Krisis Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025
Indonesia adalah negeri tropis dengan curah hujan melimpah, tetapi ironi justru terjadi saat banjir dan kekeringan datang silih berganti. Di sisi lain, minyak jelantah—produk sisa dari kegiatan dapur rumah tangga—masih banyak dibuang sembarangan ke selokan, mencemari tanah dan air. Masalahnya bukan pada ketiadaan teknologi, tapi pada rendahnya kesadaran masyarakat.
Artikel ini merefleksikan bagaimana program pengabdian kepada masyarakat di Desa Sei Mangkei, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, berhasil mengubah paradigma ibu rumah tangga tentang pentingnya mengelola air hujan dan minyak jelantah. Program ini diinisiasi oleh tim dosen dari Universitas Asahan dan Universitas Al-Azhar Medan, dengan pendekatan ceramah, pelatihan, dan praktik langsung.
Tujuan Penelitian dan Konteks Sosial
Tujuan utama kegiatan ini adalah edukasi lingkungan berbasis rumah tangga. Dua hal yang disoroti:
Mitra kegiatan adalah Ikatan Keluarga Besar Istri (IKBI) karyawan PTPN-III Sei Mangkei, terdiri dari 25 ibu rumah tangga dengan mayoritas berusia 28–37 tahun (36%) dan tingkat pendidikan terbanyak SMA (48%).
Air Hujan: Sumber Daya yang Terbuang
Masalah Umum
Meskipun air hujan melimpah di Indonesia, justru sering kali dianggap masalah karena:
Referensi dari Lestari et al. (2021) menyebutkan bahwa pemanenan air hujan (PAH) belum menjadi praktik umum padahal potensinya besar, terutama untuk kebutuhan non-potable (tidak untuk dikonsumsi langsung).
Teknologi PAH yang Diterapkan
Metode pemanenan air hujan dalam kegiatan ini menggunakan pendekatan sederhana yang bisa diaplikasikan di lingkungan rumah tangga:
➡️ Total kapasitas sistem ini mampu menampung lebih dari 10.000 liter air bersih dari satu atap rumah.
Minyak Jelantah: Limbah yang Bisa Jadi Berkah
Risiko Minyak Jelantah
Minyak goreng bekas yang digunakan berulang dapat menghasilkan senyawa karsinogenik akibat:
Megawati & Muhartono (2019) menyebutkan bahwa penggunaan minyak lebih dari empat kali dengan suhu di atas 100°C dapat memicu terbentuknya radikal bebas pemicu kanker dan gangguan jantung.
Potensi Minyak Jelantah sebagai Produk Baru
Program ini mengenalkan ibu-ibu IKBI PTPN-III pada dua aplikasi minyak jelantah:
Menurut Suryatini & Milati (2022), potensi minyak jelantah skala rumah tangga di Indonesia mencapai 1,638 juta liter biodiesel/tahun, jika dikelola dengan baik.
Implementasi Program dan Hasil Kegiatan
Rangkaian Kegiatan
Studi Kasus: Ibu-Ibu IKBI PTPN-III Sei Mangkei
Jumlah peserta: 25 orang
Rentang usia terbanyak: 28–37 tahun (36%)
Pendidikan terbanyak: SMA (48%)
Tingkat antusiasme: Tinggi (partisipatif aktif dalam pelatihan dan diskusi)
Analisis Kuantitatif: Perubahan Pengetahuan Sebelum dan Sesudah Kegiatan
Evaluasi dilakukan dengan menyebarkan kuesioner pada awal dan akhir kegiatan, dengan hasil sebagai berikut:
Indikator 1 – Pengetahuan tentang air hujan
Indikator 2 – Pengetahuan tentang sistem PAH
Indikator 3 – Pengetahuan tentang minyak jelantah
➡️ Terjadi transformasi paradigma signifikan, terutama dalam hal kesadaran dampak limbah dan pemanfaatan air.
Opini dan Analisis Kritis: Apa yang Bisa Ditingkatkan?
✔ Pendekatan Sosial Berbasis Komunitas Efektif
Kunci keberhasilan kegiatan ini bukan hanya teknologi yang sederhana, tapi juga pendekatan sosial yang tepat. Dengan menyasar kelompok ibu rumah tangga, dampak edukatifnya menyebar ke seluruh keluarga.
✔ Desain Sistem Mudah Direplikasi
Sistem PAH berbasis pipa, pasir, dan kerikil bisa dibangun dengan biaya rendah. Ini menjadikannya cocok untuk kawasan pedesaan maupun kota pinggiran.
❗ Tantangan Lanjutan
Komparasi dengan Program Serupa
➡️ Program di Sei Mangkei lebih holistik karena menggabungkan dua isu besar sekaligus: air bersih dan limbah dapur.
Rekomendasi Strategis dan Replikasi Program
Kesimpulan: Perubahan Paradigma Dimulai dari Kesadaran
Pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh Zufri Hasrudy Siregar dan timnya bukan hanya mengubah perilaku harian, tapi juga membuka mata tentang potensi besar dari sumber daya yang selama ini dianggap limbah. Air hujan bisa menggantikan air PAM dalam banyak fungsi rumah tangga. Minyak jelantah yang semula merusak, bisa menjadi sabun atau energi terbarukan.
Di tengah krisis iklim dan polusi yang semakin nyata, program seperti ini menjadi angin segar. Terbukti, perubahan tidak selalu butuh teknologi tinggi. Kadang cukup dimulai dari ember di bawah talang dan minyak di dapur yang tidak dibuang sembarangan.
Sumber Asli Artikel:
Zufri Hasrudy Siregar, Mawardi, Riana Puspita, Muhammad Fazri, Refiza, Muhammad Irwansyah, dan Simon Petrus Simorangkir. Pemanfaatan Air Hujan dan Minyak Jelantah sebagai Kepedulian Lingkungan di Ikatan Keluarga Besar Istri (IKBI) PTPN-III Desa Sei Mangkei. Vol. 3, No. 2, Juli 2023. DOI: 10.54123/deputi.v3i2.276.
Krisis Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025
Perkembangan kawasan perkotaan sering kali tidak diiringi oleh perencanaan konservasi air yang memadai. Akibatnya, kota-kota besar menghadapi dua paradoks sekaligus: banjir saat musim hujan dan kelangkaan air bersih saat musim kemarau. Gedung-gedung pemerintah pun tak lepas dari masalah ini, termasuk Gedung Dinas Kesehatan (Dinkes) Pemalang yang masih mengandalkan air PAM untuk menyiram taman dan toilet.
Dalam konteks itulah, penelitian oleh Felicia Isfandyari dan Sri Amini Yuni Astuti menjadi sangat relevan. Studi ini meneliti apakah air hujan yang selama ini terbuang bisa dijadikan sumber air alternatif yang andal untuk memenuhi kebutuhan sanitasi dan pertamanan di gedung Dinkes Pemalang.
Tujuan Penelitian: Mengoptimalkan Air Hujan untuk Kebutuhan Non-Konsumsi
Penelitian ini memiliki tiga sasaran utama:
Studi Kasus: Gedung Dinas Kesehatan Pemalang
Karakteristik Lokasi
Potensi yang Belum Dimanfaatkan
➡️ Dari data ini terlihat bahwa gedung memiliki luas atap dan frekuensi hujan yang ideal untuk pemanenan air hujan.
Metodologi: Dari Pengukuran Lapangan ke Simulasi Neraca Air
Studi ini menggunakan data primer (pengukuran lapangan) dan data sekunder (curah hujan dari Stasiun Banjardawa, ±5,5 km dari lokasi studi). Analisis dilakukan menggunakan:
Hasil Utama: Volume, Kebutuhan, dan Desain Tangki
1. Kebutuhan Air Toilet dan Taman
Mengacu pada data jumlah pegawai (131 orang) dan asumsi 10% tamu tambahan, serta kebutuhan air per hari:
➡️ Kebutuhan maksimum: 156,054 m³/bulan atau ±5.202 liter/hari
2. Ketersediaan Air Hujan
Dengan luas atap 2.220 m², koefisien runoff 0,95, dan hujan andalan bulanan tertinggi 221 mm (probabilitas 80%), maka:
➡️ Artinya, air hujan mampu mencukupi kebutuhan air toilet dan taman hingga 3 kali lipat pada bulan-bulan basah.
3. Volume dan Desain Tangki Penampungan
V = (177 × 153 × 20)/1000 + (800 × 153 × 2)/1000 = 786,42 m³
(dibulatkan ke 800 m³)
Analisis Neraca Air Bulanan
Peneliti menyusun neraca air selama satu tahun, membandingkan input (curah hujan) dengan output (kebutuhan toilet dan taman). Hasilnya:
Kelebihan Sistem Pemanenan Air Hujan (PAH)
Berdasarkan hasil penelitian dan tinjauan pustaka, PAH di Gedung Dinkes Pemalang berpotensi memberikan manfaat besar:
1. Efisiensi Biaya Operasional
Dengan menggunakan air hujan untuk kebutuhan toilet dan taman, pengeluaran air dari PAM bisa ditekan secara signifikan.
2. Pencegahan Genangan dan Banjir Lokal
Tangki bawah tanah tidak hanya menyimpan air, tapi juga mengurangi limpasan ke jalan yang selama ini menyebabkan genangan saat hujan deras.
3. Konservasi Air Tanah
Dengan memanfaatkan air hujan, eksploitasi air tanah dapat dikurangi, memperpanjang umur sumur-sumur dangkal di area sekitarnya.
Opini Tambahan: Apa yang Bisa Ditingkatkan?
Meskipun penelitian ini sangat aplikatif dan relevan, ada beberapa peluang pengembangan:
Studi Komparatif: Bagaimana Penelitian Ini Dibandingkan?
➡️ Artinya, studi ini unggul dalam memberikan hasil praktis yang bisa langsung diadopsi.
Rekomendasi Kebijakan dan Praktik
Bagi pemerintah daerah dan instansi teknis, hasil riset ini bisa dijadikan acuan untuk:
Kesimpulan: Langit Sebagai Sumber Daya Terabaikan
Penelitian oleh Isfandyari dan Astuti membuktikan bahwa air hujan bukan sekadar air yang jatuh dari langit, melainkan potensi besar yang selama ini diabaikan. Dengan desain tangki 800 m³ dan neraca air yang matang, gedung Dinas Kesehatan Pemalang bisa menjadi role model konservasi air skala mikro di sektor publik.
Ketika sebagian kota berjuang membeli air tangki atau memperdalam sumur bor, PAH menawarkan solusi cerdas, murah, dan berkelanjutan. Dan dalam era krisis air global, ini bukan hanya inovasi teknis—melainkan juga revolusi mental terhadap cara kita memperlakukan air.
Sumber Asli Artikel:
Isfandyari, F., & Astuti, S. A. Y. (2024). Analisis Pemanfaatan Air Hujan untuk Kebutuhan Pertamanan dan Toilet Gedung Dinas Kesehatan Pemalang. Universitas Islam Indonesia.
Krisis Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025
Air bersih menjadi kebutuhan pokok bagi semua manusia, tetapi akses terhadap air minum yang layak masih menjadi tantangan besar di daerah pesisir. Kota Bandar Lampung—seperti banyak kota pesisir lainnya—menghadapi krisis air bersih akibat intrusi air laut, pencemaran industri, dan minimnya jaringan air perpipaan.
Menariknya, hujan yang turun nyaris sepanjang tahun di kota ini belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal, air hujan adalah sumber air alami yang melimpah dan gratis. Penelitian oleh Rahmayanti & Soewondo (2015) mencoba menjawab pertanyaan penting: Apakah air hujan bisa dijadikan sumber air minum yang layak di kawasan pesisir?
Tujuan dan Fokus Penelitian
Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi kualitas dan kuantitas air hujan yang dipanen dari atap rumah di dua kelurahan pesisir Kota Bandar Lampung: Karang Maritim dan Tanjung Raya. Penelitian ini juga membandingkan tiga jenis bahan atap rumah (genting tanah liat, asbes, dan seng) serta pengaruh waktu panen terhadap kualitas air.
Metodologi yang digunakan mencakup:
Hasil Penelitian: Fakta Lapangan yang Mengejutkan
1. Kualitas Air Hujan Dipengaruhi Waktu Panen dan Jenis Atap
Penelitian menemukan bahwa kualitas air hujan sangat bergantung pada:
Sebagai contoh:
Artinya, atap seng dan asbes cenderung melepas kontaminan logam berat ke dalam air panen.
2. Lokasi Perumahan vs. Lokasi Industri: Siapa Lebih Bersih?
Fakta menarik: kualitas air hujan dari lokasi industri ternyata lebih baik dibanding dari kawasan perumahan.
Mengapa bisa begitu?
Lokasi industri berada lebih dekat dengan laut dan berperan sebagai sumber penguapan. Uap terkontaminasi dari laut kemudian terbawa angin ke daerah perumahan yang berada lebih tinggi. Hasilnya, air hujan yang jatuh di perumahan mengandung konsentrasi logam berat lebih tinggi.
Sebagai contoh:
3. Tingkat Keandalan Air Hujan sebagai Sumber Minum
Melalui simulasi tangki 1 m³ dan data curah hujan 3 tahun (2007–2009), penelitian menemukan bahwa air hujan cukup reliable untuk menjadi sumber air minum, dengan catatan jumlah konsumsi air dan anggota keluarga diperhitungkan.
Keandalan (reliability) sistem dihitung sebagai persentase hari di mana tangki tidak kosong, dengan hasil:
Artinya, untuk kebutuhan dasar seperti air minum, sistem PAH memiliki tingkat keandalan yang sangat tinggi.
Studi Kasus: Suara Warga Karang Maritim dan Tanjung Raya
Penelitian juga menggali persepsi masyarakat terhadap penggunaan air hujan sebagai air minum melalui survey sosial ekonomi pada 99 responden.
Hasilnya cukup mengejutkan:
Alasan penolakan:
➡️ Ini menunjukkan bahwa edukasi publik menjadi kunci dalam implementasi teknologi ramah lingkungan seperti PAH.
Opini dan Analisis Tambahan
1. Air Hujan = Solusi Masa Depan Daerah Pesisir
Dalam konteks urbanisasi dan perubahan iklim, pemanenan air hujan bukan lagi opsi alternatif, tapi kebutuhan. Banyak kota pesisir menghadapi:
Dengan keandalan >90% untuk kebutuhan minum dasar, PAH bisa mengurangi ketergantungan pada air berbayar dan mendukung ketahanan air lokal.
2. Perbandingan dengan Studi Internasional
Beberapa studi global yang relevan:
Dengan demikian, temuan dari Bandar Lampung memperkuat konsensus global bahwa PAH adalah teknologi tepat guna untuk wilayah tropis dan pesisir.
3. Isu yang Harus Diatasi untuk Implementasi Lebih Luas
Tanpa kebijakan pendukung, potensi PAH akan tetap tertahan di tingkat eksperimen akademik.
Rekomendasi untuk Pemerintah dan Praktisi
Kesimpulan: Waktunya Mengoptimalkan Air dari Langit
Penelitian Rahmayanti & Soewondo membuktikan bahwa air hujan adalah sumber air minum yang layak dan andal, bahkan di wilayah pesisir yang padat dan dekat dengan industri. Dengan pemilihan atap yang tepat (genting), waktu panen yang benar (hindari hujan kedua), serta pengelolaan sistem penyimpanan yang sesuai, air hujan dapat memenuhi 91,97% kebutuhan minum selama musim hujan.
Namun, potensi teknis ini tidak akan berarti jika masyarakat tetap skeptis dan pemerintah tidak mendukung. Saatnya mengubah paradigma—dari hanya mengandalkan air kemasan dan sumur bor menuju ketahanan air berbasis langit.
Sumber Asli Artikel:
Rahmayanti, A. E., & Soewondo, P. (2015). Penyediaan Air Minum di Daerah Pesisir Kota Bandar Lampung Melalui Rainwater Harvesting. Jurnal Teknik Lingkungan, Volume 21 Nomor 2, Oktober 2015, Halaman 115–126.
Krisis Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025
Kota Pontianak dikenal dengan julukan “Kota Khatulistiwa” karena letaknya tepat di garis ekuator. Kota ini juga terkenal dengan curah hujannya yang tinggi—lebih dari 3.000 mm per tahun. Namun ironisnya, pasokan air bersih masih menjadi masalah yang belum tuntas. Menurut data BPS 2024, layanan PDAM baru menjangkau sekitar 63,54% rumah tangga di Pontianak.
Situasi ini juga berdampak pada institusi pendidikan seperti Universitas Panca Bhakti, yang kerap menghadapi kendala air bersih untuk operasional sehari-hari. Dalam konteks inilah, penelitian Gunawan dkk. menjadi sangat relevan: bisakah air hujan yang melimpah dijadikan sumber air bersih yang andal di lingkungan kampus?
Tujuan dan Metodologi Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi keandalan dan volume air hujan yang dapat ditampung dari atap bangunan di lingkungan Universitas Panca Bhakti. Fokusnya adalah menilai sejauh mana air hujan bisa menggantikan atau melengkapi kebutuhan air PDAM, khususnya untuk kegiatan non-konsumsi seperti flushing toilet, mencuci, atau penyiraman taman.
Penelitian dilakukan secara kuantitatif dengan:
Hasil Utama: Volume vs. Kebutuhan Air
1. Luasan Atap Kampus
Penelitian mencatat total luas atap dari enam bangunan utama kampus:
➡️ Total luas atap: 1.508,99 m²
2. Curah Hujan Rata-Rata
3. Volume Air Hujan yang Dapat Ditampung
Dengan efisiensi penampungan sebesar 80% (mengacu pada kehilangan akibat penguapan dan limpasan), volume air hujan yang dapat dimanfaatkan dihitung sebagai berikut:
Volume = Curah hujan x Luas atap x Koefisien efisiensi
= 233,75 mm x 1.508,99 m² x 0,8
= 282.181,13 liter/bulan atau 11.757 liter/hari
4. Kebutuhan Air Kampus
Mengacu pada penelitian terdahulu, konsumsi harian air bersih di kampus diperkirakan sebesar:
69.926 liter/hari
5. Keandalan Sistem
Dari simulasi tersebut, air hujan hanya mampu memenuhi sekitar:
16,814% dari total kebutuhan air harian kampus
Meskipun jauh dari cukup untuk kebutuhan total, volume ini sangat signifikan jika difokuskan untuk kebutuhan non-potable (tidak perlu standar air minum), seperti mencuci lantai, irigasi taman, atau toilet.
Analisis Kontekstual: Apa Artinya Angka Ini?
A. Bukan Pengganti Total, Tapi Pendukung Strategis
Air hujan tidak bisa diandalkan sebagai satu-satunya sumber air bersih, tetapi dapat mengurangi ketergantungan terhadap PDAM. Dengan efisiensi 16,8%, penghematan tagihan air bulanan kampus bisa mencapai jutaan rupiah, tergantung pada tarif PDAM dan volume penggunaan.
B. Mengurangi Dampak Lingkungan
Penggunaan air hujan untuk keperluan kampus juga mengurangi:
Studi Kasus: Kampus Tropis, Solusi Tropis
Universitas Panca Bhakti bukanlah satu-satunya kampus di kawasan tropis yang berpotensi mengandalkan air hujan. Beberapa studi internasional juga menunjukkan tren serupa:
Kunci dari keberhasilan implementasi adalah adanya desain sistem yang terstandarisasi dan pemeliharaan berkala agar kualitas air tetap aman.
Opini dan Kritik: Mengapa Penelitian Ini Penting?
✔ Memberikan Data Kuantitatif Lokal
Studi ini penting karena menyediakan angka konkret dari lapangan—bukan asumsi teoritis. Banyak kampus atau sekolah di daerah tropis menghadapi masalah serupa, tetapi belum punya baseline data untuk merancang sistem PAH.
✔ Menunjukkan Keuntungan Ekonomi dan Ekologis
Dampak ekonomi (penghematan tagihan) dan ekologis (konservasi air tanah, pengurangan banjir) menjadi argumen kuat bagi pihak manajemen kampus maupun pembuat kebijakan daerah.
✔ Perluasan ke Skala Komunitas
Meskipun studi ini terbatas pada kampus, pendekatannya bisa dengan mudah direplikasi untuk:
Rekomendasi Implementatif
Agar sistem pemanenan air hujan bisa diterapkan secara luas dan efektif, berikut beberapa rekomendasi:
1. Integrasi dengan Sistem Plumbing Gedung
Desain ulang jaringan pipa untuk memisahkan air hujan (non-potable) dan air PDAM (potable).
2. Penggunaan Filter dan Desinfeksi Sederhana
Meski air digunakan untuk kegiatan non-minum, penyaringan dasar tetap diperlukan untuk menjaga kebersihan dan mencegah penyumbatan saluran.
3. Edukasi dan Sosialisasi Warga Kampus
Diperlukan kampanye penggunaan air hemat dan pemahaman tentang manfaat air hujan.
4. Standardisasi dan Regulasi
Pemerintah daerah bisa mengeluarkan peraturan atau insentif untuk mendorong pembangunan gedung baru dengan sistem PAH terintegrasi.
Potensi Jangka Panjang
Jika kampus seperti Universitas Panca Bhakti bisa menjadi percontohan nasional, maka konsep ini bisa meluas ke kawasan urban lainnya. Bayangkan jika semua sekolah dan kampus di Pontianak memiliki tangki air hujan sendiri. Penghematan air dan pengurangan banjir lokal bisa menjadi dampak nyata yang sangat terasa.
Kesimpulan: Dari Langit ke Keran, Solusi Lokal yang Global
Air hujan adalah berkah tropis yang belum dimaksimalkan. Penelitian oleh Ivan Andri Gunawan dan timnya membuktikan bahwa meskipun tidak mampu memenuhi 100% kebutuhan air bersih kampus, sistem PAH tetap menjadi solusi cerdas—murah, ramah lingkungan, dan aplikatif.
Dalam dunia yang makin terdampak perubahan iklim dan krisis air, pemanfaatan air hujan bukan sekadar opsi teknis, tapi juga keputusan etis. Saatnya lebih banyak institusi pendidikan, pemerintah daerah, dan komunitas lokal menoleh ke langit sebagai solusi air bersih masa depan.
Sumber Asli Artikel:
Gunawan, I. A., Widodo, M. L., & Anggraini, I. M. (2024). Studi Keandalan Potensi Pemanfaatan Air Hujan sebagai Sumber Air Bersih di Lingkungan Universitas Panca Bhakti, Kota Pontianak. E-Journal Teknologi Infrastruktur, Volume 3, Nomor 1, Juni 2024.
Kopi Organik
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 04 Juni 2025
Kopi Arabika merupakan tanaman unggulan yang menyumbang sekitar 60% produksi kopi global. Namun, perubahan iklim, musim kemarau yang makin panjang, dan degradasi lahan menjadi tantangan besar bagi keberlanjutan produksi kopi, terutama di daerah tropis. Sistem agroforestri—di mana kopi ditanam di bawah naungan pohon—telah diakui memberikan berbagai manfaat: meningkatkan keanekaragaman hayati, menjaga kelembapan tanah, hingga menstabilkan produksi saat musim ekstrem.
Namun, muncul pertanyaan besar: apakah pohon penaung justru bersaing dengan kopi dalam menyerap air tanah selama musim kemarau? Atau sebaliknya, apakah ada bentuk kerja sama di bawah tanah yang memungkinkan keduanya berbagi air tanpa konflik?
Studi terbaru oleh Muñoz-Villers dkk. (2025) memberikan jawaban ilmiah yang menarik atas pertanyaan ini dengan menganalisis secara detail pengambilan air bawah tanah oleh berbagai varietas dan umur tanaman kopi Arabika serta lima spesies pohon penaung di perkebunan kopi organik di Veracruz, Meksiko.
Latar Belakang Penelitian: Apa yang Belum Kita Ketahui?
Sebelum studi ini, sebagian besar riset hanya berfokus pada sistem kopi intensif dan konvensional. Bahkan, hampir tidak ada data yang membahas sistem kopi organik tua (>80 tahun) yang dikelola secara berkelanjutan. Lebih jauh, studi sebelumnya hanya mengukur proporsi pengambilan air tanpa menghitung volume aktual air yang digunakan setiap tanaman.
Penelitian ini menjembatani kesenjangan itu dengan menggabungkan:
Studi Kasus: Kebun Kopi Organik "La Orduña", Veracruz
Studi dilakukan di kebun kopi organik seluas 100 hektar bernama “La Orduña”, terletak di dataran tinggi (1210 m dpl) dengan curah hujan tahunan rata-rata 1407 mm. Sistem tanamnya merupakan agroforestri tradisional dengan berbagai spesies pohon penaung seperti:
Tanaman kopi yang diteliti meliputi:
Metode: Bagaimana Air Bawah Tanah Dianalisis?
Teknologi Isotop Stabil dan Model Bayesian
Peneliti menggunakan isotop stabil δ²H dan δ¹⁸O dari air xilem tanaman dan berbagai kedalaman tanah (0–120 cm) serta air tanah. Data dimasukkan ke dalam MixSIAR (Mixing Model) untuk menghitung proporsi dan volume aktual air yang diserap dari setiap lapisan tanah.
Pengukuran Transpirasi
Transpirasi dari kopi dan pohon penaung dihitung dengan metode eddy covariance dan permukaan konduktansi stomata. Rata-rata transpirasi harian selama musim kemarau adalah:
Simulasi Kompetisi Air
Potensi persaingan diukur dengan membandingkan nilai konduktansi stomata aktual dan model, terutama pada periode kering April–Mei 2019.
Hasil Penting: Ada Harmoni, Bukan Kompetisi
1. Sumber Air Utama: Kedalaman Menentukan
➡️ Artinya: Sistem akar kopi dan pohon penaung cenderung tidak saling berebut air karena eksploitasi kedalaman berbeda (komplementaritas vertikal).
2. Pengaruh Usia Tanaman
➡️ Umur dan sistem akar berpengaruh terhadap efisiensi pengambilan air.
3. Pengaruh Spesies Pohon Penaung
Peran Embun (Dew) yang Tak Disangka
Penelitian ini menemukan bahwa embun yang mengendap di permukaan tanah pada malam hari menjadi salah satu sumber air penting bagi kopi, terutama pada lapisan <5 cm.
➡️ Embun adalah air "gratis" yang bisa dimanfaatkan oleh sistem agroforestri yang memiliki tutupan vegetasi tinggi.
Analisis Tambahan: Data Angka Menarik
Nilai Tambah Penelitian Ini
✔️ Menjawab pertanyaan klasik: Kompetisi atau komplementaritas?
✔️ Menyediakan data nyata dari sistem organik yang kompleks, bukan eksperimen laboratorium.
✔️ Memberikan dasar ilmiah untuk pemilihan spesies penaung dalam sistem agroforestri.
✔️ Menunjukkan pentingnya mempertahankan tanaman tua dan membiarkan pertumbuhan vegetasi tanah.
Opini Kritis dan Relevansi Global
Studi ini menjadi pionir dalam membuktikan bahwa sistem agroforestri organik tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga fungsional dari sisi hidrologi. Dalam konteks perubahan iklim dan kekeringan yang meningkat di banyak daerah penghasil kopi—termasuk di Indonesia, Ethiopia, dan Brasil—pemahaman tentang bagaimana tanaman berbagi air sangat penting.
Berbeda dari sistem intensif yang mendorong pemangkasan pohon penaung, hasil studi ini mendukung pemeliharaan pohon-pohon besar dengan akar dalam yang justru membantu menghindari kompetisi air dengan kopi.
Rekomendasi Praktis bagi Petani dan Pembuat Kebijakan
Kesimpulan: Sinergi di Bawah Tanah adalah Kunci Keberlanjutan
Melalui kombinasi data isotop, fisiologi tanaman, dan mikrometeorologi, studi ini menunjukkan bahwa kopi dan pohon penaung dapat hidup harmonis, bukan saling berebut sumber daya. Justru dengan manajemen yang tepat, mereka dapat saling mendukung dalam menghadapi musim kemarau dan perubahan iklim.
Agroforestri kopi organik bukan hanya pilihan etis atau ekonomi, tetapi solusi ilmiah berbasis ekosistem yang nyata.
Sumber Asli Artikel:
Muñoz-Villers, L.E., Holwerda, F., Alvarado-Barrientos, M.S., Geris, J., & Dawson, T.E. Examining the Complementarity in Belowground Water Use Between Different Varieties and Ages of Arabica Coffee Plants and Dominant Shade Tree Species in an Organic Agroecosystem. Agricultural Water Management, Vol. 307, 2025, 109248.
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Dipublikasikan oleh Admin pada 03 Juni 2025
Saat ini, topik menjaga ketersediaan air bersih dan aman di Indonesia semakin mengemuka di tengah perubahan iklim global. Kelompok Keahlian Teknik Penyehatan dan Air Limbah, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan menyelenggarakan webinar bertajuk "Urgensi Menjaga Ketersediaan Air Bersih dan Aman di Indonesia". Prof. Suprihanto PhD dan Ir. Yuniati, PhD, diundang sebagai pembicara kunci serta Rofiq, PhD sebagai moderator.
Pada sesi pertama, Prof. Suprihanto memaparkan kondisi dan tantangan air bersih dan aman di Indonesia. Beliau mengungkapkan bahwa berdasarkan data dari WHO, 19% populasi dunia memiliki sumber air yang tidak aman. Selain itu, 829.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat diare karena air yang tidak aman dan sanitasi yang buruk. Berdasarkan data dari Bappenas tahun 2018, aksesibilitas air minum aman di Indonesia adalah 87,75%.
"Penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara pasokan air minum dan daya saing bangsa. Kurangnya sumber air minum menyebabkan daya saing yang rendah. Banyak orang menghabiskan uangnya untuk berobat dan membeli air. Masyarakat yang sakit memiliki produktivitas yang rendah," ujarnya pada Kamis, 30 Juli 2020.
Di Indonesia, produsen utama air bersih adalah Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dengan kapasitas produksi saat ini sebesar 153.881 L/detik. Jumlah tersebut mencakup sekitar 19-20% dari kebutuhan dasar masyarakat Indonesia dengan efisiensi produksi sebesar 72,97% dan kebocoran sebesar 32,57%.
Sumber: www.itb.ac.id
Potensi sumber daya air di Indonesia masih relatif melimpah. Di Pulau Jawa sendiri, jika pemerintah memaksimalkan penggunaan sumber daya air alternatif secara memadai, bahkan dapat memenuhi kebutuhan domestik dan industri. Namun, pemenuhan air irigasi cukup menantang karena membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Prof. Suprihanto menjelaskan bahwa Indonesia juga menghadapi masalah kualitas air permukaan, "Sekitar 52% dari sungai-sungai kita tercemar berat. Hal ini memberikan tantangan kepada kita untuk menyediakan teknologi pengolahan air yang canggih. Oleh karena itu, air tanah sebagai sumber air baku tentunya diperlukan dengan tetap menjaga kelestarian air tanah itu sendiri. Hal ini dikarenakan air tanah merupakan reservoir alami dan relatif bebas dibandingkan dengan reservoir buatan," jelasnya.
Pada sesi kedua, Yuniati menjelaskan bagaimana meningkatkan akses air minum yang aman dan layak di Indonesia. Pemerintah sendiri telah menjadikan pengelolaan air tanah, air baku yang berkelanjutan dan penyediaan akses air minum, serta sanitasi yang layak dan aman menjadi prioritas nasional. Pemerintah menetapkan target untuk menyediakan sekitar 100% air minum yang aman, 15% air minum yang layak, dan 30% air minum perpipaan.
"Untuk mencapai target tersebut pada tahun 2024, pemerintah melaksanakan program penyaluran air bersih ke 10 juta rumah. Selain itu, pemerintah akan mengeluarkan dana sebesar Rp 77,9 triliun dari total kebutuhan Rp 123,5 triliun dari APBN. Sayangnya, dengan kondisi darurat pandemi COVID-19 saat ini, terjadi pengurangan dana APBN hingga Rp35 triliun. Cara lain untuk memenuhi kesenjangan pendanaan tersebut adalah dengan mengoptimalkan dana APBD, termasuk dana desa," katanya.
Kondisi pandemi COVID-19 juga berdampak pada peningkatan penggunaan air rumah tangga. Yuniati mengatakan bahwa terjadi peningkatan penggunaan air di Bandung dan Cimahi dari bulan April hingga Juni. Hal ini ditunjukkan dengan rata-rata penggunaan air domestik sebesar 163 L/orang/hari, lebih tinggi dari standar Indonesia (120 L/orang/hari). Peningkatan penggunaan air ini disebabkan oleh meningkatnya aktivitas di rumah.
Sumber: www.itb.ac.id
Saat ini, sekitar 46% masyarakat Indonesia menggunakan air tanah sebagai sumber air bersih. Namun, ada sebuah survei yang memeriksa kandungan Fe, Mn, COD, TDS dan E-Coli di 10 lokasi di Jakarta. Hasilnya ditunjukkan pada gambar di bawah ini. Gambar tersebut menunjukkan bahwa semakin gelap warnanya, semakin tinggi potensi pencemarannya. "Perlu adanya kolaborasi antara perguruan tinggi dan industri untuk mengembangkan teknologi penyediaan air minum skala komunal," ujarnya.
Selain teknologi, perubahan perilaku masyarakat juga sangat penting. "Kita harus mengedukasi generasi muda kita, seperti siswa TK dan SD untuk sadar dan menghemat air," jelas Yuniati.
Disadur dari: www.itb.ac.id