Badan Usaha Milik Negara
Dipublikasikan oleh Nurul Aeni Azizah Sari pada 11 Juni 2024
Baru-baru ini, Indonesia mencapai tonggak penting dengan meluncurkan peta jalan ekonomi biru di forum ekonomi biru ASEAN, yang diselenggarakan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Pulau Belitung yang indah. Peta jalan yang komprehensif ini merupakan hasil dari upaya kolaboratif dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk kontribusi penting dari ARISE+ Indonesia. Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki kepentingan strategis dalam peta jalan ini karena tidak hanya mendorong kemakmuran ekonomi tetapi juga memprioritaskan kesejahteraan ekosistem laut, memastikan bahwa generasi mendatang dapat memetik manfaat dari ekonomi laut yang berkembang.
Hebatnya, Indonesia merupakan negara pertama di ASEAN yang mengadopsi peta jalan ekonomi biru yang komprehensif. Sebagai Ketua ASEAN saat ini, Indonesia ingin mendorong pengembangan kerangka kerja ekonomi biru di tingkat regional dan menjadi contoh bagi negara-negara lain dalam menyusun dokumen ekonomi biru mereka. Mengingat luasnya wilayah perairan di dalam domain ASEAN dan potensi yang luar biasa dari peta jalan ekonomi biru untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, Kerangka Kerja Ekonomi Biru memiliki arti strategis yang sangat penting.
Kami mendapat kesempatan istimewa untuk terlibat dalam diskusi mendalam dengan Bapak Teguh Sambodo, Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan sektor unggulan dan infrastruktur di kementerian perencanaan pembangunan Nasional (Bappenas). Dalam diskusi tersebut, kami menggali lebih dalam tentang bagaimana peta jalan ekonomi biru Indonesia dapat membuka potensi sumber daya laut yang belum dimanfaatkan, yang pada akhirnya dapat memberikan manfaat bagi masyarakat sekaligus menjaga kesehatan dan keberlanjutan ekosistem laut demi kemakmuran generasi mendatang.
Berikut ini adalah kutipan dari wawancara eksklusif kami
T: Selamat atas keberhasilan peluncuran peta jalan ekonomi biru Indonesia 2023-2045. Tidak diragukan lagi, ini adalah salah satu pencapaian yang paling membanggakan bagi kami. Mengingat Indonesia adalah negara maritim, dapatkah anda menjelaskan apa yang menyebabkan pengembangan dan peluncuran peta jalan ekonomi biru pada saat ini? Selain itu, bisakah anda berbagi wawasan tentang peta jalan ekonomi biru dan elemen-elemen utamanya?
TS: Peta Jalan Ekonomi Biru mengakui identitas unik Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, dengan 17.504 pulau dan garis pantai terpanjang kedua di dunia, yaitu sekitar 108.000 km. Di dalam wilayah maritim yang luas ini, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati dan sumber daya alam laut yang melimpah, memberikan banyak peluang untuk membangun sektor-sektor baru dan berkembang. Mulai dari sumber daya hayati dan non-hayati laut hingga industri, pariwisata, transportasi, dan logistik, perairan Indonesia menawarkan banyak potensi ekonomi yang memberikan kontribusi signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat.
Terlepas dari ukuran dan nilai ekonomi biru yang sangat besar, ekonomi laut Indonesia sebagian besar masih terbatas pada sektor konvensional, seperti perikanan tangkap, akuakultur, dan pengolahan ikan, yang hanya berkontribusi sekitar 3,6% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) selama lima tahun terakhir. Kami sering ditanya, “Mengapa peta jalan ekonomi biru ini membutuhkan waktu yang lama untuk terwujud?” Hal ini dikarenakan pembangunan maritim baru menjadi perhatian utama di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi. Sebagai hasilnya, pembentukan kementerian koordinator khusus untuk urusan kemaritiman menandai langkah awal untuk mengkonsolidasikan identitas kita sebagai negara maritim.
Menanggapi pandemi COVID-19, Presiden mengamanatkan transformasi ekonomi untuk mempercepat pemulihan dan kemajuan menuju negara maju. Namun, karena COVID-19, target awal untuk mencapai status negara maju pada tahun 2036 bergeser ke tahun 2043, yang membutuhkan tingkat pertumbuhan ekonomi tahunan minimum 6% atau lebih. Sebelum pandemi, Indonesia menghadapi pertumbuhan ekonomi yang stagnan, dengan rata-rata 5%.
Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, strategi yang dilakukan adalah dengan meningkatkan produktivitas sektor-sektor yang sudah ada sembari mengembangkan sumber-sumber pertumbuhan ekonomi baru yang terkait dengan ekonomi berbasis kelautan. Namun, keberlanjutan harus diprioritaskan untuk memastikan manfaat yang berkelanjutan dari sumber daya ekonomi ini, sejalan dengan visi pembangunan ekonomi biru: “Sumber daya pesisir dan laut kita yang beragam dikelola secara berkelanjutan melalui ekonomi biru berbasis pengetahuan untuk menciptakan kemakmuran sosial-ekonomi, memastikan lingkungan laut yang sehat, dan memperkuat ketahanan untuk kepentingan generasi sekarang dan masa depan.”
Peta jalan ekonomi biru kami bertumpu pada tiga pilar pembangunan berkelanjutan: sosial, ekonomi, dan lingkungan. Roadmap ini juga menginformasikan bahwa jika Indonesia mengambil pendekatan ekonomi biru dengan penekanan yang lebih kuat pada kesehatan dan pelestarian keanekaragaman hayati dan sumber daya laut, maka akan menciptakan manfaat keseluruhan 12 kali lebih besar daripada pendekatan yang berimbang, yang hanya menghasilkan manfaat sembilan kali lipat. Inilah nilai yang ingin kami sampaikan melalui peta jalan ini.
Pada akhirnya, Peta jalan ekonomi biru berfungsi sebagai panduan komprehensif untuk memanfaatkan dan mengelola sumber daya laut secara berkelanjutan, memastikan kesehatan, umur panjang, dan ketangguhannya demi kemakmuran penduduk saat ini dan generasi mendatang. Untuk mencapai tujuan ini, diperlukan kolaborasi dan koordinasi yang kuat di antara para pemangku kepentingan baik di tingkat pusat maupun daerah. Dengan menerapkan prinsip-prinsip peta jalan ini, Indonesia dapat membuka potensi ekonomi biru yang sesungguhnya untuk kesejahteraan masyarakat sekaligus menjaga kesehatan ekosistem pesisir dan laut.
T: Mengapa peta jalan ini diluncurkan bertepatan dengan Forum Ekonomi Biru ASEAN?
TS: Pertama, kami ingin menunjukkan kepada negara-negara anggota ASEAN lainnya bahwa Indonesia telah mengambil langkah signifikan untuk mengkonsolidasikan ekonomi biru dengan cara yang lebih terstruktur. ASEAN telah berhasil meresmikan Deklarasi Pemimpin tentang Ekonomi Biru selama masa kepemimpinan Brunei Darussalam pada tahun 2021.
Indonesia berinisiatif untuk menjabarkan deklarasi tersebut untuk konteks Indonesia dengan menyusun Kerangka Kerja Pengembangan ekonomi biru untuk Transformasi Ekonomi Indonesia pada tahun 2021 dan menjadi negara pertama di ASEAN yang memiliki peta jalan ekonomi biru. Meskipun kami menyadari bahwa konsep ekonomi biru bukanlah hal yang sepenuhnya baru, kami memandangnya sebagai bagian integral dari upaya kami untuk mendorong transformasi ekonomi dan memperkuat identitas kami sebagai negara maritim.
Disadur dari: ariseplus-indonesia.org
Badan Usaha Milik Negara
Dipublikasikan oleh Nurul Aeni Azizah Sari pada 11 Juni 2024
Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki potensi sumber daya alam yang besar untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) 2030. Dalam Sustainable Development Goals Seminar Series, para pakar maritim dari pemerintah, PBB, dan akademisi berkumpul pada hari Senin (21 Agustus) untuk mendiskusikan hal ini.
Pandangan nusantara telah muncul sebagai gagasan baru untuk lintasan pembangunan Indonesia. Konsep ini menyiratkan landasan pembangunan yang disesuaikan dengan aspek geografis dan sosial. Namun, struktur sosial masyarakat sebagai pemilik lahan menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam mengelola lahan di berbagai wilayah.
Oleh karena itu, pemahaman yang komprehensif mengenai Wawasan Nusantara menjadi sangat penting, baik bagi pemerintah maupun masyarakat lokal, untuk memfasilitasi pengelolaan lahan yang efektif dengan tetap mempertimbangkan faktor keberlanjutan. “Wacana kemaritiman ini bukanlah konsep yang baru. Sejak zaman nenek moyang bangsa Indonesia, sifat kepulauan negara kita sudah diakui, bahkan digambarkan dalam berbagai warisan nasional seperti relief dan prasasti,” ujar Asisten Deputi Bidang Batas Wilayah Laut dan kawasan perbatasan, Kementerian koordinator bidang kemaritiman dan investasi, Sora Lokita.
“Jadi, mengapa kita harus menjadi poros maritim dunia? Jawabannya sederhana. Faktanya, kita adalah negara maritim terbesar. Kita memiliki sekitar 17.500 pulau, garis pantai sepanjang 108.000 km, dan populasi 280 juta jiwa. Faktor-faktor ini membutuhkan pengelolaan yang tepat untuk mencapai target yang kita inginkan. Generasi muda kita perlu lebih aktif dalam konteks ini.”
Upaya mewujudkan “Poros Maritim Dunia” telah terangkum dalam tujuh pilar Kebijakan Kelautan Indonesia. Pilar-pilar tersebut meliputi Wawasan Nusantara, pembangunan berkelanjutan, ekonomi biru, pengelolaan yang terintegrasi dan transparan, partisipasi, kesetaraan, dan pemerataan.
“Hal ini sangat relevan dengan bagaimana pilar-pilar ini akan dikaitkan dengan pencapaian SDGs. Ini akan menjadi peran dari pusat yang baru saja diluncurkan ini, di mana kita akan bergerak maju bersama dan memberikan masukan untuk pengembangannya,” tambah asisten deputi.
Selain merumuskan Kebijakan Kelautan Indonesia, pemerintah juga telah membentuk Forum Negara Kepulauan dan Negara Kepulauan (AIS) pada tahun 2017. Forum kolaboratif antara Indonesia dan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) ini bertujuan untuk melibatkan negara-negara kepulauan di seluruh dunia dalam mengatasi tantangan maritim. Kepala Kemitraan dan Hubungan Pemerintah di Forum Negara Kepulauan dan Negara Pulau, UNDP, Intan Defrina, menjelaskan bagaimana Forum AIS berusaha untuk mendorong upaya pengelolaan maritim di tingkat nasional dan internasional.
“Ada empat isu atau tantangan utama yang harus kita hadapi: perubahan iklim, ekonomi biru, sampah plastik di laut, dan tata kelola maritim yang efektif. Kami bekerja dalam sistem multi-pemangku kepentingan, yang berarti kami tidak bisa hanya bekerja sama dengan negara lain. Forum AIS mengharuskan kami untuk berada di lapangan, berkolaborasi dengan LSM dan komunitas yang memiliki gagasan yang sama dengan kami,” kata Intan Defrina.
Upaya untuk merumuskan pengelolaan maritim yang berkelanjutan membutuhkan integrasi di berbagai sektor. Kolaborasi ini tidak hanya melibatkan sektor maritim saja, namun sektor-sektor lokal juga harus memahami bagaimana mengimplementasikan ide-ide kemaritiman. Harapannya, kolaborasi semua pihak dapat berkontribusi dalam mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia pada tahun 2030.
Disadur dari: ugm.ac.id
Badan Usaha Milik Negara
Dipublikasikan oleh Nurul Aeni Azizah Sari pada 11 Juni 2024
Apa saja prioritas tata kelola maritim untuk Indonesia?
Pada tahun 2014, pemerintah Indonesia mengumumkan visi “Global Maritime Fulcrum” (GMF). Kebijakan pengorganisasian ini mencakup lima pilar utama yang menjadi pusat tata kelola dan pembangunan maritim Indonesia:
Hal ini menimbulkan kegembiraan tertentu terkait potensi untuk memajukan kemakmuran maritim dalam negeri Indonesia dan kemitraan internasional, tetapi sebagian besar pengamat sekarang menganggap GMF sebagai kebijakan yang “mati”. Pemerintah Indonesia belum menindaklanjuti GMF sebagai doktrin maritim atau strategi besar, terutama sejak awal masa kepresidenan kedua Presiden Joko ('Jokowi') Widodo. Namun demikian, karena GMF merupakan artikulasi paling kompleks dari prioritas tata kelola maritim Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, GMF tetap menjadi dokumen yang penting.
Pada tahun 2017, pemerintah memperluas visi GMF melalui pemberlakuan Peraturan Presiden tentang Kebijakan Kelautan Indonesia yang memiliki tujuh pilar:
Apa yang dilihat Indonesia sebagai tantangan keamanan maritim yang paling kritis?
Karena wilayah maritimnya yang luas dan lokasinya yang berada di pertemuan dua samudra - Samudra Hindia dan Pasifik - Indonesia menghadapi berbagai macam tantangan keamanan maritim. Di antara semua itu, sengketa Laut Cina Selatan dianggap sebagai yang paling kritis. Meskipun Indonesia menegaskan bahwa Indonesia adalah negara bukan penuntut dalam sengketa ini, sebagian zona ekonomi eksklusifnya di Laut Natuna diklaim secara sepihak oleh Cina dalam “sembilan garis putus-putus”. Sejak tahun 2016, serangan Tiongkok ke ZEE Indonesia telah meningkat, dan Indonesia telah merespons dengan memperluas kehadiran angkatan lautnya di dalam dan di sekitar Natuna serta mendukung putusan Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) pada tahun 2016 yang menyatakan bahwa klaim Tiongkok tidak memiliki kekuatan hukum.[5].
Tantangan kritis kedua bagi Indonesia adalah penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU). Pemerintah memberikan perhatian khusus pada penangkapan ikan IUU selama penunjukan Susi Pudjiastuti sebagai menteri kelautan dan perikanan pada tahun 2014-2019, ketika pemerintah melakukan tindakan keras terhadap penangkapan ikan IUU.[6] Namun, pemerintah beralih dari kebijakan ini setelah Susi tidak lagi menjadi menteri. Penggantinya, Edhy Prabowo, ditangkap setelah satu tahun menjabat karena diduga menerima suap dalam pemberian izin ekspor benih lobster. Menteri saat ini, Sakti Wahyu Trenggono, juga tidak lagi menggunakan pendekatan keras terhadap penangkapan ikan ilegal seperti yang dilakukan oleh mantan menteri Susi.
Apa saja kekuatan tata kelola maritim Indonesia?
Terlepas dari “kematiannya”, GMF telah meletakkan dasar untuk meningkatkan tata kelola maritim Indonesia. Sebagai contoh, pemerintah Indonesia membentuk Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman pada tahun 2014, yang pada tahun 2019 berganti nama menjadi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves). Sebelumnya, pemerintah tidak memiliki kementerian yang mengkoordinasikan kebijakan di bidang kemaritiman. Badan koordinasi tingkat tinggi yang tidak biasa ini memberikan Indonesia kekuatan tata kelola maritim yang tidak ditemukan di negara lain.
Kekuatan tata kelola maritim Indonesia lainnya adalah kedalaman lembaga-lembaga yang terkait dengan tata kelola maritim. Kemenko Marves mengkoordinasikan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan. Sementara itu, kementerian yang lebih tua, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), mengoordinasikan lembaga-lembaga terkait keamanan maritim: Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL), Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan Polisi Perairan (Polair). Badan-badan terkait tata kelola maritim lainnya termasuk Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, serta dua puluh satu badan lainnya yang memiliki tugas/wewenang terkait maritim.
Apa kesenjangan kapasitas tata kelola maritim yang paling signifikan di Indonesia?
Terdapat dua kesenjangan kapasitas tata kelola maritim utama di Indonesia: Yang pertama bersifat politis dan yang kedua bersifat operasional. Dalam hal kesenjangan politik, terdapat masalah tumpang tindih peran dan tanggung jawab di antara berbagai lembaga tata kelola maritim, budaya strategis, serta kerentanan tata kelola maritim terhadap perubahan prioritas politik dalam negeri.
Isu-isu ini diilustrasikan oleh peran Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang terus berkembang. Sebelumnya bernama Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) dengan peran yang lebih bersifat koordinatif, Bakamla berganti nama pada tahun 2014 untuk memungkinkan peran yang lebih utama dalam patroli maritim. Terlepas dari perubahan tersebut, TNI-AL tampaknya tidak mau melepaskan fungsi keamanan internal yang telah lama dijalankannya, sementara Bakamla masih berjuang untuk mengembangkan kemampuan yang dibutuhkan untuk memimpin keamanan maritim.
Beberapa peneliti menjelaskan masih adanya kesenjangan ini dengan merujuk pada peran budaya strategis Indonesia. Secara khusus, mereka berpendapat bahwa dominasi historis Angkatan Darat di Indonesia, ditambah dengan perbedaan yang kabur antara “pertahanan” yang merupakan perlindungan kedaulatan dan “keamanan” yang merupakan penegakan hukum di sektor pemerintahan Indonesia, telah menyebabkan Angkatan Laut mempertahankan peran dominannya dalam keamanan maritim Indonesia. Sementara itu, Indonesia tidak memiliki keakraban yang lama dengan konsep penjaga pantai sebagai lembaga keamanan maritim sipil yang berdedikasi yang memiliki peran yang jelas dibandingkan dengan lembaga lainnya.[8].
Kesenjangan politik lainnya berasal dari kerentanan tata kelola maritim terhadap perubahan prioritas politik dalam negeri. Sebagai contoh, “kematian” GMF telah dikaitkan dengan kekakuan birokrasi Indonesia dan pergeseran fokus ke arah urusan ekonomi, investasi, dan pembangunan infrastruktur.[9] Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman juga telah menjadi korban dari perubahan prioritas ini: Pada tahun 2019, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman diberi fungsi tambahan untuk mengoordinasikan investasi (oleh karena itu namanya diubah menjadi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi). Sejak saat itu, Luhut Binsar Pandjaitan, sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, tidak terlalu banyak mencurahkan perhatiannya pada fungsi kemaritiman dan lebih disibukkan dengan porsi investasi dalam portofolionya.
Dalam hal kesenjangan kapasitas operasional, Indonesia tidak memiliki jumlah kapal perang, kapal patroli, dan sensor yang memadai dibandingkan dengan wilayah maritimnya yang luas. Angkatan Laut mengoperasikan tujuh fregat, empat kapal selam, 25 korvet, 23 kapal patroli, 91 kapal patroli, dan beberapa kapal pendukung. Bakamla mengoperasikan sepuluh kapal patroli dan beberapa kapal patroli kecil. Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai Indonesia (KPLP) mengoperasikan tujuh kapal patroli dan 30 kapal patroli.10 Sebagian besar dari kapal-kapal ini juga sangat kurang dalam hal modernisasi.11 Hal ini tidak cukup untuk berpatroli di wilayah laut Indonesia yang luas.
Apa saja area prioritas untuk kerja sama internasional yang dapat meningkatkan kapasitas tata kelola maritim di Indonesia?
Kesenjangan politik dalam kapasitas tata kelola maritim Indonesia sulit untuk diatasi melalui kerja sama internasional. Namun, kesenjangan kapasitas operasional dapat ditingkatkan melalui kerja sama. Berfokus pada empat bidang prioritas untuk kerja sama internasional akan menguntungkan Indonesia: pertukaran dan penggabungan informasi dan intelijen, pengadaan peralatan, peningkatan kapasitas untuk keterampilan personel, dan kerja sama industri.
Terkait informasi dan intelijen, Indonesia perlu melanjutkan dan meningkatkan kerja sama pertukaran dan penggabungan informasi dan intelijen dengan negara-negara tetangga, organisasi regional, dan mitra internasional, serta inisiatif multilateral dan regional seperti ReCAAP, International Maritime Bureau (IMB), dan Information Fusion Centre (IFC) Singapura.
Untuk bidang kedua, Indonesia perlu meningkatkan kerja sama internasional terkait pengadaan kapal perang, kapal patroli, radar, dan peralatan lain yang diperlukan untuk memenuhi peran keamanan maritim. Indonesia sangat membutuhkan teknologi penting untuk melakukan patroli maritim, peringatan dini terhadap ancaman keamanan maritim, dan peran-peran lainnya secara lebih efektif.
Indonesia juga perlu melanjutkan kerja sama berbasis dialog untuk membangun rasa saling percaya dengan negara-negara lain dan meningkatkan kerja sama praktis yang melibatkan pengerahan aset di laut atau lepas pantai, termasuk inisiatif berbagi informasi dan latihan lapangan, atau latihan peningkatan kapasitas terkait lainnya untuk meningkatkan kapasitas tata kelola maritim yang nyata di laut.
Terakhir, sebagai prioritas keempat, Indonesia perlu melanjutkan dan meningkatkan kerja sama untuk mengembangkan kapasitas industri pembuatan kapal dan perbaikan kapal serta bidang-bidang lain dalam ekonomi maritim domestik Indonesia seperti pendidikan dan pelatihan para insinyur, transfer teknologi angkatan laut, penelitian dan pengembangan pembuatan kapal, dan bentuk-bentuk kerja sama industri lainnya.
Bagaimana kerangka kerja keamanan regional dan minilateral yang ada dapat berkontribusi pada tata kelola maritim di Indonesia?
Indonesia harus menggunakan kerangka kerja keamanan regional dan minilateral yang ada untuk melanjutkan dan meningkatkan kerja sama keamanan maritim yang sudah ada untuk meningkatkan kapasitas tata kelolanya. Indonesia telah terlibat dalam kerja sama tata kelola maritim di berbagai kerangka kerja sama keamanan regional dan minilateral.
Beberapa kerja sama regional telah dilakukan dalam kerangka kerja Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN): Pertemuan Antar-Sesi Forum Regional ASEAN (ARF) tentang Keamanan Maritim, Pertemuan Menteri Pertahanan ASEAN (ADMM) dan Kelompok Kerja Ahli ADMM-Plus untuk Keamanan Maritim, serta Forum Maritim ASEAN (AMF) dan Forum Maritim ASEAN yang Diperluas (Expanded ASEAN Maritime Forum - EAMF).
Akan tetapi, seperti yang ditemukan oleh Agastia (2021), kerja sama dalam kerangka kerja regional ini sebagian besar berbasis dialog, sementara kerja sama praktis masih terbatas.[12] Oleh karena itu, banyak peneliti menyarankan lebih banyak kemajuan yang dapat dicapai dengan berfokus pada kerangka kerja minilateral untuk keamanan maritim.Dalam hal kerangka kerja minilateral, Indonesia telah melakukan patroli terkoordinasi, latihan angkatan laut, dan bentuk-bentuk kerja sama keamanan maritim lainnya dengan negara-negara tetangga dan kekuatan eksternal.
Supriyanto secara persuasif berpendapat bahwa kerangka kerja yang ada, seperti pengaturan patroli maritim di antara negara-negara pesisir ASEAN di Selat Malaka dan Laut Sulawesi, dapat menjadi model untuk kerja sama di Laut Cina Selatan. Indonesia, Malaysia, dan Vietnam dapat memprakarsai patroli serupa di Laut Cina Selatan di mana batas-batas maritim mereka bersebelahan.13 Perjanjian ZEE Indonesia-Vietnam yang baru saja disepakati dapat mendorong kemajuan pengaturan semacam ini.14 Demikian pula, ratifikasi Indonesia baru-baru ini terhadap perjanjian kerja sama pertahanan (DCA) Indonesia-Singapura.15 Hal ini dapat mendorong kelanjutan dan peningkatan latihan militer bersama antara kedua negara dan pihak ketiga 16.
Disadur dari: amti.csis.org
Badan Usaha Milik Negara
Dipublikasikan oleh Nurul Aeni Azizah Sari pada 11 Juni 2024
Jakarta - PT Pelabuhan Indonesia/Pelindo I (Persero) tengah mempersiapkan Pelabuhan Kuala Tanjung, Belawan, dan Dumai menjadi gerbang utama logistik global. Ketiga pelabuhan tersebut akan menyerap pasar pelayaran di Selat Malaka yang merupakan jalur pelayaran tersibuk di dunia. Direktur Utama Pelindo I, Prasetyo, mengungkapkan bahwa Pelindo I mengelola 23 pelabuhan di empat provinsi, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Riau, dan Kepulauan Riau. Sebagian besar pelabuhan tersebut berhadapan langsung dengan Selat Malaka, yang menjadi keunggulan bagi Pelindo I dibandingkan dengan operator pelabuhan lainnya di Indonesia.
Selat Malaka merupakan jalur yang menghubungkan Eropa dan Asia yang dilalui oleh 120.000 kapal setiap tahunnya. Selat ini dikenal sebagai jalur pelayaran tersibuk di dunia. “Sebagai jalur perdagangan tersibuk di dunia. Selat Malaka dilalui hampir 120.000 kapal setiap tahunnya. Ini adalah potensi besar yang tidak bisa kita tinggalkan. Kita harus memanfaatkannya sebaik mungkin. Oleh karena itu, visi Pelindo I adalah menjadi pintu gerbang Indonesia untuk logistik global. Kami fokus pada visi tersebut,” ujar Prasetyo.
Hal tersebut disampaikannya dalam acara 60 Menit Bersama Direktur Utama Pelindo I Prasetyo. Program yang dipandu oleh Direktur Pemberitaan BeritaSatu Media Holdings (BSMH), Primus Dorimulu, ini disiarkan oleh Beritasatu TV pada Rabu (11/8) mulai pukul 19.00-20.00 WIB. Prasetyo menjelaskan bahwa ada tiga pelabuhan yang mereka kelola yang memiliki potensi besar untuk menyerap pasar pelayaran di Selat Malaka, yaitu Pelabuhan Kuala Tanjung, Belawan, dan Dumai. Ketiga pelabuhan tersebut telah memenuhi standar internasional dalam hal lokasi, kedalaman, dan suprastruktur.
“Pelabuhan yang paling potensial adalah Kuala Tanjung, Dumai, dan Belawan. Kuala Tanjung merupakan pelabuhan masa depan dari Pelindo I,” katanya. Menurut Prasetyo, pelabuhan-pelabuhan tersebut saat ini melayani berbagai rute domestik dan internasional. Sebagian besar rute domestik yang dilayani oleh pelabuhan-pelabuhan tersebut menuju Surabaya, Makassar, dan Jakarta. Selain itu, Kuala Tanjung juga menjadi hub domestik untuk angkutan peti kemas di Sumatera. “Kapal-kapal peti kemas dari Jakarta dan Surabaya akan transit di Pelabuhan Kuala Tanjung sebelum peti kemas tersebut didistribusikan dengan kapal-kapal kecil ke Aceh atau pelabuhan-pelabuhan lain di Sumatera,” katanya.
Untuk rute internasional, Prasetyo mengatakan Pelabuhan Belawan melayani kapal-kapal yang akan menuju Singapura, Malaysia, Jepang, Pakistan, India, Belanda, dan Belgia. Sedangkan Kuala Tanjung melayani pengangkutan minyak sawit mentah (CPO) dengan tujuan India, Bangladesh, dan Pakistan. “CPO dari Kalimantan Tengah, Sampit, dan Kumai dikirim ke Kuala Tanjung. Dari Kuala Tanjung, (CPO) didistribusikan dengan kapal-kapal yang lebih besar ke Bangladesh, India, dan Pakistan. Jadi, pelabuhan ini didesain sebagai hub CPO,” katanya.
Kuala Tanjung TIE
Direktur Utama Pelindo I, Prasetyo, mengungkapkan bahwa Pelabuhan Kuala Tanjung merupakan proyek strategis nasional. Pelindo I menamai pelabuhan tersebut dengan nama Kuala Tanjung Port and Industrial Estate (PIE). Kawasan ini tidak hanya mencakup pelabuhan, tetapi juga kawasan industri yang luasnya mencapai 3.400 ha. Dengan demikian, Kuala Tanjung PIE diharapkan akan menjadi pusat logistik dan rantai pasok di Indonesia. “Kuala Tanjung PIE akan menjadi pusat logistik dan rantai pasok Indonesia. Artinya, bisnis logistik dan rantai pasok dari dan ke Indonesia diharapkan masuk ke Kuala Tanjung terlebih dahulu. Selain pelabuhan yang rencananya akan dikembangkan menjadi 58 ha, Kuala Tanjung memiliki kawasan industri yang direncanakan mencapai 3.400 ha,” tegas Prasetyo.
Menurutnya, KEK Kuala Tanjung memiliki potensi untuk bersaing dengan pelabuhan-pelabuhan di negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Pelabuhan Kuala Tanjung akan semakin menarik berkat adanya jaminan kargo yang diangkut dari dan ke kawasan industri Kuala Tanjung. Selain itu, ada kawasan industri lain, yaitu Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei yang berjarak 40 km dari Pelabuhan Kuala Tanjung. “Kuala Tanjung memiliki kawasan industri lain, yaitu kawasan industri Sei Mangkei seluas 2.000 ha yang berjarak 40 km dari Pelabuhan Kuala Tanjung. Dengan kekuatan-kekuatan tersebut, Pelabuhan Kuala Tanjung akan menjadi pelabuhan masa depan Indonesia dan menjadi kendaraan Indonesia dalam menguasai pasar di Selat Malaka,” ujar Prasetyo.
Dia menambahkan bahwa Kuala Tanjung saat ini memiliki dermaga multiguna sepanjang 500 meter yang dapat digunakan di kedua sisinya. Sisi luar akan digunakan untuk transportasi curah dan sisi dalam akan digunakan untuk peti kemas. Selain itu, terdapat lapangan penumpukan peti kemas di Pelabuhan Kuala Tanjung seluas 8 h. “Kuala Tanjung memiliki kedalaman 17 meter, yang merupakan kedalaman alami. Ini adalah pelabuhan dengan kedalaman yang sesuai standar internasional untuk menjadi hub,” tambah Prasetyo.
Kawasan industri Kuala Tanjung
Prasetyo mengatakan bahwa ada beberapa calon investor yang tertarik untuk menanamkan modalnya di Kawasan Industri Kuala Tanjung. Beberapa di antaranya adalah di sektor oleokimia, di sektor smelter, dan pemain logistik global. “Itu adalah (investor) yang sudah mengajukan proposal. Kami sudah melakukan pendekatan dengan mereka, salah satunya bahkan sudah menjalin nota kesepahaman (MoU), yaitu DHL. Seperti yang kita ketahui, DHL adalah pemain bisnis besar internasional,” katanya.
Prasetyo menjelaskan bahwa mereka tertarik karena Kuala Tanjung berada di posisi yang strategis, yaitu di tengah-tengah Selat Malaka. “Ada beberapa investor asing lain yang tertarik karena Kuala Tanjung berada di Selat Malaka. Salah satunya dari India yang ingin membangun pabrik oleochemical. Ada juga [investor] dari China yang akan membangun smelter di Kuala Tanjung,” ungkapnya. Prasetyo mengungkapkan bahwa Pelindo I bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Batu Bara dan BPN pusat saat ini sedang memverifikasi kebutuhan lahan Kawasan Industri Kuala Tanjung. Lahan seluas 300 hektare tersebut akan dibebaskan secara bertahap hingga tahun depan.
Dia menegaskan bahwa pengembangan Kawasan Industri Kuala Tanjung dilakukan secara bertahap hingga mencapai 3.400 ha. Saat ini, calon mitra Palindo I yang berminat untuk berinvestasi di Kawasan Industri Kuala Tanjung membutuhkan lahan seluas 250 ha. Saat ini mereka sedang mempersiapkan uji tuntas (due diligence). “Calon investor yang membutuhkan 250 ha sudah mengajukan proposal, dan kami sudah melakukan MoU dengan calon mitra tersebut. Mereka masih melakukan uji tuntas terhadap kondisi Kuala Tanjung. Kami menargetkan untuk mengakuisisi 3.000 ha tahun depan,” jelas Prasetyo.
Disadur dari: pwc.com
Badan Usaha Milik Negara
Dipublikasikan oleh Nurul Aeni Azizah Sari pada 11 Juni 2024
Jakarta - PT Pelabuhan Indonesia (Persero) mencatatkan peningkatan produktivitas di beberapa pelabuhan petikemas setelah penggabungan empat badan usaha milik negara (BUMN) kepelabuhanan lebih dari 2 tahun lalu. Direktur Utama PT Pelindo Terminal Petikemas, subholding PT Pelabuhan Indonesia, Muhammad Adji menjelaskan peningkatan produktivitas tersebut dinyatakan oleh perusahaan pelayaran yang menjadi pelanggan tetap BUMN tersebut.
“Level of service perusahaan pelayaran tersebut adalah layanan mingguan. Pelayanan mingguan pasti akan memberikan dampak positif. Itu efek dari transformasi Pelindo,” ujarnya kepada Bisnis akhir pekan lalu. Sebagai contoh, dia menyebutkan pengiriman dari Pelabuhan Belawan di Medan ke Pelabuhan Jayapura memakan waktu 36 hari. Padahal, sebelum ada standarisasi layanan terminal peti kemas, pengiriman dari Belawan ke Jayapura memakan waktu 42 hari. “Itu yang diterima pelanggan Pelindo setelah Pelindo melakukan transformasi,” katanya.
Adji mengatakan bahwa biaya logistik di Indonesia masih tinggi karena adanya kesenjangan antara wilayah timur dan barat Indonesia. Pada tahun 2020, ia mencatat bahwa ada tujuh pelabuhan strategis di Indonesia bagian timur, yaitu Bitung, Makassar, Biak, Ambon, Sorong, Jayapura, dan Kupang, yang membongkar 13,8 juta ton kargo dari pelayaran domestik. Sebaliknya, ketujuh pelabuhan tersebut hanya memuat 6,2 juta ton kargo.
Saat kembali dari timur, kapal-kapal dari Jakarta dan Surabaya hanya bermuatan 30% atau bahkan kosong. Sejak penggabungan pada 1 Oktober 2021, Pelindo melakukan transformasi di beberapa pelabuhan di Indonesia, termasuk pelabuhan di Indonesia Timur seperti Makassar, Ambon, dan Sorong.
Sejak September 2023, PT Pelindo telah mengelola Pelabuhan Ternato (Maluku Utara), Pelabuhan Merauke (Papua Selatan), Pelabuhan Nunukan (Kalimantan Timur), dan Pelabuhan Tarakan (Kalimantan Utara). Adji juga mengungkapkan bahwa Pelindo Terminal Petikemas ditugaskan untuk melakukan standarisasi 17 terminal petikemas dalam rangka transformasi Pelindo.
Setelah hampir dua tahun transformasi pelabuhan, ia menambahkan bahwa kecepatan kegiatan bongkar muat yang diukur berdasarkan box ship per hour (BSH) dan waktu sandar kapal semakin cepat. Secara keseluruhan, Kepala Pelindo Regional 4 Enriany Muis menambahkan transformasi di wilayahnya telah dilakukan di 13 pelabuhan dan terminal.
Sehingga produktivitas bongkar muat di Terminal Peti Kemas (TPK) Makassar dan TPK Ambon meningkat dari rata-rata 35 boks per jam per kapal menjadi rata-rata 50 boks per jam per kapal. Hal ini juga berdampak pada waktu inap kapal di pelabuhan yang semula dua hari menjadi hanya satu hari.
Enriany menambahkan peningkatan produktivitas bongkar muat juga terjadi pada kegiatan curah kering di Pelabuhan Makassar, dimana untuk bongkar muat 40.000 ton kargo yang sebelumnya membutuhkan waktu 12-13 hari, saat ini hanya membutuhkan waktu enam hari. Makassar kini memiliki tiga unit harbour mobile crane (HMC). “Kami juga telah membuka arus lalu lintas baru untuk kegiatan curah dengan menggunakan Gate 4 di Terminal Peti Kemas Makassar 1,” ujarnya dalam konferensi pers.
Pola operasi
Proses transformasi yang dilakukan di pelabuhan-pelabuhan PT Pelindo (Persero) meliputi standarisasi pola operasi dan keterampilan pekerja, digitalisasi melalui berbagai aplikasi, serta perencanaan dan pengendalian pelaksanaan pelayanan kapal, pelayanan kargo, dan pelayanan peti kemas melalui ruang kendali yang terintegrasi.
Sebagai contoh, pola operasi di seluruh pelabuhan di Regional 4 saat ini adalah 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Sebelum transformasi, setiap pelabuhan atau terminal memiliki pola masing-masing. Transformasi juga meningkatkan kinerja pelindo regional 4 pada semester pertama tahun 2023 dengan kunjungan kapal mencapai 208,9 juta GT, meningkat 11% dari 188,4 juta GT pada semester pertama tahun 2022. Lalu lintas kargo mencapai 21,5 juta ton/m3, meningkat 57% dari 13,7 juta ton/m3.
Jumlah peti kemas yang dibongkar pada semester pertama tahun 2023 mencapai 1,07 juta TEUs, meningkat 1% dari 1,06 juta TEUs pada tahun sebelumnya. Menteri koordinator bidang perekonomian airlangga mengatakan bahwa pembangunan nasional masih terfokus di Indonesia bagian barat. Oleh karena itu, lalu lintas kargo di Indonesia bagian timur dan barat tidak seimbang.
Disadur dari: pwc.com
Badan Usaha Milik Negara
Dipublikasikan oleh Nurul Aeni Azizah Sari pada 11 Juni 2024
Kementerian Perhubungan baru-baru ini menghadiri Sidang ke-80 komite perlindungan lingkungan laut (“MEPC 80”) pada tanggal 3-8 Juli 2023 di Markas Besar Organisasi Maritim Internasional di London, di mana agenda implementasi pelayaran ramah lingkungan dibahas. Negara-negara anggota IMO mencapai kesepakatan tentang revisi Strategi IMO 2023 untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (“GRK”) setelah sesi ini. Lebih lanjut, menurut sesi ini, beberapa negara setuju dengan tujuan IMO untuk mencapai nol emisi dari industri pelayaran pada tahun 2050, sementara Indonesia menyatakan bahwa 2060 adalah waktu yang lebih masuk akal.
Sebagai bagian dari upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari industri pelayaran, IMO telah mengamanatkan agar kapal-kapal mulai menggunakan bahan bakar dengan bahan bakar dengan konsentrasi sulfur maksimum 0,50% m/m per 1 Januari 2020, sebagaimana diatur dalam Lampiran VI Konvensi Internasional Pencegahan Pencemaran dari Kapal tahun 1973 yang telah dimodifikasi dengan Protokol 1978 (“MARPOL”).
Indonesia, sebagai anggota IMO, juga telah mengambil langkah untuk mendukung agenda pelayaran ramah lingkungan. Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 29 Tahun 2014 tentang Pencegahan Pencemaran Lingkungan Laut, yang terakhir kali diubah pada tahun 2022 (“Peraturan Pencemaran Laut”) mengatur penggunaan bahan bakar rendah sulfur untuk kapal-kapal yang berlayar di perairan Indonesia. Selain itu, Kementerian energi dan sumber daya mineral juga menetapkan dalam keputusan direktur jenderal minyak dan gas bumi No. 0179.K/DJM.S/2019 bahwa bahan bakar minyak (“MFO”) bersulfur rendah memiliki konsentrasi sulfur maksimum 0,50% m/m.
Namun demikian, hingga saat ini, pemerintah Indonesia belum memberikan peta jalan yang jelas kepada pelaku usaha di industri pelayaran untuk implementasi pelayaran ramah lingkungan. Peta jalan ini diharapkan dapat mencakup tanggal yang ditentukan untuk mencapai nol emisi dan kegiatan pemerintah yang luas untuk melakukannya. Indonesia tampaknya memandang bahwa tujuan IMO untuk mencapai nol emisi secara global pada tahun 2050 dalam industri pelayaran tidak praktis.
Sebagai contoh, meskipun aspek regulasi untuk menerapkan bahan bakar rendah sulfur telah ditetapkan, masih sulit bagi kapal-kapal yang berlayar di Indonesia untuk mematuhi peraturan tersebut. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa fasilitasi bahan bakar bersulfur rendah terbatas pada pelabuhan-pelabuhan penting di Indonesia seperti Pelabuhan Tanjung Priok, Pelabuhan Tanjung Perak, dan Pelabuhan Batam. Akibatnya, akan sangat tidak masuk akal bagi pelabuhan-pelabuhan terpencil dan pemilik kapal untuk mematuhi peraturan tersebut. Pemerintah Indonesia juga telah menyadari kondisi tersebut dan, oleh karena itu, menetapkan pengecualian di bawah Peraturan Pencemaran Laut untuk kapal berbendera Indonesia untuk menggunakan MFO bersulfur tinggi (jika sulfur rendah tidak tersedia di pelabuhan tempat kapal berlabuh).
Selain itu, kewajiban untuk menggunakan MFO bersulfur rendah dapat menyebabkan beban bagi perusahaan pelayaran Indonesia khususnya karena tingginya harga produk tersebut, yang mencapai sekitar 13,5% lebih mahal dibandingkan dengan MFO bersulfur tinggi. Karena perbedaan harga tersebut, para pemilik kapal merasa lebih masuk akal untuk menggunakan bahan bakar dengan konsentrasi sulfur yang lebih tinggi. Namun, pada kenyataannya, pemilik kapal yang menggunakan bahan bakar dengan konsentrasi sulfur yang lebih tinggi mungkin dapat mengurangi emisi dengan melengkapi kapal mereka dengan scrubber dan/atau sistem pembersihan gas buang (“EGCS”) untuk memastikan kebersihan dari residu atau endapan bahan bakar sebelumnya. Namun, dapat dimengerti bahwa pemilik kapkal akan mempertimbangkan harga peralatan tersebut, yang berkisar antara USD 500.000 hingga USD 5.000.000.
Potensi penahanan terhadap kapal berbendera asing
Berbeda dengan kapal berbendera Indonesia yang posisinya relatif aman karena Peraturan Pencemaran Laut memberikan pengecualian untuk tidak menggunakan MFO rendah sulfur pada kondisi tertentu, kapal berbendera asing yang berlayar ke wilayah perairan Indonesia tanpa scrubber dan/atau ECGS serta tidak menggunakan MFO rendah sulfur dimungkinkan untuk ditahan oleh otoritas pelabuhan Indonesia dengan alasan tidak laik laut. Selain hukum Indonesia, penahanan semacam itu juga dapat diizinkan di bawah Resolusi IMO A.1052 (27) tahun 2011 tentang Prosedur untuk Kontrol Negara Pelabuhan.
Jika demikian, perselisihan dapat muncul antara pemilik kapal dan perusahaan asuransi. Pihak asuransi mungkin tidak akan menanggung kerugian yang diderita oleh pemilik kapal akibat penahanan tersebut karena merupakan kesalahan pemilik kapal untuk tidak menggunakan MFO bersulfur rendah sebagaimana diatur oleh IMO dan hukum Indonesia. Masalah ini dapat muncul di masa depan, jika Indonesia secara ketat menerapkan penggunaan MFO rendah sulfur untuk kapal demi menjaga keberlanjutan industri pelayaran.
Berdasarkan hal tersebut di atas, dengan melihat sikap Indonesia saat ini, dapat dimengerti bahwa kepentingan nasional Indonesia dalam industri pelayaran adalah prioritas. Penerapan pelayaran ramah lingkungan yang ketat di Indonesia dapat berdampak negatif terhadap lebih dari 22.000 kapal berbendera Indonesia yang terdaftar di bawah Kementerian perhubungan Indonesia, terutama perusahaan pelayaran kecil dan menengah.
Tindakan yang perlu dilakukan indonesia untuk mengatasi agenda pelayaran ramah lingkungan
Strategi optimal bagi Indonesia untuk mengatasi agenda global ini adalah dengan menjadi yang pertama dalam membangun fasilitas untuk MFO rendah sulfur yang dapat diakses oleh semua kapal Indonesia di semua pelabuhan, termasuk pelabuhan terpencil. Strategi ini layak dilakukan mengingat posisi Indonesia yang menguntungkan untuk memproduksi MFO rendah sulfur; BUMN seperti Pertamina atau bahkan entitas swasta dapat memproduksi MFO rendah sulfur dalam skala besar, mengingat Indonesia adalah salah satu produsen minyak nabati terkemuka di dunia, yang merupakan komponen utama MFO rendah sulfur. Dengan mempertimbangkan hal tersebut di atas, permintaan domestik di masa depan untuk MFO rendah sulfur kemungkinan besar akan terpenuhi, yang dapat membantu kapal-kapal berbendera Indonesia yang berlayar ke perairan teritorial negara lain untuk menghindari sanksi atau penahanan dari negara lain yang memberlakukan kepatuhan yang ketat terhadap penggunaan MFO rendah sulfur.
Secara paralel, pemerintah Indonesia juga dapat mempertimbangkan untuk menerapkan peraturan non-diskriminasi pada kapal berbendera asing dengan mengizinkan penggunaan MFO bersulfur tinggi ketika memasuki pelabuhan-pelabuhan tertentu di Indonesia yang tidak memfasilitasi MFO bersulfur rendah. Mengingat lokasi Indonesia yang strategis di antara Samudera Hindia dan Pasifik serta statusnya sebagai salah satu pasar domestik terbesar di Asia Tenggara, kapal berbendera asing memainkan peran penting dalam pelayaran dan pengangkutan barang ke Indonesia. Menerapkan perlakuan yang sama dalam penggunaan MFO rendah sulfur untuk kapal berbendera asing diharapkan dapat mencegah kerugian bagi Indonesia dan memperkuat reputasi Indonesia dalam hal keamanan maritim di antara para praktisi pelayaran global.
Disadur dari: budidjaja.law