Lalu Lintas

Penelitian Mendalam JICA Mengungkap 'Harga' Kemacetan Jakarta – Ini Solusi Radikal dan Siapa yang Akan Terdampak

Dipublikasikan oleh Hansel pada 14 Oktober 2025


Jakarta berada di ambang kelumpuhan lalu lintas. Ini bukan lagi sekadar keluhan harian, melainkan sebuah diagnosis klinis yang didukung oleh data-data suram. Dalam dua dekade terakhir, populasi kawasan metropolitan Jakarta (Jabodetabek) meledak dari 17 juta menjadi 28 juta jiwa. Lonjakan ini diiringi tsunami kendaraan pribadi: jumlahnya meroket hampir 500%, dari 3 juta unit pada tahun 2000 menjadi 14 juta unit pada 2012. Sementara itu, infrastruktur jalan nyaris tak bergerak, dengan laju pertumbuhan hanya 0.01% per tahun.1 Ini adalah narasi sebuah kota yang secara harfiah kehabisan ruang gerak, di mana setiap hari adalah pertarungan memperebutkan aspal yang kian sempit.

Di tengah krisis ini, sebuah dokumen komprehensif yang disusun oleh Japan International Cooperation Agency (JICA) pada tahun 2015 muncul sebagai cetak biru paling detail yang pernah ada. Laporan bertajuk “Preparatory Survey on Intelligent Transport System Project to mitigate Traffic Congestion in Jakarta” ini bukan sekadar studi akademis; ia adalah sebuah resep teknis, hukum, dan finansial untuk sebuah intervensi radikal yang dirancang untuk membongkar simpul kemacetan dari akarnya.1

Inti dari proposal ini adalah adopsi sistem jalan berbayar elektronik atau Electronic Road Pricing (ERP) yang ditenagai oleh Intelligent Transport Systems (ITS). Namun, di balik janji kelancaran lalu lintas dan keuntungan ekonomi triliunan rupiah, tersembunyi sebuah pedang bermata dua. Ini adalah sebuah pertaruhan besar yang akan mengubah secara fundamental perilaku komuter, menyingkirkan sebuah profesi informal yang lahir dari kebuntuan kebijakan, dan membebani sebagian masyarakat. Keberhasilan proyek raksasa ini, sebagaimana diungkap laporan tersebut, akan bergantung pada keseimbangan yang rapuh antara efisiensi teknologi dan keadilan sosial.

 

Mengukur Denyut Nadi Kemacetan: Apa yang Ditemukan Peneliti di Jalanan?

Sebelum menawarkan solusi, para peneliti JICA turun langsung ke arteri-arteri utama Jakarta untuk mengukur "penyakit" kemacetan secara presisi. Temuan mereka tidak hanya mengonfirmasi penderitaan yang dirasakan jutaan warga setiap hari, tetapi juga, yang lebih penting, memberikan justifikasi legal yang kokoh untuk mengambil tindakan drastis.

Survei Kecepatan Perjalanan (Travel Speed Survey) yang dilakukan di koridor-koridor target—Koridor 1 (Blok M-Kota) dan Koridor 6 (Ragunan-Bundaran HI)—menghasilkan data yang mengejutkan. Pada jam-jam puncak, kecepatan rata-rata kendaraan merosot hingga level yang mengkhawatirkan. Di beberapa titik, laju kendaraan bahkan lebih lambat dari orang yang berjalan kaki. Sebagai contoh, di ruas Jalan Gatot Subroto menuju Jalan Kapten Tendean pada sore hari (pukul 17:00-18:00), kecepatan anjlok hingga hanya 3 km/jam. Kondisi serupa terjadi di ruas Bundaran HI menuju Jembatan Dukuh Atas pada jam yang sama, di mana kecepatan juga jatuh ke angka 3 km/jam.1

Angka-angka ini bukan sekadar statistik yang menyedihkan, melainkan kunci legalitas untuk implementasi ERP. Peraturan Pemerintah (PP) 97/2012 secara spesifik menetapkan bahwa ERP dapat diterapkan pada ruas jalan yang kecepatan rata-ratanya pada jam puncak sama dengan atau kurang dari 10 km/jam.1 Dengan demikian, temuan survei JICA ini secara efektif memberikan "lampu hijau" hukum bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Ini menunjukkan bahwa survei tersebut bukan hanya riset akademis, tetapi sebuah langkah strategis untuk memenuhi prasyarat hukum yang dibutuhkan untuk sebuah kebijakan radikal.

Di tengah kekacauan ini, penelitian juga menyoroti sebuah ekosistem ekonomi informal yang unik: dunia para 'joki'. Fenomena ini bukanlah sekadar pelanggaran aturan, melainkan sebuah pasar yang lahir dari kebijakan "3 in 1" yang terbukti tidak efektif. Wawancara mendalam dengan para joki mengungkap struktur harga yang jelas untuk "layanan" mereka.1

  • Untuk perjalanan jarak jauh dari area Blok M/Senayan menuju Harmoni, pengemudi rata-rata membayar sekitar Rp 33.500.
  • Untuk rute yang lebih pendek, seperti dari Blok M/Senayan ke area Bank Indonesia, biayanya sekitar Rp 28.000.1

Keberadaan harga joki yang relatif tinggi ini mengungkap sebuah fakta psikologis yang penting: adanya kemauan membayar (willingness to pay) yang nyata di kalangan pengemudi untuk mempersingkat waktu tempuh atau sekadar menghindari aturan. Angka-angka ini menjadi tolok ukur krusial. Jika pengemudi bersedia membayar puluhan ribu rupiah untuk layanan informal tanpa jaminan, maka usulan tarif ERP formal yang lebih rendah menjadi lebih masuk akal dan berpotensi lebih mudah diterima oleh segmen pasar yang sama. ERP, dalam konteks ini, tidak memperkenalkan konsep "membayar untuk jalan" dari nol; ia hanya memformalkan dan meregulasi sebuah perilaku ekonomi yang sudah telanjur ada di jalanan Jakarta.

 

Jika Jalanan Berbayar, Apa yang Akan Dilakukan Warga Jakarta?

Pertanyaan terbesar dari setiap kebijakan yang mengubah kebiasaan adalah: bagaimana reaksi publik? Survei Willingness-to-Pay (WTP) JICA mencoba menjawab ini dengan menyajikan skenario masa depan kepada 1.200 pengguna mobil di koridor target, di mana setiap perjalanan mereka akan dikenakan biaya.1 Hasilnya menunjukkan potensi perubahan perilaku yang dramatis, sebuah eksodus massal dari kenyamanan mobil pribadi.

Ketika dihadapkan pada berbagai tingkat tarif, mayoritas responden menyatakan tidak akan pasrah membayar. Mereka akan mencari alternatif lain, dan pilihan mereka sangat bergantung pada di mana mereka berada. Alternatif utama yang dipilih antara lain:

  • Beralih ke Transportasi Publik: Ini menjadi pilihan teratas bagi pengguna di Koridor 1. Dengan tarif ERP sebesar Rp 15.000, sekitar 19% responden di koridor ini menyatakan akan beralih ke angkutan umum seperti Transjakarta.1
  • Beralih ke Sepeda Motor: Pilihan ini menjadi sangat signifikan, terutama di Koridor 6. Pada tarif yang sama, 14% responden di sana memilih untuk beralih ke kendaraan roda dua.1
  • Mengubah Waktu atau Rute Perjalanan: Banyak juga yang memilih untuk mengakali sistem dengan berangkat lebih pagi, pulang lebih malam, atau mencari "jalan tikus" untuk menghindari gerbang ERP.

Yang paling menarik dari temuan ini adalah perbedaan respons yang tajam antara pengguna Koridor 1 dan Koridor 6. Perbedaan ini bukan kebetulan, melainkan cerminan langsung dari ketersediaan dan kualitas alternatif transportasi. Di Koridor 1 (Blok M-Kota), yang merupakan rute utama Transjakarta dan akan dilintasi oleh MRT, peralihan ke transportasi publik menjadi pilihan yang dominan dan rasional. Sebaliknya, di Koridor 6 (Ragunan-Bundaran HI), di mana alternatif transportasi publik massal selain BRT lebih terbatas, niat untuk beralih ke sepeda motor jauh lebih tinggi.1

Perbedaan ini mengungkap sebuah kebenaran fundamental: ERP tidak beroperasi dalam ruang hampa. Efektivitasnya dalam mendorong pergeseran moda yang diinginkan—yaitu ke angkutan massal—sangat bergantung pada seberapa baik angkutan massal itu sendiri. Di koridor dengan pilihan yang baik, ERP berhasil mendorong perilaku yang ideal. Namun, di koridor dengan pilihan yang buruk, ERP berisiko hanya memindahkan kemacetan dari mobil ke lautan sepeda motor, yang berpotensi menimbulkan masalah baru terkait keselamatan dan ketertiban lalu lintas. Dengan kata lain, ERP berfungsi sebagai sebuah referendum atas kualitas transportasi publik di sebuah kota.

 

Formula Anti-Macet: Menetapkan Tarif Ideal dan Potensi Pendapatan Negara

Berbekal data perilaku pengemudi, para peneliti JICA melakukan serangkaian simulasi untuk menemukan "titik manis" (sweet spot)—sebuah tarif yang cukup tinggi untuk mengurangi kemacetan secara signifikan, namun tidak terlalu tinggi hingga membuat jalanan kosong dan pendapatan negara anjlok.

Hasil dari analisis peramalan permintaan lalu lintas (Traffic Demand Forecast) menyimpulkan bahwa tarif sebesar Rp 15.000 per perjalanan adalah angka yang paling optimal.1 Pada tingkat harga ini, proyeksi menunjukkan hasil yang sangat menjanjikan:

  • Volume lalu lintas diperkirakan akan berkurang sekitar 20%. Ini setara dengan menghilangkan satu dari setiap lima mobil pribadi di Jalan Sudirman pada jam puncak, sebuah skenario yang dapat memberikan ruang napas yang belum pernah terasa selama puluhan tahun.
  • Tarif ini juga memaksimalkan potensi pendapatan. Dengan biaya Rp 15.000 per perjalanan, proyek ini diproyeksikan mampu menghasilkan pendapatan tahunan kotor sekitar Rp 782,8 miliar.1

Namun, poin paling krusial yang digarisbawahi dalam kerangka hukum studi ini adalah sifat dari pendapatan tersebut. Uang yang terkumpul dari ERP, yang secara hukum diklasifikasikan sebagai "Retribusi Pengendalian Lalu Lintas," bukanlah pajak yang masuk ke kas umum negara. Peraturan Pemerintah (PP) 97/2012 dan PP 32/2011 secara eksplisit mengamanatkan bahwa seluruh pendapatan dari ERP wajib digunakan kembali secara eksklusif untuk meningkatkan kinerja lalu lintas dan layanan transportasi publik.1

Hal ini mengubah paradigma ERP dari sekadar "jalan berbayar" menjadi sebuah mekanisme pendanaan yang berkelanjutan dan mandiri (self-funding mechanism). Setiap rupiah yang dibayarkan oleh pengguna mobil pribadi secara langsung diinvestasikan kembali untuk membuat bus dan kereta menjadi lebih baik, lebih nyaman, dan lebih sering. Ini menciptakan sebuah siklus positif yang kuat: semakin banyak orang membayar ERP, semakin baik kualitas alternatif transportasi publik. Seiring waktu, kualitas transportasi publik yang meningkat akan mendorong lebih banyak orang untuk beralih secara sukarela, bahkan tanpa paksaan tarif. Dengan demikian, ERP dirancang sebagai alat yang pada akhirnya membayar untuk membuat dirinya sendiri kurang relevan di masa depan.

 

Pedang Bermata Dua: Keuntungan Ekonomi Melawan Biaya Sosial yang Mahal

Analisis JICA tidak berhenti pada perhitungan lalu lintas dan pendapatan. Mereka melakukan analisis biaya-manfaat (cost-benefit analysis) yang komprehensif untuk menjawab pertanyaan fundamental: apakah proyek ini benar-benar "layak" bagi Jakarta secara keseluruhan, dengan mempertimbangkan semua dampaknya?

Dari sisi ekonomi, hasilnya sangat positif. Proyek ini diproyeksikan memberikan keuntungan luar biasa bagi masyarakat luas 1:

  • Economic Internal Rate of Return (EIRR) sebesar 103,34%: Ini adalah tingkat pengembalian investasi yang sangat tinggi bagi masyarakat, jauh melampaui ambang batas kelayakan untuk proyek infrastruktur pada umumnya yang biasanya berada di kisaran 10-15%.
  • Benefit/Cost Ratio (B/C Ratio) sebesar 6,25: Angka ini adalah yang paling kuat. Artinya, untuk setiap satu rupiah yang diinvestasikan dalam pembangunan sistem ERP, masyarakat Jakarta akan menerima kembali manfaat senilai lebih dari enam rupiah. Manfaat ini terwujud dalam bentuk penghematan waktu tempuh, pengurangan konsumsi bahan bakar, penurunan polusi, dan peningkatan produktivitas ekonomi.
  • Net Present Value (NPV) sebesar Rp 5,5 triliun: Ini adalah nilai bersih keuntungan proyek dalam nilai uang hari ini, setelah dikurangi semua biaya investasi dan operasional.

Namun, di balik angka-angka impresif ini, laporan JICA juga secara jujur mengidentifikasi sisi gelap dari efisiensi, yaitu biaya sosial yang mahal. Implementasi ERP akan menjadi pedang bermata dua yang dampaknya sangat terasa bagi kelompok-kelompok rentan 1:

  • Nasib Para Joki: Sistem ERP secara otomatis akan menghapus total profesi joki. Ini bukan hanya soal kehilangan pekerjaan, tetapi juga hilangnya sumber penghidupan bagi kelompok masyarakat yang bergantung pada ekosistem informal kemacetan. Laporan ini mengidentifikasi mereka sebagai kelompok yang akan terdampak negatif secara langsung.
  • Beban bagi Rumah Tangga Berpenghasilan Rendah: Survei menunjukkan bahwa sekitar 27% pengguna mobil di koridor target memiliki pendapatan rumah tangga di bawah Rp 5 juta per bulan. Bagi mereka, tarif ERP Rp 15.000 per perjalanan (setara dengan sekitar Rp 660.000 per bulan untuk perjalanan pulang-pergi setiap hari kerja) akan menjadi beban finansial yang sangat berat. Mereka dihadapkan pada pilihan sulit: membayar biaya tambahan yang signifikan dari anggaran mereka yang terbatas, atau beralih ke transportasi publik yang mungkin menambah waktu dan ketidaknyamanan perjalanan mereka.

Lebih jauh, analisis risiko proyek mengungkap bahwa ancaman terbesar bagi keberhasilan ERP bukanlah kegagalan teknologi, melainkan tata kelola pemerintahan. Skema Kemitraan Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) yang diusulkan menempatkan "Risiko Permintaan Lalu Lintas" (Traffic Demand Risk) dan "Risiko Pembayaran Unitary" (Unitary Payment Risk) sepenuhnya pada pundak pemerintah.1 Artinya, pemerintah menjamin pembayaran secara berkala kepada investor swasta, terlepas dari berapa banyak mobil yang lewat atau berapa pendapatan yang terkumpul. Ini adalah strategi yang efektif untuk menarik investasi swasta, tetapi sekaligus menciptakan kerentanan terbesar proyek: konsistensi anggaran dan kemauan politik pemerintah. Jika terjadi gejolak politik, perubahan prioritas anggaran, atau penundaan birokrasi, pembayaran kepada pihak swasta bisa macet, dan seluruh proyek yang sangat menjanjikan ini bisa terancam gagal. Stabilitas jangka panjang proyek ini, pada akhirnya, tidak bergantung pada seberapa canggih kameranya, tetapi pada seberapa stabil dan disiplin pemerintah dalam memenuhi kewajiban kontraknya selama bertahun-tahun.

 

Visi Jakarta Masa Depan – Pertaruhan Teknologi untuk Kualitas Hidup

Laporan JICA secara gamblang menunjukkan bahwa Electronic Road Pricing bukanlah peluru perak yang akan menyelesaikan semua masalah transportasi Jakarta dalam sekejap. Ia adalah sebuah alat kebijakan yang sangat kuat namun tajam, yang menawarkan keuntungan ekonomi dan efisiensi yang luar biasa dengan biaya sosial yang nyata. Ini adalah sebuah pertukaran (trade-off) yang harus dikelola dengan hati-hati antara kelancaran kolektif dan beban individu, antara kemajuan teknologi dan jaring pengaman sosial.

Namun, visi yang ditawarkan sangatlah menarik. Jika diterapkan secara konsisten dan didukung oleh peningkatan masif transportasi publik yang didanai dari pendapatannya sendiri, temuan studi ini menunjukkan bahwa sistem ERP bisa mengurangi waktu tempuh rata-rata di koridor utama hingga 30-40% dan menghemat miliaran rupiah dari kerugian ekonomi akibat kemacetan dalam waktu lima tahun. Pada akhirnya, ini bukan hanya tentang memindahkan mobil secara lebih efisien, tetapi tentang sebuah pertaruhan untuk mengembalikan aset paling berharga yang telah dicuri oleh kemacetan selama puluhan tahun: waktu, produktivitas, dan kualitas hidup warga Jakarta.

 

Sumber Artikel:

Japan International Cooperation Agency. (2015). Preparatory Survey on Intelligent Transport System Project to mitigate Traffic Congestion in Jakarta (PPP Infrastructure Project) Final Report. Mitsubishi Heavy Industries, Ltd & Mitsubishi Research Institute, Inc.

Selengkapnya
Penelitian Mendalam JICA Mengungkap 'Harga' Kemacetan Jakarta – Ini Solusi Radikal dan Siapa yang Akan Terdampak

Infrastruktur Jalan

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Lambatnya Jalan Nasional – dan Ini Bukan Sekadar Soal Aspal Berlubang!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 14 Oktober 2025


Pernahkah Anda berkendara di jalan nasional yang baru saja diperbaiki? Aspalnya mulus, lebarnya memadai, dan secara teori, Anda seharusnya bisa memacu kendaraan dengan lancar. Namun, kenyataannya, laju kendaraan tetap terasa lambat, terjebak dalam iring-iringan panjang yang seolah tak berujung. Anda mungkin bertanya-tanya, "Jika jalan sudah bagus, mengapa kita tidak bisa melaju lebih cepat?" Pertanyaan ini, yang sering kali hanya menjadi keluhan di balik kemudi, ternyata adalah inti dari sebuah paradoks besar dalam pembangunan infrastruktur Indonesia.

Sebuah penelitian mendalam yang menyoroti program pemeliharaan jalan nasional di Sumatera Selatan membongkar sebuah kebenaran yang mengejutkan. Temuan ini mengindikasikan bahwa miliaran rupiah yang digelontorkan untuk melebarkan dan memuluskan jalan mungkin telah mengatasi masalah yang salah. Masalah sebenarnya, sang biang keladi dari lambatnya konektivitas kita, tersembunyi bukan pada permukaan aspal, melainkan pada sesuatu yang lebih fundamental: desain dan geometri jalan itu sendiri.

 

Ambisi Besar di Balik Aspal: Mengejar Mimpi Konektivitas Indonesia

Pembangunan jalan bukanlah sekadar proyek menambal lubang atau melapisi aspal. Di Indonesia, setiap kilometer jalan nasional yang dibangun adalah bagian dari sebuah visi yang jauh lebih besar. Proyek-proyek ini adalah urat nadi dari Rencana Strategis Direktorat Jenderal Bina Marga dan pilar utama dari Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), sebuah cetak biru ambisius untuk mengantarkan Indonesia menjadi negara maju.1 Tujuannya jelas: meningkatkan konektivitas antar koridor ekonomi utama, memperlancar arus logistik, dan pada akhirnya, memutar roda perekonomian lebih kencang.

Salah satu target paling krusial dalam rencana strategis periode 2015-2019 adalah mencapai waktu tempuh jalan nasional antara 1,0 hingga 2,0 jam per 100 km.1 Ini berarti, jalan arteri primer kita harus mampu melayani kendaraan dengan kecepatan rata-rata minimum . Namun, kenyataan di lapangan melukiskan gambaran yang berbeda. Berbagai studi menunjukkan bahwa waktu tempuh rata-rata di jalan nasional Indonesia mencapai 2,7 hingga 3,3 jam per 100 km, jauh tertinggal dari negara tetangga seperti Vietnam (2,0 jam per 100 km) dan Malaysia (1,5 jam per 100 km).1 Kesenjangan ini adalah alarm yang menandakan ada sesuatu yang tidak beres dalam strategi pembangunan kita.

Menyadari hal ini, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Bina Marga berupaya mengubah paradigma. Penelitian ini menyoroti adanya pergeseran fundamental dari pendekatan lama yang bersifat "reaktif"—di mana perbaikan hanya dilakukan setelah kerusakan terjadi—menuju pendekatan yang lebih "preventif" dan "antisipatif".1 Rencana strategis 2015-2019 bukanlah sekadar siklus anggaran rutin; ia adalah sebuah upaya sadar untuk merombak total cara Indonesia mengelola arteri ekonominya. Pemerintah tidak lagi ingin terkesan "terlambat menangani" masalah. Sebaliknya, mereka ingin menciptakan program yang rasional dan mampu mengantisipasi kebutuhan masa depan, terutama di jalur-jalur vital nasional. Inilah konteks yang membuat temuan penelitian ini menjadi semakin penting: kegagalan mencapai target kecepatan bukan terjadi dalam kerangka kerja yang usang, melainkan dalam sebuah sistem baru yang lebih canggih dan ambisius.

 

Membedah Jaringan Nadi Sumatera Selatan: Sebuah "Laboratorium" Nasional

Untuk memahami masalah konektivitas skala nasional, para peneliti tidak bisa menganalisis ribuan kilometer jalan secara serentak. Mereka memerlukan sebuah "laboratorium" di dunia nyata—sebuah wilayah yang cukup representatif untuk dijadikan model. Pilihan jatuh pada jaringan jalan nasional di Provinsi Sumatera Selatan, sebuah koridor ekonomi yang vital di bawah pengawasan Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional III.1 Wilayah ini menjadi ajang pembuktian bagi efektivitas rencana strategis baru pemerintah.

Metode yang digunakan untuk "mendiagnosis" kesehatan jalan ini bukanlah sekadar survei visual. Para peneliti menerapkan pendekatan canggih yang disebut Multi-criteria Analysis (MCA) atau Analisis Multi-kriteria.1 Bayangkan para peneliti ini bertindak seperti tim dokter spesialis yang melakukan check-up medis menyeluruh terhadap seorang pasien. Mereka tidak hanya mengukur "tanda-tanda vital" jalan—seperti kerataan permukaan atau jumlah lubang—tetapi juga menggali "gaya hidup" dan "peran sosial" jalan tersebut.

Proses diagnosis ini dibagi menjadi dua kategori besar:

  • Pemeriksaan Kondisi Teknis: Ini adalah "pemeriksaan fisik" jalan. Para peneliti mengukur serangkaian variabel kuantitatif untuk menilai performa struktural dan fungsionalnya. Variabel-variabel ini mencakup International Roughness Index (IRI) untuk mengukur kemulusan atau kerataan jalan, Surface Distress Index (SDI) untuk menghitung tingkat kerusakan permukaan seperti retak dan lubang, rasio volume terhadap kapasitas () untuk melihat tingkat kepadatan lalu lintas, serta kecepatan dan waktu tempuh aktual kendaraan.1 Setiap variabel diberi skor dari 1 (sangat buruk) hingga 6 (sangat baik).
  • Analisis Tingkat Kepentingan Area: Ini adalah "wawancara mendalam" untuk memahami peran strategis jalan tersebut. Sebuah jalan yang mulus di daerah terpencil tentu memiliki prioritas berbeda dengan jalan yang sedikit bergelombang tetapi merupakan satu-satunya akses ke pelabuhan utama. Peneliti menilai seberapa vital sebuah ruas jalan dengan melihat perannya dalam mendukung Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Sistem Logistik Nasional (Sislognas), koridor ekonomi, kawasan pariwisata strategis, hingga akses ke area pertambangan dan perkebunan.1 Setiap variabel ini diberi skor dari 1 (sangat penting) hingga 4 (tidak penting).

Dengan menggabungkan hasil "pemeriksaan fisik" dan "wawancara mendalam" ini, metode MCA memungkinkan penyusunan program pemeliharaan yang tidak hanya efektif secara teknis, tetapi juga efisien dan tepat sasaran secara strategis. Program yang diusulkan diharapkan menjadi solusi optimal yang menjawab kebutuhan nyata di lapangan, sejalan dengan target ambisius pemerintah pusat.

 

Paradoks Jalan Mulus Tapi Lambat: Temuan yang Menipu Sekaligus Mengejutkan

Ketika program pemeliharaan yang dirancang dengan cermat ini dijalankan selama lima tahun (2015-2019), hasilnya di atas kertas tampak luar biasa. Laporan kemajuan proyek menunjukkan serangkaian pencapaian yang bisa dibanggakan dan menandakan keberhasilan program. Data menunjukkan bahwa kondisi jalan nasional di Sumatera Selatan mengalami transformasi dramatis.

Pertama, dari sisi kapasitas, terjadi sebuah lompatan kuantum. Pada tahun 2014, hanya sekitar 73,76% dari total panjang jalan nasional di provinsi tersebut yang memiliki lebar standar minimum 7 meter. Namun pada tahun 2019, angka ini mencapai 100%.1 Bayangkan, hampir seperempat dari seluruh jaringan jalan yang tadinya mungkin sempit dan hanya cukup untuk dua mobil berpapasan dengan was-was, kini telah diperlebar menjadi standar jalan arteri yang layak. Secara teori, ini seharusnya mengurangi kemacetan dan meningkatkan kelancaran arus lalu lintas.

Kedua, kualitas permukaan jalan menunjukkan perbaikan yang tak kalah impresif. Tingkat kerataan jalan, yang diukur dengan nilai IRI, membaik secara signifikan. Persentase jalan dengan kondisi sangat mulus (nilai ) meroket dari 56,66% pada tahun 2014 menjadi 90,37% pada tahun 2019.1 Ini berarti, sembilan dari sepuluh kilometer perjalanan kini terasa mulus, nyaris tanpa guncangan berarti—sebuah standar kenyamanan yang didambakan setiap pengemudi. Demikian pula dengan kerusakan permukaan, yang diukur dengan SDI. Pada tahun 2019, 97,65% jalan berada dalam kondisi sangat baik (nilai ), yang berarti hampir seluruh jaringan jalan secara visual tampak nyaris sempurna, bebas dari retakan dan lubang yang membahayakan.1

Namun, di balik angka-angka keberhasilan yang gemilang ini, tersembunyi sebuah anomali yang membingungkan dan mengejutkan. Ketika para peneliti melihat indikator kinerja utama—yaitu kecepatan dan waktu tempuh—mereka menemukan sebuah kegagalan yang spektakuler.

Meskipun jalanan sudah 100% lebar dan lebih dari 90% mulus, ternyata hanya 18,50% dari total jaringan jalan yang berhasil mencapai target kecepatan ideal di atas . Lebih parah lagi, hanya 17,32% yang mampu memenuhi target waktu tempuh di bawah 1,6 jam per 100 km pada tahun 2019.1 Ini adalah sebuah paradoks yang menusuk: pemerintah seolah telah memberikan sebuah mobil balap (infrastruktur jalan yang lebar dan mulus), tetapi lintasannya ternyata penuh dengan kelokan tajam dan rintangan tak terlihat sehingga mobil itu tidak pernah bisa dipacu hingga kecepatan maksimalnya. Akibatnya, lebih dari 80% jaringan jalan nasional di wilayah studi gagal berfungsi sebagai arteri primer yang sesungguhnya, sebuah fungsi yang menjadi inti dari seluruh rencana strategis tersebut.

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Cara Kita Membangun Jalan?

Kegagalan massal dalam mencapai target kecepatan dan waktu tempuh memaksa kita untuk bertanya lebih dalam: apa sebenarnya biang keladi masalah ini? Jawaban yang disodorkan oleh penelitian ini sangat jelas dan berpotensi mengubah arah kebijakan infrastruktur di Indonesia. Penyebabnya bukanlah kualitas aspal, kepadatan lalu lintas, atau kurangnya pemeliharaan rutin. Hambatan utama terletak pada faktor yang selama ini luput dari perhatian program pemeliharaan: geometri jalan yang di bawah standar (substandard road geometric).1

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan "geometri jalan di bawah standar"? Secara sederhana, ini adalah desain fisik dari sebuah jalan. Bayangkan sebuah jalan dengan tikungan yang terlalu tajam untuk dilalui dengan kecepatan tinggi, tanjakan yang sangat curam sehingga memaksa truk-truk besar berjalan merangkak dan menciptakan antrean panjang di belakangnya, atau turunan berbahaya yang menuntut pengereman konstan. Inilah contoh-contoh nyata dari geometri yang buruk. Sebagus apa pun aspalnya atau selebar apa pun jalannya, kendaraan tidak akan pernah bisa melaju cepat dan aman di lintasan dengan desain seperti itu.

Di sinilah letak "titik buta" dari sebuah strategi yang di atas kertas tampak sempurna. Program pemeliharaan yang menelan biaya besar ini ternyata hanya berfokus pada "kosmetik" jalan—membuatnya tampak mulus dan lebar—sambil mengabaikan "kerangka tulangnya", yaitu desain geometris yang menentukan performa sesungguhnya. Ini seperti merenovasi sebuah rumah dengan cat paling mahal dan perabotan mewah, tetapi membiarkan fondasi yang miring dan struktur bangunan yang bermasalah tetap tak tersentuh. Hasilnya mungkin indah dipandang, tetapi tidak fungsional dan tidak akan bertahan lama.

Temuan ini mengungkap adanya sebuah kelemahan sistemik dalam cara kita mendefinisikan dan mengukur keberhasilan proyek infrastruktur. Program di Sumatera Selatan ini berhasil jika diukur dari metrik output (keluaran), seperti kilometer jalan yang dilebarkan atau persentase jalan dengan IRI yang baik. Namun, program ini gagal total jika diukur dari metrik outcome (hasil akhir), yaitu efisiensi perjalanan bagi pengguna jalan.

Kondisi ini menunjukkan adanya ketidakselarasan yang kritis antara apa yang dibangun dan apa yang sesungguhnya dibutuhkan. Fokus pada target-target fisik yang mudah diukur dan dilaporkan, seperti lebar jalan dan kualitas permukaan, telah mengesampingkan pekerjaan yang lebih kompleks, lebih mahal, tetapi pada akhirnya jauh lebih berdampak: perbaikan geometri jalan. Kegagalan ini bukanlah kegagalan dalam eksekusi pelebaran atau pengaspalan, melainkan kegagalan dalam desain program intervensi itu sendiri. Ini menjadi pelajaran berharga bagi seluruh proyek infrastruktur di Indonesia: keberhasilan sejati harus diukur dari pengalaman akhir pengguna dan dampak ekonominya, bukan sekadar dari selesainya pekerjaan konstruksi fisik.

 

Dampak Nyata dan Arah Kebijakan di Masa Depan

Paradoks jalan mulus tapi lambat ini bukanlah sekadar anomali teknis; ia memiliki dampak nyata yang merugikan bagi ekonomi dan masyarakat luas. Ketika jalan arteri utama tidak berfungsi sebagaimana mestinya, efek dominonya terasa di berbagai sektor.

Bagi dunia usaha dan industri logistik, jalan yang lambat berarti biaya operasional yang membengkak. Setiap jam tambahan yang dihabiskan di jalan berarti konsumsi bahan bakar yang lebih tinggi, biaya upah pengemudi yang meningkat, dan jadwal pengiriman yang molor. Keterlambatan ini dapat mengganggu rantai pasok, meningkatkan risiko kerusakan barang, dan pada akhirnya, semua biaya tambahan ini akan dibebankan kepada konsumen dalam bentuk harga barang yang lebih mahal.

Bagi perekonomian daerah, konektivitas yang buruk adalah penghambat utama pertumbuhan. Akses yang lambat ke pelabuhan, bandara, atau pusat-pusat industri akan menghalangi masuknya investasi baru. Produk-produk lokal, seperti hasil pertanian atau perkebunan, menjadi lebih sulit dan mahal untuk didistribusikan ke pasar yang lebih luas, sehingga menurunkan daya saingnya. Akibatnya, potensi ekonomi daerah tidak dapat berkembang secara optimal.

Bagi masyarakat umum, ini adalah soal waktu yang terbuang sia-sia di perjalanan, mengurangi produktivitas kerja dan waktu berharga bersama keluarga. Tingkat stres yang lebih tinggi dan risiko kecelakaan di jalan dengan geometri berbahaya juga menjadi konsekuensi langsung.

Melihat dampak yang begitu luas, temuan penelitian ini mendesak adanya perubahan fundamental dalam arah kebijakan infrastruktur. Pemerintah tidak bisa lagi hanya berfokus pada program "preservasi" atau pemeliharaan kondisi jalan yang ada. Langkah selanjutnya haruslah menuju "modernisasi" jalan nasional, yang berarti intervensi yang lebih berani dan mendasar. Anggaran di masa depan harus secara spesifik dialokasikan untuk program perbaikan geometri. Ini bisa berarti meluruskan tikungan-tikungan tajam, melandaikan tanjakan-tanjakan ekstrem, atau bahkan membangun infrastruktur baru seperti flyover, underpass, atau jalan lingkar (bypass) untuk mengatasi titik-titik kemacetan kronis yang disebabkan oleh desain jalan yang usang.1

Jika temuan dari penelitian ini diadopsi sebagai cetak biru kebijakan infrastruktur nasional, fokus investasi yang beralih dari sekadar pelapisan aspal ke perbaikan desain geometris bisa menjadi game-changer. Ini berpotensi memangkas waktu tempuh logistik di koridor-koridor utama hingga 20-30% dan secara langsung mengurangi biaya transportasi barang nasional secara signifikan dalam satu dekade ke depan, membuka jalan bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih merata dan efisien.

Pada akhirnya, untuk membangun Indonesia yang benar-benar terhubung dan berdaya saing secara ekonomi, kita membutuhkan lebih dari sekadar jalan yang mulus dan lebar. Kita membutuhkan jalan yang cerdas—jalan yang direkayasa untuk performa, dirancang dengan presisi, dan dibangun untuk kecepatan. Jalan ke depan bukanlah tentang melapisi lebih banyak kilometer aspal, tetapi tentang mendesain ulang kilometer-kilometer tersebut untuk masa depan.

 

Sumber Artikel:

Ardhiarini, R. (2016). Identification of National Road Maintenance Needs based on Strategic Plan of Directorate General of Bina Marga (2015-2019). Journal of the Civil Engineering Forum, 2(2), 75–84.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Lambatnya Jalan Nasional – dan Ini Bukan Sekadar Soal Aspal Berlubang!

Ekonomi dan Bisnis

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kontrak Proyek Infrastruktur Indonesia – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 14 Oktober 2025


Mengurai Benang Kusut: Mengapa Manajemen Kontrak Tak Selalu Cukup Dikuasai

Suka atau tidak, dinamika pembangunan di Indonesia akan selalu diwarnai oleh satu isu krusial: permasalahan kontraktual. Sebagai landasan hukum dalam setiap proyek konstruksi, kontrak adalah jantung yang menentukan keberhasilan, dan sayangnya, kerap menjadi sumber kegagalan. Sebuah karya praktis, "100 Tanya-Jawab Permasalahan Kontrak Konstruksi Indonesia" yang ditulis oleh Seng Hansen, akademisi sekaligus praktisi, berupaya membedah isu-isu ini dari akarnya. Temuan yang paling mengejutkan dari buku ini adalah pemahaman yang belum matang tentang Manajemen Kontrak Konstruksi (MKK) sebagai sebuah disiplin ilmu di Indonesia.1

MKK sendiri bukanlah Manajemen Konstruksi (MK) yang lebih umum dikenal. Jika MK adalah pengelolaan proyek secara menyeluruh yang mencakup perencanaan, koordinasi, dan pengendalian aspek kualitas, biaya, dan waktu, MKK adalah sub-bidang spesifik yang berfokus pada pengelolaan kontrak.1 MKK adalah pedoman dan alat pengendali yang memastikan hubungan hukum, distribusi risiko, serta hak dan kewajiban setiap pihak berjalan sebagaimana mestinya. Ketiadaan pemahaman yang mendalam terhadap disiplin ilmu ini terbukti menjadi benang kusut di balik banyaknya sengketa yang terjadi.1

Buku ini mengungkap tiga faktor utama yang menyebabkan MKK belum berkembang pesat di Indonesia. Pertama, praktik MKK di lapangan seringkali mengadopsi standar internasional namun dimodifikasi terlalu bebas tanpa fondasi keilmuan yang kuat. Kedua, tidak adanya pendidikan formal atau sertifikasi profesi yang berfokus pada MKK. Berbeda dengan negara tetangga seperti Malaysia, di mana MKK sudah menjadi program Magister, di Indonesia MKK seringkali hanya menjadi topik selayang pandang dalam mata kuliah Manajemen Konstruksi di tingkat Sarjana.1 Ketiga, belum adanya pedoman atau peraturan baku yang menjadi rujukan standar praktik MKK nasional.1

Kondisi ini menciptakan sebuah siklus yang problematis. Kurangnya pendidikan formal menyebabkan para praktisi belajar secara otodidak atau menerapkan praktik seadanya, yang pada akhirnya memicu lebih banyak masalah kontraktual. Pada gilirannya, banyaknya permasalahan ini menuntut adanya jawaban praktis, yang justru menjadi motivasi penulisan buku ini. Lahirnya Komunitas Manajemen Kontrak Konstruksi Indonesia (KMKKI) yang beranggotakan para akademisi dan praktisi merupakan sebuah langkah proaktif untuk mengisi kekosongan tersebut, mendorong kemajuan dan diseminasi ilmu MKK yang berlandaskan standar internasional namun tetap menjunjung kebijaksanaan lokal.1

 

Di Balik Tanda Tangan: Mengapa Perjanjian Tak Selalu Selesai di Meja Negosiasi

Proses penyusunan kontrak kerap dianggap sebagai formalitas, padahal di sinilah risiko terbesar bersembunyi. Buku ini menekankan bahwa kontrak yang baik haruslah hitam di atas putih dan mudah dipahami, disusun dengan prinsip-prinsip yang logis, terorganisir, dan menghindari ambiguitas.1 Namun, di balik serangkaian klausul, terdapat dinamika kekuasaan yang seringkali mengikis prinsip kesetaraan.

Menurut studi yang dikutip dalam buku, permasalahan kesetaraan kontrak di Indonesia masih jauh dari predikat adil. Hal ini terlihat dari sanksi yang timpang: kelalaian penyedia jasa (kontraktor) dapat dikenai sanksi berat, sementara kelalaian pengguna jasa (pemilik proyek) seringkali hanya berujung pada sanksi ringan atau bahkan tanpa sanksi sama sekali. Ketidaksetaraan ini menciptakan lingkungan di mana satu pihak dapat memaksakan pemahaman kontrak di luar koridor yang seharusnya, menjadikan hubungan kontraktual tidak seimbang.1

Ketimpangan ini juga tecermin dalam hierarki dokumen kontrak yang seringkali tidak jelas. Proyek konstruksi melibatkan banyak dokumen teknis seperti Rencana Anggaran Biaya (RAB), gambar rencana (DED), dan spesifikasi teknis. Tanpa hierarki yang jelas, perbedaan data di antara dokumen-dokumen ini dapat memicu konflik. Buku ini dengan lugas memaparkan contoh hierarki yang umum, di mana adendum, surat perjanjian, dan syarat-syarat khusus kontrak memiliki prioritas lebih tinggi dibanding dokumen lain.1 Penjelasan ini sangat penting, karena tanpa hierarki yang jelas, klaim sebesar apa pun bisa kandas di tengah jalan hanya karena perbedaan interpretasi dokumen.

Fenomena ini adalah cerminan dari kurangnya pemahaman MKK yang meluas, di mana kontrak dibuat dengan modifikasi seadanya tanpa mempertimbangkan dampaknya. Solusi yang dianjurkan adalah penggunaan Format Standar Kontrak Konstruksi (FSKK) yang dibuat oleh pihak netral, seperti FIDIC (Fédération Internationale Des Ingénieurs-Conseils). FSKK yang baik, seperti FIDIC Red Book, memiliki Golden Principles yang menjamin alokasi risiko yang adil dan seimbang, serta penyelesaian sengketa yang lebih teratur.1 Keberadaan buku ini dan FSKK menjadi sebuah kritik realistis: bahwa permasalahan yang sering kita lihat bukan hanya tentang niat buruk, melainkan juga tentang ketidakmampuan profesional untuk membuat kontrak yang adil.

 

Kisah Lumpsum dan Desain-Bangun: Mitos dan Fakta di Mata Auditor dan Pelaksana Proyek

Dalam dunia kontrak, jenis lumpsum dan Design and Build (DB) seringkali menjadi sumber kebingungan. Kontrak lumpsum adalah perjanjian dengan harga pasti yang tidak akan berubah, di mana semua risiko ditanggung sepenuhnya oleh kontraktor.1 Sementara itu, kontrak DB adalah jenis di mana kontraktor bertanggung jawab penuh atas desain dan pelaksanaan pekerjaan di lapangan, memberikan kesempatan untuk inovasi dan efisiensi.1

Namun, di sini terletak paradoks terbesar yang diungkap buku ini: banyak auditor, terutama dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kerap mengevaluasi proyek lumpsum dengan kacamata kontrak unit-price (harga satuan). Mereka berpendapat bahwa jika volume pekerjaan yang terealisasi lebih sedikit dari yang tercantum di RAB, maka hal itu adalah kerugian negara dan kontraktor wajib mengembalikan kelebihan pembayaran.1 Padahal, esensi kontrak lumpsum adalah kepastian biaya bagi pemilik proyek dan transfer risiko yang lebih besar kepada kontraktor. Jika seorang kontraktor berhasil menciptakan efisiensi yang signifikan, misalnya mengurangi volume material melalui rekayasa nilai, seharusnya hal itu menjadi keuntungan mereka.

Namun, cara pandang auditor ini menciptakan model risiko yang tidak adil: kontraktor menanggung risiko kerugian jika ada pekerjaan tambahan, tetapi tidak diizinkan menikmati keuntungan dari efisiensi yang diciptakan. Ini dapat mengecilkan dampak inovasi dan mengurangi semangat kompetitif dalam industri. Dalam beberapa kasus, perbedaan interpretasi ini bahkan berujung ke pengadilan, mencerminkan adanya ketidaktepatan pengambilan keputusan di tingkat auditor.1

Perlu diketahui bahwa Peraturan Presiden (Perpres) No. 16/2018 telah menghilangkan ketentuan sebelumnya yang melarang pekerjaan tambah/kurang pada kontrak lumpsum, menegaskan bahwa perubahan nilai kontrak dimungkinkan jika terjadi perubahan lingkup pekerjaan atau spesifikasi.1 Dengan demikian, permasalahan ini bukanlah sekadar masalah teknis, melainkan cerminan dari tantangan sistemis dalam pengelolaan keuangan negara dan pemahaman yang masih tumpang tindih mengenai alokasi risiko yang wajar.

 

Saat Bencana dan Konflik Datang: Mengapa Keadaan Kahar Bukan Sekadar Klausa Kertas

Proyek konstruksi tidak pernah berjalan dalam ruang hampa. Ada kalanya, di tengah perjalanan, ia dihadapkan pada situasi yang tidak terduga, seperti bencana alam atau konflik sosial. Dalam dunia hukum, kondisi ini dikenal dengan istilah Keadaan Kahar atau force majeure, yang merupakan doktrin dari sistem Hukum Sipil.1 Buku ini menjelaskan bahwa suatu peristiwa dapat dikategorikan sebagai keadaan kahar jika memenuhi lima karakteristik: tidak terduga, tidak terhindarkan, tidak dapat dikendalikan, menghambat pemenuhan kewajiban, dan di luar tanggung jawab para pihak.1

Pandemi COVID-19 yang terjadi baru-baru ini adalah contoh nyata bagaimana sebuah exceptional event bisa menguji ketahanan sebuah kontrak. Sebuah studi yang dipaparkan dalam buku ini mengungkapkan bahwa dampak pandemi sungguh luar biasa. Lebih dari separuh proyek (56,78%) mengalami perlambatan, dan sebagian besar (84,92%) mengalami perubahan besar, baik dalam target, struktur organisasi, maupun budaya kerja.1 Angka-angka ini menunjukkan bahwa Keadaan Kahar bukan sekadar klausa teoretis, melainkan realitas yang dapat menghantam proyek dengan dampak seperti menaikkan biaya dari Rp 20 juta menjadi Rp 70 juta.1

Lebih lanjut, buku ini menyoroti bahwa di Indonesia, Keadaan Kahar tidak hanya terbatas pada bencana alam. Konteks lokal yang unik, seperti keberadaan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), juga dapat dikategorikan sebagai peristiwa Keadaan Kahar yang dapat menghambat pelaksanaan proyek.1 Hal ini memberikan sebuah pelajaran penting: klausul-klausul dalam kontrak konstruksi tidak bisa bersifat generik, tetapi harus secara eksplisit memasukkan elemen-elemen risiko yang relevan dengan kondisi geografis dan sosial di Indonesia. Tanpa klausul yang jelas, kontraktor yang proyeknya terhambat karena masalah keamanan tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengajukan klaim perpanjangan waktu atau biaya tambahan.1

 

Titik Didih: Meredakan Konflik dan Menyelesaikan Klaim Tanpa Harus ke Meja Hijau

Meski kontrak telah disusun seadil mungkin, konflik tetap akan muncul. Buku ini secara realistis mengakui bahwa setiap kegiatan kontrak konstruksi berpotensi terjadi sengketa.1 Namun, yang menjadi ironi di Indonesia adalah pengajuan klaim konstruksi kerap dianggap tabu, terutama ketika berurusan dengan pihak pemerintah.1 Kontraktor seringkali enggan mengajukan klaim karena takut dicap sebagai rewel atau bahkan khawatir akan masuk daftar hitam.

Padahal, klaim bukanlah sesuatu yang harus dihindari; melainkan sebuah hak kontraktual yang sah. MKK yang baik mengajarkan bahwa manajemen klaim adalah proses yang harus dikuasai, mulai dari identifikasi, notifikasi, dokumentasi, hingga negosiasi.1 Tanpa dokumentasi yang akurat, klaim yang sebetulnya valid dapat dengan mudah ditolak, seperti kasus seorang kontraktor yang ditolak klaimnya karena tidak menyajikan data lengkap saat pemeriksaan prestasi pekerjaan.1

Untuk meredakan titik didih konflik, buku ini menyarankan mekanisme Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagai langkah pertama sebelum membawa masalah ke meja hijau. Prosesnya dimulai dari negosiasi langsung, berlanjut ke mediasi, dan kemudian ke ajudikasi. Buku ini memperkenalkan model Dewan Pencegahan dan Ajudikasi Sengketa (DAAB) yang direkomendasikan oleh FIDIC. DAAB adalah dewan yang terdiri dari satu atau tiga ahli yang ditunjuk oleh kedua pihak untuk menengahi dan memutuskan sengketa. Keputusan DAAB bersifat mengikat, cepat, dan tidak menghentikan progres pekerjaan di lapangan.1

Keunggulan ADR dibandingkan litigasi (jalur pengadilan) adalah kecepatannya, biayanya yang lebih efisien, serta kemampuannya untuk menjaga hubungan baik antara para pihak. Ketergantungan pada proses hukum formal seringkali memakan waktu bertahun-tahun dan biaya yang besar, yang pada akhirnya merugikan semua pihak. Dengan mempromosikan ADR dan manajemen klaim yang profesional, buku ini tidak hanya memberikan jawaban, tetapi juga mendorong perubahan budaya dari yang konfrontatif menjadi kolaboratif.

 

Sebuah Peta Jalan Menuju Industri Konstruksi yang Lebih Adil dan Akuntabel

Buku "100 Tanya-Jawab Permasalahan Kontrak Konstruksi Indonesia" bukanlah sekadar kumpulan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan teknis. Karya ini adalah sebuah cermin yang merefleksikan tantangan fundamental yang dihadapi industri konstruksi di Indonesia. Ia menunjukkan bahwa banyak masalah, dari proyek yang mangkrak hingga sengketa di pengadilan, berakar dari satu hal: ketidakmatangan Manajemen Kontrak Konstruksi sebagai sebuah disiplin ilmu dan praktik.

Temuan ini membawa kita pada kesimpulan mendalam. Pertama, ketidakjelasan dalam kontrak dan pemahaman yang tumpang tindih tentang jenis-jenis kontrak bukanlah kebetulan. Ini adalah hasil dari kurangnya edukasi formal dan standar baku. Kedua, pendekatan auditor yang keliru terhadap kontrak lumpsum menciptakan lingkungan di mana efisiensi dan inovasi dihukum, padahal seharusnya diberi insentif. Ketiga, realitas geografis dan sosial Indonesia menuntut kontrak yang lebih spesifik dan detail, terutama dalam mengelola Keadaan Kahar seperti pandemi atau konflik. Terakhir, budaya yang menganggap klaim sebagai tabu menunjukkan ketidakpercayaan yang lebih dalam terhadap sistem penyelesaian sengketa, mendorong perlunya adopsi mekanisme ADR yang lebih cepat dan efisien.

Secara keseluruhan, jika diterapkan, temuan dari buku ini berpotensi untuk membawa transformasi nyata. Pemahaman yang lebih baik tentang MKK akan menciptakan kontrak yang lebih adil dan transparan. Lingkungan yang menghargai efisiensi akan mendorong inovasi. Dan sistem penyelesaian sengketa yang lebih profesional akan mengurangi biaya hukum yang tidak perlu dan mempercepat penyelesaian proyek. Dalam waktu lima tahun, adopsi prinsip-prinsip ini dapat mengurangi biaya proyek hingga 10-15% dan memangkas waktu penyelesaian yang disebabkan oleh sengketa, mewujudkan mimpi infrastruktur Indonesia yang lebih kuat, lebih adil, dan lebih akuntabel.

Sumber Artikel:

Hansen, S. 100 Tanya-Jawab P.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Kontrak Proyek Infrastruktur Indonesia – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Masalah Proyek Kontruksi

Anggaran Jalan Hanya 28%, Jawa Tengah Rilis Strategi Tak Terduga Melibatkan Warga – Ini Hasilnya

Dipublikasikan oleh Hansel pada 14 Oktober 2025


Sebuah penelitian mendalam mengungkap dilema besar yang dihadapi infrastruktur vital di Jawa Tengah. Di satu sisi, ada kebutuhan anggaran yang masif untuk menjaga urat nadi ekonomi tetap mulus. Di sisi lain, realitas fiskal yang terbatas memaksa pemerintah untuk berinovasi dengan cara yang belum pernah terpikirkan sebelumnya, mengubah setiap warga negara menjadi pengawas dan setiap komunitas menjadi tim perbaikan. Ini adalah kisah tentang krisis, kreativitas, dan masa depan jalan yang kita lalui setiap hari.

 

Krisis di Balik Aspal: Mengapa Nadi Ekonomi Jawa Tengah Terancam Tersumbat?

Bayangkan jika dompet Anda untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidup selama sebulan penuh hanya terisi sekitar 28% dari yang seharusnya. Mustahil untuk berfungsi optimal, bukan? Itulah gambaran presisi dari kondisi anggaran pemeliharaan jalan rutin di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2023. Sebuah penelitian terbaru yang dipublikasikan dalam Journal of Applied Engineering Science membedah krisis senyap ini dengan data yang gamblang dan mengkhawatirkan.1

Menurut analisis sistematis menggunakan aplikasi canggih untuk Perencanaan, Pemrograman, dan Penganggaran (analisis P/KRMS), kebutuhan ideal untuk menjaga seluruh jaringan jalan provinsi di Jawa Tengah dalam kondisi stabil dan layak adalah sebesar IDR 441.246.000.000,00 pada tahun 2023. Angka ini bukan sekadar daftar keinginan; ia adalah hasil kalkulasi teknis yang memperhitungkan tingkat kerusakan, volume lalu lintas, dan tindakan preventif yang diperlukan agar jalan tidak rusak parah dan menelan biaya perbaikan yang jauh lebih mahal di kemudian hari.1

Namun, realitas anggaran yang tersedia melukiskan cerita yang sangat berbeda. Dari kebutuhan lebih dari IDR 441 miliar tersebut, dana yang terealisasi untuk pemeliharaan rutin hanyalah IDR 125.686.108.000,00. Artinya, pemerintah provinsi hanya mampu memenuhi 28,48% dari total kebutuhan yang direkomendasikan oleh model teknis. Terjadi sebuah kesenjangan pembiayaan yang menganga, mencapai lebih dari 71% dari total kebutuhan, sebuah defisit yang secara langsung diterjemahkan menjadi penurunan kualitas aspal yang dirasakan oleh jutaan pengguna jalan setiap harinya.1

Masalah ini bukanlah sebuah anomali yang terjadi dalam satu tahun saja. Penelitian ini menggarisbawahi bahwa ketidakselarasan antara kebutuhan pendanaan dan anggaran yang tersedia adalah sebuah isu kronis. Jalan raya, yang merupakan investasi modal negara yang signifikan, tidak dapat mencapai umur layanan yang direncanakan karena kurangnya dana pemeliharaan yang berkelanjutan.1 Ini adalah penyakit sistemik di mana infrastruktur yang telah susah payah dibangun tidak dapat dipertahankan dalam kondisi baik, menciptakan lingkaran setan kerusakan dan perbaikan darurat yang tidak efisien.

Yang membuat situasi ini semakin kompleks adalah sebuah fakta yang tampaknya paradoks. Anggaran pemeliharaan rutin tahun 2023 sebesar IDR 125,6 miliar itu sesungguhnya merupakan sebuah kenaikan sebesar 8,91% dibandingkan anggaran tahun 2022 yang berada di angka IDR 115,4 miliar.1 Fakta ini menunjukkan bahwa pemerintah sebenarnya telah berupaya meningkatkan alokasi dana. Namun, di saat yang sama, kondisi jalan justru memburuk. Ini adalah sinyal kuat bahwa laju kerusakan jalan telah melampaui kemampuan pemerintah untuk mengejarnya, bahkan dengan anggaran yang sedikit lebih besar. Masalahnya bukan lagi sekadar tentang menambah anggaran, tetapi tentang skala masalah yang telah tumbuh lebih cepat daripada solusi finansial yang ada.

 

Data Bicara: Jejak Roda di Atas Angka Penurunan Kualitas Jalan

Kesenjangan anggaran yang dijelaskan di atas bukanlah sekadar angka dalam laporan birokrasi. Ia memiliki dampak nyata yang terukur di lapangan, tercermin dalam kondisi fisik ribuan kilometer jalan provinsi. Penelitian ini menyajikan data longitudinal dari tahun 2019 hingga 2023, yang jika dibaca secara naratif, menceritakan sebuah drama tentang kemunduran, harapan sesaat, dan kekambuhan yang mengkhawatirkan.1

Konsekuensi paling langsung dari defisit anggaran tahun 2023 adalah penurunan nilai kemantapan (stabilitas) jalan sebesar 1,61% dibandingkan dengan tahun 2022.1 Angka ini mungkin terdengar kecil bagi orang awam, namun dalam skala jaringan jalan provinsi, ini setara dengan puluhan, bahkan ratusan, kilometer jalan yang berubah status dari mulus menjadi bergelombang, dari aman menjadi lebih berisiko. Ini adalah penurunan kualitas yang dirasakan dalam bentuk guncangan di dalam kendaraan, waktu tempuh yang lebih lama, dan peningkatan biaya operasional kendaraan bagi masyarakat.

Mari kita telusuri perjalanan kondisi jalan di Jawa Tengah selama lima tahun terakhir. Pada tahun 2019, kondisi jalan provinsi berada pada titik yang sangat baik. Sebanyak 84,89% dari total panjang jalan berada dalam kategori "Baik". Namun, periode 2020 hingga 2021 menjadi saksi bisu sebuah penurunan drastis. Pada tahun 2021, persentase jalan dalam kondisi "Baik" anjlok hingga hanya tersisa 40,15%. Sebaliknya, jalan dalam kondisi "Sedang" meledak dari hanya 10,15% pada tahun 2019 menjadi 50,71% pada tahun 2021. Ini adalah periode di mana jalan-jalan yang sebelumnya mulus mulai menunjukkan tanda-tanda kerusakan, menjadi tidak rata, dan membutuhkan perhatian serius.1

Kemudian, datanglah tahun 2022, sebuah anomali yang penuh harapan. Pada tahun ini, terjadi pembalikan tren yang luar biasa. Persentase jalan dalam kondisi "Baik" melonjak kembali ke angka 83,60%, hampir menyamai level tahun 2019. Kondisi jalan "Sedang" pun berhasil ditekan kembali ke level 8,89%. Kemantapan jalan secara keseluruhan mencapai puncaknya di angka 92,49%.1 Apa yang terjadi di tahun 2022? Data anggaran menunjukkan korelasi yang kuat. Anggaran pemeliharaan pada tahun itu mengalami peningkatan signifikan dari tahun sebelumnya. Tahun 2022 seolah menjadi sebuah "studi kasus internal" yang membuktikan hipotesis utama: ketika pendanaan yang memadai dialokasikan, hasilnya akan langsung terlihat pada peningkatan kualitas jalan secara masif. Ini adalah bukti konsep bahwa metode pemeliharaan yang ada sangat efektif, asalkan didukung oleh sumber daya yang cukup.

Sayangnya, harapan tersebut tidak bertahan lama. Tahun 2023 menjadi babak kemunduran. Meskipun, seperti yang telah dibahas, anggaran tahun 2023 sedikit lebih tinggi daripada tahun 2022, hasilnya justru berbalik. Jalan dalam kondisi "Baik" turun menjadi 69,50%, sementara jalan dalam kondisi "Sedang" membengkak lebih dari dua kali lipat menjadi 21,38%.1 Fenomena ini mengisyaratkan adanya sebuah "titik kritis pemeliharaan" (maintenance tipping point). Ketika kerusakan kecil seperti lubang atau retakan diabaikan karena keterbatasan dana, kerusakan tersebut tidak tumbuh secara linear, melainkan eksponensial. Sebuah lubang kecil yang bisa ditambal dengan biaya murah akan berkembang menjadi kerusakan struktur yang lebih luas dan membutuhkan perbaikan dengan biaya berkali-kali lipat. Data tahun 2023 menunjukkan bahwa akumulasi "utang pemeliharaan" dari tahun-tahun sebelumnya telah mencapai titik di mana laju kerusakan kini lebih cepat daripada kapasitas perbaikan yang bisa dilakukan dengan kenaikan anggaran yang tidak seberapa. Jawa Tengah, tampaknya, telah melewati titik kritis tersebut.

 

Saat Pemerintah Berpaling ke Warga: Lahirnya Duet Inovasi "Jalan Cantik" dan "Mas BIMA"

Di hadapan tantangan fiskal yang begitu besar, menyerah bukanlah pilihan. Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, melalui Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Cipta Karya, mengambil langkah strategis yang tidak konvensional. Ketika kas negara tidak mampu menutupi seluruh kebutuhan, mereka tidak hanya mengencangkan ikat pinggang, tetapi juga membuka pintu dan jendela, beralih dari model penanganan top-down yang tradisional ke sebuah strategi yang merangkul kekuatan terbesar mereka: partisipasi aktif warganya sendiri.1

Lahirnya dua program inovatif, aplikasi "Jalan Cantik" dan gerakan komunitas "Mas BIMA" (Masyarakat Bina Marga), menandai pergeseran paradigma ini. Keduanya dirancang untuk bekerja secara sinergis, memaksimalkan setiap rupiah dari anggaran yang terbatas untuk menghasilkan dampak yang paling terasa di lapangan.1

Inovasi pertama adalah "Jalan Cantik", sebuah aplikasi digital yang mengubah setiap ponsel pintar di tangan warga menjadi alat pengawasan sipil. Aplikasi ini dirancang agar masyarakat dapat "turut serta melaporkan kondisi jalan yang rusak dalam waktu singkat".1 Dengan beberapa kali sentuhan di layar, warga bisa mengirimkan foto dan lokasi kerusakan langsung ke sistem pemerintah. Ini bukan sekadar kanal pengaduan biasa. "Jalan Cantik" berfungsi sebagai sistem triase digital yang memungkinkan pemerintah untuk "memilih jalan prioritas untuk pemeliharaan dan penanganan" berdasarkan laporan real-time dari pengguna jalan itu sendiri. Secara esensial, ini adalah bentuk digitalisasi gotong royong, di mana informasi dari bawah menjadi dasar pengambilan keputusan yang cepat dan tepat sasaran.

Inovasi kedua, "Mas BIMA", adalah elemen manusianya. Ia adalah "pasukan cepat tanggap" yang menjadi ujung tombak eksekusi di lapangan. Program ini digambarkan sebagai "proyek padat karya untuk mengangkat masyarakat dari kemiskinan" yang secara aktif melibatkan komunitas lokal untuk peduli dan merawat jalan provinsi di wilayah mereka.1 Anggotanya adalah para pekerja atau petani setempat yang mendedikasikan waktu luang mereka untuk membantu pemerintah melakukan perbaikan cepat.1

Kombinasi kedua program ini secara fundamental mengubah strategi pemeliharaan. Dalam kondisi ideal dengan anggaran penuh, pemeliharaan bersifat proaktif, yaitu memperbaiki kerusakan-kerusakan kecil sebelum menjadi besar. Namun, dalam kondisi krisis anggaran, strateginya terpaksa bergeser menjadi reaktif. Model "Jalan Cantik" dan "Mas BIMA" adalah upaya untuk membuat reaktivitas ini menjadi secerdas dan seefisien mungkin. Pemerintah tidak lagi bisa menyisir setiap kilometer jalan secara rutin, tetapi mereka bisa merespons dengan cepat titik-titik kerusakan paling kritis yang dilaporkan oleh warga.

Lebih dari itu, program "Mas BIMA" memiliki mandat ganda yang brilian. Ia tidak hanya bertujuan untuk memperbaiki jalan, tetapi juga dirancang sebagai skema pemberdayaan ekonomi lokal. Setiap rupiah yang dibelanjakan untuk program ini memberikan dua jenis pengembalian investasi: satu dalam bentuk perbaikan infrastruktur, dan satu lagi dalam bentuk stimulus ekonomi langsung ke kantong masyarakat di tingkat akar rumput. Desain kebijakan ini menciptakan efisiensi belanja publik yang luar biasa sekaligus membangun rasa kepemilikan komunitas terhadap infrastruktur di sekitar mereka.

 

Bagaimana Laporan dari Ponsel Anda Memperbaiki Lubang di Jalan?

Sinergi antara teknologi "Jalan Cantik" dan aksi komunitas "Mas BIMA" menciptakan sebuah alur kerja baru yang gesit dalam penanganan kerusakan jalan. Proses ini mengubah keluhan pasif menjadi tindakan konstruktif, dan data menunjukkan bahwa model ini diadopsi dengan sangat cepat oleh masyarakat.

Bayangkan skenario berikut: Seorang pengemudi ojek online di Temanggung melihat sebuah lubang yang mulai membahayakan di ruas jalan provinsi yang sering ia lewati. Alih-alih hanya menggerutu, ia menepikan kendaraannya, membuka aplikasi "Jalan Cantik", mengambil foto lubang tersebut, menandai lokasinya di peta, dan mengirimkan laporan. Laporan ini secara instan masuk ke dasbor pemantauan Dinas PU. Petugas kemudian memverifikasi laporan dan, berdasarkan tingkat urgensi dan ketersediaan sumber daya, meneruskannya ke tim "Mas BIMA" terdekat. Tim "Mas BIMA", yang anggotanya mungkin adalah petani dari desa sebelah, kemudian dimobilisasi untuk melakukan penambalan darurat. Dengan cara ini, sebuah kerusakan kecil dapat ditangani dengan cepat sebelum berkembang menjadi masalah yang lebih besar dan mahal, semua berkat laporan awal dari seorang warga.1

Efektivitas dan penerimaan publik terhadap sistem baru ini tervalidasi oleh data pertumbuhan yang signifikan. Penelitian ini menyajikan angka-angka yang menunjukkan antusiasme publik dan keberlanjutan program di tingkat komunitas.

Fakta Menarik di Balik Inovasi:

  • Ledakan Partisipasi Digital: Angka aduan masyarakat untuk jalan provinsi melalui aplikasi "Jalan Cantik" menunjukkan pertumbuhan yang fenomenal. Dari hanya 44 laporan pada tahun 2022, jumlahnya melonjak menjadi 227 laporan pada tahun 2023. Ini adalah peningkatan sebesar 5,16 kali lipat atau lebih dari 400% hanya dalam satu tahun.1 Angka ini membuktikan dua hal: pertama, sosialisasi program ini berhasil, dan kedua, publik dengan cepat mengadopsi dan memercayai kanal baru ini sebagai cara yang efektif untuk menyuarakan aspirasi mereka.
  • Pertumbuhan Pasukan Komunitas: Di sisi eksekusi, keanggotaan "Mas BIMA" menunjukkan pertumbuhan yang sehat dan stabil. Jumlah anggota tercatat meningkat secara konsisten dari 548 orang pada tahun 2021, menjadi 649 orang pada tahun 2022, dan mencapai 708 orang pada tahun 2023.1 Pertumbuhan hampir 30% dalam kurun waktu dua tahun ini menandakan bahwa model padat karya ini menarik dan berkelanjutan di tingkat lokal, tidak bergantung pada rekrutmen besar-besaran yang sulit dipertahankan.
  • Misi Ganda yang Efektif: Program ini secara cerdas dirancang tidak hanya untuk perbaikan jalan, tetapi juga sebagai program padat karya yang memberikan penghasilan tambahan dan membantu mengurangi kemiskinan di tingkat akar rumput.1 Ini menciptakan sebuah siklus positif di mana masyarakat yang diberdayakan secara ekonomi turut menjaga aset publik yang vital bagi perekonomian mereka sendiri.

Pertumbuhan penggunaan aplikasi "Jalan Cantik" bisa dilihat sebagai barometer kepercayaan publik. Masyarakat hanya akan menggunakan sebuah sistem pengaduan jika mereka percaya bahwa laporan mereka akan didengar dan, idealnya, ditindaklanjuti. Lonjakan penggunaan ini mengindikasikan bahwa pemerintah provinsi telah berhasil membangun modal sosial dan dipandang cukup responsif. Data yang terkumpul dari aplikasi ini pun menjadi aset yang sangat berharga, berfungsi sebagai peta real-time mengenai sentimen publik dan prioritas infrastruktur yang dapat menginformasikan perencanaan pembangunan daerah yang lebih luas.

Sementara itu, model "Mas BIMA" yang terdesentralisasi dan berbasis komunitas menunjukkan skalabilitas dan ketahanan yang tinggi. Ia tidak bergantung pada birokrasi yang kaku atau tenaga kerja terpusat yang mahal, melainkan pada jaringan aktor lokal yang fleksibel. Model ini berpotensi untuk direplikasi pada pekerjaan umum rutin lainnya, seperti pemeliharaan drainase atau ruang terbuka hijau, menciptakan sebuah angkatan kerja sipil yang efektif dan efisien dari segi biaya.

 

Sebuah Terobosan dengan Catatan Kritis: Apakah Ini Solusi Jangka Panjang?

Tidak diragukan lagi, duet inovasi "Jalan Cantik" dan "Mas BIMA" adalah sebuah terobosan cerdas dalam manajemen infrastruktur di tengah keterbatasan. Ia adalah contoh nyata bagaimana pemerintah dapat beradaptasi dan berkreasi untuk memberikan pelayanan publik yang lebih baik. Namun, penelitian ini, dengan kejujuran intelektual yang patut dipuji, juga secara gamblang menunjukkan batas kemampuan dari strategi ini.

Meskipun kedua program ini berjalan efektif, data fundamental tetap menunjukkan bahwa kondisi kemantapan jalan secara keseluruhan menurun sebesar 1,61% pada tahun 2023. Alasannya sederhana: anggaran yang ada "tidak dapat mengakomodasi hasil pemodelan" kebutuhan yang sesungguhnya.1 Ini adalah pengingat keras bahwa inovasi, secanggih apa pun, tidak bisa sepenuhnya menggantikan pendanaan yang memadai. "Jalan Cantik" dan "Mas BIMA" dapat diibaratkan sebagai obat pereda nyeri yang sangat manjur untuk meredakan gejala, tetapi bukan obat penyembuh untuk penyakit kronis berupa kekurangan anggaran struktural.

Ada beberapa catatan kritis yang perlu dipertimbangkan. Pertama, terdapat risiko bahwa keberhasilan program darurat ini secara tidak sengaja dapat menormalisasi masalah mendasar, yaitu kurangnya pendanaan. Ketika masyarakat melihat lubang-lubang di jalan ditambal dengan cepat oleh tim "Mas BIMA", urgensi politik untuk memperjuangkan alokasi anggaran penuh sebesar IDR 441 miliar mungkin akan berkurang. Para pembuat kebijakan bisa jadi tergoda untuk melihat model ini sebagai solusi permanen, padahal ia dirancang sebagai jembatan darurat. Oleh karena itu, narasi publik harus secara hati-hati membingkai program ini sebagai suplemen untuk, bukan substitusi dari, pendanaan sistemik yang layak.

Kedua, model "Mas BIMA", dengan tenaga kerja lokal dan peralatan yang mungkin lebih sederhana, sangat ideal untuk pekerjaan pemeliharaan rutin—menambal lubang, membersihkan bahu jalan, atau memperbaiki drainase.1 Namun, model ini tidak dirancang dan tidak memiliki kapasitas untuk melakukan pekerjaan pemeliharaan berkala (seperti pelapisan ulang aspal atau overlay) atau, lebih jauh lagi, rehabilitasi besar (seperti rekonstruksi total akibat bencana alam atau kerusakan struktur parah). Jika defisit anggaran terus berlanjut, jumlah jalan yang membutuhkan intervensi besar—pekerjaan yang berada di luar jangkauan "Mas BIMA"—akan terus bertambah. Ini akan menciptakan krisis di masa depan yang tidak dapat diselesaikan oleh model inovatif ini.

Terakhir, penelitian ini juga menyinggung potensi "kesenjangan digital". Fluktuasi jumlah laporan bisa jadi disebabkan oleh "kemampuan masyarakat yang tidak merata dalam menggunakan teknologi".1 Ada risiko di mana daerah perkotaan dengan penetrasi ponsel pintar yang tinggi dan literasi digital yang lebih baik akan lebih sering melaporkan kerusakan, sehingga mendapat prioritas penanganan. Sementara itu, jalan-jalan di daerah pedesaan yang lebih terpencil, di mana akses teknologi mungkin terbatas, bisa jadi terabaikan dan semakin tertinggal dalam hal kualitas infrastruktur.

 

Dampak Nyata: Visi Jalan Mulus dan Ekonomi yang Melaju untuk Jawa Tengah

Penelitian ini lebih dari sekadar laporan akademis; ia adalah sebuah peta jalan strategis yang menawarkan diagnosis yang jelas, mengukur dampak kerusakan secara kuantitatif, dan menyajikan sebuah solusi parsial yang telah teruji dan terbukti di lapangan. Temuannya memberikan wawasan berharga yang dapat memandu perencanaan anggaran dan alokasi sumber daya di masa depan, tidak hanya di Jawa Tengah tetapi juga di daerah lain yang menghadapi tantangan serupa.1

Kesimpulannya jelas: jalan ke depan bukanlah pilihan antara "anggaran penuh" atau "inovasi berbasis komunitas". Keduanya harus berjalan beriringan. Data laporan dari aplikasi "Jalan Cantik" harus digunakan sebagai amunisi yang kuat di meja perundingan anggaran untuk menunjukkan kebutuhan riil di lapangan dan membenarkan permintaan peningkatan alokasi dana. Di saat yang sama, program "Mas BIMA" harus terus diperluas dan diperkuat untuk memastikan setiap rupiah yang dibelanjakan memberikan efisiensi dan dampak maksimal.

Model yang dikembangkan di Jawa Tengah ini adalah sebuah cetak biru untuk masa depan manajemen infrastruktur publik yang lebih partisipatif, responsif, dan efisien. Ia mengubah hubungan antara pemerintah dan warga dari sekadar penyedia dan pengguna layanan menjadi mitra dalam pembangunan.

Jika model partisipasi publik dan komunitas ini terus diperluas dan didukung oleh peningkatan anggaran yang bertahap untuk mengejar ketertinggalan pemeliharaan, temuan ini berpotensi menekan laju kerusakan jalan hingga 5-10% dan, yang lebih penting, menghemat biaya rekonstruksi total yang bisa mencapai miliaran rupiah dalam waktu lima tahun ke depan.

 

Sumber Artikel:

Triyono, A. H., Hermani, W. T., Amrulloh, N. S., & Setyawan, A. (2024). Improved Road Performance Through The Implementation of Routine Road Maintenance Management System. Journal of Applied Engineering Science, 22(3), 646-653.

Selengkapnya
Anggaran Jalan Hanya 28%, Jawa Tengah Rilis Strategi Tak Terduga Melibatkan Warga – Ini Hasilnya

Kebijakan Publik

Jalan Berlubang Bukan Cuma Soal Korupsi: Temuan Mengejutkan dari Sebuah Tesis yang Mengubah Cara Saya Melihat Infrastruktur

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 14 Oktober 2025


Cerita di Balik Jalan Berlubang yang Kita Benci

Pernahkah kamu merasakan ini? Kamu sedang berkendara santai, menikmati lagu di radio, tiba-tiba... JEDUG! Guncangan keras membuatmu kaget. Kopi pagimu nyaris tumpah. Kamu baru saja menghantam lubang di jalan yang rasanya baru kemarin sore ditambal. Seketika, sumpah serapah meluncur pelan dari mulutmu. "Kenapa jalan di sini cepat sekali rusak?" tanyamu dalam hati, atau mungkin sambil berteriak frustrasi.

Kita semua pernah mengalaminya. Frustrasi kolektif terhadap infrastruktur yang buruk adalah bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Asumsi kita biasanya langsung tertuju pada dua tersangka utama: kualitas aspal yang jelek atau, tentu saja, korupsi. Kita membayangkan kontraktor nakal yang mengurangi bahan atau pejabat yang menyunat anggaran. Dan sering kali, asumsi itu ada benarnya.

Tapi, bagaimana jika saya katakan ada alasan lain yang lebih dalam, lebih tersembunyi, dan mungkin jauh lebih mengkhawatirkan? Sebuah "penyakit" sistemik yang menggerogoti dari dalam, yang membuat proyek-proyek infrastruktur kita rapuh sejak dari perencanaan.

Beberapa waktu lalu, saya tidak sengaja menemukan sebuah tesis magister karya Hasian Negara Dasopang dari Universitas Medan Area. Judulnya terdengar sangat akademis: Implementasi Kebijakan Sertifikasi Keahlian Teknik Jalan dan Jembatan Berdasarkan UU No. 2 Tahun 2017... Tapi begitu saya mulai membacanya, saya sadar ini bukan sekadar tumpukan kertas akademis. Ini adalah sebuah kisah detektif birokrasi. Sebuah investigasi mendalam yang mengintip ke dalam "ruang mesin" pemerintahan dan menunjukkan mengapa sebuah aturan emas yang dirancang untuk menjamin kualitas, justru macet total di lapangan.  

Tesis ini tidak menyalahkan aspal atau anggaran. Ia menunjuk pada sesuatu yang jauh lebih fundamental: manusia dan sistem di sekelilingnya. Artikel ini adalah upaya saya untuk membedah temuan-temuan mengejutkan dari tesis tersebut, menerjemahkannya ke dalam bahasa kita sehari-hari, dan menunjukkan bagaimana masalah abstrak seperti "implementasi kebijakan" punya dampak yang sangat nyata pada guncangan yang kita rasakan di jalan raya.

Aturan Emas yang Terabaikan: Mengapa Setiap Insinyur Perlu 'SIM' Profesional

Bayangkan jika pilot yang menerbangkan pesawatmu tidak punya lisensi terbang. Atau dokter yang akan mengoperasimu tidak punya sertifikat medis. Mengerikan, bukan? Kita percaya pada lisensi dan sertifikasi karena itu adalah bukti bahwa seseorang telah diuji dan terbukti kompeten untuk melakukan pekerjaan berisiko tinggi.

Nah, pada tahun 2017, pemerintah Indonesia menerapkan logika yang sama untuk sektor konstruksi melalui Undang-Undang No. 2 Tahun 2017. Aturan ini pada dasarnya mengatakan: orang yang merancang, mengawasi, dan membangun jalan serta jembatan yang kita lewati setiap hari juga harus punya "SIM" profesional. SIM ini disebut Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK).  

SKK bukan sekadar ijazah sarjana teknik. Ijazah membuktikan kamu pernah belajar teori di kampus. Sedangkan SKK, yang diperoleh melalui uji kompetensi oleh lembaga sertifikasi profesi, membuktikan bahwa kamu benar-benar bisa menerapkan ilmu itu di lapangan sesuai standar nasional atau bahkan internasional. Ini adalah jaminan mutu, keamanan, dan profesionalisme.  

Poin paling krusial dari UU ini adalah kewajibannya yang mengikat semua pihak. Bukan hanya perusahaan kontraktor swasta yang harus mempekerjakan tenaga ahli bersertifikat, tetapi juga instansi pemerintah yang bertindak sebagai pengguna jasa. Dalam studi kasus ini, yang menjadi sorotan adalah Dinas Bina Marga dan Bina Konstruksi (BMBK) Provinsi Sumatera Utara, lembaga yang bertanggung jawab atas pembangunan dan pemeliharaan jalan serta jembatan di provinsi tersebut.  

Aturan ini seharusnya menjadi sebuah revolusi. Ia dirancang untuk menggeser paradigma lama dari "percaya pada gelar" menjadi "percaya pada kompetensi teruji". Namun, seperti yang akan kita lihat, aturan emas ini ternyata hanya menjadi hiasan di atas kertas.

Potret dari Lapangan: Ketika Rencana Tinggal Rencana di Sumatera Utara

Di sinilah temuan tesis Hasian Negara Dasopang mulai terasa seperti pukulan di ulu hati. Penelitian ini memberikan kita potret nyata dari apa yang terjadi di Dinas BMBK Provinsi Sumatera Utara, dan gambarnya sama sekali tidak indah.

Secara akademis, dinas ini diisi oleh orang-orang yang sangat terdidik. Berdasarkan data tahun 2021, dari total 148 pegawai, 77 orang adalah sarjana (S1) dan 19 orang lainnya bahkan sudah bergelar magister (S2).

Penelitian ini mengungkap sebuah fakta yang mengejutkan: hingga Agustus 2022, dari ratusan pegawai terdidik itu, hanya 15 orang yang memiliki sertifikat kompetensi keahlian yang diwajibkan oleh undang-undang.  

Mari kita cerna angka ini sejenak.

  • 🎓 Penuh Gelar, Minim Keahlian Teruji: Dinas ini memiliki 96 pegawai bergelar sarjana dan magister, tetapi hanya sekitar 15% dari kelompok terdidik ini (atau 10% dari total pegawai) yang kompetensinya terverifikasi secara profesional.

  • 📜 Aturan Hanya Jadi Saran? UU No. 2 Tahun 2017 sudah berlaku selama lima tahun saat data ini diambil, namun implementasinya masih sangat minim.

  • 🤯 Dampaknya? Tesis ini menyatakan dengan jelas bahwa akibatnya, banyak pegawai yang tidak memiliki sertifikat kompetensi ditempatkan di posisi-posisi krusial seperti perencana, pengawas, bahkan penanggung jawab teknik.  

Ini seperti menempatkan seseorang yang hanya membaca buku resep untuk menjadi kepala koki di restoran bintang lima. Atau meminta seseorang yang hanya lulus ujian teori SIM untuk mengemudikan bus antarprovinsi. Risikonya sangat besar, dan hasilnya adalah kualitas yang kita rasakan setiap hari di jalanan.

Membedah Kegagalan: Empat Dinding Runtuh yang Menghambat Kemajuan

Pertanyaan besarnya adalah: mengapa ini bisa terjadi? Mengapa sebuah aturan yang begitu logis dan penting gagal total diimplementasikan? Tesis ini menggunakan kerangka analisis kebijakan untuk membedah akar masalahnya, yang bisa kita ibaratkan sebagai empat dinding yang runtuh.

Dinding Pertama: Pesan Sudah Sampai, Tapi Tak Ada yang Bergerak (Komunikasi)

Ini bagian yang paling aneh dan membingungkan. Ternyata, masalahnya bukan karena para pegawai tidak tahu ada aturan baru. Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa dari segi komunikasi, implementasi kebijakan ini sebenarnya berjalan baik. Para pegawai paham tentang kebijakan sertifikasi (disebut SKTJJ), mereka mengerti pentingnya, dan prosedurnya pun dianggap tidak rumit.  

Ini seperti semua orang di dalam sebuah gedung mendengar alarm kebakaran berbunyi. Mereka tahu ada bahaya, mereka tahu di mana pintu keluar, tapi entah kenapa, tidak ada satu pun yang beranjak dari kursinya. Pengetahuan itu ada, tetapi tidak memicu tindakan. Ini menunjukkan masalahnya jauh lebih dalam dari sekadar sosialisasi yang kurang.

Dinding Kedua: Jalan Buntu Menuju Sertifikasi (Sumber Daya)

Dinding kedua ini benar-benar runtuh. Salah satu temuan utama tesis ini adalah Dinas BMBK tidak menjalin kerja sama dengan lembaga sertifikasi profesi (LSP). Akibatnya, mereka tidak bisa memfasilitasi para pegawainya untuk mengikuti ujian sertifikasi. Lebih parah lagi, program pelatihan internal yang ada tidak dirancang spesifik untuk membantu pegawai lulus ujian kompetensi.  

Bayangkan pemerintah mewajibkan semua orang punya SIM, tapi tidak ada kantor polisi yang membuka layanan ujian SIM, dan kursus mengemudi yang tersedia hanya mengajarkan teori rambu lalu lintas tanpa pernah menyentuh setir mobil. Itulah yang terjadi di sini. Aturannya ada, tapi infrastruktur pendukung untuk memenuhinya tidak dibangun oleh institusi itu sendiri. Para pegawai seolah dibiarkan mencari jalan sendiri di tengah hutan, dan tentu saja, banyak yang akhirnya menyerah atau tidak pernah memulai sama sekali.

Dinding Ketiga: 'Nanti Saja'-isme dan Krisis Komitmen (Disposisi)

Di sinilah kita menyentuh inti masalah yang paling manusiawi dan paling sensitif: kemauan. Tesis ini secara lugas menyoroti adanya "kurangnya komitmen pegawai untuk mewujudkan kebijakan SKTJJ". Disposisi, atau sikap para pelaksana, menjadi penghalang utama.  

Ini adalah penyakit "nanti saja"-isme yang kronis, yang mungkin kita semua kenal baik. Mungkin para pegawai merasa, "Toh selama ini baik-baik saja tanpa sertifikat," atau "Itu hanya menambah beban kerja tanpa keuntungan langsung," atau "Tidak ada yang memaksa, jadi kenapa harus buru-buru?"

Ketika sebuah kebijakan baru sangat bergantung pada inisiatif dan komitmen pribadi tanpa ada dorongan eksternal atau konsekuensi yang jelas, ia akan selalu kalah oleh kekuatan gravitasi status quo. Api semangat untuk berubah padam sebelum sempat membesar karena tidak ada yang meniupnya.

Dinding Keempat: Sistem yang Tak Menghargai Keahlian (Struktur Birokrasi)

Ini adalah paku terakhir di peti mati implementasi kebijakan. Tesis ini menemukan bahwa "pembagian tugas yang masih kurang didasarkan pada syarat SKTJJ". Artinya, tidak ada perbedaan perlakuan, keuntungan, atau status yang nyata antara pegawai yang bersertifikat dan yang tidak.  

Logikanya sederhana: jika tidak ada hadiah untuk melakukan hal yang benar, dan tidak ada sanksi untuk tidak melakukannya, mengapa harus repot? Struktur birokrasi di dinas ini tidak menciptakan insentif. Memiliki sertifikat tidak menjamin promosi, kenaikan tunjangan, atau akses ke proyek yang lebih bergengsi. Sebaliknya, tidak memilikinya pun tidak menghalangi karier seseorang untuk terus berjalan seperti biasa.

Sistem ini, secara tidak sengaja, mengirimkan pesan yang sangat kuat kepada para pegawainya: "Sertifikat itu bagus di atas kertas, tapi di dunia nyata, itu tidak terlalu penting. Lanjutkan saja pekerjaanmu." Ini menciptakan sebuah lingkaran setan: sistem yang buruk melahirkan pegawai yang tidak termotivasi, dan pegawai yang tidak termotivasi tidak akan pernah mendorong perbaikan sistem.

Opini Pribadi: Apa yang Membuat Saya Mengernyitkan Dahi?

Membaca tesis ini memberikan saya semacam pencerahan yang getir. Saya salut dengan keberanian penelitinya yang tidak hanya berhenti pada angka dan data, tetapi berani menyoroti masalah "lunak" seperti komitmen dan budaya kerja—sesuatu yang sering dihindari dalam analisis teknis. Temuan ini terasa begitu nyata dan relevan, tidak hanya untuk Sumatera Utara, tapi mungkin juga untuk banyak instansi lain di seluruh Indonesia.

Ini adalah cerminan dari tantangan besar dalam reformasi birokrasi kita: kita bisa membuat aturan terbaik di dunia, tetapi jika tidak didukung oleh perubahan sumber daya, insentif, dan yang terpenting, mindset, aturan itu hanya akan menjadi macan kertas.

Meski temuannya hebat dan analisisnya tajam, harus saya akui, kerangka teori kebijakan publik yang digunakan (Model Edward III) terkadang terasa agak kaku dan abstrak untuk pembaca awam. Tesis ini adalah sebuah harta karun, tetapi kita perlu sedikit menggali dan membersihkan lumpurnya untuk menemukan emasnya. Itulah mengapa saya merasa perlu menulis artikel ini untuk Anda—untuk menerjemahkan temuan penting ini menjadi cerita yang bisa kita pahami bersama.  

Tiga Langkah Sederhana (Tapi Sulit) untuk Membangun Jembatan Menuju Kualitas

Lalu, apa solusinya? Tesis ini tidak hanya berhenti pada diagnosis masalah, tetapi juga menawarkan resep perbaikan. Saya menerjemahkan tiga saran utamanya menjadi langkah-langkah yang lebih naratif.  

  1. Bangun Jalannya, Bukan Hanya Menunjuk Arahnya. Ini adalah terjemahan dari saran untuk "menjalin kerjasama dengan lembaga sertifikasi profesi". Artinya, pimpinan tidak bisa hanya menyuruh, "Sana, cari sertifikat!" Mereka harus aktif memfasilitasi. Sediakan "bus" menuju tempat ujian, jangan suruh pegawai jalan kaki. Buat program pelatihan yang relevan, anggarkan biayanya, dan jadikan prosesnya semudah mungkin.

  2. Ciptakan 'Game' yang Layak Dimenangkan. Ini adalah terjemahan dari saran agar "pembagian tugas didasarkan pada kepemilikan sertifikat". Harus ada insentif yang jelas dan nyata. Jadikan sertifikat keahlian sebagai "kunci" untuk membuka level karier baru, proyek yang lebih menantang, atau tunjangan kinerja yang lebih tinggi. Sebaliknya, jadikan ketiadaan sertifikat sebagai penghalang untuk posisi-posisi teknis yang krusial. Buat aturan main yang jelas: keahlian teruji akan dihargai.

  3. Mulai dari Cermin. Ini adalah terjemahan dari saran agar "pegawai sebaiknya menunjukkan komitmen yang tinggi". Pada akhirnya, semua kembali pada individu. Profesionalisme adalah pilihan. Ini adalah panggilan untuk tanggung jawab pribadi bagi setiap aparatur sipil negara dan tenaga profesional. Membangun komitmen dan keahlian tim adalah fondasi utama. Bagi para pimpinan atau calon manajer yang ingin memperkuat timnya, mengikuti pelatihan manajemen di(https://www.diklatkerja.com) bisa menjadi langkah strategis untuk belajar bagaimana menerapkan perubahan budaya dan memotivasi tim secara efektif.

Ini Bukan Cuma Soal Aspal dan Beton

Setelah membaca semua ini, kita kembali ke pertanyaan awal: mengapa jalanan kita cepat rusak? Jawabannya, ternyata, jauh lebih kompleks dari sekadar aspal yang tipis. Kualitas jalan dan jembatan yang kita gunakan setiap hari adalah cerminan langsung dari kualitas sistem, budaya, dan komitmen orang-orang yang merancang dan mengawasinya.

Sebuah lubang di jalan mungkin bukan hanya disebabkan oleh hujan atau beban kendaraan yang berlebih. Ia bisa jadi merupakan gejala dari kurangnya fasilitas sertifikasi, rendahnya komitmen pegawai, dan struktur birokrasi yang tidak menghargai keahlian.

Jadi, lain kali Anda merasakan guncangan JEDUG! di jalan, mungkin selain marah pada kontraktornya, kita bisa mulai mengajukan pertanyaan yang lebih cerdas: "Apakah para perencana dan pengawas di dinas terkait sudah tersertifikasi? Apakah sistem di sana sudah mendorong profesionalisme sejati?"

Memahami akar masalah ini adalah langkah pertama bagi kita sebagai warga negara untuk menuntut perbaikan yang lebih substantif, bukan sekadar tambal sulam yang akan rusak lagi minggu depan.

Diskusi ini baru permukaannya saja. Kalau kamu tertarik untuk menyelam lebih dalam ke data dan analisisnya, saya sangat merekomendasikan untuk membaca karya aslinya.

(https://doi.org/10.34007/jehss.v5i3.1545)

Selengkapnya
Jalan Berlubang Bukan Cuma Soal Korupsi: Temuan Mengejutkan dari Sebuah Tesis yang Mengubah Cara Saya Melihat Infrastruktur

Manajemen Proyek

Mengapa Gedung Runtuh? Sebuah Studi Mengungkap Tiga Dosa Pokok dalam Manajemen Proyek

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 14 Oktober 2025


Beberapa minggu lalu, saya tersandung sebuah paper penelitian. Jujur saja, biasanya saya akan melewatkannya. Judulnya terdengar kering: "Factors Influencing Professional Project Management Ethical Practices in Building Construction". Terdengar seperti bacaan pengantar tidur. Tapi karena rasa penasaran, saya membukanya. Dan saya tidak bisa berhenti membaca.  

Paper ini bukan sekadar kumpulan data. Ia terasa seperti sebuah penemuan arkeologis—sebuah dokumen yang membongkar artefak tersembunyi dari kegagalan-kegagalan besar. Ia menjawab pertanyaan yang menghantui kita setiap kali mendengar berita tentang gedung runtuh atau jembatan ambruk: Mengapa? Mengapa struktur yang seharusnya menjadi monumen kecerdasan manusia bisa gagal secara tragis?

Untuk memahami inti masalahnya, mari kita lupakan sejenak tentang konstruksi. Bayangkan sebuah proyek yang lebih akrab: merencanakan liburan besar bersama sekelompok teman atau keluarga. Anda punya rencana yang sempurna. Anggaran sudah dibuat, jadwal penerbangan sudah dicatat, daftar aktivitas sudah disiapkan. Di atas kertas, semuanya sempurna. Inilah "peraturan dan standar" Anda.

Lalu, realitas mulai merayap masuk. Satu orang ingin pilihan termurah, mengabaikan kualitas. Orang lain, yang punya uang lebih, mendorong untuk hotel mewah yang di luar anggaran. Ada tekanan untuk menyelesaikan pemesanan sebelum harga naik. Tiba-tiba, rencana sempurna Anda terkoyak oleh dinamika manusia yang tak terlihat: tekanan teman sebaya, konflik kepentingan, dan tenggat waktu yang mencekik. Proyek liburan Anda, yang dimulai dengan optimisme, kini berada di ambang kekacauan.

Studi yang saya baca ini, yang berfokus pada industri konstruksi di Lagos, Nigeria, pada dasarnya menceritakan kisah yang sama, tetapi dengan taruhan yang jauh lebih tinggi—nyawa manusia. Para peneliti tidak hanya bertanya "aturan apa yang dilanggar?". Mereka bertanya, "Kekuatan tak terlihat apa yang memaksa orang untuk melanggar aturan tersebut?".  

Apa yang mereka temukan adalah sebuah pola yang universal. Sebuah pola yang berlaku di Lagos, Jakarta, New York, atau di mana pun proyek kompleks dijalankan. Mereka mengidentifikasi tiga "lingkaran setan" yang saling mengunci, yang secara sistematis meruntuhkan niat baik dan standar profesional. Perjalanan ini akan membawa kita masuk ke dalam psikologi kegagalan proyek, dan yang lebih penting, memberi kita peta untuk menghindarinya.

Tiga Lingkaran Setan yang Menjerat Proyek Konstruksi

Paper ini dengan cermat membedah faktor-faktor kegagalan menjadi tiga kategori besar: tekanan dari lingkungan organisasi, sifat proyek itu sendiri, dan, yang paling krusial, karakter dari manajer proyek. Mari kita bedah satu per satu.

Lingkaran Pertama: Tekanan Tak Terlihat dari Lingkungan dan "Suasana" Proyek

Ini adalah lapisan terluar dari masalah, tetapi mungkin yang paling kuat. Ini adalah tentang budaya, tekanan dari para pemangku kepentingan (stakeholder), dan "udara" yang dihirup oleh tim proyek setiap hari.

Bukan Salah Aturannya, Tapi Salah "Udara"-nya

Bayangkan Anda sedang berusaha keras untuk diet. Anda punya rencana makan yang terperinci, daftar kalori, dan jadwal olahraga. Itulah "standar etis" Anda. Sekarang, bayangkan Anda mencoba menjalankan diet itu di sebuah ruangan yang penuh dengan orang yang sedang berpesta pizza, donat, dan kue. Aroma makanan memenuhi udara. Teman-teman Anda terus-menerus menawarkan sepotong.

Secara teknis, tidak ada yang memaksa Anda untuk melanggar diet. Aturan Anda jelas. Tapi "udara" di ruangan itu—tekanan sosial, godaan yang terus-menerus—membuat kepatuhan menjadi hampir mustahil.

Studi ini membuktikan bahwa dalam manajemen proyek, "udara" yang kita hirup setiap hari jauh lebih kuat daripada buku peraturan yang tersimpan di rak. Para peneliti menemukan bahwa dua faktor organisasi yang paling berpengaruh adalah Project Environment (lingkungan proyek), yang disetujui oleh 63.5% responden, dan Stakeholder's Influence (pengaruh pemangku kepentingan), yang disetujui oleh 53.6% responden.  

Apa artinya ini dalam bahasa manusia?

  • Lingkungan Proyek (63.5%): Ini adalah budaya "beginilah cara kerja di sini". Apakah korupsi kecil dianggap wajar? Apakah "uang pelicin" untuk mempercepat izin adalah praktik standar? Apakah ada toleransi diam-diam untuk menggunakan material yang sedikit di bawah standar demi menghemat biaya? Lingkungan ini menciptakan norma tak tertulis yang sering kali mengalahkan norma tertulis.

  • Pengaruh Pemangku Kepentingan (53.6%): Ini adalah tekanan langsung dari orang-orang yang punya kepentingan dalam proyek. Klien yang menuntut proyek selesai lebih cepat dan lebih murah dari yang realistis. Pemasok yang menawarkan "komisi" jika Anda memilih produk mereka yang lebih inferior. Pejabat lokal yang mengisyaratkan bahwa persetujuan akan lebih mudah jika ada "tanda terima kasih". Ini adalah suara-suara di telinga manajer proyek yang terus berbisik, "Potong saja sudutnya. Lakukan saja sekali ini."

Kombinasi dari lingkungan yang permisif dan tekanan pemangku kepentingan yang tak henti-hentinya menciptakan badai yang sempurna untuk kompromi etis.

Apa yang Paling Mengejutkan Saya: Aturan Resmi Ternyata Macan Kertas

Di sinilah temuan studi ini benar-benar membuat saya terdiam. Ketika para peneliti bertanya tentang pengaruh Legal and Regulatory Framework (kerangka hukum dan peraturan), hasilnya mengejutkan. Hanya 31.3% responden yang setuju bahwa ini adalah faktor utama. Mayoritas besar, 68.7%, tidak menganggapnya sebagai pengaruh dominan.  

Sejujurnya, data ini membuat saya berhenti dan berpikir. Bukankah hukum, peraturan pemerintah, dan standar industri adalah pagar pembatas utama yang mencegah bencana? Bukankah itu adalah garis pertahanan terakhir kita?

Data ini seolah berteriak bahwa di dunia nyata, pagar itu sering kali hanyalah ilusi. Peraturan ada di atas kertas, tetapi tidak dirasakan sebagai kekuatan yang dominan di lapangan. Ini menunjukkan adanya jurang pemisah yang menganga antara apa yang seharusnya terjadi dan apa yang sebenarnya terjadi. Ini bukan berarti aturannya buruk. Ini berarti ada sesuatu dalam sistem—mungkin penegakan yang lemah, mungkin budaya impunitas, atau mungkin tekanan dari lingkaran setan pertama begitu kuat—sehingga aturan resmi menjadi sekadar saran, bukan perintah.

Ini adalah kesimpulan yang menakutkan. Ini berarti kita tidak bisa hanya mengandalkan sistem dan peraturan untuk menjaga proyek tetap aman. Beban yang luar biasa besar ternyata jatuh pada individu. Dan ini membawa kita ke lingkaran setan berikutnya.

Lingkaran Kedua: Saat Proyek Terlalu Rumit, Terlalu Berisiko, dan Terlalu Murah

Jika lingkaran pertama adalah tentang "udara" di sekitar proyek, lingkaran kedua adalah tentang sifat proyek itu sendiri. Studi ini menemukan bahwa beberapa proyek seolah-olah dirancang untuk gagal sejak awal, karena mereka membawa benih-benih kompromi etis dalam DNA mereka.

Segitiga Besi yang Berkarat: Biaya, Ruang Lingkup, dan Risiko

Dalam manajemen proyek, ada konsep klasik yang disebut "Segitiga Besi" (Iron Triangle): Ruang Lingkup (Scope), Waktu (Time), dan Biaya (Cost). Aturan mainnya sederhana: Anda bisa memilih dua dari tiga. Anda bisa mendapatkan proyek yang bagus dan cepat, tapi tidak akan murah. Anda bisa mendapatkan yang bagus dan murah, tapi tidak akan cepat. Anda bisa mendapatkan yang cepat dan murah, tapi (hampir pasti) tidak akan bagus.

Studi ini menunjukkan apa yang terjadi ketika tekanan dari lingkaran pertama memaksa manajer proyek untuk menjanjikan ketiganya. Segitiga Besi itu tidak lagi kokoh; ia mulai berkarat oleh kompromi.

Data dari penelitian ini sangat jelas dan menyakitkan. Ketika ditanya tentang faktor-faktor terkait proyek yang paling mempengaruhi praktik etis, inilah yang dikatakan oleh para profesional :  

  • Pertama, Keuangan Proyek (73.0%): Ini adalah biang keladi dari segala biang keladi. Angka ini, yang tertinggi di kategorinya, menunjukkan bahwa ketika dana cekak, godaan untuk memotong sudut menjadi sangat besar. Ini bukan lagi soal keserakahan; sering kali ini soal bertahan hidup. Manajer proyek dihadapkan pada pilihan yang mustahil: menggunakan material di bawah standar atau menghentikan proyek sama sekali.

  • Kedua, Risiko Proyek (69.3%): Proyek yang penuh dengan ketidakpastian—baik itu teknis, politik, atau pasar—menciptakan lingkungan di mana jalan pintas terasa seperti strategi yang cerdas untuk sekadar "melewati hari". Standar etis menjadi kemewahan yang tidak bisa mereka miliki.

  • Ketiga, Pemangku Kepentingan Proyek (66.3%) dan Kompleksitas/Ruang Lingkup Proyek (61.2%): Semakin rumit sebuah proyek dan semakin banyak "kepala" (pemangku kepentingan) yang harus dipuaskan, semakin besar kemungkinan standar etis terkikis oleh ribuan kompromi kecil. Setiap pemangku kepentingan menarik ke arah yang berbeda, dan manajer proyek, yang terjebak di tengah, sering kali harus mengorbankan integritas demi menjaga keharmonisan.

Faktor-faktor ini tidak berdiri sendiri. Mereka adalah mesin yang saling mengunci. Tekanan dari pemangku kepentingan (Lingkaran Pertama) untuk menekan biaya menciptakan masalah pendanaan (Lingkaran Kedua). Proyek yang didanai dengan buruk ini kemudian memaksa manajer proyek untuk membuat serangkaian keputusan tidak etis (Lingkaran Ketiga), yang pada akhirnya meningkatkan risiko proyek dan berpotensi menyebabkan kegagalan.

Ini adalah sebuah sistem yang dirancang untuk menghasilkan kegagalan. Memberi tahu manajer proyek untuk "bersikap etis" dalam situasi seperti ini sama seperti menyuruh seorang pelaut untuk menjaga kapalnya tetap kering di tengah badai dengan hanya menggunakan sebuah ember. Tanpa memperbaiki kondisi proyek itu sendiri, kita hanya menyiapkan mereka untuk gagal.

Lingkaran Ketiga: Di Balik Helm Proyek, Semua Bermuara pada Satu Orang

Setelah menelusuri tekanan sistemik dari lingkungan dan kendala brutal dari proyek itu sendiri, studi ini sampai pada kesimpulan yang paling menakutkan sekaligus paling memberdayakan. Pada akhirnya, benteng terakhir antara proyek yang aman dan sebuah bencana adalah karakter dan kompetensi dari satu orang: manajer proyek.

Pahlawan atau Penjahat? Kekuatan Super Manajer Proyek

Di antara ketiga kategori faktor yang diteliti, kategori yang berhubungan dengan manajer proyek memiliki skor rata-rata tertinggi (mean = 3.44), menandakan bahwa para profesional di lapangan menganggap ini sebagai elemen paling krusial. Dan ketika kita melihat rinciannya, ceritanya menjadi sangat jelas.  

Statistik yang paling menonjol, yang seharusnya dicetak tebal di setiap buku teks manajemen proyek, adalah ini: 89.7% profesional setuju bahwa Technical Skills (Keahlian Teknis) seorang manajer proyek adalah faktor kunci dalam praktik etis.  

Baca kalimat itu sekali lagi. Bukan hanya Personal Values (nilai-nilai pribadi), yang juga sangat tinggi di angka 71.4%. Tapi keahlian teknis.

Awalnya, ini mungkin terdengar aneh. Apa hubungan antara kemampuan membaca denah bangunan dengan kemampuan menolak suap? Hubungannya sangat dalam. Studi ini secara implisit berargumen bahwa "keahlian teknis" di sini berarti lebih dari sekadar pengetahuan buku. Ia berarti kompetensi. Ia berarti pemahaman yang begitu mendalam tentang apa yang benar dan salah secara teknis, sehingga seorang manajer memiliki kepercayaan diri dan otoritas untuk mengatakan "Tidak".

Seorang manajer proyek yang tidak kompeten, bahkan dengan niat terbaik di dunia, mungkin tidak akan mengenali saat pemasok menawarkan material di bawah standar. Mereka mungkin tidak memiliki kosakata teknis untuk membantah klien yang meminta jalan pintas yang berbahaya. Mereka mungkin tidak memiliki keberanian yang lahir dari kepastian untuk menolak tekanan.

Keahlian teknis bukanlah sekadar tahu cara membangun yang benar; itu adalah memiliki keberanian dan otoritas untuk menolak cara membangun yang salah. Kompetensi melahirkan kepercayaan diri, dan kepercayaan diri memungkinkan keberanian etis.

Dari Mana Datangnya Kekuatan Ini?

Kesadaran ini membawa kita pada pertanyaan paling penting: jika manajer proyek adalah kunci dari segalanya, bagaimana kita menempa kunci yang kuat dan tidak mudah bengkok? Temuan lain dari studi ini memberikan petunjuk. Analisis statistik lebih lanjut menunjukkan bahwa Qualification (kualifikasi) manajer proyek secara signifikan mempengaruhi kepatuhan mereka terhadap praktik etis (p<.05). Ini bukan lagi soal kebetulan atau bakat lahir. Ini adalah soal pengembangan, pelatihan, dan sertifikasi yang disengaja.  

Di sinilah inisiatif seperti kursus (https://www.diklatkerja.com/course/manajemen-sdm-dan-etika-profesi-dalam-pembangunan-infrastruktur/) dari Diklatkerja menjadi sangat krusial. Program semacam ini tidak hanya mengasah aspek teknis, tetapi juga secara eksplisit membahas etika, moral, integritas, dan strategi pencegahan korupsi—tiga pilar yang menurut studi ini adalah fondasi sesungguhnya dari sebuah proyek yang sukses. Pelatihan yang komprehensif, seperti yang juga ditawarkan dalam berbagai kursus manajemen proyek dan konstruksi lainnya, membangun benteng pertahanan dari dalam diri seorang profesional. Mereka tidak hanya diajarkan apa yang harus dilakukan, tetapi juga ditempa untuk memiliki kekuatan karakter untuk melakukannya di bawah tekanan.  

Pada akhirnya, setelah semua analisis sistem dan faktor eksternal, paper ini membawa kita kembali ke inti yang sangat manusiawi. Di tengah-tengah tekanan lingkungan yang korosif dan proyek yang dirancang untuk gagal, satu-satunya variabel yang dapat mengubah arah adalah seorang pemimpin yang kompeten dan berintegritas.

Pelajaran Praktis yang Bisa Saya Terapkan Besok Pagi

Setelah membongkar tiga lingkaran setan ini, apa yang bisa kita bawa pulang? Bagi saya, ada tiga pelajaran utama yang mengubah cara saya memandang setiap proyek, baik itu menulis artikel ini, mengelola tim kecil, atau bahkan merencanakan liburan keluarga berikutnya.

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Manusia > Sistem. Studi ini membuktikan bahwa investasi terbaik dalam sebuah proyek bukanlah pada teknologi atau proses yang canggih, melainkan pada karakter dan kompetensi pemimpinnya. Keahlian teknis (disetujui oleh 89.7%!) dan nilai-nilai pribadi (71.4%!) adalah prediktor kesuksesan etis yang paling kuat. Jika Anda ingin proyek yang hebat, carilah pemimpin yang hebat.  

  • 🧠 Inovasinya: Fokus pada "tekanan tak terlihat". Kita sering kali sibuk memadamkan api (masalah teknis, keterlambatan jadwal). Tapi paper ini mengingatkan kita untuk memperhatikan kualitas "udara" (lingkungan proyek, 63.5%) dan terutama tekanan finansial (73.0%). Inilah sumber api yang sebenarnya. Sebelum memulai proyek apa pun, tanyakan: "Apakah lingkungan ini mendukung integritas? Apakah anggarannya realistis?"  

  • 💡 Pelajaran: Etika adalah produk sampingan dari kompetensi. Ini adalah pelajaran yang paling mengejutkan bagi saya. Seorang manajer yang tidak kompeten secara teknis tidak akan mampu membuat keputusan etis yang sulit, bahkan jika niatnya baik. Jadi, jika Anda ingin membangun tim yang etis, mulailah dengan memastikan mereka adalah orang-orang yang paling ahli dan paling berkualitas di bidangnya. Beri mereka pelatihan, dukung sertifikasi mereka, dan bangun kepercayaan diri mereka. Keberanian etis akan mengikuti.

Sebuah Kritik Halus dan Ajakan untuk Anda

Meskipun temuan dari studi ini sangat kuat dan membuka mata, saya tidak bisa tidak mendambakan "daging" kualitatif di balik "tulang" kuantitatif ini. Angka 73% untuk tekanan finansial itu sangat kuat, tapi saya ingin mendengar cerita langsung dari seorang manajer proyek yang dipaksa memilih antara standar keselamatan dan tenggat waktu klien yang tidak masuk akal. Saya ingin membaca kutipan dari seorang insinyur muda yang merasa harus menyetujui sesuatu yang dia tahu salah karena tekanan dari atasannya. Wawancara mendalam atau studi kasus naratif akan memberikan warna, emosi, dan urgensi yang tidak bisa ditangkap sepenuhnya oleh skala persentase. Mungkin ini adalah kesempatan untuk penelitian selanjutnya.

Namun, kekurangan kecil itu tidak mengurangi kekuatan pesan utamanya.

Paper ini lebih dari sekadar studi tentang konstruksi di Nigeria; ini adalah cermin bagi siapa saja yang pernah memimpin sebuah tim, mengelola anggaran, atau menjalankan sebuah proyek. Ia mengingatkan kita bahwa fondasi dari setiap usaha besar bukanlah beton dan baja, atau kode dan spreadsheet. Fondasi sesungguhnya adalah keberanian, kompetensi, dan integritas manusia yang menjalankannya.

Jika analisis ini memicu rasa ingin tahu Anda, saya sangat mendorong Anda untuk menyelami data aslinya sendiri. Jangan biarkan format akademisnya menghalangi Anda—di dalamnya ada pelajaran berharga yang bisa mengubah cara Anda bekerja dan memimpin.

(https://doi.org/10.38177/ajast.2023.7110)

Selengkapnya
Mengapa Gedung Runtuh? Sebuah Studi Mengungkap Tiga Dosa Pokok dalam Manajemen Proyek
« First Previous page 92 of 1.305 Next Last »