Ekonomi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 13 November 2025
Sektor ritel merupakan salah satu pilar penting ekonomi Indonesia, dengan kontribusi mencapai lebih dari 10% terhadap PDB nasional. Namun, di balik pertumbuhan tersebut tersembunyi tantangan besar: ketergantungan pada kemasan plastik sekali pakai yang berdampak serius terhadap lingkungan. Dalam konteks ekonomi sirkular, kemasan plastik menjadi fokus utama transformasi karena sifatnya yang masif digunakan, sulit terurai, dan berpotensi mencemari ekosistem darat maupun laut. Oleh karena itu, penerapan prinsip 9R dan kebijakan berbasis sirkularitas menjadi kunci untuk membangun rantai nilai ritel yang lebih efisien, hijau, dan bertanggung jawab.
Tantangan Implementasi dan Arah Kebijakan
Berdasarkan analisis Bappenas, tingkat input material sirkular sektor kemasan plastik baru mencapai 6,92%, sementara tingkat daur ulang hanya 9,16%. Rendahnya angka ini mencerminkan masih terbatasnya infrastruktur, teknologi, dan sistem kebijakan yang mendukung ekonomi sirkular di sektor ritel.
Beberapa isu utama yang diidentifikasi meliputi:
Pengelolaan sampah yang belum merata di tingkat daerah. Pengumpulan dan pemilahan limbah plastik masih terkonsentrasi di kota besar, sementara banyak wilayah belum memiliki sistem pengelolaan yang efektif.
Kurangnya intervensi di sisi hulu, terutama pada tahap desain produk. Redesain kemasan menjadi langkah penting untuk mengurangi penggunaan bahan baku baru dan meningkatkan potensi daur ulang.
Perlunya penguatan peran produsen melalui Extended Producer Responsibility (EPR). Sejauh ini baru 27 perusahaan yang menyusun peta jalan pengurangan sampah, dengan 8 di antaranya sudah melaporkan implementasi.
Pengelolaan kemasan plastik bernilai rendah (low value plastic) seperti multilayer packaging dan styrofoam masih minim, padahal volumenya sangat besar dalam aliran sampah nasional.
Pemerintah telah merespons dengan berbagai kebijakan seperti UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, Permen LHK No. 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen, serta Peraturan BPOM No. 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. Kebijakan-kebijakan ini menjadi dasar untuk membangun sistem sirkular yang terintegrasi dari hulu ke hilir.
Transformasi Menuju Ekonomi Sirkular
Model ekonomi linear tradisional—“ambil, buat, buang”—telah terbukti tidak berkelanjutan. Sebaliknya, ekonomi sirkular menekankan desain produk yang memperpanjang umur material dan memaksimalkan nilai ekonominya. Pada sektor ritel, ini berarti memperkenalkan kemasan yang dapat digunakan ulang (reusable), desain yang mudah didaur ulang (recyclable), serta pengumpulan limbah yang terintegrasi. Program seperti Alner menunjukkan potensi model bisnis sirkular di mana konsumen membeli produk dengan kemasan yang dapat dikembalikan, sementara Chandra Asri Group membuktikan bahwa plastik bernilai rendah bisa dimanfaatkan sebagai campuran aspal ramah lingkungan.
Pembelajaran Internasional dan Skema EPR di Indonesia
Denmark menjadi contoh global dalam penerapan skema EPR (Extended Producer Responsibility) yang efektif, di mana seluruh produsen wajib bertanggung jawab terhadap pengelolaan limbah kemasannya. Prinsip serupa mulai diadopsi di Indonesia melalui pembentukan Indonesia Packaging Recovery Organization (IPRO), lembaga non-profit yang menghimpun pendanaan dari produsen untuk mendukung kegiatan pengumpulan dan daur ulang. Hingga 2024, IPRO telah mengumpulkan dan mendaur ulang lebih dari 16.000 ton plastik berbagai jenis, menunjukkan peran nyata kolaborasi lintas industri dalam membangun ekosistem sirkular.
Penahapan dan Strategi Nasional
Peta jalan nasional ekonomi sirkular sektor ritel difokuskan dalam empat periode besar hingga 2045:
2025–2029: Pengembangan ekosistem redesain, sistem guna ulang, dan pengumpulan sampah.
2030–2034: Akselerasi pengadaan produk ramah lingkungan dan sistem guna ulang.
2035–2039: Implementasi masif solusi kemasan berkelanjutan.
2040–2045: Pengelolaan kemasan plastik yang berkelanjutan dan terintegrasi lintas sektor.
Empat strategi utama mendukung arah tersebut, yaitu:
Redesain & peningkatan kadar daur ulang kemasan plastik.
Pengelolaan kemasan bioplastik berbasis bahan hayati.
Pengembangan ekosistem guna ulang dan isi ulang.
Peningkatan pengumpulan, daur ulang, dan pemulihan energi dari sampah plastik.
Jika diterapkan optimal, strategi ini berpotensi mengurangi 21% timbulan sampah plastik nasional dan menambah Rp14,4 triliun pada PDB sektor ritel pada tahun 2030.
Kesimpulan
Transformasi ekonomi sirkular di sektor ritel Indonesia menandai babak baru dalam upaya menggabungkan tanggung jawab lingkungan dengan pertumbuhan ekonomi. Kemasan plastik yang dulunya menjadi simbol limbah kini berpotensi menjadi sumber daya baru—asal didukung oleh kebijakan yang konsisten, inovasi teknologi, dan kolaborasi antar pemangku kepentingan. Dengan pendekatan yang terukur dan berkelanjutan, Indonesia berpeluang menjadi contoh bagi negara berkembang lain dalam membangun rantai nilai ritel yang hijau, efisien, dan inklusif.
Daftar Pustaka
Bappenas. (2024). Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025–2045. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. (2019). Peraturan Menteri LHK No. 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Jakarta: KLHK RI.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. (2019). Peraturan BPOM No. 20 Tahun 2019 tentang Kemasan Pangan. Jakarta: BPOM.
Indonesia Packaging Recovery Organization (IPRO). (2024). Annual Progress Report 2023: Building a Circular Plastic Ecosystem. Jakarta: IPRO.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). Global Plastic Outlook: Policy Scenarios to 2060. Paris: OECD Publishing.
Ellen MacArthur Foundation. (2021). Universal Circular Economy Policy Goals: Enabling the Transition to Scale. Cowes: EMF.
United Nations Environment Programme (UNEP). (2023). Turning Off the Tap: How the World Can End Plastic Pollution and Create a Circular Economy. Nairobi: UNEP.
Ekonomi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 12 November 2025
Penulis: cakHP (Heru Prabowo)
Pernah nggak, kalian dengar berita:
> “Ekonomi tumbuh 5 persen, inflasi terkendali, cadangan devisa aman...”
Lalu kalian nanya dalam hati,
> “Lho, tapi kenapa warung sebelah malah tutup, dan dompet saya tetap tipis, ya?”
Nah, kalau kalian pernah merasa begitu, berarti kalian sehat.
Karena tanda paling bahaya dalam ekonomi adalah … kita sudah berhenti bertanya.
.


Tubuh dan Ekonomi Sama-Sama Butuh Sirkulasi
Bayangkan tubuh manusia. Kalau darah hanya muter di kepala tapi nggak sampai ke kaki — apa yang terjadi? Ya, pusing di atas, kesemutan di bawah.
Ekonomi pun begitu. Kalau uang hanya berputar di segelintir orang — konglomerat, pejabat, atau penguasa modal — maka sistemnya pincang. Dan kalau uangnya bocor keluar negeri lewat impor, utang, atau gaya hidup mewah, ya seperti tubuh yang berdarah tanpa luka: kelihatannya sehat, tapi pelan-pelan sekarat.
.

Tumbuh ke Dalam, Bukan Menutup Diri
Ekonomi yang sehat itu bukan yang paling cepat tumbuh, tapi yang tumbuh ke dalam.
Apa maksudnya? Sederhana. Kita memperkuat akar dulu — hubungan antarwarga, produksi dalam negeri, nilai-nilai keadilan dan kepercayaan — baru nanti ranting dan daunnya tumbuh ke luar: ekspor, investasi global, dan sebagainya.
Nah, supaya paham bagaimana semuanya saling terhubung, kita masuk ke konsep keren, namanya Tauhidi System Thinking, alias TST.

Tauhidi System Thinking (TST) : Cara Berpikir yang Nggak Potong-Potong
Ilmu ekonomi modern suka memotong realitas: ekonomi di satu kotak, sosial di kotak lain, agama di rak sebelah.
Padahal, hidup itu satu paket — kayak nasi campur.
TST bilang:
> “Jangan potong realitas. Semua saling berhubungan, dan pusatnya adalah tauhid — kesatuan makna kehidupan.”
Dalam TST, hubungan antarvariabel itu melingkar, bukan linear. Bukan cuma A menyebabkan B, tapi A dan B saling memengaruhi. Itulah yang disebut
circular causation.
.


Ilustrasi Santai: Kafe Kampus
Bayangkan kampus kita punya kafe kecil. Pemiliknya dosen muda, baristanya mahasiswa, biji kopinya dari petani lokal, dan pelanggannya? Kita semua. Setiap cangkir kopi yang dibeli, uangnya nggak lari ke luar negeri. Sebagian buat gaji barista, sebagian buat beli biji kopi lokal, sebagian lagi buat beasiswa mahasiswa miskin.
Apa yang terjadi?
Petani sejahtera → kualitas kopi naik. Anak-anaknya bisa sekolah dan kuliah.
Barista senang → pelayanan makin baik. Bisa nabung untuk menikah dan nyicil rumah subsidi.
Mahasiswa terbantu → bisa lanjut kuliah, lalu balik lagi jadi inovator ekonomi kampus.
Nah, itulah ekonomi tumbuh ke dalam versi sederhana. Uang, niat, dan hubungan sosial berputar seperti roda yang saling menguatkan.
.


Simulasi Verbal: Roda 3 Nilai
Coba bayangkan roda besar dengan tiga jari-jari utama:
1. Spiritual Value — niat dan etika: mulai dari kejujuran, amanah, dan niat baik.
2. Social Value — hubungan dan keadilan: tumbuhnya saling percaya, gotong royong, solidaritas.
3. Material Value — produktivitas dan kemakmuran: pendapatan meningkat, kesejahteraan merata.
Ketika niat baik melahirkan kepercayaan sosial, kepercayaan sosial melahirkan produktivitas, dan produktivitas disalurkan lagi lewat zakat, sedekah, dan tanggung jawab sosial, roda itu terus berputar. Nah, kalau salah satu macet — misalnya spiritualnya kering, maka sosialnya goyah, materialnya seret. Kalau roda ini terus berputar, itulah barakah yang sesungguhnya.
Spiritual memberi arah.
Sosial memberi tenaga.
Material memberi bentuk.
.


Semua Jurusan Bisa Paham Ini
Anak teknik sistem bilang: “Oh, ini kayak feedback loop, ya!”
Anak psikologi bilang: “Ini kayak self-efficacy, tapi versi sosial!”
Anak ekonomi bilang: “Ini kayak multiplier effect, tapi pakai hati nurani.”
Anak filsafat bilang: “Oh, ini tauhid yang beroperasi di dunia empiris!”
Dan dosen favoritnya hanya senyum sambil bilang,
> “Nah, itu dia ... semuanya nyambung.”
.

Studi Kasus: Desa Digital
Contoh nyata ada di banyak tempat.
Desa-desa digital di Jawa Tengah, Sulsel, dan NTB misalnya, membangun koperasi online yang menjual hasil panen langsung ke pembeli. Tidak lewat tengkulak, tidak lewat spekulan. Warga ikut menanam modal kecil, keuntungan dibagi untuk pelatihan dan pendidikan anak muda. Uang berputar di desa. Rasa percaya tumbuh.Inovasi jalan.
Ekonomi tumbuh ke dalam — bukan dengan proyek raksasa, tapi dengan trust dan value.
.


Tumbuh ke Dalam Dulu, Baru Keluar
Kemandirian bukan berarti anti-globalisasi.
Kita hanya perlu urutan yang benar: tumbuh ke dalam dulu, baru melebar ke dunia. Karena kalau akarnya kuat, pohon Indonesia tidak akan tumbang diterpa badai global.
.

Penutup: Ekonomi yang Menumbuhkan Manusia
Kalau ekonomi cuma menghitung angka, ia bisa lupa menghitung makna. Ekonomi tumbuh ke dalam bukan soal proteksi, tapi soal proyeksi nilai — bagaimana niat baik, kerja sosial, dan kesejahteraan material saling menumbuhkan.
> “Siapa yang mengenal keterhubungan segala hal,
> ia bekerja dengan hati yang utuh, bukan dengan logika yang tercerai.”
Jadi, tugas kita bukan sekadar menaikkan PDB, tapi memastikan roda tiga nilai itu terus berputar:
spiritual, sosial, material.
Dan kalau itu terjadi — ekonomi tak lagi hanya tumbuh, tapi juga menumbuhkan manusia. 
Ekonomi yang berputar bukan sekadar uang tapi perputaran nilai, niat, dan kasih sayang yang membentuk kemakmuran sejati.
.

Kosakata Paham
TST (Tauhidi System Thinking):
Kerangka berpikir holistik berbasis tauhid — menyatukan dimensi spiritual, sosial, dan material dalam satu sistem sebab-akibat yang saling menguatkan.
Circular Causation:
Hubungan timbal balik dinamis antara variabel ekonomi dan nilai. Contohnya: kesejahteraan meningkatkan kepercayaan → kepercayaan meningkatkan efisiensi → efisiensi meningkatkan kesejahteraan.
Ekonomi Tumbuh ke Dalam:
Strategi pembangunan yang memperdalam basis produksi, memperkuat konsumsi domestik, dan memperluas rantai pasok lokal sebelum ekspansi keluar negeri.
Nilai Spiritual–Sosial–Material:
Tiga lapisan nilai yang menjaga keseimbangan antara orientasi makna, solidaritas, dan kesejahteraan nyata.
.

Pustaka Baca
1. Aziz, R. M. (2019). System as Integration Concept in Industrial Engineering and Islam. INCRE Conference.
2. Choudhury, M. A. (2014). The Dynamics of Circular Causation and the Islamic Political Economy. Palgrave Macmillan.
3. Stiglitz, J. E. (1998). Towards a New Paradigm for Development: Strategies, Policies, and Processes. World Bank.
4. Yunus, M. (2017). A World of Three Zeros: The New Economics of Zero Poverty, Zero Unemployment, and Zero Net Carbon Emissions.
5. Todaro, M. & Smith, S. (2020). Economic Development, 13th ed. Pearson.
6. Laporan BPS, Bappenas, dan Bank Indonesia (2000–2024) — tren kontribusi konsumsi, industri manufaktur, dan investasi domestik.
Ekonomi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 12 November 2025
Penulis: cakHP (Heru Prabowo)
Pernahkah Anda merasa heran: ekonomi Indonesia katanya tumbuh, tapi kenapa lapangan kerja bagus masih sulit?
Mengapa kota makin ramai pusat belanja, tapi pabrik baru tidak banyak terdengar?
Mari kita mulai dengan satu rumus sederhana — jantung dari ekonomi makro:
> PDB = C + I + G + (X – M)
Di mana:
C adalah konsumsi rumah tangga,
I investasi,
G pengeluaran pemerintah, dan
X – M ekspor dikurangi impor.
Empat huruf ini — C, I, G, X-M — seperti empat pilar rumah besar bernama “ekonomi nasional”.
Kalau satu pilar tumbuh tidak seimbang, rumahnya berdiri, tapi miring. Dan itu yang sedang kita alami sekarang.

. Ketika C Jadi Raja, Tapi I Tak Sempat Naik Takhta
Sejak awal 2000-an hingga kini, sekitar 56–60 persen PDB Indonesia disumbang oleh konsumsi rumah tangga. Artinya, pertumbuhan ekonomi kita didorong oleh aktivitas belanja: dari beli makanan, baju, motor, sampai liburan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, setiap kali ekonomi tumbuh 5%, sekitar 3% di antaranya berasal dari konsumsi. Sekilas ini membanggakan — rakyat berdaya beli, pasar ramai.
Tapi di balik itu ada tanda tanya: apa yang sebenarnya tumbuh — daya beli, atau utang konsumtif?
Contoh: dalam 10 tahun terakhir, kredit konsumsi meningkat rata-rata 10–12% per tahun, sementara kredit investasi hanya naik 6–7%.
Artinya, uang berputar cepat, tapi lebih banyak ke mobil, rumah, dan gadget — bukan ke mesin produksi. Akibatnya, PDB memang naik, tapi kapasitas produksi nasional stagnan. Seperti rumah yang terus dipercantik catnya, tapi fondasinya tak pernah diperkuat.

. Investasi Kita Masih Dangkal
Kata “investasi” sering terdengar indah dalam pidato, tapi di lapangan, sebagian besar investasi masuk ke sektor non-produktif: real estat, otomotif, dan infrastruktur konsumtif.
Data BKPM dan BPS (2023) menunjukkan, porsi investasi ke manufaktur hanya sekitar 19–21% — padahal tahun 1990-an sempat mencapai 30%. Bandingkan dengan Korea Selatan di era 1980-an. Negara itu sengaja mendorong 40% investasinya ke sektor teknologi dan industri berat.
Pemerintah memberi kredit murah untuk riset baja dan mobil. Dalam dua dekade, mereka beralih dari pengimpor menjadi pengekspor otomotif terbesar dunia. Indonesia berbeda. Kita masih menjadi importer mesin, bukan pembuat mesin. Itulah kenapa meski ekonomi tumbuh, produktivitas tenaga kerja Indonesia hanya naik 3–4% per tahun (ILO, 2022). Sebagai perbandingan, Vietnam naik 5–6%, dan China mencapai 7% dalam periode yang sama.

. Skenario “Tumbuh ke Dalam"
Mari kita bayangkan:
Alih-alih memompa kredit konsumsi Rp200 triliun, pemerintah mengarahkan dana itu ke sektor yang membentuk rantai nilai domestik.
Misalnya:
Membiayai pabrik komponen otomotif di Tegal yang memasok industri mobil di Karawang.
Membangun klaster pangan olahan di Makassar agar hasil tani Sulawesi tidak berhenti di pasar lokal.
Menyambung petani singkong di Lampung dengan industri bioetanol nasional.
Menugaskan BUMN dan startup teknologi untuk mengembangkan mesin pertanian lokal berbasis IoT.
Kuncinya:
setiap rupiah berputar di dalam negeri minimal dua kali.
Dari petani ke pabrik, dari pabrik ke pasar, dari pasar ke inovasi baru.
Inilah yang disebut
domestic value chain strengthening — atau dalam bahasa kampung, “uang jangan cepat keluar pagar.”
Studi Bank Dunia (2023) menunjukkan bahwa setiap peningkatan 1% keterkaitan industri dalam negeri (domestic linkages) bisa menambah 0,4% pertumbuhan PDB secara berkelanjutan dalam jangka menengah. Artinya, tumbuh dari dalam itu memang lebih lambat, tapi lebih kokoh.



. Belajar dari Jepang, Korea, dan China
Jepang setelah Perang Dunia II, nyaris bangkrut. Tapi mereka tahu, yang penting bukan sekadar ekspor, melainkan kemampuan membuat barang sendiri. Mereka bangun riset bahan, mesin, otomasi, dan mendidik insinyur dalam jumlah besar. MITI (Kementerian Perdagangan dan Industri Jepang) jadi dapur kebijakan industri yang melibatkan kampus dan pengusaha.
Korea Selatan, setelah perang saudara, membangun ekonomi lewat import substitution dulu — mengganti barang impor dengan buatan lokal. Pemerintah memberi pinjaman jangka panjang untuk riset dan mesin. Dalam 20 tahun, mereka mencetak Samsung, LG, Hyundai.
China lebih telat, tapi lihai.
Awalnya menyalin teknologi, lalu memperdalam riset dan menciptakan versi sendiri. Kini, setiap kenaikan 1% PDB mereka membawa tambahan kapasitas teknologi, bukan sekadar volume dagang.
Indonesia punya peluang serupa, asal satu syarat dipenuhi:
menjadikan riset dan teknologi sebagai arus utama pembangunan.

. Riset: Mesin yang Sering Dibiarkan Mati
Kita sering bangga punya ilmuwan, tapi lupa memberi mereka bahan bakar. Total belanja riset Indonesia hanya 0,28% dari PDB (UNESCO, 2022) — tertinggal jauh dari Korea (4,9%) dan China (2,4%). Padahal, tiap kenaikan 1% investasi riset terhadap PDB bisa menambah produktivitas ekonomi 1,5–2% dalam lima tahun. Riset itu bukan hanya laboratorium dan jas putih. Ia adalah cara bangsa menemukan dirinya kembali — memahami potensi tanahnya, lautnya, dan otaknya sendiri. Kalau Korea punya chip, Jepang punya robot, maka Indonesia mestinya punya green technology berbasis biodiversitasnya.

. Menutup Kuliah: Ekonomi yang Berakar
Jadi, kenapa PDB kita naik tapi tidak memperkuat struktur ekonomi? Karena pertumbuhannya terlalu banyak berasal dari konsumsi, bukan dari penciptaan nilai baru. Ekonomi tumbuh karena ramai belanja, bukan karena pandai berproduksi. Pertumbuhan sejati, seperti kata almarhum dosen senior saya, bukan “seberapa cepat angka naik di layar,” tapi seberapa banyak anak bangsa yang belajar membuat sesuatu sendiri. Ekonomi yang tumbuh ke dalam itu ibarat pohon yang berakar sebelum berdaun. Daunnya memang tak langsung rindang, tapi akarnya dalam — kuat menghadapi badai.

Sumber Bacaan dan Data
Badan Pusat Statistik (2000–2024). Produk Domestik Bruto Menurut Lapangan Usaha.
Bank Indonesia (2023). Laporan Perekonomian Indonesia.
World Bank (2023). Indonesia Economic Prospects: Growth with Depth.
Chang, H.-J. (2002). Kicking Away the Ladder: Development Strategy in Historical Perspective. Anthem Press.
Amsden, A. (1989). Asia’s Next Giant: South Korea and Late Industrialization. Oxford University Press.
Lin, J. Y. (2012). New Structural Economics: A Framework for Rethinking Development. World Bank.
OECD (2021). Science, Technology and Innovation Outlook: Strengthening Domestic R&D Ecosystems.
UNESCO Institute for Statistics (2022). Research and Development Expenditure Database.
Ekonomi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 11 November 2025
Pembangunan ekonomi global selama dua abad terakhir telah memberikan kemajuan luar biasa bagi kesejahteraan manusia. Namun, model ekonomi linear — yang bertumpu pada pola “ambil, pakai, buang” — telah menciptakan tekanan luar biasa terhadap sumber daya alam dan lingkungan. Pertumbuhan populasi dunia mempercepat eksploitasi bahan mentah, sementara peningkatan produksi dan konsumsi telah mendorong munculnya tiga krisis planet utama (triple planetary crises): perubahan iklim, polusi, dan kehilangan keanekaragaman hayati.
Indonesia tidak luput dari persoalan ini. Konsumsi material domestik meningkat 36% dalam satu dekade terakhir, dan timbulan sampah nasional diproyeksikan mencapai 82 juta ton per tahun pada 2045. Sejumlah daerah bahkan telah menghadapi overcapacity tempat pembuangan akhir (TPA), menandakan urgensi untuk meninjau ulang paradigma pembangunan yang selama ini dominan.
Dalam konteks inilah, transisi menuju ekonomi sirkular menjadi kebutuhan strategis — bukan hanya untuk menjaga keberlanjutan lingkungan, tetapi juga sebagai fondasi baru bagi pertumbuhan ekonomi nasional yang berkeadilan, efisien, dan berdaya saing global.
Mengapa Ekonomi Sirkular Penting
Ekonomi sirkular menawarkan pendekatan ekonomi yang bersifat regeneratif dan berorientasi jangka panjang. Alih-alih berfokus pada produksi massal dan konsumsi cepat, model ini menekankan efisiensi sumber daya, pengurangan limbah, serta pemanfaatan ulang material melalui prinsip 9R: Refuse, Rethink, Reduce, Reuse, Repair, Refurbish, Remanufacture, Repurpose, Recycle, dan Recover.
Dengan mengadopsi model sirkular, Indonesia dapat memutus hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan eksploitasi sumber daya alam. Hal ini tidak hanya relevan secara lingkungan, tetapi juga ekonomi: menurut proyeksi Bappenas dan UNDP, penerapan ekonomi sirkular di lima sektor prioritas (pangan, kemasan plastik, elektronik, konstruksi, dan tekstil) berpotensi meningkatkan PDB hingga Rp 638 triliun dan menciptakan 4,4 juta lapangan kerja baru pada 2030.
Selain itu, ekonomi sirkular dapat menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 126 juta ton CO₂, sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam mencapai target Net Zero Emissions 2060.
Belajar dari Dunia: Praktik Baik dan Inspirasi Global
Negara-negara maju telah menjadikan ekonomi sirkular sebagai strategi pembangunan nasional. Denmark, misalnya, menjalankan Action Plan for Circular Economy dengan fokus pada biomassa, plastik, dan konstruksi berkelanjutan, sementara Thailand mengadopsi model Bio-Circular-Green (BCG) Economy yang memadukan inovasi teknologi dengan potensi keanekaragaman hayati dan budaya lokal.
Pelajaran penting dari berbagai negara ini adalah bahwa transisi sirkular menuntut sinergi lintas sektor dan kebijakan — mulai dari desain produk, pengelolaan limbah, hingga pengadaan publik yang berkelanjutan. Indonesia kini mulai menempuh jalur yang sama melalui kebijakan lintas kementerian dan lembaga, yang diintegrasikan ke dalam RPJPN 2025–2045 dan RPJMN 2025–2029.
Konteks Nasional: Ekonomi Sirkular sebagai Strategi Pembangunan Indonesia
Dalam RPJPN 2025–2045, ekonomi sirkular menjadi bagian dari Agenda Pembangunan Transformasi Ekonomi, terutama dalam upaya mewujudkan ekonomi hijau dan berketahanan iklim. Implementasi kebijakan ini difokuskan pada empat pilar utama:
Efisiensi sumber daya untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan mentah;
Pengembangan produk ramah lingkungan yang dirancang tahan lama dan mudah diperbaiki;
Perpanjangan masa pakai material melalui mekanisme reuse dan remanufacture;
Penguatan ekosistem daur ulang nasional.
Selain itu, pendekatan ini juga diintegrasikan dalam Program Prioritas Penerapan Ekonomi Sirkular di Sumber Sampah Rumah Tangga, guna mendorong masyarakat berpartisipasi langsung dalam pengurangan dan pemilahan sampah sejak dari hulu.
Peran Industri dan UMKM sebagai Motor Transisi
Ekonomi sirkular tidak dapat dijalankan tanpa keterlibatan dunia usaha. Industri, start-up, dan UMKM memainkan peran penting sebagai pionir inovasi model bisnis sirkular — dari daur ulang plastik, pengolahan limbah pertanian menjadi bahan baku baru, hingga desain produk modular yang dapat digunakan kembali.
Studi The Future is Circular (Bappenas, UNDP, 2022) mencatat 36 inisiatif ekonomi sirkular yang telah berjalan di Indonesia.
Hasilnya signifikan: penghematan biaya operasional hingga Rp 431,9 miliar, penciptaan 14.270 pekerjaan hijau, serta pengurangan limbah sebesar 827.000 ton. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa ekonomi sirkular bukan konsep teoritis, melainkan strategi nyata yang memberikan manfaat ekonomi sekaligus lingkungan.
Arah ke Depan: Menyusun Ekosistem Sirkular Nasional
Peta Jalan dan Rencana Aksi Ekonomi Sirkular Indonesia (2025–2045) menetapkan arah kebijakan jangka panjang untuk memperkuat tata kelola, pendanaan, dan pemantauan implementasi. Kebijakan ini disusun secara terintegrasi lintas kementerian, melibatkan Bappenas, KLHK, Kemenperin, Kemenkeu, dan lembaga lain, dengan dukungan UNDP dan Pemerintah Kerajaan Denmark.
Selain penguatan kebijakan nasional, strategi ke depan mencakup:
pembentukan circular innovation hubs di sektor prioritas;
penerapan insentif fiskal dan non-fiskal bagi industri sirkular;
pengembangan green financing dan taksonomi hijau; serta
sistem pemantauan kinerja berbasis data untuk mengukur kemajuan sirkularitas nasional.
Dengan fondasi ini, ekonomi sirkular diharapkan menjadi arus utama pembangunan Indonesia, memperkuat daya saing sekaligus menjaga keberlanjutan sumber daya alam.
Penutup
Ekonomi sirkular bukan sekadar strategi lingkungan, tetapi model ekonomi masa depan yang memadukan efisiensi, inovasi, dan keberlanjutan. Melalui Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular 2025–2045, Indonesia menegaskan komitmennya untuk meninggalkan paradigma lama yang boros sumber daya dan beralih menuju sistem yang regeneratif dan inklusif.
Transisi ini menuntut perubahan cara berpikir seluruh pemangku kepentingan — dari pemerintah hingga individu — bahwa pertumbuhan sejati bukanlah tentang seberapa banyak yang diproduksi dan dikonsumsi, melainkan seberapa bijak dan berkelanjutan kita memanfaatkannya.
Daftar Pustaka
Bappenas. (2024). Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025–2045. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.
Bappenas & UNDP. (2022). The Future is Circular: Circular Economy Opportunities in Indonesia. Jakarta: United Nations Development Programme Indonesia.
Ellen MacArthur Foundation. (2019). Completing the Picture: How the Circular Economy Tackles Climate Change. Cowes: Ellen MacArthur Foundation.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). Global Material Resources Outlook to 2060: Economic Drivers and Environmental Consequences. Paris: OECD Publishing.
United Nations Environment Programme (UNEP). (2021). Global Environment Outlook: Circularity and Sustainable Consumption Patterns. Nairobi: UNEP.
World Bank. (2023). Greening Growth: Circular Economy Pathways for Emerging Economies. Washington, DC: World Bank Group.
Ekonomi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 10 November 2025
Ketika ekonomi sirkular berkembang menjadi kerangka kebijakan global, kebutuhan akan bahasa statistik yang seragam menjadi semakin mendesak. Tanpa klasifikasi yang konsisten, data tentang produksi, perdagangan, limbah, dan penggunaan kembali material akan terpecah dalam sistem yang sulit dibandingkan antarnegara. Di sinilah peran economic nomenclatures—sistem pengelompokan ekonomi internasional—menjadi fondasi utama bagi pengukuran ekonomi sirkular yang dapat diandalkan.
Lampiran kedua panduan Conference of European Statisticians (CES) memaparkan beragam sistem klasifikasi yang relevan untuk mendukung statistik sirkularitas. Klasifikasi ini mencakup dimensi aktivitas ekonomi, produk, dan perdagangan internasional.
Masing-masing memiliki cakupan, tingkat hierarki, dan otoritas pemelihara yang berbeda, namun semuanya memiliki tujuan yang sama: menyatukan bahasa ekonomi dunia.
Klasifikasi Aktivitas Ekonomi: ISIC dan NACE
Salah satu dasar pengukuran utama adalah International Standard Industrial Classification (ISIC), yang digunakan di seluruh dunia untuk mencatat aktivitas ekonomi lintas sektor. ISIC memuat lebih dari 400 kelas kegiatan dan menjadi acuan bagi berbagai bidang statistik seperti tenaga kerja, neraca nasional, dan demografi usaha. Revisinya dilakukan secara berkala oleh United Nations Statistics Division agar tetap relevan dengan perubahan struktur industri global.
Di Eropa, NACE (Nomenclature statistique des activités économiques dans la Communauté européenne) berfungsi sebagai padanan regional dari ISIC. Meskipun keduanya serupa pada dua tingkat pertama, NACE memiliki rincian yang lebih mendalam di level bawah, menyesuaikan kebutuhan statistik negara-negara anggota Uni Eropa. Konsistensi antara NACE dan ISIC memastikan bahwa data dari Eropa dapat dibandingkan secara langsung dengan statistik global, termasuk dalam konteks sirkularitas.
Klasifikasi Produk dan Komoditas: CPC, CPA, dan PRODCOM
Untuk mengukur produk dan jasa dalam konteks ekonomi sirkular, Central Product Classification (CPC) dari PBB menjadi acuan utama. CPC memiliki lima tingkat hierarki dan lebih dari 2.800 subkelas, mencakup seluruh jenis barang dan jasa yang beredar di ekonomi global. Keterkaitannya dengan ISIC memungkinkan statistik produk disandingkan langsung dengan aktivitas ekonomi yang menghasilkan barang tersebut.
Di tingkat Eropa, Classification of Products by Activity (CPA) dan PRODCOM memperinci produk industri dan jasa berdasarkan kegiatan ekonomi. CPA, misalnya, digunakan untuk menilai produksi, perdagangan, dan konsumsi di Uni Eropa, sementara PRODCOM menjadi basis bagi survei industri tahunan. Keduanya berfungsi memperjelas hubungan antara aktivitas produksi, output material, dan potensi daur ulang—elemen penting dalam perhitungan ekonomi sirkular.
Klasifikasi Perdagangan Global: HS, CN, dan NAICS
Pengukuran sirkularitas juga bergantung pada sistem klasifikasi perdagangan internasional. Harmonized System (HS), yang dikelola oleh World Customs Organization, menjadi tulang punggung statistik ekspor-impor dunia. Dengan lebih dari 7.500 kategori barang, HS memungkinkan pelacakan arus material lintas batas, termasuk bahan baku sekunder dan produk daur ulang. Klasifikasi ini direvisi setiap lima tahun untuk mencerminkan perkembangan teknologi dan pola perdagangan baru.
Di Uni Eropa, HS dilengkapi oleh Combined Nomenclature (CN) yang menambahkan rincian pada dua digit terakhir untuk keperluan regulasi dan tarif. Sementara itu, di Amerika Utara, NAICS (North American Industry Classification System) dan NAPCS (North American Product Classification System) digunakan untuk menyelaraskan data industri dan produk antarnegara—menunjukkan bahwa harmonisasi lintas wilayah kini menjadi kunci integrasi ekonomi sirkular global.
Makna Strategis bagi Indonesia
Bagi Indonesia, pemahaman terhadap sistem klasifikasi ini penting untuk menyusun kerangka statistik ekonomi sirkular yang kompatibel secara internasional. Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian PPN/Bappenas dapat memanfaatkan ISIC sebagai acuan dasar sambil menyesuaikan kategori produk daur ulang atau limbah bernilai tambah ke dalam sistem nasional. Selain itu, integrasi dengan kode HS dalam statistik perdagangan memungkinkan pelacakan material sekunder dan ekspor produk berkelanjutan secara lebih akurat.
Penerapan nomenklatur yang konsisten juga membuka peluang bagi industri nasional untuk memperluas akses pasar hijau global, karena kesesuaian kode produk memudahkan pengakuan dalam rantai pasok internasional yang semakin menuntut transparansi lingkungan.
Penutup
Klasifikasi ekonomi ibarat tata bahasa bagi statistik global—ia menentukan bagaimana informasi dikumpulkan, dipahami, dan dibandingkan. Dalam konteks ekonomi sirkular, nomenklatur seperti ISIC, CPC, HS, dan lainnya menjadi fondasi agar data lintas negara dapat diharmonisasikan. Indonesia, dengan komitmen menuju ekonomi hijau, perlu memperkuat sistem klasifikasinya agar dapat mengukur sirkularitas secara konsisten dan terhubung dengan standar global. Langkah ini bukan sekadar teknis, tetapi strategis: memastikan transformasi ekonomi berjalan dengan arah yang jelas, berbasis data, dan diakui dunia.
Daftar Pustaka
Conference of European Statisticians. (2024). Guidelines for Measuring Circular Economy: Annex 2 — Selected Economic Nomenclatures Relevant for Measuring the Circular Economy. Geneva: United Nations Economic Commission for Europe (UNECE).
Badan Pusat Statistik. (2023). Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2023. Jakarta: BPS.
European Commission. (2023). NACE Rev. 2: Statistical Classification of Economic Activities in the European Community. Luxembourg: Eurostat.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). Harmonising Data for the Circular Economy: Linking Material Flows, Trade, and Industrial Statistics. Paris: OECD Publishing.
United Nations Statistics Division. (2022). International Standard Industrial Classification of All Economic Activities (ISIC), Rev. 4. New York: United Nations.
World Customs Organization. (2022). Harmonized Commodity Description and Coding System (HS 2022 Edition). Brussels: WCO.
Ekonomi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 10 November 2025
Konsep ekonomi sirkular telah menjadi bahasa bersama dalam diskursus global tentang pembangunan berkelanjutan. Namun di balik popularitasnya, masih terdapat beragam tafsir dan pendekatan yang digunakan oleh organisasi internasional, lembaga kebijakan, dan kalangan akademik.
Perbedaan ini bukan sekadar semantik, tetapi menunjukkan cara pandang yang berbeda terhadap hubungan antara ekonomi, sumber daya, dan lingkungan.
Lampiran panduan Conference of European Statisticians (CES) menampilkan sejumlah definisi ekonomi sirkular dari berbagai lembaga dunia — mulai dari Uni Eropa, UNEP, hingga ISO — yang memberikan gambaran tentang bagaimana ide sirkularitas berkembang menjadi kerangka ekonomi baru.
Variasi Definisi: Dari Efisiensi Material hingga Regenerasi Alam
Secara umum, setiap definisi ekonomi sirkular memuat unsur yang sama: menjaga nilai material dan produk selama mungkin dalam sistem ekonomi, mengurangi penggunaan sumber daya baru, dan menekan timbulan limbah. Namun, masing-masing lembaga menekankan aspek yang berbeda sesuai dengan mandat dan perspektifnya.
Uni Eropa, misalnya, melihat ekonomi sirkular sebagai strategi industri dan lingkungan sekaligus. Fokusnya adalah menjaga nilai produk dan bahan dalam perekonomian selama mungkin, untuk mendukung ekonomi rendah karbon yang kompetitif.
Ellen MacArthur Foundation menambahkan dimensi desain dan inovasi. Menurut lembaga ini, sirkularitas bukan sekadar daur ulang, tetapi perancangan sistem ekonomi baru yang mengeliminasi limbah, mengedarkan produk dan bahan pada nilai tertingginya, serta meregenerasi alam.
UN Environment Programme (UNEP) memperluas cakupan menjadi empat kategori tindakan — reduce, reuse, repair, recycle — yang mencakup seluruh interaksi antara pengguna, bisnis, dan industri.
Sementara ISO (International Organization for Standardization) menekankan pentingnya pendekatan sistemik untuk menjaga aliran sumber daya tetap berputar sambil mendukung pembangunan berkelanjutan.
Definisi-definisi ini menunjukkan pergeseran penting: ekonomi sirkular kini tidak lagi dipandang semata sebagai kebijakan pengelolaan limbah, tetapi sebagai sistem ekonomi penuh yang melibatkan desain produk, model bisnis, perilaku konsumen, dan tata kelola sumber daya global.
Perspektif Akademik: Sintesis dari 114 Definisi
Penelitian yang dilakukan oleh Kirchherr et al. (2017) menganalisis lebih dari seratus definisi ekonomi sirkular dari literatur akademik dan kebijakan publik.
Hasilnya menunjukkan dua elemen yang paling sering muncul:
Hierarki 4R — reduce, reuse, recycle, recover, dan
Pendekatan sistemik — penerapan sirkularitas pada tiga tingkat: mikro (perusahaan dan konsumen), meso (ekosistem industri), dan makro (kawasan dan negara).
Dari sinilah muncul pemahaman bahwa ekonomi sirkular bukan hanya strategi teknis, tetapi juga kerangka sosial dan ekonomi yang menuntut perubahan perilaku, koordinasi lintas sektor, dan visi jangka panjang. Dengan kata lain, sirkularitas bukan hasil akhir, melainkan proses berkelanjutan untuk mencapai keseimbangan antara nilai ekonomi dan keberlanjutan ekologis.
Implikasi bagi Indonesia
Bagi Indonesia, keragaman definisi ini menawarkan peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, fleksibilitas konsep memungkinkan pemerintah menyesuaikan kebijakan sirkularitas dengan konteks nasional — misalnya melalui Rencana Aksi Ekonomi Sirkular dan strategi industri hijau. Namun di sisi lain, tanpa definisi nasional yang tegas dan terukur, sulit membangun sistem statistik dan indikator yang seragam.
Adopsi definisi yang menggabungkan aspek teknis, sosial, dan lingkungan menjadi penting agar kebijakan ekonomi sirkular tidak hanya terfokus pada daur ulang limbah, tetapi juga mendorong efisiensi desain, inovasi industri, dan kesejahteraan sosial.
Dalam hal ini, Indonesia dapat mengambil pendekatan hibrida: mengacu pada kerangka Uni Eropa dalam aspek efisiensi material, dan memadukannya dengan pandangan UNEP tentang regenerasi sumber daya dan keadilan lingkungan.
Penutup
Ragam definisi ekonomi sirkular menunjukkan satu hal mendasar: tidak ada satu jalan tunggal menuju keberlanjutan.
Setiap lembaga dan negara menafsirkan sirkularitas sesuai dengan konteks, prioritas, dan kapasitasnya. Yang penting bukanlah perbedaan terminologi, tetapi kesamaan tujuan — menjaga nilai sumber daya, mengurangi pemborosan, dan menciptakan kesejahteraan lintas generasi.
Dengan memperjelas definisi dan arah kebijakan, Indonesia dapat memastikan bahwa ekonomi sirkular tidak berhenti sebagai slogan hijau, melainkan berkembang menjadi strategi ekonomi nasional yang inklusif, produktif, dan berketahanan.
Daftar Pustaka
Conference of European Statisticians. (2024). Guidelines for Measuring Circular Economy: Annex 1 — Examples of Selected Definitions of a Circular Economy. Geneva: United Nations Economic Commission for Europe (UNECE).
Ellen MacArthur Foundation. (2019). Completing the Picture: How the Circular Economy Tackles Climate Change. Cowes: Ellen MacArthur Foundation.
European Commission. (2020). Circular Economy Action Plan: For a Cleaner and More Competitive Europe. Brussels: European Union.
Kirchherr, J., Reike, D., & Hekkert, M. (2017). Conceptualizing the Circular Economy: An Analysis of 114 Definitions. Resources, Conservation and Recycling, 127, 221–232.
Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). Advancing Circular Economy Policies for Green Growth. Paris: OECD Publishing.
United Nations Environment Programme (UNEP). (2021). Global Environment Outlook for Industry: Circularity and Sustainable Production. Nairobi: UNEP.
International Organization for Standardization (ISO). (2023). Circular Economy — Framework and Principles (ISO 59004:2023). Geneva: ISO.