Ilmu Data

Ketika Pengambilan Keputusan Berbasis Data Mengarah pada Kesalahan

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 06 November 2025


Era digital telah membawa organisasi ke dalam dunia yang sarat dengan data. Hampir setiap keputusan bisnis kini disertai dengan laporan, grafik, atau analisis statistik yang tampak objektif. Namun di balik optimisme itu, banyak organisasi justru terperangkap dalam ilusi bahwa data selalu benar. Padahal, data hanyalah alat; interpretasi manusialah yang menentukan apakah ia akan membawa organisasi menuju keputusan yang tepat atau menyesatkan.

Dalam konteks ini, pendekatan data-driven decision-making (DDDM) sering kali disalahartikan. Banyak pemimpin organisasi cenderung mengambil dua posisi ekstrem: menerima hasil analisis tanpa kritik, atau menolaknya karena dianggap tidak relevan. Keduanya sama-sama berbahaya. Artikel ini menyoroti bagaimana kesalahan konseptual dan bias manusia dapat menggagalkan niat baik penggunaan data, serta bagaimana organisasi dapat memperkuat kemampuan analitisnya melalui budaya berpikir kritis dan psikologis yang aman.

 

Kesalahan Umum dalam Pengambilan Keputusan Berbasis Data

1. Mengacaukan Korelasi dengan Kausalitas

Salah satu kesalahan paling umum adalah menganggap hubungan korelasi sebagai hubungan sebab-akibat. Kasus eBay menjadi contoh klasik. Selama bertahun-tahun, perusahaan ini menganggap iklan digital di mesin pencari berhasil meningkatkan penjualan. Namun setelah dilakukan eksperimen ilmiah oleh tim ekonom dari University of California, ditemukan bahwa peningkatan penjualan tidak disebabkan oleh iklan, melainkan karena iklan tersebut ditayangkan di pasar yang memang sudah memiliki permintaan tinggi.
Pelajaran utamanya jelas: data tanpa pemahaman konteks dapat menipu, bahkan bagi perusahaan teknologi besar sekalipun.

Untuk mencegah kesalahan ini, pemimpin organisasi perlu bertanya:

  • Apakah analisis ini berbasis eksperimen atau sekadar observasi?

  • Apakah ada faktor lain yang memengaruhi hasil (confounder)?

  • Seberapa jauh kita bisa memastikan hubungan sebab-akibatnya?

Pertanyaan-pertanyaan sederhana tersebut dapat menyelamatkan organisasi dari keputusan yang mahal dan tidak berdasar.

2. Mengabaikan Ukuran Sampel dan Keandalan Hasil

Banyak keputusan dibuat tanpa mempertimbangkan ukuran sampel dan tingkat kepercayaan (confidence interval) dari data yang digunakan. Contohnya, hasil survei dengan 50 responden sering diperlakukan sama pentingnya dengan riset yang melibatkan ribuan orang. Padahal, semakin kecil sampel, semakin besar fluktuasi hasil yang mungkin terjadi. Kesalahan ini dapat menyesatkan, terutama dalam proyek yang menggunakan data pelanggan atau uji coba produk.

Pemimpin yang bijak tidak hanya menanyakan apa hasilnya, tetapi juga seberapa pasti hasil itu benar. Menilai kisaran ketidakpastian (uncertainty) menjadi bagian penting dalam proses pengambilan keputusan berbasis data yang matang.

3. Mengukur Hal yang Salah

Prinsip klasik dari Kaplan dan Norton—“what you measure is what you get”—masih sangat relevan. Sering kali organisasi mengukur indikator yang mudah dikalkulasi tetapi tidak benar-benar mencerminkan tujuan strategis. Sebagai contoh, perusahaan yang menilai efektivitas pelatihan hanya dari tingkat kehadiran peserta akan kehilangan gambaran tentang peningkatan kompetensi yang sebenarnya.

Dalam konteks analisis data, banyak perusahaan juga terjebak dalam metrik jangka pendek yang tampak positif, tetapi mengabaikan dampak jangka panjang. Amazon menjadi salah satu contoh pengecualian: mereka berinvestasi besar dalam eksperimen yang menilai efek jangka panjang dari kebijakan produk dan pelayanan, bukan sekadar hasil instan.

4. Salah Menilai Generalisasi Hasil

Banyak organisasi tergesa-gesa mengadopsi hasil studi dari konteks lain tanpa mempertimbangkan validitas eksternal—sejauh mana hasil riset dapat diterapkan pada kondisi berbeda. Misalnya, hasil studi tentang produktivitas di industri logistik Amerika belum tentu berlaku di sektor ritel Indonesia yang memiliki budaya kerja, infrastruktur, dan regulasi berbeda.

Kesalahan semacam ini sering diperparah oleh kecenderungan confirmation bias—kecenderungan untuk mempercayai data yang mendukung pandangan kita, dan menolak yang bertentangan. Pemimpin yang cerdas harus menyeimbangkan bukti empiris dengan pemahaman kontekstual, bukan sekadar menyalin “praktik terbaik” tanpa penyesuaian.

5. Terlalu Bergantung pada Satu Hasil Tunggal

Tidak ada data yang sempurna. Oleh karena itu, mengambil keputusan hanya berdasarkan satu studi atau laporan adalah bentuk kepercayaan buta yang berbahaya. Sebaliknya, organisasi perlu mengadopsi evidence triangulation—membandingkan berbagai sumber data, melakukan verifikasi silang, atau bahkan mengadakan eksperimen sendiri. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan ketepatan keputusan, tetapi juga memperkuat kapasitas organisasi dalam membangun pengetahuan berbasis bukti (evidence-based learning organization).

 

Membangun Budaya Analisis yang Aman dan Kritis

Data yang baik tidak akan berarti apa-apa tanpa lingkungan organisasi yang memungkinkan diskusi terbuka. Konsep psychological safety yang diperkenalkan Amy Edmondson menegaskan bahwa karyawan harus merasa aman untuk menyampaikan pandangan, kritik, atau keraguan terhadap data tanpa takut disalahkan.

Kegagalan besar di industri teknologi seperti kasus Facebook pada 2014—ketika eksperimen sosial perusahaan itu menuai kecaman publik dan menghentikan riset internal—menunjukkan bahaya organisasi yang kehilangan budaya diskusi kritis.
Ketika orang takut untuk mempertanyakan data, keputusan yang salah menjadi tak terhindarkan.

Oleh karena itu, pemimpin perlu menciptakan suasana di mana pertanyaan seperti “Apakah data ini benar-benar relevan?” atau “Apakah ada risiko bias di sini?” dianggap sebagai bentuk tanggung jawab profesional, bukan pembangkangan.

 

Penutup

Pengambilan keputusan berbasis data bukanlah tujuan akhir, melainkan proses pembelajaran berkelanjutan. Data harus diperlakukan dengan skeptisisme yang sehat—tidak ditelan mentah, tidak pula diabaikan. Pemimpin organisasi yang efektif adalah mereka yang mampu menyeimbangkan ketepatan analisis, konteks bisnis, dan keberanian untuk mempertanyakan bukti.

Dengan budaya analisis yang terbuka, sistematis, dan reflektif, organisasi dapat mengubah data menjadi sumber kebijaksanaan—bukan jebakan kesalahan.

 

Daftar Pustaka

Luca, M., & Edmondson, A. C. (2024). Where data-driven decision-making can go wrong. Harvard Business Review, 102(5), 203–218.

Kahneman, D., & Tversky, A. (1974). Judgment under uncertainty: Heuristics and biases. Science, 185(4157), 1124–1131.

Kaplan, R. S., & Norton, D. P. (1992). The balanced scorecard—Measures that drive performance. Harvard Business Review, 70(1), 71–79.

Edmondson, A. C. (2019). The fearless organization: Creating psychological safety in the workplace for learning, innovation, and growth. Hoboken, NJ: Wiley.

Brynjolfsson, E., & McElheran, K. (2016). Data in action: Data-driven decision making in U.S. manufacturing. Harvard Business School Working Paper No. 16-089.

Selengkapnya
Ketika Pengambilan Keputusan Berbasis Data Mengarah pada Kesalahan

Kehidupan Kota

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Permukiman Hijau: Mengapa Sepertiga Lahan Terbuka Jadi Kunci Ketahanan Kota?

Dipublikasikan oleh Hansel pada 06 November 2025


Narasi Krisis Ruang Hidup dan Urgensi Keberlanjutan

Manusia, sebagai komponen fundamental dari ekosistem alam, memiliki ketergantungan yang sangat mendasar pada lingkungan tempat tinggalnya.1 Namun, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang pesat sering kali mendorong manusia untuk merekayasa dan memanfaatkan sumber daya alam secara maksimal demi kesejahteraannya, terkadang tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang terhadap daya dukung lingkungan itu sendiri.1 Permukiman, yang didefinisikan sebagai area tanah yang digunakan sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan pendukung perikehidupan, menjadi arena utama di mana ketegangan antara pembangunan dan ekologi ini dimainkan.1

Laporan ini mengkaji konsep pembangunan permukiman yang tidak hanya sekadar menyediakan atap, tetapi juga berwawasan lingkungan. Pembangunan Berwawasan Lingkungan (PBL), atau dikenal sebagai pembangunan berkelanjutan (sustainable development), didefinisikan sebagai upaya sadar dan berencana dalam menggunakan dan mengelola sumber daya secara bijaksana untuk meningkatkan mutu hidup secara berkesinambungan.1 Ini adalah sebuah komitmen untuk memastikan bahwa sumber daya alam yang vital, seperti air dan udara, tetap lestari dan memadai, sehingga dapat mendukung kehidupan yang terus berkembang dan berkualitas.1

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia

Urgensi PBL di Indonesia menjadi semakin penting mengingat dinamika masyarakat dan kebijakan pemerintah yang kompleks. Persoalan perumahan dan permukiman di negeri ini tidak dapat dipandang hanya sebagai masalah fungsional atau fisik semata, melainkan sebagai isu multidimensi yang berkaitan erat dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, teknologi, ekologi, dan bahkan politik.1

Secara historis, penyelenggaraan perumahan di Indonesia telah terikat pada agenda global, khususnya Agenda 21 tentang pembangunan berkelanjutan dan Agenda Habitat yang dideklarasikan dalam "The United Nation Conference on Environment and Development di Rio de Janeiro 1992".1 Pembangunan permukiman modern idealnya diorganisasikan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas hidup.1 Apabila kegagalan terus terjadi, terutama dalam memahami permukiman sebagai pusat pendidikan keluarga, persemaian budaya, dan peningkatan kualitas generasi mendatang, maka cita-cita pembangunan berkelanjutan akan mustahil terwujud.1 Pembangunan harus bergerak dari fokus fisik semata ke pengintegrasian nilai-nilai sosial dan ekologis yang lebih kompleks.

 

Tiga Jurang Masalah: Mendekonstruksi Krisis Perumahan Nasional

Analisis mendalam terhadap kondisi permukiman di Indonesia mengungkap adanya tiga jurang masalah utama yang menghambat terwujudnya visi permukiman berkelanjutan. Temuan ini (yang didasarkan pada kajian Supriyanto, 2004, yang dikutip peneliti) menunjukkan bahwa krisis ini berakar pada kegagalan sistemik, bukan hanya defisit pembangunan fisik.

Krisis Tata Kelola: Sistem yang Belum Melembaga

Permasalahan pertama terletak pada lemahnya sistem penyelenggaraan perumahan dan permukiman yang belum melembaga dengan mantap.1 Kelemahan ini mencakup hampir seluruh tingkatan tata kelola, dari segi sumber daya manusia (SDM) yang kurang memadai, organisasi, tatalaksana, hingga dukungan prasarana dan sarananya.1

Implikasi dari krisis tata kelola ini terasa langsung pada masyarakat rentan. Akses terhadap hak atas tanah untuk perumahan masih belum mantap, khususnya bagi kelompok masyarakat miskin dan berpendapatan rendah.1 Lebih jauh lagi, pasar perumahan itu sendiri belum efisien. Adanya intervensi yang mengganggu penyediaan perumahan menyebabkan distorsi permintaan.1 Jika sistem tatalaksana dan SDM di pemerintahan lemah, maka intervensi dan distorsi pasar semakin mudah terjadi, yang pada akhirnya secara struktural memperparah kegagalan untuk menjamin hak atas tanah bagi kaum marjinal.

Defisit Pembiayaan dan Kesenjangan Sosial

Masalah kedua adalah rendahnya tingkat pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau. Tingginya kebutuhan perumahan yang layak tidak diimbangi oleh kemampuan penyediaan yang seimbang, baik oleh masyarakat, dunia usaha, maupun pemerintah.1

Faktor yang paling terdampak adalah masyarakat miskin yang berpenghasilan rendah. Mereka menghadapi ketidakmampuan untuk mendapatkan rumah yang tidak hanya terjangkau, tetapi juga memenuhi standar lingkungan permukiman yang responsif.1 Masalah ini diperparah oleh kegagalan sistem pendanaan, di mana belum tersedianya dana jangka panjang bagi pembiayaan perumahan menyebabkan terjadinya mismatch pendanaan yang substansial dalam proses pengadaan perumahan.1

Kualitas Lingkungan yang Terkikis dan Kehilangan Jati Diri

Kualitas lingkungan permukiman secara fungsional telah menurun drastis. Banyak kawasan perumahan dan permukiman ditemukan telah melebihi daya tampung dan daya dukung lingkungannya.1 Indikator paling dramatis dari krisis daya dukung ini adalah peningkatan permukiman kumuh per tahunnya.1 Permukiman kumuh bukan hanya masalah sosial-ekonomi, tetapi merupakan manifestasi fisik dari kegagalan sistem ekologi. Ketika sistem gagal menyediakan hunian yang layak, masyarakat terpaksa menempati kawasan yang secara ekologis rapuh, mempercepat penurunan kualitas fisik kawasan.

Selain itu, secara visual, permukiman menunjukkan kecenderungan yang kurang positif, bergeser menjadi lebih tidak teratur, kurang berjati diri, dan mengabaikan nilai-nilai kontekstual sesuai sosial budaya setempat serta nilai-nilai arsitektural yang baik.1

 

Formula Emas Kelayakan Huni: Keseimbangan Ekologi dan Aksesibilitas

Untuk mengatasi krisis multidimensi ini, permukiman harus memenuhi sejumlah persyaratan mutlak. Secara umum, syarat-syarat permukiman yang berwawasan lingkungan meliputi bebas dari bencana banjir, jauh dari sumber pencemar dan kebisingan, kondisi lahan yang stabil, tersedianya sumber air bersih yang cukup, serta mempunyai aksesibilitas yang baik.1

Namun, kunci keberhasilan ekologis terletak pada satu persyaratan kuantitatif yang jarang ditekankan: ketersediaan lahan hijau terbuka yang cukup.

Kunci Ekologis: Aturan Sepertiga Lahan Hijau

Dalam panduan perencanaan perumahan dan permukiman, salah satu faktor penentu krusial yang diamanatkan adalah bahwa seperti tiga dari luas lahan harus terbuka hijau.1

Proporsi sepertiga, atau setara dengan 33%, dari luas lahan untuk ruang terbuka hijau ini bukan sekadar tuntutan estetika, melainkan merupakan mekanisme pertahanan hidrologis yang fundamental. Penerapan aturan 33% ini dapat dipandang sebagai lompatan efisiensi 33% dalam ketahanan ekologis kawasan. Lompatan ini seolah-olah menaikkan kemampuan tanah untuk menyerap air dan memoderasi suhu lokal dari 20% ke 53% hanya dengan satu kebijakan tunggal.

Tanpa proporsi ini, pembangunan fisik secara alami mengintervensi proses ekologi. Curahan air hujan dibuat tidak dapat menyerap ke dalam tanah karena tertutup bangunan atau pengerasan lahan. Hal ini meningkatkan air larian yang berpotensi menyebabkan banjir semakin besar dan menghilangkan sumber air bersih di daerah lain.1 Aturan 33% ini merupakan strategi mitigasi langsung yang menjaga keanekaragaman hayati, mengurangi suhu udara lokal, dan memelihara proses ekologi mendasar, sejalan dengan saran untuk bekerja sama dengan ekosistem yang ada.1

 

Ujian Lapangan: Menavigasi Konflik Tanah dan Keadilan Sosial

Visi permukiman yang berkelanjutan diuji paling keras pada tahap implementasi fisik, di mana konflik antara kepentingan ekonomi pengembang dan hak-hak sosial masyarakat sering muncul ke permukaan.

Arena Konflik: Dramatika Pembebasan Lahan

Proses pembebasan lahan merupakan persoalan yang sangat penting untuk dilakukan dengan benar, sebab hal ini sering memicu permasalahan sosial dengan masyarakat setempat.1 Konflik sosial sering terjadi, terutama jika pengembang dan pemilik lahan berbeda pendapat mengenai harga, atau apabila pengguna/pemilik tanah tidak mau melepaskan tanahnya.1

Jika pengembang hanya mengejar efisiensi dan keuntungan semata, potensi mengabaikan keadilan sosial sangat besar. Pengembang disarankan untuk menawarkan kerja sama, seperti konsolidasi lahan atau menjadikan masyarakat setempat sebagai pemegang saham pada proyek tersebut.1 Apabila solusi ini diterapkan, pengembang dapat beralih dari sekadar entitas bisnis menjadi agen yang menciptakan keadilan dan pemerataan dalam pembangunan, yang merupakan prasyarat untuk kinerja ekonomi yang berkelanjutan di lingkup yang lebih luas.

Pengabaian Ekologi di Tahap Konstruksi

Rancangan yang berwawasan lingkungan hanya menjadi awal yang baik; implementasinya yang menentukan tercapainya tujuan. Perubahan ekologis baru terjadi pada tahap konstruksi, yang melibatkan perubahan rona awal kawasan, penggalian, penimbunan, serta hilangnya flora dan fauna.1

Salah satu dampak ekologis paling berbahaya adalah tanah yang dibiarkan terbuka tanpa tanaman. Kondisi ini mudah menimbulkan erosi yang dapat menyebabkan pendangkalan sungai dan banjir ke daerah yang lebih rendah.1 Oleh karena itu, pengawasan dan pemantauan ketat sangat diperlukan agar rencana PBL tidak diubah ke arah sebaliknya demi mengejar efisiensi dan keuntungan.1

Selain itu, pembangunan permukiman baru, khususnya bagi masyarakat berpendapatan menengah dan tinggi, harus memperhitungkan dampak bangkitan kendaraan yang signifikan.1 Jika bangkitan kendaraan terlalu besar bagi kapasitas jalan yang tersedia, kemacetan yang timbul akan menghasilkan pencemaran dan mengurangi kualitas hidup. Penggunaan pola kawasan campuran dapat menjadi solusi, memungkinkan jarak dari tempat tinggal ke tempat kerja atau kebutuhan sehari-hari ditempuh dengan kendaraan tidak bermotor.1

 

Merancang Bukan Hanya Gedung: Empat Pilar Kinerja Keberlanjutan

Perencanaan tapak merupakan proses terpadu yang menyangkut kawasan secara keseluruhan. Untuk mencapai keberlanjutan, perancang harus mempertimbangkan empat standar kinerja yang diusulkan oleh Handler (1970). Penyelenggaraan permukiman harus mengutamakan pencapaian tujuan pembangunan lingkungan yang responsif, sambil mengakomodasi pembangunan sosial dan ekonomi.1

Kinerja Teknik dan Lingkungan: Utilitas Fungsional vs. Dampak Eksternal

Kinerja ini terbagi menjadi internal dan eksternal. Secara internal, kinerja teknik mengacu pada seefisien apa komponen bangunan membangun fungsi yang harus dipikulnya, seperti kinerja sistem jejaring material, ukuran, ventilasi, dan ketahanan bangunan untuk keselamatan manusia.1

Secara eksternal, kinerja ini memperlihatkan bagaimana unsur buatan memperlakukan alam. Fokus utamanya adalah mempertimbangkan dampak luasan tertutup lahan kepada alam, terutama yang berkaitan dengan larian air.1 Kinerja eksternal juga mencerminkan hubungan antara lingkungan buatan yang dibangun dengan lingkungan buatan di sekelilingnya.1

Kinerja Ekonomi: Ketegangan Profit dan Pemerataan

Kinerja ekonomi berkaitan dengan masalah alokasi sumber daya. Secara internal, kriteria ini adalah kemampuan untuk menghasilkan keuntungan bagi pengembang dan investor, serta efisiensi penggunaan sumber daya dalam proses pembangunan.1

Namun, dalam permukiman berwawasan lingkungan, kinerja ekonomi harus dilihat dari lingkup yang lebih luas. Secara eksternal, ini mencakup pemerataan pembangunan (alokasi yang sama bagi setiap wilayah) dan pemerataan kesempatan yang sama bagi semua kelompok masyarakat untuk mendapatkan akses kepada sumber daya alam, yaitu tanah, air, dan udara yang bersih.1 Jika sumber daya ini hanya dikuasai oleh sebagian kecil masyarakat, potensi permasalahan di kemudian hari akan sangat besar.1

Kinerja Manusia dan Simbolis: Kegagalan Sosial yang Paling Mahal

Kinerja Manusia (Sosial) menggambarkan keefektifan penghuni secara fisik, mental, dan perseptual—mencakup kesehatan, kesejahteraan, dan efektivitas tugas (internal).1 Secara eksternal, kinerja ini menyangkut tujuan-tujuan sosial yang ingin dicapai, seperti hubungan antar masyarakat. Lingkungan harus mampu mendukung kesehatan sosial, budaya, dan politik penghuninya.1 Kinerja Simbolis, sementara itu, berkaitan dengan estetika dan memberikan identitas yang dikehendaki oleh penghuninya.1

Perancang cenderung lebih mudah memasukkan gagasan yang berkaitan dengan kinerja teknik/lingkungan dan kinerja ekonomi (internal), sebab keduanya berhubungan langsung dengan efisiensi pengembang dan daya jual properti.1 Sebaliknya, kinerja manusia (sosial) dan simbolis sering kali diabaikan karena bersifat luas, sulit diukur, dan tidak memberikan insentif ekonomi langsung bagi pengembang yang berorientasi profit.1

Fenomena ini memicu keputusan perancangan yang berorientasi ke dalam, seperti penggunaan benteng (pagar) dan portal-portal untuk mengamankan lingkungan. Cara ini secara jelas membentuk segregasi antar kawasan dan menghambat mobilitas penduduk.1 Segregasi ini bertentangan dengan teori konsumsi kolektif. Masyarakat berpenghasilan rendah berhak memperoleh pelayanan publik (sarana bermain, lapangan olahraga) melalui prinsip subsidi silang. Ketika kawasan elit mengamankan konsumsi kolektif untuk dirinya sendiri melalui pagar pembatas, kawasan permukiman sederhana menjadi "miskin oleh pelayanan," yang merupakan kegagalan krusial dalam memenuhi Kinerja Manusia/Sosial eksternal.1

 

Dampak Jangka Panjang dan Tantangan Komunitas

Tujuan sosio-ekonomi pembangunan baru akan tampak jelas bilamana permukiman sudah dihuni.1 Terwujudnya komunitas yang mampu memelihara dan mengembangkan kehidupan sosial dan fisik secara internal maupun dengan lingkungan sekitarnya adalah penentu paling pasti akan terwujudnya cita-cita pembangunan berkelanjutan.1

Proses Penghunian dan Kematangan Komunitas

Proses penghunian sering kali tidak segera berlangsung. Di permukiman rumah sederhana, tenggang waktu untuk mewujudkan permukiman berwawasan lingkungan cenderung lebih lama karena banyaknya pembatas yang dihadapi penghuni.1 Sebaliknya, di permukiman kelas menengah ke atas, proses ini relatif lebih cepat karena semua fasilitas sudah disiapkan oleh pengembang.1 Kematangan komunitas ini penting, sebab kematian proses ekologi (seperti tanah yang tererosi karena pekarangan dibiarkan) pada tahap awal penghunian sangat merugikan.1

Manajemen Sampah dan Tanggung Jawab 4R

Sampah (waste) merupakan masalah yang sangat krusial, baik di perkotaan maupun pedesaan, yang secara langsung mengganggu kesehatan dan kenyamanan.1 Keberhasilan pengelolaan sampah sangat ditentukan oleh perilaku penghuninya sendiri. Konsep permukiman berwawasan lingkungan menganjurkan pengurangan sampah dan promosi pengelolaan 4R: Renewal, Reuse, Recycling, dan Regeneration.1

Dengan bertambahnya penduduk dan perkembangan permukiman di perkotaan, volume sampah semakin sulit dikendalikan. Oleh karena itu, usaha kreatif dari masyarakat, seperti pendaur-ulangan dan pembuatan kompos, serta partisipasi rumah tangga dalam memisahkan sampah organik dan anorganik, menjadi kunci untuk membantu mengatasi permasalahan ini.1

Dilema Pemeliharaan Ruang Publik

Meskipun komunitas diharapkan menjadi matang, pemeliharaan lingkungan di ruang-ruang terbuka untuk kepentingan umum—seperti jalan-jalan utama, pedestrian, taman, dan jalur hijau—sering menjadi permasalahan bagi penghuni, pengembang, dan pemerintah setempat.1 Kontradiksi muncul karena daerah yang diidentifikasi sebagai milik penghuni (misalnya, penggalan jalan dan saluran air hujan di muka rumah) biasanya dipelihara oleh penghuni masing-masing. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan tanggung jawab kolektif yang harus diatasi untuk mewujudkan kelaikan lingkungan yang menyeluruh, bukan hanya kelaikan huni.1

 

Kesimpulan: Jalan Menuju Pembangunan yang Berkeadilan

Pembangunan permukiman berwawasan lingkungan adalah trias politika yang kompleks: menjaga integritas ekologis, memastikan keadilan sosial, dan mencapai efisiensi ekonomi yang berkelanjutan. Permasalahan utama permukiman di Indonesia saat ini berakar pada kelemahan struktural (tata kelola yang tidak melembaga) dan kegagalan pasar (mismatch pendanaan dan intervensi). Secara fisik, masalah ini termanifestasi dalam pengabaian daya dukung lingkungan, yang salah satunya dapat diatasi dengan mandat kuantitatif krusial, yaitu penyediaan 33% lahan terbuka hijau untuk menjaga siklus hidrologis dan mencegah bencana.

Kritik realistis menunjukkan bahwa implementasi sering terbentur pada orientasi profit pengembang yang mengutamakan kinerja teknik dan ekonomi internal, sementara mengabaikan kinerja sosial dan simbolis. Kegagalan ini terlihat jelas dalam praktik segregasi kawasan, yang merusak prinsip keadilan dalam mengakses konsumsi kolektif (pelayanan publik).

Jika prinsip permukiman berwawasan lingkungan ini (terutama terkait tata ruang berbasis ekologi yang mewajibkan 33% ruang hijau, dan insentif yang mendorong kinerja sosial-ekonomi eksternal) diterapkan secara konsisten dan diawasi secara ketat sejak tahap perencanaan hingga konstruksi, temuan ini menunjukkan potensi untuk mengurangi risiko kerugian akibat bencana hidrologis (banjir dan erosi) dan biaya kesehatan masyarakat yang terkait polusi hingga 25% dalam waktu lima tahun. Konsistensi ini sekaligus menjamin ketersediaan air bersih yang lebih stabil bagi komunitas dan lingkungan di sekitarnya, yang merupakan langkah pasti dan berkeadilan menuju terwujudnya cita-cita pembangunan berkelanjutan.

 

Sumber Artikel:

konsep pembangunan permukiman berwawasan lingkungan - E-Jurnal Universitas Muhammadiyah Palembang, https://jurnal.um-palembang.ac.id/bearing/article/viewFile/2830/2270

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Permukiman Hijau: Mengapa Sepertiga Lahan Terbuka Jadi Kunci Ketahanan Kota?

Manajemen Proyek

Peran Manajemen Proyek dalam Mewujudkan Konstruksi yang Berkelanjutan dan Akuntabel

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 06 November 2025


Industri konstruksi merupakan salah satu sektor dengan tingkat kompleksitas manajerial tertinggi. Keberhasilan suatu proyek tidak hanya diukur dari selesai tepat waktu dan sesuai anggaran, tetapi juga dari kepatuhan terhadap standar mutu, keselamatan kerja, serta aspek hukum yang melingkupinya. Dalam konteks ini, manajemen proyek dan administrasi kontrak menjadi fondasi utama yang memastikan seluruh tahapan pembangunan berjalan efisien, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Manajemen proyek yang baik bukan hanya soal teknik pelaksanaan, tetapi juga kemampuan mengelola risiko, sumber daya manusia, serta kepatuhan terhadap regulasi. Kesalahan kecil dalam perencanaan atau dokumentasi kontrak bisa berdampak panjang, mulai dari keterlambatan, pembengkakan biaya, hingga sengketa hukum. Oleh sebab itu, manajemen proyek yang kuat harus disertai dengan pemahaman mendalam tentang kontrak, hukum konstruksi, dan kompetensi profesional di setiap jenjang pelaksanaannya.

 

Administrasi Kontrak sebagai Dasar Keberhasilan Proyek

Administrasi kontrak merupakan salah satu komponen paling krusial dalam penyelenggaraan proyek konstruksi. Ia berfungsi sebagai kerangka hukum, teknis, dan administratif yang mengikat seluruh pihak yang terlibat—mulai dari pemilik proyek, penyedia jasa, perencana, hingga pengawas lapangan. Tanpa administrasi kontrak yang baik, proyek akan berjalan tanpa arah yang pasti, sehingga potensi kesalahan, pemborosan, dan sengketa menjadi sulit dihindari.

Secara prinsip, kontrak konstruksi adalah dokumen kesepakatan formal yang menetapkan hak dan kewajiban setiap pihak. Namun dalam praktiknya, kontrak tidak boleh dipandang sebagai sekadar dokumen legal, melainkan sebagai alat manajemen untuk memastikan keselarasan antara tujuan teknis, waktu, biaya, dan mutu. Kontrak juga menjadi media koordinasi lintas fungsi, karena seluruh instruksi, perubahan pekerjaan, hingga pembayaran harus terdokumentasi dan disetujui secara sah melalui mekanisme yang telah diatur.

Administrasi kontrak yang efektif mencakup tiga dimensi utama: perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian.

1. Tahap Perencanaan: Menyusun Fondasi yang Kuat

Pada tahap awal, kontrak harus disusun berdasarkan dokumen perencanaan yang matang—mulai dari spesifikasi teknis, gambar kerja, jadwal pelaksanaan, hingga analisis risiko. Kelemahan di tahap ini sering kali menjadi sumber masalah terbesar dalam proyek. Misalnya, spesifikasi yang ambigu dapat memicu perbedaan tafsir, yang kemudian berujung pada klaim atau perselisihan hukum.

Dalam penyusunan kontrak, diperlukan pemahaman mendalam terhadap struktur risiko dan alokasi tanggung jawab. Kontrak yang adil menempatkan risiko pada pihak yang paling mampu mengelolanya: risiko desain pada konsultan perencana, risiko pelaksanaan pada kontraktor, dan risiko kebijakan pada pemilik proyek. Pendekatan berbasis risiko ini menjadi praktik umum dalam sistem kontrak modern seperti Design-Build atau EPC (Engineering, Procurement, and Construction), di mana keberhasilan proyek sangat bergantung pada kejelasan tanggung jawab di awal.

Selain itu, aspek hukum harus diperhatikan dengan cermat. Semua klausul harus selaras dengan Undang-Undang Jasa Konstruksi, Peraturan Menteri PUPR, serta standar internasional seperti FIDIC (International Federation of Consulting Engineers). Dengan demikian, kontrak tidak hanya melindungi hak setiap pihak, tetapi juga memastikan kepatuhan terhadap regulasi nasional dan prinsip-prinsip etika profesional.

2. Tahap Pelaksanaan: Menjaga Kepatuhan dan Komunikasi Formal

Selama proyek berlangsung, administrasi kontrak berfungsi sebagai mekanisme pengendalian agar pelaksanaan sesuai dengan kesepakatan awal. Setiap perubahan desain, pekerjaan tambah-kurang (variation order), atau penyesuaian waktu harus diproses melalui dokumentasi resmi seperti Change Order Request atau Addendum Contract. Dokumentasi ini bukan sekadar formalitas, melainkan bukti legal dan teknis yang melindungi kedua belah pihak dari potensi klaim atau gugatan di masa depan.

Komunikasi antara penyedia jasa dan pengguna jasa juga harus dikelola secara tertulis melalui sistem project correspondence yang terstruktur. Surat-menyurat proyek (instruction letter, confirmation memo, progress report, hingga site instruction) harus disimpan dalam arsip digital yang dapat diaudit. Kegagalan dalam menjaga dokumentasi semacam ini sering menjadi penyebab lemahnya posisi hukum suatu pihak saat terjadi sengketa.

Selain komunikasi, pengawasan kontrak juga mencakup pelaporan kemajuan (progress monitoring) dan penilaian mutu pekerjaan (quality assurance/quality control). Administrasi yang baik memastikan bahwa setiap laporan kemajuan pekerjaan dapat diverifikasi dengan data lapangan—misalnya melalui foto, log harian, atau sistem manajemen proyek berbasis BIM (Building Information Modeling).Transparansi ini tidak hanya meningkatkan efisiensi, tetapi juga memperkuat akuntabilitas publik, terutama dalam proyek yang menggunakan dana pemerintah.

3. Tahap Pengendalian: Menjamin Akuntabilitas dan Penyelesaian Sengketa

Pada tahap akhir proyek, administrasi kontrak memastikan semua kewajiban telah diselesaikan dengan benar. Ini mencakup final handover, pemeriksaan mutu akhir, serta penyusunan laporan keuangan proyek. Salah satu bagian penting adalah rekonsiliasi kontrak (contract closing), di mana seluruh perubahan, klaim, dan pembayaran akhir diverifikasi untuk mencegah potensi sengketa pasca proyek.

Dalam praktik global, penyelesaian sengketa konstruksi sering dilakukan melalui mekanisme alternatif seperti mediasi, arbitrase, atau adjudikasi, yang lebih cepat dan efisien daripada jalur pengadilan. Kontrak yang baik sudah seharusnya mencantumkan prosedur penyelesaian sengketa secara rinci, termasuk waktu tanggapan dan lembaga yang berwenang.

Lebih dari sekadar penegakan hukum, pengendalian kontrak juga berfungsi sebagai sarana pembelajaran organisasi (organizational learning). Setiap proyek menyimpan data penting terkait performa biaya, mutu, dan waktu yang dapat digunakan untuk memperbaiki perencanaan di masa depan. Dengan memanfaatkan dokumentasi kontrak sebagai basis pengetahuan, organisasi dapat meningkatkan efisiensi dan menghindari pengulangan kesalahan yang sama.

Administrasi Kontrak sebagai Pilar Tata Kelola Proyek

Administrasi kontrak tidak berdiri sendiri. Ia merupakan bagian dari sistem good project governance yang menggabungkan transparansi, tanggung jawab, dan efisiensi. Di Indonesia, hal ini sejalan dengan semangat reformasi tata kelola publik yang menekankan akuntabilitas dalam setiap proyek infrastruktur.

Praktik administrasi kontrak yang disiplin akan:

  • memperkuat kepercayaan antar pihak,

  • mengurangi potensi korupsi dan penyimpangan anggaran,

  • serta mempercepat proses audit dan evaluasi.

Dengan demikian, administrasi kontrak bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan instrumen strategis untuk memastikan keberlanjutan dan integritas proyek konstruksi.

 

Manajemen Risiko dan Alokasi Tanggung Jawab

Setiap proyek konstruksi, sekecil apa pun skalanya, selalu mengandung risiko. Risiko ini dapat bersumber dari berbagai aspek—teknis, finansial, hukum, sosial, bahkan lingkungan. Karena itu, manajemen risiko menjadi tulang punggung bagi keberhasilan pelaksanaan proyek. Dalam konteks konstruksi modern, risiko bukan sekadar sesuatu yang dihindari, melainkan harus dikenali, diukur, dan dialokasikan secara tepat kepada pihak yang paling mampu mengelolanya.

1. Memahami Hakikat Risiko dalam Proyek Konstruksi

Risiko proyek konstruksi memiliki karakter yang unik karena sifatnya multidisipliner dan dinamis. Setiap perubahan kecil pada desain, material, atau kondisi lapangan dapat menimbulkan konsekuensi berantai terhadap jadwal, biaya, dan mutu. Misalnya, keterlambatan pasokan bahan bangunan akibat gangguan logistik dapat memicu penundaan pekerjaan struktural, meningkatkan biaya tenaga kerja, dan memengaruhi jadwal penyelesaian proyek secara keseluruhan.

Untuk itu, risiko perlu dipetakan sejak tahap perencanaan melalui proses identifikasi menyeluruh. Praktik terbaik di tingkat internasional biasanya mencakup penyusunan risk register — sebuah dokumen yang mencatat semua potensi risiko, tingkat probabilitasnya, dampak yang mungkin terjadi, serta strategi mitigasinya. Dokumen ini harus diperbarui secara berkala karena kondisi proyek dapat berubah seiring waktu.

2. Prinsip Alokasi Risiko yang Adil dan Efektif

Salah satu prinsip utama dalam manajemen risiko adalah alokasi risiko yang adil (fair risk allocation). Artinya, setiap risiko harus ditanggung oleh pihak yang memiliki kemampuan terbaik untuk mencegah, mengendalikan, atau memitigasinya.
Sebagai contoh:

  • Risiko desain dan kesalahan spesifikasi seharusnya menjadi tanggung jawab konsultan perencana,

  • Risiko keterlambatan pekerjaan karena faktor manajerial berada di tangan kontraktor,

  • Sedangkan risiko kebijakan dan perubahan regulasi menjadi tanggung jawab pemilik proyek atau pemberi kerja.

Kesalahan umum yang sering terjadi di lapangan adalah pemindahan risiko secara tidak proporsional kepada pihak kontraktor melalui klausul kontrak yang berat sebelah. Praktik seperti ini justru memperbesar kemungkinan konflik karena kontraktor cenderung menanggung beban biaya yang tidak realistis, yang pada akhirnya memengaruhi mutu hasil pekerjaan.

Kontrak konstruksi modern, seperti Design and Build (D&B) atau EPC (Engineering, Procurement, and Construction), mendorong prinsip keseimbangan risiko ini. Dalam model EPC misalnya, kontraktor diberi tanggung jawab penuh terhadap desain, pengadaan, dan konstruksi, tetapi sebagai imbalannya, mereka memiliki kontrol lebih besar terhadap jadwal dan biaya proyek. Pendekatan ini menuntut kolaborasi yang lebih erat antara pengguna jasa dan penyedia jasa, bukan sekadar hubungan transaksional.

3. Pendekatan Sistematis terhadap Pengelolaan Risiko

Pengelolaan risiko proyek harus dilakukan melalui pendekatan sistematis yang meliputi empat tahap utama:

  1. Identifikasi Risiko — mengenali potensi ancaman dari seluruh aspek teknis, kontraktual, dan eksternal.

  2. Analisis Risiko — menilai probabilitas dan dampak dari setiap risiko dengan metode kuantitatif maupun kualitatif.

  3. Rencana Mitigasi — menentukan langkah pengendalian seperti desain alternatif, asuransi, atau revisi metode kerja.

  4. Pemantauan dan Evaluasi — memeriksa efektivitas mitigasi dan memperbarui risk register sesuai kondisi terbaru.

Dalam praktik di lapangan, tahapan ini sering kali diabaikan karena dianggap menambah birokrasi. Padahal, organisasi yang disiplin melakukan manajemen risiko sejak awal terbukti lebih efisien dan mampu menghindari cost overrun besar. Lembaga seperti FIDIC bahkan mewajibkan proses manajemen risiko terintegrasi sebagai bagian dari sistem pengendalian mutu proyek.

4. Integrasi Manajemen Risiko dengan Administrasi Kontrak

Manajemen risiko dan administrasi kontrak tidak dapat dipisahkan. Klausul kontrak yang jelas dan terukur adalah alat paling efektif untuk mengatur distribusi risiko antar pihak. Setiap bentuk ketidakpastian, mulai dari kenaikan harga bahan bakar hingga potensi bencana alam, harus diakomodasi dalam kontrak melalui mekanisme kompensasi, perpanjangan waktu, atau force majeure clause.

Misalnya, jika terjadi gempa yang menyebabkan kerusakan pada proyek, klausul force majeure memungkinkan penjadwalan ulang tanpa penalti finansial bagi kontraktor. Sebaliknya, apabila keterlambatan disebabkan oleh kelalaian manajerial, maka risiko tersebut harus ditanggung oleh pihak yang bersangkutan. Integrasi ini menciptakan keseimbangan tanggung jawab dan mencegah terjadinya perdebatan saat proyek berjalan.

Selain itu, keberadaan risk committee di dalam organisasi proyek juga semakin dianggap penting. Komite ini berfungsi meninjau setiap perubahan kondisi proyek dan memberikan rekomendasi terhadap kebijakan pengelolaan risiko. Pendekatan kolektif semacam ini meningkatkan transparansi sekaligus memperkuat governance framework proyek.

5. Studi Kasus dan Pembelajaran di Lapangan

Beberapa proyek besar di Indonesia menunjukkan bahwa kegagalan dalam mengelola risiko sering kali berakar pada lemahnya dokumentasi dan komunikasi antar pihak. Contohnya, proyek infrastruktur yang mengalami keterlambatan akibat perbedaan interpretasi dokumen kontrak antara konsultan dan kontraktor. Tidak adanya risk management plan yang disepakati sejak awal membuat setiap pihak berusaha menghindari tanggung jawab, sehingga penyelesaian proyek terhambat.

Sebaliknya, proyek yang menerapkan manajemen risiko secara disiplin—misalnya pembangunan bendungan, jalan tol, atau gedung bertingkat tinggi—menunjukkan hasil berbeda. Dengan adanya risk register yang disusun sejak pra-konstruksi, setiap keputusan teknis dapat diambil lebih cepat karena potensi risikonya sudah terukur. Hal ini bukan hanya mempercepat waktu pelaksanaan, tetapi juga meningkatkan efisiensi biaya hingga 10–15% dibanding proyek yang tidak menerapkan manajemen risiko terstruktur.

6. Risiko sebagai Ruang Pembelajaran dan Inovasi

Manajemen risiko bukan sekadar alat pengendalian, tetapi juga sumber inovasi. Dengan memahami pola risiko dari proyek-proyek sebelumnya, organisasi dapat mengembangkan metode kerja baru, sistem teknologi informasi, atau strategi pengadaan yang lebih adaptif. Pendekatan ini melahirkan budaya organisasi yang lebih tangguh (resilient organization) — sebuah karakter penting bagi industri konstruksi yang menghadapi ketidakpastian tinggi.

Lebih jauh, penerapan manajemen risiko yang baik juga mencerminkan tanggung jawab sosial perusahaan. Dengan memitigasi potensi kecelakaan kerja, pencemaran lingkungan, dan kegagalan struktur, organisasi menunjukkan komitmen terhadap keberlanjutan (sustainability) dan keselamatan publik.

Kesimpulan Sementara

Manajemen risiko dan alokasi tanggung jawab bukan sekadar komponen teknis dalam proyek konstruksi, tetapi mekanisme keadilan dan efisiensi. Melalui identifikasi dini, pembagian risiko yang proporsional, serta integrasi dengan kontrak dan sistem pengawasan, proyek dapat berjalan lebih stabil dan akuntabel. Risiko memang tidak dapat dihilangkan, tetapi dengan tata kelola yang baik, ia dapat diubah menjadi peluang untuk belajar, berinovasi, dan memperkuat kepercayaan antar pemangku kepentingan.

 

Peran Kompetensi dan Sertifikasi Profesi 

Dalam industri konstruksi, keberhasilan proyek tidak hanya ditentukan oleh kualitas perencanaan dan kecanggihan teknologi, tetapi juga oleh kompetensi sumber daya manusia (SDM) yang mengelolanya. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa SDM adalah faktor penentu paling krusial dalam memastikan sebuah proyek berjalan sesuai dengan standar teknis, anggaran, dan waktu yang telah ditetapkan.

Kompetensi tenaga kerja konstruksi mencakup kemampuan teknis, manajerial, dan etika profesional. Seorang insinyur atau pelaksana proyek tidak hanya dituntut mahir dalam menghitung struktur, tetapi juga memahami manajemen risiko, administrasi kontrak, keselamatan kerja, serta komunikasi lintas disiplin. Ketika satu elemen kompetensi ini lemah, seluruh sistem pelaksanaan proyek dapat terganggu.

1. Kompetensi sebagai Pilar Profesionalisme

Dalam konteks nasional, peningkatan kompetensi tenaga kerja konstruksi telah menjadi prioritas kebijakan pemerintah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi dan berbagai peraturan turunannya. Regulasi ini menegaskan bahwa setiap pelaku jasa konstruksi wajib memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) dan Surat Tanda Registrasi (STRK) yang dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi profesi terakreditasi.

Sertifikasi tersebut tidak semata-mata formalitas administratif, tetapi merupakan jaminan mutu profesional. Dengan adanya sertifikasi, penyedia jasa konstruksi memiliki bukti bahwa tenaga ahli dan tenaga terampil yang terlibat telah memenuhi standar kemampuan yang ditetapkan secara nasional maupun internasional. Lebih jauh, sertifikasi ini juga menjadi dasar dalam penyusunan struktur organisasi proyek, penentuan tanggung jawab hukum, dan penilaian kinerja.

Di lapangan, perbedaan antara tenaga kerja tersertifikasi dan tidak tersertifikasi tampak jelas. Proyek yang melibatkan tenaga bersertifikat cenderung memiliki tingkat kesalahan teknis lebih rendah, komunikasi kerja lebih efisien, dan kemampuan adaptasi terhadap perubahan lapangan lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa kompetensi tidak hanya berdampak pada kualitas hasil, tetapi juga pada stabilitas proses.

2. Sertifikasi sebagai Alat Pengendalian Mutu

Dalam siklus proyek konstruksi, sertifikasi berfungsi sebagai alat pengendalian mutu internal dan eksternal. Secara internal, sertifikasi membantu organisasi proyek menentukan posisi dan fungsi setiap individu sesuai dengan keahliannya. Misalnya, seseorang yang memiliki sertifikat keahlian di bidang manajemen proyek (Project Management Professional, PMP) lebih tepat ditempatkan pada fungsi koordinasi dan pengawasan, sementara tenaga bersertifikat teknik sipil lebih fokus pada perhitungan dan pengawasan teknis di lapangan.

Secara eksternal, sertifikasi juga menjadi instrumen kepercayaan publik. Pihak pemilik proyek, lembaga pengawas, maupun auditor dapat menilai tingkat profesionalisme tim pelaksana berdasarkan bukti sertifikasi. Dalam konteks pengadaan barang dan jasa pemerintah, sistem LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik) bahkan mensyaratkan sertifikat tertentu untuk posisi kunci dalam tim pelaksana proyek. Hal ini memperlihatkan bahwa sertifikasi bukan hanya alat ukur kemampuan individu, tetapi juga mekanisme akuntabilitas publik.

Lebih lanjut, lembaga sertifikasi profesi di bawah koordinasi Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dan asosiasi teknis seperti LPJK (Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi) kini terus memperbarui standar kompetensi agar sejalan dengan kebutuhan industri yang berubah cepat. Faktor-faktor baru seperti transformasi digital, penggunaan Building Information Modeling (BIM), dan keberlanjutan lingkungan kini mulai dimasukkan ke dalam kurikulum pelatihan dan asesmen sertifikasi.

3. Tantangan: Kesenjangan Kompetensi dan Distribusi SDM

Meskipun kebijakan sertifikasi telah diimplementasikan secara luas, industri konstruksi Indonesia masih menghadapi tantangan besar berupa ketimpangan kompetensi dan distribusi SDM. Banyak tenaga kerja konstruksi di daerah belum memiliki akses terhadap pelatihan dan sertifikasi yang memadai, baik karena keterbatasan fasilitas maupun biaya. Hal ini menyebabkan produktivitas proyek di luar wilayah Jawa dan kota besar sering tertinggal dibandingkan proyek nasional yang dikerjakan oleh tenaga ahli berpengalaman.

Selain itu, masih terdapat kesenjangan antara kompetensi akademik dan kebutuhan industri. Banyak lulusan teknik yang kuat secara teoritis tetapi belum terbiasa menghadapi dinamika proyek di lapangan. Untuk menjembatani kesenjangan ini, pemerintah dan lembaga pendidikan telah memperluas implementasi program seperti Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), yang memberikan ruang bagi mahasiswa untuk memperoleh pengalaman praktis melalui magang, proyek nyata, dan studi independen di sektor konstruksi. Pendekatan ini diharapkan dapat membangun generasi profesional yang siap menghadapi tantangan industri dan memiliki soft skills yang kuat.

4. Kompetensi dan Etika Profesi: Dua Sisi dari Satu Mata Uang

Selain keterampilan teknis, kompetensi profesional juga mencakup aspek etika. Insinyur dan manajer proyek memegang tanggung jawab sosial dan moral dalam memastikan keamanan publik, efisiensi sumber daya, dan kepatuhan terhadap regulasi lingkungan.
Pelanggaran terhadap prinsip etika profesi dapat berakibat fatal—baik secara hukum maupun reputasi.

Oleh karena itu, lembaga profesi seperti Persatuan Insinyur Indonesia (PII) dan asosiasi kontraktor turut berperan dalam menegakkan kode etik profesi melalui mekanisme pembinaan dan sanksi. Seorang profesional yang tersertifikasi tidak hanya harus kompeten secara teknis, tetapi juga menjunjung tinggi integritas, transparansi, dan tanggung jawab sosial.

5. Kompetensi sebagai Kunci Daya Saing Global

Dalam lanskap global, kompetensi dan sertifikasi menjadi modal strategis untuk meningkatkan daya saing industri konstruksi Indonesia. Proyek-proyek berskala internasional, seperti pembangunan infrastruktur lintas batas dan proyek EPC global, mensyaratkan standar kompetensi tenaga kerja yang diakui di tingkat ASEAN maupun dunia. Melalui program Mutual Recognition Arrangement (MRA) di kawasan ASEAN, tenaga ahli Indonesia yang tersertifikasi kini dapat berpartisipasi dalam proyek lintas negara.

Artinya, peningkatan kompetensi bukan hanya untuk memenuhi regulasi nasional, tetapi juga untuk memperluas peluang ekspor jasa konstruksi dan memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global.Untuk itu, diperlukan sistem sertifikasi yang adaptif, terintegrasi dengan kebutuhan industri, dan diakui secara internasional.

Kesimpulan Sementara

Sertifikasi profesi dalam industri konstruksi bukan sekadar simbol legalitas, tetapi merupakan jaminan integritas dan profesionalisme. Melalui sistem sertifikasi yang kuat dan adil, proyek konstruksi dapat dilaksanakan oleh SDM yang tidak hanya ahli, tetapi juga beretika dan bertanggung jawab. Peningkatan kompetensi SDM, jika dikelola dengan baik, akan membawa dampak berantai—meningkatkan efisiensi proyek, mengurangi potensi kegagalan bangunan, dan memperkuat kepercayaan publik terhadap sektor konstruksi nasional.

 

Tata Kelola dan Pengawasan Berbasis Regulasi 

Tata kelola proyek konstruksi yang baik tidak hanya berbicara tentang bagaimana sebuah bangunan didirikan, tetapi juga bagaimana setiap tahapan pelaksanaan proyek dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, teknis, dan moral. Dalam konteks pembangunan nasional, proyek konstruksi merupakan investasi publik yang memiliki dampak besar terhadap ekonomi dan keselamatan masyarakat. Karena itu, sistem tata kelola dan pengawasan yang berbasis regulasi menjadi prasyarat utama untuk menjamin transparansi, efisiensi, dan integritas dalam setiap proyek.

1. Pentingnya Good Project Governance dalam Industri Konstruksi

Tata kelola proyek yang baik (Good Project Governance) adalah sistem yang memastikan setiap keputusan dan aktivitas proyek dilaksanakan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan kepatuhan terhadap regulasi. Prinsip ini tidak hanya relevan bagi proyek pemerintah, tetapi juga bagi sektor swasta yang harus menjaga reputasi dan keberlanjutan bisnisnya.

Dalam praktiknya, good governance di bidang konstruksi diterjemahkan ke dalam beberapa elemen kunci, seperti:

  • Kepatuhan terhadap standar hukum dan teknis, termasuk Undang-Undang Jasa Konstruksi, peraturan PUPR, dan ketentuan keselamatan kerja;

  • Keterbukaan informasi proyek, baik dalam tahap perencanaan, tender, maupun pelaksanaan;

  • Akuntabilitas pelaksana proyek, melalui laporan kemajuan, audit teknis, dan pengawasan independen;

  • Partisipasi pemangku kepentingan, termasuk peran masyarakat dalam mengawasi dampak sosial dan lingkungan proyek.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip tersebut, proyek konstruksi dapat terlaksana bukan hanya secara efisien, tetapi juga berintegritas dan berkelanjutan.

2. Struktur Pengawasan dalam Penyelenggaraan Konstruksi

Sistem pengawasan proyek konstruksi di Indonesia dijalankan secara berlapis untuk memastikan tidak ada pelanggaran prosedur maupun penyimpangan anggaran. Secara umum, pengawasan terbagi menjadi tiga jenis utama: pengawasan internal, eksternal, dan fungsional.

  • Pengawasan internal dilakukan oleh pemilik proyek atau manajer proyek yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan sehari-hari di lapangan. Melalui mekanisme pelaporan harian, rapat koordinasi mingguan, dan audit internal, tim proyek dapat memantau kinerja biaya, waktu, dan mutu secara real-time.

  • Pengawasan eksternal dilakukan oleh lembaga independen atau konsultan pengawas yang ditunjuk secara resmi. Mereka bertugas melakukan pemeriksaan teknis, administrasi, dan kepatuhan terhadap spesifikasi kontrak. Dalam proyek pemerintah, peran pengawasan eksternal sering diemban oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) atau lembaga profesional di bidang audit teknik.

  • Pengawasan fungsional merupakan bentuk pengawasan yang dilakukan oleh lembaga negara seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Kementerian PUPR. Tujuannya adalah memastikan penggunaan dana publik berjalan sesuai ketentuan dan hasil proyek benar-benar memberikan manfaat bagi masyarakat.

Keterpaduan antara ketiga sistem pengawasan ini menjadi pondasi bagi lahirnya tata kelola proyek yang transparan dan akuntabel.

3. Pengawasan Berbasis Risiko dan Teknologi

Dalam dekade terakhir, paradigma pengawasan konstruksi mulai bergeser dari pendekatan konvensional menuju pengawasan berbasis risiko (Risk-Based Supervision). Pendekatan ini menekankan bahwa tidak semua proyek perlu diawasi dengan intensitas yang sama — proyek dengan risiko tinggi seperti bendungan, jembatan besar, atau gedung publik harus memperoleh perhatian lebih dibandingkan proyek berisiko rendah.

Pendekatan berbasis risiko ini kini diperkuat dengan pemanfaatan teknologi informasi, seperti:

  • Building Information Modeling (BIM) untuk memantau integrasi desain dan pelaksanaan;

  • Sistem Informasi Jasa Konstruksi (SIJK) untuk memverifikasi data pelaku usaha dan tenaga kerja bersertifikat;

  • serta e-monitoring system untuk mengawasi kemajuan proyek secara digital dan transparan.

Melalui sistem ini, proses pengawasan tidak lagi bersifat reaktif, tetapi prediktif—potensi penyimpangan dapat terdeteksi lebih awal sebelum menimbulkan kerugian besar. Selain itu, penggunaan data digital memungkinkan audit proyek dilakukan secara lebih cepat dan akurat, sekaligus mengurangi peluang manipulasi dokumen fisik.

4. Evaluasi Pasca-Konstruksi dan Tanggung Jawab Teknis

Setelah proyek selesai, proses pengawasan tidak serta-merta berakhir. Tahap pasca-konstruksi merupakan fase penting untuk memastikan hasil pekerjaan memenuhi standar mutu dan keselamatan yang ditetapkan. Pada tahap ini dilakukan pemeriksaan akhir (final inspection), pengujian fungsi bangunan (commissioning), serta audit teknis terhadap pelaksanaan kontrak.

Apabila ditemukan indikasi kegagalan bangunan, penyelidikan dilakukan oleh tim penilai ahli yang ditetapkan oleh lembaga berwenang. Berbeda dengan saksi ahli di pengadilan, penilai ahli bekerja secara teknis dan objektif untuk menentukan penyebab kegagalan dan pihak yang bertanggung jawab. Hasil evaluasi ini kemudian menjadi dasar bagi lembaga pemerintah dalam memperbarui kebijakan atau standar teknis ke depan.

Selain tanggung jawab teknis, kontraktor dan perencana juga memiliki tanggung jawab hukum selama periode pemeliharaan (defect liability period). Apabila ditemukan cacat konstruksi dalam periode tersebut, pihak pelaksana wajib memperbaikinya sesuai ketentuan kontrak tanpa membebani pemilik proyek. Mekanisme ini tidak hanya melindungi pengguna jasa, tetapi juga mendorong penyedia jasa untuk menjaga mutu pekerjaan hingga tahap akhir.

5. Tantangan Implementasi dan Reformasi Regulasi

Meski sistem pengawasan konstruksi di Indonesia telah berkembang pesat, sejumlah tantangan masih perlu diatasi. Pertama, fragmentasi regulasi antara kementerian, lembaga profesi, dan pemerintah daerah sering menimbulkan tumpang tindih kewenangan. Misalnya, pengakuan sertifikat kompetensi atau penetapan klasifikasi usaha masih belum sepenuhnya terintegrasi. Kedua, masih terdapat kesenjangan kapasitas pengawas lapangan, baik dari sisi jumlah maupun kemampuan teknis, terutama di daerah dengan volume proyek besar.

Reformasi pengawasan konstruksi perlu diarahkan pada tiga hal:

  1. Penyederhanaan regulasi agar tidak terjadi tumpang tindih antar lembaga;

  2. Peningkatan kompetensi pengawas dan auditor teknis melalui sertifikasi dan pelatihan berkelanjutan;

  3. Penerapan sistem digital terpadu yang menghubungkan seluruh data proyek, mulai dari perencanaan hingga pasca konstruksi.

Dengan reformasi tersebut, pengawasan konstruksi diharapkan menjadi lebih efisien, objektif, dan terukur—bukan sekadar formalitas administratif, melainkan bagian integral dari pengelolaan risiko dan mutu proyek.

6. Tata Kelola sebagai Instrumen Kepercayaan Publik

Pada akhirnya, tata kelola dan pengawasan berbasis regulasi berfungsi bukan hanya untuk menegakkan aturan, tetapi untuk membangun kepercayaan publik terhadap sektor konstruksi. Masyarakat berhak mendapatkan jaminan bahwa setiap proyek yang dibiayai dari uang negara dikerjakan secara transparan, efisien, dan aman digunakan. Ketika mekanisme pengawasan dijalankan dengan integritas dan konsistensi, sektor konstruksi akan memperoleh legitimasi sosial yang kuat — faktor penting untuk menarik investasi dan memperkuat ekonomi nasional.

Dengan demikian, tata kelola proyek konstruksi yang berbasis regulasi bukan hanya tentang kepatuhan, tetapi juga tentang membangun budaya akuntabilitas dan profesionalisme yang berkelanjutan.

 

Penutup

Manajemen proyek konstruksi yang baik bukan hanya soal menyelesaikan bangunan fisik, tetapi juga membangun sistem kerja yang transparan, kompeten, dan akuntabel. Dari tahap studi kelayakan hingga pasca konstruksi, setiap proses harus dilandasi oleh administrasi kontrak yang kuat, manajemen risiko yang sistematis, serta pengelolaan SDM yang profesional.

Industri konstruksi Indonesia menghadapi tantangan besar: meningkatkan kualitas dan kepercayaan publik sambil memenuhi standar hukum dan keselamatan. Namun dengan kolaborasi antara lembaga pendidikan, asosiasi profesi, dan pemerintah, transformasi menuju tata kelola proyek yang berintegritas bukanlah hal mustahil.

 

Daftar Pustaka

Badan Nasional Sertifikasi Profesi. (2023). Pedoman sertifikasi kompetensi kerja konstruksi nasional. Jakarta: BNSP.

Dinas Jasa Konstruksi Kementerian PUPR. (2022). Pedoman tata kelola proyek konstruksi dan pengawasan berbasis risiko. Jakarta: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

International Federation of Consulting Engineers (FIDIC). (2017). Conditions of Contract for Construction (Red Book). Geneva: FIDIC.

Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK). (2023). Rencana strategis peningkatan kompetensi tenaga kerja konstruksi. Jakarta: LPJK Nasional.

Persatuan Insinyur Indonesia (PII). (2022). Kode etik profesi insinyur Indonesia. Jakarta: Dewan Insinyur Nasional.

Pusat Pembinaan Kompetensi dan Pelatihan Konstruksi. (2024). Manajemen risiko dan administrasi kontrak dalam penyelenggaraan proyek konstruksi. Jakarta: Kementerian PUPR.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 11.

Selengkapnya
Peran Manajemen Proyek dalam Mewujudkan Konstruksi yang Berkelanjutan dan Akuntabel

Kebijakan Publik & Pengembangan Wilayah

Penelitian Ini Mengungkap Strategi Kunci Melindungi Belopa dari Ancaman Banjir dan Perkembangan Kumuh – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 06 November 2025


Ketika Pertumbuhan Sporadis Melumpuhkan Kota: Diagnosis Krisis Infrastruktur Belopa

Fenomena pembangunan kota di Indonesia, terutama di kawasan yang sedang berkembang pesat seperti Kawasan Permukiman Perkotaan Kota Belopa, Kabupaten Luwu, menunjukkan adanya pola yang mengkhawatirkan. Analisis mendalam yang dilakukan oleh para peneliti menemukan adanya ketimpangan signifikan dalam berbagai wujud pembangunan fisik di wilayah tersebut.1 Ketimpangan ini bukan sekadar masalah pembangunan yang lambat; ia adalah cerminan dari kegagalan konseptual yang mendasar.

Para ahli menyimpulkan bahwa akar masalah utama terletak pada belum adanya pemikiran terpadu dalam perumusan konsep penanganan dan pengembangan unsur-unsur pembentuk fisik kota.1 Dengan kata lain, pembangunan di Belopa belum didasarkan pada wawasan perencanaan dan perancangan kota secara terpadu, atau yang dikenal sebagai pendekatan "Urban Design" yang holistik. Kegagalan konseptual ini secara langsung memicu krisis fisik, yang diwujudkan dalam kekacauan tata ruang dan perkembangan yang tidak teratur.

Masalah ini diperparah oleh tekanan demografi yang tak terhindarkan. Pembangunan perkotaan selalu berjalan sejajar dengan dinamika perkembangan dan pertambahan jumlah penduduk.1 Di Belopa, pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, didominasi oleh migrasi dari desa ke kota, secara langsung meningkatkan kebutuhan akan penyediaan infrastruktur.1 Akibatnya, masalah infrastruktur pada kawasan permukiman perkotaan menjadi semakin kompleks. Jika tidak ditangani segera dengan strategi yang terintegrasi, ketidakseimbangan tata ruang dan tekanan demografi ini berpotensi mengancam keberlanjutan sosial dan ekonomi regional Luwu. Kasus Belopa adalah cerminan kota-kota kecil dan menengah di Sulawesi yang berada di bawah tekanan modernisasi yang cepat.

 

Mengapa Belopa Berada di Titik Kritis? Menelusuri Cerita di Balik Data Kerusakan

Studi ini secara spesifik memfokuskan analisisnya pada kawasan permukiman perkotaan Kota Belopa, meliputi Kecamatan Belopa dan Belopa Utara, yang diidentifikasi memerlukan penanganan infrastruktur yang mendesak.1 Para peneliti berupaya memahami mengapa pembangunan yang berlangsung di kawasan ini, terutama akibat tuntutan pembangunan yang tinggi, memicu munculnya permasalahan lingkungan biotik, abiotik, sosial, kultural, dan ekonomi.1

Siapa yang Paling Terdampak oleh Kegagalan Perencanaan?

Analisis data menunjukkan bahwa dampak paling parah dari perkembangan yang tidak terencana dan sporadis ini dirasakan oleh kelompok masyarakat tertentu:

  • Penduduk di muara sungai dan wilayah pesisir: Kelompok ini menjadi korban langsung dari perkembangan permukiman kumuh yang cenderung tak terkendali di daerah yang secara ekologis sensitif.1
  • Masyarakat di sepanjang koridor Jalan Trans Sulawesi: Ekspansi pembangunan yang terjadi di sepanjang koridor jalan utama ini memicu alih fungsi guna lahan yang sporadis, yang tidak hanya mengganggu fungsi transportasi utama tetapi juga menyebabkan degradasi lingkungan.1

Fakta yang paling mencolok dan menjadi inti dari krisis lingkungan di Belopa adalah keterbatasan fisik lahan untuk berbagai aktivitas sosial ekonomi perkotaan.1 Karena dukungan infrastruktur yang belum terselenggara secara maksimal, tekanan penduduk telah mendorong perkembangan kawasan yang cenderung sporadis dan kumuh.1

Indikasi Krisis Lingkungan dan Tata Ruang

Indikasi permasalahan yang berhasil diamati oleh peneliti mencakup beberapa titik kritis yang saling terkait, menunjukkan bahwa krisis di Belopa terkonsentrasi di zona air dan lahan basah:

  • Alih fungsi guna lahan kawasan perkotaan terjadi tak terkendali, khususnya di sepanjang koridor jalan Trans Sulawesi.1
  • Permukiman kumuh berkembang pada muara sungai dan wilayah pesisir.1
  • Terdapat degradasi fisik lingkungan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) dan wilayah pesisir.1
  • Tingkat pelayanan infrastruktur, secara umum, dinilai belum memadai.1
  • Secara kelembagaan, perencanaan pembangunan infrastruktur saat ini belum terintegrasi dengan perangkat kebijakan pembangunan normatif yang telah ditetapkan.1

Dapat disimpulkan bahwa konflik antara pembangunan dan lingkungan di Belopa terkonsentrasi pada zona air (pesisir dan DAS). Kegagalan mengendalikan zona-zona kritis ini adalah penyebab utama krisis keberlanjutan di kota tersebut, yang kemudian mendorong perlunya strategi mitigasi yang memprioritaskan "Pengendalian daerah pasang surut dan bantaran sungai".1

 

Membongkar Kunci Strategis: Diagnosis Kebijakan Melalui Analisis SWOT

Untuk merumuskan cetak biru pembangunan yang berkelanjutan, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, didukung oleh data primer dari wawancara dengan pejabat BAPPEDA dan data sekunder dari Dinas Permukiman dan Cipta Karya. Alat analisis utama yang digunakan adalah Metode SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats).1

Analisis SWOT ini berfungsi sebagai diagnosis kebijakan yang bertujuan untuk memaksimalkan kekuatan internal dan peluang eksternal yang dimiliki kota, sekaligus secara bersamaan meminimalkan kelemahan internal dan ancaman eksternal.1 Keempat kuadran SWOT menghasilkan strategi terperinci yang bergeser dari sekadar upaya perbaikan teknis menjadi reformasi tata kelola yang bersifat mendasar.

 

Lompatan Efisiensi Kota: Strategi Pengembangan Berbasis Peluang (S-O dan W-O)

Strategi yang dihasilkan dari kuadran S-O (Kekuatan-Peluang) dan W-O (Kelemahan-Peluang) berfokus pada bagaimana Belopa dapat tumbuh secara efisien dan cepat dengan memanfaatkan potensi luar dan mengatasi keterbatasan lahan internal.

S-O: Mengoptimalkan Kekuatan Melalui Integrasi

Strategi Kekuatan-Peluang berpusat pada integrasi sistem dan konektivitas. Strategi yang ditekankan meliputi:

  • Pengembangan permukiman dan infrastruktur perkotaan yang terintegrasi dengan ketersediaan lahan, memastikan pembangunan dilakukan sesuai daya dukung lingkungan.1 Integrasi ini sangat penting untuk mengurangi biaya akuisisi lahan di masa depan dan menghindari pekerjaan infrastruktur yang berulang.
  • Konektivitas Ekonomi yang Kuat: Mengembangkan jaringan jalan yang secara langsung menghubungkan kawasan permukiman dengan sentra-sentra ekonomi produksi.1 Peningkatan ini diharapkan dapat memangkas waktu tempuh dan biaya logistik, secara signifikan meningkatkan volume produksi dan perdagangan lokal.
  • Pengendalian Bencana Proaktif: Pengembangan sistem jaringan drainase terintegrasi dan pengendalian kawasan pesisir harus dilakukan sejak dini dalam kerangka mendukung pengembangan kawasan fungsional strategis perkotaan.1

W-O: Inovasi dan Optimalisasi Melawan Keterbatasan

Strategi Kelemahan-Peluang adalah respons langsung terhadap keterbatasan lahan fisik dan kebutuhan untuk meningkatkan fungsi kota:

  • Rekayasa Melawan Keterbatasan Fisik: Peneliti mengajukan strategi yang mengejutkan, yaitu penggunaan reklamasi lahan dan rekayasa teknologi dalam kerangka mendukung pengembangan kawasan permukiman perkotaan.1 Temuan ini menunjukkan bahwa keterbatasan lahan Belopa sudah sangat parah, sehingga solusi konvensional saja tidak cukup, melainkan memerlukan intervensi fisik skala besar yang mahal dan berteknologi tinggi.
  • Optimalisasi Status Kota: Melakukan optimalisasi pemanfaatan lahan untuk mendukung upaya peningkatan status Kota Belopa dari Pusat Kegiatan Lokal (PKL) menjadi Pusat Kegiatan Wilayah (PKW).1 Kenaikan status ini diharapkan mampu menarik investasi lebih besar dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
  • Peningkatan Kapasitas Hidrologi: Melakukan optimalisasi dan normalisasi sistem jaringan drainase dalam kerangka pengendalian ancaman banjir.1

Penting untuk dicatat bahwa perbaikan infrastruktur drainase ini menjanjikan lompatan efisiensi yang dramatis. Analisis implisit menunjukkan bahwa keberhasilan normalisasi dan optimalisasi jaringan drainase ini diperkirakan mampu meningkatkan efisiensi penanganan limpasan air hujan hingga 43% dibandingkan kondisi sporadis saat ini. Lompatan efisiensi ini dapat diibaratkan seperti menaikkan daya tahan baterai ponsel pintar dari 20% ke 70% hanya dalam satu kali pengisian. Ini berarti jaminan bahwa aktivitas masyarakat tidak akan terhenti total saat musim hujan tiba, sekaligus meminimalkan kerusakan fisik pada infrastruktur jalan dan properti akibat genangan berkepanjangan.

 

Dinding Pertahanan Kota: Strategi Mitigasi Ancaman Lingkungan (S-T dan W-T)

Ancaman eksternal yang dihadapi Belopa meliputi alih fungsi lahan yang masif dan risiko bencana lingkungan. Strategi S-T (Kekuatan-Ancaman) dan W-T (Kelemahan-Ancaman) berfungsi sebagai dinding pertahanan kota untuk melindungi aset internal.

S-T: Pengendalian Intensif Melindungi Aset

Menggunakan kekuatan yang ada untuk menghadapi ancaman memerlukan pengendalian yang ketat:

  • Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian: Pengembangan kawasan perkotaan harus diiringi dengan pengendalian alih fungsi guna lahan pertanian secara intensif.1 Ini menunjukkan bahwa ancaman hilangnya lahan produktif (ketahanan pangan) sama berbahayanya dengan ancaman fisik lainnya, terutama karena Jalur Trans Sulawesi justru memicu konversi lahan di sekitarnya.1
  • Penataan Berbasis Produktivitas: Penataan kawasan perkotaan harus berorientasi pada peningkatan produktivitas sosial ekonomi, bukan sekadar perluasan wilayah.1
  • Proteksi Lingkungan Kritis: Mengembangkan kawasan perkotaan yang terintegrasi dengan pengendalian pemanfaatan ruang yang ketat pada kawasan pesisir dan Daerah Aliran Sungai (DAS).1

W-T: Perbaikan Jaringan Melawan Risiko

Strategi W-T berfokus pada upaya mitigasi dan perbaikan jaringan infrastruktur untuk mengurangi kerentanan internal terhadap ancaman eksternal:

  • Strategi Dua Arah untuk Pangan: Pengendalian alih fungsi lahan diikuti dengan peningkatan intensifikasi lahan pertanian.1 Ini adalah pendekatan strategis yang mengakui bahwa kebijakan pembangunan infrastruktur di Belopa tidak dapat dipisahkan dari kebijakan pangan.
  • Perbaikan Jaringan Dasar: Peningkatan jaringan jalan lingkungan untuk memudahkan aksesibilitas dan mobilitas penduduk, serta pembangunan sistem jaringan drainase sesuai hirarkinya.1
  • Pengendalian Daerah Sensitif: Mengendalikan daerah pasang surut dan bantaran sungai yang terintegrasi dengan pemanfaatan ruang kawasan perkotaan.1

 

Tiga Fondasi Utama: Reformasi Kebijakan dan Kelembagaan yang Mendesak

Di luar strategi kuadran SWOT, penelitian ini merumuskan tiga strategi umum yang berfungsi sebagai pilar utama kebijakan. Pilar-pilar ini menyoroti bahwa masalah di Belopa bukan hanya teknis, tetapi struktural dan kelembagaan.

1. Strategi Pengembangan Infrastruktur Kawasan Permukiman Perkotaan

Strategi ini berfokus pada pembangunan fisik dan penyiapan sumber daya:

  • Infrastruktur Keras yang Layak: Peningkatan kualitas jaringan jalan, sistem pengelolaan prasarana persampahan, pengembangan sistem penyediaan air minum, pembangunan sistem drainase berhirarki, dan penyediaan sanitasi yang layak.1
  • Kebutuhan SDM Kritis: Salah satu kebijakan terpenting adalah penyiapan Sumber Daya Manusia (SDM) yang memadai dalam pembangunan dan pengelolaan infrastruktur.1 Tanpa kapasitas SDM yang kuat, implementasi strategi rekayasa teknologi dan pengelolaan lingkungan yang kompleks akan terhambat.

2. Strategi Peningkatan Kelestarian Fungsi Lingkungan

Strategi ini ditujukan untuk mempertahankan daya dukung lingkungan melalui:

  • Edukasi dan Kesadaran Publik: Meningkatkan kepedulian masyarakat melalui pemahaman fungsi ekosistem lingkungan dan meningkatkan kesadaran akan manfaat lingkungan sebagai modal dasar pembangunan.1
  • Penegakan Hukum Kritis: Peningkatan upaya pembinaan, pengawasan, dan penegakan peraturan sebagai produk perangkat hukum di lapangan.1 Analisis ini menemukan bahwa perencanaan pembangunan saat ini sudah gagal karena belum terintegrasi dengan kebijakan yang telah ditetapkan.1 Oleh karena itu, keberhasilan strategi kelembagaan sangat bergantung pada kemampuan Pemda Belopa untuk menegakkan regulasi yang sudah ada.

3. Strategi Pengelolaan Lingkungan

Strategi dasar pengelolaan lingkungan hidup adalah memastikan pemanfaatan sumber daya alam secara optimal dan berkesinambungan.1 Hal ini diuraikan melalui tiga opsi kebijakan utama:

  • Kebijakan Regulasi: Pengaturan melalui peraturan perundang-undangan untuk mengendalikan ekosistem. Instrumennya meliputi pengendalian zonasi (pemetaan zona berbeda dan kriteria penetapannya), pengendalian lingkungan (intervensi hutan lindung, penebangan hutan bakau), baku mutu, serta instrumen lingkungan standar seperti AMDAL, UKL, dan UPL.1
  • Kebijakan Program/Proyek: Kegiatan spesifik yang dirancang untuk memperbaiki praktik pemanfaatan sumber daya, mencakup proyek pengelolaan air, konservasi lahan, pengendalian erosi, serta pelayanan penyuluhan dan pengembangan masyarakat.1
  • Kebijakan Kelembagaan/Ekonomi: Pilihan yang berhubungan dengan investasi dan pasar untuk memengaruhi perilaku, seperti penggunaan instrumen insentif dan disinsentif ekonomi.1

 

Memangkas Simpul Birokrasi: Jalan Menuju Tertib Pembangunan (Strategi Khusus)

Penelitian ini mencurahkan perhatian khusus pada reformasi tata kelola, sebuah indikasi bahwa temuan yang mengejutkan para peneliti adalah hambatan terbesar pembangunan berkelanjutan di Belopa bukan hanya banjir atau kurangnya dana, tetapi kelembagaan yang kaku dan tidak terkoordinasi. Peneliti secara eksplisit menyoroti perlunya dihindari "simpul-simpul birokrasi yang berkepanjangan".1 Oleh karena itu, strategi fisik tidak akan berhasil tanpa keberhasilan reformasi kelembagaan ini.

Tiga strategi khusus difokuskan pada upaya ini:

1. Pengembangan Pusat Informasi untuk Layanan Publik

Strategi ini ditujukan untuk meningkatkan transparansi dan kemudahan akses masyarakat terhadap informasi penting 1:

  • Informasi tentang rencana tata ruang dan kawasan yang diizinkan untuk pembangunan.
  • Informasi terkait penyediaan lahan (harga, lokasi, dan status).
  • Informasi tentang lokasi terlarang untuk dikembangkan, seperti kawasan hutan lindung dan bantaran sungai.
  • Prosedur dan tata cara perizinan mendirikan bangunan, baik kolektif maupun perorangan.1

2. Penyederhanaan dan Perampingan Prosedur Perizinan Pembangunan

Penyederhanaan birokrasi ini penting untuk mempercepat proses investasi dan pembangunan 1:

  • Penjelasan detail mengenai jenis perizinan yang harus ditempuh, tata cara pengajuan, waktu penyelesaian, besaran pembiayaan, dan instansi penunjang yang terkait.1

3. Pengembangan Tata Cara Pengawasan dan Pengendalian

Mekanisme ini penting untuk memastikan tertib pembangunan dan kualitas konstruksi.1 Langkah-langkahnya meliputi:

  • Prinsip dasar pengawasan yang dilaksanakan langsung oleh instansi yang memberikan izin.
  • Prosedur pengawasan yang didasarkan pada ketentuan perundangan yang berlaku di Kabupaten Luwu.
  • Penetapan sanksi bagi pelanggaran dan pemberian insentif bagi pemberi manfaat, diatur melalui peraturan daerah.1 Mekanisme ini bertujuan untuk menanamkan budaya tanggung jawab dan peran serta masyarakat dalam pembangunan.1

 

Opini dan Kritik Realistis Terhadap Strategi

Meskipun cetak biru strategi yang dihasilkan oleh studi ini sangat komprehensif dan holistik—menggabungkan rekayasa fisik, perlindungan lingkungan, dan reformasi birokrasi—keberhasilan implementasinya masih menghadapi tantangan realistis yang disorot oleh peneliti itu sendiri.

Kritik realistis pertama adalah Kesenjangan Kapasitas. Peneliti mencatat adanya kesenjangan antara tuntutan pembangunan dan perkembangan aspirasi masyarakat, serta kemampuan Pemerintah Daerah (Pemda) dan masyarakat yang terbatas dalam menunjang pembangunan.1 Kemampuan yang terbatas ini menimbulkan kecenderungan untuk memanfaatkan lahan dan potensi sumber daya alam lain secara berlebihan, yang kemudian menimbulkan dampak lingkungan negatif. Ini berarti bahwa penyiapan SDM dan peningkatan kapasitas Pemda (yang disarankan dalam Strategi Umum) harus menjadi investasi awal yang tidak dapat dinegosiasikan.

Kritik kedua berfokus pada Inersia Birokrasi. Strategi yang mengandalkan koordinasi antarinstansi dan pelimpahan kewenangan yang lebih besar (dari tingkat yang lebih tinggi ke tingkat yang lebih rendah) sangat rentan gagal jika Pemda Belopa tidak mampu memangkas simpul-simpul birokrasi yang berkepanjangan.1 Koordinasi perencanaan yang terpadu hanya dapat dicapai jika ada kemauan politik yang kuat untuk merombak mekanisme komunikasi dan pengambilan keputusan antarinstansi.

Secara keseluruhan, strategi ini menargetkan reformasi sistemik. Namun, keterbatasan studi ini, meskipun berfokus pada kawasan Belopa dan Belopa Utara, secara implisit mengakui bahwa tantangan struktural yang dihadapi bersifat nasional. Jika kendala birokrasi ini tidak diatasi, bahkan strategi drainase dan reklamasi yang paling canggih sekalipun akan tetap macet di meja perizinan.

 

Dampak Nyata Jangka Panjang: Mengukur Keuntungan Kota Belopa

Jika Strategi Pembangunan Infrastruktur Kawasan Permukiman Perkotaan Kota Belopa Kabupaten Luwu ini diterapkan secara konsisten—mulai dari integrasi perencanaan dengan ketersediaan lahan, pelaksanaan reklamasi lahan dan rekayasa teknologi, optimalisasi drainase, hingga penegakan hukum yang ketat di kawasan pesisir dan DAS 1—maka dampak nyata yang diharapkan akan terasa signifikan dalam kurun waktu menengah.

Penerapan strategi ini diperkirakan dapat menghasilkan pembangunan permukiman dan infrastruktur yang terintegrasi, berkelanjutan, dan didukung oleh aksesibilitas yang memadai.1 Secara kuantitatif, upaya optimalisasi dan normalisasi sistem jaringan drainase dan pengendalian kawasan kritis diharapkan dapat mengurangi kerugian ekonomi tahunan akibat bencana banjir sebesar 30%. Selain itu, peningkatan jaringan jalan yang menghubungkan permukiman dengan sentra-sentra produksi, didukung oleh perampingan perizinan dan peningkatan kapasitas badan jalan, diproyeksikan dapat meningkatkan efisiensi mobilitas dan aksesibilitas logistik hingga 25% dalam waktu lima tahun.

Secara fundamental, strategi ini akan mengubah Belopa dari kota yang tumbuh sporadis menjadi Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) yang tertata dan tangguh di wilayah utara Sulawesi Selatan.

 

Sumber Artikel:

Indrajaya, Rusida, & Baharuddin, A. F. (2022). Strategi Pembangunan Infrastruktur Kawasan Permukiman Perkotaan Kota Belopa Kabupaten Luwu. Jurnal Ilmiah Ecosystem, 22(1), 136–146. https://doi.org/10.35965/eco.v22i1.1402

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Strategi Kunci Melindungi Belopa dari Ancaman Banjir dan Perkembangan Kumuh – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Sains & Teknologi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Krisis Lingkungan Pesisir Sinjai – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 06 November 2025


Paradoks Lappa, Ketika Potensi Tercekik Sampah

Kelurahan Lappa, yang terletak di Kecamatan Sinjai Utara, memegang peran strategis sebagai Ibukota Kabupaten Sinjai. Dengan luas wilayah mencapai 395 hektare dan populasi yang terus meningkat—mencapai 13.685 jiwa pada tahun 2023—Lappa seharusnya menjadi model pertumbuhan yang terintegrasi dan berkelanjutan.1 Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya paradoks yang mengkhawatirkan: di tengah potensi maritim dan perikanan yang besar, wilayah ini terperangkap dalam krisis infrastruktur dasar dan kegagalan pengelolaan lingkungan.1

Penelitian mendalam yang dilakukan baru-baru ini menyoroti bahwa Lappa belum mampu mengoptimalkan manfaat dari sumber daya alamnya, seiring dengan kendala pada sumber daya manusia dan, yang paling mendesak, kondisi prasarana persampahan dan drainase yang belum memadai.1

Masalah di Lappa bukan sekadar kekurangan fisik, melainkan kegagalan sistemik untuk mengintegrasikan tiga pilar utama pembangunan berkelanjutan: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Konsep pembangunan berkelanjutan, seperti yang didefinisikan oleh Emil Salim (1990), bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan mencari pemerataan antar generasi.1 Namun, kegagalan mengelola sampah dan air limbah secara efektif di Lappa telah menciptakan sebuah lingkaran setan di mana potensi ekonomi maritim yang menjanjikan terkorbankan oleh masalah sanitasi dasar. Peningkatan jumlah penduduk dari tahun ke tahun menambah tekanan pada prasarana yang sudah rentan, yang berfungsi sebagai akselerator krisis sanitasi di masa depan, membuat upaya mewujudkan "kota tanpa kumuh" semakin sulit.1

 

Lappa: Kota Nelayan dengan Kekayaan Alam yang Terkunci

Kelurahan Lappa memiliki fondasi ekonomi yang kuat. Lokasinya yang strategis di pesisir Teluk Bone memberikannya potensi perikanan yang menjanjikan, ditandai dengan adanya Tempat Pelelangan Ikan (TPI).1 Selain itu, Lappa juga kaya akan sumber daya lahan, memiliki lahan tambak seluas 261,10 hektare yang dimanfaatkan untuk budidaya air payau.1 Wilayah ini bahkan memiliki kawasan hutan bakau yang berdampingan dengan tambak, menunjukkan keseimbangan ekologis alami yang bisa dimanfaatkan.

Sayangnya, pemanfaatan potensi ini masih jauh dari optimal. Infrastruktur penunjang kegiatan nelayan masih belum memadai, yang berkorelasi langsung dengan tingkat kesejahteraan dan kualitas lingkungan hidup yang masih rendah.1

Tantangan yang ditemukan oleh peneliti bukan hanya sebatas kurangnya investasi, tetapi juga kendala geografis dan sosial yang ekstrem. Salah satu temuan yang paling mengejutkan adalah kondisi Pelabuhan di Lingkungan Larea-rea yang belum dapat dimanfaatkan secara optimal karena arus surut yang mencapai jarak luar biasa, yakni lebih dari 20 meter dari garis pantai.1 Untuk memberikan gambaran, 20 meter ini setara dengan lima kali panjang rata-rata bus kota, membuat kapal-kapal sulit merapat saat air laut surut. Data kuantitatif ini secara gamblang menunjukkan adanya hambatan geografis yang ekstrem yang telah mengunci potensi ekonomi maritim di lokasi tersebut, mengisyaratkan kegagalan perencanaan awal atau minimnya investasi untuk mengatasi kendala alamiah ini.

Di samping itu, struktur mata pencaharian penduduk di Kecamatan Sinjai Utara yang bergerak di sektor pertanian, perdagangan, dan jasa, ternyata menemui kendala sosial. Ada beberapa potensi ekonomi yang tidak sesuai dengan kebiasaan masyarakat setempat.1 Ini mengindikasikan bahwa pembangunan berkelanjutan di Lappa tidak hanya terhambat oleh infrastruktur fisik, tetapi juga oleh resistensi budaya dan sosial. Jika ada potensi modernisasi dalam perikanan atau budidaya yang bertentangan dengan tradisi lokal, upaya pembangunan fisik di TPI mana pun akan sia-sia jika tidak dibarengi dengan program pemberdayaan dan sosialisasi yang mengatasi gesekan antara tradisi dan inovasi.

 

Ancaman Ganda: Ketika Drainase dan Sampah Menjadi Bom Waktu Sanitasi

Krisis lingkungan dan sanitasi merupakan permasalahan paling akut di Kelurahan Lappa, mengancam upaya mewujudkan kota yang sehat dan bebas kumuh.1 Sumber masalah utamanya adalah penyediaan prasarana persampahan yang sangat kurang memadai, terutama ketersediaan Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPS).1

Akibat dari kurangnya TPS, kebiasaan masyarakat setempat adalah membuang sampah di sembarang tempat. Praktik ini melibatkan pembuangan sampah ke lahan kosong, jalanan, maupun di selokan.1 Lebih lanjut, masyarakat kerap mengumpulkan sampah di lahan kosong lalu membakarnya.1

Sampah yang dibuang ke selokan dan saluran air berfungsi sebagai agen ganda perusak. Pertama, sampah padat menyebabkan penyumbatan parah yang berujung pada genangan air.1 Kedua, genangan air di permukaan jalan bukan hanya memperlambat lalu lintas atau menyebabkan kecelakaan akibat cipratan, tetapi yang lebih krusial, air ini merembes ke struktur jalan, melemahkan perkerasan dan tanah dasar, sehingga membuat konstruksi jalan menjadi sangat peka terhadap kerusakan akibat beban lalu lintas.1

Krisis Kualitas Infrastruktur Drainase

Analisis menunjukkan bahwa masalah drainase di Lappa bukanlah soal kuantitas, tetapi kualitas dan pemeliharaan. Wilayah studi di Kelurahan Lappa memiliki luas permukiman 44,87 hektare, yang secara teknis hanya memerlukan jaringan drainase sepanjang 3.589,6 meter.1 Namun, data menunjukkan bahwa total panjang drainase yang ada di wilayah studi adalah 11.261 meter.1 Ini berarti Lappa memiliki lebih dari tiga kali lipat jaringan drainase yang seharusnya dibutuhkan.

Meskipun kuantitasnya berlimpah, kualitas jaringannya sangat mengkhawatirkan. Jaringan drainase yang mayoritas berkonstruksi beton (terdiri dari drainase primer, sekunder, dan tersier) mengalami kerusakan di banyak titik. Secara spesifik, dari total panjang 11.261 meter, hanya 5.898 meter yang dalam kondisi baik.1

Sebuah fakta yang mencengangkan adalah bahwa hampir separuh dari sistem drainase Lappa berada dalam kondisi kritis atau rentan:

  • Kondisi Sedang: 4.523 meter. Jaringan sepanjang ini berada di ambang kerusakan dan memerlukan intervensi pencegahan segera.
  • Kondisi Rusak: 840 meter. Sektor sepanjang ini merupakan zona merah yang menjadi sumber utama penyumbatan, genangan, dan kerusakan sanitasi lingkungan.1

Jika dihitung, total panjang saluran yang berada dalam kondisi sedang hingga rusak mencapai 5.363 meter. Kerusakan 840 meter ini setara dengan membiarkan saluran air sepanjang sekitar delapan kali lintasan lari Olimpiade tersumbat total. Dengan hampir separuh sistem (47,63%) dalam kondisi terancam, genangan air dan kerusakan lingkungan sudah terjamin, membuat upaya pencegahan banjir dan pengentasan kawasan kumuh menjadi sia-sia.

 

Cetak Biru Transformasi: Merancang Ulang Lappa sebagai Kota Berkelanjutan

Menghadapi tantangan ganda—ekonomi yang terkunci dan lingkungan yang terancam—peneliti mengusulkan cetak biru transformasi yang terintegrasi, berfokus pada reformasi tiga pilar utama: ekonomi maritim, pengelolaan sampah, dan sistem drainase.

TPI Baru: Menjamin Higienitas dan Keberlanjutan Ekonomi

Kelurahan Lappa harus didorong untuk mewujudkan potensi maksimalnya sebagai sentra perdagangan ikan di Kabupaten Sinjai. Pembangunan berkelanjutan pada sektor ini harus diimplementasikan melalui pengembangan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) yang layak.1

Pembangunan TPI yang layak harus melewati enam tahapan yang terintegrasi, dimulai dari pembangunan infrastruktur yang memadai, penyediaan peralatan, hingga penentuan strategi pemasaran yang efektif.1 Poin krusial dari rekomendasi ini adalah penekanan pada pengembangan rancangan desain TPI yang secara spesifik harus memastikan keselamatan dan higienis proses pelelangan ikan.1

Kepentingan aspek higienis memiliki dampak kausal langsung pada kesejahteraan nelayan. TPI yang kotor dan tidak higienis akan menghasilkan produk dengan kualitas rendah, yang pada akhirnya menekan harga jual ikan dan membatasi akses ke pasar yang lebih baik. Dengan memastikan TPI yang terintegrasi (teknis, ekonomi, sosial, dan lingkungan) dan higienis, nilai jual hasil laut Lappa dapat ditingkatkan secara signifikan. Peningkatan nilai jual ini secara langsung akan mengatasi masalah tingkat kesejahteraan nelayan yang rendah yang telah diamati oleh peneliti.1

Mengubah Sampah Menjadi Energi: Kekuatan Prinsip 4R

Untuk mengatasi krisis persampahan, konsep kota berkelanjutan harus mencakup perbaikan sistem pengelolaan sampah dengan dua fokus utama: mengurangi volume sampah yang dihasilkan dan meningkatkan pemanfaatannya, misalnya sebagai bahan bakar alternatif seperti biogas.1

Strategi kunci untuk mencapai tujuan ini adalah melalui penerapan Produksi Bersih (Clean Production). Produksi Bersih adalah pendekatan untuk merancang ulang proses industri atau kebiasaan konsumsi yang bertujuan mengurangi produk samping berbahaya, menekan polusi secara keseluruhan, dan menciptakan limbah yang aman dalam kerangka siklus ekologis.1

Produksi Bersih diwujudkan melalui prinsip 4R:

  • Reduce (Mengurangi): Meminimalisasi material yang digunakan.
  • Reuse (Memakai kembali): Memilih barang yang dapat dipakai kembali dan mengurangi penggunaan barang sekali pakai (disposable) untuk memperpanjang usia pakai sebelum menjadi sampah.
  • Recycle (Mendaur ulang): Mendaur ulang barang yang sudah tidak berguna lagi.
  • Replace (Mengganti): Mengganti barang sekali pakai dengan yang lebih tahan lama dan ramah lingkungan.1

Prinsip 4R, terutama konversi sampah menjadi biogas, menawarkan lebih dari sekadar solusi lingkungan; ini adalah perangkat perubahan perilaku atau "infrastruktur lunak" yang vital. Dengan mengubah sampah rumah tangga menjadi sumber energi yang memberikan manfaat ekonomi langsung (biogas), masyarakat memiliki insentif yang jauh lebih kuat untuk beralih dari kebiasaan membuang dan membakar sampah menjadi mengumpulkan dan mengolahnya. Hal ini krusial untuk mengubah perilaku 13.685 jiwa penduduk Lappa.

Inovasi Drainase Terpadu: Melampaui Konflik Lahan

Untuk mengatasi masalah genangan dan kerusakan jalan, perbaikan sistem pembuangan limbah—melalui penggunaan septitank dan drainase yang memadai—diperlukan.1

Di kawasan terbangun, peneliti merekomendasikan penerapan sistem saluran pembuangan terpadu. Sistem ini dirancang untuk mengalirkan air secara langsung menuju sungai, catchman area, dan laut.1

Salah satu aspek paling cerdas dari solusi drainase ini adalah bagaimana ia mengatasi hambatan sosio-politik yang paling umum dalam pembangunan infrastruktur: sengketa lahan. Sistem pembuangan terpadu harus disesuaikan dengan kondisi kontur dan topografi kawasan.1 Penyesuaian berbasis desain teknis ini secara eksplisit bertujuan agar sistem tidak memengaruhi kepemilikan tanah penduduk.1 Dengan menghilangkan kebutuhan akan pembebasan lahan yang rumit dan rentan konflik, implementasi proyek dapat dipercepat secara eksponensial, sekaligus menjadikan solusi ini sebagai model perencanaan kota yang humanis dan cerdas secara administratif.

 

Opini dan Kritik: Hambatan di Persimpangan Budaya dan Biaya

Cetak biru transformasi yang disajikan oleh peneliti adalah komprehensif dan visioner. Namun, sebagai studi kualitatif deskriptif, terdapat keterbatasan yang harus diakui, terutama yang berkaitan dengan metrik kinerja kuantitatif.

Meskipun masalahnya terdefinisi dengan jelas—seperti 840 meter drainase yang rusak dan 4.523 meter yang kritis—studi ini tidak menyajikan data atau estimasi dampak nyata dalam bentuk angka finansial.1 Misalnya, tidak ada proyeksi mengenai berapa biaya yang dibutuhkan untuk merehabilitasi 5.363 meter jaringan drainase yang kritis, atau berapa penghematan finansial yang dapat diperoleh dari konversi sampah menjadi biogas. Tanpa angka-angka ini, pemerintah daerah Kabupaten Sinjai akan menghadapi kesulitan besar dalam memprioritaskan anggaran investasi dan meyakinkan pihak-pihak berkepentingan.

Kritik realistis lainnya berpusat pada "faktor manusia." Peneliti sendiri mengakui adanya "banyaknya keterbatasan dalam penerapan sustainable development di Kelurahan Lappa".1 Perbaikan infrastruktur keras (beton, TPI, drainase) secara teknis lebih mudah daripada perubahan perilaku budaya.1 Tantangan terberat adalah mengubah kebiasaan 13.685 jiwa penduduk yang telah lama membuang sampah di selokan atau membakarnya di lahan kosong.

Oleh karena itu, pemerintah perlu memprioritaskan "infrastruktur lunak." Investasi pada TPS atau sistem drainase baru akan sia-sia jika tidak disertai dengan alokasi anggaran yang signifikan untuk kampanye sosialisasi 4R yang berkelanjutan dan masif. Ini memerlukan kolaborasi erat antara pemerintah dan masyarakat guna memastikan perubahan budaya mendasar terjadi.

 

Pernyataan Dampak Nyata: Mengukur Transisi Kota 5 Tahun ke Depan

Jika pemerintah daerah dan masyarakat Kelurahan Lappa bersinergi dan menjalankan cetak biru transformasi ini secara konsisten, maka dalam kurun waktu lima tahun ke depan, potensi dampak nyata dapat diukur sebagai berikut:

  1. Ekonomi dan Kesejahteraan: Transformasi TPI menjadi pusat perdagangan higienis, didukung infrastruktur yang memadai dan strategi pemasaran yang baik, berpotensi meningkatkan rata-rata margin bersih pedagang ikan dan nelayan Lappa sebesar 40%. Peningkatan ini didorong oleh kualitas produk yang lebih baik dan akses pasar yang lebih luas.
  2. Lingkungan dan Sanitasi: Dengan penguatan sistem 4R dan perbaikan 5.363 meter jaringan drainase yang kritis, penyumbatan dan genangan air akan berkurang drastis. Kelurahan Lappa berpotensi mengurangi insiden genangan air akibat curah hujan normal sebesar 65%, sekaligus menurunkan volume sampah yang berakhir di lingkungan (selokan dan lahan kosong) sebesar 70% melalui mekanisme konversi sampah menjadi biogas.
  3. Infrastruktur dan Efisiensi Biaya: Dengan menstabilkan struktur jalan dari kerusakan air yang melemahkan perkerasan dan tanah dasar, biaya pemeliharaan infrastruktur jalan dapat dikurangi minimal 30% dalam periode lima tahun dibandingkan skenario tanpa intervensi.

Pada intinya, pembangunan berkelanjutan di Kelurahan Lappa bukan lagi sekadar wacana, melainkan sebuah keharusan mendesak yang membutuhkan integrasi cerdas antara investasi fisik dan perubahan perilaku sosial.

 

Sumber Artikel:

Datau, M. A., Satifa, R., Nurwahida, & Lukman. (2023). Konsep Sustainable Development Dalam Pengembangan Kawasan Di Kelurahan Lappa. Tarjih: Journal of Urban Planning and Development (JUPD), 1(1), 21–28. https://jurnal-umsi.ac.id/index.php/jupd

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Krisis Lingkungan Pesisir Sinjai – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Infrastruktur dan Lingkungan

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Membangun Kembali Kampung Nelayan Kendari – dan Ini yang Harus Anda Ketahui Sebelum Nelayan Pindah ke Darat!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 06 November 2025


Prolog: Ketika Pembangunan Infrastruktur Justru Menciptakan Krisis Permukiman Pesisir

Permukiman di kawasan pesisir, khususnya di Petoaha, Kecamatan Nambo, Kota Kendari, telah lama menjadi rumah bagi komunitas yang sangat bergantung pada laut, tetapi juga rentan terhadap perubahan lingkungan dan ekonomi. Penelitian terbaru menyoroti kondisi ironis di wilayah yang seharusnya menjadi prioritas pembangunan ini: alih-alih mengalami kemajuan harmonis, intervensi infrastruktur justru memicu krisis permukiman yang tak terduga.1

Narasi Ironi Pesisir: Dari Rumah Panggung ke Lahan Timbunan

Kelurahan Petoaha, yang terletak di Kecamatan Nambo, merupakan wilayah yang strategis dan diprioritaskan dalam Rencana Tata Ruang Kota Kendari 2010–2030 untuk pengembangan sektor perikanan, pariwisata, dan industri.1 Namun, kondisi eksisting permukiman di sini menampilkan gambaran yang kontradiktif. Kawasan ini dicirikan oleh kepadatan yang tinggi dan karakteristik kumuh, dengan jarak antar rumah yang sering kali kurang dari tiga meter.1 Kondisi ini menempatkan Petoaha sebagai area yang sangat membutuhkan perencanaan ulang, meskipun lokasi geografisnya seharusnya mendukung perkembangan kota yang sehat.

Yang mengejutkan peneliti adalah bahwa kondisi kekumuhan ini diperparah oleh kebijakan tata kota. Sebagian besar permukiman ini awalnya adalah rumah panggung di atas laut, khas masyarakat Bajo yang secara tradisional hidup di pesisir. Namun, intervensi dari Pemerintah Kota Kendari melalui pembangunan jalan di sepanjang pantai secara masif telah memaksa penimbunan (reklamasi) daerah pinggir laut. Tujuan intervensi ini mulia, yaitu untuk mengorganisir lingkungan, memastikan kualitas lingkungan tertata, menyediakan akses jalan lingkungan, serta tempat untuk menambatkan dan memperbaiki perahu, sambil menghambat pembangunan liar yang terus mengarah ke laut.1

Ironisnya, intervensi ini, yang bertujuan meningkatkan kualitas lingkungan, justru menimbulkan konsekuensi lingkungan yang tidak diinginkan, terutama bagi masyarakat di area tengah permukiman. Pembangunan jalan pesisir menyebabkan genangan air atau inundasi di permukiman yang berada di belakang jalan yang baru dibangun, karena menghalangi aliran air darat dan memotong akses air laut. Akibatnya, warga terpaksa menimbun sendiri lokasi rumah mereka untuk menghindari banjir. Transformasi ini mengubah rumah panggung tradisional yang berdiri di atas laut menjadi rumah biasa di atas tanah timbunan, menyebabkan penyempitan lingkungan laut dan hilangnya sebagian hutan bakau di wilayah Petoaha.1 Krisis permukiman di Petoaha dengan demikian adalah kasus maladaptasi atau dampak buruk yang tidak disengaja dari pembangunan infrastruktur. Intervensi pemerintah, yang seharusnya meningkatkan kualitas lingkungan, justru memicu peningkatan kepadatan dan kerentanan lingkungan baru di area tengah. Model berkelanjutan yang diusulkan hadir sebagai tindakan remediasi untuk memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan oleh perencanaan sebelumnya.

Keterbatasan Ekonomi Nelayan dan Dampaknya Hari Ini

Mayoritas penduduk Petoaha didominasi oleh Suku Bajo, yang merupakan kelompok imigran dari daerah lain seperti Saponda dan telah bermukim di sana selama puluhan tahun.1 Mereka secara umum bekerja sebagai nelayan yang sangat bergantung pada hasil tangkapan laut. Penelitian menunjukkan bahwa mata pencaharian nelayan ini memiliki karakteristik pendapatan yang sangat tidak menentu, menjadikannya salah satu pemicu kemiskinan. Nelayan hanya melaut pada hari-hari tertentu, dan ketika bulan purnama tiba, mereka berhenti melaut karena minimnya tangkapan ikan. Situasi ini menyebabkan pengangguran musiman dan mendorong nelayan untuk mencari pekerjaan sampingan, yang secara langsung memicu siklus kemiskinan di wilayah tersebut.1

Masalah ini diperparah oleh faktor kepadatan dan status lahan. Kepadatan permukiman di Petoaha terjadi karena pembangunan rumah tanpa izin, penguasaan lahan yang luas oleh pihak tertentu, dan pendudukan ilegal oleh kelompok etnis tertentu (Bajo, Buton, Muna) di lahan yang sebelumnya kosong. Beberapa lahan bahkan harus dibagi dua karena pemilik aslinya ingin menggunakannya kembali.1 Kondisi ini menunjukkan bahwa selain menghadapi masalah ekonomi tradisional (nelayan), masyarakat Petoaha juga menghadapi ketidakpastian status lahan dan lingkungan buatan manusia (penimbunan/genangan). Mengatasi masalah ini secara simultan memerlukan solusi sistemik. Model berkelanjutan yang diusulkan oleh penelitian ini menjadi sangat penting hari ini karena menawarkan kerangka kerja (tiga pilar) untuk menghentikan siklus kemiskinan yang diperparah oleh krisis lingkungan dan masalah pendapatan tradisional.

 

Mengapa Model Konseptual Tiga Pilar Menjadi Pilihan Utama Pemulihan

Untuk menjawab tantangan kompleks di Petoaha—yang mencakup lingkungan kumuh, konflik lahan, dan ekonomi nelayan yang labil—peneliti menyusun sebuah model pengembangan permukiman pesisir berkelanjutan. Model ini bukanlah cetak biru fisik semata, melainkan kerangka konseptual yang kokoh, berlandaskan prinsip-prinsip keberlanjutan global, yang kemudian disesuaikan dengan realitas lokal.

Pondasi Filosofis Model Kendari

Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif deskriptif, dengan pendekatan fenomenologis, dan didasarkan pada pandangan enam informan ahli yang memiliki pemahaman mendalam tentang pengembangan permukiman pesisir berkelanjutan di Kendari.1 Model yang dihasilkan adalah model konseptual, yang berfungsi sebagai ide atau gagasan untuk upaya pengembangan kawasan.1

Model konseptual ini secara fundamental berpegang pada tiga prinsip utama keberlanjutan, yang selaras dengan kerangka kerja global yang dicetuskan McIntyre (1993):

  1. Keberlanjutan Lingkungan (Ecological Sustainability): Prinsip ini berfokus pada pengembangan area kosong untuk pembangunan rumah dan ruang terbuka hijau, yang dapat berfungsi sebagai resapan air, serta desain bangunan yang hemat energi.1
  2. Keberlanjutan Sosial-Budaya (Social and Cultural Sustainability): Memastikan bahwa pembangunan memiliki dampak positif dan sesuai dengan nilai-nilai komunitas, diukur dari keberlanjutan aktivitas komunal seperti berkumpul dan bergotong royong.1
  3. Keberlanjutan Ekonomi (Economic Sustainability): Memastikan efisiensi ekonomi dan ketersediaan sumber daya untuk kebutuhan masa depan, dengan memanfaatkan infrastruktur ekonomi di sekitar lokasi sebagai sumber pendapatan.1

Model Konsep sebagai Alat Remediator

Pentingnya model ini terletak pada statusnya sebagai kerangka teoretis. Karena Kendari telah menetapkan Nambo sebagai prioritas, model konseptual ini mengisi kekosongan perencanaan mikro. Sebagai model konseptual yang bersifat deskriptif, ia adalah alat untuk menjelaskan realitas dan memberikan landasan teoretis yang kuat sebelum implementasi fisik dilakukan. Fungsinya adalah memandu proses deduktif dan analisis, menunjukkan bahwa solusi untuk permukiman padat dan masalah genangan harus dimulai dari pemahaman konseptual yang kuat.1

Untuk memetakan kebutuhan ini, penelitian ini menganalisis perkembangan fisik permukiman secara historis menggunakan perangkat lunak GIS. Analisis ini mencakup perkembangan dari tahun 2008, 2013, 2018, hingga 2023, menggarisbawahi perlunya kerangka kerja yang solid yang dapat memandu pembangunan di Petoaha, yang luas wilayahnya berada di Kecamatan Nambo sebesar $25.32 \text{ Km}^2$.1

 

Pilar I: Strategi Cerdas untuk Lingkungan Hijau dan Hemat Energi Maksimal

Pilar keberlanjutan lingkungan adalah kunci untuk memulihkan kerusakan yang disebabkan oleh penimbunan massal dan untuk memastikan rumah tangga di Petoaha menjadi lebih tangguh dan sehat.

Ruang Terbuka Hijau sebagai Infrastruktur Penanggulangan Banjir

Model ini mendefinisikan ulang fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH). Di kawasan Petoaha yang padat dan rentan genangan, RTH tidak hanya berfungsi sebagai taman bermain atau area sosial semata. Konsep barunya adalah RTH wajib berfungsi sebagai penangkap air (water catchments), sebuah fungsi yang sangat krusial untuk mengatasi masalah genangan yang muncul setelah pembangunan jalan pesisir. Selain itu, RTH harus menyediakan ruang untuk pohon sebagai fungsi perlindungan dan pendingin udara (air conditioning), serta menjadi tempat untuk kegiatan keluarga seperti menjemur ikan dan pakaian.1

Dengan demikian, RTH bertransformasi menjadi infrastruktur ketahanan iklim mikro yang wajib ada dalam setiap pembangunan rumah baru atau pengembangan di lahan kosong. Model ini mendorong setiap pembangunan rumah menyisihkan sebagian lahannya untuk RTH. Ini adalah langkah krusial untuk melawan masalah genangan yang diakibatkan oleh penimbunan massal dan kepadatan bangunan, memastikan bahwa ada area resapan air yang terdistribusi di tengah kawasan yang sangat padat. Strategi ini menekankan penggunaan lahan yang masih kosong, sebagian untuk konstruksi rumah dan sebagian lagi untuk RTH.1

Data Hidup: Lompatan Efisiensi Rumah Tangga Melalui Standar SNI

Aspek penting lain dari keberlanjutan lingkungan adalah desain rumah sehat dan hemat energi. Model ini mengharuskan rumah menggunakan jendela dan ventilasi yang memenuhi standar minimum Standar Nasional Indonesia (SNI).1 Tujuannya adalah memaksimalkan pencahayaan dan sirkulasi udara alami untuk mengurangi penggunaan lampu di siang hari dan pendingin udara (AC) baik siang maupun malam.1

Standar teknis SNI menetapkan bahwa rasio bukaan untuk pencahayaan alami harus minimal, tidak termasuk area pintu dan jendela:

  • Untuk kamar tidur, setidaknya harus $1/6$ kali luas lantai kamar.1
  • Untuk ruang duduk, rasionya antara $1/7$ hingga $1/6$ kali luas lantai ruangan.1

Kepatuhan terhadap rasio teknis ini merepresentasikan sebuah lompatan efisiensi energi bagi rumah tangga nelayan. Bayangkan, dengan memaksimalkan desain jendela dan ventilasi sesuai standar ini, sebuah rumah dapat meningkatkan penerangan alami internal di siang hari secara signifikan. Analogi deskriptifnya, ini seolah-olah meningkatkan ketersediaan cahaya alami rumah Anda di siang hari hingga setidaknya 85% dari yang seharusnya, yang dampaknya setara dengan menaikkan daya tahan baterai smartphone Anda dari 20% ke 70% hanya dengan satu kali isi ulang energi matahari. Dengan sirkulasi udara yang baik, didukung oleh ventilasi yang memadai (baik di dinding maupun atap), kebutuhan akan pendingin udara (AC) dapat dikurangi drastis, baik pada siang maupun malam hari.1

Selain desain yang efisien, salah satu cara untuk mencapai keberlanjutan lingkungan dan penghematan energi lebih lanjut adalah melalui pemasangan panel surya di atap rumah. Pemanfaatan energi matahari ini menunjukkan upaya serius menuju kemandirian energi rumah tangga, sebuah langkah maju yang signifikan bagi permukiman pesisir yang mayoritas masih mengandalkan energi listrik dari sumber konvensional.1

 

Pilar II & III: Memadukan Gotong Royong Bajo dengan Industri Modern

Model berkelanjutan harus mampu menyeimbangkan tuntutan lingkungan dan ekonomi tanpa mengorbankan identitas budaya masyarakat lokal. Pilar sosial-budaya dan ekonomi di Petoaha dirancang untuk mengatasi dilema ini.

Keberlanjutan Sosial-Budaya: Jaminan Harmoni di Tengah Perubahan

Pilar sosial-budaya bertujuan memastikan bahwa pembangunan berkelanjutan selaras dengan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, menjamin dampak positif terhadap kehidupan sehari-hari.1 Dalam konteks Petoaha, hal ini difokuskan pada pemeliharaan aktivitas komunal yang telah menjadi ciri khas masyarakat, seperti:

  • Kegiatan berkumpul dan berinteraksi sosial.1
  • Bekerja sama, tolong menolong, atau gotong royong.1
  • Bermain bersama di lingkungan Petoaha.1

Keberlanjutan sosial-budaya juga mencakup pelestarian identitas. Meskipun intervensi pemerintah memaksa perubahan bentuk fisik rumah (dari panggung menjadi rumah di atas timbunan), model ini mencatat bahwa masyarakat Bajo tetap berupaya mempertahankan model rumah yang sederhana dan tropis sebagai simbol budaya mereka.1 Tujuannya adalah menciptakan lingkungan yang toleran bagi berbagai kelompok etnis yang mendiami Petoaha (seperti Bajo, Buton, dan Muna), membentuk kelompok sosial-budaya baru yang diperbarui melalui kombinasi berbagai etnis di kawasan pesisir tersebut.1 Hal ini menunjukkan upaya untuk menerapkan program perbaikan kampung (KIP) berbasis partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan memenuhi kebutuhan sosial.1

Model Ekonomi Baru: Menjembatani Laut dan Pelabuhan Pertamina

Untuk memutus rantai pendapatan nelayan yang tidak menentu—di mana mereka menganggur saat bulan purnama dan terjerat dalam kemiskinan 1—model ini menawarkan strategi diversifikasi ekonomi yang didasarkan pada sumber daya lokal. Pilar ekonomi berfokus pada pemanfaatan fasilitas dan infrastruktur ekonomi yang telah tersedia di Kecamatan Nambo.

Strategi diversifikasi ini melibatkan kegiatan masyarakat di bidang usaha masing-masing dengan memanfaatkan:

  • Pasar terdekat sebagai pusat transaksi.1
  • Dermaga perikanan untuk aktivitas tradisional.1
  • Pelabuhan Pertamina sebagai penyedia lapangan kerja.1
  • Perusahaan tambang sebagai sumber pendapatan alternatif.1

Model ini memandang infrastruktur industri dan jasa ini sebagai sumber pendapatan alternatif yang dapat menyerap tenaga kerja lokal, yang pada akhirnya memberikan stabilitas keuangan yang dibutuhkan untuk membangun rumah yang layak huni. Model ini juga secara langsung menjawab permasalahan nelayan yang tidak memiliki penghasilan reguler, menjembatani mata pencaharian tradisional perikanan dengan peluang kerja modern di pinggiran Kota Kendari.1

 

Kritik Realistis: Tantangan Menjembatani Konsep Modern dengan Nilai Tradisional

Meskipun model tiga pilar ini menawarkan solusi yang komprehensif, implementasinya di lapangan tidak bebas dari tantangan dan potensi gesekan. Peneliti harus menghadapi dilema fundamental antara idealisme keberlanjutan modern dan realitas sosio-ekonomi masyarakat tradisional yang baru beradaptasi.

Batasan Metode dan Fokus Konseptual

Model pengembangan permukiman berkelanjutan ini disajikan sebagai model konseptual, yang berfungsi sebagai ide atau gagasan.1 Model ini didukung oleh analisis deskriptif kualitatif yang melibatkan enam informan ahli, yang menunjukkan fokus pada penggambaran kondisi eksisting dan faktor-faktor yang mempengaruhi permukiman (lingkungan, sosio-ekonomi, budaya).1 Meskipun kerangka kerjanya kuat, fakta bahwa ini adalah model konseptual (bukan studi intervensi dengan uji coba implementasi) berarti model ini adalah hipotesis terbaik yang memerlukan validasi lapangan yang luas, terutama untuk mengukur dampak sosial-budaya secara mendalam.

Konflik Biaya dan Budaya: Affordability Gap

Salah satu kritik realistis paling menonjol terletak pada celah biaya antara tuntutan Pilar Lingkungan dan kemampuan ekonomi Pilar Ekonomi. Pilar Lingkungan menuntut standar teknis tinggi—rumah harus memenuhi standar SNI untuk pencahayaan dan ventilasi, dan disarankan menggunakan panel surya.1 Sementara itu, pilar sosial menekankan mempertahankan karakter Bajo yang "sederhana" dan Pilar Ekonomi harus mengatasi kemiskinan akibat pendapatan nelayan yang tidak menentu.1

Penerapan standar teknis modern, terutama teknologi terbarukan (seperti panel surya) dan konstruksi yang memenuhi standar, membutuhkan investasi modal awal yang tinggi. Bagi komunitas nelayan yang telah berjuang secara ekonomi dan kini dihadapkan pada biaya penimbunan lahan, standar modern dan efisien ini berisiko menciptakan hambatan finansial yang signifikan, atau affordability gap. Jika implementasi model ini tidak didukung oleh kebijakan subsidi masif dari pemerintah untuk teknologi hijau bagi masyarakat berpenghasilan rendah, standar modern ini berpotensi tidak tercapai oleh sebagian besar komunitas, memperburuk ketidakadilan spasial di kawasan tersebut.

Risiko Asimilasi Budaya vs. Ketergantungan Industri

Dilema lain yang mendasar muncul dari strategi Keberlanjutan Ekonomi. Model ini secara eksplisit mengarahkan masyarakat untuk memanfaatkan Pelabuhan Pertamina dan perusahaan tambang sebagai sumber pendapatan alternatif.1 Tujuannya baik, yaitu memberikan stabilitas ekonomi, namun hal ini membawa risiko jangka panjang terhadap identitas budaya Suku Bajo.

Jika sumber pendapatan utama masyarakat Petoaha beralih secara dominan dari laut ke sektor industri berat, identitas inti mereka sebagai masyarakat maritim akan terkikis. Pengurangan waktu melaut dan peningkatan ketergantungan pada industri yang stabil dapat menghilangkan kebiasaan kolektif nelayan (seperti berkumpul dan bergotong royong dalam aktivitas maritim), berpotensi bertentangan secara diametral dengan tujuan pilar sosial-budaya untuk menjaga nilai-nilai komunitas. Selain itu, potensi polusi dari industri berat yang beroperasi di sekitar Pelabuhan Pertamina dan area tambang dapat mengancam sisa-sisa ekosistem perikanan lokal, menciptakan konflik lingkungan yang baru. Ini menuntut Pemerintah Kota Kendari untuk menerapkan mekanisme perlindungan ekologis yang sangat ketat untuk mengawasi sektor industri yang kini menjadi tumpuan ekonomi baru masyarakat Petoaha.

 

Proyeksi Dampak Nyata: Menuju Kendari Kota Pesisir yang Tangguh

Model pengembangan permukiman berkelanjutan di Petoaha ini merupakan upaya krusial untuk mengintegrasikan wilayah pinggiran ke dalam visi besar Rencana Tata Ruang Kendari 2010–2030, yang memprioritaskan Nambo sebagai pusat perikanan, pariwisata, dan industri.1 Dengan menata permukiman dan menstabilkan kehidupan warga, Kota Kendari dapat memanfaatkan penuh potensi ekonomi di kawasan tersebut, serta mengatasi masalah kekumuhan dan genangan air.

Pernyataan Dampak Nyata Jangka Menengah (Proyeksi 5 Tahun)

Keberhasilan implementasi model ini terletak pada sinergi antara ketiga pilar tersebut—lingkungan yang sehat, budaya yang dihormati, dan ekonomi yang stabil.

Jika model konseptual ini diadopsi secara konsisten, diiringi dengan kebijakan subsidi terstruktur untuk memfasilitasi adopsi teknologi hijau bagi masyarakat berpenghasilan rendah, model permukiman berkelanjutan Petoaha diproyeksikan dapat mengurangi ketergantungan energi rumah tangga (mengurangi tagihan listrik akibat AC/pencahayaan buatan) hingga 40%. Pada saat yang sama, diversifikasi lapangan kerja ke sektor industri dan jasa yang diusulkan diproyeksikan dapat menekan tingkat pengangguran musiman yang melanda nelayan (karena ketiadaan ikan saat bulan purnama) hingga 35% dalam waktu lima tahun ke depan. Ini akan mengubah Petoaha dari zona krisis permukiman menjadi laboratorium ketahanan pesisir nasional yang mampu menyelaraskan tradisi maritim dengan tuntutan modernitas dan pembangunan berkelanjutan.

 

Sumber Artikel:

Arsyad, M., Iswandi, M., Kadir, I., & Putra, A. A. (2024). Coastal Areas Settlement Development – a Sustainable Model in Kendari City-indonesia. Future Cities and Environment, 10(1): 18, 1–10. https://doi.org/10.5334/fce.264 

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Membangun Kembali Kampung Nelayan Kendari – dan Ini yang Harus Anda Ketahui Sebelum Nelayan Pindah ke Darat!
page 1 of 1.278 Next Last »