Industri Makanan, Hasil Laut dan Perikanan

Survei YLKI: Stok Minyak Goreng Kosong di 17 Toko Wilayah Jakarta dan Bekasi

Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 17 Februari 2025


Bidang Penelitian di YLKI Niti Emiliana menyebutkan, dari ke-30 toko tersebut, ditemukan masih banyaknya minyak goreng kelapa sawit yang tidak tersedia. Baik itu minyak goreng bersubsidi maupun non-subsidi. "Mengenai ketersediaan, kami melihat ada atau tidaknya minyak goreng ini. Mayoritas di 17 toko, tidak tersedia minyak goreng kelapa sawit, baik itu harga bersubsidi maupun yang masih mahal atau sebesar 57 persen," katanya secara daring, Jumat (11/2/2022).

Kemudian, masih dari empat wilayah yang menjadi target survei, sebanyak 30 persen toko diketahui masih menjual minyak goreng dengan harga tidak sesuai dengan keputusan pemerintah sebesar Rp 14.000 per liter. "Di 9 toko atau 30 persen itu tersedia, ternyata harganya masih tinggi atau tidak bersubsidi. Peringkat ketiga, ada 3 toko sebesar 10 persen. Dia ini tersedia, tapi sudah bersubsidi. Ada juga 1 toko tersedia keduanya, baik bersubsidi maupun harga masih tinggi atau tidak bersubsidi," sebutnya. Selanjutnya, Neti menyebutkan kembali survei mengenai kesesuaian harga minyak goreng dengan subsidi pemerintah. Terdapat 9 toko, menjual minyak goreng kemasan premium di atas standar harga subsidi pemerintah. Baca juga: Ritel Dituding Timbun Minyak Goreng, Aprindo: Bagaimana Mungkin? Tidak Masuk di Akal Sehat! "Memang mayoritas yang ditemukan itu untuk pouch yang premium ya, jadi 9 toko atau sekitar 69 persen harganya di atas standar. Artinya, harganya melebihi dari yang diberikan oleh pemerintah," ucapnya. Kemudian 15 persen atau 2 toko telah mengikuti ketentuan harga sesuai standar pemerintah. Sisanya, ada yang menjual di bawah harga standar Rp 14.000 per liter. "Peringkat kedua, ada 2 toko atau sebanyak 15 persen harganya sudah sesuai standar dengan pemerintah. Dan juga, peringkat ketiga, ada 1 toko yang menjual di bawah harga standar atau murah. Jadi dia kemasan pouch premium, harganya lebih rendah dari harga subsidi pemerintah. Ada juga satu toko harga sesuai dan di atas standar, dua pilihan," paparnya. Sebagaimana diketahui, semenjak diputuskannya harga minyak goreng oleh pemerintah sebesar Rp 14.000 per liter sejak 19 Januari 2022, justru kini semakin susah didapatkan di sejumlah peritel modern. Padahal, penetapan harga minyak tersebut untuk menstabilkan harga minyak goreng yang akhir-akhir ini melonjak hingga menyentuh harga Rp 20.000 per liter lantaran kenaikan harga minyak sawit mentah (CPO) yang turut tinggi. Baca juga: Produsen Minyak Goreng Mengaku Dibuat Bingung Aturan Pemerintah Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Sumber:

Kompas.com

Selengkapnya
Survei YLKI: Stok Minyak Goreng Kosong di 17 Toko Wilayah Jakarta dan Bekasi

Industri Minuman, Hasil Tembakau & Bahan Penyegar

Kenaikan Cukai Rokok dan Peta Jalan CHT

Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 17 Februari 2025


Di tengah kebijakan kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau 2022, muncul wacana mengenai penyusunan Peta Jalan Cukai Hasil Tembakau (CHT). Wacana ini digulirkan dalam rangka memberikan kepastian tarif CHT yang hampir tiap tahun berubah-ubah. Tercatat hanya pada tahun 2019 pemerintah tidak merevisi tarif CHT.

Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) ikut mengusulkan kepada pemerintah untuk menyusun peta jalan (roadmap) industri hasil tembakau. Menurut Gappri, Peta Jalan ini akan memberikan kepastian berusaha kepada pelaku industri rokok serta menekan peredaran rokok ilegal di pasaran.

Namun, tentu saja selain aspek keberlangsungan usaha, pemerintah juga akan dihadapkan dengan aspek kesehatan masyarakat sebagai dampak buruk dari konsumsi rokok. Akan terjadi ketimpangan jika Peta Jalan CHT ini hanya mempertimbangkan kepentingan industri rokok dan petani tembakau.

Kebijakan ini akan menuai pro kontra di kalangan masyarakat, khususnya antara pelaku bisnis rokok dan petani tembakau dengan kalangan masyarakat yang peduli akan dampak buruk tembakau bagi Kesehatan.

Keberlangsungan Usaha vs Kesehatan

Peta Jalan CHT akan sulit diterapkan karena sangat kontras dengan Roadmap Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok bagi Kesehatan yang tertuang dalam Permenkes Nomor 40 tahun 2013. Dalam regulasi tersebut pemerintah justru menargetkan penurunan prevalensi perokok pada 2024. Salah satunya melalui peningkatan tarif cukai rokok serta pelarangan iklan dan sponsorship rokok.

Dengan demikian, sekali lagi akan sulit untuk menyelaraskan antara Peta Jalan CHT dengan Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok bagi Kesehatan. Karena kedua roadmap ini akan memiliki target masa depan yang kontradiktif satu sama lain. Apakah mungkin roadmap CHT menjamin tarif cukai yang pro kepada industri rokok sekaligus pro kepada Kesehatan? Rasanya impossible.

Pun seandainya pemerintah mengakomodasi penyusunan roadmap CHT, maka jelas akan ada target kenaikan produksi rokok di dalamnya. Hal ini akan menimbulkan kesan pemerintah melanggar kewajibannya untuk menekan produksi, distribusi, dan konsumsi rokok dalam rangka menjaga Kesehatan masyarakat.

Kecuali memang pemerintah berniat menjadikan industri rokok sebagai sunset industry. Yaitu industri yang perlahan akan hilang di masa mendatang seiring berjalannya waktu. Dalam arti produksi rokok ke depan akan semakin berkurang dan Industri rokok bermetamorfosis ke jenis industri lainnya. Jika kebijakan ini yang diambil maka Peta Jalan CHT akan lebih relevan dengan aspek kesehatan.

Belajar dari Masa Lalu

Secara historis, sebenarnya Peta Jalan Industri Rokok sudah pernah dimuat dalam Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomor 63/M-IND/PER/8/2015. Beleid tersebut mencakup Peta Jalan produksi industri hasil tembakau tahun 2015-2020. Namun roadmap tersebut berujung mangkrak karena kalah dalam gugatan uji materiil di Mahkamah Agung pada tahun 2016.

MA memutuskan Permenperin tersebut bertentangan dengan lima peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sehingga tidak sah atau tidak berlaku secara umum. Lima peraturan tersebut yakni UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 11 Tahun 2005, UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan UU Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

Belajar dari gugatan di masa lalu, menurut hemat saya, sebaiknya pemerintah saat ini lebih fokus kepada efektivitas perubahan tarif CHT ketimbang menyusun Peta Jalan CHT. Penetapan tarif CHT ini hendaknya memprioritaskan aspek Kesehatan, setelah itu barulah ke aspek penerimaan negara, tenaga kerja, petani tembakau/cengkeh dan industri rokok.

Menurut Data WHO, tiga juta orang mengalami kematian dini setiap tahunnya terkait konsumsi tembakau yang menyebabkan penyakit kardiovaskular seperti serangan jantung dan stroke, penyebab kematian utama di dunia. Kematian tersebut termasuk 890.000 para perokok pasif.

Maka sudah selayaknya CHT ini menjalankan fungsinya sebagai Pigouvian Tax, yaitu pajak atas eksternalitas negatif berupa gangguan Kesehatan yang ditimbulkan. Juga sebagai Control Tax, yaitu pajak untuk mengendalikan konsumsi rokok, khususnya bagi anak generasi kita.

Yang menjadi ironi adalah peningkatan tarif CHT pun belum tentu dapat mengendalikan konsumsi rokok. Contoh di tahun 2021 kenaikan tarif CHT rata-rata 12,5% tapi tidak menyebabkan perubahan siginifikan pada harga rokok. Harga rokok masih terjangkau karena kadang dijual di bawah harga eceran yang tertera pada pita cukai.

Selain itu, kalaupun harga rokok naik, para konsumen rokok tetap dapat menjangkaunya dengan kehadiran rokok ilegal. Tentu saja rokok ilegal jauh lebih murah karena biaya produksinya lebih rendah akibat tidak membayar cukai.

Pemerintah juga perlu menjamin agar Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DHBCHT) sebagai bentuk earmarking cukai rokok bisa lebih efektif dan tepat sasaran. Pemanfaatan DHBCHT di daerah harus lebih optimal untuk mengatasi dampak buruk rokok. Berdasarkan PMK nomor 206/PMK.07/2020 proporsi DHBCHT untuk Kesehatan hanya sebesar 25%, lebih rendah dari sebelumnya sebesar 50%.

Perubahan tarif CHT juga hendaknya memperhatikan aspek tenaga kerja. Saya sepakat jika CHT untuk Sigaret Kretek Tangan (SKT) tidak mengalami kenaikan di tahun 2022 karena pertimbangan industri ini padat karya yang menyerap sekitar 158 ribu tenaga kerja.

Dalam aspek petani tembakau/cengkeh pemerintah perlu lebih serius dalam melindungi penyedia bahan baku dalam negeri. Selama ini memang pengenaan tarif CHT terhadap rokok Sigaret Putih Mesin (SPM) lebih tinggi dari rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM).

Hal ini wajar karena SKM lebih banyak menyerap bahan baku lokal ketimbang bahan baku impor seperti SPM. Simplifikasi tarif CHT diperlukan tapi dengan melihat perkembangan pandemi COVID-19 agar tidak terjadi efek ganda antara kenaikan tarif dan simplifikasi.

Jadi, perubahan tarif CHT perlu memperhatikan aspek-aspek tersebut di atas dengan tetap memprioritaskan aspek kesehatan. Kalaupun Pemerintah akhirnya menyusun Peta Jalan CHT maka pilihan yang logis adalah menjadikan Industri rokok sebagai sunset industry.

Sumber Artikel:

detik.news

Selengkapnya
Kenaikan Cukai Rokok dan Peta Jalan CHT

Industri Minuman, Hasil Tembakau & Bahan Penyegar

Prospek Industri Minuman Sari Buah Masih Terbuka Luas

Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 17 Februari 2025


Kementerian Perindustrian terus mendorong pengembangan industri pengolahan buah, termasuk untuk menghasilkan produk minuman. Hal ini sejalan dengan kebijakan hilirisasi industri guna meningkatkan nilai tambah komoditas dalam negeri sekaligus mendukung program substitusi impor.

“Kebijakan hilirisasi yang telah dicanangkan Kemenperin, bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah dan memperkuat struktur industri, menumbuhkan populasi industri, serta menciptakan lapangan kerja dan peluang usaha,” kata Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Putu Juli Ardika di Jakarta, Minggu (26/12).

Dirjen Industri Agro mengemukakan, Indonesia sebagai negara tropis, punya potensi besar dalam upaya pengembangan industri berbahan baku buah seperti minuman sari buah, produk buah dalam kaleng, manisan buah, selai dan lain-lain. “Indonesia merupakan salah satu negara produsen buah segar terbesar di dunia dengan produksi mencapai 24,9 juta ton per tahun. Berdasarkan data world fruit map, Indonesia menempati posisi ke-8 di dunia,” ungkapnya.

 

Dengan produksi buah segar yang besar tersebut, menurut Putu, pengembangan usaha industri pengolahan buah di tanah air masih prospektif ke depannya. Artinya, peluang sektor hulu ini perlu dioptimalkan dengan mendorong tumbuhnya industri antara sampai hilir.

 

“Kebutuhan sektor industri hilir terhadap buah segar masih sangat tinggi, karena permintaan pasar khususnya di domestik, juga masih sangat tinggi. Untuk itu, perlu diperkuat peran industri antara yang menghasilkan konsentrat atau puree buah sebagai penghasil bahan baku untuk industri hilir,” paparnya.

Saat ini, di Indonesia terdapat enam industri pengolahan buah antara skala kecil dan menengah, dengan total kapasitas produksi sebasar 5.500 ton per tahun. Sementara itu, di sektor hilirnya, terdapat 41 perusahaan dengan total kapasitas produksi mencapai 430.000 ton per tahun, yang telah memberikan kontribusi terhadap devisa melalui total nilai ekspornya sebesar USD280 juta.

“Kami sedang fokus untuk menekan impor produk antara, dengan turut memacu kualitas buah segar lokal dan meningkatkan produktivitas sektor hulu serta mendorong peningkatan kapasitas industri antara, termasuk juga terus memberdayakan peran dari koperasi sebagai mitra industri pengolahan buah,” tutur Putu.

Sejumlah langkah strategis yang perlu dijalankan untuk meningkatkan kinerja industri pengolahan buah, antara lain mengelola kestabilan produktivitas dan pasokan bahan baku yang berkualitas, tersedianya infrastruktur daerah penghasil hortikultura agar biaya logistik lebih efisien, serta dibutuhkan infrastruktur pasca-panen seperti cold storage, rumah pengemasan, dan gudang buah segar.

“Kami juga mendorong industri pengolahan buah dapat mengadopsi teknologi digital dalam proses produksinya sehingga dapat meningkatkan kapasitas dan daya saingnya. Hal ini sesuai dengan peta jalan Making Indonesia 4.0, di mana industri makanan dan minuman merupakan salah satu sektor yang mendapatkan prioritas pengembangan dalam implementasi industri 4.0,” jelasnya.

Dirjen Industri Agro optimistis, apabila upaya tersebut berjalan baik, selain bisa meningkatkan kinerja industri pengolahan buah, juga akan mendongkrak pendapatan para petani serta dapat menumbuhkan wirausaha baru. “Apalagi, industri pengolahan buah dan diversifikasi produknya sudah mulai berkembang, dengan penambahan nutrisi dan berbagai vitamin pada produk tersebut,” imbuhnya.

Konsumsi minuman sari buah

Bahkan, seiring meningkatnya penghasilan dan kesadaran masyarakat terhadap gaya hidup sehat, konsumsi produk olahan buah di dalam negeri ikut melonjak, termasuk di masa pandemi saat ini yang juga menjadikan berkah bagi industri minuman sari buah. Hal ini seperti dialami oleh PT Ultrajaya Milk Industry & Trading Co, Tbk.

“Kami mengapresiasi PT Ultrajaya yang selama ini telah memproduksi produk olahan minuman sari buah untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik yang begitu besar. Upaya ini juga membawa dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional,” ungkap Dirjen Industri Agro saat melakukan kunjungan kerja di PT Ultrajaya Milk Industry & Trading Co, Tbk. Bandung, beberapa waktu lalu.

PT Ultrajaya menghasilkan berbagai produk minuman seperti susu cair, sari buah, teh, minuman tradisional, dan minuman kesehatan. Di samping itu, perusahaan juga memproduksi krim kental manis, susu bubuk dan sari buah yang berbahan baku puree dan konsentrat buah-buahan.

Dalam proses produksinya, PT Ultrajaya telah menerapkan teknologi industri 4.0 untuk meningkatkan produktivitas secara lebih efisien dan menjaga higienis produknya. Minuman jus yang dihasilkan, terbuat dari olahan buah segar dan melalui penggunaan teknologi Ultra High Temperature (UHT) dan dikemas secara aseptis. Dengan teknologi UHT, jus sari buah produksi PT Ultrajaya tidak membutuhkan bahan pengawet dan dapat tahan lama.

PT Ultrajaya juga menjadi produsen terbesar susu UHT di Indonesia, dengan pangsa pasar sebesar 39,3% dalam produk-produk susu cair UHT. Selain itu, untuk pangsa pasar produk teh siap diminum sebesar 77,3%. “Produk-produk tersebut telah diekspor ke beberapa negara di Asia, Timur Tengah, Pacific Island, Nigeria, Australia dan Amerika Serikat,” kata Manager Purchasing PT Ultrajaya Milk Industry & Trading Co, Tbk., Reza Karyadi.

PT Ultrajaya sedang melakukan tahap pembangunan pabrik dan gudang yang berlokasi di Bandung. Selain itu, proyek lainnya juga berlangsung di kawasan industri MM2100, Cikarang. Kedua proyek ini merupakan bagian dari upaya PT Ultrajaya untuk meningkatkan kapasitas produksi dan gudang, serta pusat distribusi. Untuk proyek di MM2100 telah dimulai pada tahun ini dan akan berjalan hingga 2023, dengan total nilai investasi sebesar Rp1,2 triliun.

Lebih lanjut, meskipun penjualan pada tahun 2020 terkena dampak berat akibat pandemi Covid-19, PT Ultrajaya telah melihat perkembangan yang positif di tahun 2021 dan percepatan pertumbuhan dalam beberapa bulan terakhir ini.

Berdasarkan laporan keuangan periode semester I 2021, PT Ultrajaya meraih penjualan Rp3,06 triliun, naik 2% dari Rp3,00 triliun di periode yang sama tahun sebelumnya. Kemudian, laba tahun berjalan yang diatribusikan ke pemilik entitas induk tercatat Rp660,29 miliar naik 11,84% dari laba Rp590,36 miliar tahun sebelumnya.

Pada kunjungan kerjanya di Bandung, Dirjen Industri Agro juga meninjau perkebunan buah rakyat yang bermitra dengan CV. Anugrah Paris Van Java. Perusahaan ini akan membantu para petani buah untuk menyalurkan hasil panennya ke industri minuman sari buah. Perusahaan sektor antara ini telah bermitra dengan ratusan petani buah lokal dari wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur. Peningkatan serapan buah segar akan meningkatkan kesejahteraan para petani buah lokal.

Sumber Artikel : Kemenperin.go.id

Selengkapnya
Prospek Industri Minuman Sari Buah Masih Terbuka Luas

Perwilayahan Industri

Mengenal Sejarah Perkembangan PT Intiland

Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 17 Februari 2025


PT Intiland Development Tbk adalah sebuah perusahaan properti yang berkantor pusat di Jakarta. Hingga akhir tahun 2020, perusahaan ini memiliki 34 properti yang tersebar di Pulau Jawa.

Sejarah

Perusahaan ini didirikan oleh Hendro Santoso Gondokusumo pada tahun 1983 dengan nama "PT Wisma Dharmala Sakti". Sebelum mendirikan perusahaan ini, pada dekade 1970-an, Hendro Gondokusumo telah mengembangkan Perumahan Taman Cilandak di Jakarta Selatan dan Kota Satelit Darmo di Surabaya. Proyek pertama perusahaan ini adalah pengembangan Perumahan Taman Harapan Indah di Jakarta. Pada bulan Januari 1986, perusahaan ini menyelesaikan pembangunan Intiland Tower di Jakarta.

Pada bulan Januari 1989, perusahaan ini mulai mengembangkan perumahan pertama di Asia Tenggara yang dibangun di atas lahan hasil reklamasi, yakni Perumahan Pantai Mutiara di Pluit, Jakarta Utara. Perusahaan ini juga mulai mengembangkan Perumahan Taman Semanan Indah di Jakarta. Pada bulan Januari 1990, perusahaan ini mulai mengembangkan Ngoro Industrial Park di Mojokerto. Pada bulan Juni 1991, perusahaan ini mengubah namanya menjadi "PT Dharmala Intiland", dan pada tanggal 1 September 1991, perusahaan ini resmi melantai di Bursa Efek Jakarta.

Pada bulan Januari 1992, perusahaan ini mulai mengembangkan perumahan bertema golf pertama di Surabaya, yakni Graha Famili. Pada bulan Januari 1997, perusahaan ini menyelesaikan pembangunan Intiland Tower Surabaya. Pada bulan Januari 1998, perusahaan ini menyelesaikan pembangunan Kondominium Kintamani, salah satu dari hanya sedikit proyek yang berhasil diserahkan kepada para pembelinya selama krisis finansial Asia 1997 di Indonesia. Pada tahun 2007, perusahaan ini melakukan restrukturisasi dan bertransformasi menjadi "PT Intiland Development Tbk".

Pada bulan Februari 2010, perusahaan ini meluncurkan Kondominium 1Park Residences di Jakarta, dan pada bulan Juni 2010, perusahaan ini mulai mengembangkan Graha Natura di Surabaya. Pada bulan Agustus 2010, melalui PT Intiwhiz International, perusahaan ini berhasil menyelesaikan pembangunan Whiz Hotel Yogyakarta. Pada bulan Oktober 2011, perusahaan ini mulai mengembangkan Perumahan Serenia Hills di Jakarta Selatan dan Aeropolis di dekat Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Pada bulan November 2011, perusahaan ini meluncurkan kawasan bisnis terpadu South Quarter di Jakarta Selatan. Pada bulan Januari 2012, perusahaan ini meresmikan National Hospital Surabaya, dan pada bulan September 2012, perusahaan ini mulai mengembangkan Kondominium Sumatra36 di Surabaya.

Pada bulan April 2013, perusahaan ini mulai membangun Kondominium 1Park Avenue di Jakarta Selatan dan meluncurkan kawasan terpadu Praxis di Surabaya. Pada bulan Juni 2014, perusahaan ini mendivestasi 60% saham PT Intiland Infinita dan mulai membangun Regatta tahap II di Jakarta. Pada bulan Oktober 2014, perusahaan ini mulai mengembangkan Spazio Tower di Surabaya. Pada bulan Desember 2014, perusahaan ini berhasil menyelesaikan pembangunan Kondominium Sumatra36 di Surabaya. Pada bulan Januari 2015, perusahaan ini menyelesaikan pembangunan South Quarter di Jakarta, dan berhasil meraih sertifikasi Gold berdasarkan penilaian desain dari Green Building Council Indonesia (GBCI). Pada bulan Juli 2015, perusahaan ini meluncurkan Kondominium Graha Golf di kompleks Graha Famili di Surabaya. Pada bulan Januari 2016, perusahaan ini meluncurkan hunian vertikal The Rosebay di Surabaya, dan pada bulan Mei 2016, perusahaan ini membuka South Quarter DOME di Jakarta.

Pada bulan September 2016, perusahaan ini mulai mengembangkan Graha Natura tahap II di Surabaya. Bersama GIC asal Singapura, perusahaan ini mulai mengembangkan South Quarter tahap II pada bulan Maret 2017 dan mulai mengembangkan Fifty Seven Promenade pada bulan Agustus 2017. Pada bulan Januari 2018, melalui kolaborasi dengan pengembang lokal, perusahaan ini meletakkan batu pertama pembangunan perumahan rakyat di Pacitan. Pada bulan November 2018, perusahaan ini meluncurkan apartemen SQ Res yang merupakan pengembangan tahap II dari South Quarter di Jakarta Selatan. Pada bulan April 2019, perusahaan ini menjalin kerja sama strategis untuk mengembangkan Poins.

Sumber Artikel : Wikipedia

Selengkapnya
Mengenal Sejarah Perkembangan PT Intiland

Perwilayahan Industri

Surabaya Industrial Estate Rungkut

Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 17 Februari 2025


PT Surabaya Industrial Estate Rungkut atau biasa disingkat menjadi SIER, adalah sebuah perusahaan yang mengelola kawasan industri seluas 332 hektar di perbatasan Surabaya dan Sidoarjo, serta seluas 563 hektar di Kabupaten Pasuruan. Hingga tahun 2022, Danareksa memegang 50% saham perusahaan ini, sementara Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Kota Surabaya masing-masing memegang 25% sisanya.

Sejarah

Perusahaan ini didirikan oleh Pemerintah Indonesia, Pemerintah Provinsi Jawa Timur, dan Pemerintah Kota Surabaya pada tahun 1974. Perusahaan ini kemudian membebaskan lahan seluas ± 245 hektar di Rungkut, Surabaya (kini terbagi menjadi Rungkut, Tenggilis Mejoyo, dan Gunung Anyar) untuk dijadikan kawasan industri. Lokasi tersebut dinilai strategis, karena dekat dengan jalan tol, jalan nasional, pelabuhan, dan bandara. Pada tahun 1980, perusahaan ini mulai membangun Instalasi

Pengolahan Air Limbah (IPAL) untuk menetralisasi limbah dari pabrik-pabrik di kawasan industri tersebut sebelum dialirkan ke Sungai Tambak Oso. IPAL tersebut pun mulai dioperasikan setahun kemudian. Pada tahun 1985, perusahaan ini membebaskan lahan seluas ± 87 hektar di Berbek, Sidoarjo, dan kemudian disambungkan dengan kawasan industri yang telah ada di Rungkut.

Pada tahun 1989, perusahaan ini membebaskan lahan seluas ± 497 hektar di Rembang, Pasuruan untuk dijadikan kawasan industri dengan nama Pasuruan Industrial Estate Rembang (PIER). Pada tahun 1995, perusahaan ini mulai membangun IPAL di PIER. PIER juga dilengkapi dengan kawasan berikat seluas 50 hektar. Perusahaan ini kemudian mulai menyewakan Bangunan Pabrik Siap Pakai (BPSP), pergudangan, perkantoran, dan Sarana Usaha Industri Kecil (SUIK). Pada tahun 2000, perusahaan ini mendirikan anak usaha bernama PT SIER Puspa Utama untuk berbisnis di bidang konstruksi, pengadaan, dan perdagangan.

Pada tahun 2012, perusahaan ini menambah kapasitas penampungan limbah industri di PIER, sehingga menjadikan IPAL di PIER sebagai yang terbesar di Jawa Timur. Pada tahun 2013, perusahaan ini membebaskan lahan seluas ± 63 hektar di Rembang, untuk memperluas PIER. Pada tanggal 24 Januari 2022, pemerintah Indonesia resmi menyerahkan 50% saham perusahaan ini ke Danareksa, sebagai bagian dari upaya untuk membentuk holding BUMN yang bergerak di lintas sektor.

Kawasan industri

Pintu gerbang masuk kawasan industri PIER

Surabaya Industrial Estate Rungkut, seluas 245 hektar, terbagi menjadi 309 lokasi, dan telah ditempati oleh 267 perusahaan, yakni 21 perusahaan PMA dan 246 perusahaan PMDN, yang mempekerjakan 45.953 orang.

Sidoarjo Industrial Estate Berbek, seluas 87 Ha, terbagi menjadi 129 lokasi, dan telah ditempati oleh 103 perusahaan, yakni 14 perusahaan PMA dan 89 perusahan PMDN, yang mempekerjakan 19.183 orang.

Pasuruan Industrial Estate Rembang, seluas 563 hektar, terbagi menjadi 164 lokasi, dan telah ditempati oleh 87 perusahaan, yakni 45 perusahaan PMA dan 42 perusahaan PMDN, yang mempekerjakan 23.199 orang.

Sumber Artikel :

Wikipedia

Selengkapnya
Surabaya Industrial Estate Rungkut

Perwilayahan Industri

Jakarta Industrial Estate Pulogadung

Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 17 Februari 2025


PT Jakarta Industrial Estate Pulogadung atau biasa disingkat menjadi JIEP, adalah sebuah perusahaan yang mengelola kawasan industri seluas 500 hektar di Pulogadung, Jakarta Timur. Hingga tahun 2022, Danareksa dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta masing-masing memegang 50% saham perusahaan ini.

Sejarah

Perusahaan ini memulai sejarahnya pada tahun 1969 ketika Surat Keputusan Gubernur Propinsi KDKI Jakarta nomor Ib.3/2/35/1969 menetapkan lahan seluas 500 hektar di Pulogadung sebagai sebuah kawasan industri dengan nama "Kawasan Industri Pulogadung". Kawasan industri pertama di Indonesia tersebut awalnya dikelola oleh Proyek Industrial Estate Pulogadung milik Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Dengan makin meningkatnya arus investasi di DKI Jakarta, maka pada tanggal 26 Juni 1973, berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 1973 dan Surat Gubernur Propinsi KDKI Jakarta nomor D.V-a.3/2/36/73, dibentuklah perusahaan ini untuk menggantikan Proyek Industrial Estate Pulogadung. Pada tanggal 24 Januari 2022, pemerintah Indonesia resmi menyerahkan 50% saham perusahaan ini ke Danareksa, sebagai bagian dari upaya untuk membentuk holding BUMN yang bergerak di lintas sektor.

Sumber Artikel : Wikipedia.org

Selengkapnya
Jakarta Industrial Estate Pulogadung
« First Previous page 812 of 1.121 Next Last »