Pendidikan & Sertifikasi
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 02 Oktober 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Artikel Engineering Dimensions edisi Januari/Februari 2014 membahas kebutuhan untuk meninjau ulang model lisensi bagi insinyur profesional di Ontario, Kanada. Salah satu isu krusial adalah persyaratan pengalaman kerja lokal (Canadian experience) minimal 12 bulan yang menjadi prasyarat lisensi. Komisi Hak Asasi Manusia Ontario menganggapnya sebagai hambatan tidak langsung, terutama bagi insinyur imigran yang memiliki kompetensi tinggi tapi belum bekerja di Kanada.
Temuan ini penting karena menunjukkan bagaimana regulasi lisensi bisa menjadi alat proteksi nasional sekaligus hambatan mobilitas profesi. Kebijakan semacam ini memiliki dampak luas: dari integritas teknis, keadilan regulasi, hingga kompetensi publik yang dilindungi.
Bagi Indonesia, relevansinya tak bisa diabaikan. Sistem sertifikasi dan lisensi insinyur Indonesia sudah diatur oleh UU No. 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran, tetapi implementasi di lapangan masih mengalami tantangan signifikan. Artikel Evaluasi Sertifikasi Kompetensi Insinyur Indonesia: Menjawab Tantangan Profesionalisme Era Industri 4.0 menegaskan bahwa walaupun adanya kerangka regulasi, banyak insinyur belum tersertifikasi atau belum menyadari prosedur dan manfaat sertifikasi secara penuh.
Selanjutnya, artikel Regulasi Keinsinyuran dalam Konteks ASEAN Mutual Recognition Agreement on Engineering Services membahas bagaimana regulasi di Indonesia perlu diselaraskan agar insinyur Indonesia bisa memanfaatkan pengakuan lintas negara melalui perjanjian MRA (Mutual Recognition Agreement). Hambatan regulasi, kurangnya pemahaman tentang ACPE (ASEAN Chartered Professional Engineer), dan rendahnya jumlah insinyur tersertifikasi ACPE menjadi faktor yang perlu diperbaiki.
Dengan demikian, isu pengalaman lokal vs pengakuan kompetensi internasional menjadi sangat relevan. Regulasi lisensi harus seimbang: menjaga standar keamanan dan mutu, sekaligus tidak menjadi penghalang mobilitas profesional atau pengakuan global.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak
Praktisi imigran dan tenaga asing sering mengalami hambatan administratif, terutama jika pengalaman kerja mereka di luar negeri belum diakui. Hal ini menimbulkan penyusutan potensi keahlian di dalam negeri.
Proyek teknik khusus yang memerlukan lisensi tinggi atau sertifikasi internasional dapat terhambat oleh kurangnya tenaga lokal yang memenuhi persyaratan.
Kredibilitas profesi teknik meningkat apabila proses lisensi dipandang adil, transparan, dan kompetensi diakui berdasarkan standar global.
Hambatan
Regulasi pengalaman lokal seperti pengalaman kerja di wilayah tertentu bisa membatasi insinyur yang mampu namun belum “terverifikasi” secara lokal.
Biaya dan birokrasi sering kali tinggi, baik untuk pendidikan tambahan yang diperlukan, pengurusan dokumen, maupun biaya sertifikasi/pengakuan.
Perbedaan standar pendidikan teknik: tidak semua jurusan teknik di Indonesia memiliki akreditasi yang diakui internasional atau kurikulum yang sejalan dengan standar internasional.
Kurangnya informasi dan pemahaman tentang prosedur sertifikasi internasional, serta manfaatnya bagi karier dan mobilitas kerja.
Peluang
Mengadopsi model kompetensi berbasis hasil (outcome-based) yang lebih fleksibel, dimana aspek nyata kompetensi teknis dan pengalaman lapangan mendapat penekanan, bukan hanya lokasi atau jumlah jam kerja administratif.
Pemerintah bersama asosiasi profesi dapat menyusun mekanisme transisi bagi mereka yang belum memenuhi persyaratan pengalaman lokal, misalnya dengan pengakuan kerja luar negeri, pelatihan tambahan, atau asesmen kompetensi khusus.
Perluasan kerja sama internasional dan sertifikasi global seperti program di ASEAN (ACPE), Washington Accord, atau lembaga-sertifikasi internasional lainnya agar insinyur Indonesia lebih mudah diakui di luar negeri.
Penggunaan teknologi digital dalam proses lisensi: verifikasi dokumen secara online, sistem aplikasi yang jelas, pelacakan status lisensi, dan platform untuk publik agar dapat memeriksa lisensi seseorang—semuanya mendukung transparansi dan kepercayaan publik.
Relevansi untuk Indonesia
Indonesia sudah memiliki UU Keinsinyuran No. 11 Tahun 2014 yang menjadi landasan hukum untuk regulasi profesi insinyur. Tetapi penerapannya masih tidak merata, terutama di daerah terpencil dan perguruan tinggi yang fasilitasnya belum lengkap. Banyak lulusan teknik yang memiliki kompetensi teknis bagus tetapi belum mendapat pengakuan formal sebagai insinyur profesional karena belum memenuhi standar lisensi (sertifikasi, pengalaman kerja, atau ujian profesional).
Selain itu, dalam era MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), insinyur Indonesia yang memiliki sertifikasi global atau pengakuan internasional akan memiliki keunggulan kompetitif yang besar. Artikel Peningkatan Kualitas Insinyur melalui Sertifikasi Insinyur Profesional membahas bahwa daya saing insinyur harus ditingkatkan melalui sertifikasi yang ketat dan pengakuan kompetensi oleh industri dan pemerintah.
Dengan belajar dari pengalaman Kanada dan analisis seperti penelitian ini, Indonesia dapat memperbaiki kebijakan lisensi agar lebih adil bagi semua pihak tanpa mengorbankan standar mutu dan pengakuan internasional.
Rekomendasi Kebijakan
Revisi persyaratan pengalaman kerja lokal dalam regulasi lisensi agar lebih inklusif, termasuk pengakuan pengalaman kerja internasional atau pengalaman lapangan non‐tradisional yang dibuktikan secara kompeten.
Integrasi lusinan lembaga pendidikan teknik dan perguruan tinggi untuk memperluas akreditasi program studi agar sesuai standar internasional, serta memastikan kurikulum yang relevan dengan standar lisensi global.
Subsidi dan insentif untuk proses sertifikasi: dari pemerintah pusat atau daerah, institusi profesi, agar biaya bukan menjadi hambatan bagi insinyur muda atau mereka di daerah yang fasilitasnya terbatas.
Digitalisasi dan transparansi prosedur lisensi: pengajuan online, verifikasi dokumen, pelacakan status aplikasi, dan publikasi jumlah dan nama insinyur yang telah teregistrasi secara resmi.
Kerja sama internasional dan harmonisasi standar: ikut dalam perjanjian pengakuan internasional (seperti ACPE, Washington Accord), memastikan sertifikasi yang diambil di luar negeri dapat diakui di dalam negeri.
Kampanye kesadaran dan pendidikan profesional: meningkatkan pemahaman masyarakat teknik, perguruan tinggi, dan industri terhadap pentingnya lisensi dan sertifikasi; menyosialisasikan prosedur, manfaat, dan kewajiban profesional.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Kebijakan lisensi bisa menjadi formalitas jika tidak disertai pengawasan dan mekanisme sanksi terhadap penyalahgunaan gelar atau praktek tanpa lisensi.
Jika biaya dan birokrasi tidak disederhanakan, maka kebijakan bisa malah menimbulkan ketimpangan, di mana hanya praktisi di kota besar yang dapat memenuhi persyaratan.
Pendidikan teknik yang belum siap (kurikulum, fasilitas, dosen/instruktur) mungkin tidak mampu memenuhi standar tinggi standar internasional; tanpa investasi besar, standar tersebut bisa menjadi beban bagi institusi pendidikan.
kurangnya integritas dalam pelaksanaan; misalnya pengalaman kerja yang dipaksakan, dokumentasi palsu, atau proses sertifikasi yang kurang transparan — ini bisa merusak kredibilitas sistem lisensi.
Penutup
Eksplorasi model lisensi di Kanada, khususnya isu pengalaman lokal, adalah peringatan penting bagi Indonesia bahwa regulasi profesi insinyur harus terus diperbaharui agar relevan dengan konteks nasional dan tantangan global. Standar tinggi dan akreditasi internasional sangat diperlukan, tapi mesti disertai kebijakan yang adil, akses yang merata, dan transparansi. Dengan reformasi lisensi yang tepat, insinyur Indonesia bisa lebih dihargai baik dalam negeri maupun di pasar internasional, mendorong pembangunan infrastruktur lebih baik, aman, dan profesional.
Sumber
ED-JF2014. Engineering Dimensions (Januari/Februari 2014). Artikel: “Rethinking the Licensing Model.”
Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 02 Oktober 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Penelitian Robles & Quadrado (2023) mengeksplorasi bagaimana persyaratan akreditasi Certifying Engineer dalam standar ASME BPV (Boiler and Pressure Vessel Code) berdampak pada negara-negara di Amerika Tengah, Selatan, dan Meksiko. Banyak insinyur lokal tidak memenuhi persyaratan akreditasi internasional sehingga proyek harus bergantung pada tenaga asing yang bersertifikasi.
Bagi Indonesia, temuan ini relevan karena menghadapi tantangan serupa seiring meningkatnya proyek teknik khusus seperti pembangkit listrik, industri minyak/gas, dan sistem tekanan tinggi lainnya. Republik Indonesia telah mengatur keinsinyuran melalui UU No. 11/2014, tetapi kelemahan dalam teknis pelaksanaan dan akreditasi masih terlihat. Sebagai perbandingan, artikel Menilik Prosedur Sertifikasi Insinyur Profesional Berdasarkan UU Keinsinyuran No. 11 Tahun 2014 di Indonesia memaparkan berbagai prosedur dan tantangan yang dihadapi sistem sertifikasi insinyur di Indonesia.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Di lapangan, ketiadaan pengakuan internasional memaksa proyek konstruksi di Amerika Latin untuk mengalokasikan anggaran tambahan guna membayar insinyur asing. Hal ini berdampak pada meningkatnya biaya pembangunan infrastruktur, keterlambatan jadwal, serta berkurangnya peluang bagi insinyur lokal. Hambatannya terletak pada lambannya reformasi akreditasi pendidikan tinggi teknik, keterbatasan sistem registrasi insinyur, dan minimnya kolaborasi dengan lembaga internasional.
Namun, peluang tetap ada. Dengan mengajukan program studi teknik menjadi bagian dari Washington Accord atau memperoleh label EUR-ACE, negara-negara tersebut bisa mempercepat pengakuan global. Selain itu, CodeCase 3036 yang dikeluarkan ASME memberikan jalan tengah dengan memperbolehkan insinyur lokal bersertifikat di yurisdiksi mereka, meskipun masih ada banyak pembatasan.
Relevansi untuk Indonesia
Indonesia memiliki banyak kesamaan dengan kondisi di Amerika Latin. Banyak insinyur Indonesia masih menghadapi hambatan pengakuan internasional karena belum semua program studi teknik terakreditasi secara global. Dengan meningkatnya proyek infrastruktur strategis dan keterlibatan perusahaan asing, kebutuhan terhadap insinyur bersertifikasi internasional semakin mendesak. Mengikuti standar akreditasi internasional akan menjadi langkah penting agar insinyur Indonesia dapat berperan penuh, tanpa harus selalu bergantung pada tenaga asing.
Rekomendasi Kebijakan
Pertama, pemerintah Indonesia perlu mendorong seluruh program studi teknik untuk memperoleh akreditasi internasional seperti Washington Accord atau EUR-ACE. Kedua, asosiasi profesi insinyur harus memperkuat proses sertifikasi agar sesuai dengan standar global. Ketiga, insentif bagi universitas dan insinyur yang mengikuti proses akreditasi internasional harus diberikan. Keempat, kerja sama dengan lembaga internasional perlu ditingkatkan untuk mempercepat transfer teknologi dan standar. Kelima, Indonesia dapat belajar dari CodeCase 3036 untuk menyusun mekanisme transisi sementara hingga pengakuan penuh diperoleh.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan
Risiko besar muncul jika kebijakan akreditasi dan sertifikasi tidak segera dilakukan. Insinyur lokal akan terpinggirkan dalam proyek besar, biaya proyek meningkat karena ketergantungan pada insinyur asing, dan posisi Indonesia dalam peta daya saing global bisa melemah. Lebih jauh, tanpa pengakuan internasional, gelar insinyur Indonesia bisa dianggap kurang kredibel di luar negeri, sehingga membatasi mobilitas global tenaga kerja teknik.
Penutup
Penelitian ini menyoroti masalah krusial dalam dunia rekayasa: pentingnya akreditasi internasional bagi insinyur untuk diakui secara global. Bagi Indonesia, pelajaran dari Amerika Latin harus menjadi dorongan untuk memperkuat sistem pendidikan teknik, sertifikasi insinyur, dan integrasi dengan standar global. Dengan kebijakan yang tepat, Indonesia dapat memastikan kemandirian teknis sekaligus memperluas kontribusi insinyur di panggung internasional.
Sumber
Robles, R., & Quadrado, J. (2023). Analyzing the ASME BPV Code of Construction Professional Engineer Accreditation Requirements and their Impact in Central, South America and Mexico. 21st LACCEI International Multi-Conference for Engineering, Education, and Technology, Buenos Aires, Argentina.