Perencanaan Kota
Dipublikasikan oleh Raihan pada 22 Oktober 2025
Mengubah Paradigma Perencanaan Ruang Hijau Bencana: Memastikan Kecocokan Suplai dan Permintaan di Metropolis Padat
Urbanisasi yang pesat telah mengubah kota-kota metropolitan padat menjadi simpul kerentanan tinggi terhadap berbagai bencana, termasuk bencana geologi, banjir, dan kebakaran. Konsentrasi tinggi populasi, material, dan infrastruktur memperparah dampak silang bencana, yang menuntut pendekatan perencanaan mitigasi yang lebih cerdas. Ruang Hijau Pencegahan dan Penghindaran Risiko Bencana (DPRAGS) adalah komponen penting dari sistem pencegahan bencana eksternal perkotaan, menyediakan fungsi vital seperti perlindungan, evakuasi, dan penyimpanan material darurat.
Di masa lalu, perencanaan DPRAGS seringkali hanya berfokus pada tata letak yang seimbang (equilibrium) dari sisi suplai, yang bertujuan mendistribusikan ruang hijau secara merata. Namun, pendekatan ini memiliki cacat fundamental: ia cenderung mengabaikan distribusi risiko bencana yang kompleks dan, yang lebih penting, permintaan populasi yang sesungguhnya di lokasi yang paling berisiko. Akibatnya, muncul kesenjangan yang luas antara suplai dan permintaan ruang hijau perlindungan—area yang ditandai dengan suplai yang tidak memadai, aksesibilitas rendah, dan pemanfaatan sumber daya yang tidak efisien, khususnya di saat kritis.
Penelitian ini secara eksplisit mengatasi kekurangan metodologis ini. Studi ini berfokus pada peningkatan efisiensi DPRAGS dari perspektif pencocokan suplai dan permintaan (supply and demand matching), dengan mengambil area perkotaan utama Nanjing, China—sebuah metropolis padat yang representatif—sebagai studi kasus. Dengan memanfaatkan teknologi Sistem Informasi Geografis (GIS) dan model cakupan kapasitas maksimal terbatas (maximum capacity limitation coverage model), penelitian ini membangun jalur logis yang komprehensif untuk perencanaan tata ruang yang jauh lebih rasional dan responsif terhadap kebutuhan manusia.
Jalur Logis Perjalanan Temuan (Parafrase Isi Paper)
Penelitian ini dibangun di atas kerangka kerja empat fase yang logis, yang dirancang untuk menjembatani kesenjangan antara perencanaan DPRAGS berbasis suplai dan realitas kerentanan multi-risiko:
Fase 1: Analisis Kesiapan dan Batas Layanan Infrastruktur
Langkah pertama adalah menetapkan parameter operasional sistem darurat perkotaan. Ini melibatkan penentuan cakupan layanan agensi penyelamat (medis, pemadam kebakaran) dan analisis jaringan jalan darurat. Ditemukan bahwa radius layanan efektif dari kendaraan penyelamat di area studi ditentukan antara 1,750 m hingga 2,500 m. Jangkauan ini, dihitung berdasarkan kecepatan respons yang realistis dalam rentang waktu kritis (misalnya, 3–5 menit), mendefinisikan batas fisik dan kognitif untuk seberapa cepat populasi dapat mengakses DPRAGS. Batas layanan ini berfungsi sebagai dasar untuk menentukan unit tata ruang DPRAGS yang terintegrasi, yang memastikan setiap unit permintaan populasi dapat dijangkau oleh suplai perlindungan dalam batas waktu emas (Golden Hour) respons darurat.
Fase 2: Pemetaan Risiko Multi-Bencana dan Bobot Relatif
Melalui kerangka penilaian risiko yang komprehensif—mencakup Bahaya (Hazard), Paparan (Exposure), dan Kerentanan (Vulnerability)—penelitian ini mengidentifikasi empat jenis bencana utama di Nanjing: gempa bumi, bencana geologi, banjir, dan kebakaran. Dengan menggunakan metode pembobotan (seperti AHP dan penilaian ahli), sebuah sistem indeks risiko multi-bencana dikembangkan. Misalnya, analisis risiko gempa menunjukkan bahwa faktor Bahaya ($B_{1}$) memiliki bobot dominan sebesar 0.56, menekankan peran penting ancaman fisik primer. Dengan menggabungkan bobot ini, penelitian menghasilkan peta risiko multi-bencana terperinci. Peta ini bukan hanya untuk informasi, tetapi menjadi input krusial dalam menentukan permintaan perlindungan, sebab permintaan harus lebih tinggi di wilayah yang memiliki risiko komprehensif yang lebih besar.
Fase 3: Analisis Pencocokan Suplai-Permintaan dengan Kendala Kapasitas
Ini adalah inti inovasi. Suplai DPRAGS efektif dihitung dengan mempertimbangkan bukan hanya area total, tetapi juga kapasitas perlindungan yang sebenarnya. Secara umum, area perlindungan efektif diperkirakan mencapai 60% dari total area ruang hijau, mengasumsikan area terbuka yang benar-benar dapat digunakan untuk penampungan. Pendekatan ini juga menerapkan konsep bersarang (nested), di mana ruang hijau perlindungan yang lebih tinggi (Jangka Panjang/LTRGS) dapat menutupi dan mendukung kebutuhan ruang hijau tingkat yang lebih rendah (Jangka Pendek-Menengah/SMTRGS).
Di sisi permintaan, kebutuhan area perlindungan dihitung untuk setiap unit permintaan (berbasis komunitas) menggunakan koefisien bencana komprehensif. Dalam perhitungan kebutuhan area, temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara Kepadatan Populasi dan kebutuhan perlindungan, dengan koefisien 0.78 (sebagai contoh temuan) — menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru dalam perencanaan yang benar-benar berpusat pada manusia dan risiko. Berdasarkan koefisien ini, kebutuhan area perlindungan per kapita ditetapkan secara tegas: Ruang Hijau Perlindungan Darurat (ERGS) membutuhkan 1.0 $m^{2}/orang$, SMTRGS 2.0 $m^{2}/orang$, dan LTRGS 5.0 $m^{2}/orang$.
Akhirnya, hubungan pencocokan antara suplai dan permintaan diklarifikasi menggunakan model cakupan kapasitas maksimal dengan kendala kapasitas. Model ini secara matematis memaksa area perlindungan yang tersedia untuk tidak melebihi kapasitas yang dibutuhkan, sekaligus memastikan tidak ada unit permintaan yang terlewatkan—sebuah keharusan dalam kota padat yang minim lahan.
Fase 4: Perencanaan Tata Ruang Berbasis Unit dan Strategi Lokasi
Berdasarkan hasil analisis fase 3, unit tata ruang DPRAGS dibagi dan direncanakan. Strategi "tiga langkah" digunakan untuk menentukan batas unit (misalnya, radius layanan, jaringan jalan, dan batas risiko). Perencanaan tata ruang difokuskan pada peningkatan fungsi dan koordinasi spasial DPRAGS yang ada dan memprioritaskan perluasan baru hanya di area yang menunjukkan kesenjangan suplai-permintaan yang signifikan. Hasil studi ini menegaskan bahwa metode perencanaan terunitisasi yang berbasis pencocokan suplai dan permintaan secara signifikan lebih efektif dalam memenuhi persyaratan perlindungan dan meningkatkan rasionalitas tata ruang dibandingkan dengan metode konvensional.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian ini memberikan kontribusi yang transformatif bagi perencanaan kota dan mitigasi bencana:
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun progresif, penelitian ini meninggalkan beberapa celah riset yang harus dieksplorasi oleh komunitas akademik:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Berikut adalah lima arahan eksplisit untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah riset:
Ajakan Kolaboratif
Penelitian ini telah meletakkan dasar metodologis yang kuat untuk perencanaan DPRAGS yang lebih efektif dan rasional. Dengan secara eksplisit menyelaraskan suplai area perlindungan dengan permintaan yang didorong oleh risiko multi-bahaya dan populasi, studi ini menawarkan kerangka kerja yang menjanjikan untuk meningkatkan efisiensi evakuasi dan kemampuan manajemen darurat perkotaan secara keseluruhan.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Nanjing Forestry University, lembaga perencanaan tata ruang nasional dan regional di Indonesia (seperti Bappenas dan Bappedalitbang daerah), dan Badan Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk memastikan keberlanjutan, adaptasi, dan validitas hasil di berbagai konteks geografis Asia Tenggara.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Raihan pada 22 Oktober 2025
Resensi Riset: Sains Warga dalam Transformasi Manajemen Risiko Banjir Perkotaan Dhaka
Penelitian ini mengulas tantangan yang dihadapi Dhaka, salah satu megacity terpadat di Asia Selatan , yang kini bergulat dengan fenomena berulang genangan air (water logging) atau banjir pluvial yang berkepanjangan. Secara historis, manajemen risiko banjir (FRM) di Dhaka didominasi oleh pendekatan struktural, seperti pembangunan tanggul dan pemodelan jaringan drainase, terutama setelah banjir katastropik seperti pada tahun 1988 dan 1998. Namun, terlepas dari upaya-upaya ini, yang melibatkan lembaga-lembaga seperti Bangladesh Water Development Board (BWDB) dan Dhaka Water Supply and Sewerage Authority (DWASA) , masalah genangan air di kawasan yang dilindungi tanggul (Dhaka Barat) dan kawasan yang rentan terhadap banjir sungai dan pluvial (Dhaka Timur) terus menjadi perhatian.
Jalur logis temuan dimulai dengan identifikasi kesenjangan kritis: pendekatan FRM yang ada belum secara memadai mengintegrasikan persepsi risiko, opini, dan pengalaman warga sebagai subjek yang paling terpapar bahaya. Penelitian sebelumnya banyak menggunakan teknik pemodelan (GIS dan RS) namun mengabaikan dimensi sosial dan partisipatif. Penelitian ini kemudian memperkenalkan konsep "sains warga" sebagai kerangka non-struktural yang menjanjikan untuk mengisi kekosongan ini. Sains warga dipandang sebagai pendekatan bottom-up yang melengkapi praktik konvensional dan berpotensi meningkatkan inovasi serta membangun ketahanan lokal.
Untuk menguji potensi ini, penelitian mengadopsi pendekatan metode campuran (mixed methods), melibatkan survei kuesioner terhadap 500 responden dari 32 wilayah administrasi (ward) yang rentan di Dhaka North City Corporation (DNCC) dan Dhaka South City Corporation (DSCC), dikombinasikan dengan Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) dan Wawancara Informan Kunci (KII).
Analisis Temuan Kuantitatif dan Kualitatif
Temuan awal dari survei memvalidasi parahnya masalah: 62.7% dari responden telah mengalami peristiwa banjir/genangan air lebih dari lima kali , dengan mayoritas responden (99.2%) memiliki pengalaman pribadi dengan banjir di komunitas mereka. Responden setiap tahun mengalami 1-3 hari genangan air selama musim muson, sebuah temuan yang menunjukkan hubungan kuat antara curah hujan intensif musiman dan kegagalan sistem drainase perkotaan—menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru mengenai durasi dan frekuensi banjir mikro.
Secara deskriptif, mayoritas responden mengidentifikasi peristiwa banjir/genangan air sebagai "sangat parah" (55.8%) dan "parah" (23.5%) di komunitas mereka. Terkait penyebab, pandangan warga jelas: 67.3% responden mengidentifikasi kondisi drainase yang buruk sebagai pendorong utama banjir yang meningkat, jauh melampaui yang mengidentifikasi curah hujan intensif (20.3%). Ini secara kritis menegaskan bahwa masalahnya bukan hanya hidrometeorologis, tetapi struktural dan tata kelola.
Meskipun 61.2% responden tidak familiar dengan istilah citizen science, yang menunjukkan tantangan dalam terminologi, namun yang lebih penting, 42.8% menyatakan antusiasme untuk terlibat dalam proyek terkait guna mempromosikan mitigasi. Temuan ini menunjukkan potensi kuat untuk mobilisasi komunitas yang membutuhkan strategi komunikasi yang berfokus pada manfaat praktis, bukan hanya pada terminologi ilmiah.
Analisis lanjutan menemukan bahwa tingkat pendidikan memainkan peran signifikan dalam pemahaman risiko. Uji Chi-square menunjukkan hubungan signifikan antara tingkat pendidikan warga dan pengetahuan mereka tentang risiko banjir/genangan air. Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara tingkat pendidikan tinggi dan kepemilikan pengetahuan yang memadai atau ahli—menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru mengenai desain intervensi komunikasi risiko yang bertarget.
Temuan kualitatif dari KII dan FGD memperkuat pandangan warga, dengan pemangku kepentingan utama mengutip urbanisasi yang tidak terencana, manajemen sistem drainase yang buruk, sistem pengelolaan limbah yang tidak tepat, dan peristiwa curah hujan ekstrem sebagai pendorong utama banjir. Diskusi kunci menekankan perlunya mengintegrasikan teknik pemodelan dan geospasial untuk membangun sistem Volunteer Geographic Information (VGI) sebagai alat mitigasi berbasis partisipasi.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa pendekatan sains warga memiliki peran signifikan dalam mengatasi risiko banjir perkotaan di Dhaka, dengan mengintegrasikan pengetahuan berbasis pengalaman ke dalam kerangka formal yang selama ini dominan bersifat teknokratis. Temuan ini menjembatani antara pengalaman jangka panjang warga (sebagian besar tinggal di area rentan selama >20 tahun) dan kebutuhan akan solusi jangka panjang yang berkelanjutan.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian ini memberikan kontribusi signifikan dengan memajukan wacana dari identifikasi masalah (banjir berulang) menuju solusi berbasis agen sosial (social-agent). Kontribusi utamanya meliputi:
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun kontribusinya kuat, penelitian ini memiliki keterbatasan metodologis yang membuka jalan bagi riset selanjutnya. Keterbatasan utama adalah keputusan untuk tidak memilah sampel berdasarkan status sosial-ekonomi, pendidikan, atau variabel demografi lainnya. Faktor-faktor ini, seperti yang diakui oleh para penulis, dapat secara signifikan memengaruhi persepsi dan pengalaman risiko. Dari keterbatasan ini, muncul pertanyaan terbuka mendesak untuk agenda riset akademik di masa depan:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
1. Pengembangan dan Validasi Model VGI Fungsional untuk Prediksi Banjir Pluvial
2. Analisis Heterogenitas Sosial-Ekonomi dalam Niat dan Hambatan Partisipasi Sains Warga
3. Studi Longitudinal tentang Persepsi Risiko dan Perubahan Perilaku Komunitas
4. Evaluasi Dampak Sains Warga terhadap Kapasitas Kelembagaan Lintas-Sektor
5. Pemodelan Pelanggaran Tata Ruang (Encroachment) Berbasis Data Sains Warga
Kesimpulan
Temuan dari studi ini menggarisbawahi potensi transformatif dari sains warga untuk manajemen risiko banjir di Dhaka. Melalui integrasi pengalaman warga (yang telah menghadapi banjir lebih dari 5 kali ) dan teknologi geospasial (VGI ), Dhaka dapat beralih dari fokus struktural semata ke strategi yang lebih holistik dan adaptif. Penelitian lanjutan harus fokus pada mengatasi kesenjangan sosio-ekonomi dan kelembagaan untuk memastikan partisipasi yang inklusif dan penerimaan yang efektif dari data warga ke dalam proses pengambilan keputusan formal.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Rajdhani Unnayan Kartripakhya (RAJUK), Bangladesh Water Development Board (BWDB), dan Dhaka Water Supply and Sewerage Authority (DWASA) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, terutama dalam hal penegakan peraturan tata ruang dan manajemen sistem drainase yang terpadu.
Manajemen Bencana
Dipublikasikan oleh Raihan pada 22 Oktober 2025
Mengidentifikasi Faktor Risiko yang Terlupakan: Resensi Riset tentang Kearifan Lokal, Sampah, dan Longsor Perkotaan
Dalam lanskap riset kebencanaan, penggabungan kearifan lokal (LK) dengan pengetahuan ilmiah teknis telah lama diakui sebagai komponen penting untuk Pengurangan Risiko Bencana (PRB) yang efektif, sebagaimana diamanatkan oleh kerangka kerja internasional seperti Sendai Framework. Namun, dalam praktiknya, literatur teknis mengenai risiko longsor perkotaan sebagian besar masih didominasi oleh analisis dinamika geologi dan alam. Kearifan lokal sering kali tidak dijadikan titik awal untuk mengidentifikasi faktor risiko yang spesifik secara kontekstual.
Paper "Leveraging local knowledge for landslide disaster risk reduction in an urban informal settlement in Manado, Indonesia" oleh MacAfee et al. (2024) secara langsung menantang kesenjangan ini. Penelitian ini bergeser dari fokus tradisional pada faktor geofisik murni dan menggunakan pendekatan kualitatif untuk menggali pemahaman mendalam penduduk di permukiman informal yang rawan longsor di Manado, Indonesia.
Melalui 19 wawancara kualitatif mendalam, transect walks, dan observasi etnografi, para peneliti membangun jalur logis temuan yang kuat. Berawal dari faktor risiko yang sudah diketahui seperti hujan lebat , lereng curam, dan tanah vulkanik yang porous, analisis bergerak lebih dalam ke faktor-faktor yang diidentifikasi secara unik oleh penduduk. Temuan utama yang paling menonjol—dan menjadi inti kontribusi paper ini—adalah identifikasi manajemen sampah padat (SWM) yang tidak memadai sebagai faktor antropogenik utama yang sering terabaikan dalam risiko longsor perkotaan.
Meskipun studi ini bersifat kualitatif dan tidak menghasilkan koefisien korelasi, data deskriptifnya sangat kuat. Temuan ini secara konsisten muncul dalam wawancara. 5 dari 19 peserta secara eksplisit menyalahkan SWM yang tidak memadai sebagai penyebab longsor , dan 9 peserta mengidentifikasi sistem drainase yang buruk (yang seringkali diperparah oleh sampah) sebagai faktor utama. Penduduk setempat memaparkan mekanisme kausal yang jelas: tumpukan sampah mengubah pola aliran air dengan menghalangi saluran drainase , berkontribusi pada ketidakstabilan tanah (disebutkan oleh seorang peserta sebagai membuat tanah "tenuous" atau rapuh) , dan menambah beban muatan di puncak lereng.
Lebih lanjut, penelitian ini menghubungkan kegagalan SWM ini tidak hanya dengan faktor fisik (akses jalan yang sempit dan curam) tetapi juga dengan faktor sosio-politik yang mengakar, termasuk kemiskinan, stigmatisasi penduduk "kumuh", dan pengecualian permukiman mereka dari layanan pemerintah.
Paper ini secara tajam mengkontraskan temuan LK ini dengan literatur teknis yang ada. Klasifikasi longsor yang dominan (seperti klasifikasi Varnes yang diperbarui oleh Hungr et al. [27]) memang menyebutkan "timbunan antropogenik", tetapi gagal untuk secara eksplisit membedakan atau menganalisis peran sampah rumah tangga yang tidak terkelola sebagai faktor risiko spesifik. Penelitian ini berargumen bahwa di permukiman informal, akumulasi sampah yang tersebar luas ini mungkin memiliki karakteristik yang sama dengan TPA ilegal atau "longsor sampah" (garbage landslides) skala besar yang telah didokumentasikan, namun terjadi pada skala mikro yang kumulatif dan terdesentralisasi.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Studi oleh MacAfee et al. ini memberikan tiga kontribusi fundamental bagi komunitas riset kebencanaan dan perkotaan:
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Sebagai studi kualitatif dengan ukuran sampel yang terfokus, para penulis secara jujur mengakui keterbatasan mereka. Studi ini tidak dapat mengkonfirmasi secara konklusif atau mengukur secara kuantitatif mekanisme fisik di balik interaksi SWM-longsor. Ini, bagaimanapun, bukanlah kelemahan, melainkan sebuah undangan eksplisit untuk penelitian lebih lanjut.
Temuan ini meninggalkan beberapa pertanyaan terbuka yang mendesak bagi komunitas akademik:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Berdasarkan kesenjangan yang diidentifikasi secara eksplisit oleh MacAfee et al., kami mengusulkan lima arah penelitian lanjutan yang ditargetkan untuk para peneliti dan lembaga pendanaan.
Ajakan Kolaboratif
Penelitian oleh MacAfee et al. (2024) ini bukan hanya sebuah studi kasus, tetapi sebuah seruan untuk merevolusi cara kita menilai risiko longsor di lingkungan perkotaan yang paling rentan. Temuan ini menegaskan bahwa solusi tidak dapat ditemukan hanya di dalam laboratorium geoteknik atau di kantor perencana kota.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi erat antara institusi penelitian geoteknik dan hidrologi, lembaga pemerintah yang fokus pada tata kelola perkotaan dan manajemen limbah (seperti Kementerian PUPR atau KLHK di konteks Indonesia), dan organisasi berbasis komunitas yang bekerja langsung di permukiman informal. Kolaborasi multi-sektor ini krusial untuk memastikan bahwa temuan di masa depan tidak hanya valid secara ilmiah tetapi juga relevan secara kontekstual, adil secara sosial, dan dapat diimplementasikan secara berkelanjutan.
Teknik Sipil
Dipublikasikan oleh Raihan pada 22 Oktober 2025
Tinjauan Strategis: Memetakan Masa Depan Manajemen Risiko Infrastruktur di Yordania dan Selebihnya
Sektor konstruksi Yordania merupakan kontributor signifikan terhadap PDB negara tersebut. Namun, sektor vital ini menghadapi tantangan besar: proyek jalan di Yordania terkenal karena mengalami pembengkakan biaya (cost overruns) yang signifikan selama fase konstruksi dan operasi. Sebuah studi baru-baru ini oleh Ala'a Sa'dl Issa Alkhawaja dan Ibrahim Farouq Varouqa, berjudul "Risks management of infrastructure line services and their impact on the financial costs of road projects in Jordan," menyelidiki akar permasalahan ini.
Studi ini berfokus pada tantangan spesifik dalam mengelola layanan jaringan infrastruktur—seperti pipa air bersih, sanitasi, dan saluran komunikasi yang terkubur. Seringkali, dokumentasi untuk layanan bawah tanah ini tidak memadai atau tidak ada. Akibatnya, pelaksana proyek menghadapi rintangan tak terduga, seperti pipa tua yang sudah usang, yang memaksa perubahan desain di tengah konstruksi dan menimbulkan biaya tambahan yang besar. Fenomena ini tidak sepele; secara global, dilaporkan bahwa 90% proyek infrastruktur mengalami pembengkakan biaya rata-rata 28%.
Untuk mengatasi ini, penelitian Alkhawaja dan Varouqa bertujuan mengidentifikasi, menganalisis, dan mengevaluasi risiko-risiko ini secara sistematis dalam konteks Yordania. Metodologi mereka melibatkan tinjauan literatur yang komprehensif untuk mengidentifikasi 32 bahaya spesifik. Ini diikuti oleh survei kuesioner yang disebar ke 328 insinyur dan profesional yang bekerja di sektor publik (36,2%), sektor swasta (47,8%), dan organisasi lain di Yordania.
Dengan menggunakan analisis Indeks Kepentingan Relatif (RII) , penelitian ini membedah risiko berdasarkan dua dimensi kritis: kemungkinan terjadinya (Possibility) dan tingkat keparahan konsekuensinya (Impact). Tinjauan ini menganalisis temuan kunci dari studi tersebut dan, yang lebih penting, menyusun agenda penelitian masa depan yang dirancang untuk komunitas akademik, peneliti, dan badan pendanaan.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi paling signifikan dari penelitian ini adalah pergeserannya dari bukti anekdotal ke pemeringkatan risiko berbasis data. Dengan mengkuantifikasi 32 risiko, studi ini memberikan daftar prioritas yang jelas bagi para pemangku kepentingan.
Temuan kuantitatif utamanya mengungkap perbedaan kritis antara risiko yang paling sering terjadi dan risiko yang paling merusak:
Sintesis dari dua poin ini merupakan inti dari kontribusi penelitian: Terdapat kesenjangan yang signifikan antara apa yang paling sering dihadapi manajer proyek (masalah kontrak) dan apa yang paling merugikan proyek (masalah kebijakan, peralatan, dan keselamatan). Ada potensi kuat bahwa manajer proyek menghabiskan sumber daya untuk memitigasi risiko D22 yang sering terjadi, sementara risiko C35, C31, dan D31 yang "kurang sering" namun berdampak besar tidak tertangani secara memadai.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun memiliki keandalan statistik yang tinggi (Cronbach alpha 0.984), penelitian ini memiliki keterbatasan yang secara alami membuka jalan bagi penyelidikan di masa depan.
Pertama, penelitian ini sangat spesifik secara kontekstual di Yordania. Temuan ini didasarkan pada persepsi para profesional Yordania. Apakah 32 risiko ini dan peringkat RII-nya dapat digeneralisasi ke negara-negara berkembang lainnya masih menjadi pertanyaan terbuka—sebuah poin yang diakui oleh penulis sendiri dalam rekomendasi mereka.
Kedua, metodologi ini bergantung pada data persepsi (kuesioner dan laporan mandiri) untuk menilai dampak risiko. Meskipun ini secara akurat mengukur pandangan ahli, ini tidak secara empiris melacak biaya finansial aktual dari risiko-risiko ini dalam proyek yang telah selesai. Studi ini mengidentifikasi penyebab pembengkakan biaya, tetapi tidak mengukur besaran biaya tersebut.
Hal ini menimbulkan pertanyaan terbuka:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Berdasarkan temuan kuantitatif, keterbatasan, dan rekomendasi eksplisit dalam paper, kami mengusulkan lima jalur penelitian lanjutan yang kritis.
1. Pengembangan Model Prediktif Berbasis Machine Learning untuk Peramalan Risiko
2. Validasi Lintas Negara dan Analisis Faktor Risiko Komparatif
3. Analisis Kuantitatif Empiris: Menghubungkan Skor RII dengan Data Biaya Aktual
4. Riset Aksi (Action Research) untuk Merancang dan Menguji Kerangka Kerja Kolaborasi Pemangku Kepentingan
5. Analisis Biaya Siklus Hidup (LCCA) untuk Risiko Lingkungan dan Sosial
Ajakan untuk Kolaborasi
Penelitian oleh Alkhawaja dan Varouqa telah meletakkan dasar yang kuat dengan mengidentifikasi dan memprioritaskan 32 risiko utama dalam proyek jalan di Yordania. Temuan bahwa risiko yang paling mungkin terjadi (kontrak) bukanlah risiko yang paling berdampak (kebijakan, peralatan, keselamatan) adalah wawasan penting bagi semua manajer proyek.
Untuk membangun momentum ini, penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi erat antara institusi akademik, Kementerian Pekerjaan Umum & Perumahan Yordania, Greater Amman Municipality, Kementerian Administrasi Lokal, dan kontraktor sektor swasta. Integrasi data persepsi ahli dengan data keuangan proyek aktual, serta penerapan metodologi baru seperti machine learning, sangat penting untuk memvalidasi temuan ini dan mengembangkan solusi yang berkelanjutan.
Geografi dan Sains Sumber Daya
Dipublikasikan oleh Raihan pada 22 Oktober 2025
Resensi Riset dan Arah Riset Ke Depan
Penilaian Skenario Risiko Banjir Pesisir terhadap Infrastruktur di Kotamadya Keta, Ghana menggunakan Pendekatan GIS
6. Parafrase dan Jalur Logis Temuan
Perubahan iklim, yang ditandai dengan kenaikan permukaan air laut, telah mempercepat frekuensi dan intensitas bencana lingkungan seperti banjir dan erosi pesisir di seluruh dunia. Kawasan pesisir di benua Afrika, termasuk Ghana, mengalami dampak signifikan yang mengancam perkembangan sosio-ekonomi masyarakat. Secara khusus, Kotamadya Keta di Ghana diidentifikasi sebagai wilayah yang sangat rentan karena karakteristik dataran rendahnya dan dampak berkepanjangan dari pembangunan Bendungan Hidroelektrik Akosombo, yang memicu kekurangan sedimen dan memperparah erosi.
Sebagian besar penelitian terdahulu cenderung bersifat ex post, berfokus pada analisis setelah terjadinya bencana. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengisi kekosongan pengetahuan krusial dengan melakukan penilaian risiko ex ante, memprediksi secara spesifik dampak banjir pesisir di masa depan terhadap infrastruktur kritis di Kotamadya Keta. Tujuan utama dari studi ini adalah untuk mengukur tiga variabel utama: luas lahan yang akan tergenang, panjang total infrastruktur jalan yang berisiko, dan jumlah struktur bangunan yang terdampak, di bawah skenario banjir yang berbeda.
Studi ini menggunakan metodologi yang kuat berdasarkan Sistem Informasi Geografis (GIS), yang terbukti efektif untuk pemetaan dan analisis bahaya risiko banjir. Data masukan utama termasuk Model Elevasi Digital Shuttle Radar Topography Mission (SRTM DEM), yang dipilih karena akurat dan tersedia secara bebas. Analisis ini membandingkan dua skenario kenaikan permukaan laut: 2,5 meter, yang mewakili kenaikan permukaan laut jangka pendek yang masuk akal berdasarkan proyeksi IPCC, dan 5 meter, yang disajikan sebagai skenario terburuk jangka panjang yang potensial. Pemetaan risiko dilakukan dengan mengklip dan menyeleksi fitur jalan dan struktur yang berpotongan dengan poligon area banjir yang dihitung menggunakan fungsi kalkulator raster di perangkat lunak ArcGIS.
Temuan utama menunjukkan eskalasi risiko yang signifikan antara skenario moderat dan ekstrem. Penting untuk dicatat bahwa Tembok Pertahanan Laut yang ada memberikan perlindungan efektif, menyebabkan komunitas seperti Keta, Vodza, dan Kedzi menjadi kurang rentan di kedua skenario tersebut. Sebaliknya, komunitas seperti Dzelukope, Tegbi, dan Woe diidentifikasi sebagai zona paling berisiko. Proyeksi risiko ini merupakan landasan penting bagi perencana kota dan pemerintah untuk merumuskan langkah-langkah kesiapsiagaan bencana dan strategi adaptasi jangka panjang.
7. Sorotan Data Kuantitatif dan Potensi Objek Riset Baru
Analisis skenario banjir dalam penelitian ini memberikan perbandingan deskriptif yang tajam mengenai tingkat kerentanan infrastruktur:
8. Struktur Lanjutan Resensi Riset
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Studi ini menawarkan tiga kontribusi substansial yang mengarahkan diskusi akademik dan kebijakan ke jalur proaktif:
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun memberikan kontribusi yang signifikan, penelitian ini memiliki keterbatasan metodologis yang membuka jalan bagi penyelidikan akademik lebih lanjut:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
1. Pemodelan Hidrodinamik Tingkat Lanjut dan Penilaian Risiko Gabungan (Compound Flood Risk)
2. Analisis Biaya-Manfaat (Cost-Benefit Analysis - CBA) Strategi Adaptasi
3. Studi Sosio-Ekologis tentang Resiliensi Ekosistem Pesisir
4. Penilaian Kerentanan Sosial dan Perumusan Kebijakan Relokasi yang Adil
5. Audit Teknis dan Rekayasa Infrastruktur (Building Code Analysis)
Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif
Studi berbasis GIS ini dengan jelas memetakan kerentanan akut Kotamadya Keta terhadap dampak kenaikan permukaan laut di masa depan. Proyeksi risiko ex ante yang mengancam 7,1 km² lahan dan 667 struktur pada skenario 5 meter adalah panggilan mendesak untuk tindakan kolektif, alih-alih sekadar reaksi pasca-bencana. Koneksi antara temuan saat ini (peta risiko) dan potensi jangka panjang (kerugian sosial-ekonomi) menegaskan bahwa intervensi yang direncanakan secara komprehensif harus diprioritaskan.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Departemen Geografi dan Ilmu Sumber Daya di Universitas Ghana, Otoritas Pemerintah Daerah Kotamadya Keta (sebagai pemangku kepentingan kebijakan), dan Mitra Pembangunan serta Donor Internasional yang berfokus pada ketahanan iklim untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil. Hanya melalui kolaborasi ilmiah, teknis, dan politik, masyarakat Keta dapat membangun ketahanan yang sejati dalam menghadapi ancaman perubahan iklim yang tak terhindarkan.
Pendidikan
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 22 Oktober 2025
Bagian I: Pembukaan - Cerita Tentang Resep Kue dan Proyek Konstruksi
Saya pernah mencoba resep kue yang terlihat sempurna di atas kertas. Semua takaran pas, langkah-langkahnya jelas, dan foto hasilnya begitu menggoda. Saya mengikuti setiap instruksi dengan teliti. Tapi begitu di dapur, kekacauan dimulai. Tepung berterbangan, adonan tidak mengembang seperti seharusnya, dan oven yang saya pikir sudah pas suhunya ternyata terlalu panas. Hasilnya? Jauh dari sempurna. Resep itu tidak mempersiapkan saya untuk variabel-variabel tak terduga di dapur yang sebenarnya.
Perasaan ini—kejutan saat teori yang rapi bertemu dengan praktik yang berantakan—adalah inti dari sebuah studi menarik yang baru saja saya baca. Studi ini tidak membahas kue, tapi sesuatu yang jauh lebih berisiko: mempersiapkan mahasiswa teknologi sipil untuk dunia konstruksi yang sesungguhnya. Penelitian yang dilakukan oleh Dennis Capuyan di sebuah universitas negeri di Cebu City, Filipina, ini pada dasarnya mengajukan satu pertanyaan sederhana kepada 254 mahasiswa: "Apakah pendidikan di kelas benar-benar membuatmu siap menghadapi bahaya di lapangan?".
Jawaban mereka, yang terungkap melalui data kuantitatif dan kualitatif, sangat membuka mata. Paper ini bukan sekadar laporan akademis yang kering. Bagi saya, ini adalah cermin yang jujur tentang bagaimana kita mendidik generasi profesional masa depan, dan ada celah besar yang perlu kita bicarakan. Kesenjangan antara teori dan praktik ini bukan hanya soal defisit pengetahuan; ini adalah tantangan emosional dan psikologis. Studi ini menunjukkan bahwa perasaan tidak siap, meskipun sudah dibekali semua teori yang "benar", dapat memicu stres, kecemasan, dan krisis kepercayaan diri—sesuatu yang nantinya akan kita lihat terkuantifikasi dalam data. Jadi, masalahnya bukan sekadar "mahasiswa butuh lebih banyak praktik," tapi lebih dalam dari itu: "mahasiswa perlu dipersiapkan secara emosional dan psikologis untuk menghadapi kompleksitas dan ketidakpastian dunia nyata."
Bagian II: Studi Ini Mengubah Cara Kita Memandang "Bahaya" di Lokasi Proyek
Ketika kita memikirkan bahaya di lokasi konstruksi, apa yang terlintas di benak? Mungkin kecelakaan kerja, cedera fisik, atau insiden dramatis lainnya yang melibatkan alat berat. Kita cenderung fokus pada dampak fisik yang terlihat. Tapi studi ini menemukan sesuatu yang jauh lebih halus dan, menurut saya, lebih meresap dalam kehidupan sehari-hari para mahasiswa ini.
Peneliti menggunakan visualisasi data yang canggih untuk memetakan dampak dari berbagai bahaya konstruksi dan dekonstruksi yang terjadi di lingkungan kampus mereka. Hasilnya mengejutkan. Dampak terbesar yang dirasakan oleh mahasiswa bukanlah cedera fisik. Sebaliknya, dampak paling signifikan adalah "Gangguan Belajar" (38%) dan "Penurunan Produktivitas" (27%). Coba bayangkan sejenak. Kamu sedang berusaha keras memahami kalkulus atau mendesain struktur jembatan yang rumit untuk ujian akhir. Di saat yang sama, di luar jendela kelasmu, ada suara bising mesin yang memekakkan telinga, debu beterbangan masuk melalui ventilasi, dan getaran konstan dari alat berat yang mengguncang mejamu.
Dalam skenario ini, "bahaya" bukanlah lagi sekadar risiko fisik, melainkan serangan langsung terhadap kemampuan kognitifmu. Ini adalah musuh tak terlihat yang menggerogoti fokus dan merusak proses belajar yang seharusnya menjadi inti dari pengalaman universitas. Data ini diperkuat oleh temuan lain: "Isu kesehatan" (15%) dan "Peningkatan stres/kecemasan" (18%) juga menjadi dampak yang signifikan. Sementara itu, "cedera ringan" hanya menyumbang 2% dari total dampak, dan "cedera berat atau kematian" berada di angka 0%.
Ini membawa kita pada sebuah pemikiran yang lebih dalam. Mungkin selama ini institusi pendidikan dan manajemen proyek di kampus mengukur metrik keselamatan yang salah. Fokus mereka kemungkinan besar adalah mencegah insiden fisik untuk mencapai target "zero-harm" atau nol kecelakaan. Dari sudut pandang itu, proyek konstruksi di kampus ini mungkin dianggap "sukses" karena tidak ada cedera serius. Namun, mereka gagal melihat kerusakan terbesar yang sebenarnya terjadi pada misi utama universitas itu sendiri: yaitu proses belajar dan performa akademik mahasiswa. Data ini menyiratkan bahwa kita memerlukan paradigma baru dalam manajemen proyek di lingkungan akademik—sebuah model "keselamatan holistik" di mana "keberlangsungan belajar" dan "kesejahteraan kognitif" menjadi indikator kinerja utama, setara dengan metrik keselamatan fisik.
Bagian III: Peringkat Ancaman yang Sebenarnya: Apa yang Bikin Mahasiswa Cemas di Malam Hari?
Jadi, jika bukan cedera parah yang menjadi masalah utama, apa yang sebenarnya membuat para calon insinyur ini was-was? Studi ini meminta mahasiswa untuk menilai tingkat keparahan berbagai jenis bahaya yang mereka temui. Peringkat yang mereka berikan menantang asumsi umum kita tentang risiko.
Berikut adalah rangkuman dari apa yang paling mereka takuti, berdasarkan persepsi mereka di lapangan :
🚀 Ancaman Teratas: Bahaya jatuh (dengan 154 respons menilainya 'Tinggi' dan 37 'Sangat Tinggi') dan bahaya debu (dengan 178 respons menilainya 'Tinggi') mendominasi sebagai ancaman dengan tingkat keparahan tertinggi. Ini bukan tentang ledakan dramatis atau kegagalan struktur yang spektakuler, melainkan tentang risiko sehari-hari yang konstan dan mengintai. Jatuh adalah penyebab utama cedera di industri konstruksi, jadi ini masuk akal. Tapi debu? Ini menunjukkan betapa mengganggunya ancaman lingkungan yang persisten.
🧠 Kejutan Tersembunyi: Bahaya listrik dan kimia—dua hal yang sering kita anggap paling mematikan—justru dinilai memiliki tingkat keparahan yang rendah hingga sangat rendah oleh para mahasiswa. Sebaliknya, kebisingan (dengan 98 respons 'Tinggi' dan 53 'Sangat Tinggi') dianggap sebagai ancaman yang sangat serius. Ini adalah temuan yang menarik. Mungkin protokol untuk menangani listrik dan bahan kimia sudah sangat ketat dan terkontrol, sehingga mahasiswa jarang terpapar langsung. Sementara itu, kebisingan, seperti debu, adalah penyusup yang tak terhindarkan.
💡 Pelajaran Penting: Persepsi risiko dibentuk oleh frekuensi dan kedekatan, bukan hanya oleh potensi kerusakan maksimal. Debu dan bising adalah musuh harian yang menggerogoti kesehatan dan konsentrasi secara perlahan. Mereka adalah ancaman kronis yang terus-menerus ada. Sementara itu, bahaya kimia atau listrik mungkin merupakan ancaman akut—sangat berbahaya jika terjadi, tetapi jarang ditemui dan biasanya dikelola dengan baik. Psikologisnya, ancaman yang terus-menerus menyerang ruang pribadi dan mengganggu kehidupan sehari-hari terasa lebih berat dan lebih parah daripada ancaman besar yang jarang terlihat.
Meskipun data ini sangat kuat, saya jadi penasaran dengan cerita di baliknya. Apa pengalaman spesifik yang membuat seorang mahasiswa merasa debu konstruksi lebih mengancam daripada kabel listrik yang terbuka? Paper ini memberikan 'apa'-nya, tapi 'mengapa'-nya adalah ruang yang menarik untuk direnungkan. Mungkin karena debu dan bising adalah gangguan yang tak terhindarkan, yang menyerang ruang pribadi dan konsentrasi mereka setiap hari, membuat mereka merasa tidak berdaya.
Bagian IV: Lebih dari Sekadar Helm dan Sepatu Bot: Daftar Keinginan Skill dari Calon Insinyur
Setelah memahami apa yang mereka takuti dan apa dampaknya, studi ini kemudian bertanya: "Jadi, apa yang sebenarnya kalian butuhkan untuk merasa siap?" Jawabannya bukan sekadar lebih banyak teori atau hafalan peraturan keselamatan. Jawaban mereka adalah sebuah cetak biru untuk kurikulum pendidikan teknik yang benar-benar relevan. Mereka menginginkan perangkat kognitif, bukan hanya daftar aturan.
Berikut adalah "daftar keinginan" skill yang paling mereka dambakan, yang terungkap dari analisis kualitatif dalam studi ini :
Bukan Hanya 'Apa', tapi 'Bagaimana': Mahasiswa merasa tidak cukup hanya mengetahui protokol keselamatan. Mereka ingin benar-benar menguasai penilaian dan manajemen risiko (riskassessmentandmanagement). Seorang mahasiswa dikutip mengatakan, "Kita harus bisa melihat risiko sejak dini dan mengelolanya secara efektif untuk menjaga semua orang tetap aman." Ini adalah pergeseran fundamental dari sekadar kepatuhan (compliance) menjadi pemikiran kritis (critical thinking). Mereka tidak mau hanya menjadi pengikut aturan; mereka ingin menjadi manajer risiko yang proaktif.
Keterampilan Manusia di Dunia Mesin: Mereka menyoroti pentingnya komunikasi dan kerja tim (communicationandteamworkskills). Seorang mahasiswa berkomentar, "Komunikasi yang baik membantu kami bekerja sama untuk menjaga lokasi tetap aman." Ini menunjukkan kesadaran yang matang bahwa keselamatan bukanlah tanggung jawab individu yang terisolasi, melainkan hasil dari sebuah sistem kolaboratif yang solid. Di lokasi proyek yang kompleks, kegagalan komunikasi bisa berakibat fatal.
Kesiapan Menghadapi Kekacauan: Mereka menginginkan pelatihan tanggap darurat (emergencyresponsetraining) dan kemampuan pemecahan masalah (problem−solving). Ini bukan tentang mengikuti manual langkah demi langkah saat krisis terjadi. Ini tentang kemampuan untuk "berpikir cepat... dan memecahkan masalah dengan cepat untuk menjaga semua orang tetap aman" ketika terjadi hal-hal yang tak terduga.
Daftar keinginan ini secara implisit menuntut sebuah perubahan besar dalam pendidikan. Mahasiswa tidak lagi puas dengan model "budaya kepatuhan" di mana mereka hanya diajarkan untuk mengikuti peraturan yang ada. Mereka meminta pendidikan yang membangun "budaya keselamatan," di mana mereka diberdayakan dengan keterampilan untuk berpikir kritis, berkomunikasi secara efektif, dan berkolaborasi untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman secara proaktif. Kemampuan untuk melakukan asesmen risiko secara cepat dan tepat adalah salah satu skill yang paling mereka dambakan. Ini adalah kompetensi praktis yang tidak selalu bisa diasah hanya dari buku teks, melainkan melalui pelatihan profesional dan studi kasus nyata, seperti yang sering ditawarkan dalam berbagai(https://www.diklatkerja.com) untuk para profesional yang ingin meningkatkan kemampuannya.
Bagian V: Membangun Jembatan Antara Kelas dan Dunia Nyata: Refleksi Akhir
Studi di Cebu ini, pada akhirnya, bukan hanya tentang mahasiswa teknik sipil. Ini adalah cerita tentang jembatan yang seringkali rapuh antara dunia pendidikan dan dunia kerja. Teori memberikan kita fondasi yang kokoh, peta, dan kompas. Tapi hanya pengalamanlah yang mengajarkan kita cara membaca cuaca, menavigasi badai tak terduga, dan memperbaiki kapal saat berada di tengah lautan.
Kesimpulan dari paper ini menggarisbawahi kenyataan tersebut: meskipun kurikulum yang ada memberikan pengetahuan teoretis yang esensial, program tersebut masih kurang dalam hal aplikasi praktis, yang membuat mahasiswa merasa kurang siap menghadapi bahaya konstruksi di dunia nyata. Untuk benar-benar mempersiapkan tenaga kerja yang siap menghadapi masa depan (future−readyworkforce), kurikulum harus secara aktif mengintegrasikan pengalaman langsung, memperkuat kolaborasi dengan para profesional industri, dan terus beradaptasi dengan teknologi-teknologi baru yang membentuk kembali sektor konstruksi.
Pelajaran ini berlaku untuk bidang apa pun—baik kamu seorang desainer, programmer, penulis, atau manajer. Kompetensi sejati lahir di titik temu antara pengetahuan yang kita pelajari di lingkungan yang steril dan kekacauan yang kita hadapi di dunia nyata. Pertanyaan besar yang ditinggalkan oleh studi ini adalah: apakah sistem pendidikan kita secara sengaja membangun jembatan yang kokoh itu, atau apakah kita hanya membiarkan mahasiswa berdiri di tepi jurang, berharap mereka bisa melompat dan belajar cara terbang di tengah jalan?
Studi ini membuka banyak sekali pertanyaan penting tentang masa depan pendidikan dan kesiapan kerja. Jika kamu tertarik untuk mendalami data dan metodologinya, atau jika kamu seorang pendidik, mahasiswa, atau praktisi di industri ini, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya secara lengkap.