5%, memukul daya beli masyarakat berpendapatan rendah. Optimisme konsumen bisa cepat hilang jika harga beras dan energi naik.

Investasi (I) :

- Porsinya sekitar 30–33% PDB.

- Realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) pada 2023 mencapai Rp 744 triliun, naik dari tahun sebelumnya.

Namun, investasi jangka panjang butuh kepastian hukum. Bagaimana mungkin investor global mau menanam modal puluhan tahun jika regulasi bisa berubah dalam hitungan bulan?

Belanja Pemerintah (G) :

- Menyumbang 8–10% PDB.

- Pada 2020, saat pandemi, APBN berperan besar: defisit fiskal melebar ke 6,1% PDB demi menyelamatkan ekonomi.

Namun setiap tahun kita mendengar keluhan sama: serapan anggaran lambat, proyek produktif kalah dari belanja rutin. Apakah kita hanya pandai mengalokasikan, tapi tidak mampu merealisasikan?

Ekspor Neto (X – M):

- Tahun 2022, Indonesia menikmati surplus perdagangan terbesar sepanjang sejarah: USD 54,5 miliar—berkat harga batu bara, CPO, dan nikel yang melambung.

- Tetapi pada 2023, surplus turun jadi USD 36,9 miliar seiring turunnya harga komoditas. Bukankah ini bukti bahwa kita masih seperti penumpang roller coaster harga global?

📌
Fondasi Struktural: Jalan yang Lebih Sulit

Pertumbuhan jangka pendek ibarat kembang api — indah, tapi cepat padam. Fondasi struktural adalah akar pohon — tak terlihat, tapi menentukan apakah kita sanggup bertahan menghadapi badai.

Produktivitas Tenaga Kerja:

- Produktivitas pekerja Indonesia hanya sekitar USD 25.000 per pekerja per tahun (data ILO, 2022), jauh di bawah Korea Selatan (USD 80.000) atau Malaysia (USD 55.000).

Bonus demografi bisa menjadi berkah, tapi tanpa skill dan kesehatan memadai, ia berubah jadi bom waktu pengangguran.

Transformasi Industri:

- Kontribusi manufaktur terhadap PDB Indonesia stagnan di kisaran 19–20% sejak awal 2000-an.

- Bandingkan dengan Vietnam: sektor manufakturnya melonjak dari 17% (2005) ke 25% (2022), menjadikan negara itu basis ekspor elektronik dunia.

Pertanyaannya: maukah kita tetap menjual CPO mentah dan batu bara, sementara tetangga menjual semikonduktor dan smartphone?

Inovasi & Teknologi:

- Belanja riset Indonesia hanya 0,23% PDB (UNESCO, 2021). Korea Selatan? 4,8%. China? 2,4%.

Selama kita hanya mengimpor teknologi, kapan kita akan menjadi pencipta, bukan sekadar pengguna?

Kepastian Politik & Hukum:

- Indeks Persepsi Korupsi Indonesia masih 34/100 (2023, Transparency International)—tergolong rendah.

Padahal, tanpa kepastian hukum, investasi strategis jangka panjang sulit bertahan. Bukankah fondasi ekonomi kuat tidak mungkin tumbuh di atas tanah hukum yang rapuh?

📌
Studi Kasus: Belajar dari Dunia

🔖1. Korea Selatan

1960-an: PDB per kapita hanya USD 158—lebih rendah dari Ghana saat itu.

Kini: USD 33.000 (2022).

Rahasianya? Industrialisasi agresif, investasi pendidikan, dan konsistensi lintas rezim. Mereka memilih jalan restrukturisasi, bukan sekadar angka pertumbuhan.

🔖 2. Brasil

Awal 2000-an: dipuji sebagai raksasa baru berkat booming komoditas.

2015–2016: ekonomi jatuh ke resesi terdalam, kontraksi -3,5%, karena gagal diversifikasi industri.

Pelajaran: bergantung pada komoditas ibarat mengikat masa depan pada harga global yang tak bisa kita kendalikan.

🔖 3. China

Sejak 1978, rata-rata pertumbuhan 9–10% per tahun.

Tapi mereka tidak berhenti di situ: lewat Made in China 2025, China menargetkan dominasi di AI, kendaraan listrik, dan semikonduktor.

Mereka membuktikan: pertumbuhan jangka pendek bisa dijalankan bersamaan dengan restrukturisasi jangka panjang.

🔖 4. Indonesia Sendiri

1970-an: ekonomi tumbuh pesat berkat booming minyak.

1980-an: harga minyak jatuh, APBN terguncang, utang menumpuk.

Reformasi 1998 melahirkan stabilitas makro, tapi sejak 2000-an, industri manufaktur stagnan.

Sementara itu, Vietnam melesat, ekspor manufakturnya menembus USD 371 miliar (2022), hampir dua kali lipat Indonesia (USD 223 miliar).

📌
Dilema Indonesia

Pertanyaannya sederhana tapi tajam: apakah kita puas menyalakan kembang api pertumbuhan PDB tiap kuartal, atau kita berani menanam pohon ekonomi yang akarnya kuat?

Pertumbuhan jangka pendek memberi stabilitas politik, tapi restrukturisasi memberi daya tahan lintas generasi. Kita tidak bisa selamanya bersembunyi di balik surplus komoditas, apalagi membiarkan bonus demografi lewat begitu saja.

✍️
Penutup

Mengejar angka PDB jangka pendek penting —bia menjaga stabilitas, membangun optimisme, dan memberi ruang fiskal. Tetapi tanpa restrukturisasi, semua itu rapuh. Indonesia perlu keberanian politik untuk menyeimbangkan keduanya: menjaga mesin pertumbuhan tetap hidup, sambil menanam fondasi produktivitas, inovasi, dan industrialisasi.

Karena pada akhirnya, pertumbuhan sejati bukanlah soal seberapa cepat kita berlari, melainkan seberapa kokoh tanah yang kita pijak.

Selengkapnya
Kembang Api PDB atau Akar Ekonomi? Pilihan Jangka Panjang Indonesia

Ekonomi

Dari 6 ke 8 % : Target Ambisius Menkeu Purbaya Menggenjot Pertumbuhan Ekonomi

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 08 November 2025


Penulis: cakHP

Dari 6 ke 8 % : Target Ambisius Menkeu Purbaya Menggenjot Pertumbuhan Ekonomi

Beberapa hari setelah dilantik, Menteri Keuangan Purbaya langsung meluncurkan kebijakan yang memicu perdebatan: memindahkan dana mengendap pemerintah sebesar Rp200 triliun dari Bank Indonesia ke bank-bank pelat merah. Langkah ini dianggap berani — bahkan nekad oleh sebagian kalangan — karena menyentuh langsung jantung sistem keuangan. Tujuannya jelas: agar uang negara tidak lagi “tidur” di rekening BI, tetapi bergerak ke sektor riil, memicu kredit, dan mendongkrak pertumbuhan.

Purbaya membawa target ambisius. Tahun ini ia ingin pertumbuhan ekonomi kembali menembus di atas 6%, level yang pernah kita nikmati pada era Presiden SBY. Selanjutnya, ia berkomitmen mewujudkan janji Presiden Prabowo: membawa Indonesia menuju pertumbuhan 8% dalam beberapa tahun ke depan. Mungkinkah?

📌

Belajar dari Masa Lalu

Kilas balik ke periode 2007–2011, Indonesia memang sempat menikmati pertumbuhan di kisaran 6–6,5%. Kombinasi harga komoditas yang melambung, stabilitas makro, dan reformasi fiskal memberi ruang gerak besar bagi pemerintah kala itu. Namun konteks saat ini berbeda. Dunia sedang menghadapi perlambatan ekonomi global, suku bunga tinggi, serta ketidakpastian geopolitik. Singkatnya, kita tak bisa lagi mengandalkan keberuntungan siklus komoditas.

Maka, strategi Purbaya harus berbeda: bertumpu pada inovasi fiskal, penyaluran kredit produktif, dan transformasi struktural yang nyata.

📌

Senjata Baru: Dana Rp200 Triliun

Poin kuncinya adalah bagaimana mengelola dana Rp200 triliun yang selama ini mengendap di BI. Sri Mulyani sebelumnya enggan memindahkannya, karena alasan kehati-hatian fiskal dan stabilitas moneter. Purbaya memilih jalan berbeda: dana ini diparkir di bank BUMN dengan mandat menyalurkan ke sektor produktif.

Risikonya tentu ada. Jika bank hanya menggunakan dana ini untuk membeli surat utang atau ditempatkan kembali ke instrumen aman, maka tak ada bedanya dengan dibiarkan tidur di BI. Namun jika diarahkan dengan presisi, dana ini bisa menjadi “bensin” bagi mesin ekonomi.

5️⃣🚩

Lima Sektor Prioritas

Pemerintah menetapkan lima sektor prioritas sebagai tujuan penyaluran kredit produktif. Pilihan ini bukan kebetulan, karena kelimanya dianggap punya multiplier effect tinggi dan menyerap banyak tenaga kerja:

1. UMKM dan koperasi: Tulang punggung perekonomian, menyerap lebih dari 97% tenaga kerja. Tambahan kredit akan langsung mengalir ke konsumsi rumah tangga dan memperkuat daya beli.

2. Industri manufaktur & hilirisasi: Mesin industrialisasi, kunci substitusi impor dan peningkatan nilai tambah dalam negeri.

3. Pertanian, perikanan, dan pangan: Penopang ketahanan pangan, sekaligus faktor penentu stabilitas inflasi.

4. Energi terbarukan & infrastruktur hijau: Investasi jangka panjang untuk meningkatkan produktivitas dan mempersiapkan transisi energi.

5. Digital & teknologi: Pendorong transformasi struktural, membuat UMKM naik kelas dan meningkatkan daya saing global.

🚩📊

Simulasi / Skenario Dampak

Dengan baseline pertumbuhan Indonesia di sekitar 5,2%, seberapa besar tambahan yang bisa dihasilkan? Beberapa simulasi konservatif menunjukkan bahwa dengan dana Rp200 triliun, leverage kredit 1,5–2 kali lipat, dan multiplier sektoral, tambahan pertumbuhan yang mungkin tercipta adalah sekitar 1,5–2 poin persentase.

Artinya, pertumbuhan bisa terdongkrak dari baseline 5,2% menjadi 6,6–7,2% hanya dalam tahun pertama, asalkan penyaluran dilakukan cepat dan tepat sasaran.

Untuk jangka menengah, jika proyek manufaktur dan infrastruktur hijau sudah rampung, dampaknya bisa lebih besar. Pada tahun kedua dan ketiga, pertumbuhan berpotensi mendekati 8%, terutama jika dibarengi reformasi struktural dan dukungan investasi swasta.

📌

Syarat Keberhasilan

Tentu saja, target ini tidak bisa dicapai hanya dengan menaruh dana di bank. Ada sejumlah syarat penting yang menentukan apakah strategi ini sukses atau justru berisiko gagal:

1. Leverage efektif: Dana pemerintah harus mampu menarik dana tambahan dari sektor swasta, lembaga pembiayaan internasional, hingga green bonds. Tanpa leverage, dampaknya akan terbatas.

2. Pengendalian risiko kredit: Pemerintah perlu berbagi risiko dengan bank melalui penjaminan selektif, agar bank berani menyalurkan kredit ke sektor produktif yang dianggap berisiko tinggi.

3. Larangan parkir ulang: Bank tidak boleh sekadar memarkir dana ini kembali ke surat utang negara. Harus ada aturan ketat bahwa dana benar-benar mengalir ke sektor riil.

4. Pipeline proyek siap dibiayai: Proyek manufaktur, pangan, hingga energi terbarukan harus sudah siap secara perizinan dan studi kelayakan, sehingga dana bisa langsung terserap.

5. Monitoring dan transparansi: Publik perlu tahu realisasi penyaluran, sektor yang mendapat pembiayaan, jumlah tenaga kerja tercipta, hingga dampak ke emisi karbon.

📌📊

Strategi Jangka Pendek dan Jangka Panjang

Untuk target jangka pendek menembus 6% pertumbuhan tahun ini, strategi yang paling masuk akal adalah fokus pada UMKM, koperasi, dan sektor pangan. Kedua sektor ini punya efek cepat karena sifatnya padat karya dan langsung menyentuh konsumsi masyarakat.

Sementara untuk target jangka menengah mencapai 8%, strategi harus bergeser ke manufaktur dan infrastruktur hijau. Keduanya memang butuh waktu lebih lama karena proses konstruksi dan industrialisasi tidak bisa instan, tetapi begitu beroperasi, kontribusinya besar terhadap PDB.

📌

Risiko yang Harus Dijaga

Setiap kebijakan besar pasti membawa risiko. Pertama, risiko moral hazard jika bank atau debitur menggunakan dana tidak sesuai tujuan. Kedua, risiko inflasi jika penyaluran terlalu cepat ke konsumsi tanpa diimbangi produksi. Ketiga, risiko stabilitas moneter, karena dana yang keluar dari BI membuat kontrol likuiditas lebih menantang.

Namun risiko bisa diminimalkan dengan tata kelola yang ketat, transparansi, dan koordinasi erat dengan BI dan OJK.

✍️

Penutup: Antara Realisme dan Harapan

Target pertumbuhan 6% lebih pada tahun ini mungkin bisa dicapai dengan kombinasi kebijakan fiskal ekspansif dan penyaluran kredit produktif. Target 8% jelas lebih menantang, tapi bukan mustahil jika industrialisasi, hilirisasi, dan transisi energi benar-benar dijalankan.

Menteri Keuangan Purbaya sudah menyalakan mesin. Kini pertanyaannya bukan lagi apakah dana Rp200 triliun bisa menggerakkan ekonomi, melainkan apakah kita mampu mengarahkan energi ini ke jalur yang benar. Jika berhasil, Indonesia akan mengulang bahkan melampaui capaian era keemasan SBY, kali ini dengan fondasi ekonomi yang lebih berkelanjutan dan inklusif.

.

Selengkapnya
Dari 6 ke 8 % : Target Ambisius Menkeu Purbaya Menggenjot Pertumbuhan Ekonomi

Ekonomi

Dar-Der-Dor Likuiditas: Membongkar Filsafat Ekonomi di Balik Jurus Purbaya

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 08 November 2025


Penulis: cakHP (Heru Prabowo)

 

☕  Teori besar ekonomi dibedah dengan bahasa warung kopi supaya rakyat ikut paham dan bisa menagih kebijakan yang adil.

🍃

Pembuka: Dari Warung Kopi ke Ruang Rapat

Purbaya Yudi Sadewa, Menteri Keuangan yang belakangan sering viral, punya cara unik menjelaskan ekonomi: bukan dengan grafik rumit, melainkan logika warung kopi. Baginya, ekonomi itu seperti irigasi. Air harus mengalir sampai ke sawah. Kalau airnya berhenti di bendungan, padi tak tumbuh, dapur pun sepi. Begitu pula ekonomi: kalau uang negara menumpuk di Bank Indonesia (BI) dan bank lebih suka menaruh dana di BI, arus ke rakyat dan pengusaha mengecil. Maka sawah (usaha) mengering, pendapatan seret, dan harga-harga terasa menekan.

Esai ini mencoba membedah jurus dar-der-dor Purbaya dengan alur yang rapi: (Dar) masalahnya apa, (Der) solusinya bagaimana, (Dor) risikonya apa dan bagaimana diantisipasi. Sepanjang jalan, kita kaitkan dengan teori ekonomi — tanpa membuat dahi berkerut.

.

🎯🏇

Dar — Masalah: Likuiditas Tersumbat dan Mesin Ganda yang Tak Sinkron

Inti masalah: uang beredar (likuiditas) tidak mengalir sampai ke sektor riil karena dua simpul:

1. Fiskal: Pemerintah menarik pajak, tetapi sebagian dana “parkir” di BI—aliran ke proyek, gaji, dan belanja barang/jasa tertunda;

2. Moneter: BI memberi imbal hasil menarik bagi simpanan bank (aman, tanpa risiko), sehingga bank cenderung menaruh dana di BI daripada menyalurkan kredit.

Dalam bahasa irigasi : pintu air di hulu dibuka setengah, pintu di hilir ditutup rapat. Sawah di tengah kekeringan.

Landasan teoritis yang nyambung:

▪️ Keynesian: saat permintaan lemah, pemerintah harus mendorong belanja agar produksi dan kerja bangkit.

▪️ Endogenous money: uang “lahir” ketika bank memberi kredit; jika insentif bank buruk, kelahiran uang terhambat.

Kait ke Purbaya: Ia menyimpulkan, jika kita ingin dagang laku, gaji naik, dan usaha hidup, maka sumbatan itu harus dibuka. Bukan dengan pidato, tapi dengan mengubah arus uang.

.

🎯🏇

Der — Solusi: Memindahkan Dana Pemerintah ke Perbankan (Bagaimana Cara Kerjanya?)

Apa yang dilakukan: Purbaya memindahkan sebagian dana pemerintah dari rekening di BI ke bank-bank umum. Ini bukan mencetak uang baru atau menambah utang, melainkan merelokasi kas yang sudah ada agar bisa diakses sistem perbankan. Begitu dana masuk bank, biaya dana (cost of fund/CoF) turun, likuiditas longgar, dan bank lebih berani menyalurkan kredit.

Gambarannya :

- Sebelum: Bendungan penuh air di hulu (BI), sawah kering di hilir (usaha/rumah tangga).

- Sesudah: Pintu air dibuka, air mengalir ke jaringan parit (bank), lalu ke petak-petak sawah (UMKM, industri, rumah tangga) melalui kredit dan pembayaran pemerintah.

Mengapa ini masuk akal secara teori?

Financial accelerator: ketika likuiditas mengalir, neraca perusahaan menguat, bunga efektif turun, investasi menjadi layak, lalu muncul putaran balik—produksi dan kerja bertambah.

Contoh konkret (skenario realistis):

▪️ UMKM: bengkel motor yang tertahan membeli kompresor baru karena bunga menurun 1–2 poin; kapasitas servis naik, menyerap dua karyawan tambahan.

▪️ Konstruksi kecil: kontraktor lokal mendapat pembayaran proyek pemerintah lebih cepat, sehingga tidak perlu berutang jangka pendek mahal; proyek terselesaikan tepat waktu, upah buruh terbayar.

*Catatan teoritis MMT* 

Mazhab MMT mengingatkan: negara berdaulat tak kehabisan uang dalam mata uangnya sendiri; yang penting kapasitas riil dan kontrol inflasi. Purbaya tidak sedang menjalankan MMT, tetapi efeknya mirip di permukaan: ia memastikan uang bekerja di ekonomi, bukan tidur di brankas. Batasnya jelas: ia tetap memakai bank dan anggaran yang ada — bukan belanja defisit tanpa rem.

.

🎯🏇

Dor — Risiko: Dari Pesta Kredit ke Pusing Kepala (dan Antisipasinya)

Risiko utama: Kalau arus air terlalu deras tanpa pagar, sawah bisa tergenang dan tanaman busuk. Dalam ekonomi, ini berarti utang tumbuh cepat di sektor yang salah — properti spekulatif, kredit konsumtif berlebih, atau pinjaman yang ditopang euforia.

Peringatan teoritis: Minsky mengingatkan, stabilitas panjang memupuk rasa aman palsu: standar kredit longgar, leverage (tingkat penggunaan utang) naik, lalu satu guncangan kecil bisa memicu krisis.

Skenario sederhana:

- Bunga global naik; rupiah melemah; biaya impor bahan baku naik.

- Debitur yang marginnya tipis mulai goyah; bank menaikkan provisi (cadangan kerugian penurunan nilai/CKPN) ; kredit baru melambat.

- Jika kredit sebelumnya menumpuk di properti konsumtif, harga bisa stagnan/anjlok; NPL (kredit macet) merayap.

Antisipasi (yang harus jalan beriringan):

- Rem makroprudensial: batas LTV/DTI dinamis (loan-to-value/debt-to-income: rasio pinjaman terhadap nilai agunan/rasio utang terhadap pendapatan), buffer permodalan siklikal (countercyclical capital buffer/CCyB), uji ketahanan sektor properti & konsumsi.

- Arahkan kredit: insentif bagi kredit produktif (mesin, logistik, energi bersih), bukan hanya kredit konsumsi.

- Transparansi kas negara: aturan jelas porsi kas di BI vs bank untuk menghindari kesan “fiscal dominance” dan menjaga kredibilitas moneter.

.

👉

Contoh Kasus Imajinatif: Tiga Bulan Mengalir

▪️Bulan Pertama: Pemerintah memindahkan sebagian dana ke bank umum. Bank mulai punya ruang longgar untuk kredit baru. Beberapa pengusaha kecil mendapat pinjaman modal kerja lebih cepat, tanpa harus menunggu tender baru.

▪️Bulan Kedua: Arus dana terasa di lapangan. Proyek infrastruktur mulai jalan lebih lancar karena pembayaran lebih cepat. Permintaan bahan bangunan meningkat, toko material lokal kembali sibuk.

▪️Bulan Ketiga: Konsumsi meningkat. Warung makan di sekitar proyek ikut ramai, pendapatan sopir truk naik, dan belanja rumah tangga mulai pulih. Ekonomi kecil-kecilan menggeliat. Dari kas negara ke bank, dari bank ke pelaku usaha, dan akhirnya ke dapur rakyat.

Skenario ini tentu sederhana, tapi membantu membayangkan bagaimana “uang mengalir” itu sebenarnya terjadi — tidak seperti keajaiban, tapi seperti air yang sabar mencari jalannya sendiri.

.

✍️

Checklist Pembaca: Sudahkah Arus Ekonomi Sampai ke Tempatmu?

1. Warung di sekitar tempatmu ramai lagi? Kalau iya, itu tanda arus likuiditas mulai terasa.

2. Pinjaman bank lebih mudah atau bunga lebih rendah? Artinya, uang pemerintah di bank sudah mulai bekerja.

3. Proyek pemerintah di daerahmu cepat selesai dan bayarannya lancar? Itu tanda sistem fiskal lebih cair.

Kalau tiga pertanyaan ini dijawab “ya”, berarti kebijakan dar-der-dor tidak berhenti di headline. Tapi kalau belum, ya tugas publik adalah menagih: jangan sampai air ekonomi berhenti di tengah jalan.

.

🇮🇩

Konteks Indonesia: Kenapa Arus Sampai Hilir Itu Krusial?

Indonesia hidup dari jutaan UMKM dan usaha keluarga. Mereka peka terhadap arus kas harian. Satu perubahan kecil pada bunga pinjaman atau kecepatan pembayaran pemerintah bisa membedakan antara tutup warung dan tambah karyawan. Karena itu, kebijakan yang memperlancar arus sampai hilir lebih terasa ketimbang kebijakan yang berhenti di hulu.

Di sisi lain, Indonesia juga rentan terhadap guncangan eksternal (harga komoditas, arus modal, suku bunga global). Maka jurus Purbaya harus ditemani pagar risiko — bukan untuk mematikan aliran, melainkan mengarahkannya ke lahan yang tepat.

.

✍️

Pandangan Alternatif: Biar Diskusinya Seimbang

🔹Monetarist /Neo-Wicksellian: yang penting bukan seberapa banyak air, tapi ketinggian permukaan (suku bunga kebijakan relatif terhadap r*). Jika r* tinggi (karena risiko/inflasi), sekadar mengalirkan air tidak menjamin panen.

🔹MMT/Post-Keynesian: masalah bukan airnya saja, tapi jaringan irigasi (kapasitas riil). Kalau saluran pecah (logistik jelek, hukum jaminan lemah), air terbuang percuma.

🔹Public choice: awasi agar kebijakan tak jadi rejeki nomplok untuk yang dekat kekuasaan. Transparansi penting supaya air tidak dialihkan ke “kolam pribadi”.

.

📌

Rekomendasi Praktis (Supaya “Cuan Bersama” Bukan Slogan)

1. Kunci di Hilir: percepat pembayaran pemerintah, sederhanakan K/L/D (Kementerian/Lembaga/Daerah) pemesanan barang/jasa, dan pastikan kredit UMKM produktif mengalir (mesin, inventori, digitalisasi).

2. Pasang Pagar: tetapkan batas LTV/DTI siklikal, buffer modal bank antarsiklus, dan lakukan stress test (uji ketahanan) sektor padat kredit (properti, konsumsi).

3. Aturan Kas yang Jelas: publikasikan koridor kas pemerintah—berapa porsi minimal di BI dan di bank—agar pasar paham ini rule-based, bukan sekadar manuver.

4. Ukur yang Penting: selain pertumbuhan kredit, pantau produktivitas, kenaikan pekerjaan formal, dan sebaran geografis kredit—indikator kualitas, bukan hanya kuantitas.

5. Keadilan Akses: perluas penjaminan kredit untuk usaha kecil yang layak namun kekurangan agunan; perkuat sistem informasi debitur agar bank berani menilai risiko UMKM.

.

✍️

Penutup: Ekonomi yang Mengalir Sampai Dapur

Pada akhirnya, filosofi Purbaya bisa disebut Keynesianisme praktis: buka sumbatan, biarkan arus uang mengalir sampai hilir, dan jaga agar aliran itu tidak berubah menjadi banjir. Teori boleh rumit, tetapi kita pegang ukurannya yang sederhana: apakah air (uang) betul-betul sampai ke sawah (rakyat)?

Ekonomi boleh tumbuh, tetapi kalau warung kecil belum ramai dan pekerja belum merasakan gaji yang naik, kebijakan belum tuntas. Bila arusnya sampai, kita tidak hanya merayakan angka di layar — kita merayakan dapur yang kembali mengepul.

.

🛜

Endnotes

[1] Keynes, J.M. The General Theory of Employment, Interest and Money (1936).

[2] Moore, B. Horizontalists and Verticalists: The Macroeconomics of Credit Money (1988).

[3] Bernanke, B., Gertler, M., Gilchrist, S. The Financial Accelerator in a Quantitative Business Cycle Framework (1999).

[4] Wray, L. Randall. Modern Money Theory (2015).

[5] Minsky, H. Stabilizing an Unstable Economy (1986).

.

📖

Glosarium Sederhana

Likuiditas — Air dalam irigasi ekonomi: harus mengalir, bukan menggenang.

Fiskal — Cara pemerintah mengelola dompet: pajak dan belanja.

Moneter — Cara bank sentral mengatur bunga dan uang beredar.

Endogenous money — Uang “lahir” ketika bank memberi kredit.

Financial accelerator — Efek penguat: saat likuiditas mengalir, investasi dan kerja ikut naik.

Minsky moment — Saat pesta utang mendadak berubah jadi pusing krisis.

Fiscal dominance — Saat kebijakan fiskal “mendikte” bank sentral.

r* — Tingkat bunga alamiah; patokan kasar apakah bunga sekarang terlalu tinggi/terlalu rendah.

LTV/DTI — Loan-to-Value/Debt-to-Income: rasio pinjaman terhadap nilai agunan/rasio utang terhadap pendapatan; dipakai otoritas untuk mengendalikan ekspansi kredit.

K/L/D — Kementerian/Lembaga/Daerah; singkatan untuk entitas pemerintah pusat–daerah.

NPL — Non-Performing Loan atau kredit macet: cicilan tertunggak melewati batas tertentu.

CoF (Cost of Fund) — Biaya dana perbankan; makin rendah, makin mudah bank menurunkan bunga kredit.

CCyB — Countercyclical Capital Buffer: penyangga modal tambahan bank pada masa ekspansi agar tahan banting saat siklus berbalik.

Stress test — Uji ketahanan bank/sektor terhadap skenario buruk (bunga naik, rupiah melemah, harga aset turun).

Leverage — Tingkat penggunaan utang dibanding modal/pendapatan; makin tinggi, makin rentan terhadap guncangan.

Public choice — Perspektif ekonomi-politik yang menelaah bagaimana kepentingan birokrasi/politik bisa memengaruhi kebijakan.

.

📚

Pustaka Belajar

Keynes, J.M. (1936). The General Theory of Employment, Interest and Money.

Bernanke, B., Gertler, M., Gilchrist, S. (1999). The Financial Accelerator in a Quantitative Business Cycle Framework.

Minsky, H. (1986). Stabilizing an Unstable Economy.

Wray, L. Randall. (2015). Modern Money Theory.

Moore, B. (1988). Horizontalists and Verticalists: The Macroeconomics of Credit Money.

Borio, C. (2014). The Financial Cycle and Macroeconomics: What Have We Learnt?

Selengkapnya
Dar-Der-Dor Likuiditas: Membongkar Filsafat Ekonomi di Balik Jurus Purbaya

Ekonomi

EKONOMI ITU SEBETULNYA PERCAKAPAN (Catatan Perjalanan Saya Membaca Pasar sebagai Ekosistem Komunikasi & Psikologi)

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 06 November 2025


Penulis: cakHP (Heru Prabowo)

📌

Pembuka: Ekonomi, Obrolan, dan Emosi Kita

Ada masa ketika saya kira ekonomi itu semata soal angka. Soal kurs, inflasi, PDB. Tapi semakin sering saya mengamati orang antre BBM, panik belanja masker, atau mendadak euforia saham gorengan, saya makin yakin: ekonomi itu lebih mirip obrolan warung kopi ketimbang mesin kalkulator.

Pasar hidup karena kita percaya cerita, karena kita terpengaruh emosi, karena kita ingin diakui tetangga atau komunitas online. Ekonomi, dengan kata lain, adalah ekosistem komunikasi dan psikologi.

Saya tahu ini bukan ide jatuh dari langit. Sejarah panjang pemikiran sudah menyinggung hal ini. Mari kita lihat bersama, sambil saya ajak ngobrol dari Adam Smith sampai fiqh muamalah, lalu kita hubungkan ke Elon Musk, kripto, sampai hustle culture startup.

.

📌

Adam Smith dan Perasaan Moral yang Masih Hidup di Bursa Saham

Banyak yang ingat Smith lewat “tangan tak terlihat.” Tapi Smith juga menulis Theory of Moral Sentiments. Ia bilang, manusia itu bukan hanya makhluk egois, melainkan juga makhluk yang peduli pada pandangan orang lain. Kita beli, jual, nabung, bukan sekadar demi laba, tapi juga demi pengakuan sosial.

Coba lihat hari ini: kita masih menyebut “sentimen pasar.” Saham bisa naik hanya karena “suasana hati kolektif” investor. Itu moral sentiments dalam bentuk baru.

.

📌

Ibn Khaldun dan Asabiyyah: Solidaritas Bikin Ekonomi Jalan

Ibn Khaldun, jauh sebelum ekonomi modern lahir, sudah bicara soal asabiyyah — kohesi sosial. Baginya, peradaban berdiri di atas solidaritas. Kalau solidaritas rapuh, ekonomi pun ambruk.

Membaca Khaldun seperti membaca grup WhatsApp keluarga: kalau masih akur, gotong-royong jalan, rejeki terbagi. Begitu mulai saling curiga, komunikasi pecah, pasar jadi rapuh.

.

📌

Marx dan Fetisisme: Barang Bicara Seperti Manusia

Marx bikin saya sadar : harga itu bukan fakta netral. Ada ideologi di dalamnya. Ia menulis tentang fetisisme komoditas: barang seolah punya nilai “alami,” padahal ia hasil relasi sosial.

Hari ini kita lihat fenomena serupa. Kripto bisa melonjak hanya karena meme “to the moon.” Itu Marx versi Twitter. Harga jadi bahasa, bukan angka semata.

.

📌

Weber dan Schumpeter: Etos dan Spirit yang Menggerakkan

Weber bilang, kapitalisme modern lahir dari etika kerja religius: disiplin, hemat, rajin. Itu komunikasi budaya yang membentuk psikologi kolektif.

Schumpeter menambahkannya dengan spirit pengusaha: berani ambil risiko, bikin cerita baru, mengubah status quo lewat creative destruction. Apa bedanya dengan jargon startup masa kini? Pitch deck founder yang memesona investor adalah seni komunikasi sekaligus psikologi optimisme.

.

📌

Fiqh Muamalah: Pasar Sebagai Amanah

Dalam tradisi Islam, pasar bukan ruang kosong. Ia ruang penuh etika.

- Ijab-qabul = komunikasi yang bikin akad sah.

- Larangan gharar & tadlis = melindungi psikologi kepercayaan dari ketidakpastian dan penipuan.

- Hisbah = pengawas pasar, mirip regulator hari ini.

- Pasar Madinah = prototipe marketplace tanpa monopoli dan tanpa pajak berlebihan.

- Riba = komunikasi sepihak yang eksploitatif — seperti pinjaman online berbunga mencekik.

- Ridha & tawakkal = psikologi spiritual: transaksi harus bikin hati tenang, bukan cemas.

Al-Ghazali mengingatkan perdagangan itu ibadah sosial. Ibn Taymiyyah menulis soal harga wajar. Asy-Syatibi dengan maqasid-nya menegaskan tujuan syariah: melindungi harta, akal, dan jiwa dari kerusakan.

Kalau dipikir, semua itu adalah upaya membangun ekologi trust.

 

📌

Jembatan Benang Merah

Kalau saya rangkum:

- Smith → moral sentiments.

- Khaldun → asabiyyah.

- Marx → ideologi.

- Weber → etos budaya.

- Schumpeter → spirit inovasi.

- Fiqh muamalah → ridha, trust, amanah.

Semuanya mengaku: ekonomi bukan sekadar kalkulasi. Ekonomi adalah komunikasi dan psikologi.

.

📌

Dunia Kita Hari Ini

Sekarang kita hidup di era meme, hoaks, Elon Musk nge-tweet Dogecoin, orang mengejar pensiun dini lewat investasi kilat.

- Sentimen pasar? Masih hidup, cuma lewat grafik candlestick.

- Asabiyyah? Berganti jadi social trust dan komunitas online.

- Fetisisme Marx? Wujudnya saham gorengan atau kripto.

- Etos Weber & spirit Schumpeter? Reinkarnasinya hustle culture startup.

- Hisbah? Bentuk barunya adalah OJK, BI, atau regulator digital yang menjaga agar marketplace tak dipenuhi dark pattern dan penipuan.

.

✍️

Catatan untuk Indonesia

Di negeri kita, percakapan ini terasa nyata :

- Ekonomi syariah tumbuh, tapi masih butuh kejelasan komunikasi akad biar orang benar-benar percaya.

- Pinjaman online marak, tapi tanpa “hisbah digital” bisa menjebak psikologi orang kecil.

- Semangat startup ada, tapi tanpa regulasi komunikasi, creative destruction bisa berubah jadi predatoris.

.

🗣️✍️

Penutup: Ekonomi Sebagai Percakapan Besar

Semakin lama saya belajar, semakin yakin: ekonomi adalah percakapan besar manusia tentang nilai, makna, dan masa depan. Dari Madinah abad ke-7 sampai Silicon Valley abad ke-21, pasar hanya hidup jika ada komunikasi yang jujur dan psikologi kolektif yang sehat.

Jadi, ketika kita bicara pembangunan atau kebijakan ekonomi, jangan hanya sibuk menghitung angka. Kita juga perlu mengurus bahasa pasar (informasi yang jelas, jujur) dan emosi pasar (rasa aman, ridha, kepercayaan). Tanpa itu semua, ekonomi hanyalah angka kosong.

.

📖📚

Glosarium Mini

Sentimen pasar

Perasaan kolektif pelaku pasar (optimisme, ketakutan, euforia) yang bisa menggerakkan harga saham, kripto, atau komoditas — sering lebih kuat daripada logika fundamental.

Moral sentiments

Konsep Adam Smith tentang perasaan simpati dan empati manusia yang ikut mengatur perilaku ekonomi, bukan hanya kepentingan pribadi.

Asabiyyah

Istilah Ibn Khaldun untuk solidaritas atau kohesi sosial yang membuat masyarakat kuat dan ekonomi berkembang. Kalau melemah, peradaban ikut runtuh.

Fetisisme komoditas

Gagasan Karl Marx: barang dagangan seolah punya “nilai” sendiri, padahal nilai itu sebenarnya lahir dari hubungan sosial (pekerja, produksi). Kini sering muncul dalam bentuk “nilai” kripto atau meme stocks yang hanya digerakkan hype.

Creative destruction

Konsep Joseph Schumpeter tentang siklus kapitalisme: inovasi baru menggusur yang lama. Startup baru bisa menghancurkan bisnis mapan, tapi sekaligus menciptakan peluang.

Hustle culture

Budaya kerja ekstrem ala startup: kerja keras, tidur sedikit, selalu produktif. Disebut juga “budaya nge-gas terus,” sering dipandang glamor tapi juga bisa menekan psikologi pekerja.

Ijab-qabul

Dialog singkat “saya jual – saya beli” dalam akad transaksi. Simbol komunikasi dan kerelaan dalam jual beli menurut fiqh Islam.

Gharar

Ketidakpastian atau ketidakjelasan berlebihan dalam transaksi, misalnya jual barang yang tidak jelas ukurannya atau belum ada wujudnya. Dilarang dalam fiqh karena bisa merusak kepercayaan.

Tadlis

Penipuan atau menyembunyikan cacat barang dalam jual beli. Misalnya menjual ponsel rusak tapi bilang masih mulus.

Hisbah

Lembaga pengawas pasar dalam tradisi Islam klasik. Tugasnya mirip regulator hari ini: memastikan timbangan benar, harga transparan, dan pedagang jujur.

Riba

Tambahan (bunga) yang bersifat menekan dan eksploitatif dalam pinjaman. Dalam Islam, riba diharamkan karena dianggap merugikan pihak lemah dan menciptakan ketidakadilan.

Maqāṣid al-syarī‘ah

Konsep Asy-Syatibi tentang tujuan syariah: menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam ekonomi, berarti aturan harus menjaga kemaslahatan publik dan melindungi pihak rentan.

Ridha

Kerelaan hati dalam transaksi. Tanpa ridha, jual beli dianggap batil dalam fiqh muamalah.

Tawakkal

Sikap spiritual yang benar: berusaha sekuat tenaga terlebih dahulu, lalu menyerahkan hasilnya kepada Allah ﷻ. Inilah makna tawakkal yang ditekankan Al-Qur’an (QS. Āli ‘Imrān [3]:159). Tawakkal menumbuhkan ketenangan psikologis dalam aktivitas ekonomi — orang berdagang atau berinvestasi tetap realistis, tapi tidak diliputi rasa cemas berlebih.

.

Selengkapnya
EKONOMI ITU SEBETULNYA PERCAKAPAN (Catatan Perjalanan Saya Membaca Pasar sebagai Ekosistem Komunikasi & Psikologi)

Ekonomi

ETIKA & EKONOMI BARU Menggugah, Bukan Menggoda: Menyusun Etika Baru Ekonomi Klik

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 06 November 2025


Penulis: cakHP (Heru Prabowo)

Uang, Klik, dan Kepercayaan

Di sebuah ruang redaksi kecil di Yogyakarta, seorang jurnalis bercerita lirih,

> “Kami ingin menulis berita yang jujur, tapi kalau tidak viral, kami tidak bisa bertahan.”

Kalimat sederhana itu merangkum dilema eksistensial jurnalisme digital: integritas butuh waktu, sedangkan iklan butuh klik. Ekonomi klik menempatkan media pada posisi sulit. Setiap artikel adalah pertarungan antara etika dan algoritma. Yang paling cepat menang, bukan yang paling benar. Namun, pertanyaannya:

Apakah kita harus memilih antara bertahan hidup dan bertahan bermoral?

Apakah jurnalisme etis selalu berarti jurnalisme miskin?

Tulisan ini ingin menunjukkan bahwa jawabannya: tidak. Masih ada jalan tengah antara trafik dan integritas — sebuah paradigma baru yang disebut etika ekonomi klik.

 

1. Krisis Model Lama: Ketika Iklan Menjadi Tuan

Sampai satu dekade lalu, model bisnis media sederhana: konten → pembaca → iklan → pendapatan.

Namun setelah dua raksasa, Google dan Meta, menguasai lebih dari 70% belanja iklan digital global, media kehilangan kendali atas sirkulasi uang dan perhatian.

Menurut laporan Pew Research (2022), hanya 15–20% pendapatan iklan digital yang benar-benar kembali ke media pembuat konten. Sisanya diserap oleh platform melalui sistem lelang otomatis dan algoritma rekomendasi. Di Indonesia, efeknya lebih terasa: portal berita menumpuk konten ringan demi page view, sementara media lokal kesulitan membiayai liputan investigatif yang mahal. Kita menghadapi apa yang disebut Victor Pickard (2020) sebagai “market failure of journalism.” Dalam sistem ini, setiap klik adalah transaksi kecil — tapi tidak ada nilai tambah sosial di baliknya. Kita menghasilkan “lalu lintas” tanpa arah, bukan literasi yang mencerahkan.

 

2. Membangun Ekonomi Kepercayaan

Namun tidak semua media menyerah pada logika klik.

Beberapa mulai bereksperimen dengan model berbasis kepercayaan (trust-based journalism).

🔹 The Guardian

Menolak paywall sejak 2016 dan mengandalkan donasi sukarela pembaca.

Kini memiliki lebih dari 1,5 juta pendukung aktif dan membukukan laba.

Mereka menjual nilai, bukan sensasi:

> “Support the journalism you can trust.”

🔹 ProPublica

Dibiayai oleh sumbangan lembaga dan publik, semua data investigasi dibuka gratis.

Mereka menukar eksklusivitas dengan kolaborasi: berita mereka dipakai ratusan media lokal.

🔹 The Conversation

Menjembatani ilmuwan dan jurnalis, menulis dengan bahasa sederhana tanpa clickbait.

Pendekatannya: slow journalism for fast minds.

Contoh-contoh itu membuktikan bahwa trust bisa menjadi currency baru.

Kepercayaan menghasilkan loyalitas, dan loyalitas menghasilkan keberlanjutan.

 

3. Prinsip Etika Baru dalam Ekonomi Klik

Bagaimana prinsip ini bisa diterapkan di konteks media Indonesia?

Ada empat rumusan etika ekonomi klik yang dapat menjadi pedoman redaksi dan regulator:

1. Transparansi sebagai Modal Dasar

Media harus terbuka tentang sumber pendapatan dan proses editorialnya.

Pembaca berhak tahu apakah berita ditulis murni informatif atau berbayar (sponsored content).

Kejujuran finansial adalah bentuk pertama dari kejujuran editorial.

> “Kalau pembaca tak tahu siapa yang membayar berita,

> mereka takkan tahu siapa yang sedang berbicara kepada mereka.”

2. Nilai Sosial sebagai Keuntungan Utama

Setiap berita harus mengandung manfaat publik — bukan sekadar menarik perhatian.

Media perlu menilai keberhasilan bukan hanya lewat traffic analytics, tapi juga impact metrics:

apakah berita ini mendorong debat sehat, kebijakan baru, atau perubahan perilaku positif?

Model seperti Solutions Journalism Network (SJN) di AS menunjukkan bahwa

berita yang konstruktif lebih mungkin dibagikan secara organik dibanding berita sensasional.

3. Kolaborasi sebagai Strategi Bertahan

Daripada bersaing dalam sensasi, media bisa saling menguatkan lewat kolaborasi data dan liputan.

Contoh: proyek lintas redaksi “IndonesiaLeaks” yang menyatukan investigasi korupsi.

Kolaborasi seperti ini menurunkan biaya, meningkatkan dampak, dan menjaga etika.

4. Literasi Pembaca sebagai Tanggung Jawab Redaksi

Media tidak bisa menunggu publik menjadi cerdas; media harus ikut mencerdaskan publik.

Program literasi media — seperti rubrik “Belajar dari Judul” atau “Fakta vs Framing” — dapat memperkuat kepercayaan dua arah.

Seperti kata Jay Rosen (2006) dalam esainya yang terkenal :

> “Audience are not consumers anymore — they are the public.”

> Pembaca bukan target; mereka bagian dari ekosistem kejujuran.

 

5. Klik yang Punya Nurani

Etika ekonomi klik berarti mengembalikan klik ke makna moralnya. Klik bukan sekadar tindakan konsumsi, tapi tanda kepercayaan mikro. Setiap klik adalah “ya kecil” dari pembaca kepada media:

“Ya, saya percaya pada niatmu memberi tahu saya sesuatu yang penting.”

Jika kepercayaan itu dikhianati berkali-kali, pembaca akan berhenti mengklik — dan yang hilang bukan sekadar trafik, tapi kredibilitas. Karena itu, ekonomi jurnalisme masa depan harus beralih dari attention economy ke trust economy. Dari sekadar menghitung jumlah klik menjadi menakar kualitas hubungan antara media dan pembacanya.

 

5. Model “Clickworth Ecosystem”

Untuk menyeimbangkan idealisme dan bisnis, kita bisa membayangkan model tiga lapis berikut:

1. Lapisan Konten:

Produksi berita berbasis verifikasi dan kebermanfaatan.

Hindari “factory news,” perbanyak explanatory journalism.

2. Lapisan Komunitas:

Bangun forum diskusi pembaca, buletin, atau membership yang mendorong partisipasi.

Gunakan data untuk memahami kebutuhan sosial, bukan memanipulasi preferensi emosional.

3. Lapisan Keberlanjutan:

Kombinasikan donasi pembaca, iklan etis, dan kemitraan dengan lembaga pendidikan atau sains.

Ukur keberhasilan dengan trust score, bukan click score.

> Dalam ekosistem ini, “klik” menjadi pintu masuk menuju relasi, bukan akhir dari transaksi.

 

6. Harapan di Tengah Algoritma

Teknologi tidak harus jadi musuh jurnalisme; ia bisa menjadi alat kebenaran jika diarahkan dengan nurani. AI, misalnya, bisa membantu redaksi menganalisis bias, memeriksa fakta, atau mengukur kepercayaan publik secara real time. Yang dibutuhkan bukan perang melawan mesin, melainkan reprogramming moral: menjadikan integritas sebagai parameter algoritma. Bayangkan jika suatu hari “berita yang paling dipercaya” diberi peringkat lebih tinggi daripada “berita yang paling banyak diklik.” Itulah cita-cita ekonomi klik yang beradab — tempat nilai dan trafik tidak lagi bertentangan, tetapi saling memperkuat.

 

✍️

Penutup – Menyusuri Jalan Tengah

Di ujung serial “Menggugah, Bukan Menggoda”, satu pelajaran utama tersisa :  Jurnalisme tidak akan mati karena kurang klik, tetapi karena kehilangan makna.

Ekonomi klik telah mengajarkan kita bahwa perhatian manusia bisa dibeli. Namun jurnalisme sejati mengingatkan bahwa kepercayaan tidak bisa. Etika baru ini tidak menghapus pasar, tapi menginsankan pasar. Ia mengajak kita menulis berita bukan hanya untuk dibaca, tetapi untuk dipercayai. Maka, biarlah media masa depan bukan hanya menghitung klik, tetapi juga menghitung hati yang disentuh dan pikiran yang tercerahkan.

 

📚

Referensi & Bacaan Pendukung

Victor Pickard – Democracy Without Journalism? (2020)

Pew Research Center – State of the News Media 2022

Jay Rosen – The People Formerly Known as the Audience (2006)

Solutions Journalism Network – Restoring Trust in News (2020)

The Guardian – Annual Report on Reader Contributions (2023)

Shoshana Zuboff – The Age of Surveillance Capitalism (2019)

Reuters Institute – Paying for News Report (2024)

 

🚧

sby, 08-10-2025

Selengkapnya
ETIKA & EKONOMI BARU Menggugah, Bukan Menggoda: Menyusun Etika Baru Ekonomi Klik
« First Previous page 3 of 6 Next Last »