Kembang Api PDB atau Akar Ekonomi? Pilihan Jangka Panjang Indonesia

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat

08 November 2025, 20.23

Penulis: cakHP (Heru Prabowo)


Setiap kali Badan Pusat Statistik mengumumkan pertumbuhan PDB, headline media langsung ramai: ekonomi tumbuh 5%, inflasi terkendali, atau surplus perdagangan berlanjut. Kita bersorak seolah semua masalah selesai. Tapi benarkah demikian? Pertumbuhan sesaat bisa membuat kita bangga, tetapi apakah ia cukup untuk membawa Indonesia keluar dari middle income trap?

Pertanyaan mendasar muncul: apakah kita puas dengan pertumbuhan jangka pendek, atau berani melakukan restrukturisasi ekonomi jangka panjang?

📌
Mesin Pertumbuhan Jangka Pendek

Kerangka GDP = C + I + G + (X – M) menjelaskan empat mesin utama penggerak ekonomi.

Konsumsi (C):

- Konsumsi rumah tangga menyumbang 53–55% PDB Indonesia.

Artinya, lebih dari separuh pertumbuhan kita ditopang oleh belanja masyarakat.

Tapi apakah aman bergantung pada konsumsi semata? Pada 2022, inflasi pangan sempat menembus 5,5%, memukul daya beli masyarakat berpendapatan rendah. Optimisme konsumen bisa cepat hilang jika harga beras dan energi naik.

Investasi (I) :

- Porsinya sekitar 30–33% PDB.

- Realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) pada 2023 mencapai Rp 744 triliun, naik dari tahun sebelumnya.

Namun, investasi jangka panjang butuh kepastian hukum. Bagaimana mungkin investor global mau menanam modal puluhan tahun jika regulasi bisa berubah dalam hitungan bulan?

Belanja Pemerintah (G) :

- Menyumbang 8–10% PDB.

- Pada 2020, saat pandemi, APBN berperan besar: defisit fiskal melebar ke 6,1% PDB demi menyelamatkan ekonomi.

Namun setiap tahun kita mendengar keluhan sama: serapan anggaran lambat, proyek produktif kalah dari belanja rutin. Apakah kita hanya pandai mengalokasikan, tapi tidak mampu merealisasikan?

Ekspor Neto (X – M):

- Tahun 2022, Indonesia menikmati surplus perdagangan terbesar sepanjang sejarah: USD 54,5 miliar—berkat harga batu bara, CPO, dan nikel yang melambung.

- Tetapi pada 2023, surplus turun jadi USD 36,9 miliar seiring turunnya harga komoditas. Bukankah ini bukti bahwa kita masih seperti penumpang roller coaster harga global?

📌
Fondasi Struktural: Jalan yang Lebih Sulit

Pertumbuhan jangka pendek ibarat kembang api — indah, tapi cepat padam. Fondasi struktural adalah akar pohon — tak terlihat, tapi menentukan apakah kita sanggup bertahan menghadapi badai.

Produktivitas Tenaga Kerja:

- Produktivitas pekerja Indonesia hanya sekitar USD 25.000 per pekerja per tahun (data ILO, 2022), jauh di bawah Korea Selatan (USD 80.000) atau Malaysia (USD 55.000).

Bonus demografi bisa menjadi berkah, tapi tanpa skill dan kesehatan memadai, ia berubah jadi bom waktu pengangguran.

Transformasi Industri:

- Kontribusi manufaktur terhadap PDB Indonesia stagnan di kisaran 19–20% sejak awal 2000-an.

- Bandingkan dengan Vietnam: sektor manufakturnya melonjak dari 17% (2005) ke 25% (2022), menjadikan negara itu basis ekspor elektronik dunia.

Pertanyaannya: maukah kita tetap menjual CPO mentah dan batu bara, sementara tetangga menjual semikonduktor dan smartphone?

Inovasi & Teknologi:

- Belanja riset Indonesia hanya 0,23% PDB (UNESCO, 2021). Korea Selatan? 4,8%. China? 2,4%.

Selama kita hanya mengimpor teknologi, kapan kita akan menjadi pencipta, bukan sekadar pengguna?

Kepastian Politik & Hukum:

- Indeks Persepsi Korupsi Indonesia masih 34/100 (2023, Transparency International)—tergolong rendah.

Padahal, tanpa kepastian hukum, investasi strategis jangka panjang sulit bertahan. Bukankah fondasi ekonomi kuat tidak mungkin tumbuh di atas tanah hukum yang rapuh?

📌
Studi Kasus: Belajar dari Dunia

🔖1. Korea Selatan

1960-an: PDB per kapita hanya USD 158—lebih rendah dari Ghana saat itu.

Kini: USD 33.000 (2022).

Rahasianya? Industrialisasi agresif, investasi pendidikan, dan konsistensi lintas rezim. Mereka memilih jalan restrukturisasi, bukan sekadar angka pertumbuhan.

🔖 2. Brasil

Awal 2000-an: dipuji sebagai raksasa baru berkat booming komoditas.

2015–2016: ekonomi jatuh ke resesi terdalam, kontraksi -3,5%, karena gagal diversifikasi industri.

Pelajaran: bergantung pada komoditas ibarat mengikat masa depan pada harga global yang tak bisa kita kendalikan.

🔖 3. China

Sejak 1978, rata-rata pertumbuhan 9–10% per tahun.

Tapi mereka tidak berhenti di situ: lewat Made in China 2025, China menargetkan dominasi di AI, kendaraan listrik, dan semikonduktor.

Mereka membuktikan: pertumbuhan jangka pendek bisa dijalankan bersamaan dengan restrukturisasi jangka panjang.

🔖 4. Indonesia Sendiri

1970-an: ekonomi tumbuh pesat berkat booming minyak.

1980-an: harga minyak jatuh, APBN terguncang, utang menumpuk.

Reformasi 1998 melahirkan stabilitas makro, tapi sejak 2000-an, industri manufaktur stagnan.

Sementara itu, Vietnam melesat, ekspor manufakturnya menembus USD 371 miliar (2022), hampir dua kali lipat Indonesia (USD 223 miliar).

📌
Dilema Indonesia

Pertanyaannya sederhana tapi tajam: apakah kita puas menyalakan kembang api pertumbuhan PDB tiap kuartal, atau kita berani menanam pohon ekonomi yang akarnya kuat?

Pertumbuhan jangka pendek memberi stabilitas politik, tapi restrukturisasi memberi daya tahan lintas generasi. Kita tidak bisa selamanya bersembunyi di balik surplus komoditas, apalagi membiarkan bonus demografi lewat begitu saja.

✍️
Penutup

Mengejar angka PDB jangka pendek penting —bia menjaga stabilitas, membangun optimisme, dan memberi ruang fiskal. Tetapi tanpa restrukturisasi, semua itu rapuh. Indonesia perlu keberanian politik untuk menyeimbangkan keduanya: menjaga mesin pertumbuhan tetap hidup, sambil menanam fondasi produktivitas, inovasi, dan industrialisasi.

Karena pada akhirnya, pertumbuhan sejati bukanlah soal seberapa cepat kita berlari, melainkan seberapa kokoh tanah yang kita pijak.