Penulis: cakHP
Dari 6 ke 8 % : Target Ambisius Menkeu Purbaya Menggenjot Pertumbuhan Ekonomi
Beberapa hari setelah dilantik, Menteri Keuangan Purbaya langsung meluncurkan kebijakan yang memicu perdebatan: memindahkan dana mengendap pemerintah sebesar Rp200 triliun dari Bank Indonesia ke bank-bank pelat merah. Langkah ini dianggap berani — bahkan nekad oleh sebagian kalangan — karena menyentuh langsung jantung sistem keuangan. Tujuannya jelas: agar uang negara tidak lagi “tidur” di rekening BI, tetapi bergerak ke sektor riil, memicu kredit, dan mendongkrak pertumbuhan.
Purbaya membawa target ambisius. Tahun ini ia ingin pertumbuhan ekonomi kembali menembus di atas 6%, level yang pernah kita nikmati pada era Presiden SBY. Selanjutnya, ia berkomitmen mewujudkan janji Presiden Prabowo: membawa Indonesia menuju pertumbuhan 8% dalam beberapa tahun ke depan. Mungkinkah?

Belajar dari Masa Lalu
Kilas balik ke periode 2007–2011, Indonesia memang sempat menikmati pertumbuhan di kisaran 6–6,5%. Kombinasi harga komoditas yang melambung, stabilitas makro, dan reformasi fiskal memberi ruang gerak besar bagi pemerintah kala itu. Namun konteks saat ini berbeda. Dunia sedang menghadapi perlambatan ekonomi global, suku bunga tinggi, serta ketidakpastian geopolitik. Singkatnya, kita tak bisa lagi mengandalkan keberuntungan siklus komoditas.
Maka, strategi Purbaya harus berbeda: bertumpu pada inovasi fiskal, penyaluran kredit produktif, dan transformasi struktural yang nyata.

Senjata Baru: Dana Rp200 Triliun
Poin kuncinya adalah bagaimana mengelola dana Rp200 triliun yang selama ini mengendap di BI. Sri Mulyani sebelumnya enggan memindahkannya, karena alasan kehati-hatian fiskal dan stabilitas moneter. Purbaya memilih jalan berbeda: dana ini diparkir di bank BUMN dengan mandat menyalurkan ke sektor produktif.
Risikonya tentu ada. Jika bank hanya menggunakan dana ini untuk membeli surat utang atau ditempatkan kembali ke instrumen aman, maka tak ada bedanya dengan dibiarkan tidur di BI. Namun jika diarahkan dengan presisi, dana ini bisa menjadi “bensin” bagi mesin ekonomi.


Lima Sektor Prioritas
Pemerintah menetapkan lima sektor prioritas sebagai tujuan penyaluran kredit produktif. Pilihan ini bukan kebetulan, karena kelimanya dianggap punya multiplier effect tinggi dan menyerap banyak tenaga kerja:
1. UMKM dan koperasi: Tulang punggung perekonomian, menyerap lebih dari 97% tenaga kerja. Tambahan kredit akan langsung mengalir ke konsumsi rumah tangga dan memperkuat daya beli.
2. Industri manufaktur & hilirisasi: Mesin industrialisasi, kunci substitusi impor dan peningkatan nilai tambah dalam negeri.
3. Pertanian, perikanan, dan pangan: Penopang ketahanan pangan, sekaligus faktor penentu stabilitas inflasi.
4. Energi terbarukan & infrastruktur hijau: Investasi jangka panjang untuk meningkatkan produktivitas dan mempersiapkan transisi energi.
5. Digital & teknologi: Pendorong transformasi struktural, membuat UMKM naik kelas dan meningkatkan daya saing global.


Simulasi / Skenario Dampak
Dengan baseline pertumbuhan Indonesia di sekitar 5,2%, seberapa besar tambahan yang bisa dihasilkan? Beberapa simulasi konservatif menunjukkan bahwa dengan dana Rp200 triliun, leverage kredit 1,5–2 kali lipat, dan multiplier sektoral, tambahan pertumbuhan yang mungkin tercipta adalah sekitar 1,5–2 poin persentase.
Artinya, pertumbuhan bisa terdongkrak dari baseline 5,2% menjadi 6,6–7,2% hanya dalam tahun pertama, asalkan penyaluran dilakukan cepat dan tepat sasaran.
Untuk jangka menengah, jika proyek manufaktur dan infrastruktur hijau sudah rampung, dampaknya bisa lebih besar. Pada tahun kedua dan ketiga, pertumbuhan berpotensi mendekati 8%, terutama jika dibarengi reformasi struktural dan dukungan investasi swasta.

Syarat Keberhasilan
Tentu saja, target ini tidak bisa dicapai hanya dengan menaruh dana di bank. Ada sejumlah syarat penting yang menentukan apakah strategi ini sukses atau justru berisiko gagal:
1. Leverage efektif: Dana pemerintah harus mampu menarik dana tambahan dari sektor swasta, lembaga pembiayaan internasional, hingga green bonds. Tanpa leverage, dampaknya akan terbatas.
2. Pengendalian risiko kredit: Pemerintah perlu berbagi risiko dengan bank melalui penjaminan selektif, agar bank berani menyalurkan kredit ke sektor produktif yang dianggap berisiko tinggi.
3. Larangan parkir ulang: Bank tidak boleh sekadar memarkir dana ini kembali ke surat utang negara. Harus ada aturan ketat bahwa dana benar-benar mengalir ke sektor riil.
4. Pipeline proyek siap dibiayai: Proyek manufaktur, pangan, hingga energi terbarukan harus sudah siap secara perizinan dan studi kelayakan, sehingga dana bisa langsung terserap.
5. Monitoring dan transparansi: Publik perlu tahu realisasi penyaluran, sektor yang mendapat pembiayaan, jumlah tenaga kerja tercipta, hingga dampak ke emisi karbon.


Strategi Jangka Pendek dan Jangka Panjang
Untuk target jangka pendek menembus 6% pertumbuhan tahun ini, strategi yang paling masuk akal adalah fokus pada UMKM, koperasi, dan sektor pangan. Kedua sektor ini punya efek cepat karena sifatnya padat karya dan langsung menyentuh konsumsi masyarakat.
Sementara untuk target jangka menengah mencapai 8%, strategi harus bergeser ke manufaktur dan infrastruktur hijau. Keduanya memang butuh waktu lebih lama karena proses konstruksi dan industrialisasi tidak bisa instan, tetapi begitu beroperasi, kontribusinya besar terhadap PDB.

Risiko yang Harus Dijaga
Setiap kebijakan besar pasti membawa risiko. Pertama, risiko moral hazard jika bank atau debitur menggunakan dana tidak sesuai tujuan. Kedua, risiko inflasi jika penyaluran terlalu cepat ke konsumsi tanpa diimbangi produksi. Ketiga, risiko stabilitas moneter, karena dana yang keluar dari BI membuat kontrol likuiditas lebih menantang.
Namun risiko bisa diminimalkan dengan tata kelola yang ketat, transparansi, dan koordinasi erat dengan BI dan OJK.

Penutup: Antara Realisme dan Harapan
Target pertumbuhan 6% lebih pada tahun ini mungkin bisa dicapai dengan kombinasi kebijakan fiskal ekspansif dan penyaluran kredit produktif. Target 8% jelas lebih menantang, tapi bukan mustahil jika industrialisasi, hilirisasi, dan transisi energi benar-benar dijalankan.
Menteri Keuangan Purbaya sudah menyalakan mesin. Kini pertanyaannya bukan lagi apakah dana Rp200 triliun bisa menggerakkan ekonomi, melainkan apakah kita mampu mengarahkan energi ini ke jalur yang benar. Jika berhasil, Indonesia akan mengulang bahkan melampaui capaian era keemasan SBY, kali ini dengan fondasi ekonomi yang lebih berkelanjutan dan inklusif.
.