Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025
Ketika Perubahan Iklim Bertemu Kepentingan Elit Global
Krisis iklim saat ini bukan hanya soal emisi karbon dan target net-zero, tetapi juga soal siapa yang mengendalikan arah kebijakan, aliran dana, dan distribusi sumber daya. Laporan "Grand Corruption and Climate Change Policies" yang diterbitkan oleh U4 Anti-Corruption Helpdesk (2022) secara gamblang mengungkap sisi gelap dari upaya global menanggulangi perubahan iklim—yakni korupsi besar (grand corruption).
Berbeda dari korupsi kecil seperti suap harian atau pungli, grand corruption melibatkan aktor politik tingkat tinggi, pengusaha besar, dan institusi multinasional yang memanipulasi hukum, regulasi, dan alokasi anggaran untuk kepentingan sempit. Di tengah kebutuhan akan investasi triliunan dolar untuk transisi energi dan perlindungan keanekaragaman hayati, korupsi jenis ini berisiko menggagalkan seluruh agenda keberlanjutan global.
Apa Itu Grand Corruption?
Grand corruption didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan tingkat tinggi yang mendistorsi fungsi inti pemerintahan demi kepentingan pribadi. Ciri utamanya meliputi:
Tiga bentuk utama dari grand corruption adalah:
Grand Corruption dalam Transisi Energi: Di Balik Revolusi Hijau
1. Decarbonisation: Tarik Ulur Kepentingan dalam Pajak Karbon
Pajak karbon adalah instrumen penting untuk mengurangi emisi, namun penerapannya rawan manipulasi. Contohnya, di Indonesia, resistensi terhadap pajak karbon dipengaruhi oleh elite bisnis yang juga terlibat dalam politik. Studi menyebutkan bahwa keterlibatan pengusaha dalam partai politik menjadi alasan utama penundaan dan lemahnya desain kebijakan ini. Meski telah diumumkan, tarif pajak karbon di Indonesia sangat rendah dan penerapannya telah dua kali tertunda.
2. Revolving Door dan Regulatory Capture: Kasus Amerika Serikat
Di bawah pemerintahan Donald Trump, praktik "revolving door" tampak jelas ketika mantan pelobi batubara, Andrew Wheeler, diangkat menjadi pimpinan Badan Perlindungan Lingkungan (EPA). Kebijakan EPA bergeser tajam ke arah yang menguntungkan industri bahan bakar fosil. Fenomena ini menunjukkan bagaimana regulasi dapat dikendalikan oleh aktor industri yang sebelumnya berada di dalam atau dekat pusat kekuasaan.
3. Korupsi Institusional dalam Subsidi Energi Fosil
Fossil fuel subsidies—yang mencapai US$423 miliar per tahun—adalah salah satu bentuk alokasi anggaran yang rentan disalahgunakan. Di Nigeria, perusahaan minyak nasional NNPC terbukti tidak menyetor US$16 miliar ke pemerintah karena dikorupsi oleh elite politik. Indonesia pun tidak luput, di mana reformasi subsidi BBM kerap terhambat oleh tekanan dari pelaku industri dan politisi.
Studi Kasus: Kekuasaan, Korupsi, dan Energi Hijau di Balkan dan Afrika
Montenegro dan Makedonia Utara
Di Montenegro, sistem insentif energi terbarukan digunakan untuk menguntungkan lingkaran dekat Presiden Milo Đukanović. Proyek hydropower kecil yang seharusnya ramah lingkungan justru dikuasai oleh kroni politik. Dari 47 konsesi proyek, lebih dari separuh dikaitkan dengan partai penguasa saat itu.
Di Makedonia Utara, aturan energi terbarukan secara eksplisit menguntungkan perusahaan milik keluarga Wakil Perdana Menteri Ekonomi, Kočo Angjušev. Angjušev mengendalikan sepertiga proyek hydropower kecil di negara itu—praktik yang diduga sebagai bentuk state capture dan konflik kepentingan.
Uganda dan Malaysia
Di Uganda, dana dari skema GET FiT (feed-in-tariff energi hijau) justru digunakan untuk mendanai kampanye politik partai penguasa. Di Malaysia, proyek dam besar di Sarawak disalurkan ke perusahaan yang dikendalikan keluarga politikus Mahmud Taib—bukti bahwa proyek iklim besar pun bisa menjadi ladang korupsi.
Grand Corruption dalam Biodiversity Loss: Kerusakan yang Dilindungi Kekuasaan
Biodiversitas menjadi korban dari korupsi besar. Praktik suap, konversi lahan ilegal, dan pengabaian aturan konservasi terjadi atas restu aktor elite dan bisnis besar.
Contoh: Brasil dan Amazon
Eksploitasi hutan Amazon sering kali terjadi karena hubungan mesra antara politisi dan industri agribisnis atau pertambangan. Perizinan dikondisikan melalui donasi politik, dan pengawasan dilemahkan lewat penempatan loyalis industri dalam lembaga pengawasan lingkungan.
Mekanisme yang Sama, Dampak Lebih Luas
Grand Corruption dalam Climate Finance: Uang Hijau, Tujuan Kelabu
Dana iklim global bernilai miliaran dolar dari lembaga seperti Green Climate Fund, Bank Dunia, dan UNFCCC menjadi incaran jaringan korupsi.
Praktik yang Ditemukan:
Kasus: Kroasia
Tiga orang, termasuk wali kota Nova Gradiska, dihukum karena memanipulasi pengadaan untuk proyek pembangkit surya dan pengolahan air limbah yang didanai oleh Uni Eropa. Skema ini menunjukkan bahwa korupsi skala besar dapat berlangsung bahkan dalam konteks negara maju.
Komoditas Baru, Korupsi Lama: Critical Minerals untuk Energi Terbarukan
Mengapa Rentan?
Contoh:
Dampak Besar Grand Corruption terhadap Perubahan Iklim
Korupsi besar memperlambat, bahkan menggagalkan, agenda iklim global melalui berbagai cara:
1. Lingkungan
2. Ekonomi
3. Kesehatan & HAM
4. Kepercayaan Publik
Kritik dan Rekomendasi: Jalan Menuju Transisi yang Bersih dan Transparan
🔍 Kritik
✅ Rekomendasi Kunci
Mengapa Respon terhadap Perubahan Iklim Harus Antikorupsi
Laporan ini memperlihatkan bahwa tidak ada transisi energi, perlindungan biodiversitas, atau pendanaan iklim yang dapat berhasil tanpa membongkar dan menghentikan grand corruption. Keberhasilan kebijakan iklim bukan hanya soal teknologi dan dana, tetapi juga soal keadilan, tata kelola, dan integritas publik.
Indonesia, sebagai negara kaya sumber daya sekaligus rentan terhadap dampak iklim, harus belajar dari temuan ini. Kita perlu mendorong kebijakan iklim yang bukan hanya hijau di atas kertas, tetapi juga bersih dari pengaruh koruptif.
Sumber Artikel Asli:
Resimić, M. (2022). Grand Corruption and Climate Change Policies: Overview of Grand Corruption Evidence in Energy Transition, Biodiversity Loss and Climate Finance. U4 Anti-Corruption Helpdesk Answer, Transparency International.
Jika Anda ingin menyesuaikan artikel ini untuk publikasi web (dengan visual, infografik, atau internal linking tambahan), saya siap membantu menyempurnakannya.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025
Krisis Sanitasi di Tengah Perubahan Iklim Global
Sanitasi adalah salah satu pilar utama pembangunan berkelanjutan yang kerap terpinggirkan dalam diskursus kebijakan publik, terutama di negara berkembang dan kawasan rentan perubahan iklim seperti Wilayah Karibia (Wider Caribbean Region/WCR). Dengan hanya 0–30% wilayah terhubung ke sistem pengolahan air limbah terpusat, dan mayoritas masyarakat mengandalkan tangki septik serta solusi on-site lainnya, tantangan pengelolaan sanitasi di WCR tidak bisa dianggap sepele.
Dokumen Compendium of Sanitation Systems and Technologies for the Wider Caribbean Region yang disusun oleh GIZ (2022), berfungsi sebagai panduan teknis sekaligus strategis dalam merancang sistem sanitasi berkelanjutan, tangguh iklim, dan berbasis masyarakat. Compendium ini menjadi rujukan penting dalam menjawab tantangan multidimensi sanitasi dengan pendekatan terintegrasi dan berbasis sistem.
Apa yang Membuat Kompendium Ini Berbeda?
Dokumen ini merupakan adaptasi regional dari Eawag Compendium edisi 2008 dan 2014 yang telah menjadi acuan global dalam sektor sanitasi. Namun, versi Karibia ini menghadirkan sejumlah inovasi penting:
Pendekatan baru ini bertujuan menjawab krisis yang semakin kompleks, terutama di tengah keterbatasan infrastruktur, kapasitas lembaga, dan dampak iklim seperti badai tropis, intrusi air laut, dan kekeringan ekstrem.
Konteks Sanitasi di Kawasan Karibia: Lima Temuan Kunci
Struktur Kompendium: Kerangka Sistemik dan Teknologis
Kompendium dibagi ke dalam 4 bagian utama:
1. Template Sistem Sanitasi
Menawarkan enam konfigurasi sistem sanitasi terintegrasi, mulai dari sistem blackwater on-site hingga sistem berbasis kontainer (Container-Based Sanitation). Setiap template disesuaikan dengan kondisi geografis, sosial, dan teknis kawasan WCR.
2. Lembar Informasi Teknologi (Technology Sheets)
Terdiri atas 48 teknologi dari 5 kelompok fungsional:
Setiap teknologi dilengkapi informasi tentang keunggulan, keterbatasan, biaya, dan konteks penerapan.
3. Isu Lintas Sektor untuk Perencanaan
Membahas pentingnya:
4. Studi Kasus Lapangan
Bagian ini menjadi nilai tambah penting, menghadirkan implementasi nyata, pelajaran dari kegagalan, serta inovasi berbasis komunitas.
Studi Kasus Menonjol: Solusi Nyata di Tengah Keterbatasan
🔍 Case 5: Container-Based Sanitation (CBS) di Danau Atitlán, Guatemala
Tantangan:
Solusi:
Dampak:
CBS terbukti menjadi solusi ekonomis dan cepat diimplementasikan untuk wilayah padat dan sulit dijangkau jaringan konvensional.
Teknologi Unggulan: Inovasi Menuju Sanitasi Masa Depan
💡 Biochar: Teknologi Karbon Negatif
Salah satu pembaruan dalam dokumen ini adalah pengakuan terhadap biochar—produk karbonisasi dari lumpur tinja atau limbah organik—sebagai solusi multi-manfaat:
💧 Wetland Treatment Systems
Sistem seperti Floating Treatment Wetlands dan Free-Water Surface Wetlands memberikan solusi alami untuk pengolahan air limbah:
Kekuatan dan Kelemahan Pendekatan Kompendium
Kekuatan:
Kelemahan:
Relevansi Global: Pelajaran bagi Indonesia dan Dunia
Meskipun ditujukan untuk Karibia, pelajaran dari kompendium ini sangat relevan bagi Indonesia yang juga:
Contohnya, pendekatan CBS atau wetland treatment bisa diterapkan di wilayah seperti pesisir Papua, Kepulauan Riau, atau daerah banjir di Jakarta Utara. Pendekatan desentralisasi juga cocok untuk mengatasi tantangan geografis Indonesia yang tersebar di ribuan pulau.
Menuju Sanitasi Inklusif, Tangguh, dan Berkelanjutan
Dokumen Compendium of Sanitation Systems and Technologies for the Wider Caribbean Region bukan sekadar panduan teknis, tetapi juga manifesto untuk perubahan paradigma dari sanitasi sebagai urusan teknis menjadi sanitasi sebagai hak dasar dan komponen utama pembangunan berkelanjutan.
Dengan struktur yang sistematis, pendekatan lintas sektor, dan keberanian mengusung teknologi inovatif seperti biochar dan CBS, kompendium ini patut menjadi acuan internasional, termasuk di Indonesia. Tantangannya kini bukan pada ketersediaan teknologi, tapi pada komitmen untuk menerapkannya secara partisipatif, kontekstual, dan berkelanjutan.
Referensi
GIZ. (2022). Compendium of Sanitation Systems and Technologies for the Wider Caribbean Region. Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH, Inter-American Development Bank, United Nations Environment Programme, Caribbean Water and Wastewater Association (CWWA), CAWASA, BORDA, and EAWAG.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025
Konteks dan Signifikansi
Paper ini mengkaji evolusi tata kelola air adaptif (Adaptive Water Governance, AWG) di Afrika Selatan, khususnya di dua daerah aliran sungai transboundary di bagian timur negara tersebut, yakni Cekungan Sungai Crocodile dan Olifants. AWG dipandang sebagai pendekatan tata kelola sumber daya air yang fleksibel, berbasis pembelajaran, dan kolaboratif antara aktor negara dan non-negara, dengan tujuan mengelola sistem sosial-ekologis secara adaptif di tengah ketidakpastian, seperti perubahan iklim. Studi ini menyoroti bagaimana reformasi kebijakan nasional sejak 1998—terutama melalui National Water Act—mendorong implementasi Integrated Water Resources Management (IWRM) yang berorientasi pada keberlanjutan, keadilan, dan desentralisasi pengelolaan air, yang kemudian menjadi landasan bagi praktek AWG di Afrika Selatan1.
Kerangka Teoretis: Dari IWRM ke AWG
IWRM di Afrika Selatan didefinisikan sebagai proses manajemen terkoordinasi sumber daya air, tanah, dan sumber daya terkait untuk memaksimalkan manfaat sosial dan ekonomi secara adil tanpa mengorbankan ekosistem. AWG, yang tidak secara eksplisit disebutkan pada awal reformasi, merupakan evolusi dari IWRM dengan fokus pada tata kelola yang adaptif dan pembelajaran sosial. Konsep kunci dalam AWG adalah pengelolaan hubungan sosial dan aturan yang bersifat dinamis dan responsif terhadap umpan balik sosial-ekologis. Paper ini menegaskan bahwa AWG dan IWRM saling terkait erat di Afrika Selatan, dengan AWG sebagai kerangka yang lebih luas yang menekankan pembelajaran, fleksibilitas, dan kolaborasi multi-skala1.
Metodologi: Studi Kasus Longitudinal dan Pendekatan Sistemik
Penelitian ini menggunakan pendekatan meta-inquiry selama enam tahun (2013–2019) yang menggabungkan Soft Systems Methodology (SSM) dan grounded theory, untuk mengevaluasi evolusi tata kelola air adaptif di tiga kasus dalam dua cekungan sungai tersebut. Data dikumpulkan melalui action-research dan monitoring, evaluation, reporting, and learning (MERL) yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan lokal dan nasional. Fokus utama adalah pada penguatan umpan balik sistemik yang mendukung pembelajaran dan adaptasi dalam pengelolaan air, serta bagaimana institusi dan jaringan tata kelola berkembang untuk mengakomodasi hal ini1.
Hasil Studi Kasus
1. Pengelolaan Dinamika Aliran di Sungai Crocodile
Cekungan Sungai Crocodile menghadapi defisit air dan tantangan kualitas air, dengan pengaturan aliran yang melibatkan negara tetangga Eswatini dan Mozambik melalui perjanjian aliran bersama (IIMA 2002). Pembentukan Inkomati-Usuthu Catchment Management Agency (IUCMA) pada 2004 menjadi titik penting dalam penerapan IWRM dan AWG. Melalui pembentukan komite operasi sungai (CROCOC) dan pengembangan sistem respons cepat, terjadi peningkatan kepatuhan terhadap standar aliran minimum (reserve) dan kualitas air. Kolaborasi antara IUCMA, dewan irigasi, dan Taman Nasional Kruger selama kekeringan 2015 menunjukkan keberhasilan pengelolaan aliran secara adaptif dengan mempertimbangkan kepentingan ekonomi dan ekologi lintas batas. Meskipun otoritas IUCMA sempat dicabut pada 2016, jaringan kolaboratif tetap beroperasi dan mempertahankan kondisi ekologis sungai1.
2. Menjamin Aliran di Sungai Olifants Selama Kekeringan Terparah
Cekungan Sungai Olifants merupakan wilayah yang paling tertekan di antara cekungan transboundary di Afrika Selatan bagian timur, dengan penurunan kualitas dan kuantitas air yang signifikan. Program RESILIM-Olifants yang dipimpin oleh AWARD berupaya mendukung manajemen adaptif strategis melalui pembelajaran sosial sistemik dan pengembangan alat monitoring real-time seperti FlowTracker dan INWARDS DSS. Selama kekeringan 2015–2020, jaringan tata kelola yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan berhasil mempertahankan aliran air dengan mengatur pelepasan air dari bendungan yang lebih besar, meskipun kapasitas kelembagaan seperti proto-CMA sempat dibekukan oleh pemerintah pusat. Keberhasilan ini menunjukkan pentingnya jaringan tata kelola yang responsif dan transparan, meskipun keberlanjutan jangka panjang masih diragukan tanpa institusi yang kuat1.
3. Pengelolaan Limbah Cair di Sungai Selati (Anak Sungai Olifants)
Masalah pencemaran dari limbah tambang dan pengolahan air limbah di Sungai Selati mengancam pasokan air untuk kota Phalaborwa, Taman Nasional Kruger, dan Mozambik. Kolaborasi antara AWARD, taman nasional, dan otoritas pengelolaan air berfokus pada pengembangan strategi adaptif jangka panjang dan praktik transformasional dalam pengelolaan limbah cair. Model "wagon wheel" dikembangkan untuk memperbaiki komunikasi dan umpan balik antara staf teknis dan pimpinan politik di tingkat pemerintahan lokal, sehingga meningkatkan alokasi sumber daya dan kesadaran akan konsekuensi ketidakpatuhan. Meski ada kemajuan, keterbatasan sumber daya, kapasitas, serta intervensi politik dan korupsi menjadi kendala utama1.
Diskusi: Faktor Pendukung dan Penghambat AWG
Penelitian mengidentifikasi sejumlah faktor kunci yang mendukung keberhasilan AWG, antara lain:
Namun, paper juga menyoroti kerentanan tata kelola tanpa institusi meta-governor yang kuat seperti CMA, yang berfungsi sebagai rumah institusional untuk pembelajaran dan adaptasi. Kasus Olifants menunjukkan bahwa tanpa kepemimpinan dan dukungan kelembagaan yang memadai, jaringan tata kelola sulit bertahan dalam jangka panjang, apalagi di tengah tekanan politik dan korupsi. Hal ini menegaskan perlunya meta-governance yang bersifat fasilitatif, bukan otoriter, untuk mendukung inovasi lokal dan adaptasi berkelanjutan1.
Implikasi dan Rekomendasi
Paper ini memberikan beberapa rekomendasi penting untuk pengembangan AWG di Afrika Selatan dan konteks global:
Dengan mempertimbangkan tantangan perubahan iklim dan kompleksitas sosial-ekologis, paper ini menegaskan bahwa tata kelola air adaptif yang berbasis pembelajaran sistemik dan kolaborasi multi-aktor adalah kunci untuk mencapai keberlanjutan dan keadilan dalam pengelolaan sumber daya air1.
Kesimpulan
Penelitian ini secara komprehensif menggambarkan perjalanan dan tantangan penerapan adaptive water governance di Afrika Selatan, khususnya di dua cekungan sungai transboundary yang kritis. Melalui tiga studi kasus, ditemukan bahwa keberhasilan AWG sangat bergantung pada penguatan umpan balik sistemik yang mendukung pembelajaran dan adaptasi, serta adanya institusi meta-governor yang memfasilitasi kolaborasi multi-skala. Paper ini tidak hanya memberikan wawasan akademis, tetapi juga contoh nyata dan angka-angka penting yang menunjukkan dinamika pengelolaan air di lapangan, seperti pengelolaan aliran selama kekeringan ekstrem dan pengelolaan limbah cair yang kompleks. Temuan ini relevan untuk negara-negara lain yang menghadapi tantangan serupa dalam tata kelola sumber daya air di era perubahan iklim dan ketidakpastian sosial-politik.
Sumber Artikel Asli:
Pollard, S. R., E. Riddell, D. R. du Toit, D. C. Retief, and R. L. Ison. 2023. Toward adaptive water governance: the role of systemic feedbacks for learning and adaptation in the eastern transboundary rivers of South Africa. Ecology and Society 28(1):47. Copyright © 2023 by the author(s). Published under license by the Resilience Alliance.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025
Tantangan Pengelolaan Kualitas Air di DAS Brantas
Sungai Brantas di Jawa Timur, Indonesia, adalah salah satu sungai terpenting dengan panjang 320 km dan wilayah aliran sungai (DAS) seluas sekitar 14.000 km². DAS ini menjadi sumber utama air bersih bagi sekitar 18-25 juta penduduk, serta menopang sektor pertanian, industri, dan perikanan yang menyumbang 59% Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur. Namun, kualitas air di Brantas mengalami tekanan berat akibat limbah domestik, limbah industri, limbah pertanian, serta masalah pengelolaan sampah yang belum memadai. Paper "Structuring the water quality policy problem: Using Q methodology to explore discourses in the Brantas River basin" oleh Houser, Pramana, dan Ertsen (2022) mengkaji bagaimana beragam pemangku kepentingan memahami dan memandang masalah kualitas air di Brantas, menggunakan pendekatan Q methodology sebagai alat untuk mengurai kompleksitas perspektif dan problem framing dalam pengelolaan air1.
Kerangka Teoretis: Kompleksitas dan Politik dalam Pengelolaan Kualitas Air
Masalah kualitas air merupakan contoh "wicked problem"—isu kompleks, multidimensional, dan penuh ketidakpastian yang melibatkan banyak aktor dengan kepentingan, nilai, dan pengetahuan berbeda. Pendekatan Integrated Water Resources Management (IWRM) mendorong keterlibatan multi-aktor dan pengelolaan terintegrasi, namun tantangan utama adalah bagaimana menyatukan berbagai perspektif yang beragam dan kadang kontradiktif dalam memahami dan menangani masalah kualitas air.
Q methodology dipilih sebagai metode yang mampu mengungkapkan subjektivitas dan pola pikir beragam aktor melalui pengelompokan perspektif berdasarkan cara mereka mengurutkan pernyataan terkait kualitas air. Metode ini tidak berusaha mewakili mayoritas, tetapi menampilkan keragaman dan area konsensus serta perbedaan yang penting untuk membangun dialog dan kolaborasi1.
Studi Kasus: Sungai Brantas dan Dinamika Kualitas Airnya
Kondisi Geografis dan Sosial Ekonomi
Sumber Polusi Utama
Tantangan Pengelolaan
Metode Penelitian: Q Methodology untuk Mengurai Perspektif
Penelitian melibatkan 32 responden dari berbagai latar belakang: pemerintah (17), organisasi masyarakat sipil (6), perusahaan milik negara/pengguna air (6), dan akademisi (2). Dua sesi Q-sort dilakukan:
Responden diminta mengurutkan pernyataan dari "paling setuju" hingga "paling tidak setuju" dalam distribusi normal terpaksa. Analisis faktor dengan varimax rotation mengidentifikasi kelompok perspektif yang berbeda1.
Hasil: Tiga Perspektif Konseptual dan Empat Perspektif Kondisi Kualitas Air
Perspektif Konseptual Kualitas Air
Perspektif Kondisi Kualitas Air Saat Ini
Diskusi: Implikasi untuk Pengelolaan dan Kebijakan
Keragaman Perspektif sebagai Tantangan dan Peluang
Kebutuhan untuk Pendekatan Kolaboratif dan Adaptif
Nilai Tambah dan Perbandingan dengan Studi Lain
Penelitian ini menonjolkan penggunaan Q methodology sebagai alat inovatif untuk memahami subjektivitas dan keragaman pandangan dalam isu lingkungan yang kompleks, berbeda dengan survei kuantitatif konvensional yang cenderung menggeneralisasi. Pendekatan ini memungkinkan pengambil kebijakan untuk melihat tidak hanya apa masalahnya, tetapi juga bagaimana masalah itu dipahami secara berbeda oleh berbagai pemangku kepentingan, yang sangat penting dalam konteks tata kelola sumber daya air yang multi-aktor dan multi-skala.
Kesimpulan
Paper ini berhasil mengungkap bahwa pengelolaan kualitas air di DAS Brantas tidak hanya soal data dan teknologi, tetapi juga soal pemahaman bersama dan framing masalah yang beragam. Dengan tiga perspektif konsep kualitas air dan empat perspektif kondisi yang berbeda, penelitian ini menegaskan pentingnya problem structuring yang partisipatif dan reflektif dalam tata kelola air. Hasil ini membuka peluang untuk membangun jaringan kolaboratif yang lebih efektif dan inklusif, sekaligus menyoroti kebutuhan perbaikan kelembagaan dan edukasi masyarakat. Pendekatan Q methodology terbukti efektif sebagai alat untuk memfasilitasi dialog dan membangun kesepahaman dalam konteks pengelolaan sumber daya air yang kompleks dan dinamis.
Sumber Artikel Asli:
Houser RS, Pramana KER, Ertsen MW (2022). Structuring the water quality policy problem: Using Q methodology to explore discourses in the Brantas River basin. Frontiers in Water 4:1007638. doi: 10.3389/frwa.2022.1007638
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025
Kompleksitas Interaksi Kebijakan Global dan Dampaknya pada Negara Berkembang
Paper ini mengkaji bagaimana kebijakan negara maju dan ekonomi besar dunia, termasuk negara-negara BRICS, memengaruhi pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) terkait perubahan iklim, ketahanan pangan, dan pengelolaan air di negara berkembang. Dengan fokus pada kebijakan non-kerjasama pembangunan, paper ini mengidentifikasi hotspot ketidaksesuaian kebijakan (policy coherence hotspots) yang berpotensi menghambat atau mendukung tujuan tersebut.
Kerangka Analisis dan Metodologi
Temuan Utama dan Studi Kasus
1. Kebijakan Energi dan Dampaknya pada Iklim dan Sumber Daya
2. Kebijakan Perdagangan dan Investasi yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan dan Lingkungan
3. Infrastruktur dan Dampaknya pada Emisi dan Ketahanan Sosial
4. Kebijakan Keuangan dan Dampaknya pada Adaptasi Iklim
Analisis dan Opini
Rekomendasi Kebijakan
Kesimpulan: Menavigasi Kompleksitas Kebijakan Global untuk Masa Depan Berkelanjutan
Paper ini memberikan wawasan kritis tentang bagaimana kebijakan negara maju dan emerging economies mempengaruhi pencapaian tujuan iklim, pangan, dan air di negara berkembang. Dengan mengidentifikasi hotspot ketidaksesuaian kebijakan, studi ini membuka jalan bagi reformasi kebijakan yang lebih koheren dan berkeadilan. Integrasi lintas sektor dan kolaborasi global menjadi kunci untuk mengatasi tantangan pembangunan berkelanjutan di era perubahan iklim.
Sumber Artikel (Bahasa Asli)
Tondel, F., D’Alessandro, C., Dekeyser, K. (2022). The effects of major economies’ policies on climate action, food security and water in developing countries. Discussion Paper No. 327, ECDPM.
Perubahan Iklim
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025
Kompleksitas dan Kebutuhan Perencanaan Sistem Air Terpadu
Dokumen ini menyajikan kerangka kerja (framework) perencanaan strategis yang digunakan oleh Deltares dalam mengelola berbagai jenis sistem air, mulai dari DAS, zona pesisir, sistem air perkotaan, hingga akuifer dan laut. Kerangka ini dirancang untuk menghadapi tantangan kompleks pengelolaan air yang melibatkan aspek fisik, sosial-ekonomi, dan kelembagaan, serta ketidakpastian masa depan akibat perubahan iklim dan dinamika sosial ekonomi.
Fungsi dan Karakteristik Sistem Air
Prinsip Perencanaan Strategis Sistem Air
Lima Fase Perencanaan Strategis
Pendekatan Sistem dan Model Komputasi
Penerapan pada Berbagai Sistem Air
Studi Kasus dan Contoh Angka
Keterlibatan Pemangku Kepentingan dan Inklusivitas
Pendanaan dan Kerangka Keuangan
Kesimpulan dan Opini
Dokumen “Strategic Water Systems Planning” dari Deltares ini merupakan panduan komprehensif dan sistematis yang sangat relevan untuk para perencana, pembuat kebijakan, dan praktisi pengelolaan sumber daya air. Dengan menggabungkan pendekatan sistematis, partisipatif, dan adaptif, kerangka ini mampu menghadapi tantangan kompleks pengelolaan air di era perubahan iklim dan tekanan sosial ekonomi.
Kelebihan dokumen ini terletak pada integrasi aspek teknis, sosial, dan kelembagaan, serta penekanan pada inklusivitas dan pengelolaan risiko. Namun, implementasi kerangka ini memerlukan komitmen politik, kapasitas teknis, dan pendanaan yang memadai.
Dokumen ini juga relevan dengan tren global seperti SDG 6, adaptasi iklim, dan pengelolaan berbasis ekosistem, serta menawarkan contoh aplikasi nyata di berbagai sistem air yang beragam.
Sumber Artikel
Beek, E. van, Nolte, A.J., Maat, J. ter, Fanesca-Sanchez, M., Asselman, N., Gehrels, H. (2022). Strategic Water Systems Planning: A Framework for Achieving Sustainable, Resilient and Adaptive Management. Deltares, December 2022.