Krisis Air

Transformasi Lingkungan Dimulai dari Rumah: Inovasi Air Hujan dan Minyak Jelantah oleh Ibu-Ibu PTPN-III Sei Mangkei

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025


Indonesia adalah negeri tropis dengan curah hujan melimpah, tetapi ironi justru terjadi saat banjir dan kekeringan datang silih berganti. Di sisi lain, minyak jelantah—produk sisa dari kegiatan dapur rumah tangga—masih banyak dibuang sembarangan ke selokan, mencemari tanah dan air. Masalahnya bukan pada ketiadaan teknologi, tapi pada rendahnya kesadaran masyarakat.

Artikel ini merefleksikan bagaimana program pengabdian kepada masyarakat di Desa Sei Mangkei, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, berhasil mengubah paradigma ibu rumah tangga tentang pentingnya mengelola air hujan dan minyak jelantah. Program ini diinisiasi oleh tim dosen dari Universitas Asahan dan Universitas Al-Azhar Medan, dengan pendekatan ceramah, pelatihan, dan praktik langsung.

Tujuan Penelitian dan Konteks Sosial

Tujuan utama kegiatan ini adalah edukasi lingkungan berbasis rumah tangga. Dua hal yang disoroti:

  1. Mengubah paradigma masyarakat tentang pemanfaatan air hujan sebagai sumber air alternatif.
  2. Mengedukasi risiko minyak jelantah dan mengajarkan teknik pengolahan menjadi produk bermanfaat, seperti sabun dan biodiesel.

Mitra kegiatan adalah Ikatan Keluarga Besar Istri (IKBI) karyawan PTPN-III Sei Mangkei, terdiri dari 25 ibu rumah tangga dengan mayoritas berusia 28–37 tahun (36%) dan tingkat pendidikan terbanyak SMA (48%).

Air Hujan: Sumber Daya yang Terbuang

Masalah Umum

Meskipun air hujan melimpah di Indonesia, justru sering kali dianggap masalah karena:

  • Tidak ditampung → menyebabkan genangan dan banjir lokal.
  • Tidak dimanfaatkan → padahal bisa digunakan untuk mandi, cuci, siram tanaman, bahkan air minum jika diolah.

Referensi dari Lestari et al. (2021) menyebutkan bahwa pemanenan air hujan (PAH) belum menjadi praktik umum padahal potensinya besar, terutama untuk kebutuhan non-potable (tidak untuk dikonsumsi langsung).

Teknologi PAH yang Diterapkan

Metode pemanenan air hujan dalam kegiatan ini menggunakan pendekatan sederhana yang bisa diaplikasikan di lingkungan rumah tangga:

  • Pipa dari talang atap → menyalurkan air hujan ke bak pertama.
  • Bak penampung awal ukuran 120×40 cm → menampung air awal dan menyaring kotoran besar.
  • Saluran filtrasi berisi pasir dan kerikil → menyaring partikel halus.
  • Bak utama ukuran 500×40 cm → menampung air jernih hingga 10–12 m³.
  • Sumur resapan ukuran 100×250 cm → menjaga keseimbangan air tanah, dilapisi ijuk dan kerikil.

➡️ Total kapasitas sistem ini mampu menampung lebih dari 10.000 liter air bersih dari satu atap rumah.

Minyak Jelantah: Limbah yang Bisa Jadi Berkah

Risiko Minyak Jelantah

Minyak goreng bekas yang digunakan berulang dapat menghasilkan senyawa karsinogenik akibat:

  • Oksidasi termal,
  • Polimerisasi suhu tinggi,
  • Autooksidasi oleh paparan udara.

Megawati & Muhartono (2019) menyebutkan bahwa penggunaan minyak lebih dari empat kali dengan suhu di atas 100°C dapat memicu terbentuknya radikal bebas pemicu kanker dan gangguan jantung.

Potensi Minyak Jelantah sebagai Produk Baru

Program ini mengenalkan ibu-ibu IKBI PTPN-III pada dua aplikasi minyak jelantah:

  1. Sabun padat (batangan):
    • Dicampur dengan KOH (kalium hidroksida),
    • Dipanaskan dan diaduk hingga membentuk pasta sabun.
  2. Biodiesel:
    • Disuling dan direaksikan dengan metanol,
    • Menghasilkan biofuel untuk kompor atau bahkan motor diesel kecil.

Menurut Suryatini & Milati (2022), potensi minyak jelantah skala rumah tangga di Indonesia mencapai 1,638 juta liter biodiesel/tahun, jika dikelola dengan baik.

Implementasi Program dan Hasil Kegiatan

Rangkaian Kegiatan

  • Ceramah dan Diskusi:
    Menjelaskan teori dasar, bahaya minyak jelantah, dan manfaat air hujan.
  • Pelatihan dan Praktik Langsung:
    Pembuatan sistem PAH dan sabun dari minyak jelantah secara kolektif.

Studi Kasus: Ibu-Ibu IKBI PTPN-III Sei Mangkei

Jumlah peserta: 25 orang
Rentang usia terbanyak: 28–37 tahun (36%)
Pendidikan terbanyak: SMA (48%)
Tingkat antusiasme: Tinggi (partisipatif aktif dalam pelatihan dan diskusi)

Analisis Kuantitatif: Perubahan Pengetahuan Sebelum dan Sesudah Kegiatan

Evaluasi dilakukan dengan menyebarkan kuesioner pada awal dan akhir kegiatan, dengan hasil sebagai berikut:

Indikator 1 – Pengetahuan tentang air hujan

  • Sebelum: 50% tidak tahu, 20% tahu
  • Sesudah: 0% tidak tahu, 80% tahu/sangat tahu

Indikator 2 – Pengetahuan tentang sistem PAH

  • Sebelum: 50% tidak tahu
  • Sesudah: 80% tahu/sangat tahu

Indikator 3 – Pengetahuan tentang minyak jelantah

  • Sebelum: 65% tidak tahu
  • Sesudah: 95% tahu/sangat tahu

➡️ Terjadi transformasi paradigma signifikan, terutama dalam hal kesadaran dampak limbah dan pemanfaatan air.

Opini dan Analisis Kritis: Apa yang Bisa Ditingkatkan?

Pendekatan Sosial Berbasis Komunitas Efektif

Kunci keberhasilan kegiatan ini bukan hanya teknologi yang sederhana, tapi juga pendekatan sosial yang tepat. Dengan menyasar kelompok ibu rumah tangga, dampak edukatifnya menyebar ke seluruh keluarga.

Desain Sistem Mudah Direplikasi

Sistem PAH berbasis pipa, pasir, dan kerikil bisa dibangun dengan biaya rendah. Ini menjadikannya cocok untuk kawasan pedesaan maupun kota pinggiran.

Tantangan Lanjutan

  • Pemeliharaan sistem PAH: Belum dijelaskan teknis perawatan filter dan bak.
  • Sertifikasi produk sabun/biodiesel: Perlu tindak lanjut bila produk ingin dijual.
  • Legalitas dan kemitraan: Perlu sinergi dengan dinas lingkungan atau UMKM agar program berkelanjutan.

Komparasi dengan Program Serupa

  • Program di Lampung Selatan (Nury et al., 2022): Fokus pada pelatihan sabun dari minyak bekas, tanpa sistem air hujan.
  • Pemanenan air hujan di Kota Serang (Wigati et al., 2022): Fokus pada PAH untuk ketahanan air saat pandemi, tapi tanpa edukasi pengolahan limbah rumah tangga.

➡️ Program di Sei Mangkei lebih holistik karena menggabungkan dua isu besar sekaligus: air bersih dan limbah dapur.

Rekomendasi Strategis dan Replikasi Program

  1. Integrasi dalam CSR perusahaan BUMN lain:
    Program ini bisa jadi model CSR berkelanjutan di sektor sawit, energi, maupun logistik.
  2. Kemitraan dengan Dinas Lingkungan Hidup dan UMKM:
    Sabun atau biodiesel dari rumah bisa jadi komoditas ekonomi baru jika diorganisasi.
  3. Kurikulum PAUD/SD/PKK:
    Ajarkan PAH dan pengelolaan jelantah sejak dini sebagai bagian dari edukasi lingkungan hidup.
  4. Platform digital monitoring:
    Aplikasi sederhana untuk mencatat volume air tertampung atau minyak terolah di setiap rumah.

Kesimpulan: Perubahan Paradigma Dimulai dari Kesadaran

Pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh Zufri Hasrudy Siregar dan timnya bukan hanya mengubah perilaku harian, tapi juga membuka mata tentang potensi besar dari sumber daya yang selama ini dianggap limbah. Air hujan bisa menggantikan air PAM dalam banyak fungsi rumah tangga. Minyak jelantah yang semula merusak, bisa menjadi sabun atau energi terbarukan.

Di tengah krisis iklim dan polusi yang semakin nyata, program seperti ini menjadi angin segar. Terbukti, perubahan tidak selalu butuh teknologi tinggi. Kadang cukup dimulai dari ember di bawah talang dan minyak di dapur yang tidak dibuang sembarangan.

Sumber Asli Artikel:

Zufri Hasrudy Siregar, Mawardi, Riana Puspita, Muhammad Fazri, Refiza, Muhammad Irwansyah, dan Simon Petrus Simorangkir. Pemanfaatan Air Hujan dan Minyak Jelantah sebagai Kepedulian Lingkungan di Ikatan Keluarga Besar Istri (IKBI) PTPN-III Desa Sei Mangkei. Vol. 3, No. 2, Juli 2023. DOI: 10.54123/deputi.v3i2.276.

Selengkapnya
Transformasi Lingkungan Dimulai dari Rumah: Inovasi Air Hujan dan Minyak Jelantah oleh Ibu-Ibu PTPN-III Sei Mangkei

Krisis Air

Efisiensi Air Hujan untuk Gedung Pemerintah: Studi Kasus Gedung Dinkes Pemalang dan Desain Tangki 800 m³

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025


Perkembangan kawasan perkotaan sering kali tidak diiringi oleh perencanaan konservasi air yang memadai. Akibatnya, kota-kota besar menghadapi dua paradoks sekaligus: banjir saat musim hujan dan kelangkaan air bersih saat musim kemarau. Gedung-gedung pemerintah pun tak lepas dari masalah ini, termasuk Gedung Dinas Kesehatan (Dinkes) Pemalang yang masih mengandalkan air PAM untuk menyiram taman dan toilet.

Dalam konteks itulah, penelitian oleh Felicia Isfandyari dan Sri Amini Yuni Astuti menjadi sangat relevan. Studi ini meneliti apakah air hujan yang selama ini terbuang bisa dijadikan sumber air alternatif yang andal untuk memenuhi kebutuhan sanitasi dan pertamanan di gedung Dinkes Pemalang.

Tujuan Penelitian: Mengoptimalkan Air Hujan untuk Kebutuhan Non-Konsumsi

Penelitian ini memiliki tiga sasaran utama:

  1. Menghitung kebutuhan air untuk toilet dan taman di Gedung Dinkes Pemalang.
  2. Menganalisis ketersediaan air hujan dari atap gedung.
  3. Mendesain sistem penampungan (tangki) air hujan yang efisien, ekonomis, dan berfungsi maksimal sepanjang tahun.

Studi Kasus: Gedung Dinas Kesehatan Pemalang

Karakteristik Lokasi

  • Terletak dekat kawasan perkampungan dan jalan raya.
  • Minim drainase, sehingga air hujan kerap melimpas ke jalan dan menimbulkan genangan.
  • Seluruh air untuk toilet dan taman masih menggunakan air PAM (berbayar).

Potensi yang Belum Dimanfaatkan

  • Luas atap: 2.220 m²
  • Luas taman: 800 m²
  • Jumlah pegawai: 131 orang
  • Jumlah toilet: 21 unit
  • Rata-rata curah hujan tahunan (2012–2016): 2.034,2 mm/tahun

➡️ Dari data ini terlihat bahwa gedung memiliki luas atap dan frekuensi hujan yang ideal untuk pemanenan air hujan.

Metodologi: Dari Pengukuran Lapangan ke Simulasi Neraca Air

Studi ini menggunakan data primer (pengukuran lapangan) dan data sekunder (curah hujan dari Stasiun Banjardawa, ±5,5 km dari lokasi studi). Analisis dilakukan menggunakan:

  • Perhitungan kebutuhan air berdasarkan SNI dan referensi Wardhana (1999),
  • Hujan andalan dengan probabilitas 80%,
  • Koefisien runoff atap 0,95,
  • Neraca air bulanan (input-output),
  • Desain dimensi tangki berbasis kebutuhan maksimum saat musim kemarau.

Hasil Utama: Volume, Kebutuhan, dan Desain Tangki

1. Kebutuhan Air Toilet dan Taman

Mengacu pada data jumlah pegawai (131 orang) dan asumsi 10% tamu tambahan, serta kebutuhan air per hari:

  • Toilet: 20 liter/orang/hari
  • Taman: 2 liter/m²/hari

➡️ Kebutuhan maksimum: 156,054 m³/bulan atau ±5.202 liter/hari

2. Ketersediaan Air Hujan

Dengan luas atap 2.220 m², koefisien runoff 0,95, dan hujan andalan bulanan tertinggi 221 mm (probabilitas 80%), maka:

  • Volume air hujan maksimum: 466,089 m³/bulan

➡️ Artinya, air hujan mampu mencukupi kebutuhan air toilet dan taman hingga 3 kali lipat pada bulan-bulan basah.

3. Volume dan Desain Tangki Penampungan

  • Jumlah hari kering (musim kemarau): 153 hari (Juni–Oktober)
  • Volume tangki yang dibutuhkan untuk menjamin pasokan selama kemarau:

V = (177 × 153 × 20)/1000 + (800 × 153 × 2)/1000 = 786,42 m³
(dibulatkan ke 800 m³)

  • Desain tangki:
    • Bahan: Ferrocement (concrete tank)
    • Lokasi: Di bawah tanah
    • Dimensi: 20 m (panjang) × 10 m (lebar) × 4 m (tinggi)

Analisis Neraca Air Bulanan

Peneliti menyusun neraca air selama satu tahun, membandingkan input (curah hujan) dengan output (kebutuhan toilet dan taman). Hasilnya:

  • Semua bulan menunjukkan kelebihan pasokan air (surplus).
  • Selama musim hujan, air hujan melimpah dan bahkan bisa digunakan untuk cadangan.
  • Kapasitas tangki 800 m³ cukup untuk menjembatani kebutuhan selama musim kemarau, dengan cadangan tersimpan dari bulan-bulan basah.

Kelebihan Sistem Pemanenan Air Hujan (PAH)

Berdasarkan hasil penelitian dan tinjauan pustaka, PAH di Gedung Dinkes Pemalang berpotensi memberikan manfaat besar:

1. Efisiensi Biaya Operasional

Dengan menggunakan air hujan untuk kebutuhan toilet dan taman, pengeluaran air dari PAM bisa ditekan secara signifikan.

2. Pencegahan Genangan dan Banjir Lokal

Tangki bawah tanah tidak hanya menyimpan air, tapi juga mengurangi limpasan ke jalan yang selama ini menyebabkan genangan saat hujan deras.

3. Konservasi Air Tanah

Dengan memanfaatkan air hujan, eksploitasi air tanah dapat dikurangi, memperpanjang umur sumur-sumur dangkal di area sekitarnya.

Opini Tambahan: Apa yang Bisa Ditingkatkan?

Meskipun penelitian ini sangat aplikatif dan relevan, ada beberapa peluang pengembangan:

  • Integrasi Sistem Filterisasi dan Pemanfaatan untuk Konsumsi: Jika ditambah sistem penyaringan, air hujan juga bisa digunakan untuk cuci tangan, wudhu, dan bahkan air minum darurat.
  • Penerapan Panel Surya untuk Pompa Tangki: Memperkuat aspek keberlanjutan energi dalam sistem.
  • Duplikasi ke Gedung Pemerintah Lain: Hasil desain dan simulasi ini bisa dijadikan standar untuk gedung-gedung pemerintah lain di wilayah tropis.

Studi Komparatif: Bagaimana Penelitian Ini Dibandingkan?

  • Tri Yayuk Susana (2012): Menemukan efisiensi 65,41% dalam penyediaan air taman dengan sistem PAH 300.000 L di Bank Indonesia.
  • Ahmad Zaki (2008): Menganalisis PAH di FMIPA UI, menunjukkan bahwa 1.988 m³ air hujan bisa ditampung dan digunakan untuk kebutuhan toilet kampus.
  • Penelitian Ini: Lebih lengkap karena menyertakan desain neraca air tahunan dan mempertimbangkan musim kemarau, serta didukung desain tangki konkret yang terukur.

➡️ Artinya, studi ini unggul dalam memberikan hasil praktis yang bisa langsung diadopsi.

Rekomendasi Kebijakan dan Praktik

Bagi pemerintah daerah dan instansi teknis, hasil riset ini bisa dijadikan acuan untuk:

  • Mewajibkan PAH di setiap pembangunan gedung pemerintah baru.
  • Memberikan insentif untuk gedung lama yang menambahkan sistem PAH.
  • Mengintegrasikan PAH dalam program konservasi air perkotaan dan pengurangan banjir.

Kesimpulan: Langit Sebagai Sumber Daya Terabaikan

Penelitian oleh Isfandyari dan Astuti membuktikan bahwa air hujan bukan sekadar air yang jatuh dari langit, melainkan potensi besar yang selama ini diabaikan. Dengan desain tangki 800 m³ dan neraca air yang matang, gedung Dinas Kesehatan Pemalang bisa menjadi role model konservasi air skala mikro di sektor publik.

Ketika sebagian kota berjuang membeli air tangki atau memperdalam sumur bor, PAH menawarkan solusi cerdas, murah, dan berkelanjutan. Dan dalam era krisis air global, ini bukan hanya inovasi teknis—melainkan juga revolusi mental terhadap cara kita memperlakukan air.

Sumber Asli Artikel:

Isfandyari, F., & Astuti, S. A. Y. (2024). Analisis Pemanfaatan Air Hujan untuk Kebutuhan Pertamanan dan Toilet Gedung Dinas Kesehatan Pemalang. Universitas Islam Indonesia.

Selengkapnya
Efisiensi Air Hujan untuk Gedung Pemerintah: Studi Kasus Gedung Dinkes Pemalang dan Desain Tangki 800 m³

Krisis Air

Rainwater Harvesting untuk Daerah Pesisir: Solusi Cerdas Atasi Krisis Air Minum

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025


Air bersih menjadi kebutuhan pokok bagi semua manusia, tetapi akses terhadap air minum yang layak masih menjadi tantangan besar di daerah pesisir. Kota Bandar Lampung—seperti banyak kota pesisir lainnya—menghadapi krisis air bersih akibat intrusi air laut, pencemaran industri, dan minimnya jaringan air perpipaan.

Menariknya, hujan yang turun nyaris sepanjang tahun di kota ini belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal, air hujan adalah sumber air alami yang melimpah dan gratis. Penelitian oleh Rahmayanti & Soewondo (2015) mencoba menjawab pertanyaan penting: Apakah air hujan bisa dijadikan sumber air minum yang layak di kawasan pesisir?

Tujuan dan Fokus Penelitian

Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas dan kuantitas air hujan yang dipanen dari atap rumah di dua kelurahan pesisir Kota Bandar Lampung: Karang Maritim dan Tanjung Raya. Penelitian ini juga membandingkan tiga jenis bahan atap rumah (genting tanah liat, asbes, dan seng) serta pengaruh waktu panen terhadap kualitas air.

Metodologi yang digunakan mencakup:

  • Pengujian laboratorium kualitas air
  • Simulasi keandalan tangki air hujan
  • Survey sosial ekonomi masyarakat
  • Pembuatan purwarupa sistem panen air hujan (PAH)

Hasil Penelitian: Fakta Lapangan yang Mengejutkan

1. Kualitas Air Hujan Dipengaruhi Waktu Panen dan Jenis Atap

Penelitian menemukan bahwa kualitas air hujan sangat bergantung pada:

  • Waktu panen: Hujan pertama lebih bersih dibanding hujan kedua karena partikel polutan belum sempat tercuci dari atap.
  • Jenis atap: Genting tanah liat adalah bahan atap terbaik karena menghasilkan air paling sedikit yang melanggar standar kualitas air minum.

Sebagai contoh:

  • Konsentrasi kadmium (Cd): meningkat dari 0,0123 mg/L pada hujan pertama menjadi 0,0204 mg/L pada hujan kedua.
  • Konsentrasi seng (Zn): mencapai 4,7669 mg/L pada atap seng—jauh melampaui batas aman 3 mg/L menurut Permenkes No. 492/2010.

Artinya, atap seng dan asbes cenderung melepas kontaminan logam berat ke dalam air panen.

2. Lokasi Perumahan vs. Lokasi Industri: Siapa Lebih Bersih?

Fakta menarik: kualitas air hujan dari lokasi industri ternyata lebih baik dibanding dari kawasan perumahan.

Mengapa bisa begitu?

Lokasi industri berada lebih dekat dengan laut dan berperan sebagai sumber penguapan. Uap terkontaminasi dari laut kemudian terbawa angin ke daerah perumahan yang berada lebih tinggi. Hasilnya, air hujan yang jatuh di perumahan mengandung konsentrasi logam berat lebih tinggi.

Sebagai contoh:

  • Konsentrasi mangan (Mn) di perumahan: 10,6256 mg/L vs. 0,8976 mg/L di industri.
  • Konsentrasi seng (Zn): 3,7031 mg/L di perumahan vs. 4,7669 mg/L di industri.

3. Tingkat Keandalan Air Hujan sebagai Sumber Minum

Melalui simulasi tangki 1 m³ dan data curah hujan 3 tahun (2007–2009), penelitian menemukan bahwa air hujan cukup reliable untuk menjadi sumber air minum, dengan catatan jumlah konsumsi air dan anggota keluarga diperhitungkan.

Keandalan (reliability) sistem dihitung sebagai persentase hari di mana tangki tidak kosong, dengan hasil:

  • 91,97% jika konsumsi air 5,4 L/orang/hari (hasil kuisioner)
  • 79,84% jika konsumsi 10 L/orang/hari (standar nasional)
  • 45,80% jika digunakan untuk keperluan lebih luas (30 L/orang/hari)

Artinya, untuk kebutuhan dasar seperti air minum, sistem PAH memiliki tingkat keandalan yang sangat tinggi.

Studi Kasus: Suara Warga Karang Maritim dan Tanjung Raya

Penelitian juga menggali persepsi masyarakat terhadap penggunaan air hujan sebagai air minum melalui survey sosial ekonomi pada 99 responden.

Hasilnya cukup mengejutkan:

  • Karang Maritim: hanya 24,07% warga bersedia menggunakan air hujan untuk minum.
  • Tanjung Raya: hanya 22,22% yang bersedia.

Alasan penolakan:

  • Lebih praktis membeli air galon atau dari pedagang keliling.
  • Kurangnya informasi tentang keamanan air hujan.
  • Anggapan bahwa PAH tidak umum dilakukan, terutama di dekat kota.

➡️ Ini menunjukkan bahwa edukasi publik menjadi kunci dalam implementasi teknologi ramah lingkungan seperti PAH.

Opini dan Analisis Tambahan

1. Air Hujan = Solusi Masa Depan Daerah Pesisir

Dalam konteks urbanisasi dan perubahan iklim, pemanenan air hujan bukan lagi opsi alternatif, tapi kebutuhan. Banyak kota pesisir menghadapi:

  • Intrusi air laut yang mencemari sumur bor
  • PDAM yang belum menjangkau daerah pinggiran
  • Kenaikan harga air kemasan

Dengan keandalan >90% untuk kebutuhan minum dasar, PAH bisa mengurangi ketergantungan pada air berbayar dan mendukung ketahanan air lokal.

2. Perbandingan dengan Studi Internasional

Beberapa studi global yang relevan:

  • Mendez et al. (2011) di Texas menunjukkan kualitas air hujan sangat dipengaruhi oleh bahan atap—temuan yang identik dengan penelitian ini.
  • Kahinda et al. (2010) di Afrika Selatan merekomendasikan PAH sebagai solusi adaptif terhadap perubahan iklim di komunitas miskin.

Dengan demikian, temuan dari Bandar Lampung memperkuat konsensus global bahwa PAH adalah teknologi tepat guna untuk wilayah tropis dan pesisir.

3. Isu yang Harus Diatasi untuk Implementasi Lebih Luas

  • Standar nasional belum mengatur desain teknis PAH untuk air minum.
  • Edukasi masyarakat masih sangat rendah.
  • Kurangnya insentif atau subsidi untuk instalasi sistem PAH di rumah.

Tanpa kebijakan pendukung, potensi PAH akan tetap tertahan di tingkat eksperimen akademik.

Rekomendasi untuk Pemerintah dan Praktisi

  1. Sosialisasi publik melalui sekolah, posyandu, dan media lokal mengenai manfaat dan cara aman menggunakan air hujan.
  2. Subsidi atap genting dan tangki air bagi warga pesisir sebagai bagian dari program air bersih.
  3. Sertifikasi PAH sebagai bagian dari proyek sanitasi berbasis masyarakat.
  4. Kolaborasi PDAM dengan komunitas PAH untuk distribusi air aman.

Kesimpulan: Waktunya Mengoptimalkan Air dari Langit

Penelitian Rahmayanti & Soewondo membuktikan bahwa air hujan adalah sumber air minum yang layak dan andal, bahkan di wilayah pesisir yang padat dan dekat dengan industri. Dengan pemilihan atap yang tepat (genting), waktu panen yang benar (hindari hujan kedua), serta pengelolaan sistem penyimpanan yang sesuai, air hujan dapat memenuhi 91,97% kebutuhan minum selama musim hujan.

Namun, potensi teknis ini tidak akan berarti jika masyarakat tetap skeptis dan pemerintah tidak mendukung. Saatnya mengubah paradigma—dari hanya mengandalkan air kemasan dan sumur bor menuju ketahanan air berbasis langit.

Sumber Asli Artikel:

Rahmayanti, A. E., & Soewondo, P. (2015). Penyediaan Air Minum di Daerah Pesisir Kota Bandar Lampung Melalui Rainwater Harvesting. Jurnal Teknik Lingkungan, Volume 21 Nomor 2, Oktober 2015, Halaman 115–126.

Selengkapnya
Rainwater Harvesting untuk Daerah Pesisir: Solusi Cerdas Atasi Krisis Air Minum

Krisis Air

Air Hujan untuk Kampus Hijau: Solusi Berkelanjutan di Tengah Krisis Air Kota

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025


Kota Pontianak dikenal dengan julukan “Kota Khatulistiwa” karena letaknya tepat di garis ekuator. Kota ini juga terkenal dengan curah hujannya yang tinggi—lebih dari 3.000 mm per tahun. Namun ironisnya, pasokan air bersih masih menjadi masalah yang belum tuntas. Menurut data BPS 2024, layanan PDAM baru menjangkau sekitar 63,54% rumah tangga di Pontianak.

Situasi ini juga berdampak pada institusi pendidikan seperti Universitas Panca Bhakti, yang kerap menghadapi kendala air bersih untuk operasional sehari-hari. Dalam konteks inilah, penelitian Gunawan dkk. menjadi sangat relevan: bisakah air hujan yang melimpah dijadikan sumber air bersih yang andal di lingkungan kampus?

Tujuan dan Metodologi Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keandalan dan volume air hujan yang dapat ditampung dari atap bangunan di lingkungan Universitas Panca Bhakti. Fokusnya adalah menilai sejauh mana air hujan bisa menggantikan atau melengkapi kebutuhan air PDAM, khususnya untuk kegiatan non-konsumsi seperti flushing toilet, mencuci, atau penyiraman taman.

Penelitian dilakukan secara kuantitatif dengan:

  • Pengukuran luas atap seluruh gedung kampus (data primer),
  • Pengumpulan data curah hujan dari BPS Kota Pontianak,
  • Simulasi volume air hujan yang dapat ditampung,
  • Analisis efisiensi penampungan dan tingkat pemenuhan kebutuhan air.

Hasil Utama: Volume vs. Kebutuhan Air

1. Luasan Atap Kampus

Penelitian mencatat total luas atap dari enam bangunan utama kampus:

  • Fakultas Teknik: 87,34 m²
  • Fakultas Pertanian: 362,37 m²
  • Gedung CC: 727,84 m²
  • Rektorat Baru: 155,79 m²
  • Rektorat Lama: 86,86 m²
  • Fakultas Ekonomi: 88,79 m²

➡️ Total luas atap: 1.508,99 m²

2. Curah Hujan Rata-Rata

  • Rata-rata curah hujan bulanan: 233,75 mm
  • Rata-rata hari hujan per bulan: 16 hari

3. Volume Air Hujan yang Dapat Ditampung

Dengan efisiensi penampungan sebesar 80% (mengacu pada kehilangan akibat penguapan dan limpasan), volume air hujan yang dapat dimanfaatkan dihitung sebagai berikut:

Volume = Curah hujan x Luas atap x Koefisien efisiensi
= 233,75 mm x 1.508,99 m² x 0,8
= 282.181,13 liter/bulan atau 11.757 liter/hari

4. Kebutuhan Air Kampus

Mengacu pada penelitian terdahulu, konsumsi harian air bersih di kampus diperkirakan sebesar:

69.926 liter/hari

5. Keandalan Sistem

Dari simulasi tersebut, air hujan hanya mampu memenuhi sekitar:

16,814% dari total kebutuhan air harian kampus

Meskipun jauh dari cukup untuk kebutuhan total, volume ini sangat signifikan jika difokuskan untuk kebutuhan non-potable (tidak perlu standar air minum), seperti mencuci lantai, irigasi taman, atau toilet.

Analisis Kontekstual: Apa Artinya Angka Ini?

A. Bukan Pengganti Total, Tapi Pendukung Strategis

Air hujan tidak bisa diandalkan sebagai satu-satunya sumber air bersih, tetapi dapat mengurangi ketergantungan terhadap PDAM. Dengan efisiensi 16,8%, penghematan tagihan air bulanan kampus bisa mencapai jutaan rupiah, tergantung pada tarif PDAM dan volume penggunaan.

B. Mengurangi Dampak Lingkungan

Penggunaan air hujan untuk keperluan kampus juga mengurangi:

  • Limpasan permukaan (runoff) yang bisa menyebabkan banjir lokal,
  • Eksploitasi air tanah yang dapat memicu penurunan muka air,
  • Emisi karbon dari pengolahan air PDAM (karena pompa dan distribusi).

Studi Kasus: Kampus Tropis, Solusi Tropis

Universitas Panca Bhakti bukanlah satu-satunya kampus di kawasan tropis yang berpotensi mengandalkan air hujan. Beberapa studi internasional juga menunjukkan tren serupa:

  • Universitas Nasional Singapura (NUS): Menggunakan sistem PAH untuk irigasi lanskap dan toilet umum.
  • Universitas Diponegoro (UNDIP), Semarang: Sudah mulai menerapkan sistem serupa di beberapa gedung.
  • Bangladesh University of Engineering and Technology (BUET): Memanfaatkan air hujan selama musim monsun untuk cadangan musim kemarau.

Kunci dari keberhasilan implementasi adalah adanya desain sistem yang terstandarisasi dan pemeliharaan berkala agar kualitas air tetap aman.

Opini dan Kritik: Mengapa Penelitian Ini Penting?

Memberikan Data Kuantitatif Lokal

Studi ini penting karena menyediakan angka konkret dari lapangan—bukan asumsi teoritis. Banyak kampus atau sekolah di daerah tropis menghadapi masalah serupa, tetapi belum punya baseline data untuk merancang sistem PAH.

Menunjukkan Keuntungan Ekonomi dan Ekologis

Dampak ekonomi (penghematan tagihan) dan ekologis (konservasi air tanah, pengurangan banjir) menjadi argumen kuat bagi pihak manajemen kampus maupun pembuat kebijakan daerah.

Perluasan ke Skala Komunitas

Meskipun studi ini terbatas pada kampus, pendekatannya bisa dengan mudah direplikasi untuk:

  • Rumah tangga perkotaan,
  • Pesantren atau asrama sekolah,
  • Kantor pemerintahan dan tempat ibadah.

Rekomendasi Implementatif

Agar sistem pemanenan air hujan bisa diterapkan secara luas dan efektif, berikut beberapa rekomendasi:

1. Integrasi dengan Sistem Plumbing Gedung

Desain ulang jaringan pipa untuk memisahkan air hujan (non-potable) dan air PDAM (potable).

2. Penggunaan Filter dan Desinfeksi Sederhana

Meski air digunakan untuk kegiatan non-minum, penyaringan dasar tetap diperlukan untuk menjaga kebersihan dan mencegah penyumbatan saluran.

3. Edukasi dan Sosialisasi Warga Kampus

Diperlukan kampanye penggunaan air hemat dan pemahaman tentang manfaat air hujan.

4. Standardisasi dan Regulasi

Pemerintah daerah bisa mengeluarkan peraturan atau insentif untuk mendorong pembangunan gedung baru dengan sistem PAH terintegrasi.

Potensi Jangka Panjang

Jika kampus seperti Universitas Panca Bhakti bisa menjadi percontohan nasional, maka konsep ini bisa meluas ke kawasan urban lainnya. Bayangkan jika semua sekolah dan kampus di Pontianak memiliki tangki air hujan sendiri. Penghematan air dan pengurangan banjir lokal bisa menjadi dampak nyata yang sangat terasa.

Kesimpulan: Dari Langit ke Keran, Solusi Lokal yang Global

Air hujan adalah berkah tropis yang belum dimaksimalkan. Penelitian oleh Ivan Andri Gunawan dan timnya membuktikan bahwa meskipun tidak mampu memenuhi 100% kebutuhan air bersih kampus, sistem PAH tetap menjadi solusi cerdas—murah, ramah lingkungan, dan aplikatif.

Dalam dunia yang makin terdampak perubahan iklim dan krisis air, pemanfaatan air hujan bukan sekadar opsi teknis, tapi juga keputusan etis. Saatnya lebih banyak institusi pendidikan, pemerintah daerah, dan komunitas lokal menoleh ke langit sebagai solusi air bersih masa depan.

Sumber Asli Artikel:

Gunawan, I. A., Widodo, M. L., & Anggraini, I. M. (2024). Studi Keandalan Potensi Pemanfaatan Air Hujan sebagai Sumber Air Bersih di Lingkungan Universitas Panca Bhakti, Kota Pontianak. E-Journal Teknologi Infrastruktur, Volume 3, Nomor 1, Juni 2024.

Selengkapnya
Air Hujan untuk Kampus Hijau: Solusi Berkelanjutan di Tengah Krisis Air Kota

Kopi Organik

Rahasia Agroforestri Kopi Organik: Harmoni Air antara Kopi dan Pohon Penaung

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025


Kopi Arabika merupakan tanaman unggulan yang menyumbang sekitar 60% produksi kopi global. Namun, perubahan iklim, musim kemarau yang makin panjang, dan degradasi lahan menjadi tantangan besar bagi keberlanjutan produksi kopi, terutama di daerah tropis. Sistem agroforestri—di mana kopi ditanam di bawah naungan pohon—telah diakui memberikan berbagai manfaat: meningkatkan keanekaragaman hayati, menjaga kelembapan tanah, hingga menstabilkan produksi saat musim ekstrem.

Namun, muncul pertanyaan besar: apakah pohon penaung justru bersaing dengan kopi dalam menyerap air tanah selama musim kemarau? Atau sebaliknya, apakah ada bentuk kerja sama di bawah tanah yang memungkinkan keduanya berbagi air tanpa konflik?

Studi terbaru oleh Muñoz-Villers dkk. (2025) memberikan jawaban ilmiah yang menarik atas pertanyaan ini dengan menganalisis secara detail pengambilan air bawah tanah oleh berbagai varietas dan umur tanaman kopi Arabika serta lima spesies pohon penaung di perkebunan kopi organik di Veracruz, Meksiko.

Latar Belakang Penelitian: Apa yang Belum Kita Ketahui?

Sebelum studi ini, sebagian besar riset hanya berfokus pada sistem kopi intensif dan konvensional. Bahkan, hampir tidak ada data yang membahas sistem kopi organik tua (>80 tahun) yang dikelola secara berkelanjutan. Lebih jauh, studi sebelumnya hanya mengukur proporsi pengambilan air tanpa menghitung volume aktual air yang digunakan setiap tanaman.

Penelitian ini menjembatani kesenjangan itu dengan menggabungkan:

  • Model isotop stabil berbasis Bayesian (MixSIAR),
  • Pengukuran mikrometeorologi,
  • Analisis konduktansi stomata (indikator stres air tanaman),
  • Dan pengukuran langsung sifat hidrolik akar dan daun.

Studi Kasus: Kebun Kopi Organik "La Orduña", Veracruz

Studi dilakukan di kebun kopi organik seluas 100 hektar bernama “La Orduña”, terletak di dataran tinggi (1210 m dpl) dengan curah hujan tahunan rata-rata 1407 mm. Sistem tanamnya merupakan agroforestri tradisional dengan berbagai spesies pohon penaung seperti:

  • Inga spp. (pohon legum lokal),
  • Alchornea latifolia,
  • Enterolobium cyclocarpum,
  • Eriobotrya japonica, dan lainnya.

Tanaman kopi yang diteliti meliputi:

  • Typica 20 tahun (varietas klasik),
  • Typica 80 tahun yang diremajakan, dan
  • Costa Rica 95 (CR95) — varietas tahan karat daun berusia 5 tahun.

Metode: Bagaimana Air Bawah Tanah Dianalisis?

Teknologi Isotop Stabil dan Model Bayesian

Peneliti menggunakan isotop stabil δ²H dan δ¹⁸O dari air xilem tanaman dan berbagai kedalaman tanah (0–120 cm) serta air tanah. Data dimasukkan ke dalam MixSIAR (Mixing Model) untuk menghitung proporsi dan volume aktual air yang diserap dari setiap lapisan tanah.

Pengukuran Transpirasi

Transpirasi dari kopi dan pohon penaung dihitung dengan metode eddy covariance dan permukaan konduktansi stomata. Rata-rata transpirasi harian selama musim kemarau adalah:

  • Kopi: 0.22–0.57 mm/hari,
  • Pohon penaung: 2.54–3.40 mm/hari.

Simulasi Kompetisi Air

Potensi persaingan diukur dengan membandingkan nilai konduktansi stomata aktual dan model, terutama pada periode kering April–Mei 2019.

Hasil Penting: Ada Harmoni, Bukan Kompetisi

1. Sumber Air Utama: Kedalaman Menentukan

  • Tanaman kopi 44–72% airnya berasal dari tanah permukaan (<5 cm), konsisten antar varietas dan usia.
  • Pohon penaung 45–79% airnya berasal dari tanah dalam (60–120 cm), tergantung spesies.
  • Air tanah (groundwater) berperan besar untuk pohon besar seperti Enterolobium dan Alchornea.

➡️ Artinya: Sistem akar kopi dan pohon penaung cenderung tidak saling berebut air karena eksploitasi kedalaman berbeda (komplementaritas vertikal).

2. Pengaruh Usia Tanaman

  • Kopi Typica 80 tahun menunjukkan ketahanan lebih tinggi terhadap kekeringan dibanding varietas muda.
  • CR95 (5 tahun) lebih sensitif terhadap kekeringan, dengan penurunan konduktansi stomata saat curah hujan rendah.

➡️ Umur dan sistem akar berpengaruh terhadap efisiensi pengambilan air.

3. Pengaruh Spesies Pohon Penaung

  • Eriobotrya japonica lebih banyak mengambil air dari lapisan atas tanah dibanding Inga atau Enterolobium.
  • Pemilihan spesies pohon penaung dapat meminimalkan persaingan air bawah tanah.

Peran Embun (Dew) yang Tak Disangka

Penelitian ini menemukan bahwa embun yang mengendap di permukaan tanah pada malam hari menjadi salah satu sumber air penting bagi kopi, terutama pada lapisan <5 cm.

  • Kontribusi embun diperkirakan mencapai >20% dari total air yang diambil oleh kopi di musim kemarau.
  • Hal ini sangat relevan untuk sistem pertanian organik yang melarang irigasi buatan atau herbisida.

➡️ Embun adalah air "gratis" yang bisa dimanfaatkan oleh sistem agroforestri yang memiliki tutupan vegetasi tinggi.

Analisis Tambahan: Data Angka Menarik

  • Rata-rata curah hujan musim kemarau: 290 mm (di bawah rata-rata 350 mm).
  • Tinggi pohon penaung: 8–20 meter.
  • Jumlah kopi per hektar: ±3330 batang.
  • Transpirasi total kopi vs pohon: Kopi menyumbang hanya 16–23% dari total evapotranspirasi.

Nilai Tambah Penelitian Ini

✔️ Menjawab pertanyaan klasik: Kompetisi atau komplementaritas?

✔️ Menyediakan data nyata dari sistem organik yang kompleks, bukan eksperimen laboratorium.

✔️ Memberikan dasar ilmiah untuk pemilihan spesies penaung dalam sistem agroforestri.

✔️ Menunjukkan pentingnya mempertahankan tanaman tua dan membiarkan pertumbuhan vegetasi tanah.

Opini Kritis dan Relevansi Global

Studi ini menjadi pionir dalam membuktikan bahwa sistem agroforestri organik tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga fungsional dari sisi hidrologi. Dalam konteks perubahan iklim dan kekeringan yang meningkat di banyak daerah penghasil kopi—termasuk di Indonesia, Ethiopia, dan Brasil—pemahaman tentang bagaimana tanaman berbagi air sangat penting.

Berbeda dari sistem intensif yang mendorong pemangkasan pohon penaung, hasil studi ini mendukung pemeliharaan pohon-pohon besar dengan akar dalam yang justru membantu menghindari kompetisi air dengan kopi.

Rekomendasi Praktis bagi Petani dan Pembuat Kebijakan

  1. Pilih pohon penaung yang berakar dalam dan tidak agresif secara horizontal.
  2. Pertahankan keragaman umur dan varietas kopi untuk resilien terhadap kekeringan.
  3. Jaga lapisan vegetasi tanah untuk mempertahankan embun dan kelembapan.
  4. Gunakan pendekatan pemantauan isotop untuk mendesain ulang sistem agroforestri lokal.
  5. Dukung riset jangka panjang di perkebunan kopi tropis organik.

Kesimpulan: Sinergi di Bawah Tanah adalah Kunci Keberlanjutan

Melalui kombinasi data isotop, fisiologi tanaman, dan mikrometeorologi, studi ini menunjukkan bahwa kopi dan pohon penaung dapat hidup harmonis, bukan saling berebut sumber daya. Justru dengan manajemen yang tepat, mereka dapat saling mendukung dalam menghadapi musim kemarau dan perubahan iklim.

Agroforestri kopi organik bukan hanya pilihan etis atau ekonomi, tetapi solusi ilmiah berbasis ekosistem yang nyata.

Sumber Asli Artikel:

Muñoz-Villers, L.E., Holwerda, F., Alvarado-Barrientos, M.S., Geris, J., & Dawson, T.E. Examining the Complementarity in Belowground Water Use Between Different Varieties and Ages of Arabica Coffee Plants and Dominant Shade Tree Species in an Organic Agroecosystem. Agricultural Water Management, Vol. 307, 2025, 109248.

Selengkapnya
Rahasia Agroforestri Kopi Organik: Harmoni Air antara Kopi dan Pohon Penaung

Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Air Bersih

Dipublikasikan oleh Admin pada 03 Juni 2025


Saat ini, topik menjaga ketersediaan air bersih dan aman di Indonesia semakin mengemuka di tengah perubahan iklim global. Kelompok Keahlian Teknik Penyehatan dan Air Limbah, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan menyelenggarakan webinar bertajuk "Urgensi Menjaga Ketersediaan Air Bersih dan Aman di Indonesia". Prof. Suprihanto PhD dan Ir. Yuniati, PhD, diundang sebagai pembicara kunci serta Rofiq, PhD sebagai moderator.

Pada sesi pertama, Prof. Suprihanto memaparkan kondisi dan tantangan air bersih dan aman di Indonesia. Beliau mengungkapkan bahwa berdasarkan data dari WHO, 19% populasi dunia memiliki sumber air yang tidak aman. Selain itu, 829.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat diare karena air yang tidak aman dan sanitasi yang buruk. Berdasarkan data dari Bappenas tahun 2018, aksesibilitas air minum aman di Indonesia adalah 87,75%.

"Penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara pasokan air minum dan daya saing bangsa. Kurangnya sumber air minum menyebabkan daya saing yang rendah. Banyak orang menghabiskan uangnya untuk berobat dan membeli air. Masyarakat yang sakit memiliki produktivitas yang rendah," ujarnya pada Kamis, 30 Juli 2020.

Di Indonesia, produsen utama air bersih adalah Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dengan kapasitas produksi saat ini sebesar 153.881 L/detik. Jumlah tersebut mencakup sekitar 19-20% dari kebutuhan dasar masyarakat Indonesia dengan efisiensi produksi sebesar 72,97% dan kebocoran sebesar 32,57%.

Sumber: www.itb.ac.id

Potensi sumber daya air di Indonesia masih relatif melimpah. Di Pulau Jawa sendiri, jika pemerintah memaksimalkan penggunaan sumber daya air alternatif secara memadai, bahkan dapat memenuhi kebutuhan domestik dan industri. Namun, pemenuhan air irigasi cukup menantang karena membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Prof. Suprihanto menjelaskan bahwa Indonesia juga menghadapi masalah kualitas air permukaan, "Sekitar 52% dari sungai-sungai kita tercemar berat. Hal ini memberikan tantangan kepada kita untuk menyediakan teknologi pengolahan air yang canggih. Oleh karena itu, air tanah sebagai sumber air baku tentunya diperlukan dengan tetap menjaga kelestarian air tanah itu sendiri. Hal ini dikarenakan air tanah merupakan reservoir alami dan relatif bebas dibandingkan dengan reservoir buatan," jelasnya.

Pada sesi kedua, Yuniati menjelaskan bagaimana meningkatkan akses air minum yang aman dan layak di Indonesia. Pemerintah sendiri telah menjadikan pengelolaan air tanah, air baku yang berkelanjutan dan penyediaan akses air minum, serta sanitasi yang layak dan aman menjadi prioritas nasional. Pemerintah menetapkan target untuk menyediakan sekitar 100% air minum yang aman, 15% air minum yang layak, dan 30% air minum perpipaan.

"Untuk mencapai target tersebut pada tahun 2024, pemerintah melaksanakan program penyaluran air bersih ke 10 juta rumah. Selain itu, pemerintah akan mengeluarkan dana sebesar Rp 77,9 triliun dari total kebutuhan Rp 123,5 triliun dari APBN. Sayangnya, dengan kondisi darurat pandemi COVID-19 saat ini, terjadi pengurangan dana APBN hingga Rp35 triliun. Cara lain untuk memenuhi kesenjangan pendanaan tersebut adalah dengan mengoptimalkan dana APBD, termasuk dana desa," katanya.

Kondisi pandemi COVID-19 juga berdampak pada peningkatan penggunaan air rumah tangga. Yuniati mengatakan bahwa terjadi peningkatan penggunaan air di Bandung dan Cimahi dari bulan April hingga Juni. Hal ini ditunjukkan dengan rata-rata penggunaan air domestik sebesar 163 L/orang/hari, lebih tinggi dari standar Indonesia (120 L/orang/hari). Peningkatan penggunaan air ini disebabkan oleh meningkatnya aktivitas di rumah.

Sumber: www.itb.ac.id

Saat ini, sekitar 46% masyarakat Indonesia menggunakan air tanah sebagai sumber air bersih. Namun, ada sebuah survei yang memeriksa kandungan Fe, Mn, COD, TDS dan E-Coli di 10 lokasi di Jakarta. Hasilnya ditunjukkan pada gambar di bawah ini. Gambar tersebut menunjukkan bahwa semakin gelap warnanya, semakin tinggi potensi pencemarannya. "Perlu adanya kolaborasi antara perguruan tinggi dan industri untuk mengembangkan teknologi penyediaan air minum skala komunal," ujarnya.

Selain teknologi, perubahan perilaku masyarakat juga sangat penting. "Kita harus mengedukasi generasi muda kita, seperti siswa TK dan SD untuk sadar dan menghemat air," jelas Yuniati.

Disadur dari: www.itb.ac.id

 

Selengkapnya
Air Bersih
« First Previous page 93 of 1.107 Next Last »