Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Evolusi Digital Lampu Lalu Lintas dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 28 Oktober 2025


Era Pertama: Upaya Awal dengan Sensor Inframerah dan Kelemahan Fatalnya

Upaya paling awal untuk membuat lampu lalu lintas menjadi "pintar" tidak melibatkan kamera, melainkan sensor fisik. Para insinyur mencoba menggunakan perangkat keras seperti sensor inframerah yang ditanam di jalan untuk mendeteksi keberadaan kendaraan.1

Secara teori, idenya sederhana: sensor mendeteksi mobil yang menunggu, lalu mengirimkan sinyal ke microcontroller (otak komputer kecil) untuk mengatur durasi lampu hijau sesuai kebutuhan.1 Namun, implementasi di dunia nyata membentur tembok.

Kajian ini menyoroti temuan dari penelitian A. Kanungo et al. yang mengungkap kelemahan fatal dari pendekatan ini 1:

  • Biaya Perawatan Tinggi: Sistem ini membutuhkan "perawatan konstan yang memakan biaya".1
  • Kerapuhan Fisik: Sensor yang tertanam di aspal "lebih rentan terhadap kerusakan karena berbagai kondisi eksternal" 1, seperti perubahan cuaca ekstrem, genangan air, atau sekadar beban tonase kendaraan yang lalu-lalang.

Sistem ini terbukti terlalu mahal dan terlalu rapuh untuk diterapkan dalam skala besar. Kegagalan era sensor fisik ini memaksa para peneliti untuk mencari solusi yang lebih murah, lebih tangguh, dan tidak terlalu invasif: mereka beralih dari "perasa" fisik ke "mata" digital.

 

Lompatan ke Era Kedua: Revolusi 'Mata' Digital (Image Processing)

Era kedua ditandai oleh transisi ke teknologi Image Processing (Pemrosesan Citra). Ini adalah sebuah lompatan besar karena dua alasan utama yang diidentifikasi dalam kajian tersebut. Pertama, solusi ini "membutuhkan biaya minim" 1—kamera CCTV jauh lebih murah untuk dipasang dan dirawat daripada membongkar aspal untuk menanam sensor.

Kedua, seperti dicatat oleh V. Pandit et al. , masukan berbasis visi (vision-based) jauh "lebih berguna".1 Kamera tidak hanya memberi tahu 'ada mobil' (ya/tidak), tetapi juga dapat memberikan quantitative description (deskripsi kuantitatif) seperti kecepatan dan jumlah kendaraan, serta qualitative description (deskripsi kualitatif) tentang seberapa parah kemacetan itu.1

Dua metode utama mendominasi era ini, yang pada dasarnya adalah cara-cara sederhana bagi komputer untuk "melihat" kepadatan 1:

  1. Metode Edge Detection (Deteksi Tepi): Digunakan dalam studi dan , metode ini pada dasarnya bekerja seperti seorang seniman sketsa. Sistem akan memproses gambar video dan "menggambar" garis tepi (edges) pada setiap kendaraan yang dideteksinya.1 Kepadatan lalu lintas kemudian diukur dengan menghitung berapa banyak "tepi" atau "titik" yang berhasil dideteksi dalam satu ruas jalan.1
  2. Metode Image Subtraction (Pengurangan Citra): Digunakan dalam studi , metode ini bekerja seperti permainan "cari perbedaan". Sistem pertama-tama mengambil gambar "referensi" jalanan dalam keadaan kosong. Kemudian, ia terus membandingkan gambar real-time dengan gambar referensi tersebut. Piksel yang berbeda (yaitu kendaraan yang muncul) akan diisolasi.1 Kepadatan diukur berdasarkan "luas kumpulan" piksel yang berbeda tersebut.1

Metode pemrosesan citra sederhana ini terbukti berhasil. Kajian tersebut merujuk pada hasil kuantitatif dari studi , yang melaporkan "nilai rata-rata percentage improvement sebesar 35%".1

Ini adalah kemajuan yang signifikan. Lompatan efisiensi 35% ini setara dengan memotong waktu perjalanan Anda yang biasanya memakan 30 menit di serangkaian persimpangan padat menjadi hanya sekitar 20 menit. Sebuah pencapaian impresif hanya dengan "mengajari" lampu lalu lintas untuk melihat.

 

Keterbatasan 'Mata' Saja: Mengapa Image Processing Belum Cukup

Meskipun menjanjikan, era Image Processing ternyata memiliki titik buta yang kritis. Tinjauan pustaka ini mengidentifikasi kelemahan mendasar yang menghambat adopsi teknologi era kedua ini secara luas.1

Masalahnya adalah, sistem ini "kaku".

Kelemahan utama yang diidentifikasi oleh para peneliti adalah "kurangnya kemampuan untuk melakukan penyesuaian terhadap parameter-parameter yang ada, seperti lebar jalan dan posisi CCTV".1

Ini adalah poin krusial. Sistem Edge Detection atau Image Subtraction tidak benar-benar memahami apa itu "mobil". Mereka hanya dilatih untuk mendeteksi "kumpulan piksel tepi" atau "area piksel yang berubah".

Jika posisi CCTV sedikit bergeser karena angin kencang, atau jika sistem yang sama coba diterapkan di persimpangan yang lebih lebar, seluruh kalibrasi perhitungan "kepadatan" yang telah diatur secara manual akan gagal total. Sistem ini, ironisnya, sama rapuhnya dengan sensor fisik era pertama, hanya saja kerapuhannya bersifat digital.

Sistem era kedua ini bisa melihat, tetapi tidak bisa memahami atau beradaptasi. Kegagalan adaptasi inilah yang mendorong lahirnya era ketiga: era di mana lampu lalu lintas tidak hanya diberi mata, tetapi juga otak.

 

Era Ketiga: Saat Lampu Lalu Lintas Mulai 'Berpikir' dengan Kecerdasan Buatan (AI)

Era ketiga adalah tentang Kecerdasan Buatan (AI). Tujuannya adalah untuk mengatasi kekakuan era Image Processing. Dengan AI, sistem diharapkan "akan lebih mampu beradaptasi kepada berbagai macam skenario yang masing-masingnya akan menghadirkan parameter-parameter baru" dalam masalah lalu lintas.1

Tinjauan pustaka ini kemudian membedah berbagai "otak" AI yang telah diuji oleh para peneliti di seluruh dunia, mengubah data kuantitatif dari studi 1 menjadi narasi evolusi kecerdasan.

Perjalanan ini dimulai dengan AI yang relatif sederhana, seperti Support Vector Machine (SVM) , yang pada dasarnya bertugas sebagai "pengklasifikasi" canggih untuk mengategorikan tingkat kepadatan lalu lintas.1

Namun, lompatan besar terjadi dengan Deep Learning (Pembelajaran Mendalam).

  • Sebuah penelitian menggunakan jaringan saraf Deep Learning untuk "memprediksi" volume kendaraan. Hasilnya cukup baik, namun masih mencatat nilai RMSE (Root Mean Square Error, ukuran untuk tingkat kesalahan) sebesar 3.4507.1
  • Penelitian selanjutnya menggunakan metode Backpropagation untuk "menentukan" durasi lampu hijau yang optimal. Hasilnya menunjukkan lompatan presisi yang luar biasa: nilai RMSE anjlok menjadi hanya 0.088897.1

Ini adalah peningkatan yang dramatis. Jika model pertama memiliki tingkat kesalahan yang setara dengan salah memprediksi 3-4 mobil dalam antrean, model kedua mengurangi kesalahan itu menjadi hampir nol. Prediksinya menjadi sangat akurat.

Selanjutnya, AI tidak hanya "memprediksi" angka, tetapi juga "melihat" objek secara cerdas.

  • Metode Faster R-CNN menggunakan Deep Learning untuk secara spesifik menggambar "bounding box" (kotak penanda) di sekitar setiap kendaraan yang terdeteksi.1 Hasilnya sangat impresif: sistem ini mencapai "nilai akurasi deteksi sebesar 97.027%".1 Ini berarti AI tersebut mampu mengenali 97 dari 100 kendaraan di layar dengan benar.
  • Metode yang lebih canggih lagi adalah Deep Reinforcement Learning (DRL) . Ini adalah AI yang "belajar" seperti manusia, melalui trial and error. Kajian tersebut menjelaskan 1 bahwa "agent" (otak AI) akan mencoba satu durasi lampu hijau, lalu mengukur "hadiah" (reward) berupa pengurangan waktu tunggu. Jika strateginya gagal, ia akan mencoba strategi lain di siklus berikutnya, terus-menerus mengoptimalkan kinerjanya. Hasilnya? Model ini berhasil "mengurangi waktu tunggu rata-rata sebesar 20%".1

Bagi pengendara, pengurangan 20% itu sangat terasa. Jika Anda biasanya menghabiskan total 5 menit menunggu di serangkaian persimpangan dalam rute harian Anda, sistem ini memangkasnya menjadi 4 menit.

 

Puncak Evolusi: Dua Metode AI yang Menjanjikan Efisiensi Radikal

Dari dua belas literatur yang dikaji, tinjauan pustaka ini 1 menyoroti dua metode AI yang menonjol sebagai "juara" dalam perlombaan efisiensi ini. Temuan mereka, yang tersembunyi dalam data kuantitatif 1, menunjukkan hasil yang paling transformatif.

**1. Sang Juara Efisiensi: Hybrid Neural Network **

Metode ini, yang menggabungkan beberapa jenis jaringan saraf, memberikan hasil paling dramatis dalam hal pengalaman pengemudi. Data pengujiannya 1 sungguh menakjubkan:

  • Mampu "mengurangi rata-rata waktu penundaan (delay) setiap kendaraan sebesar 78%".
  • Mampu "mengurangi rata-rata waktu penghentian (stop time) setiap kendaraan sebesar 85%".

Angka-angka ini adalah pengubah permainan. Pengurangan waktu henti sebesar 85% pada dasarnya adalah perbedaan antara Anda harus berhenti total di lampu merah dan menunggu dua hingga tiga siklus penuh, dibandingkan dengan Anda dapat melaju mulus (atau hanya berhenti sangat sebentar) saat tiba di persimpangan. Sistem ini juga terbukti mampu "mengungguli kinerja sistem GLIDE" (sistem adaptif lain yang ada).1

**2. Sang Juara Kecepatan: YOLO (You Only Look Once) **

Metode kedua yang disorot adalah YOLO. Model ini (khususnya YOLO v2) juga menunjukkan akurasi yang sangat tinggi, dengan "nilai mAP (mean average precision) lebih dari 90%" 1, menunjukkan kemampuannya yang luar biasa dalam mendeteksi kendaraan secara akurat.

Namun, bukan hanya akurasinya yang membuat YOLO spesial. Tinjauan pustaka ini 1 secara eksplisit menobatkan YOLO dalam Abstrak dan Kesimpulannya sebagai metode yang memiliki "hasil yang memuaskan" dan "paling cocok" untuk diimplementasikan.

Mengapa? Jawabannya terletak pada kecepatan. Kajian tersebut 1 mencatat bahwa keunggulan unik YOLO adalah kemampuannya "dapat mendeteksi objek secara real time" dan "kemampuannya yang dapat memproses data secara real time dan cepat."

Ini mengungkap sebuah wawasan penting: dalam manajemen lalu lintas, kecepatan respons sama pentingnya dengan kedalaman analisis. Lalu lintas adalah masalah yang sangat dinamis dan kacau. Sebuah solusi yang "cukup baik" tapi instan (YOLO) mungkin jauh lebih unggul di dunia nyata daripada solusi "sempurna" yang membutuhkan waktu pemrosesan beberapa detik lebih lama (seperti sistem hibrida yang mungkin lebih berat).

 

Kritik Realistis: 'Data Hantu' di Balik Perlombaan AI Ini

Namun, sebelum kita terburu-buru mengganti semua lampu lalu lintas kita dengan AI, tinjauan pustaka dari UII ini 1 juga menyertakan kritik realistis yang tajam—sebuah kelemahan yang mengintai di balik angka-angka impresif tadi.

Kelemahan besar yang terungkap adalah kurangnya transparansi dan standardisasi data pengujian.1

  • Dari dua belas literatur yang dikaji, "Hanya ada empat literatur yang menyebutkan data set yang digunakan".1
  • Lebih mengejutkan lagi, salah satu data set yang digunakan untuk melatih AI canggih hanya berisi "153 gambar mainan berbentuk kendaraan".1

Ini adalah kritik ilmiah yang serius. Ini seperti membandingkan catatan waktu 12 pelari juara tanpa mengetahui apakah mereka berlari di lintasan datar, menanjak, atau di atas treadmill mainan.

Angka pengurangan delay 78% dari studi memang fantastis, tetapi apakah itu diuji pada simulasi komputer yang sederhana, atau pada data lalu lintas real-time yang kacau seperti data dari Seoul (yang digunakan studi YOLO )? Tinjauan pustaka ini menyoroti bahwa kita tidak selalu tahu.

Kritik lainnya adalah tidak adanya definisi standar untuk "kepadatan lalu lintas".1 Beberapa studi 1 mengukurnya sebagai "luas kumpulan kendaraan", yang lain sebagai "total titik putih pada citra", dan yang lain lagi sebagai "panjang antrean kendaraan". Perbedaan definisi ini membuat perbandingan langsung antar metode menjadi semakin sulit.

 

Dampak Nyata: Masa Depan Persimpangan di Kota Anda

Meskipun ada keterbatasan dalam penelitian, narasi evolusi yang dipetakan oleh Khatami, Rajagede, dan Rahmadi 1 sangat jelas. Kita telah bergerak dari sensor fisik yang mahal dan rapuh 1, ke mata digital yang "kaku" 1, dan akhirnya tiba di era otak AI yang mampu beradaptasi secara real-time.1

Kesimpulannya jelas: teknologi AI, khususnya yang berfokus pada kecepatan real-time seperti YOLO dan efisiensi mendalam seperti sistem Hibrida , memegang kunci untuk manajemen lalu lintas masa depan.

Jika diterapkan dalam skala besar, temuan ini bisa secara drastis mengubah produktivitas dan kualitas hidup perkotaan.

Bayangkan jika setiap persimpangan utama di kota Anda mengadopsi teknologi yang terbukti dalam studi . Jika waktu henti (stop time) di setiap lampu merah dapat dikurangi sebesar 85%, dampaknya akan sangat besar. Ini bukan lagi hanya soal menghemat 87 menit waktu pribadi Anda yang terbuang karena macet.1 Ini berarti pengurangan emisi bahan bakar secara masif dari kendaraan yang idle, penurunan tingkat stres kolektif 1, dan peningkatan efisiensi logistik yang dapat bernilai triliunan rupiah bagi perekonomian nasional dalam lima tahun ke depan.

 

Sumber Artikel:

Khatami, M. S., Rajagede, R. A., & Rahmadi, R. (n.d.). Sebuah tinjauan pustaka dari studi-studi terkini tentang sistem manajemen lampu lalu lintas adaptif. Jurusan Informatika, Universitas Islam Indonesia.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Evolusi Digital Lampu Lalu Lintas dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Tragedi Sungai Musi – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 28 Oktober 2025


BAGIAN 1: ANALISIS KONTEKSTUAL DAN LATAR BELAKANG STRATEGIS

1.1. Darurat Tak Terlihat di Jalur Air Indonesia

Transportasi sungai dan danau merupakan urat nadi vital bagi perekonomian dan mobilitas sosial di banyak wilayah Indonesia. Kegiatan ini diakui sebagai bagian integral yang tidak terpisahkan dari "satu kesatuan sistem transportasi nasional".1 Namun, di balik peran krusialnya, tersembunyi sebuah krisis keselamatan yang mendesak. Tingkat kecelakaan lalu lintas dan angkutan sungai di Indonesia tercatat "cukup tinggi".1

Akar masalah dari tingginya angka kecelakaan ini bersifat ganda. Di satu sisi, terdapat masalah teknis yang nyata, yaitu "rendahnya tingkat kelaikan angkutan yang di gunakan". Di sisi lain, dan seringkali menjadi faktor penentu, adalah "faktor manusia".1 Kelalaian pengemudi, pengabaian terhadap standar keselamatan yang ada, dan minimnya sosialisasi kesadaran berkeselamatan menciptakan kombinasi fatal yang berulang kali memakan korban jiwa dan kerugian materi yang besar.1

Konteks ini lebih dari sekadar statistik kecelakaan; ini adalah isu keadilan infrastruktur. Di banyak daerah di Sulawesi Selatan, Kalimantan, dan Sumatera, sungai bukanlah alternatif, melainkan satu-satunya "jalan raya" yang menghubungkan antar desa.1 Kegagalan infrastruktur keselamatan di jalur air ini memiliki dampak yang setara dengan kegagalan sistem jalan tol di perkotaan. Dengan demikian, kelalaian pengemudi seringkali hanya gejala dari masalah yang lebih dalam: tidak adanya sistem yang dirancang untuk mencegah atau memitigasi kelalaian tersebut.

1.2. Studi Kasus Tragedi: Anatomi Tabrakan di Musi Banyuasin

Masalah ini bukan sekadar hipotesis. Sebuah studi kasus tragis yang diangkat dalam penelitian ini menyoroti kegagalan sistemik tersebut secara gamblang. Pada hari Kamis, 3 Desember 2020, terjadi kecelakaan maut di Sungai Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.1

Kecelakaan ini adalah contoh klasik dari "faktor manusia" yang berakibat fatal. Kronologinya dimulai saat speedboat Wawan Putra yang sedang melaju "mendadak keluar dari jalur primer P17 dan mengambil lajur sebelah kanan". Pada saat yang bersamaan, speedboat Semoga Abadi 04 melintas dari arah berlawanan. Tabrakan pun tak terhindarkan. Akibatnya, beberapa penumpang terpental ke sungai, dengan satu orang ditemukan tewas dan satu penumpang lainnya dinyatakan hilang.1

Istilah kunci yang digunakan untuk menggambarkan insiden ini adalah "mencuri jalur".1 Ini adalah "pelanggaran marka" versi perairan, di mana pengemudi secara sengaja atau tidak sengaja mengambil jalur yang bukan haknya. Tragedi Musi Banyuasin ini berfungsi sebagai "pasien nol" bagi penelitian yang dianalisis. Ini membuktikan bahwa kecelakaan tersebut bukanlah peristiwa acak, melainkan kegagalan sistemik yang dapat diprediksi. Pengemudi "mencuri jalur" karena tidak ada sistem informasi yang efektif untuk memberitahunya bahwa ada perahu lain yang datang dari arah berlawanan, dan tidak ada sistem penegakan aturan otomatis untuk menghentikannya.

1.3. Tantangan Geografis: Problem 'Terowongan' Rammang-Rammang

Penelitian ini secara spesifik berfokus pada kondisi geografis unik yang memperburuk risiko tabrakan: jalur lalu lintas yang sempit. Di banyak sungai di Indonesia, terdapat titik-titik penyempitan alami, yang dalam penelitian ini disebut sebagai "terowongan".1

Karakteristik utama dari "terowongan" ini adalah kondisinya yang "tidak memungkinkan ada 2 perahu yang berpapasan".1 Penelitian ini secara khusus menyoroti kebutuhan infrastruktur di area seperti terowongan di kawasan Rammang-Rammang, Sulawesi Selatan.1 Di lokasi-lokasi rawan seperti ini, kelalaian sekecil apa pun tidak memiliki margin kesalahan; tabrakan adalah hasil yang hampir pasti jika dua perahu mencoba melintas bersamaan dari arah berlawanan.

Kondisi geografis ini menghadirkan tantangan teknis yang unik. Solusi infrastruktur tradisional, seperti pengerukan atau pelebaran alur sungai, tidak hanya memakan biaya yang sangat besar dan waktu yang lama, tetapi juga berpotensi merusak lingkungan secara signifikan, terutama di kawasan karst sensitif seperti Rammang-Rammang. Oleh karena itu, solusi yang dibutuhkan bukanlah solusi "kekuatan bruta", melainkan solusi teknologi yang ringan, cerdas, dan presisi. Inilah celah yang coba diisi oleh para peneliti melalui pengembangan model lampu lalu lintas berbasis Internet of Things (IoT).

 

BAGIAN 2: RESENSI JURNALISTIK UTAMA

Judul: Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Tragedi Sungai Musi – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Kamis, 3 Desember 2020. Di perairan tenang Sungai Lalan, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, sebuah tragedi terjadi begitu cepat. Sebuah speedboat, Wawan Putra, dilaporkan mendadak banting setir, keluar dari jalur primernya dan "mencuri jalur" di sebelah kanan. Tepat pada saat bersamaan, speedboat Semoga Abadi 04 melaju dari arah berlawanan. Tabrakan maut tak terhindarkan.1

Benturan keras membuat penumpang terpental. Saat regu penyelamat tiba, satu orang ditemukan tewas, dan satu lainnya hilang, ditelan arus sungai.1

Kecelakaan ini, seperti banyak insiden serupa di jalur air Indonesia, dikategorikan sebagai "kelalaian pengemudi". Namun, dua peneliti dari Politeknik Negeri Ujung Pandang, Dahliah Nur dan Kasim, melihat lebih dari sekadar human error. Mereka melihat masalah infrastruktur. Mereka melihat sebuah kegagalan sistemik yang bisa dicegah dengan teknologi.1

Apa jadinya jika di tikungan maut itu, atau di jalur sempit itu, ada sebuah "lampu merah" versi sungai? Pertanyaan inilah yang mendorong lahirnya penelitian mereka: "Model Lampu Lalu Lintas Sungai Berbasis IoT".

Tragedi yang Memicu Inovasi: Mengapa Jalur Sungai Kita Rawan?

Setiap tahun, tingkat kecelakaan di angkutan sungai dan danau Indonesia tercatat "cukup tinggi".1 Penyebabnya adalah kombinasi dari kelaikan angkutan yang rendah dan faktor manusia yang sering mengabaikan keselamatan.1 Tragedi Musi Banyuasin adalah bukti nyata dari kelalaian "mencuri jalur".1

Masalah ini diperparah oleh geografi unik Indonesia. Di banyak wilayah, seperti di kawasan karst Rammang-Rammang, Sulawesi Selatan, sungai menyempit membentuk "terowongan" alami. Di jalur ini, mustahil bagi dua perahu untuk berpapasan dengan aman.1 Tanpa sistem peringatan, setiap perahu yang masuk ke terowongan ini sejatinya sedang "berjudi", berharap tidak ada perahu lain dari arah berlawanan.

Para peneliti dari Politeknik Negeri Ujung Pandang ini memutuskan untuk merancang sebuah solusi. Bukan dengan melebarkan sungai—yang mahal dan merusak lingkungan—tetapi dengan mengatur lalu lintasnya secara cerdas.

Memasang Lampu Merah di Sungai: Seperti Apa Wujud Teknologi IoT Ini?

Bayangkan sebuah lampu lalu lintas standar, namun alih-alih ditenagai listrik PLN dan diatur oleh timer kota, lampu ini berdiri mandiri di tengah hutan bakau, ditenagai matahari, dan mampu "berpikir" sendiri. Itulah inti dari model yang mereka kembangkan.1

Sistem ini dibangun dari tiga modul utama yang bekerja secara harmonis 1:

  1. Mata Pengawas (Sensor): Di kedua ujung "terowongan" (Ujung A dan Ujung B), dipasang sensor untuk mendeteksi setiap perahu yang mendekat atau masuk.1
  2. Sistem Saraf (Kontroler): Begitu sensor mendeteksi perahu, sebuah mikrokontroler (ESP 8266) langsung bekerja. Komponen ini adalah "kurir" digital yang mengirimkan data—"Ada perahu terdeteksi!"—setiap 30 detik melalui transmisi nirkabel (protokol MQTT).1
  3. Otak (Server): Data dari "saraf" diterima oleh "otak" sistem, yaitu sebuah komputer mini Raspberry Pi 4. Di sinilah keputusan dibuat. Raspberry Pi akan mengolah data, menghitung "kepadatan" lalu lintas, dan menentukan siapa yang berhak jalan.1
  4. Jantung yang Mandiri (Sumber Daya): Ini adalah bagian paling krusial untuk kondisi Indonesia. Seluruh sistem—sensor, saraf, dan otak—ditenagai oleh Panel Solar Cell dan disimpan dalam Baterai (AKI). Tujuannya jelas: "agar tidak bergantung pada jaringan PLN".1 Sistem ini dirancang untuk kemandirian total, memungkinkannya dipasang di hulu sungai paling terpencil sekalipun.

Alur kerjanya sederhana namun efektif. Sebuah perahu mendekati Ujung A terowongan. "Mata" sensor melihatnya. "Saraf" (ESP8266) mengirim laporan ke "Otak" (Raspberry Pi). Otak segera mengecek: "Apakah terowongan dalam keadaan kosong?".1

Jika ya, Otak akan memberi perintah: Lampu Navigasi di Ujung A berubah menjadi Hijau, mempersilakan perahu masuk. Secara bersamaan, lampu di Ujung B (ujung seberang) berubah menjadi Merah, menghentikan perahu lain yang mungkin datang.1 Lampu merah di Ujung B akan terus menyala "selama perahu masih berada dalam terowongan" 1, memastikan tidak ada tabrakan head-to-head.

Di Balik Laboratorium: Mencari 'Titik Manis' untuk Mata Sensor

Merancang sistem ini tidak semudah kedengarannya. Tantangan terbesar bagi para peneliti adalah mengkalibrasi "mata" sensor. Pertanyaan krusialnya: Seberapa tinggi sensor harus dipasang dari permukaan air agar bisa mendeteksi perahu secara akurat dan cepat, tanpa terganggu oleh ombak atau pantulan air?

Tim peneliti melakukan serangkaian pengujian presisi untuk menemukan "titik manis" tersebut.1 Mereka menguji sensor pada berbagai ketinggian, meter demi meter, dan mengukur waktu respons lampu lalu lintas.

Hasilnya sangat menarik. Saat sensor dipasang hanya 1 meter di atas air, respons waktunya relatif lambat, yakni 2,10 detik di satu node dan 2,30 detik di node lainnya. Ketika dinaikkan ke 2 meter, kinerjanya membaik, mencatatkan waktu 1,96 detik.1

Namun, temuan emas didapat pada ketinggian 3 meter. Di ketinggian ini, sensor mengunci target perahu dengan respons tercepat, hanya 1,48 detik di Node 1 dan 1,87 detik di Node 2.1 Ini lebih cepat dari kedipan mata—presisi yang dibutuhkan untuk menghentikan speedboat yang melaju kencang.

Menariknya, saat pengujian dilanjutkan ke 4 meter, responsnya justru melambat lagi menjadi 2,42 detik. Dan pada ketinggian 5 meter, sensor tersebut praktis menjadi "buta". Catatan penelitian tegas menyatakan: "objek tidak terbaca".1

Data ini membuktikan bahwa penempatan sensor bukanlah perkara sepele. Para peneliti menyimpulkan bahwa 3 meter adalah ketinggian optimal untuk mendapatkan respons tercepat, sebuah temuan yang menjadi kunci keberhasilan seluruh model ini.1

Mengatur Antrean Perahu: Sistem Ini 'Berpikir' dan Terbukti 100% Berhasil

Setelah "mata" terkalibrasi, pertanyaan berikutnya adalah: Seberapa andal "otak" sistem ini dalam mengatur lalu lintas?

Para peneliti melakukan 10 kali pengujian skenario lalu lintas yang padat, dengan jumlah perahu yang bervariasi di kedua ujung terowongan.1 Hasilnya sempurna. Dari 10 kali pengujian yang merepresentasikan berbagai tingkat kepadatan, sistem ini "Berhasil" 100% dalam mengaktifkan lampu yang benar dan mencegah konflik.1 Keandalannya teruji.

Namun, bagian yang paling mengesankan bukanlah sekadar keandalannya, melainkan kecerdasannya. Ini bukan timer bodoh yang menyalakan lampu merah selama 30 detik tanpa peduli situasi. Sistem ini adaptif. Ia "berpikir" dan menyesuaikan delay waktu berdasarkan jumlah perahu yang sedang mengantre.1

Data pengujian menunjukkan kecerdasan adaptif ini dengan jelas:

  • Skenario 1: Satu Perahu. Bayangkan seorang nelayan tunggal ingin melintas. Sistem mendeteksi hanya satu perahu yang antre. Hasilnya? Waktu delay adalah 0 detik.1 Sistem ini cukup pintar untuk tidak membuat nelayan itu menunggu lampu merah yang tidak perlu. Ia bisa langsung melintas.
  • Skenario 2: Dua Perahu. Sekarang, dua perahu wisata kecil datang bersamaan. Sistem mendeteksi "antrean" ringan ini. Ia secara otomatis memberlakukan delay selama 10 detik 1 untuk memastikan kedua perahu itu memiliki cukup waktu untuk mulai bergerak sebelum lampu di seberang berganti.
  • Skenario 3: Tiga Perahu. Jika antrean padat—misalnya tiga perahu—sistem menghitung kepadatan yang lebih tinggi dan menahan lalu lintas di seberang lebih lama, memberlakukan delay 20 detik.1

Lompatan dari 0 detik untuk satu perahu menjadi 20 detik untuk tiga perahu menunjukkan ini adalah sistem manajemen lalu lintas yang dinamis. Ia secara aktif menghitung kepadatan 1 dan mengalokasikan slot waktu yang aman, mencegah "konvoi" perahu bertabrakan dengan perahu tunggal dari arah lain.

Opini: Apakah Ini Solusi Ajaib? Sebuah Kritik Realistis

Prototipe ini menunjukkan hasil yang sangat menjanjikan. Namun, sebelum kita membayangkan lampu lalu lintas ini terpasang di setiap sungai Indonesia, ada beberapa kritik realistis yang perlu ditangani.

Pertama, ada kebingungan teknis yang signifikan dalam dokumen penelitian ini. Di satu sisi, Abstrak 1 dan Kesimpulan 1 dengan jelas menyatakan bahwa sistem ini menggunakan "sensor ultra sonic". Namun, di sisi lain, Diagram Blok Sistem 1 dan Skema Rangkaian 1 secara eksplisit melabeli komponen deteksi sebagai "Sensor Laser" dan "Laser Detector".

Ini bukan sekadar salah ketik; ini adalah dua teknologi yang fundamental berbeda. Sensor ultrasonik menggunakan gelombang suara, yang kinerjanya bisa sangat terganggu oleh angin kencang di atas permukaan air. Sebaliknya, sensor laser menggunakan cahaya, yang bisa gagal total dalam kondisi kabut tebal, hujan deras, atau pantulan sinar matahari yang menyilaukan—semua kondisi yang sangat umum di sungai tropis Indonesia.

Pertanyaan krusial yang belum terjawab adalah: Model mana yang sebenarnya diuji? Apakah respons super cepat 1,48 detik 1 itu dicapai oleh sensor ultrasonik atau laser? Kejelasan mengenai komponen inti ini mutlak diperlukan sebelum implementasi skala penuh.

Kedua, ada masalah ruang lingkup. Model ini dirancang dengan brilian untuk satu skenario spesifik: "terowongan" sempit di mana dua perahu tidak bisa berpapasan.1 Namun, mari kita kembali ke tragedi Musi Banyuasin. Kecelakaan itu terjadi di "jalur primer P17" yang lebih lebar, disebabkan oleh perilaku "mencuri jalur".1 Apakah sistem lampu lalu lintas ini—yang dirancang untuk lalu lintas satu lajur—dapat diadaptasi untuk mencegah speedboat saling "curi jalur" di tikungan buta (blind corners) atau persimpangan sungai yang lebar? Keterbatasan studi yang hanya berfokus pada skenario "terowongan" ini bisa jadi mengecilkan kompleksitas masalah navigasi sungai secara umum.

Dampak Nyata: Mencegah Musi Banyuasin Berikutnya

Terlepas dari kritik tersebut, inovasi yang dipresentasikan oleh Dahliah Nur dan Kasim adalah sebuah langkah maju yang fundamental. Ini adalah bukti konsep bahwa kecelakaan di sungai dapat dimitigasi dengan teknologi IoT yang cerdas, mandiri energi, dan relatif murah.

Jika sistem ini, atau variasinya yang telah disempurnakan, diterapkan secara strategis di ratusan "terowongan" alami dan titik rawan navigasi sungai di seluruh Indonesia, dampaknya akan sangat nyata. Sistem ini bisa mengakhiri "perjudian" yang setiap hari dilakukan oleh para pengemudi perahu di Rammang-Rammang. Sistem ini bisa menjadi penjaga otomatis yang mencegah perilaku "mencuri jalur" seperti yang terjadi di Sungai Lalan.

Jika diterapkan, temuan ini bisa mengurangi biaya sosial dan ekonomi akibat tabrakan perahu secara signifikan, menyelamatkan nyawa, dan membuat urat nadi transportasi air kita jauh lebih aman dalam waktu lima tahun ke depan.

 

BAGIAN 3: ANALISIS AHLI: IMPLIKASI, TANTANGAN, DAN SKALABILITAS

3.1. Di Luar Prototipe: Hambatan Implementasi di Dunia Nyata

Penelitian ini menyajikan sebuah "model" atau prototipe yang sukses dalam lingkungan terkontrol.1 Transisi dari model laboratorium ke implementasi lapangan yang tangguh (robust) di lokasi target seperti Rammang-Rammang 1 akan menghadapi tiga tantangan utama di dunia nyata:

  1. Pemeliharaan dan Ketahanan Lingkungan: Sistem ini dirancang untuk lokasi terpencil menggunakan panel surya dan baterai (AKI).1 Di iklim tropis yang lembap, panel surya rentan tertutup lumut, jamur, atau kotoran burung, yang secara drastis menurunkan efisiensi pengisian daya. Sensor—baik itu laser maupun ultrasonik—juga rentan terhadap obstruksi dari sarang laba-laba, debu, atau lumpur. Pertanyaan operasional yang krusial adalah: Siapa yang akan melakukan pembersihan dan pemeliharaan rutin infrastruktur ini, dan seberapa sering?
  2. Vandalisme dan Keamanan Aset: Infrastruktur teknologi tak berawak yang dipasang di area publik, terutama yang terpencil, sangat rentan terhadap vandalisme dan pencurian. Komponen bernilai jual tinggi seperti panel surya dan AKI (baterai) 1 adalah target utama. Desain implementasi harus mencakup langkah-langkah pengamanan fisik yang kuat untuk melindungi aset-aset vital ini agar sistem tetap beroperasi.
  3. Konektivitas dan Skalabilitas Jaringan: Model ini bergantung pada komunikasi nirkabel (disebutkan sebagai WiFi dan protokol MQTT) antara node sensor di kedua ujung terowongan dan base station (Raspberry Pi).1 Prototipe ini mungkin berfungsi baik dalam jarak dekat. Namun, bagaimana jika "terowongan" sungai tersebut memiliki panjang 1 kilometer atau lebih, atau terhalang oleh bukit karst? Keandalan sinyal nirkabel dalam jarak jauh di lingkungan yang kompleks akan menjadi penentu skalabilitas sistem.

3.2. Rekomendasi Kebijakan dan Langkah Berikutnya

Berdasarkan analisis prototipe dan tantangan implementasinya, beberapa langkah strategis direkomendasikan untuk pemangku kepentingan terkait:

Untuk Regulator (Kementerian Perhubungan dan Syahbandar):

Penelitian ini harus dilihat sebagai cetak biru berbiaya rendah yang sangat menjanjikan untuk mitigasi risiko di titik rawan geografis. Temuan ini harus ditinjau dan dipertimbangkan untuk diintegrasikan ke dalam standar keselamatan sungai nasional, yang secara spesifik mengatur tentang Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran di alur pelayaran sempit.1

Untuk Tim Peneliti (Politeknik Negeri Ujung Pandang):

Untuk memajukan model ini dari prototipe sukses menjadi solusi yang siap diterapkan, tiga langkah berikutnya sangat mendesak:

  1. Klarifikasi Sensor Teknis: Langkah pertama dan paling penting adalah mempublikasikan errata atau studi lanjutan yang secara definitif mengklarifikasi kontradiksi antara sensor ultrasonik 1 dan sensor laser.1 Pengujian komparatif kinerja kedua sensor di lingkungan sungai yang sebenarnya (misalnya, saat hujan lebat vs. angin kencang) akan memberikan data yang tak ternilai bagi regulator.
  2. Uji Coba Lapangan (In-Situ): Melakukan uji coba lapangan jangka panjang (misalnya, 6-12 bulan) di lokasi target Rammang-Rammang.1 Uji coba ini harus fokus pada pengujian ketahanan terhadap cuaca tropis, efektivitas panel surya dalam jangka panjang, dan mengidentifikasi potensi masalah vandalisme serta kebutuhan pemeliharaan.
  3. Perluasan Model Skenario: Mengembangkan model ini lebih lanjut untuk mengatasi skenario yang lebih kompleks dan umum, seperti tikungan "buta" (blind corners) atau persimpangan antar sungai, yang merupakan lokasi umum terjadinya "pencurian jalur" seperti dalam kasus Musi Banyuasin.

 

Sumber Artikel:
Nur, D., & Kasim. (2022). MODEL LAMPU LALU LINTAS SUNGAI BERBASIS IoT. Prosiding 6th Seminar Nasional Penelitian & Pengabdian Kepada Masyarakat 2022, 165-172. Diperoleh dari https://jurnal.poliupg.ac.id/index.php/snp2m/article/view/3876

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Tragedi Sungai Musi – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Wawasan Perkotaan

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Ambang Kelumpuhan: Potret Jalan Ahmad Yani Sebelum Intervensi

Dipublikasikan oleh Hansel pada 28 Oktober 2025


Di Ambang Kelumpuhan: Potret Jalan Ahmad Yani Sebelum Intervensi

Untuk memahami skala kemenangan rekayasa ini, kita harus terlebih dahulu memahami betapa parahnya kondisi "sebelum 2021". Jalan Ahmad Yani, sebagai pusat bisnis dan komersial, menderita kemacetan parah dan ketidaktertiban lalu lintas.1

Analisis penelitian ini, menggunakan standar Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997, melukiskan gambaran suram:

  • Derajat Kejenuhan (DS) Kritis: Sebelum SSA, nilai DS—sebuah rasio yang mengukur seberapa penuh jalan—berada di titik nadir. Pada jam puncak hari kerja, angkanya mencapai 0,927. Pada jam puncak akhir pekan, angkanya melonjak menjadi 0,935.1
  • Arti Sebenarnya dari Angka 0,935: Ini bukan statistik akademis yang kering. Angka ini menempatkan Jalan Ahmad Yani dalam Tingkat Pelayanan (Level of Service) E.1 Dalam terminologi MKJI 1997, Level E berarti "arus lalu lintas tidak stabil dan terkadang terhenti." Jalan itu, secara sederhana, 93,5% penuh sesak.
  • Pipa yang Tersumbat: Ini adalah potret jalan raya yang "tercekik". Kapasitasnya, yang terhitung hanya 969 satuan mobil penumpang (smp) per jam, jelas tidak lagi mampu menampung volume kendaraan yang melewatinya.1 Kesimpulan penelitian ini tegas: dasar penerapan SSA adalah karena kapasitas jalan dua arah sudah tidak mampu menampung permintaan.1

Simulasi komputer canggih menggunakan software PTV VISSIM mengonfirmasi diagnosis ini. Sebelum intervensi, waktu tundaan (delay) rata-rata—waktu henti yang dialami setiap kendaraan akibat kemacetan—adalah 1,07 detik per kendaraan di hari kerja, dan melonjak menjadi 1,47 detik per kendaraan di akhir pekan.1

Jalan Ahmad Yani, sebelum 2021, berada di ambang gagal jantung lalu lintas.

 

Membedah Solusi: Mengapa Satu Arah Menjadi Resep Ajaib?

Di sinilah letak paradoks besar dari proyek Tegal City Walk. Latar belakang penelitian mencatat bahwa proyek ini melibatkan "menata trotoar" dan "menyediakan tempat untuk PKL," yang berarti "lebar jalan dikurangi".1

Data survei lapangan dalam tesis ini mengonfirmasi hal tersebut secara dramatis. Sebelum SSA, sistem dua arah memiliki lebar jalan efektif (aspal untuk kendaraan) total 12 meter.1 Setelah implementasi SSA dan Tegal City Walk, lebar jalan efektif untuk kendaraan dipangkas menjadi hanya 5 meter.1

Bagaimana bisa memotong lebar jalan lebih dari setengah (pengurangan 58%) justru menyelesaikan kemacetan?

Jawabannya adalah inti dari manajemen rekayasa lalu lintas: efisiensi sebuah jalan tidak ditentukan oleh lebarnya, tetapi oleh minimnya titik konflik. Sistem dua arah di CBD penuh dengan konflik: kendaraan dari arah berlawanan, dan yang lebih buruk, kendaraan yang membelok memotong arus.

Sistem Satu Arah (SSA) menghilangkan konflik paling fatal tersebut. Dan hasilnya, yang dibuktikan oleh penelitian ini, sungguh ajaib:

Meskipun lebar aspal dipotong drastis, kapasitas (daya tampung) aktual Jalan Ahmad Yani justru melonjak. Kapasitas jalan meningkat dari 969 smp/jam (saat masih 12 meter, dua arah) menjadi 1.104 smp/jam (setelah menjadi 5 meter, satu arah).1

Ini adalah lompatan efisiensi sebesar 14%. Bayangkan Anda merenovasi dapur, membuang separuh luas lantainya, namun entah bagaimana desain baru itu memungkinkan Anda memasak 14% lebih banyak makanan secara bersamaan. Itulah yang dicapai Tegal. SSA adalah alur kerja (workflow) yang jauh lebih superior untuk lalu lintas.

 

Hasil yang Mengejutkan: Data Kemenangan Rekayasa Tegal

Data kinerja "setelah" SSA yang disajikan dalam tesis ini sangat dramatis, mengonfirmasi keberhasilan total pertaruhan tersebut.

Jika analisis MKJI 1997 sebelumnya menunjukkan Level Pelayanan E (tercekik), analisis pasca-SSA menunjukkan keruntuhan pada tingkat kejenuhan. Derajat Kejenuhan (DS) di akhir pekan—yang sebelumnya 0,935 (Level E)—jatuh bebas ke 0,420. Di hari kerja, jatuh dari 0,927 ke 0,358.1

Bagi pengemudi, ini adalah perubahan transformasional. Jalan Ahmad Yani melompat dari Level E (arus tidak stabil, macet) ke Level B (arus lalu lintas tetap stabil, pengemudi memiliki kebebasan yang cukup untuk memilih kecepatan mereka).1 Ini mengubah pengalaman berkendara dari frustrasi penuh ketidakpastian menjadi perjalanan yang lancar dan dapat diprediksi.

Namun, data paling mengejutkan datang dari simulasi mikroskopis PTV VISSIM, yang mengukur waktu tundaan (delay).

  • Pada jam puncak hari kerja: Waktu tundaan rata-rata ambruk dari 1,07 detik/kendaraan menjadi hanya 0,08 detik/kendaraan.1
  • Pada jam puncak akhir pekan: Waktu tundaan ambruk dari 1,47 detik/kendaraan menjadi hanya 0,11 detik/kendaraan.1

Penurunan dari 1,07 detik menjadi 0,08 detik adalah pengurangan tundaan sebesar 92,5%. Ini bukan perbaikan; ini adalah eliminasi kemacetan.

Untuk memberi gambaran, lompatan efisiensi ini ibarat Anda biasanya membutuhkan waktu satu jam untuk mengisi baterai ponsel dari 20% ke 100%, dan kini, dengan teknologi baru, Anda bisa melakukannya hanya dalam 5 menit.

Tentu saja, angka-angka simulasi ini terdengar terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Namun, penelitian ini memastikan kredibilitasnya. Peneliti melakukan proses kalibrasi dan validasi yang ketat untuk memastikan model VISSIM berperilaku persis seperti lalu lintas di dunia nyata.1

Menggunakan rumus statistik Geoffrey E. Havers (GEH) untuk membandingkan data simulasi dengan data observasi lapangan 1, semua skenario simulasi divalidasi. Hasilnya (misalnya, nilai GEH 2,53; 1,59; 0,40) semuanya jauh di bawah ambang batas kesalahan 5,0.1 Ini membuktikan secara ilmiah bahwa simulasi VISSIM adalah "kembaran digital" yang akurat dari Jalan Ahmad Yani. Kemenangan ini nyata.

 

Opini: Namun, Solusi Jitu Melahirkan Masalah Baru

Laporan ini tidak akan menjadi rilis humas sempurna bagi Pemerintah Kota Tegal. Sebagaimana layaknya sebuah penelitian akademis yang jujur, tesis ini tidak hanya menyoroti keberhasilan "perangkat keras" (hardware) rekayasa, tetapi juga mengungkap masalah baru pada "perangkat lunak" (software) perilaku manusia.1

Pada Bab 5.2 (Saran), penelitian ini memberikan kritik realistis yang krusial. Setelah merekomendasikan sosialisasi kepada publik mengenai perubahan sistem, tesis ini secara spesifik menyoroti masalah baru:

"Hal ini disebabkan oleh banyaknya pengguna jalan, terutama pengendara sepeda motor yang melawan arah." 1

Ini adalah wawasan kunci. Keberhasilan rekayasa teknis telah menggeser masalah dari kemacetan struktural menjadi ketidakpatuhan perilaku.

Mengapa ini terjadi? Meskipun SSA sangat efisien, sistem ini seringkali memaksa pengguna jalan untuk mengambil rute memutar yang lebih jauh untuk mencapai tujuan yang sebenarnya dekat. Kelancaran baru (Level B) dan ruang jalan yang kini terasa lebih lega menciptakan godaan besar bagi pengendara motor untuk "memotong" melawan arus, merusak tatanan yang telah dirancang.

Ini adalah pengingat penting: infrastruktur rekayasa terbaik di dunia pun akan terancam gagal jika tidak didukung oleh "perangkat lunak" berupa edukasi publik yang masif dan, yang terpenting, penegakan hukum yang konsisten. Musuh baru lalu lintas Tegal bukanlah volume kendaraan, tetapi budaya ketidakdisiplinan.

 

Mengapa Temuan Tegal Penting bagi Kota Anda?

Kisah sukses Jalan Ahmad Yani bukan hanya berita lokal untuk Tegal. Ini adalah studi kasus yang terbukti valid secara kuantitatif untuk ratusan CBD di kota-kota lapis kedua dan ketiga di Indonesia yang menghadapi masalah serupa: arteri utama yang tersumbat, dan kepercayaan tradisional bahwa solusinya adalah "pelebaran jalan".

Tesis ini membuktikan mitos itu salah. Tegal melakukan hal sebaliknya: mereka mempersempit ruang kendaraan di jalan utama mereka—dari 12 meter menjadi 5 meter—untuk memberi ruang bagi kehidupan (Tegal City Walk).1 Dan melalui penerapan manajemen rekayasa yang cerdas (SSA), mereka tidak hanya mempertahankan, tetapi justru meningkatkan kapasitas tampung jalan sebesar 14% 1 dan secara virtual menghilangkan kemacetan (pengurangan tundaan 92,5%).1

Bagi para pembuat kebijakan perkotaan, ini adalah cetak biru untuk efisiensi anggaran. Studi ini adalah bukti ilmiah bahwa manajemen yang cerdas jauh lebih murah, lebih cepat, dan lebih efektif daripada pembangunan infrastruktur yang mahal, yang seringkali melibatkan pembebasan lahan yang rumit.

Yang terdampak oleh temuan ini adalah:

  1. Pengguna Jalan Harian: Pengalaman mereka berubah dari stres Level E menjadi kelancaran Level B.
  2. Pemilik Bisnis CBD: Aksesibilitas ke area komersial meningkat drastis.
  3. Pemerintah Kota (di seluruh Indonesia): Mereka kini memiliki studi kasus tervalidasi (baik via MKJI 1997 maupun VISSIM) bahwa solusi kemacetan tidak harus mahal.

 

Kesimpulan: Dampak Nyata dan Langkah Selanjutnya

Evaluasi ilmiah terhadap SSA di Jalan Ahmad Yani Tegal adalah sebuah kisah sukses rekayasa lalu lintas yang luar biasa. Transformasi dari Level Pelayanan E (ambang lumpuh) ke Level B (stabil dan lancar), didukung oleh data simulasi VISSIM yang menunjukkan eliminasi 92,5% waktu tundaan, adalah pencapaian yang patut ditiru.1

Jika model intervensi low-cost high-impact (SSA) yang telah divalidasi VISSIM ini diterapkan secara strategis di arteri-arteri CBD kota lain di Indonesia yang saat ini menderita di Level Layanan E atau F, dampaknya akan sangat besar. Penghematan bahan bakar nasional, pengurangan emisi karbon, dan peningkatan produktivitas ekonomi akibat waktu tempuh yang jauh lebih cepat dapat mencapai triliunan rupiah hanya dalam lima tahun ke depan.

Namun, seperti yang diperingatkan oleh penelitian ini, keberhasilan infrastruktur hanyalah separuh dari cerita. Langkah selanjutnya bagi Tegal—dan bagi kota mana pun yang menirunya—bukan lagi di bidang rekayasa aspal, tetapi rekayasa sosial: edukasi dan disiplin. Jika tidak, kelancaran yang telah dicapai dengan susah payah ini akan dirusak oleh satu pengendara motor yang melawan arah.1

 

Sumber Artikel:

Prihiyandhoko, H. (2023). Evaluasi Manajemen Rekayasa Lalu Lintas Sistem Satu Arah (SSA) Dengan Program VISSIM Pada Ruas Jalan Ahmad Yani Kota Tegal.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Ambang Kelumpuhan: Potret Jalan Ahmad Yani Sebelum Intervensi

Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia Kelam di Balik Kecelakaan Lalu Lintas Semarang – Kelompok Usia Ini Ternyata Paling Rentan!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 28 Oktober 2025


Lampu Merah Lalu Lintas Semarang: Alarm dari Data Kecelakaan yang Terus Berbunyi

Kota Semarang, ibu kota Provinsi Jawa Tengah, adalah sebuah denyut nadi kehidupan yang terus berkembang. Terletak strategis di pesisir utara Jawa, antara garis 6°50' - 7°10' Lintang Selatan dan 109°35'-110°50' Bujur Timur, kota ini membentang dari dataran rendah pantai hingga perbukitan dengan ketinggian mencapai 348 meter di atas permukaan laut.1 Dengan populasi mencapai lebih dari 1,57 juta jiwa pada tahun 2013 dan tingkat pertumbuhan tahunan yang signifikan, mencapai 13,25% antara 2003-2013, Semarang adalah magnet urbanisasi dan pusat aktivitas ekonomi.1 Namun, di balik dinamika pertumbuhan ini, terselip sebuah realitas kelam yang terus menghantui jalan-jalan rayanya: ancaman kecelakaan lalu lintas.

Seiring bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan akan mobilitas dan transportasi melonjak drastis. Fenomena ini, sayangnya, tidak diimbangi dengan peningkatan infrastruktur atau kesadaran keselamatan yang memadai, sehingga memperbesar risiko terjadinya insiden di jalan raya.1 Jalanan yang seharusnya menjadi urat nadi penghubung justru kerap berubah menjadi arena tragedi. Skala masalah ini tidak main-main. Secara global, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat angka yang mengerikan: hampir 3.400 orang kehilangan nyawa di jalanan dunia setiap harinya, dengan puluhan juta lainnya terluka.1 Di Indonesia sendiri, Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) melaporkan rata-rata 80 kematian per hari akibat kecelakaan lalu lintas sepanjang tahun 2013 – setara dengan tiga nyawa melayang setiap jamnya.1 Statistik Direktorat Lalu Lintas Polda Jawa Tengah antara 2009 hingga Mei 2014 pun melukiskan gambaran suram, dengan lebih dari 17.800 korban jiwa dan kerugian materiil melampaui 105 miliar Rupiah.1 Angka-angka ini menjadi penanda bahwa jalan raya di Indonesia, termasuk di Semarang, masih menjadi tempat yang sangat berbahaya.

Fokus pada Kota Semarang, data dari Polrestabes setempat menegaskan urgensi masalah ini. Antara tahun 2012 dan 2013 saja, tercatat 2.807 kasus kecelakaan yang merenggut 460 nyawa, menyebabkan 231 orang luka berat, dan 3.443 lainnya luka ringan.1 Meskipun data tahunan dari 2012 hingga 2014 menunjukkan tren penurunan jumlah kejadian (dari 1.049 kasus di 2012 menjadi 801 kasus di 2014), angka tersebut masih terbilang sangat tinggi.1 Lebih mengkhawatirkan lagi, angka-angka ini hanyalah puncak gunung es. Pihak kepolisian menyadari bahwa ini adalah reported accidents, atau kecelakaan yang tercatat secara resmi. Kenyataannya, banyak insiden, terutama yang tidak fatal, mungkin tidak dilaporkan karena berbagai alasan, termasuk keengganan masyarakat.1 Ini berarti, skala sebenarnya dari masalah kecelakaan lalu lintas di Semarang bisa jadi jauh lebih besar dari apa yang tertera di atas kertas.

Di tengah kondisi ini, muncul sebuah tren yang sangat meresahkan, sebagaimana diidentifikasi oleh Polrestabes Semarang: adanya peningkatan jumlah peristiwa kecelakaan yang melibatkan kelompok usia muda – pelajar, mahasiswa, dan pekerja di bawah usia 30 tahun – dalam kurun waktu lima tahun sebelum penelitian ini dilakukan.1 Fenomena ini menjadi lampu kuning yang menyala terang, menandakan adanya kerentanan spesifik pada demografi usia produktif dan generasi penerus kota ini.

Selama ini, upaya analisis kecelakaan seringkali terfokus pada identifikasi lokasi rawan atau "black spot", seperti yang dilakukan pada beberapa studi kasus sebelumnya di Semarang, Tabanan, dan Bandung.1 Meskipun penting, pendekatan berbasis lokasi ini belum cukup untuk menjawab pertanyaan fundamental: Mengapa kecelakaan terjadi? Siapa yang paling berisiko? Dan faktor apa yang paling dominan? Menjawab pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi krusial untuk merancang strategi pencegahan yang benar-benar efektif dan tepat sasaran. Diperlukan sebuah lompatan analisis yang lebih mendalam, yang mampu menggali pola-pola tersembunyi di balik data mentah kecelakaan. Menjawab kebutuhan mendesak inilah, sebuah penelitian komprehensif dilakukan oleh Muhammad Syaeful Fajar dari Universitas Negeri Semarang (UNNES) pada tahun 2015, menggunakan pendekatan analisis data canggih untuk membedah data kecelakaan lalu lintas di Kota Semarang.1

 

Membedah Tragedi di Jalan Raya: Bagaimana Analisis Data Canggih Mengungkap Pola Tersembunyi?

Penelitian berjudul "Analisis Kecelakaan Lalu Lintas Jalan Raya di Kota Semarang Menggunakan Metode K-Means Clustering" ini menjadi sebuah upaya signifikan untuk memahami dinamika kecelakaan di Semarang secara lebih mendalam.1 Sumber data utama yang menjadi tulang punggung analisis ini adalah Laporan Tahunan Kecelakaan Lalu Lintas dari Unit Laka Lantas Polrestabes Semarang untuk tahun 2014.1 Data ini mencakup catatan rinci mengenai 1.303 individu, baik korban maupun pelaku, yang terlibat dalam kecelakaan kendaraan bermotor sepanjang tahun tersebut.1 Meskipun data kontekstual dari tahun 2010 hingga 2014 mungkin juga dieksplorasi dalam tahap awal 1, fokus analisis utama terletak pada potret kondisi tahun 2014.

Metode yang dipilih untuk membongkar pola dalam data ini adalah K-Means Clustering, sebuah teknik penambangan data (data mining) yang kuat.1 Secara sederhana, K-Means bekerja seperti mesin penyortir otomatis yang sangat cerdas. Bayangkan ribuan lembar laporan kecelakaan yang kompleks; K-Means mampu mengelompokkannya ke dalam beberapa 'tumpukan' atau 'cluster' yang bermakna, di mana setiap cluster berisi kasus-kasus kecelakaan yang memiliki karakteristik serupa.1 Tujuan utama penggunaan metode ini dalam konteks Semarang adalah untuk mengidentifikasi apakah ada pola-pola unik terkait usia pelaku/korban, faktor penyebab utama kecelakaan (manusia, jalan, lingkungan, atau kendaraan), jenis hari kejadian (hari kerja, akhir pekan, atau hari libur), dan jenis kendaraan yang paling sering terlibat.1 Dengan mengungkap pola-pola ini, diharapkan dapat dirumuskan langkah-langkah pencegahan yang lebih terarah dan efektif.

Namun, sebelum data dapat dianalisis, langkah krusial yang disebut preprocessing data harus dilakukan.1 Data kecelakaan mentah seringkali bersifat "kotor" – mungkin tidak lengkap (incomplete), mengandung kesalahan atau nilai aneh (noisy), atau memiliki informasi yang saling bertentangan (inconsistent).1 Proses preprocessing ini ibarat membersihkan dan merapikan bahan baku sebelum diolah, memastikan bahwa data yang dianalisis memiliki kualitas yang baik dan bebas dari 'noise' yang tidak relevan.1 Tujuannya adalah untuk mentransformasikan data ke dalam format yang lebih efektif dan akurat, sehingga hasil analisis nantinya dapat diandalkan.1 Dalam penelitian ini, dari berbagai variabel yang tercatat dalam laporan (seperti nama, pekerjaan, TKP, tanggal, jam, merek kendaraan), dipilih beberapa variabel kunci yang dianggap paling berpengaruh dan cukup lengkap datanya untuk proses pengelompokan: jenis kendaraan (motor, mobil, truk/bus), penyebab (faktor pengemudi, jalan, lingkungan, kendaraan), dan jenis hari (hari kerja, hari libur, akhir pekan).1

Salah satu tantangan dalam menggunakan metode K-Means adalah sensitivitasnya terhadap titik awal analisis, yang disebut 'centroid awal'.1 Bayangkan kita ingin membuat tiga kelompok; cara kita memilih tiga titik awal pertama secara acak bisa mempengaruhi hasil akhir pengelompokan. Jika titik awalnya kurang tepat, hasil clusteringnya pun bisa jadi kurang optimal atau bahkan menyesatkan.1 Menyadari potensi ini, peneliti tidak hanya menerapkan metode K-Means secara langsung, tetapi melakukan langkah ekstra untuk memastikan keandalan hasilnya. Dua metode berbeda untuk menentukan centroid awal diuji coba dan dibandingkan:

  1. Simple Random Sampling (SRS): Metode sederhana di mana titik awal dipilih secara acak sepenuhnya dari data yang ada.1
  2. Analogy Based Estimation (ABE) yang Dimodifikasi: Metode ini diadaptasi dari teknik estimasi biaya proyek, dengan prinsip bahwa kasus yang serupa cenderung memiliki karakteristik serupa.1 Dalam konteks ini, peneliti menggunakan peringkat (nilai terendah, nilai tengah/median, dan nilai tertinggi) dari variabel yang paling dominan – yaitu jumlah kecelakaan sepeda motor berdasarkan usia – untuk menetapkan tiga titik centroid awal secara lebih terstruktur.1

Penting untuk dicatat bahwa penelitian ini tidak sekadar menerapkan metode standar. Peneliti secara cermat menguji dua pendekatan berbeda untuk memulai analisis pengelompokan data. Pendekatan yang lebih canggih, yang diadaptasi dari metode estimasi analogi (ABE), terbukti jauh lebih efektif dan efisien dibandingkan metode acak sederhana (SRS). Hasil perbandingan menunjukkan keunggulan signifikan metode ABE. Analisis menggunakan ABE mampu mencapai kondisi stabil, di mana anggota kelompok tidak lagi berpindah-pindah, hanya dalam 3 putaran perhitungan (iterasi).1 Sebaliknya, metode SRS menunjukkan ketidakstabilan; bahkan setelah 11 iterasi, anggota kelompok masih terus berubah, dan nilai centroid belum juga konvergen.1 Tingkat ketelitian (perbedaan nilai centroid antar iterasi) pada SRS masih di atas 100% pada iterasi ke-11, menandakan hasil yang buruk, sementara ABE mencapai 0% pada iterasi ke-4, menunjukkan hasil yang sangat baik dan stabil.1 Ini menunjukkan bahwa pola-pola yang ditemukan melalui metode ABE bukanlah kebetulan statistik belaka, melainkan representasi yang kuat dari dinamika kecelakaan di Semarang.

Berdasarkan hasil analisis data yang kuat ini, serta masukan praktis dari pihak kepolisian (khususnya wawancara dengan AKP Slamet, Kepala Unit Laka Lantas Polrestabes Semarang saat itu), ditetapkanlah tiga cluster utama untuk mengkategorikan tingkat risiko kecelakaan berdasarkan profil yang ditemukan 1:

  • Cluster 1: Hati-hati (Risiko Rendah)
  • Cluster 2: Waspada (Risiko Sedang)
  • Cluster 3: Berbahaya (Risiko Tinggi)

Penentuan jumlah tiga cluster ini tidak hanya didasarkan pada perhitungan matematis algoritma, tetapi juga mempertimbangkan kemudahan interpretasi dan relevansi operasional bagi pihak kepolisian dalam merancang tindakan penanganan masalah.1 Keterlibatan praktisi lapangan ini memastikan bahwa kategori yang dihasilkan tidak hanya valid secara statistik, tetapi juga bermakna dalam konteks penanganan kecelakaan lalu lintas di dunia nyata.

 

Fokus Tajam pada Usia Rawan: Siapa Pengguna Jalan Paling Berisiko di Semarang?

Setelah melalui proses analisis yang cermat menggunakan metode K-Means Clustering dengan inisialisasi Analogy Based Estimation (ABE) yang terbukti unggul, hasil pengelompokan data kecelakaan tahun 2014 di Semarang mengungkapkan pola yang sangat jelas terkait kelompok usia yang paling rentan. Temuan ini memberikan fokus yang tajam pada demografi pengguna jalan yang memerlukan perhatian khusus.

Temuan yang paling menonjol dan mengkhawatirkan adalah dominasi kelompok usia 18 hingga 24 tahun dalam Cluster 3: Berbahaya.1 Analisis data secara tegas menempatkan rentang usia ini sebagai episentrum risiko kecelakaan tertinggi di Semarang berdasarkan data tahun 2014.1 Kelompok usia ini sebagian besar terdiri dari pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) tingkat akhir, mahasiswa, dan pekerja muda yang baru memasuki dunia kerja.1 Ini adalah fase transisi penting dalam kehidupan, namun data menunjukkan bahwa periode ini juga merupakan masa paling berbahaya di jalan raya Semarang. Tingginya angka kecelakaan pada kelompok ini kemungkinan besar terkait dengan kombinasi antara euforia kebebasan berkendara, kurangnya pengalaman matang, kecenderungan mengambil risiko, dan mungkin pengaruh lingkungan pergaulan.

Berbeda dengan kelompok usia 18-24 tahun, Cluster 2: Waspada (Risiko Sedang) mencakup spektrum usia yang lebih luas.1 Di dalamnya terdapat remaja usia 14 tahun serta 16-17 tahun (pelajar SMP dan SMA awal), kelompok usia produktif utama (25 hingga 53 tahun), usia 55 tahun, dan juga kasus-kasus di mana usia pelaku atau korban tidak diketahui – yang seringkali merupakan kasus tabrak lari.1 Cluster ini dapat dianggap merepresentasikan tingkat risiko umum yang dihadapi oleh populasi dewasa pengguna jalan dalam aktivitas sehari-hari, termasuk perjalanan komuter, urusan pekerjaan, dan mobilitas rutin lainnya. Keberadaan pelajar usia menengah (16-17 tahun) dalam kelompok ini, terpisah dari kelompok 18-24 tahun yang berisiko lebih tinggi, menunjukkan adanya gradasi risiko bahkan di kalangan remaja dan pemuda.

Sementara itu, Cluster 1: Hati-hati (Risiko Rendah) menunjukkan komposisi usia yang menarik, didominasi oleh dua kelompok ekstrem: anak-anak yang sangat muda (usia 12, 13, dan 15 tahun) dan kelompok lanjut usia (lansia), yaitu usia 54 tahun serta rentang usia 56 hingga 85 tahun.1 Meskipun secara statistik mereka masuk dalam kelompok dengan frekuensi kecelakaan terendah pada data 2014, penyebab kerentanan mereka sangat berbeda. Pada kelompok anak-anak, faktor utama kemungkinan besar adalah kurangnya pengalaman, pemahaman aturan lalu lintas yang belum matang, dan kemampuan fisik serta kognitif yang masih berkembang untuk mengendalikan kendaraan bermotor.1 Sebaliknya, pada kelompok lansia, penurunan fungsi fisik seperti refleks yang melambat, penurunan kemampuan visual atau pendengaran, serta potensi penurunan tingkat konsentrasi dapat menjadi faktor kontributor utama terjadinya kecelakaan.1 Pengelompokan kedua ujung spektrum usia ini dalam satu cluster 'Hati-hati' oleh algoritma mungkin didasarkan pada pola frekuensi atau jenis insiden tertentu yang serupa dalam data 2014, namun penting untuk memahami bahwa akar masalah dan kebutuhan intervensi untuk kedua sub-kelompok ini jelas berbeda.

Keberhasilan metode K-Means dalam membedakan profil risiko berdasarkan usia ini memberikan pemahaman yang jauh lebih bernuansa dibandingkan sekadar menyatakan bahwa "anak muda berisiko tinggi". Analisis ini secara spesifik mengidentifikasi jendela usia kritis (18-24 tahun) sebagai periode puncak bahaya di lingkungan lalu lintas Semarang. Pemisahan yang jelas antara kelompok ini dengan remaja yang lebih muda (di Cluster 2) dan anak-anak (di Cluster 1) menggarisbawahi bahwa risiko tidaklah seragam di seluruh rentang usia muda, melainkan mencapai puncaknya pada masa transisi dari remaja akhir ke dewasa awal. Informasi ini sangat berharga untuk merancang intervensi yang benar-benar terfokus pada kelompok yang paling membutuhkan.

 

Jari Telunjuk Mengarah ke Pengemudi: Faktor Manusia Sebagai Akar Masalah Utama

Salah satu temuan paling konsisten dan menonjol dari analisis data kecelakaan di Semarang ini adalah peran dominan faktor manusia dalam menyebabkan terjadinya insiden. Jari telunjuk statistik dengan tegas mengarah pada perilaku pengguna jalan itu sendiri sebagai akar masalah utama, melintasi semua kelompok usia dan tingkat risiko yang telah diidentifikasi.

Data menunjukkan gambaran yang sangat jelas dan sulit disangkal: di semua tiga cluster – 'Hati-hati', 'Waspada', maupun 'Berbahaya' – penyebab utama kecelakaan secara meyakinkan diatribusikan pada 'Faktor Pengemudi' (Faktor Pengemudi).1 Secara rata-rata, angka ini mencapai 96,57% di seluruh kasus yang dianalisis.1 Ini berarti, lebih dari sembilan puluh enam dari setiap seratus kecelakaan yang tercatat pada tahun 2014 di Semarang disebabkan oleh tindakan atau kelalaian dari pengemudi itu sendiri.

Konsistensi temuan ini terlihat jelas ketika kita melihat persentase di masing-masing cluster hasil analisis ABE:

  • Di Cluster 1 ('Hati-hati', usia sangat muda & lansia): Faktor pengemudi menyumbang 97,48% kecelakaan.1
  • Di Cluster 2 ('Waspada', usia produktif & remaja): Faktor pengemudi menyumbang 94,98% kecelakaan.1
  • Di Cluster 3 ('Berbahaya', usia 18-24 tahun): Faktor pengemudi menyumbang 97,25% kecelakaan.1

Angka-angka yang sangat tinggi dan relatif seragam di semua kelompok ini menggarisbawahi bahwa, terlepas dari usia atau tingkat risiko statistik, perilaku manusialah yang menjadi pemicu utama tragedi di jalan raya Semarang. Kategori 'Faktor Pengemudi' ini, meskipun luas, mencakup berbagai isu yang secara teoritis dibahas dalam literatur keselamatan lalu lintas, seperti yang diulas dalam penelitian ini. Ini bisa berupa pelanggaran aturan (menerobos lampu merah, melawan arus), tindakan tidak hati-hati (kurang waspada, tidak menjaga jarak aman), kondisi fisik pengemudi (kelelahan, mengantuk, pengaruh alkohol), kondisi psikologis (emosi tidak stabil, kurang konsentrasi), hingga keterbatasan dalam waktu reaksi (dikenal sebagai PIEV time: Perception, Identification, Emotion, Volition/Violation).1

Secara khusus, pembahasan dalam penelitian ini mengaitkan kelompok usia 18-24 tahun (Cluster 'Berbahaya') dengan perilaku berisiko spesifik seperti memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi, potensi pengaruh minuman beralkohol, dan ketidakmampuan mengendalikan emosi saat berkendara.1 Ini memberikan indikasi kuat mengenai jenis 'Faktor Pengemudi' yang mungkin sangat relevan untuk kelompok usia paling rentan ini.

Sebaliknya, faktor-faktor lain yang sering dianggap sebagai penyebab kecelakaan ternyata memainkan peran yang jauh lebih kecil dalam konteks data Semarang 2014. Faktor Jalan (Faktor Jalan), yang mencakup kondisi seperti permukaan jalan rusak, tikungan tajam, atau tanjakan curam, hanya menyumbang sekitar 1,2% hingga 1,7% kecelakaan di setiap cluster.1 Faktor Lingkungan (Faktor Lingkungan), seperti kondisi cuaca buruk (hujan), penerangan jalan yang kurang memadai, atau pandangan terhalang, kontribusinya bahkan lebih minimal, berkisar antara 0% hingga 0,4%.1 Demikian pula, Faktor Kendaraan (Faktor Kendaraan), yang meliputi masalah teknis seperti rem blong, ban pecah, atau lampu tidak berfungsi, hanya menjadi penyebab pada sekitar 0,8% hingga 3,3% kasus kecelakaan.1

Dominasi ekstrem dari 'Faktor Pengemudi' ini membawa implikasi penting. Hal ini sangat menyarankan bahwa strategi intervensi yang terlalu berfokus pada perbaikan infrastruktur jalan, peningkatan kondisi lingkungan, atau pengetatan standar keselamatan kendaraan, meskipun mungkin tetap diperlukan dan bermanfaat dalam beberapa aspek, kemungkinan besar tidak akan memberikan dampak signifikan dalam menekan angka kecelakaan secara keseluruhan di Semarang jika tidak diimbangi dengan upaya masif yang menargetkan akar masalah utama: perilaku pengemudi. Fokus utama haruslah pada edukasi, sosialisasi, pelatihan, penegakan hukum yang konsisten, dan kampanye perubahan perilaku yang dirancang untuk meningkatkan kesadaran, kehati-hatian, dan kepatuhan pengguna jalan terhadap aturan lalu lintas. Kombinasi antara identifikasi kelompok usia paling berisiko (18-24 tahun) dan dominasi faktor pengemudi semakin memperkuat argumen bahwa intervensi perilaku yang ditargetkan secara khusus pada demografi ini, dengan menangani isu-isu seperti kecepatan, pengendalian emosi, dan potensi pengaruh zat, adalah langkah krusial yang perlu diprioritaskan.

 

Pola Waktu Kecelakaan: Mengapa Jalanan Lebih Berbahaya di Hari Kerja?

Selain mengungkap kelompok usia dan penyebab dominan, analisis data kecelakaan Semarang tahun 2014 juga menyoroti pola waktu yang jelas. Temuan ini menunjukkan bahwa risiko kecelakaan tidak tersebar merata sepanjang minggu, melainkan terkonsentrasi pada periode-periode tertentu, memberikan petunjuk penting kapan kewaspadaan ekstra dibutuhkan di jalan raya.

Secara konsisten di ketiga cluster risiko ('Hati-hati', 'Waspada', dan 'Berbahaya'), kecelakaan lalu lintas paling sering terjadi pada 'Hari Kerja' (Hari Kerja), yaitu periode Senin hingga Jumat.1 Rata-rata, sekitar 67,33% dari seluruh insiden kecelakaan yang dianalisis terjadi pada hari-hari kerja ini.1 Angka ini mengindikasikan bahwa rutinitas harian, terutama perjalanan komuter menuju dan dari tempat kerja atau sekolah, serta aktivitas ekonomi lainnya, merupakan periode paling berisiko di jalanan Semarang.

Pola dominasi hari kerja ini terkonfirmasi ketika melihat persentase spesifik pada setiap cluster hasil analisis ABE 1:

  • Cluster 1 ('Hati-hati'): 67,23% kecelakaan terjadi pada hari kerja.
  • Cluster 2 ('Waspada'): 70,25% kecelakaan terjadi pada hari kerja (angka tertinggi di antara cluster).
  • Cluster 3 ('Berbahaya'): 64,53% kecelakaan terjadi pada hari kerja.

Tingginya angka pada hari kerja ini sejalan dengan denyut nadi Semarang sebagai pusat pemerintahan Provinsi Jawa Tengah serta kawasan perkantoran dan industri yang signifikan.1 Volume kendaraan secara alami memuncak pada jam-jam sibuk pagi hari saat orang berangkat beraktivitas dan sore hari saat mereka pulang. Kepadatan lalu lintas yang tinggi, ditambah dengan potensi tekanan waktu dan kelelahan setelah beraktivitas, menciptakan kondisi yang lebih rawan terjadinya insiden. Fakta bahwa pola ini berlaku untuk semua kelompok risiko menunjukkan bahwa tekanan lalu lintas harian ini berdampak pada semua pengguna jalan, mulai dari anak-anak dan lansia, hingga usia produktif dan kelompok muda yang paling berisiko.

Meskipun hari kerja mendominasi, bukan berarti akhir pekan dan hari libur bebas dari risiko. Analisis data menunjukkan bahwa kecelakaan juga terjadi pada 'Akhir Minggu' (Akhir Minggu), yang dalam penelitian ini didefinisikan sebagai hari Sabtu, serta pada 'Hari Libur' (Hari Libur), yang mencakup hari Minggu dan hari-hari libur nasional.1 Namun, frekuensinya cenderung lebih rendah dibandingkan hari kerja. Berdasarkan hasil analisis ABE, persentase kecelakaan pada akhir minggu (Sabtu) berkisar antara 13,9% hingga 18,7%, sedangkan pada hari libur (Minggu dan libur nasional) berkisar antara 15,9% hingga 17,7% di ketiga cluster.1

Perlu dicatat pula bahwa status Semarang sebagai salah satu tujuan destinasi wisata di Jawa Tengah turut memberikan warna pada pola ini.1 Meskipun frekuensi kecelakaan pada hari libur secara keseluruhan lebih rendah daripada hari kerja, peningkatan aktivitas pariwisata dan perjalanan rekreasi pada periode ini dapat menyebabkan lonjakan kepadatan lalu lintas di rute-rute tertentu atau pada jam-jam tertentu, yang mungkin berkontribusi pada angka kecelakaan yang tetap signifikan.1

Pola temporal ini memberikan wawasan berharga bagi upaya pencegahan. Konsentrasi kecelakaan pada hari kerja menunjukkan perlunya peningkatan kewaspadaan dan mungkin penyesuaian strategi pengaturan lalu lintas atau penegakan hukum selama jam-jam sibuk komuter. Sementara itu, meskipun frekuensinya lebih rendah, risiko pada akhir pekan dan hari libur tidak boleh diabaikan. Karakteristik lalu lintas pada periode ini mungkin berbeda – lebih banyak perjalanan jarak jauh, pengemudi rekreasi yang mungkin kurang familiar dengan rute, atau potensi peningkatan aktivitas malam hari – yang mungkin memerlukan pendekatan pencegahan yang berbeda pula, seperti kampanye keselamatan khusus untuk perjalanan liburan atau peningkatan patroli pada malam akhir pekan. Memahami kapan risiko tertinggi terjadi adalah langkah penting untuk mengalokasikan sumber daya pencegahan secara lebih efektif.

 

Dominasi Roda Dua: Sepeda Motor dalam Pusaran Statistik Kecelakaan

Analisis data kecelakaan lalu lintas Semarang tahun 2014 tidak hanya mengungkap siapa yang paling berisiko dan kapan kecelakaan paling sering terjadi, tetapi juga jenis kendaraan apa yang paling dominan terlibat dalam insiden tersebut. Temuan ini secara tegas menempatkan sepeda motor sebagai fokus utama dalam upaya peningkatan keselamatan di jalan raya kota ini.

Hasil pengelompokan menggunakan K-Means Clustering menunjukkan bahwa Sepeda Motor (Motor) adalah jenis kendaraan yang paling sering terlibat dalam kecelakaan lalu lintas di Semarang, melintasi semua kelompok usia dan tingkat risiko.1 Dominasi ini sangat mencolok, terutama pada kelompok usia yang teridentifikasi paling berbahaya.

Mari kita lihat angka-angka dari hasil analisis ABE 1:

  • Di Cluster 3 ('Berbahaya', usia 18-24 tahun), sepeda motor terlibat dalam 85,02% insiden kecelakaan. Ini berarti, delapan puluh lima dari setiap seratus kecelakaan yang melibatkan kelompok usia muda ini melibatkan setidaknya satu sepeda motor. Angka ini menyoroti kerentanan luar biasa pengendara motor muda di Semarang.
  • Bahkan di kelompok risiko lainnya, keterlibatan sepeda motor masih sangat tinggi. Di Cluster 2 ('Waspada', usia produktif & remaja), sepeda motor terlibat dalam 62,78% kasus.
  • Di Cluster 1 ('Hati-hati', usia sangat muda & lansia), keterlibatan sepeda motor mencapai 65,55%.

Tingginya angka keterlibatan sepeda motor ini, meskipun mengkhawatirkan, sebagian dapat dijelaskan oleh faktor paparan (exposure). Sebagaimana dicatat dalam penelitian dan didukung oleh data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Semarang untuk tahun-tahun sekitar periode studi (2011-2013), populasi sepeda motor memang mendominasi jalanan Semarang, jauh melampaui jumlah jenis kendaraan lainnya seperti mobil penumpang, bus, atau truk.1 Semakin banyak sepeda motor di jalan, secara statistik, semakin besar pula kemungkinan mereka terlibat dalam kecelakaan.

Meskipun sepeda motor mendominasi, jenis kendaraan lain juga turut berkontribusi pada statistik kecelakaan. Mobil penumpang (Mobil Penumpang/Pribadi) menunjukkan keterlibatan yang signifikan, terutama di Cluster 1 ('Hati-hati') dengan angka 26,05%, mungkin mencerminkan penggunaan mobil oleh keluarga yang mengantar anak atau oleh lansia. Di Cluster 2 ('Waspada') dan Cluster 3 ('Berbahaya'), keterlibatan mobil masing-masing sekitar 18,32% dan 9,17%.1

Kendaraan berat seperti truk (Mobil Barang/Truk) dan bus (Bus) juga tercatat terlibat. Menariknya, keterlibatan truk/bus menunjukkan pola yang sedikit berbeda antar cluster. Angka keterlibatannya paling tinggi di Cluster 2 ('Waspada'), mencapai 18,90%, lebih tinggi dibandingkan di Cluster 1 (8,40%) maupun Cluster 3 (5,81%).1 Puncak keterlibatan kendaraan berat di cluster yang mewakili usia produktif dan lalu lintas komuter ini mungkin mengindikasikan adanya risiko interaksi spesifik antara kendaraan komersial besar dengan lalu lintas umum selama jam-jam sibuk atau di rute-rute logistik utama di dalam kota. Ini bisa terkait dengan perbedaan dimensi kendaraan, titik buta (blind spot) yang lebih besar pada truk/bus, atau perbedaan pola pengereman dan akselerasi.

Namun, fokus utama tetap harus pada sepeda motor. Angka keterlibatan yang sangat tinggi, khususnya pada kelompok usia 18-24 tahun yang sudah teridentifikasi sebagai kelompok paling berisiko, menjadikan keselamatan pengendara motor muda sebagai area intervensi paling kritis di Semarang. Upaya pencegahan harus secara khusus menargetkan kelompok ini, mungkin melalui program pelatihan berkendara defensif yang lebih intensif, kampanye kesadaran risiko yang relevan dengan budaya anak muda, penegakan aturan penggunaan helm standar, serta pemeriksaan kelayakan jalan sepeda motor secara berkala. Mengatasi masalah keselamatan sepeda motor adalah kunci untuk membuat perbedaan nyata dalam mengurangi angka kecelakaan dan korban jiwa di jalanan Semarang.

 

Sebuah Catatan Kritis: Memahami Keterbatasan dan Potensi Studi Ini

Meskipun analisis data kecelakaan lalu lintas di Semarang menggunakan metode K-Means Clustering ini memberikan wawasan berharga mengenai pola-pola tersembunyi, penting untuk memahami batasan-batasan yang melekat pada studi ini, sebagaimana juga diakui oleh peneliti sendiri.1 Pemahaman ini membantu kita menempatkan temuan dalam konteks yang tepat dan mengidentifikasi area untuk penelitian atau pengembangan lebih lanjut.

Pertama, ketergantungan pada data resmi adalah batasan utama. Analisis ini sepenuhnya bersandar pada Laporan Tahunan Laka Lantas Polrestabes Semarang tahun 2014.1 Seperti yang telah disinggung sebelumnya, data resmi seringkali hanya mencatat reported accidents, yaitu insiden yang dilaporkan dan ditangani oleh pihak kepolisian.1 Kecelakaan ringan yang diselesaikan secara damai antar pihak, atau insiden tunggal yang tidak menyebabkan kerusakan parah atau cedera serius, kemungkinan besar tidak masuk dalam data ini. Akibatnya, analisis ini mungkin lebih mencerminkan pola kecelakaan yang relatif lebih parah atau jenis insiden tertentu yang cenderung dilaporkan, dan belum tentu mewakili gambaran keseluruhan spektrum kecelakaan di Semarang. Peneliti menyarankan perlunya upaya untuk mencatat lebih banyak kejadian kecelakaan di masa depan untuk meningkatkan akurasi analisis.1

Kedua, tingkat kedalaman atau granularitas data menjadi batasan lain. Variabel yang digunakan dalam analisis, seperti 'Faktor Pengemudi', meskipun terbukti dominan, sifatnya masih sangat umum.1 Kategori ini bisa mencakup berbagai macam perilaku spesifik, mulai dari mengantuk, tidak fokus karena menggunakan ponsel, ugal-ugalan, hingga pengaruh alkohol. Tanpa data yang lebih rinci mengenai jenis kelalaian atau pelanggaran spesifik yang paling sering terjadi, sulit untuk merancang intervensi perilaku yang sangat presisi. Peneliti menyadari hal ini dan menyarankan agar pengumpulan data kecelakaan di masa depan bisa lebih lengkap dan detail.1 Lebih jauh, diusulkan penggunaan teknik analisis lain seperti Textmining pada deskripsi naratif laporan kecelakaan untuk menggali penyebab spesifik secara lebih mendalam di penelitian selanjutnya.1 Ini menunjukkan bahwa K-Means efektif mengidentifikasi siapa dan kapan, tetapi metode lain mungkin diperlukan untuk menjawab mengapa secara lebih rinci.

Ketiga, cakupan temporal dan geografis. Fokus utama analisis adalah data tahun 2014.1 Pola lalu lintas dan kecelakaan dapat berubah seiring waktu karena perkembangan infrastruktur, perubahan demografi, atau tren penggunaan kendaraan. Oleh karena itu, temuan ini merupakan potret kondisi pada tahun 2014 dan memerlukan analisis berkelanjutan untuk memantau tren dari waktu ke waktu. Secara geografis, analisis ini mencakup kecelakaan yang tercatat di wilayah hukum Polrestabes Semarang.1 Metode clustering yang digunakan berfokus pada pengelompokan berdasarkan karakteristik insiden, bukan pada pemetaan lokasi geografis spesifik seperti analisis 'black spot'.1 Variasi tingkat risiko antar kecamatan atau ruas jalan tertentu tidak menjadi fokus utama dalam pendekatan ini.

Meskipun demikian, studi ini memiliki kekuatan dan potensi yang signifikan. Pendekatan berbasis data menggunakan K-Means Clustering berhasil mengungkap pola-pola yang mungkin tidak terlihat melalui analisis statistik deskriptif biasa.1 Lebih penting lagi, ketelitian metodologis yang ditunjukkan melalui pengujian dan pemilihan metode inisialisasi centroid (ABE vs. SRS) memberikan keyakinan yang lebih tinggi terhadap keandalan dan stabilitas cluster yang diidentifikasi.1 Pola usia, penyebab, waktu, dan kendaraan yang ditemukan bukanlah sekadar artefak statistik acak.

Selain itu, salah satu output nyata dari penelitian ini adalah pengembangan purwarupa "Sistem Informasi Analisis Data Kecelakaan" berbasis web.1 Sistem ini tidak hanya berfungsi untuk melakukan perhitungan K-Means, tetapi juga dirancang untuk menampilkan hasil analisis, memvisualisasikan data, dan berpotensi diperbarui dengan data kecelakaan baru.1 Keberadaan sistem ini menunjukkan potensi keberlanjutan dari upaya analisis data kecelakaan, bergerak dari studi satu kali menjadi alat pemantauan dan pendukung keputusan yang dinamis bagi pihak terkait, terutama Polrestabes Semarang.

Memahami keterbatasan ini bukan untuk mengurangi nilai temuan, melainkan untuk mendorong interpretasi yang bijaksana dan mengarahkan langkah selanjutnya. Studi ini telah berhasil meletakkan dasar pemahaman yang kuat mengenai pola risiko kecelakaan di Semarang, sambil secara jujur menunjukkan area mana saja yang memerlukan pendalaman lebih lanjut.

 

Dari Temuan ke Tindakan: Implikasi Nyata untuk Keselamatan Jalan di Semarang

Analisis mendalam terhadap data kecelakaan lalu lintas di Semarang tahun 2014 ini bukan sekadar latihan akademis. Temuan-temuan kunci mengenai kelompok usia paling rentan (18-24 tahun), dominasi mutlak faktor pengemudi, puncak kejadian pada hari kerja, dan tingginya keterlibatan sepeda motor, memberikan peta jalan berbasis bukti yang dapat diterjemahkan menjadi tindakan nyata untuk meningkatkan keselamatan di jalan raya kota ini.

Implikasi paling jelas adalah penajaman fokus intervensi. Alih-alih menyebar sumber daya secara merata, temuan ini memungkinkan pihak berwenang, terutama Polrestabes Semarang, untuk mengalokasikan upaya pencegahan secara lebih efisien dan efektif. Identifikasi kelompok usia 18-24 tahun sebagai cluster 'Berbahaya' 1 berarti program edukasi, kampanye keselamatan, dan bahkan penegakan hukum dapat ditargetkan secara khusus pada demografi ini. Sumber daya patroli lalu lintas, misalnya, dapat lebih difokuskan pada waktu (hari kerja, jam sibuk) dan potensi lokasi (area sekitar kampus, sekolah SMA, pusat keramaian anak muda) yang relevan dengan kelompok ini. Ini jauh lebih efisien daripada kampanye 'keselamatan kaum muda' yang bersifat generik.

Dominasi faktor pengemudi (rata-rata 96,57%) 1 secara tegas mengarahkan prioritas intervensi pada perubahan perilaku. Program edukasi dan kampanye keselamatan harus dirancang secara kreatif dan relevan untuk menyentuh kelompok sasaran, terutama usia 18-24 tahun. Materi kampanye perlu secara eksplisit membahas bahaya perilaku berisiko yang diidentifikasi terkait kelompok ini, seperti mengebut, berkendara di bawah pengaruh emosi atau alkohol, serta pentingnya konsentrasi dan kehati-hatian.1 Platform media sosial, acara kampus, dan program di SMA bisa menjadi kanal efektif untuk menjangkau demografi ini.

Temuan mengenai puncak kecelakaan pada hari kerja 1 memiliki implikasi kebijakan lalu lintas dan penegakan hukum. Mungkin perlu ditinjau kembali pengaturan lalu lintas pada jam-jam sibuk, optimalisasi siklus lampu lalu lintas, atau peningkatan kehadiran petugas di titik-titik rawan kemacetan dan pelanggaran selama periode komuter. Penegakan hukum yang konsisten terhadap pelanggaran umum (seperti menerobos lampu merah, melawan arus, tidak menggunakan helm) yang termasuk dalam 'faktor pengemudi' menjadi sangat krusial, terutama pada hari kerja.

Tingginya keterlibatan sepeda motor, khususnya di kalangan usia 18-24 tahun (85%) 1, menuntut fokus khusus pada keselamatan pengendara roda dua. Ini bisa mencakup program pelatihan berkendara defensif (defensive riding) yang diwajibkan atau diinsentifkan bagi pengendara muda, pengetatan pengawasan terhadap penggunaan helm Standar Nasional Indonesia (SNI), kampanye mengenai pentingnya perawatan rutin sepeda motor (meskipun faktor kendaraan minor, tetap penting), serta mungkin kajian ulang desain infrastruktur jalan untuk lebih mengakomodasi atau melindungi pengendara sepeda motor di titik-titik rawan.

Lebih lanjut, penelitian ini mendorong kolaborasi antar pemangku kepentingan. Polrestabes Semarang, Dinas Perhubungan, institusi pendidikan (SMA dan universitas), sekolah mengemudi, komunitas pengendara motor, dan bahkan orang tua perlu bekerja sama. Data ini menyediakan landasan bersama untuk memahami masalah dan merancang solusi terintegrasi. Universitas dapat dilibatkan dalam penelitian lanjutan atau evaluasi program, sementara sekolah dapat mengintegrasikan materi keselamatan lalu lintas yang relevan dengan temuan ini ke dalam kurikulum atau kegiatan ekstrakurikuler.

Terakhir, pengembangan "Sistem Informasi Analisis Data Kecelakaan" berbasis web sebagai bagian dari penelitian ini 1 menawarkan potensi sebagai alat bantu yang berkelanjutan. Jika terus dikembangkan dan dipelihara dengan data terbaru, sistem ini dapat menjadi dasbor pemantauan tren kecelakaan secara real-time atau periodik bagi Polrestabes. Fitur visualisasi data dapat membantu mengkomunikasikan temuan kepada publik dan pembuat kebijakan secara lebih efektif.1 Kemampuannya untuk mengakomodasi data baru dan menghitung ulang pola 1 memungkinkan adaptasi strategi pencegahan seiring perubahan kondisi lalu lintas di Semarang.

Secara keseluruhan, penelitian ini memberikan kontribusi penting lebih dari sekadar data statistik. Ia menawarkan lensa analitis untuk memahami kompleksitas masalah kecelakaan lalu lintas di Semarang dan mengidentifikasi titik-titik intervensi paling strategis. Jika temuan ini diterapkan secara konsisten dalam kebijakan keselamatan jalan dan program edukasi yang terfokus, ada potensi signifikan untuk menekan angka kecelakaan, terutama di kalangan usia muda yang paling rentan di Semarang. Analisis data ini memberikan peta jalan berbasis bukti untuk menyelamatkan nyawa di jalan raya kota ini, berpotensi mengurangi insiden di kelompok usia 18-24 tahun secara bertahap dalam beberapa tahun ke depan jika diikuti dengan tindakan nyata dan berkelanjutan.

 

Sumber Artikel:

Fajar, M. S. (2015). Analisis kecelakaan lalu lintas jalan raya di Kota Semarang menggunakan metode K-Means Clustering. Institutional Repository of Universitas Negeri Semarang.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia Kelam di Balik Kecelakaan Lalu Lintas Semarang – Kelompok Usia Ini Ternyata Paling Rentan!

Transportasi Publik

Penelitian ITS Ungkap 'Kode Rahasia' Atasi Kemacetan Parah Surabaya – Ini Dua Skenario yang Harus Diketahui Pemkot!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 28 Oktober 2025


Setiap pagi antara pukul 06.00 hingga 09.00, dan setiap sore pukul 15.00 hingga 18.00, arteri utama Kota Surabaya berubah menjadi lautan logam yang nyaris tak bergerak. Ini bukan sekadar persepsi; ini adalah realitas terukur bagi kota dengan populasi yang pada tahun 2015 saja telah menembus 2,8 juta jiwa, angka yang bahkan belum menghitung puluhan ribu komuter harian dari kota-kota penyangga seperti Sidoarjo dan Gresik.1

Bagi jutaan warga kota, kemacetan adalah pajak harian yang dibayar dengan waktu, bahan bakar, dan kewarasan. Namun, sebuah penelitian mendalam dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya mengungkap sebuah kebenaran yang jauh lebih mengkhawatirkan: kemacetan ini bukanlah masalah musiman, melainkan sebuah "bom waktu" struktural yang didasari oleh krisis matematis.1

Penelitian yang dipublikasikan pada tahun 2018 ini membedah akar masalah yang sering diabaikan oleh pembuat kebijakan. Data menunjukkan adanya ketidakseimbangan yang fatal. Di satu sisi, pertumbuhan jumlah kendaraan—baik mobil pribadi maupun sepeda motor—tumbuh eksplosif di angka rata-rata di atas 3% per tahun.1 Di sisi lain, kemampuan kota untuk menampungnya nyaris stagnan. Pembangunan infrastruktur, baik dalam bentuk penambahan jalan baru maupun pelebaran jalan lama, tumbuh sangat kecil, kurang dari 1% per tahun.1

Kesenjangan 3 banding 1 antara pertumbuhan kendaraan dan jalan ini berarti kelumpuhan total hanyalah soal waktu. Setiap tahun, ribuan kendaraan baru tumpah ke jaringan jalan yang sama, bersaing untuk ruang yang tidak bertambah. Analisis ini menggeser narasi dari sekadar "menyalahkan pengendara yang tidak disiplin" menjadi urgensi untuk "memperbaiki sistem yang secara matematis sudah rusak".

 

Menggunakan 'Mesin Waktu' Digital untuk Membedah Kekacauan

Menghadapi masalah sekompleks ini, Dinas Perhubungan Kota Surabaya tidak bisa sekadar mengandalkan survei lalu lintas tradisional atau intuisi. Diperlukan alat yang lebih canggih untuk memprediksi masa depan. Inilah yang dilakukan oleh peneliti Pamudi (2018) dari ITS. Alih-alih melakukan uji coba mahal di dunia nyata, penelitian ini membangun sebuah "laboratorium digital".1

Metodologi yang digunakan adalah Sistem Dinamik (System Dynamics). Ini bukan sekadar spreadsheet atau kalkulator biasa. Sistem Dinamik adalah metodologi pemodelan canggih yang memetakan ratusan hubungan sebab-akibat dan feedback loop (umpan balik) yang rumit yang membentuk sistem transportasi kota.1

Bayangkan ini sebagai "mesin waktu" digital. Peneliti membangun sebuah model "Surabaya virtual" yang sangat detail, yang meniru perilaku lalu lintas, pertumbuhan penduduk, hingga tingkat polusi. Dengan model ini, mereka dapat mengajukan pertanyaan "bagaimana jika?". Apa yang terjadi jika kita menambah 50 bus baru di koridor utama? Apa yang terjadi jika durasi lampu merah di persimpangan X diubah? Model ini dapat memprediksi dampaknya selama bertahun-tahun ke depan tanpa harus mengeluarkan biaya miliaran rupiah atau menciptakan kekacauan baru di dunia nyata.1

Fokus penelitian ini tajam: menganalisis tiga dampak utama dari kekacauan transportasi, yaitu tingkat Kemacetan (diukur dengan rasio volume kendaraan terhadap kapasitas jalan), tingkat Polusi (emisi CO dan debu), serta tingkat Keselamatan (angka kecelakaan).1

 

Medan Perang Sebenarnya: Wonokromo di Ambang Kolaps, Kertajaya Menyusul

Sebelum menguji solusi apa pun, peneliti harus terlebih dahulu memotret kondisi "dasar" atau baseline dari kekacauan yang ada. Dua arteri vital kota dipilih sebagai medan perang utama untuk dianalisis: Jalan Kertajaya dan Jalan Wonokromo.1 Temuannya sangat mengejutkan dan menunjukkan perbedaan level krisis yang signifikan.

Data baseline menunjukkan Jalan Kertajaya berada dalam kondisi "sangat padat". Secara teknis, Rasio Volume terhadap Kapasitas (V/C Ratio) jalan ini mencapai 0.865.1 Ini adalah kondisi di mana jalan sudah terasa sesak, arus lalu lintas padat merayap, namun kendaraan masih bergerak.

Kondisi di Jalan Wonokromo jauh lebih parah. Penelitian ini menggambarkannya sebagai "ambang kolaps". V/C Ratio-nya tercatat di angka 0.999.1 Angka 0.999 secara teknis berarti kegagalan sistem total. Ini adalah kondisi di mana jalan sudah jenuh sempurna, antrean kendaraan nyaris tak terputus, dan arus lalu lintas berhenti total. Pada jam sibuk, Wonokromo secara efektif telah berubah menjadi parkiran raksasa.

Namun, wawasan tersembunyi ditemukan ketika membandingkan data kemacetan dengan data polusi. Secara matematis, Wonokromo (0.999 V/C) hanya sekitar 15% lebih padat daripada Kertajaya (0.865 V/C). Logika sederhana akan berasumsi tingkat polusinya juga akan 15% lebih tinggi.

Kenyataannya tidak demikian. Data baseline menunjukkan Jalan Wonokromo menghasilkan 1.969.645 ton polusi CO, sementara Kertajaya "hanya" 1.009.836 ton.1

Polusi di Wonokromo hampir dua kali lipat (100% lebih tinggi) dari Kertajaya. Ini adalah wawasan kunci bagi pembuat kebijakan: ketika kemacetan melewati ambang batas kritis (misalnya, di atas V/C ratio 0.9), polusi tidak lagi naik secara linear, tapi meledak secara eksponensial. Kendaraan yang terjebak dalam mode stop-and-go (berhenti-jalan) total menghasilkan emisi yang jauh lebih kotor dan beracun daripada kendaraan yang sekadar padat merayap. Ini menciptakan urgensi baru untuk menjaga V/C ratio agar tidak menyentuh titik jenuh, demi kesehatan publik.

 

Paradoks Keselamatan: Mengapa Jalan Lancar Justru Lebih Berbahaya?

Salah satu temuan paling mengejutkan dalam penelitian ini adalah sesuatu yang berlawanan dengan intuisi publik: jalan yang sangat lancar ternyata tidak selalu lebih aman. Penelitian ini mengungkap adanya kurva berbentuk 'U' (U-shaped curve) dalam hubungan antara tingkat kemacetan (Derajat Kejenuhan atau V/C Ratio) dengan angka kecelakaan.1

Temuan ini membagi kondisi lalu lintas menjadi tiga skenario keselamatan:

  1. Kondisi 1: Lancar (V/C Ratio di bawah 0.7)
    Saat jalanan lengang dan arus bebas, pengemudi cenderung melaju kencang. Justru di sinilah angka kecelakaan fatalitas meningkat akibat kecepatan tinggi.1
  2. Kondisi 2: Padat Terkendali (V/C Ratio 0.8 - 0.9)
    Ini adalah "sweet spot" transportasi. Jalanan padat, namun arus masih bergerak konstan. Kecepatan rata-rata sedang, dan pengemudi berada dalam tingkat kewaspadaan tertinggi. Dalam kondisi ini, tingkat kecelakaan justru berada di titik paling kecil.1
  3. Kondisi 3: Macet Parah (V/C Ratio di atas 0.9)
    Ketika arus lalu lintas terkunci dan jenuh total, angka kecelakaan meningkat lagi. Penyebabnya bukan tabrakan kecepatan tinggi, melainkan "kejenuhan" pengemudi. Frustrasi memicu perilaku agresif seperti menyerobot, mengganti lajur secara paksa, dan meningkatnya gesekan antar kendaraan di ruang sempit.1

Temuan ini membawa implikasi kebijakan yang radikal. Target Dinas Perhubungan seharusnya bukan menciptakan jalan yang "selancar mungkin" (V/C < 0.7), karena itu akan meningkatkan fatalitas. Target optimal untuk kota padat seperti Surabaya adalah kondisi "padat terkendali" (V/C 0.8-0.9).

Ini juga menjelaskan mengapa kondisi di Wonokromo (V/C 0.999) sangat berbahaya, dan mengapa skenario intervensi yang akan kita bahas—yang berhasil menurunkan V/C ratio kembali ke "sweet spot" 0.8-an—secara simultan sangat efektif menurunkan angka kecelakaan.

 

Skenario Pertama: Bisakah Lampu Cerdas (ITS) Mengurai Kemacetan

Setelah memetakan masalah, "Surabaya virtual" digunakan untuk menguji solusi. Skenario pertama adalah intervensi "lunak" berbasis teknologi: implementasi penuh Intelligent Transportation System (ITS), atau Sistem Transportasi Cerdas.1

Secara spesifik, model ini mensimulasikan penerapan Adaptive Traffic Control System (ATCS).1 Mekanismenya cerdas: sensor di persimpangan akan mendeteksi antrean kendaraan yang semakin panjang di traffic light. Alih-alih menggunakan durasi lampu hijau yang kaku, sistem secara otomatis dan adaptif memperpanjang durasi lampu hijau untuk jalur yang padat tersebut, hingga antrean terurai.1 Ini adalah upaya mengubah kemacetan stop-and-go yang kotor menjadi arus padat-merayap yang lebih efisien.

Hasilnya sangat signifikan. Simulasi model Sistem Dinamik ini memprediksi bahwa penerapan skenario ATCS secara optimal akan menghasilkan:

  • Kemacetan dan Kecelakaan: Terjadi penurunan signifikan pada tingkat kemacetan dan, yang terpenting, angka kecelakaan, sebesar 15%.1
  • Polusi: Emisi polusi udara juga menunjukkan penurunan drastis sebesar 15%.1

Untuk memberikan gambaran yang lebih hidup, penurunan polusi 15% ini tidak main-main. Dalam angka nyata, skenario ini mampu memangkas total emisi polusi dari 2.979.481 ton menjadi 2.533.403 ton.1 Ini setara dengan "menghilangkan" lebih dari 446.000 ton gas beracun dari udara yang dihirup warga Surabaya setiap tahunnya—sebuah pencapaian masif yang diraih hanya dengan mengatur ulang timing lampu lalu lintas.

 

Skenario Kedua: 'Memaksa' Warga Pindah ke Bus Rapid Transport (BRT)

Jika skenario pertama adalah intervensi teknologi, skenario kedua adalah intervensi "keras" berbasis kebijakan dan infrastruktur. Skenario ini menguji salah satu solusi paling populer di dunia untuk kota besar: pengalihan paksa pengguna kendaraan pribadi ke transportasi publik terintegrasi.1

Model ini mensimulasikan penambahan armada Bus Rapid Transport (BRT) baru secara masif di koridor-koridor utama yang paling padat. Data yang digunakan dalam simulasi ini sangat spesifik 1:

  • 15 unit BRT baru dikerahkan di koridor Jalan Kertajaya.
  • 20 unit BRT baru dikerahkan di koridor Jalan Wonokromo.
  • 25 unit BRT baru dikerahkan di koridor Jalan Urip Sumoharjo.

Secara total, 60 unit bus baru berkapasitas tinggi disimulasikan beroperasi. Setiap unit bus diasumsikan mampu mengangkut 650 penumpang per hari.1 Ini adalah upaya radikal untuk menghilangkan kendaraan dari jalan, bukan sekadar mengaturnya.

Hasilnya? Ketika diukur dari sisi kemacetan dan keselamatan, hasilnya secara mengejutkan identik dengan skenario pertama. Model memprediksi bahwa intervensi BRT ini akan menurunkan kemacetan dan kecelakaan sebesar 15%.1

 

Temuan Kunci yang Tersembunyi: Perang Melawan Polusi (15% vs 20%)

Di sinilah letak temuan paling brilian dan bernuansa dari seluruh penelitian ini, sebuah "kontradiksi" data yang justru memberikan pencerahan terbesar bagi pembuat kebijakan.

Sekilas, kedua skenario tampak setara. Skenario 1 (Lampu Cerdas ATCS) dan Skenario 2 (Bus BRT) sama-sama mengurangi kemacetan sebesar 15%. Jika hanya melihat data kemacetan, Pemkot bisa saja memilih opsi ATCS yang jelas lebih murah daripada membeli 60 bus baru dan membangun infrastruktur jalurnya.

Namun, ketika peneliti melihat data polusi, ceritanya berubah total.

  • Skenario 1 (Lampu Cerdas ATCS): Terbukti mengurangi polusi sebesar 15%.1
  • Skenario 2 (Pengalihan ke BRT): Terbukti mengurangi polusi sebesar 20%.1

Mengapa ada perbedaan 5% yang signifikan ini? Jawabannya terletak pada mekanisme fundamental kedua solusi.

Skenario ATCS (Lampu Cerdas) hanya mengatur ulang arus lalu lintas. Ia membuat kemacetan stop-and-go (yang polusinya meledak) menjadi padat-merayap (yang lebih efisien). Jumlah total mesin kendaraan yang menyala di jalan raya tetap sama, hanya perilakunya yang diubah menjadi lebih efisien.

Di sisi lain, skenario BRT secara fundamental menghilangkan ribuan mesin dari jalan. Dengan kapasitas 650 penumpang per bus, 60 unit BRT baru berpotensi menghilangkan puluhan ribu perjalanan mobil pribadi dan sepeda motor dari jalanan Surabaya setiap harinya. Lebih sedikit mesin berarti lebih sedikit emisi.

Ini adalah pilihan strategis yang harus diambil oleh Pemerintah Kota. Jika tujuannya hanya mengurangi waktu tempuh dan kemacetan, intervensi teknologi (ATCS) yang lebih murah sudah memberikan hasil 15%. TETAPI, jika tujuannya adalah memperbaiki kualitas udara dan kesehatan publik, intervensi kebijakan (BRT) yang lebih mahal adalah solusi yang secara terukur 5% lebih superior.

 

Kritik Realistis: Mengapa 15% (atau 20%) Belum Cukup?

Penurunan 15% hingga 20% adalah sebuah kemenangan besar. Namun, penelitian ini juga realistis. Ini bukanlah akhir dari perang melawan kemacetan, melainkan hanya memenangkan satu pertempuran vital.

Ingat "bom waktu" di awal analisis ini? Pertumbuhan kendaraan baru yang tak terkendali sebesar 3% per tahun itu masih terus terjadi.1 Solusi 15% yang brilian ini, jika tidak didukung langkah lanjutan, hanya akan "terkikis" habis dalam waktu sekitar lima tahun oleh gelombang kendaraan-kendaraan baru yang terus membanjiri jalan.

Peneliti (Pamudi, 2018) sendiri menyadari keterbatasan ini. Dalam Bab 5.2 (Saran), penelitian ini secara eksplisit merekomendasikan agenda riset berikutnya: "pengembangan skenario untuk memperkecil pengurangan alat transportasi yang mencapai 30%".1

Ini adalah pengakuan penting. Peneliti tahu bahwa target 15-20% ini belum cukup untuk menyelamatkan kota dalam jangka panjang. Target yang lebih agresif, yaitu 30%, harus menjadi tujuan berikutnya.

Selain itu, kritik realistis lainnya adalah perbedaan antara model dan realitas. Menambahkan 60 bus dalam simulasi komputer hanya membutuhkan beberapa ketukan keyboard. Menerapkannya di dunia nyata melibatkan perjuangan politik, pembebasan lahan untuk jalur khusus, biaya investasi triliunan rupiah, dan potensi penolakan sosial dari pengguna kendaraan pribadi.

 

Pilihan Kebijakan: Dampak Nyata Jika Skenario Ini Diterapkan Besok

Penelitian ITS ini telah menyediakan sebuah peta jalan yang jernih dan berbasis data bagi Dinas Perhubungan Kota Surabaya. Ia membuktikan bahwa solusi ada, dan dampaknya terukur. Pilihan kini ada di tangan para pembuat kebijakan.

Berdasarkan temuan ini, ada dua opsi jelas yang bisa diambil:

  1. Opsi 1: Solusi Cepat (Low-Hanging Fruit)
    Jika Pemkot hari ini memutuskan untuk menginvestasikan dana pada upgrade sistem Adaptive Traffic Control System (ATCS) di seluruh persimpangan kritis kota (Skenario 1), model ini memprediksi kita bisa segera mengurangi kemacetan dan kecelakaan sebesar 15%, sekaligus memangkas 446.000 ton polusi CO dari udara kota setiap tahunnya.1
  2. Opsi 2: Solusi Jangka Panjang (Solusi Superior)
    Jika Pemkot berani mengambil langkah yang lebih agresif dengan investasi besar-besaran pada 60+ unit BRT baru di koridor utama (Skenario 2), dampaknya pada kemacetan akan sama (15%). Namun, langkah ini memberikan bonus kualitas udara yang jauh lebih bersih bagi warga, dengan pemangkasan polusi yang lebih superior hingga 20%.1

Penelitian ini telah mengubah perdebatan dari "apa yang harus dilakukan?" menjadi "mana yang akan kita pilih?". Data telah tersedia; yang dibutuhkan sekarang adalah kemauan politik untuk mengeksekusinya.

 

Sumber Artikel:

https://repository.its.ac.id/id/eprint/52431

Selengkapnya
Penelitian ITS Ungkap 'Kode Rahasia' Atasi Kemacetan Parah Surabaya – Ini Dua Skenario yang Harus Diketahui Pemkot!

Sains & Teknologi

Penelitian MIT Ini Mengungkap Rahasia di Balik Penundaan Penerbangan Kronis – dan Cara Data Dapat Menghemat Jutaan Jam Waktu Tunggu Anda

Dipublikasikan oleh Hansel pada 28 Oktober 2025


Bagi siapa pun yang pernah merasakan frustrasi duduk di landasan pacu, menunggu di gerbang keberangkatan yang penuh sesak, atau berputar-putar di udara sebelum mendarat, ada satu pertanyaan yang selalu muncul: Mengapa penerbangan selalu tertunda?

Ini bukan sekadar keluhan. Ini adalah krisis sistemik. Industri penerbangan global, yang menopang $2.7 triliun aktivitas ekonomi dan mengangkut 4.1 miliar penumpang setiap tahunnya, beroperasi di bawah tekanan yang luar biasa.1 Sistem Manajemen Lalu Lintas Udara (ATM) yang menopangnya telah mencapai titik jenuh.

Di Amerika Serikat, 16.5% dari seluruh penerbangan domestik mengalami penundaan lebih dari 15 menit. Di Eropa, angkanya mencapai 18.2%.1 Penundaan ini lebih dari sekadar ketidaknyamanan; ini adalah kerugian ekonomi yang mengejutkan. Satu studi memperkirakan kerugian tahunan akibat penundaan penerbangan di AS saja mencapai $31.2 miliar.1

Selama ini, kita menerima kemacetan di langit sebagai harga yang harus dibayar untuk dunia yang terhubung. Namun, sebuah penelitian doktoral penting dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) berargumen sebaliknya. Penelitian oleh Dr. Mayara Condé Rocha Murça ini menunjukkan bahwa masalahnya bukanlah jumlah pesawat, melainkan cara kita mengelolanya. Dan jawabannya, menurut penelitian tersebut, tersembunyi dalam data pelacakan penerbangan yang selama ini kita abaikan.1

 

Langit yang Terjebak di Abad ke-20: Mengapa Sistem Saat Ini Gagal

Masalah inti dari sistem ATM saat ini adalah ia terjebak di masa lalu. Tesis ini dengan tajam mengidentifikasi bahwa kita masih mengandalkan "teknologi dan prosedur operasional dari abad yang lalu" untuk mengelola jaringan transportasi di abad ke-21.1

Selama beberapa dekade, manajemen lalu lintas udara lebih mirip seni daripada sains. Sistem ini sangat bergantung pada "pengalaman manusia," "intuisi," dan "model mental" yang dibentuk oleh para pengawas lalu lintas udara (ATC) dan manajer penerbangan selama bertahun-tahun.1 Mereka mengandalkan "aturan emas" dan pengalaman pribadi untuk memprediksi bagaimana lalu lintas akan mengalir dan di mana kemacetan akan terjadi.

Ketergantungan pada intuisi ini memiliki kelemahan fatal. Seperti yang ditunjukkan oleh penelitian ini, pendekatan ini cenderung reaktif, bukan proaktif. Keputusan seringkali diambil berdasarkan aspek lokal (apa yang terjadi di satu bandara) daripada perspektif sistem (bagaimana keputusan itu memengaruhi tiga bandara lain di kota yang sama).1

Peneliti membuktikan poin ini dengan visualisasi yang mencolok. Dengan memetakan lintasan penerbangan aktual ke Bandara John F. Kennedy (JFK) di New York, data menunjukkan bahwa pola lalu lintas pada jam 12 siang sangat berbeda dengan pola pada jam 8 malam. Yang lebih mengejutkan, rute-rute yang sebenarnya diterbangkan pesawat ini seringkali tidak sepenuhnya cocok dengan rute standar yang dipublikasikan (disebut STARs).1

Ini adalah sebuah wahyu. Pada dasarnya, para manajer lalu lintas udara telah mencoba mengelola kemacetan dengan peta yang sudah ketinggalan zaman. Mereka mengandalkan rute yang seharusnya, sementara pesawat—karena cuaca, lalu lintas lain, atau arahan taktis—terbang di rute yang sama sekali berbeda.

 

Membaca Pikiran Langit: Sebuah "Penerjemah" Data Penerbangan Baru

Untuk mengatasi kegagalan sistemik ini, penelitian MIT mengusulkan sebuah "kerangka kerja analitik data" yang revolusioner.1 Daripada mengandalkan peta yang kaku atau intuisi manusia, kerangka kerja ini dirancang untuk secara otomatis belajar dari data pelacakan penerbangan skala besar.1

Ini adalah alat untuk "membaca pikiran langit"—memahami bagaimana pesawat sebenarnya terbang dalam waktu nyata. Metodologi inti di baliknya adalah proses cerdas yang disebut multi-layer clustering (klastering berlapis).1

Bayangkan proses ini dalam dua langkah sederhana:

Lapisan 1: Menemukan "Jalan Setapak" di Langit

Pertama, sistem menyaring jutaan titik data pelacakan penerbangan (mirip dengan data GPS dari setiap pesawat) untuk menemukan kesamaan. Ini disebut Spatial Clustering (Klastering Spasial).1

Alih-alih hanya melihat jalan raya resmi yang dipublikasikan, model ini bekerja seperti seseorang yang mencari "jalan setapak" di padang rumput dengan melihat di mana rumput paling sering terinjak. Model ini (menggunakan algoritma yang disebut DBSCAN) secara otomatis mengelompokkan lintasan-lintasan yang mirip yang sering digunakan pesawat.1

Hasilnya adalah peta baru yang dinamis dari "jalan setapak" yang sebenarnya ada di langit. Ini disebut trajectory patterns (pola lintasan).

Lapisan 2: Mengidentifikasi "Mode Lalu Lintas"

Setelah mengetahui semua "jalan setapak" yang ada, langkah selanjutnya adalah memahami kapan jalan-jalan itu digunakan secara bersamaan. Ini adalah Temporal Clustering (Klastering Temporal).1

Misalnya, sistem mungkin menemukan bahwa pada pagi hari yang cerah, Bandara A, B, dan C selalu menggunakan kombinasi jalan setapak 1, 5, dan 9. Ini adalah satu "mode" operasi. Namun, saat badai mendekat, sistem beralih ke "mode" yang sama sekali berbeda, hanya menggunakan jalan setapak 2 dan 7.

Tesis ini memberi nama pada mode-mode ini: Metroplex Flow Patterns (MFPs).1 Ini adalah konfigurasi operasional kolektif dari seluruh sistem bandara.1

Implikasi dari temuan ini sangat besar. Dengan mendefinisikan MFPs, peneliti telah berhasil menciptakan bahasa baru yang terstandardisasi untuk menggambarkan keadaan lalu lintas udara yang sangat kompleks. Apa yang sebelumnya hanya ada dalam "intuisi" seorang pengawas ATC, kini telah menjadi titik data yang terdefinisi dan terukur (misalnya, "Sistem New York sekarang berada di MFP-4"). Ini membuat kekacauan di langit untuk pertama kalinya dapat diukur dan, yang terpenting, diprediksi.

 

Uji Coba Global: Membedah Tiga Kota Paling Rumit di Dunia

Untuk membuktikan nilai kerangka kerja baru ini, peneliti menerapkannya pada tiga "laboratorium" dunia nyata yang paling menantang: sistem multi-bandara (metroplex) di New York (JFK, Newark-EWR, LaGuardia-LGA), Hong Kong (HKG, Shenzhen-SZX, Macau-MFM), dan Sao Paulo (Guarulhos-GRU, Congonhas-CGH, Viracopos-VCP).1

Ketiga sistem ini sangat padat. Pada tahun 2016, metroplex New York melayani 128.9 juta penumpang, Hong Kong 118.9 juta, dan Sao Paulo 66.7 juta.1

Ketika kerangka kerja data ini diterapkan, ia mengungkap "kepribadian" operasional yang unik dan seringkali mengejutkan dari setiap kota, yang dijelaskan secara rinci dalam Bab 3 penelitian ini.

New York: Mangkuk Spageti yang Rapuh

Langit di atas New York adalah yang paling kompleks di dunia. Analisis data mengonfirmasi hal ini dalam angka yang gamblang: sistem ini memiliki 50 pola rute kedatangan dan 55 pola rute keberangkatan yang berbeda.1

Peneliti kemudian mengukur seberapa sering rute-rute ini saling bersinggungan. Hasilnya mengejutkan. Hanya antara dua bandara, JFK dan LGA, penelitian ini mengidentifikasi 130 titik persimpangan di mana rute-rute pesawat saling tumpang tindih baik secara lateral maupun vertikal. Ini menciptakan apa yang disebut penelitian sebagai "struktur wilayah udara paling berkonflik".1

Kompleksitas struktural ini mengarah pada ketidakstabilan operasional yang ekstrem. Analisis temporal menemukan bahwa New York secara konstan "berjuggling" di antara 12 mode operasi (MFP) yang berbeda, sementara Hong Kong dan Sao Paulo masing-masing hanya memiliki 4 mode utama.1

Betapa tidak stabilnya New York? Pola operasi yang paling umum (MFP-1) hanya terjadi 15.8% dari waktu. Bandingkan dengan Sao Paulo, di mana mode utamanya stabil dan digunakan 53.5% dari waktu. Rata-rata, sistem New York terpaksa mengubah konfigurasi operasinya 5 kali sehari, sementara Hong Kong hanya 2 kali.1

Meskipun kompleks, New York memiliki kapasitas sistem tertinggi, dengan median 118 kedatangan per jam.1 Namun, kinerjanya sangat rapuh. Penelitian ini menemukan bahwa perbedaan kapasitas antara mode operasi terbaik dan terburuk di New York bisa mencapai 44 pesawat per jam.1 Ini adalah variabilitas yang sangat besar, yang menjelaskan mengapa penundaan di New York bisa terjadi begitu cepat dan parah.

Kepribadian New York adalah kinerja tinggi namun sangat rapuh. Sistem ini terus-menerus menyesuaikan diri untuk mengatasi desainnya yang saling terkait, di mana satu perubahan kecil di JFK dapat langsung menimbulkan dampak berantai di LGA.

Hong Kong: Paradoks Efisiensi dan Keamanan

Metroplex Hong Kong, sebaliknya, memiliki desain yang jauh lebih "bersih" dan teratur. Analisis persimpangan rute hanya menemukan 12 interaksi antara rute bandara utamanya (HKG) dan bandara tetangganya (SZX), sangat jauh dari 130 di New York.1

Namun, di sinilah letak kejutannya. Meskipun desainnya bersih, analisis data mengungkap sebuah paradoks: Hong Kong memiliki efisiensi lateral terendah dari ketiga metroplex. Ini berarti pesawat yang terbang di wilayah udara Hong Kong menempuh rute yang paling panjang dan paling berbelit-belit untuk mencapai landasan pacu (dikenal sebagai structural path stretch tertinggi).1

Tesis ini menyiratkan bahwa ini mungkin sebuah pilihan desain yang disengaja. Hong Kong tampaknya secara sengaja mengorbankan efisiensi (membakar lebih banyak bahan bakar dan waktu tempuh) untuk mendapatkan keamanan dan pemisahan rute (de-confliction). Dengan membuat pesawat terbang lebih lama di rute yang terpisah jauh, mereka mengurangi kompleksitas bagi pengawas lalu lintas udara.1

Sao Paulo: Terbatas oleh Aspal

Sao Paulo menunjukkan gambaran yang berlawanan. Data menunjukkan bahwa sistem ini memiliki desain rute udara yang paling efisien. Pesawat terbang di rute yang lebih lurus dan lebih pendek dibandingkan New York atau Hong Kong (structural path stretch terendah).1

Namun, Sao Paulo memiliki kapasitas sistem terendah, dengan median hanya 48 kedatangan per jam (dibandingkan dengan 118 di New York).1

Wawasan dari data ini jelas: masalah Sao Paulo bukanlah di langit; masalahnya ada di aspal. Rute udaranya dirancang dengan baik, tetapi kapasitas landasan pacu fisiknya yang terbatas menjadi penghambat utama bagi seluruh sistem.1

 

Dari "Peramal Cuaca" Menjadi "Peramal Kapasitas Bandara"

Setelah berhasil memahami bagaimana sistem beroperasi (Bab 3), penelitian ini beralih ke tujuan yang lebih ambisius: memprediksi bagaimana sistem akan beroperasi di masa depan (Bab 4).

Para peneliti menggunakan teknik supervised learning (pembelajaran terawasi).1 Pada dasarnya, mereka "melatih" model komputer dengan data historis selama berbulan-bulan, memberinya ribuan contoh seperti:

  • [Prakiraan Cuaca X] + =.

Setelah "belajar" dari ribuan contoh ini, model tersebut dapat memprediksi secara akurat apa itu Z (Kapasitas Masa Depan) hanya dengan diberi X dan Y (Prakiraan Cuaca dan Permintaan).

Model yang paling akurat, yang disebut Gaussian Process (GP), terbukti sangat berhasil.1 Model ini secara konsisten mengalahkan baseline—perkiraan kapasitas yang digunakan oleh Federal Aviation Administration (FAA) saat ini. Di bandara JFK, model baru ini berhasil mengurangi error prediksi (MAPE) rata-rata sebesar 5.4% dibandingkan dengan baseline.1

Namun, temuan paling penting muncul ketika peneliti menganalisis faktor apa yang paling penting dalam membuat prediksi yang akurat. Seperti yang diharapkan, faktor terpenting adalah "tingkat kedatangan saat ini" (menunjukkan inersia sistem).

Tetapi, faktor terpenting kedua adalah "Metroplex Flow Pattern (MFP)".1

Ini adalah "momen aha" dari penelitian ini. Ini adalah bukti kuantitatif bahwa "bahasa baru" (MFP) yang ditemukan di Bab 3 adalah kunci untuk membuka prediksi yang akurat. Ini membuktikan bahwa Anda tidak dapat memprediksi kapasitas JFK secara akurat tanpa mengetahui konfigurasi sistem secara keseluruhan—yaitu, apa yang sedang dilakukan oleh LGA dan EWR pada saat yang bersamaan. Model ini adalah yang pertama berhasil mengkuantifikasi ketergantungan sistemik ini.

Tentu saja, model prediktif ini memiliki kelemahan. Model ini hanya secerdas data cuaca (TAF) yang menjadi masukannya.1 Seperti kata pepatah "sampah masuk, sampah keluar," prakiraan cuaca yang buruk atau tidak akurat akan tetap menghasilkan prediksi kapasitas yang buruk, secanggih apa pun modelnya.

Namun, keindahan dari model probabilistik (berbasis peluang) ini adalah ia tahu bahwa ia mungkin salah. Ia tidak hanya memberi satu angka ("kapasitas adalah 40 pesawat per jam"), tetapi sebuah rentang berbasis kepercayaan ("kemungkinan besar kapasitas akan berada di antara 35 dan 45 pesawat per jam"), yang jauh lebih realistis dan berguna bagi perencana manusia.

 

Pengurangan Penundaan 9,7%: Inilah Dampak Nyata Temuan Ini

Bagian terakhir dari penelitian ini adalah puncaknya—mengubah wawasan deskriptif dan prediktif menjadi solusi preskriptif (rekomendasi tindakan) yang nyata.1

Di sinilah kita kembali ke pengalaman frustrasi menunggu di gerbang. Seringkali, penundaan itu disengaja, bagian dari strategi yang disebut Ground Delay Programs (GDPs). GDP adalah saat otoritas penerbangan dengan sengaja menahan pesawat Anda di darat (di mana lebih aman dan murah) untuk mencegah kemacetan di bandara tujuan.1

Masalahnya, GDP bergantung sepenuhnya pada prediksi kapasitas (disebut Airport Acceptance Rates, atau AARs).

  • Jika prediksi kapasitas terlalu pesimis (meremehkan), ratusan pesawat ditahan di darat tanpa perlu, membuang-buang waktu penumpang.
  • Jika prediksi terlalu optimis (melebih-lebihkan), pesawat-pesawat itu tetap terbang dan berakhir dalam pola holding (berputar-putar) di udara dekat bandara tujuan—membakar bahan bakar yang mahal dan menciptakan situasi yang lebih rumit bagi ATC.1

Peneliti MIT menghubungkan model prediksi kapasitas super-akurat mereka (model GP) ke dalam model optimisasi baru untuk merencanakan AARs ini.1 Model ini dirancang untuk menemukan keseimbangan sempurna antara menahan pesawat di darat dan risiko menahannya di udara.

Hasilnya diuji pada lima peristiwa GDP historis yang benar-benar terjadi di JFK.1

Ketika dibandingkan, model optimisasi baru yang didukung oleh data-driven AARs ini berhasil mencapai pengurangan biaya penundaan keseluruhan hingga 9.7% dibandingkan dengan AARs baseline yang sebenarnya digunakan oleh FAA pada hari-hari tersebut.1

Angka 9.7% ini bukan sekadar perbaikan kecil. Ini adalah lompatan besar dalam efisiensi sistem. Jika biaya penundaan di AS saja mencapai $31.2 miliar per tahun 1, penghematan hampir 10% berarti potensi penghematan miliaran dolar bagi maskapai (dalam bahan bakar, biaya kru, dan penempatan ulang pesawat) dan penghematan jutaan jam waktu tunggu kolektif bagi penumpang.

Model ini bahkan menyertakan "tombol" yang oleh peneliti disebut parameter robustness (kekokohan).1 Ini memungkinkan manajer lalu lintas manusia untuk memilih: apakah mereka ingin efisiensi maksimum (yang mungkin datang dengan risiko lebih tinggi jika cuaca berubah) atau prediktabilitas maksimum (rencana yang lebih stabil dan "kokoh" dengan biaya efisiensi yang sedikit lebih tinggi). Ini adalah alat canggih yang dirancang untuk mendukung, bukan menggantikan, pengambil keputusan manusia.

 

Pernyataan Dampak: Masa Depan Tepat Waktu

Penelitian ini berhasil memecahkan kode DNA operasional dari sistem lalu lintas udara kita yang paling kompleks. Ia menyediakan seperangkat alat, bukan hanya untuk memahami keterlambatan, tetapi untuk memprediksinya dengan akurasi yang lebih tinggi dan, yang terpenting, untuk secara proaktif menguranginya.

Jika diterapkan secara luas, wawasan dan model yang dikembangkan dalam penelitian ini dapat menjadi tulang punggung sistem ATM generasi berikutnya (seperti NextGen di AS). Dalam lima tahun ke depan, pendekatan berbasis data ini dapat secara signifikan mengurangi biaya bahan bakar maskapai yang terbuang di udara, mengurangi dampak lingkungan penerbangan, dan—yang paling penting bagi kita semua—mengembalikan jutaan jam waktu berharga yang hilang di ruang tunggu bandara.

 

Sumber Artikel:

Murça, M. C. R. (2018). Data-Driven Modeling of Air Traffic Flows for Advanced Air Traffic Management.. MIT DSpace. http://hdl.handle.net/1721.1/118331

Selengkapnya
Penelitian MIT Ini Mengungkap Rahasia di Balik Penundaan Penerbangan Kronis – dan Cara Data Dapat Menghemat Jutaan Jam Waktu Tunggu Anda
« First Previous page 92 of 1.350 Next Last »