Perubahan Iklim

Mengungkap Korupsi Besar dalam Kebijakan Iklim: Ancaman Nyata bagi Transisi Energi dan Keuangan Hijau

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Ketika Perubahan Iklim Bertemu Kepentingan Elit Global

Krisis iklim saat ini bukan hanya soal emisi karbon dan target net-zero, tetapi juga soal siapa yang mengendalikan arah kebijakan, aliran dana, dan distribusi sumber daya. Laporan "Grand Corruption and Climate Change Policies" yang diterbitkan oleh U4 Anti-Corruption Helpdesk (2022) secara gamblang mengungkap sisi gelap dari upaya global menanggulangi perubahan iklim—yakni korupsi besar (grand corruption).

Berbeda dari korupsi kecil seperti suap harian atau pungli, grand corruption melibatkan aktor politik tingkat tinggi, pengusaha besar, dan institusi multinasional yang memanipulasi hukum, regulasi, dan alokasi anggaran untuk kepentingan sempit. Di tengah kebutuhan akan investasi triliunan dolar untuk transisi energi dan perlindungan keanekaragaman hayati, korupsi jenis ini berisiko menggagalkan seluruh agenda keberlanjutan global.

Apa Itu Grand Corruption?

Grand corruption didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan tingkat tinggi yang mendistorsi fungsi inti pemerintahan demi kepentingan pribadi. Ciri utamanya meliputi:

  • Skala besar dan lintas batas negara,
  • Adanya keterlibatan pejabat tinggi dan aktor transnasional,
  • Perampasan sumber daya publik yang seharusnya dialokasikan untuk kepentingan umum.

Tiga bentuk utama dari grand corruption adalah:

  1. State capture – ketika kebijakan dirancang sesuai kepentingan elite.
  2. Regulatory capture – ketika badan pengawas dikendalikan oleh industri.
  3. Institutionalised grand corruption – ketika pelaksanaan kebijakan rutin dimanipulasi untuk kepentingan jaringan tertentu.

Grand Corruption dalam Transisi Energi: Di Balik Revolusi Hijau

1. Decarbonisation: Tarik Ulur Kepentingan dalam Pajak Karbon

Pajak karbon adalah instrumen penting untuk mengurangi emisi, namun penerapannya rawan manipulasi. Contohnya, di Indonesia, resistensi terhadap pajak karbon dipengaruhi oleh elite bisnis yang juga terlibat dalam politik. Studi menyebutkan bahwa keterlibatan pengusaha dalam partai politik menjadi alasan utama penundaan dan lemahnya desain kebijakan ini. Meski telah diumumkan, tarif pajak karbon di Indonesia sangat rendah dan penerapannya telah dua kali tertunda.

2. Revolving Door dan Regulatory Capture: Kasus Amerika Serikat

Di bawah pemerintahan Donald Trump, praktik "revolving door" tampak jelas ketika mantan pelobi batubara, Andrew Wheeler, diangkat menjadi pimpinan Badan Perlindungan Lingkungan (EPA). Kebijakan EPA bergeser tajam ke arah yang menguntungkan industri bahan bakar fosil. Fenomena ini menunjukkan bagaimana regulasi dapat dikendalikan oleh aktor industri yang sebelumnya berada di dalam atau dekat pusat kekuasaan.

3. Korupsi Institusional dalam Subsidi Energi Fosil

Fossil fuel subsidies—yang mencapai US$423 miliar per tahun—adalah salah satu bentuk alokasi anggaran yang rentan disalahgunakan. Di Nigeria, perusahaan minyak nasional NNPC terbukti tidak menyetor US$16 miliar ke pemerintah karena dikorupsi oleh elite politik. Indonesia pun tidak luput, di mana reformasi subsidi BBM kerap terhambat oleh tekanan dari pelaku industri dan politisi.

Studi Kasus: Kekuasaan, Korupsi, dan Energi Hijau di Balkan dan Afrika

Montenegro dan Makedonia Utara

Di Montenegro, sistem insentif energi terbarukan digunakan untuk menguntungkan lingkaran dekat Presiden Milo Đukanović. Proyek hydropower kecil yang seharusnya ramah lingkungan justru dikuasai oleh kroni politik. Dari 47 konsesi proyek, lebih dari separuh dikaitkan dengan partai penguasa saat itu.

Di Makedonia Utara, aturan energi terbarukan secara eksplisit menguntungkan perusahaan milik keluarga Wakil Perdana Menteri Ekonomi, Kočo Angjušev. Angjušev mengendalikan sepertiga proyek hydropower kecil di negara itu—praktik yang diduga sebagai bentuk state capture dan konflik kepentingan.

Uganda dan Malaysia

Di Uganda, dana dari skema GET FiT (feed-in-tariff energi hijau) justru digunakan untuk mendanai kampanye politik partai penguasa. Di Malaysia, proyek dam besar di Sarawak disalurkan ke perusahaan yang dikendalikan keluarga politikus Mahmud Taib—bukti bahwa proyek iklim besar pun bisa menjadi ladang korupsi.

Grand Corruption dalam Biodiversity Loss: Kerusakan yang Dilindungi Kekuasaan

Biodiversitas menjadi korban dari korupsi besar. Praktik suap, konversi lahan ilegal, dan pengabaian aturan konservasi terjadi atas restu aktor elite dan bisnis besar.

Contoh: Brasil dan Amazon

Eksploitasi hutan Amazon sering kali terjadi karena hubungan mesra antara politisi dan industri agribisnis atau pertambangan. Perizinan dikondisikan melalui donasi politik, dan pengawasan dilemahkan lewat penempatan loyalis industri dalam lembaga pengawasan lingkungan.

Mekanisme yang Sama, Dampak Lebih Luas

  • Lembaga konservasi dipolitisasi
  • Tindak tegas pelanggaran dilemahkan
  • Komunitas lokal kehilangan hak atas lahan

Grand Corruption dalam Climate Finance: Uang Hijau, Tujuan Kelabu

Dana iklim global bernilai miliaran dolar dari lembaga seperti Green Climate Fund, Bank Dunia, dan UNFCCC menjadi incaran jaringan korupsi.

Praktik yang Ditemukan:

  • Penunjukan proyek iklim fiktif
  • Tender proyek hanya untuk perusahaan tertentu
  • Dana diselewengkan untuk kepentingan politik

Kasus: Kroasia

Tiga orang, termasuk wali kota Nova Gradiska, dihukum karena memanipulasi pengadaan untuk proyek pembangkit surya dan pengolahan air limbah yang didanai oleh Uni Eropa. Skema ini menunjukkan bahwa korupsi skala besar dapat berlangsung bahkan dalam konteks negara maju.

Komoditas Baru, Korupsi Lama: Critical Minerals untuk Energi Terbarukan

Mengapa Rentan?

  • Lokasi tambang kritis (nikel, lithium, rare earth) banyak terdapat di negara-negara dengan tata kelola lemah.
  • Penambahan tekanan dari investor asing yang mengejar akses bahan baku.
  • Negara melakukan pelonggaran regulasi untuk menarik investasi.

Contoh:

  • Indonesia: Proses perizinan pertambangan rawan suap. Gubernur provinsi diduga menerima suap untuk mengeluarkan izin tambang dan mengalihfungsikan hutan.
  • Zambia: Menteri Pertambangan terbukti mengintervensi proses tender tambang.
  • Guatemala: Mantan pejabat tambang terlibat dalam perizinan yang menguntungkan perusahaan keluarganya.

Dampak Besar Grand Corruption terhadap Perubahan Iklim

Korupsi besar memperlambat, bahkan menggagalkan, agenda iklim global melalui berbagai cara:

1. Lingkungan

  • Eksploitasi sumber daya yang merusak (hutan, sungai, tambang)
  • Penundaan proyek energi bersih

2. Ekonomi

  • Alokasi anggaran tak efisien
  • Subsidi energi fosil justru memperparah ketergantungan

3. Kesehatan & HAM

  • Polusi dan degradasi ekosistem
  • Peminggiran komunitas lokal dan adat

4. Kepercayaan Publik

  • Ketidakpercayaan terhadap kebijakan iklim
  • Resistensi terhadap reformasi pajak karbon dan pencabutan subsidi

Kritik dan Rekomendasi: Jalan Menuju Transisi yang Bersih dan Transparan

🔍 Kritik

  • Laporan ini fokus pada dampak, namun belum banyak menggali upaya pencegahan konkret.
  • Perlu eksplorasi lebih lanjut pada peran lembaga internasional dan solusi berbasis masyarakat sipil.

Rekomendasi Kunci

  • Transparansi mutlak dalam pengadaan dan alokasi dana iklim
  • Regulasi ketat atas konflik kepentingan dan praktik revolving door
  • Penguatan kapasitas masyarakat sipil dan media investigatif
  • Mekanisme pelaporan publik yang aman dan inklusif

Mengapa Respon terhadap Perubahan Iklim Harus Antikorupsi

Laporan ini memperlihatkan bahwa tidak ada transisi energi, perlindungan biodiversitas, atau pendanaan iklim yang dapat berhasil tanpa membongkar dan menghentikan grand corruption. Keberhasilan kebijakan iklim bukan hanya soal teknologi dan dana, tetapi juga soal keadilan, tata kelola, dan integritas publik.

Indonesia, sebagai negara kaya sumber daya sekaligus rentan terhadap dampak iklim, harus belajar dari temuan ini. Kita perlu mendorong kebijakan iklim yang bukan hanya hijau di atas kertas, tetapi juga bersih dari pengaruh koruptif.

Sumber Artikel Asli:
Resimić, M. (2022). Grand Corruption and Climate Change Policies: Overview of Grand Corruption Evidence in Energy Transition, Biodiversity Loss and Climate Finance. U4 Anti-Corruption Helpdesk Answer, Transparency International.

Jika Anda ingin menyesuaikan artikel ini untuk publikasi web (dengan visual, infografik, atau internal linking tambahan), saya siap membantu menyempurnakannya.

 

Selengkapnya
Mengungkap Korupsi Besar dalam Kebijakan Iklim: Ancaman Nyata bagi Transisi Energi dan Keuangan Hijau

Perubahan Iklim

​​​​​​​Transformasi Sanitasi Berkelanjutan di Kawasan Karibia: Panduan Komprehensif dari GIZ 2022

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Krisis Sanitasi di Tengah Perubahan Iklim Global

Sanitasi adalah salah satu pilar utama pembangunan berkelanjutan yang kerap terpinggirkan dalam diskursus kebijakan publik, terutama di negara berkembang dan kawasan rentan perubahan iklim seperti Wilayah Karibia (Wider Caribbean Region/WCR). Dengan hanya 0–30% wilayah terhubung ke sistem pengolahan air limbah terpusat, dan mayoritas masyarakat mengandalkan tangki septik serta solusi on-site lainnya, tantangan pengelolaan sanitasi di WCR tidak bisa dianggap sepele.

Dokumen Compendium of Sanitation Systems and Technologies for the Wider Caribbean Region yang disusun oleh GIZ (2022), berfungsi sebagai panduan teknis sekaligus strategis dalam merancang sistem sanitasi berkelanjutan, tangguh iklim, dan berbasis masyarakat. Compendium ini menjadi rujukan penting dalam menjawab tantangan multidimensi sanitasi dengan pendekatan terintegrasi dan berbasis sistem.

Apa yang Membuat Kompendium Ini Berbeda?

Dokumen ini merupakan adaptasi regional dari Eawag Compendium edisi 2008 dan 2014 yang telah menjadi acuan global dalam sektor sanitasi. Namun, versi Karibia ini menghadirkan sejumlah inovasi penting:

  • Hanya mencantumkan 6 sistem sanitasi (bukan 9), dengan 48 lembar teknologi terfokus.
  • Memasukkan biochar sebagai produk keluaran baru dalam pendekatan karbon-negatif.
  • Menambahkan bagian khusus tentang perencanaan & pengambilan keputusan yang responsif terhadap iklim.
  • Menghadirkan 6 studi kasus riil dari negara-negara seperti Panama, Guatemala, hingga Republik Dominika.

Pendekatan baru ini bertujuan menjawab krisis yang semakin kompleks, terutama di tengah keterbatasan infrastruktur, kapasitas lembaga, dan dampak iklim seperti badai tropis, intrusi air laut, dan kekeringan ekstrem.

Konteks Sanitasi di Kawasan Karibia: Lima Temuan Kunci

  1. Rendahnya Cakupan Infrastruktur Terpusat
    Hanya 0–30% wilayah memiliki jaringan pengolahan air limbah terpusat. Sebagian besar penduduk menggunakan septik tank atau sistem on-site lainnya, dan pit latrines masih digunakan terutama di kawasan informal.
  2. Prioritas yang Salah Kaprah
    Utilitas air di Karibia seringkali lebih fokus pada pengurangan non-revenue water (kehilangan air tanpa pendapatan) yang berkisar antara 20–70%, sementara aspek sanitasi dianggap sekunder, meskipun buruknya layanan justru menurunkan kemauan bayar masyarakat.
  3. Dilema Tarif dan Investasi
    Banyak utilitas menghadapi paradoks: diharapkan meningkatkan layanan, namun terhambat oleh tarif rendah yang bahkan tak menutup biaya operasional.
  4. Dampak Eksternal Perubahan Iklim
    Termasuk banjir, naiknya muka laut, dan badai ekstrem yang merusak infrastruktur dan mempercepat degradasi lingkungan.
  5. Peluang untuk Inovasi Sirkular
    Minimnya infrastruktur lama membuka jalan bagi pendekatan berbasis ekonomi sirkular dan solusi berbasis alam yang lebih efisien dan hemat biaya.

Struktur Kompendium: Kerangka Sistemik dan Teknologis

Kompendium dibagi ke dalam 4 bagian utama:

1. Template Sistem Sanitasi

Menawarkan enam konfigurasi sistem sanitasi terintegrasi, mulai dari sistem blackwater on-site hingga sistem berbasis kontainer (Container-Based Sanitation). Setiap template disesuaikan dengan kondisi geografis, sosial, dan teknis kawasan WCR.

2. Lembar Informasi Teknologi (Technology Sheets)

Terdiri atas 48 teknologi dari 5 kelompok fungsional:

  • U: User Interface
  • S: Collection & Storage
  • C: Conveyance
  • T: Treatment
  • R: Reuse & Disposal

Setiap teknologi dilengkapi informasi tentang keunggulan, keterbatasan, biaya, dan konteks penerapan.

3. Isu Lintas Sektor untuk Perencanaan

Membahas pentingnya:

  • Partisipasi pemangku kepentingan
  • Responsif gender
  • Ketahanan iklim
  • Tata kelola air dan sanitasi berkelanjutan

4. Studi Kasus Lapangan

Bagian ini menjadi nilai tambah penting, menghadirkan implementasi nyata, pelajaran dari kegagalan, serta inovasi berbasis komunitas.

Studi Kasus Menonjol: Solusi Nyata di Tengah Keterbatasan

🔍 Case 5: Container-Based Sanitation (CBS) di Danau Atitlán, Guatemala

Tantangan:

  • Komunitas periurban tanpa akses ke saluran air limbah
  • Tingginya pencemaran air tanah dan danau

Solusi:

  • Sistem toilet kontainer kering dengan pengumpulan terjadwal
  • Urine dan feses diangkut ke pusat pengolahan

Dampak:

  • 95% pengurangan kontaminasi fekal ke lingkungan
  • Penurunan drastis penyakit diare
  • Peningkatan kenyamanan dan keselamatan bagi perempuan

CBS terbukti menjadi solusi ekonomis dan cepat diimplementasikan untuk wilayah padat dan sulit dijangkau jaringan konvensional.

Teknologi Unggulan: Inovasi Menuju Sanitasi Masa Depan

💡 Biochar: Teknologi Karbon Negatif

Salah satu pembaruan dalam dokumen ini adalah pengakuan terhadap biochar—produk karbonisasi dari lumpur tinja atau limbah organik—sebagai solusi multi-manfaat:

  • Meningkatkan kualitas tanah dan hasil pertanian
  • Menyerap karbon dari atmosfer
  • Mengurangi emisi gas rumah kaca dari pengelolaan limbah

💧 Wetland Treatment Systems

Sistem seperti Floating Treatment Wetlands dan Free-Water Surface Wetlands memberikan solusi alami untuk pengolahan air limbah:

  • Biaya rendah, konsumsi energi minimal
  • Efektif menyerap nutrien dan kontaminan
  • Memberi manfaat ekologis tambahan (biodiversitas, estetika)

Kekuatan dan Kelemahan Pendekatan Kompendium

Kekuatan:

  • Komprehensif: Merangkum teknologi, sistem, dan strategi kebijakan dalam satu dokumen.
  • Kontekstual: Disesuaikan dengan kebutuhan kawasan Karibia, tapi relevan secara global.
  • Partisipatif: Mendorong pendekatan community-centered, bukan expert-driven.
  • Terintegrasi: Memperkuat relasi antara sanitasi, iklim, dan ekonomi sirkular.

Kelemahan:

  • Keterbatasan Praktis: Meskipun aplikatif, implementasi tetap bergantung pada dukungan politik, kapasitas teknis, dan pembiayaan.
  • Kurang Bahasan Teknis Mendalam: Untuk teknologi tingkat lanjut, informasi masih bersifat pengantar dan perlu rujukan lanjutan.

Relevansi Global: Pelajaran bagi Indonesia dan Dunia

Meskipun ditujukan untuk Karibia, pelajaran dari kompendium ini sangat relevan bagi Indonesia yang juga:

  • Menghadapi masalah sanitasi di kawasan periurban dan pesisir
  • Terdampak serius oleh perubahan iklim
  • Butuh solusi cepat dan terjangkau di daerah terpencil

Contohnya, pendekatan CBS atau wetland treatment bisa diterapkan di wilayah seperti pesisir Papua, Kepulauan Riau, atau daerah banjir di Jakarta Utara. Pendekatan desentralisasi juga cocok untuk mengatasi tantangan geografis Indonesia yang tersebar di ribuan pulau.

Menuju Sanitasi Inklusif, Tangguh, dan Berkelanjutan

Dokumen Compendium of Sanitation Systems and Technologies for the Wider Caribbean Region bukan sekadar panduan teknis, tetapi juga manifesto untuk perubahan paradigma dari sanitasi sebagai urusan teknis menjadi sanitasi sebagai hak dasar dan komponen utama pembangunan berkelanjutan.

Dengan struktur yang sistematis, pendekatan lintas sektor, dan keberanian mengusung teknologi inovatif seperti biochar dan CBS, kompendium ini patut menjadi acuan internasional, termasuk di Indonesia. Tantangannya kini bukan pada ketersediaan teknologi, tapi pada komitmen untuk menerapkannya secara partisipatif, kontekstual, dan berkelanjutan.

Referensi

GIZ. (2022). Compendium of Sanitation Systems and Technologies for the Wider Caribbean Region. Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH, Inter-American Development Bank, United Nations Environment Programme, Caribbean Water and Wastewater Association (CWWA), CAWASA, BORDA, and EAWAG.

Selengkapnya
​​​​​​​Transformasi Sanitasi Berkelanjutan di Kawasan Karibia: Panduan Komprehensif dari GIZ 2022

Perubahan Iklim

Menuju Tata Kelola Air Adaptif di Sungai Transboundary Timur Afrika Selatan: Peran Umpan Balik Sistemik untuk Pembelajaran dan Adaptasi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Konteks dan Signifikansi

Paper ini mengkaji evolusi tata kelola air adaptif (Adaptive Water Governance, AWG) di Afrika Selatan, khususnya di dua daerah aliran sungai transboundary di bagian timur negara tersebut, yakni Cekungan Sungai Crocodile dan Olifants. AWG dipandang sebagai pendekatan tata kelola sumber daya air yang fleksibel, berbasis pembelajaran, dan kolaboratif antara aktor negara dan non-negara, dengan tujuan mengelola sistem sosial-ekologis secara adaptif di tengah ketidakpastian, seperti perubahan iklim. Studi ini menyoroti bagaimana reformasi kebijakan nasional sejak 1998—terutama melalui National Water Act—mendorong implementasi Integrated Water Resources Management (IWRM) yang berorientasi pada keberlanjutan, keadilan, dan desentralisasi pengelolaan air, yang kemudian menjadi landasan bagi praktek AWG di Afrika Selatan1.

Kerangka Teoretis: Dari IWRM ke AWG

IWRM di Afrika Selatan didefinisikan sebagai proses manajemen terkoordinasi sumber daya air, tanah, dan sumber daya terkait untuk memaksimalkan manfaat sosial dan ekonomi secara adil tanpa mengorbankan ekosistem. AWG, yang tidak secara eksplisit disebutkan pada awal reformasi, merupakan evolusi dari IWRM dengan fokus pada tata kelola yang adaptif dan pembelajaran sosial. Konsep kunci dalam AWG adalah pengelolaan hubungan sosial dan aturan yang bersifat dinamis dan responsif terhadap umpan balik sosial-ekologis. Paper ini menegaskan bahwa AWG dan IWRM saling terkait erat di Afrika Selatan, dengan AWG sebagai kerangka yang lebih luas yang menekankan pembelajaran, fleksibilitas, dan kolaborasi multi-skala1.

Metodologi: Studi Kasus Longitudinal dan Pendekatan Sistemik

Penelitian ini menggunakan pendekatan meta-inquiry selama enam tahun (2013–2019) yang menggabungkan Soft Systems Methodology (SSM) dan grounded theory, untuk mengevaluasi evolusi tata kelola air adaptif di tiga kasus dalam dua cekungan sungai tersebut. Data dikumpulkan melalui action-research dan monitoring, evaluation, reporting, and learning (MERL) yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan lokal dan nasional. Fokus utama adalah pada penguatan umpan balik sistemik yang mendukung pembelajaran dan adaptasi dalam pengelolaan air, serta bagaimana institusi dan jaringan tata kelola berkembang untuk mengakomodasi hal ini1.

Hasil Studi Kasus

1. Pengelolaan Dinamika Aliran di Sungai Crocodile

Cekungan Sungai Crocodile menghadapi defisit air dan tantangan kualitas air, dengan pengaturan aliran yang melibatkan negara tetangga Eswatini dan Mozambik melalui perjanjian aliran bersama (IIMA 2002). Pembentukan Inkomati-Usuthu Catchment Management Agency (IUCMA) pada 2004 menjadi titik penting dalam penerapan IWRM dan AWG. Melalui pembentukan komite operasi sungai (CROCOC) dan pengembangan sistem respons cepat, terjadi peningkatan kepatuhan terhadap standar aliran minimum (reserve) dan kualitas air. Kolaborasi antara IUCMA, dewan irigasi, dan Taman Nasional Kruger selama kekeringan 2015 menunjukkan keberhasilan pengelolaan aliran secara adaptif dengan mempertimbangkan kepentingan ekonomi dan ekologi lintas batas. Meskipun otoritas IUCMA sempat dicabut pada 2016, jaringan kolaboratif tetap beroperasi dan mempertahankan kondisi ekologis sungai1.

2. Menjamin Aliran di Sungai Olifants Selama Kekeringan Terparah

Cekungan Sungai Olifants merupakan wilayah yang paling tertekan di antara cekungan transboundary di Afrika Selatan bagian timur, dengan penurunan kualitas dan kuantitas air yang signifikan. Program RESILIM-Olifants yang dipimpin oleh AWARD berupaya mendukung manajemen adaptif strategis melalui pembelajaran sosial sistemik dan pengembangan alat monitoring real-time seperti FlowTracker dan INWARDS DSS. Selama kekeringan 2015–2020, jaringan tata kelola yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan berhasil mempertahankan aliran air dengan mengatur pelepasan air dari bendungan yang lebih besar, meskipun kapasitas kelembagaan seperti proto-CMA sempat dibekukan oleh pemerintah pusat. Keberhasilan ini menunjukkan pentingnya jaringan tata kelola yang responsif dan transparan, meskipun keberlanjutan jangka panjang masih diragukan tanpa institusi yang kuat1.

3. Pengelolaan Limbah Cair di Sungai Selati (Anak Sungai Olifants)

Masalah pencemaran dari limbah tambang dan pengolahan air limbah di Sungai Selati mengancam pasokan air untuk kota Phalaborwa, Taman Nasional Kruger, dan Mozambik. Kolaborasi antara AWARD, taman nasional, dan otoritas pengelolaan air berfokus pada pengembangan strategi adaptif jangka panjang dan praktik transformasional dalam pengelolaan limbah cair. Model "wagon wheel" dikembangkan untuk memperbaiki komunikasi dan umpan balik antara staf teknis dan pimpinan politik di tingkat pemerintahan lokal, sehingga meningkatkan alokasi sumber daya dan kesadaran akan konsekuensi ketidakpatuhan. Meski ada kemajuan, keterbatasan sumber daya, kapasitas, serta intervensi politik dan korupsi menjadi kendala utama1.

Diskusi: Faktor Pendukung dan Penghambat AWG

Penelitian mengidentifikasi sejumlah faktor kunci yang mendukung keberhasilan AWG, antara lain:

  • Kepemimpinan dan Peran Champion/Watchdog: Pemimpin yang berkualitas dan adanya pengawas independen memperkuat kepercayaan dan kolaborasi.
  • Visi Bersama dan Standar Hukum (Reserve): Penetapan tujuan bersama dan patokan hukum menjadi acuan dalam pengambilan keputusan.
  • Jaringan Tata Kelola Multi-skala (Polycentric Governance): Adanya jaringan formal dan informal yang dapat beradaptasi dan belajar bersama.
  • Alat dan Protokol Sistemik: Penggunaan aplikasi monitoring real-time dan sistem pendukung keputusan meningkatkan transparansi.
  • Komunikasi Terbuka dan Ruang Kolaboratif: Forum diskusi yang aman memungkinkan eksperimen dan refleksi bersama.
  • Kepercayaan dan Partisipasi Inklusif: Membangun kepercayaan antara pemangku kepentingan dan melibatkan berbagai pihak secara aktif.

Namun, paper juga menyoroti kerentanan tata kelola tanpa institusi meta-governor yang kuat seperti CMA, yang berfungsi sebagai rumah institusional untuk pembelajaran dan adaptasi. Kasus Olifants menunjukkan bahwa tanpa kepemimpinan dan dukungan kelembagaan yang memadai, jaringan tata kelola sulit bertahan dalam jangka panjang, apalagi di tengah tekanan politik dan korupsi. Hal ini menegaskan perlunya meta-governance yang bersifat fasilitatif, bukan otoriter, untuk mendukung inovasi lokal dan adaptasi berkelanjutan1.

Implikasi dan Rekomendasi

Paper ini memberikan beberapa rekomendasi penting untuk pengembangan AWG di Afrika Selatan dan konteks global:

  • Penguatan Institusi Meta-Governor: Memastikan keberadaan dan dukungan bagi lembaga seperti CMA yang dapat mengintegrasikan berbagai skala tata kelola.
  • Pengembangan Jaringan dan Alat Monitoring: Melanjutkan inovasi dalam alat digital untuk transparansi dan pengambilan keputusan berbasis bukti.
  • Pengelolaan Umpan Balik Multi-Skala: Memperhatikan interaksi dan umpan balik antar tingkat pemerintahan dan pemangku kepentingan.
  • Penanganan Korupsi dan Intervensi Politik: Meningkatkan akuntabilitas dan integritas dalam tata kelola air untuk menjaga kepercayaan.
  • Pendekatan Sistemik dan Pembelajaran Sosial: Mendorong kolaborasi yang inklusif dan berkelanjutan sebagai inti dari tata kelola adaptif.

Dengan mempertimbangkan tantangan perubahan iklim dan kompleksitas sosial-ekologis, paper ini menegaskan bahwa tata kelola air adaptif yang berbasis pembelajaran sistemik dan kolaborasi multi-aktor adalah kunci untuk mencapai keberlanjutan dan keadilan dalam pengelolaan sumber daya air1.

Kesimpulan

Penelitian ini secara komprehensif menggambarkan perjalanan dan tantangan penerapan adaptive water governance di Afrika Selatan, khususnya di dua cekungan sungai transboundary yang kritis. Melalui tiga studi kasus, ditemukan bahwa keberhasilan AWG sangat bergantung pada penguatan umpan balik sistemik yang mendukung pembelajaran dan adaptasi, serta adanya institusi meta-governor yang memfasilitasi kolaborasi multi-skala. Paper ini tidak hanya memberikan wawasan akademis, tetapi juga contoh nyata dan angka-angka penting yang menunjukkan dinamika pengelolaan air di lapangan, seperti pengelolaan aliran selama kekeringan ekstrem dan pengelolaan limbah cair yang kompleks. Temuan ini relevan untuk negara-negara lain yang menghadapi tantangan serupa dalam tata kelola sumber daya air di era perubahan iklim dan ketidakpastian sosial-politik.

Sumber Artikel Asli:

Pollard, S. R., E. Riddell, D. R. du Toit, D. C. Retief, and R. L. Ison. 2023. Toward adaptive water governance: the role of systemic feedbacks for learning and adaptation in the eastern transboundary rivers of South Africa. Ecology and Society 28(1):47. Copyright © 2023 by the author(s). Published under license by the Resilience Alliance.

Selengkapnya
Menuju Tata Kelola Air Adaptif di Sungai Transboundary Timur Afrika Selatan: Peran Umpan Balik Sistemik untuk Pembelajaran dan Adaptasi

Sumber Daya Air

Menyelami Kompleksitas Pengelolaan Kualitas Air Sungai Brantas dengan Metode Q

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Tantangan Pengelolaan Kualitas Air di DAS Brantas

Sungai Brantas di Jawa Timur, Indonesia, adalah salah satu sungai terpenting dengan panjang 320 km dan wilayah aliran sungai (DAS) seluas sekitar 14.000 km². DAS ini menjadi sumber utama air bersih bagi sekitar 18-25 juta penduduk, serta menopang sektor pertanian, industri, dan perikanan yang menyumbang 59% Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Timur. Namun, kualitas air di Brantas mengalami tekanan berat akibat limbah domestik, limbah industri, limbah pertanian, serta masalah pengelolaan sampah yang belum memadai. Paper "Structuring the water quality policy problem: Using Q methodology to explore discourses in the Brantas River basin" oleh Houser, Pramana, dan Ertsen (2022) mengkaji bagaimana beragam pemangku kepentingan memahami dan memandang masalah kualitas air di Brantas, menggunakan pendekatan Q methodology sebagai alat untuk mengurai kompleksitas perspektif dan problem framing dalam pengelolaan air1.

Kerangka Teoretis: Kompleksitas dan Politik dalam Pengelolaan Kualitas Air

Masalah kualitas air merupakan contoh "wicked problem"—isu kompleks, multidimensional, dan penuh ketidakpastian yang melibatkan banyak aktor dengan kepentingan, nilai, dan pengetahuan berbeda. Pendekatan Integrated Water Resources Management (IWRM) mendorong keterlibatan multi-aktor dan pengelolaan terintegrasi, namun tantangan utama adalah bagaimana menyatukan berbagai perspektif yang beragam dan kadang kontradiktif dalam memahami dan menangani masalah kualitas air.

Q methodology dipilih sebagai metode yang mampu mengungkapkan subjektivitas dan pola pikir beragam aktor melalui pengelompokan perspektif berdasarkan cara mereka mengurutkan pernyataan terkait kualitas air. Metode ini tidak berusaha mewakili mayoritas, tetapi menampilkan keragaman dan area konsensus serta perbedaan yang penting untuk membangun dialog dan kolaborasi1.

Studi Kasus: Sungai Brantas dan Dinamika Kualitas Airnya

Kondisi Geografis dan Sosial Ekonomi

  • Panjang sungai: 320 km
  • Wilayah aliran sungai: ~14.000 km²
  • Populasi terdampak: 18-25 juta jiwa
  • Kontribusi ekonomi: 59% PDRB Jawa Timur, 6-10% produksi beras nasional
  • Penggunaan air: domestik, industri, irigasi, perikanan

Sumber Polusi Utama

  • Limbah domestik: diperkirakan menghasilkan sekitar 515 ton BOD/hari (2004)
  • Limbah pertanian: sekitar 2.500 ton/hari, termasuk pestisida dan pupuk
  • Limbah industri: 125-155 ton/hari dari sekitar 483 industri terdaftar
  • Sampah padat dan mikroplastik: kontribusi signifikan terhadap pencemaran sungai dan laut
  • Proses alami: sedimentasi dan erosi juga memengaruhi kualitas air

Tantangan Pengelolaan

  • Tumpang tindih kewenangan antar lembaga pemerintah
  • Kapasitas administratif dan teknis terbatas
  • Koordinasi antar sektor yang lemah dan "ego sektoral"
  • Kurangnya dana dan data yang terintegrasi untuk pengelolaan kualitas air
  • Kesadaran masyarakat yang rendah terkait dampak pencemaran dan pengelolaan limbah

Metode Penelitian: Q Methodology untuk Mengurai Perspektif

Penelitian melibatkan 32 responden dari berbagai latar belakang: pemerintah (17), organisasi masyarakat sipil (6), perusahaan milik negara/pengguna air (6), dan akademisi (2). Dua sesi Q-sort dilakukan:

  1. Q-sort Konsep (23 pernyataan): menggali bagaimana responden memahami konsep kualitas air secara umum.
  2. Q-sort Kondisi (34 pernyataan): menggali persepsi tentang kondisi kualitas air saat ini dan masalah terkait.

Responden diminta mengurutkan pernyataan dari "paling setuju" hingga "paling tidak setuju" dalam distribusi normal terpaksa. Analisis faktor dengan varimax rotation mengidentifikasi kelompok perspektif yang berbeda1.

Hasil: Tiga Perspektif Konseptual dan Empat Perspektif Kondisi Kualitas Air

Perspektif Konseptual Kualitas Air

  1. Harmonist-holist (C1, 27% varians)
    • Melihat kualitas air sebagai bagian dari harmoni antara manusia dan alam.
    • Menekankan nilai konservasi, keanekaragaman hayati, dan keterlibatan komunitas.
    • Menolak pandangan bahwa kualitas air hanya soal pengendalian polusi industri.
    • Menganggap kualitas air bukan prioritas utama dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
  2. Technical-regulatory (C2, 21% varians)
    • Memahami kualitas air sebagai isu teknis yang harus diukur secara ilmiah oleh ahli.
    • Menekankan peran pemerintah dalam pengendalian polusi industri.
    • Melihat partisipasi masyarakat penting, tapi bukan pusat pengelolaan.
    • Menganggap kualitas air sebagai masalah sekunder dibandingkan pengendalian banjir dan alokasi air.
  3. Direct Engagement (C3, 15% varians)
    • Fokus pada pengalaman langsung masyarakat dengan sungai (melihat, mencium, menyentuh).
    • Menilai kualitas air berdasarkan dampak pada kehidupan sehari-hari dan keberlanjutan mata pencaharian.
    • Mengakui peran penting perempuan dalam pengelolaan kualitas air.
    • Kurang menekankan data ilmiah sebagai dasar pengambilan keputusan.

Perspektif Kondisi Kualitas Air Saat Ini

  1. General Reformers (N1, 17% varians)
    • Menilai sungai semakin tercemar, terutama akibat limbah domestik dan pertanian.
    • Menyoroti lemahnya koordinasi antar lembaga dan ketidakjelasan tanggung jawab.
    • Menekankan perlunya edukasi masyarakat dan perbaikan tata kelola.
  2. Government Optimists (N2, 15% varians)
    • Melihat kondisi sungai relatif baik dan upaya pemerintah serta masyarakat berjalan efektif.
    • Percaya koordinasi antar lembaga sudah berjalan baik dan regulasi ditegakkan.
    • Menilai pelaporan pencemaran jelas dan respons pemerintah transparan.
  3. Community-focused Pragmatists (N3, 14% varians)
    • Fokus pada peran komunitas dan pentingnya pengetahuan lokal dalam pengelolaan.
    • Menyoroti kurangnya tindak lanjut dari data dan studi yang ada.
    • Menilai masalah utama adalah keterbatasan dana dan implementasi.
  4. Industry-focused Reformers (N4, 17% varians)
    • Menilai polusi industri sebagai sumber utama pencemaran dan regulasi kurang ditegakkan.
    • Melihat koordinasi antar lembaga buruk dan keterlibatan masyarakat minim.
    • Menekankan perlunya penegakan hukum yang lebih tegas terhadap industri.

Diskusi: Implikasi untuk Pengelolaan dan Kebijakan

Keragaman Perspektif sebagai Tantangan dan Peluang

  • Keragaman pandangan tentang apa itu kualitas air dan bagaimana masalahnya harus ditangani menandakan kompleksitas pengelolaan yang tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan tunggal.
  • Perbedaan ini tidak sepenuhnya berakar pada afiliasi organisasi, menunjukkan bahwa dialog lintas sektor dan komunitas mungkin lebih mudah daripada yang diperkirakan.
  • Konsensus ditemukan pada beberapa hal penting, seperti pentingnya kebersihan sungai sebagai kebanggaan nasional dan kebutuhan edukasi masyarakat, yang bisa menjadi titik awal kolaborasi.

Kebutuhan untuk Pendekatan Kolaboratif dan Adaptif

  • Perlu ada fasilitasi dialog yang mengakui dan menjembatani perbedaan perspektif, agar problem framing menjadi lebih terstruktur dan solusi yang diambil dapat diterima bersama.
  • Penguatan koordinasi antar lembaga dan kejelasan tanggung jawab menjadi prioritas utama.
  • Edukasi dan pemberdayaan komunitas harus ditingkatkan untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi dalam pengelolaan kualitas air.
  • Penegakan regulasi terhadap pencemaran industri harus diperkuat tanpa mengabaikan pendekatan yang harmonis dengan masyarakat dan pelaku usaha.

Nilai Tambah dan Perbandingan dengan Studi Lain

Penelitian ini menonjolkan penggunaan Q methodology sebagai alat inovatif untuk memahami subjektivitas dan keragaman pandangan dalam isu lingkungan yang kompleks, berbeda dengan survei kuantitatif konvensional yang cenderung menggeneralisasi. Pendekatan ini memungkinkan pengambil kebijakan untuk melihat tidak hanya apa masalahnya, tetapi juga bagaimana masalah itu dipahami secara berbeda oleh berbagai pemangku kepentingan, yang sangat penting dalam konteks tata kelola sumber daya air yang multi-aktor dan multi-skala.

Kesimpulan

Paper ini berhasil mengungkap bahwa pengelolaan kualitas air di DAS Brantas tidak hanya soal data dan teknologi, tetapi juga soal pemahaman bersama dan framing masalah yang beragam. Dengan tiga perspektif konsep kualitas air dan empat perspektif kondisi yang berbeda, penelitian ini menegaskan pentingnya problem structuring yang partisipatif dan reflektif dalam tata kelola air. Hasil ini membuka peluang untuk membangun jaringan kolaboratif yang lebih efektif dan inklusif, sekaligus menyoroti kebutuhan perbaikan kelembagaan dan edukasi masyarakat. Pendekatan Q methodology terbukti efektif sebagai alat untuk memfasilitasi dialog dan membangun kesepahaman dalam konteks pengelolaan sumber daya air yang kompleks dan dinamis.

Sumber Artikel Asli:
Houser RS, Pramana KER, Ertsen MW (2022). Structuring the water quality policy problem: Using Q methodology to explore discourses in the Brantas River basin. Frontiers in Water 4:1007638. doi: 10.3389/frwa.2022.1007638

Selengkapnya
Menyelami Kompleksitas Pengelolaan Kualitas Air Sungai Brantas dengan Metode Q

Perubahan Iklim

Pengaruh Kebijakan Ekonomi Besar terhadap Perubahan Iklim, Ketahanan Pangan, dan Air di Negara Berkembang: Studi Kasus dan Rekomendasi Kebijakan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Kompleksitas Interaksi Kebijakan Global dan Dampaknya pada Negara Berkembang

Paper ini mengkaji bagaimana kebijakan negara maju dan ekonomi besar dunia, termasuk negara-negara BRICS, memengaruhi pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) terkait perubahan iklim, ketahanan pangan, dan pengelolaan air di negara berkembang. Dengan fokus pada kebijakan non-kerjasama pembangunan, paper ini mengidentifikasi hotspot ketidaksesuaian kebijakan (policy coherence hotspots) yang berpotensi menghambat atau mendukung tujuan tersebut.

Kerangka Analisis dan Metodologi

  • Menggunakan pendekatan tinjauan literatur sistematis dan analisis kebijakan.
  • Fokus pada kebijakan perdagangan, investasi, energi, industri, dan infrastruktur dari negara maju dan emerging economies.
  • Studi kasus singkat di Bangladesh untuk memahami dampak kebijakan secara nasional.
  • Menelaah interlinkages antara kebijakan iklim, pangan, dan air dalam konteks nexus water-energy-food.

Temuan Utama dan Studi Kasus

1. Kebijakan Energi dan Dampaknya pada Iklim dan Sumber Daya

  • Subsidi besar-besaran untuk sektor bahan bakar fosil di negara maju dan emerging countries, seperti China (USD 1,4 triliun pada 2015) dan AS (USD 649 miliar), bertentangan dengan komitmen mitigasi iklim.
  • Kebijakan ini mendorong eksplorasi dan produksi bahan bakar fosil di negara berkembang, terutama Afrika dan Timur Tengah, memperburuk emisi dan degradasi lingkungan.
  • Contoh: Dukungan China melalui China Development Bank untuk proyek bahan bakar fosil di Afrika.
  • Di sisi lain, ada pergeseran ke energi bersih, seperti kemitraan Just Energy Transition di Afrika Selatan yang didukung oleh negara-negara G7.

2. Kebijakan Perdagangan dan Investasi yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan dan Lingkungan

  • Kebijakan perdagangan negara maju, seperti subsidi pertanian dan kebijakan impor-ekspor, berdampak negatif pada petani kecil di negara berkembang.
  • Contoh: Importasi kedelai dan minyak sawit dari wilayah deforestasi di Amerika Selatan yang menyebabkan kerusakan hutan tropis dan tekanan pada sumber daya air.
  • Perjanjian dagang seperti EU-Mercosur membuka pasar bagi produk yang terkait deforestasi, menimbulkan konflik antara tujuan perdagangan dan lingkungan.
  • Investasi asing di sektor agribisnis seringkali tidak memenuhi janji pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan lokal.

3. Infrastruktur dan Dampaknya pada Emisi dan Ketahanan Sosial

  • Proyek infrastruktur besar, seperti bendungan dan jaringan energi, berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi tetapi juga meningkatkan emisi dan mengubah penggunaan lahan.
  • Contoh: Bendungan besar meningkatkan pasokan listrik namun mengancam akses air bagi komunitas hilir.
  • Infrastruktur perkotaan yang buruk memperparah risiko banjir dan pencemaran air di negara berkembang.
  • Kasus Bangladesh menunjukkan bahwa proyek infrastruktur yang dibiayai donor sering terkendala korupsi dan koordinasi lemah.

4. Kebijakan Keuangan dan Dampaknya pada Adaptasi Iklim

  • Pendanaan iklim internasional meningkat, mencapai USD 632 miliar pada 2019/2020, namun masih jauh dari kebutuhan adaptasi yang diperkirakan USD 140-300 miliar per tahun pada 2030.
  • Skema blended finance mulai digunakan untuk menarik investasi swasta, namun membawa risiko distorsi pasar dan ketergantungan.
  • Illicit financial flows mengurangi kapasitas fiskal negara berkembang untuk membiayai adaptasi dan mitigasi.
  • Contoh: Bangladesh menghadapi tantangan fiskal besar dalam membiayai adaptasi iklim dan mitigasi risiko bencana.

Analisis dan Opini

  • Paper ini mengungkapkan kompleksitas dan kontradiksi kebijakan global yang berdampak pada negara berkembang, terutama dalam konteks nexus air-pangan-energi-iklim.
  • Kebijakan negara maju seringkali tidak selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan di negara berkembang, menimbulkan trade-offs dan hambatan.
  • Studi kasus Bangladesh memberikan gambaran nyata bagaimana kebijakan eksternal berinteraksi dengan konteks lokal, dengan dampak positif dan negatif.
  • Paper ini menekankan perlunya integrasi kebijakan lintas sektor dan negara, serta reformasi kebijakan perdagangan dan investasi yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan.

Rekomendasi Kebijakan

  • Meningkatkan koherensi kebijakan antara negara maju dan berkembang dengan mengintegrasikan tujuan iklim, pangan, dan air secara simultan.
  • Mengurangi subsidi bahan bakar fosil dan mengalihkan pendanaan ke energi terbarukan yang inklusif dan sesuai konteks lokal.
  • Memperkuat regulasi perdagangan untuk mencegah impor produk yang merusak lingkungan dan mengancam ketahanan pangan.
  • Mendorong investasi berkelanjutan yang melibatkan petani kecil dan komunitas lokal.
  • Memperbaiki tata kelola pendanaan iklim dengan transparansi, akuntabilitas, dan pengurangan risiko distorsi pasar.
  • Memperkuat kerja sama internasional dan regional dalam pengelolaan sumber daya air lintas batas dan rantai pasok pangan.

Kesimpulan: Menavigasi Kompleksitas Kebijakan Global untuk Masa Depan Berkelanjutan

Paper ini memberikan wawasan kritis tentang bagaimana kebijakan negara maju dan emerging economies mempengaruhi pencapaian tujuan iklim, pangan, dan air di negara berkembang. Dengan mengidentifikasi hotspot ketidaksesuaian kebijakan, studi ini membuka jalan bagi reformasi kebijakan yang lebih koheren dan berkeadilan. Integrasi lintas sektor dan kolaborasi global menjadi kunci untuk mengatasi tantangan pembangunan berkelanjutan di era perubahan iklim.

Sumber Artikel (Bahasa Asli)

Tondel, F., D’Alessandro, C., Dekeyser, K. (2022). The effects of major economies’ policies on climate action, food security and water in developing countries. Discussion Paper No. 327, ECDPM.

Selengkapnya
Pengaruh Kebijakan Ekonomi Besar terhadap Perubahan Iklim, Ketahanan Pangan, dan Air di Negara Berkembang: Studi Kasus dan Rekomendasi Kebijakan

Perubahan Iklim

Kerangka Perencanaan Strategis Sistem Air: Mewujudkan Pengelolaan Air yang Berkelanjutan dan Adaptif di Era Perubahan Iklim

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Kompleksitas dan Kebutuhan Perencanaan Sistem Air Terpadu

Dokumen ini menyajikan kerangka kerja (framework) perencanaan strategis yang digunakan oleh Deltares dalam mengelola berbagai jenis sistem air, mulai dari DAS, zona pesisir, sistem air perkotaan, hingga akuifer dan laut. Kerangka ini dirancang untuk menghadapi tantangan kompleks pengelolaan air yang melibatkan aspek fisik, sosial-ekonomi, dan kelembagaan, serta ketidakpastian masa depan akibat perubahan iklim dan dinamika sosial ekonomi.

Fungsi dan Karakteristik Sistem Air

  • Sistem air memiliki fungsi yang beragam, mulai dari penyediaan air minum, irigasi, energi, transportasi, hingga perlindungan terhadap banjir dan kekeringan.
  • Terdapat tiga subsistem utama yang saling berinteraksi:
    • Natural Resource System (NRS): Sumber daya air dan infrastruktur fisik.
    • Socio-Economic System (SES): Aktivitas manusia dan nilai sosial ekonomi yang terkait air.
    • Administrative and Institutional System (AIS): Kebijakan, regulasi, dan institusi yang mengatur pengelolaan air.
  • Perencanaan harus memperhatikan interaksi kompleks antar subsistem ini.

Prinsip Perencanaan Strategis Sistem Air

  • Perencanaan harus bersifat terintegrasi, komprehensif, dan inklusif, melibatkan semua pemangku kepentingan.
  • Harus mengadopsi pendekatan sistem yang mempertimbangkan seluruh siklus air dan interaksi antar komponen.
  • Menggunakan pendekatan adaptif untuk menghadapi ketidakpastian iklim dan sosial ekonomi.
  • Perencanaan dilakukan secara berkelanjutan dengan siklus evaluasi dan pembaruan.

Lima Fase Perencanaan Strategis

  1. Inception (Inisiasi): Menetapkan ruang lingkup, tujuan, dan batasan analisis, serta menyusun proses keterlibatan pemangku kepentingan.
  2. Situation Analysis (Analisis Situasi): Pengumpulan data, pemodelan sistem air, dan analisis masalah saat ini dan proyeksi masa depan.
  3. Strategy Building (Penyusunan Strategi): Pengembangan alternatif strategi, evaluasi risiko, dan pemilihan strategi terbaik dengan pendekatan adaptif.
  4. Preparation for Implementation (Persiapan Implementasi): Penyusunan rencana aksi, pengorganisasian, perencanaan pendanaan, dan studi kelayakan.
  5. Implementation (Pelaksanaan): Pelaksanaan proyek, monitoring, evaluasi, dan persiapan siklus perencanaan berikutnya.

Pendekatan Sistem dan Model Komputasi

  • Kerangka kerja ini menggabungkan kerangka konseptual dan kerangka komputasi yang melibatkan pemodelan matematis untuk menganalisis perilaku sistem air dan dampak keputusan.
  • Contoh pemodelan mencakup analisis aliran sungai, kualitas air, interaksi air tanah dan permukaan, serta risiko banjir dan kekeringan.
  • Model ini membantu dalam mengevaluasi berbagai skenario dan strategi pengelolaan.

Penerapan pada Berbagai Sistem Air

  • Integrated River Basin Management (IRBM): Pengelolaan menyeluruh DAS dengan fokus pada alokasi air, mitigasi banjir, dan perlindungan ekosistem.
  • Integrated Coastal Zone Management (ICZM): Pengelolaan zona pesisir yang mempertimbangkan interaksi darat-laut dan perlindungan terhadap erosi dan banjir.
  • Integrated Urban Water Management (IUWM): Pengelolaan air di kota-kota, termasuk air minum, limbah, dan drainase.
  • Integrated Groundwater Management (IGM): Pengelolaan air tanah untuk mencegah overpumping dan pencemaran.
  • Marine Spatial Planning (MSP): Perencanaan ruang laut untuk keseimbangan antara pembangunan dan konservasi.
  • Integrated Drought Risk Management (IDRM) dan Integrated Flood Risk Management (IFRM): Strategi mitigasi risiko kekeringan dan banjir secara terintegrasi.
  • Water Quality and Ecosystem Management: Perlindungan kualitas air dan ekosistem air tawar dan pesisir.

Studi Kasus dan Contoh Angka

  • Studi penerapan IRBM di Delta Mekong menunjukkan pentingnya integrasi data hidrologi, sosial-ekonomi, dan kebijakan untuk mengelola banjir dan irigasi secara adaptif.
  • Proyek Integrated Coastal Zone Management di Kuwait dan Filipina berhasil mengurangi risiko banjir pesisir dan meningkatkan kualitas ekosistem.
  • Di perkotaan, IUWM di Manila mengintegrasikan pengelolaan air minum dan limbah, mengurangi pencemaran dan meningkatkan layanan publik.
  • Pengelolaan air tanah di Mongolia dan Kosovo menggunakan model komputasi untuk mengantisipasi penurunan muka air dan pencemaran.
  • Pendekatan adaptif dalam manajemen risiko kekeringan dan banjir di berbagai negara meningkatkan kesiapsiagaan dan respons.

Keterlibatan Pemangku Kepentingan dan Inklusivitas

  • Keterlibatan aktif pemangku kepentingan dari awal sangat penting untuk keberhasilan perencanaan.
  • Proses partisipatif meningkatkan pemahaman bersama, kepemilikan rencana, dan legitimasi keputusan.
  • Dokumen ini menyediakan checklist inklusivitas di setiap fase perencanaan untuk memastikan keterwakilan semua kelompok, termasuk masyarakat rentan.
  • Contoh kegagalan proyek banjir di Jakarta yang tidak melibatkan nelayan secara memadai menunjukkan pentingnya inklusivitas.

Pendanaan dan Kerangka Keuangan

  • Perencanaan strategis harus mencakup analisis biaya-manfaat dan strategi pendanaan yang realistis.
  • Dokumen membahas berbagai sumber pembiayaan, termasuk publik, swasta, dan pembiayaan bersyarat untuk pengurangan risiko bencana (DRR).
  • Contoh model pembiayaan dan pengadaan proyek yang adaptif dan transparan disajikan untuk mendukung implementasi.

Kesimpulan dan Opini

Dokumen “Strategic Water Systems Planning” dari Deltares ini merupakan panduan komprehensif dan sistematis yang sangat relevan untuk para perencana, pembuat kebijakan, dan praktisi pengelolaan sumber daya air. Dengan menggabungkan pendekatan sistematis, partisipatif, dan adaptif, kerangka ini mampu menghadapi tantangan kompleks pengelolaan air di era perubahan iklim dan tekanan sosial ekonomi.

Kelebihan dokumen ini terletak pada integrasi aspek teknis, sosial, dan kelembagaan, serta penekanan pada inklusivitas dan pengelolaan risiko. Namun, implementasi kerangka ini memerlukan komitmen politik, kapasitas teknis, dan pendanaan yang memadai.

Dokumen ini juga relevan dengan tren global seperti SDG 6, adaptasi iklim, dan pengelolaan berbasis ekosistem, serta menawarkan contoh aplikasi nyata di berbagai sistem air yang beragam.

Sumber Artikel 

Beek, E. van, Nolte, A.J., Maat, J. ter, Fanesca-Sanchez, M., Asselman, N., Gehrels, H. (2022). Strategic Water Systems Planning: A Framework for Achieving Sustainable, Resilient and Adaptive Management. Deltares, December 2022.

Selengkapnya
Kerangka Perencanaan Strategis Sistem Air: Mewujudkan Pengelolaan Air yang Berkelanjutan dan Adaptif di Era Perubahan Iklim
« First Previous page 81 of 1.119 Next Last »