Mengapa Sistem Sosial dan Ekologi Tidak Bisa Dipisahkan
Krisis iklim, degradasi lingkungan, dan disrupsi sosial-ekonomi telah mengubah cara kita memandang hubungan antara manusia dan alam. Dalam konteks ini, muncul kebutuhan mendesak untuk membangun sistem yang tidak hanya tahan terhadap guncangan, tetapi juga mampu beradaptasi dan bertransformasi. Buku Navigating Social-Ecological Systems: Building Resilience for Complexity and Change, yang diedit oleh Fikret Berkes, Johan Colding, dan Carl Folke, menjadi salah satu rujukan utama dalam memahami bagaimana masyarakat bisa membangun resiliensi sosial-ekologis dalam menghadapi dinamika dan ketidakpastian masa depan.
Apa Itu Sistem Sosial-Ekologis dan Ketahanan?
Sistem sosial-ekologis (SES) adalah sistem yang saling terkait antara manusia dan lingkungan tempat mereka hidup. Dalam konteks ini, “resiliensi” bukan sekadar kemampuan bertahan, tetapi juga:
- Kapasitas untuk menyerap gangguan,
- Kemampuan beradaptasi terhadap perubahan kondisi,
- Dan potensi untuk melakukan transformasi struktural bila diperlukan.
Buku ini membingkai ketahanan sebagai proses aktif dan bukan kondisi tetap. Dalam dunia yang semakin kompleks dan tak terduga, pendekatan ini menjadi sangat relevan.
Tiga Modal Ketahanan: Persistensi, Adaptasi, dan Transformasi
Salah satu kontribusi terbesar buku ini adalah penjabaran tentang tiga modal utama dalam membangun ketahanan:
- Persistensi: Kemampuan sistem untuk mempertahankan struktur dan fungsi utama meskipun terjadi gangguan.
- Adaptasi: Kapasitas aktor sosial (individu, komunitas, lembaga) untuk belajar dan mengubah perilaku agar sesuai dengan kondisi baru.
- Transformasi: Kemampuan untuk mengubah sistem secara menyeluruh ketika sistem saat ini sudah tidak bisa lagi menopang keberlanjutan.
Ketiga modal ini bukan hanya teoretis, tetapi juga dijelaskan melalui berbagai studi kasus konkret dari seluruh dunia.
Studi Kasus: Ketahanan dalam Praktik Nyata
1. Kepulauan James Bay Cree, Kanada
Komunitas adat Cree di Kanada menghadapi tekanan besar dari pembangunan bendungan hidroelektrik yang merusak lanskap dan ekosistem tradisional mereka. Namun, alih-alih menyerah pada dampak tersebut, mereka menunjukkan adaptasi dengan:
- Mengintegrasikan pengetahuan lokal dan ilmiah dalam pemantauan perubahan lingkungan,
- Menegosiasikan hak-hak pengelolaan dengan pemerintah,
- Mengembangkan lembaga kolaboratif untuk melindungi sumber daya air dan perikanan.
Hasilnya? Komunitas ini tidak hanya bertahan, tetapi memperkuat posisi politik dan ekologis mereka di wilayah tersebut.
2. Perikanan Laguna Venice, Italia
Perikanan laguna di Venice menghadapi tantangan dari polusi industri dan perubahan pasar global. Melalui penguatan koperasi lokal, adaptasi terhadap regulasi Uni Eropa, dan perlindungan ekosistem perairan, nelayan berhasil mempertahankan ketahanan ekonomi sambil menjaga ekosistem.
Ini adalah contoh bagaimana kapasitas kelembagaan dan adaptasi pasar bisa memperkuat ketahanan dalam sistem SES.
3. Sistem Irigasi Tradisional di Bali (Subak)
Sistem Subak, yang berusia ratusan tahun, adalah bentuk tata kelola air berbasis komunitas di Bali. Dalam sistem ini:
- Keputusan distribusi air diambil secara kolektif melalui pura dan forum adat.
- Pengetahuan lokal diwariskan lintas generasi.
- Hubungan antara agama, ekologi, dan produksi pertanian menyatu dalam satu sistem yang adaptif terhadap cuaca dan krisis.
Ketika sistem ini mulai tertekan oleh pembangunan pariwisata dan perubahan kebijakan pertanian nasional, Subak tetap menjadi contoh ketahanan berbasis budaya dan spiritualitas.
Kunci Ketahanan: Sembilan Prinsip Pengelolaan Sistem SES
Para penulis merumuskan sembilan prinsip inti untuk memperkuat ketahanan sosial-ekologis, antara lain:
- Belajar adaptif dan eksperimentasi: Tidak ada satu solusi tetap; semua kebijakan harus dianggap uji coba yang bisa diperbaiki.
- Diversitas dan redundansi: Keanekaragaman ekologi dan sosial meningkatkan peluang sistem untuk bertahan.
- Konektivitas: Hubungan antar elemen sistem harus seimbang—tidak terlalu terisolasi, tapi juga tidak terlalu terhubung hingga rentan.
- Partisipasi dan pembelajaran sosial: Keberhasilan jangka panjang membutuhkan keterlibatan warga dalam pengambilan keputusan.
- Sumber daya pengetahuan lokal: Pengetahuan tradisional bukanlah warisan masa lalu, melainkan aset masa depan.
- Kepemimpinan lintas skala: Dibutuhkan pemimpin lokal, regional, dan nasional yang mampu menjembatani berbagai level pengambilan keputusan.
- Kepercayaan dan jejaring sosial: Ketahanan sosial tumbuh dari hubungan timbal balik, bukan dari kontrol sepihak.
- Monitoring dan feed-back loop: Evaluasi berkelanjutan memungkinkan penyesuaian kebijakan secara real time.
- Peluang untuk transformasi: Sistem harus mengenali kapan saatnya berubah secara radikal, bukan hanya memperbaiki bagian-bagian kecil.
Dinamika Skala dan Waktu: Tantangan Lintas Dimensi
Salah satu kekuatan buku ini adalah penguraian bagaimana sistem sosial-ekologis beroperasi dalam berbagai skala ruang dan waktu. Sebuah keputusan pertanian lokal bisa berdampak pada perubahan iklim global, sementara kejadian global seperti pandemi bisa mengguncang ekonomi lokal.
Oleh karena itu, pendekatan ketahanan tidak bisa dilakukan secara sektoral. Perlu mekanisme koordinasi antar-skala, seperti:
- Kelembagaan lintas pemerintah,
- Forum multi-aktor dari komunitas hingga korporasi,
- Integrasi data spasial dan temporal untuk perencanaan jangka panjang.
Mengelola Ketidakpastian: Dari Stresor hingga Tipping Point
Ketidakpastian adalah bagian tak terpisahkan dari sistem SES. Buku ini mengajak pembaca untuk tidak melihat ketidakpastian sebagai musuh, tetapi sebagai ruang inovasi dan pembelajaran.
Contohnya adalah bagaimana ekosistem perairan dapat bertahan terhadap pencemaran jangka pendek, tapi bisa kolaps jika melewati batas ambang (tipping point). Strategi yang disarankan adalah:
- Memantau indikator awal perubahan mendasar,
- Mengembangkan skenario masa depan,
- Menggunakan “resilience thinking” dalam evaluasi risiko.
Kritik dan Nilai Tambah dari Buku Ini
Kelebihan:
- Berbasis data empiris dari berbagai belahan dunia.
- Menyatukan teori dan praktik dengan sangat baik.
- Memberikan panduan konkret untuk kebijakan dan tata kelola.
Catatan Kritis:
- Beberapa bagian terlalu teoretis bagi pembaca non-akademik.
- Kurang eksplorasi konteks perkotaan modern seperti smart cities dan platform digital dalam membentuk resiliensi.
- Minim data kuantitatif atau metrik yang bisa langsung diterapkan oleh pembuat kebijakan.
Meski demikian, nilai utama buku ini adalah sebagai kerangka kerja strategis untuk berpikir lintas disiplin dan lintas skala.
Relevansi untuk Indonesia dan Dunia Global Selatan
Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan keragaman budaya dan risiko bencana yang tinggi, sangat membutuhkan pendekatan seperti ini. Sistem irigasi tradisional, hutan adat, dan komunitas pesisir memiliki karakteristik SES yang khas. Namun, tekanan dari ekonomi ekstraktif dan proyek infrastruktur besar sering mengabaikan prinsip-prinsip ketahanan sosial-ekologis.
Menerapkan prinsip dari buku ini akan sangat membantu dalam:
- Membangun kota tangguh terhadap iklim,
- Merancang sistem pangan lokal yang adaptif,
- Melindungi hak masyarakat adat atas sumber daya alam.
Menuju Masa Depan yang Adaptif dan Kolaboratif
“Navigating Social-Ecological Systems” bukan hanya bacaan akademis, tetapi panduan praktis bagi siapa saja yang ingin membangun masa depan berkelanjutan. Di tengah ketidakpastian iklim, krisis air, dan gejolak sosial, membangun ketahanan berarti menyatukan pengetahuan lokal, tata kelola partisipatif, dan fleksibilitas dalam kebijakan.
Sebagaimana ditegaskan dalam buku ini, ketahanan bukanlah soal bertahan tanpa perubahan, melainkan kemampuan untuk berubah tanpa kehilangan jati diri.
Sumber Artikel :
Berkes, F., Colding, J., & Folke, C. (Eds.). (2003). Navigating Social-Ecological Systems: Building Resilience for Complexity and Change. Cambridge University Press.