Desentralisasi dan Pendidikan di Papua: Studi Kasus Jayawijaya dan Hambatan Pelayanan Publik

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

13 Juni 2025, 15.14

pixabay.com

Desentralisasi sebagai Instrumen Reformasi Tata Kelola

Desentralisasi merupakan salah satu reformasi kelembagaan penting yang bertujuan mendekatkan pemerintahan kepada masyarakat dan meningkatkan akuntabilitas serta responsivitas layanan publik. Di Indonesia, desentralisasi mulai diterapkan secara luas sejak 1999, termasuk di Papua yang memiliki status otonomi khusus sejak 2001. Namun, meskipun dana dan kewenangan dialihkan ke daerah, capaian pembangunan, khususnya di sektor pendidikan di Jayawijaya, masih jauh dari harapan.

Metodologi dan Fokus Studi

Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus kualitatif dengan pengumpulan data melalui wawancara mendalam, analisis dokumen kebijakan, dan observasi lapangan di Jayawijaya. Fokus utama adalah mengidentifikasi hambatan dalam penyediaan layanan pendidikan dasar setelah desentralisasi.

Temuan Utama: Tiga Hambatan Utama dalam Pendidikan di Jayawijaya

1. Uniformitas Kebijakan Nasional yang Tidak Sesuai Konteks Lokal

  • Kebijakan pendidikan dan kurikulum nasional diterapkan secara seragam tanpa mempertimbangkan kondisi geografis, budaya, dan sosial Jayawijaya yang unik.
  • Contoh: Standar jarak maksimal sekolah 3 km tidak realistis di wilayah pegunungan dengan akses transportasi terbatas.
  • Buku pelajaran nasional sulit dipahami siswa karena menggunakan konteks budaya yang asing, seperti gambar kereta api dan gunung Bromo.
  • Yayasan Kristen Wamena (YKW) mengembangkan Buku Paket Kontekstual Papua yang lebih relevan, namun belum diakui secara resmi oleh pemerintah.

2. Sistem Insentif yang Tidak Efektif dan Ketidakhadiran Guru

  • Tingginya angka ketidakhadiran guru, terutama guru PNS, menjadi masalah utama.
  • Faktor penyebab: lokasi terpencil, gaji yang rendah, kurangnya fasilitas pendukung (transportasi, perumahan, kesehatan).
  • Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan tunjangan guru belum efektif karena pengalokasian dana yang tidak sesuai kebutuhan lokal dan minimnya pengawasan.
  • Data UNICEF (2012) menunjukkan ketidakhadiran guru di daerah pegunungan Papua mencapai 50%, jauh lebih tinggi dibanding daerah dataran rendah (25%).

3. Monitoring dan Koordinasi yang Lemah

  • Struktur pemerintahan yang kompleks dan terfragmentasi menyebabkan lemahnya koordinasi antara pemerintah kabupaten, kecamatan, dan sekolah.
  • Monitoring guru dan sekolah sulit dilakukan karena jarak geografis yang jauh dan infrastruktur yang buruk.
  • Kepala sekolah sering tidak hadir, memperparah masalah ketidakhadiran guru dan kualitas pendidikan.
  • Pengawasan lebih efektif jika didelegasikan ke tingkat kecamatan, namun kewenangan masih terbatas.

Studi Kasus dan Data Pendukung

  • Jayawijaya memiliki luas 7.030 km² dengan 40 kecamatan dan 328 desa.
  • Populasi 268.137 jiwa (2017) dengan kepadatan 1 orang per 25 km², sangat tersebar dan sulit dijangkau.
  • Rata-rata lama sekolah di Jayawijaya hanya 5 tahun, jauh di bawah target nasional 8,8 tahun.
  • Alokasi anggaran pendidikan hanya 0,95% dari total APBD Jayawijaya, terendah di Papua.
  • BOS dialokasikan Rp800.000 per siswa per tahun tanpa penyesuaian kondisi lokal.

Analisis Teoritis: Multi-Level Governance dan Agency Theory

  • Desentralisasi menciptakan hubungan principal-agent antara pemerintah pusat (principal) dan daerah (agent), serta antara pemerintah daerah dan penyedia layanan (guru, sekolah).
  • Masalah muncul ketika tujuan dan kepentingan principal dan agent tidak selaras, serta adanya asimetri informasi dan lemahnya mekanisme kontrol.
  • Kondisi geografis yang sulit memperburuk masalah monitoring dan akuntabilitas.
  • Uniformitas kebijakan nasional menghambat fleksibilitas daerah dalam menyesuaikan layanan dengan kebutuhan lokal.

Opini dan Kritik

  • Penelitian ini memberikan gambaran mendalam tentang hambatan nyata di lapangan yang sering terabaikan dalam wacana desentralisasi.
  • Penekanan pada konteks geografis dan kelembagaan lokal menjadi kekuatan utama.
  • Namun, solusi yang diusulkan masih terbatas pada rekomendasi kebijakan tanpa eksplorasi mendalam tentang inovasi teknologi atau pendekatan partisipatif yang lebih luas.
  • Studi ini juga membuka ruang untuk riset lebih lanjut mengenai peran masyarakat dan teknologi dalam memperbaiki monitoring dan akuntabilitas.

Rekomendasi Kebijakan

  • Kebijakan pendidikan harus fleksibel dan responsif terhadap konteks lokal, termasuk kurikulum dan standar pelayanan.
  • Penguatan sistem insentif yang sesuai dengan kondisi lokal dan pengawasan yang ketat terhadap kehadiran guru.
  • Delegasi kewenangan monitoring ke tingkat kecamatan dan desa untuk meningkatkan efektivitas pengawasan.
  • Peningkatan alokasi anggaran pendidikan yang proporsional dengan kebutuhan daerah terpencil.
  • Dukungan berkelanjutan untuk pengembangan bahan ajar kontekstual dan pelatihan guru.

Desentralisasi yang Berkeadilan dan Kontekstual

Tesis ini menegaskan bahwa desentralisasi di Papua, khususnya Jayawijaya, menghadapi tantangan besar dalam penyediaan layanan pendidikan dasar. Uniformitas kebijakan nasional, sistem insentif yang tidak efektif, dan lemahnya monitoring menjadi hambatan utama. Untuk mewujudkan desentralisasi yang efektif, diperlukan pendekatan yang menghargai keragaman lokal, memperkuat kapasitas pemerintahan daerah, dan meningkatkan akuntabilitas melalui pengawasan yang lebih dekat dengan masyarakat. Hanya dengan demikian, tujuan desentralisasi untuk meningkatkan kualitas hidup dan pendidikan di wilayah terpencil dapat tercapai.

Sumber Artikel 

Efriandi, T., Couwenberg, O., Holzhacker, R.L. (2019). Decentralization and public service provision: A case study of the education sector in Jayawijaya District, Papua, Indonesia. Contemporary Southeast Asia, 41(3), 364-389. http://doi.org/10.1355/cs41-3b