Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 01 Juli 2025
Krisis air, pangan, dan energi kini menjadi tantangan utama pembangunan berkelanjutan, terutama di kawasan yang mengalami pertumbuhan penduduk pesat dan tekanan ekonomi tinggi. Paper “System dynamics model of sustainable water resources management using the Nexus Water-Food-Energy approach” (Keyhanpour, Musavi Jahromi, Ebrahimi, 2021) menawarkan pendekatan baru berbasis model dinamika sistem (system dynamics/SD) untuk mengelola keterkaitan kompleks antara air, pangan, dan energi (Nexus WFE). Studi ini berfokus pada Provinsi Khuzestan, Iran—wilayah strategis yang kaya sumber daya namun rawan krisis air akibat tekanan pertanian, industri, dan pertumbuhan ekonomi.
Resensi ini akan membedah konsep, metodologi, hasil simulasi, serta relevansi kebijakan dari studi tersebut, sekaligus mengaitkannya dengan tren global dan praktik tata kelola sumber daya lintas sektor.
Latar Belakang: Mengapa Pendekatan Nexus Penting?
Nexus WFE menekankan pentingnya melihat keterkaitan dan dampak lintas sektor—misal, irigasi pertanian menyedot air dan energi, sementara industri energi juga butuh air dalam jumlah besar. Pendekatan ini menuntut kebijakan lintas sektor, bukan lagi parsial.
Studi Kasus: Khuzestan, Iran—“Jantung Air dan Energi” yang Terancam
Profil Wilayah
Metodologi: Model Dinamika Sistem Berbasis Nexus WFE
Konsep dan Struktur Model
Variabel Kunci
Studi Sensitivitas
Hasil Simulasi: Proyeksi dan Evaluasi Kebijakan
Validasi Model
Simulasi Dasar (Tanpa Intervensi)
Analisis Kebijakan: Empat Skenario Strategis
1. Manajemen Suplai Air
2. Manajemen Permintaan Air
3. Manajemen Sumber Pangan
4. Manajemen Permintaan Energi
Kombinasi Kebijakan Terbaik
Angka-Angka Kunci dari Studi
Studi Kasus: Efisiensi Irigasi dan Pola Tanam di Khuzestan
Analisis Kritis dan Perbandingan
Kelebihan Model
Keterbatasan
Perbandingan dengan Studi Lain
Implikasi untuk Kebijakan dan Industri
Keterkaitan dengan Tren Global
Pendekatan Nexus WFE kini diadopsi secara luas oleh lembaga internasional (FAO, UNESCAP, World Economic Forum) untuk mendukung SDG 2 (Zero Hunger), SDG 6 (Clean Water), dan SDG 7 (Affordable Energy). Model seperti yang dikembangkan di Khuzestan dapat direplikasi di wilayah lain yang menghadapi tekanan sumber daya serupa, termasuk Indonesia.
Rekomendasi dan Pengembangan Lanjutan
Penutup: Menuju Tata Kelola Sumber Daya Terintegrasi
Studi Keyhanpour dkk. menunjukkan bahwa solusi krisis air, pangan, dan energi hanya bisa dicapai dengan pendekatan lintas sektor berbasis model dinamis. Efisiensi irigasi, perubahan pola tanam, pengurangan kehilangan pangan, dan efisiensi energi adalah kunci keberlanjutan. Dengan kebijakan terintegrasi dan dukungan teknologi, wilayah kaya sumber daya seperti Khuzestan dapat menjadi model tata kelola Nexus WFE yang sukses untuk dunia.
Sumber asli:
Keyhanpour, Mohammad Javad; Musavi Jahromi, Seyed Habib; Ebrahimi, Hossein. (2021). System dynamics model of sustainable water resources management using the Nexus Water-Food-Energy approach. Ain Shams Engineering Journal, 12(1), 1267–1281.
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 01 Juli 2025
Industri konstruksi dikenal sebagai sektor yang penuh tantangan, kompleksitas, dan ketidakpastian. Perubahan regulasi, tuntutan globalisasi, serta kebutuhan akan inovasi membuat industri ini membutuhkan tenaga kerja dengan kemampuan adaptif, kreatif, dan berwawasan luas. Namun, apakah lulusan pendidikan manajemen konstruksi benar-benar siap menghadapi tuntutan dunia kerja? Paper “Skills and Competency in Construction Project Success: Learning Environment and Industry Application – The GAP” oleh H. S. M. Hasan dkk. (2011) mengupas secara sistematis kesenjangan antara kompetensi lulusan dan harapan industri, khususnya di Malaysia, dengan menyoroti hasil survei dan analisis mendalam terhadap pelaku industri dan lulusan.
Artikel ini merangkum temuan utama paper, menyajikan data dan studi kasus, serta memberikan analisis kritis dan relevansi dengan tren pendidikan dan industri konstruksi global.
Latar Belakang: Kompetensi yang Dibutuhkan Industri Konstruksi
Industri konstruksi menuntut lulusan yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga mampu bekerja lintas disiplin, adaptif terhadap perubahan, dan terampil dalam mengelola ketidakpastian. Lulusan manajemen konstruksi diharapkan dapat berkontribusi di berbagai sektor—mulai dari kontraktor, konsultan, pengembang, hingga lembaga publik dan swasta. Namun, realitas di lapangan sering kali menunjukkan adanya gap antara teori yang dipelajari di kampus dan praktik di dunia kerja.
Metodologi: Survei dan Analisis Persepsi
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan survei pos kepada 420 responden di Klang Valley, Malaysia, terdiri dari 210 karyawan dan 210 pemberi kerja di sektor konstruksi. Tingkat respons mencapai 71,4% (300 kuesioner kembali; 200 karyawan dan 100 pemberi kerja). Survei ini dirancang untuk menggali persepsi tentang:
Analisis data dilakukan dengan statistik deskriptif dan tabulasi frekuensi untuk menangkap pola persepsi dan pengalaman.
Temuan Utama: Kesenjangan Kompetensi dan Persepsi Industri
1. Spesialisasi Berlebihan dan Kurangnya Kolaborasi
Hasil survei menunjukkan bahwa industri terlalu menekankan spesialisasi dalam organisasi, sehingga terjadi kekurangan pertukaran ide antar departemen. Pegawai didorong untuk fokus pada bidang tertentu, yang menyebabkan keterampilan mereka hanya berkembang di area terbatas. Akibatnya, inovasi dan kolaborasi lintas bidang menjadi terhambat.
2. Perbedaan Harapan antara Industri dan Lulusan
Industri mengharapkan lulusan mampu langsung memenuhi target spesifik yang seringkali tidak sesuai dengan kompetensi yang diperoleh dari pendidikan. Sementara itu, lulusan merasa bahwa nilai suatu mata kuliah atau pelatihan sering kali tidak sejalan dengan kebutuhan nyata di tempat kerja. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan di kedua belah pihak.
3. Kekurangan Keterampilan Interpersonal dan Inovasi
Banyak pekerja baru dinilai kurang memiliki keterampilan interpersonal dan enggan menerapkan inovasi. Industri juga mengeluhkan minimnya budaya kritik konstruktif terhadap proyek yang gagal, sehingga pembelajaran dari kegagalan kurang optimal.
4. Perspektif Karyawan: Kurangnya Kesempatan Berinovasi
Lulusan sering kali tidak diberi ruang untuk berinovasi di tempat kerja, sehingga mereka cenderung berpindah ke perusahaan konsultan manajemen yang lebih terbuka terhadap ide baru. Universitas dianggap bertugas memperkenalkan pengetahuan baru dan melatih pola pikir kritis, sementara industri lebih fokus pada penerapan praktis.
5. Transfer Pengetahuan Butuh Waktu
Meskipun sebagian besar pengetahuan dan inovasi yang diperoleh di kampus dapat diterapkan di industri, lulusan membutuhkan waktu dan posisi yang cukup senior untuk benar-benar mengimplementasikannya.
Studi Kasus: Survei di Klang Valley, Malaysia
Survei dilakukan di kawasan metropolitan Klang Valley, pusat pertumbuhan ekonomi dan konstruksi di Malaysia. Dari 420 kuesioner yang dikirim, 300 kembali dan dianalisis. Temuan utama dari survei ini antara lain:
Analisis Kritis dan Opini
Kelebihan Paper
Kelemahan dan Tantangan
Rekomendasi: Menutup Kesenjangan Kompetensi
Berdasarkan temuan, paper ini merekomendasikan beberapa langkah strategis:
Perbandingan dengan Tren Global
Kesenjangan antara dunia pendidikan dan industri bukan hanya masalah di Malaysia. Studi di Inggris, Australia, dan Amerika Serikat juga menunjukkan bahwa lulusan teknik dan manajemen konstruksi sering kali membutuhkan pelatihan tambahan, terutama dalam soft skills, manajemen proyek, dan adaptasi teknologi baru. Negara-negara maju mulai mengadopsi model kolaborasi tripartit antara universitas, industri, dan asosiasi profesi untuk memperkuat link and match.
Implikasi untuk Industri Konstruksi dan Pendidikan Tinggi
Penutup: Menuju Sinergi Pendidikan dan Industri
Paper Hasan dkk. menegaskan bahwa keberhasilan proyek konstruksi sangat dipengaruhi oleh kualitas SDM yang mampu menjembatani teori dan praktik. Kesenjangan antara pendidikan dan industri harus diatasi melalui kolaborasi, inovasi kurikulum, dan perubahan budaya organisasi. Dengan langkah strategis dan sinergi lintas sektor, industri konstruksi dapat menghasilkan tenaga kerja yang bukan hanya kompeten, tapi juga siap menghadapi tantangan masa depan.
Sumber asli:
H. S. M. Hasan, H. Ahamad, M. R. Mohamed. (2011). Skills and Competency in Construction Project Success: Learning Environment and Industry Application – The GAP. Procedia Engineering, 20, 291–297.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025
Pendahuluan
Dalam dunia yang terus menghadapi tekanan perubahan iklim, urbanisasi, dan degradasi lingkungan, pemantauan hidrologi menjadi fondasi penting untuk memastikan pengelolaan air yang berkelanjutan. Sayangnya, biaya tinggi dan keterbatasan jaringan pemantauan membuat negara-negara berpenghasilan rendah sulit memperoleh data yang memadai. Artikel ilmiah dari Njue et al. (2019) mengusulkan solusi revolusioner: citizen science, yakni keterlibatan masyarakat umum dalam pengumpulan dan analisis data ilmiah, sebagai alternatif yang murah, partisipatif, dan efektif.
Mengapa Citizen Science Relevan untuk Hidrologi?
Pemantauan hidrologi konvensional mahal, memerlukan sensor otomatis, tenaga ahli, dan infrastruktur kompleks. Namun:
Citizen science menjembatani kesenjangan ini dengan:
Temuan Kunci dan Angka-Angka dari Studi
Studi Kasus Nyata: Teknologi, Data, dan Partisipasi
1. Kenya – Sondu Catchment
2. CoCoRaHS (AS dan Kanada)
3. CrowdHydrology (AS)
4. NetAtmo dan IoT
Keunggulan dan Tantangan Citizen Science
Keunggulan:
Tantangan:
Aplikasi di Media Sosial dan Teknologi Terbuka
Penelitian juga menunjukkan bahwa media sosial seperti YouTube, Twitter, dan Flickr menjadi sumber data baru:
Rekomendasi untuk Masa Depan
Untuk Peneliti dan Akademisi:
Untuk Pemerintah dan Lembaga Lingkungan:
Untuk Platform Pembelajaran dan LSM:
Kesimpulan: Masa Depan Hidrologi Bersama Masyarakat
Artikel ini membuktikan bahwa citizen science mampu menghasilkan data hidrologi yang kredibel, luas, dan hemat biaya. Kuncinya adalah pelatihan, komunikasi dua arah, dan integrasi data ke dalam pengambilan keputusan. Dengan meningkatnya teknologi, smartphone, dan konektivitas internet, potensi untuk memobilisasi warga menjadi pengumpul data sains semakin besar, terutama di negara berkembang.
Citizen science bukan hanya strategi ilmiah, tapi juga gerakan sosial yang memperkuat hak masyarakat atas air, data, dan masa depan yang berkelanjutan.
Sumber : Njue, N., Kroese, J. S., Gräf, J., Jacobs, S. R., Weeser, B., Breuer, L., & Rufino, M. C. (2019). Citizen science in hydrological monitoring and ecosystem services management: State of the art and future prospects. Science of the Total Environment, 693, 133531.
Pembangunan Pedesaan
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 01 Juli 2025
Transformasi Akses Air Minum di Era SDG
Bangladesh sering dipuji sebagai kisah sukses dalam memperluas akses air minum ke masyarakat pedesaan. Namun, di balik statistik capaian Millennium Development Goals (MDGs), terdapat dinamika baru yang kini menjadi tantangan utama di era Sustainable Development Goals (SDGs): pergeseran tanggung jawab penyediaan air minum dari negara ke individu dan rumah tangga. Paper “Risky responsibilities for rural drinking water institutions: The case of unregulated self-supply in Bangladesh” karya Alex Fischer dkk. (2020) membedah secara kritis fenomena pertumbuhan pesat self-supply—yakni sumur bor dan pompa air yang didanai dan dikelola sendiri oleh rumah tangga—beserta implikasi sosial, ekonomi, dan kelembagaannya.
Artikel ini merangkum temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus di Matlab dan Khulna, serta mengaitkan dengan tren global, tantangan regulasi, dan pelajaran bagi negara berkembang lain, termasuk Indonesia.
Latar Belakang: Dari Infrastruktur Publik ke Self-Supply
Evolusi Kebijakan dan Infrastruktur
Pada dekade 1970–1980-an, pemerintah Bangladesh bersama donor internasional membangun ratusan ribu sumur bor dangkal (shallow tubewell) sebagai respons terhadap epidemi kolera dan kontaminasi air permukaan. Namun, sejak 1990-an, terjadi desentralisasi dan liberalisasi pasar, sehingga pemasangan sumur bor mulai didominasi sektor swasta informal dan rumah tangga.
Data menunjukkan, antara 2012–2017, untuk setiap satu titik air publik yang dibangun pemerintah, terdapat 45 sumur bor baru yang dipasang secara privat. Akibatnya, jumlah infrastruktur air nasional lebih dari dua kali lipat sejak 2006. Rasio rumah tangga per sumur bor menurun drastis dari 57 pada 1982 menjadi kurang dari 2 pada 2017—menandakan hampir setiap rumah kini memiliki sumur sendiri. Penurunan harga riil sumur bor privat hingga 70% sejak 1982 turut mendorong tren ini.
Studi Kasus: Matlab dan Khulna—Dinamika Self-Supply di Lapangan
Matlab: Lonjakan Sumur Bor Privat
Pertumbuhan sumur bor tetap eksponensial bahkan setelah krisis arsenik di awal 2000-an dan program pengujian massal. Pada 2017, dua pertiga sumur dangkal hanya dipakai satu rumah tangga, dan 90% sumur baru dipakai maksimal tiga rumah tangga—menandakan pergeseran dari model kolektif ke individual.
Khulna: Tantangan Salinitas dan Diversifikasi Sumber
Angka-Angka Penting: Skala, Investasi, dan Pola Konsumsi
Risiko dan Tantangan: Dari Kesehatan hingga Tata Kelola
1. Kesehatan dan Kualitas Air
2. Tata Kelola dan Regulasi
3. Ekonomi dan Ketimpangan
Analisis dan Tinjauan Kritis
Keberhasilan dan Dilema Self-Supply
Perbandingan dengan Negara Lain
Peluang dan Rekomendasi
Implikasi untuk Kebijakan dan Industri
Keterkaitan dengan Tren Global dan SDGs
Fenomena self-supply di Bangladesh menjadi cermin tantangan global dalam mencapai SDG 6.1 (air minum aman dan terjangkau untuk semua). Banyak negara kini menghadapi dilema serupa: bagaimana mengelola pertumbuhan infrastruktur privat tanpa mengorbankan kualitas dan keamanan air? Bangladesh memberi pelajaran penting bahwa keberhasilan akses harus diimbangi dengan tata kelola risiko dan regulasi yang adaptif.
Penutup: Menuju Tata Kelola Air Minum yang Berbasis Risiko
Studi Fischer dkk. menegaskan bahwa capaian akses air minum di Bangladesh tidak lepas dari investasi privat rumah tangga, namun keberlanjutan dan keamanan layanan sangat bergantung pada reformasi kelembagaan dan regulasi. Menuju SDG, pendekatan berbasis risiko—bukan sekadar infrastruktur—harus menjadi arus utama. Pemerintah dan masyarakat perlu berkolaborasi untuk memastikan bahwa setiap sumur yang dibangun benar-benar memberikan air yang aman, bukan sekadar menambah angka statistik.
Sumber asli:
Alex Fischer, Rob Hope, Achut Manandhar, Sonia Hoque, Tim Foster, Adnan Hakim, Md. Sirajul Islam, David Bradley. (2020). Risky responsibilities for rural drinking water institutions: The case of unregulated self-supply in Bangladesh. Global Environmental Change, 65, 102152.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 01 Juli 2025
Pendahuluan
Di era perubahan iklim dan ketimpangan sosial, air menjadi sumber daya vital sekaligus sumber ketegangan. Artikel ilmiah oleh Döring, Kim, dan Swain (2024) menyoroti bagaimana bidang socio-hydrology—ilmu yang mengkaji interaksi antara masyarakat dan sistem hidrologi—dapat berkembang pesat bila diintegrasikan dengan riset perdamaian dan konflik. Pendekatan ini tidak hanya memperluas cara kita memahami konflik air, tetapi juga menawarkan cara baru untuk membangun perdamaian melalui tata kelola air yang lebih adil.
Mengapa Integrasi Socio-Hydrology dan Studi Konflik Penting?
Socio-hydrology berfokus pada dinamika sosial, kekuasaan, dan nilai-nilai budaya dalam pengelolaan air, bukan hanya aspek teknis. Sementara itu, riset konflik dan perdamaian menyajikan kerangka analisis mengenai bagaimana air memicu konflik—dan lebih penting lagi—bagaimana air bisa menjadi alat perdamaian. Dua bidang ini memiliki potensi saling melengkapi untuk menghadapi tantangan besar abad ke-21: kekurangan air, ketidaksetaraan distribusi, dan krisis iklim.
Konflik dan Kerja Sama atas Air: Data dan Temuan Penting
Studi Kasus Empiris dan Data Global
Pendekatan Kritis: Politik, Gender, dan Keadilan Air
Penelitian menunjukkan bahwa:
Peran Socio-Hydrology dalam Peacebuilding
Environmental peacebuilding menjadi pendekatan penting dalam pembangunan pascakonflik:
Kritik dan Refleksi: Apa yang Kurang dan Harus Diperbaiki
Tantangan utama integrasi dua bidang ini adalah:
Namun, bila kolaborasi ini difasilitasi secara sistematis, hasilnya bisa membentuk kebijakan air yang lebih tangguh dan inklusif.
Relevansi dengan Target Global
Integrasi socio-hydrology dan studi konflik memiliki dampak langsung terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya:
Rekomendasi Kebijakan dan Penelitian
Untuk peneliti:
Untuk pembuat kebijakan:
Untuk masyarakat sipil dan organisasi internasional:
Kesimpulan
Artikel ini menunjukkan bahwa mengelola air tidak hanya soal teknologi dan infrastruktur, tetapi juga soal politik, keadilan, dan perdamaian. Integrasi antara socio-hydrology dan riset perdamaian memberi arah baru untuk menjawab tantangan air abad ke-21. Jika dikelola dengan cermat, air bisa menjadi alat pemersatu, bukan pemicu konflik. Ke depan, kolaborasi antardisiplin harus diperluas agar solusi terhadap krisis air bisa menyentuh akar masalah, bukan sekadar permukaan.
Sumber : Döring, S., Kim, K., & Swain, A. (2024). Integrating socio-hydrology, and peace and conflict research. Journal of Hydrology, 633, 131000.
Pembangunan Pedesaan
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 01 Juli 2025
Pembangunan infrastruktur sering dianggap sebagai kunci utama kemajuan wilayah pedesaan, terutama di kawasan terpencil seperti Swedia tengah. Namun, dalam praktiknya, hubungan antara aksesibilitas, infrastruktur transportasi, dan pembangunan berkelanjutan jauh lebih kompleks daripada sekadar membangun jalan atau stasiun kereta. Paper “Envisioning sustainable rural development: A narrative on accessibility and infrastructure from a Swedish region” karya Christine Große (2024) menawarkan tinjauan kritis mengenai bagaimana narasi yang dibangun oleh para pengambil kebijakan lokal membentuk arah pembangunan pedesaan, sekaligus menyoroti keterbatasan dan risiko dari narasi yang terlalu sederhana.
Artikel ini mengulas temuan utama paper tersebut, menyoroti studi kasus jaringan pemerintahan enam kota di Swedia tengah, serta menghubungkannya dengan tren global dan tantangan nyata pembangunan pedesaan—termasuk relevansinya bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Infrastruktur dan Narasi: Mengapa Cerita Penting dalam Kebijakan Publik?
Narasi Sebagai Alat Pengambilan Keputusan
Dalam konteks perencanaan wilayah pedesaan, narasi bukan sekadar cerita, melainkan alat penting untuk menjelaskan isu kebijakan, mentransfer perspektif, dan membangun legitimasi solusi yang dipilih. Namun, narasi yang terlalu sederhana sering kali gagal menangkap kompleksitas masalah dan kebutuhan masyarakat yang beragam. Paper ini menyoroti bahwa narasi yang digunakan pejabat lokal di Swedia cenderung menyoroti kebutuhan “warga lokal” dan “komuter”, namun mengabaikan kelompok lain, seperti pelaku usaha, wisatawan, atau kelompok rentan dengan kebutuhan akses khusus12.
Sistem Kompleks dan Ketidakpastian
Pembangunan infrastruktur di pedesaan menghadapi tantangan besar:
Studi Kasus: Jaringan Pemerintahan Daerah di Swedia Tengah
Latar Belakang Wilayah
Studi ini berfokus pada enam kota di Swedia tengah yang membentuk jaringan kerja sama sejak 2006, dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup penduduk melalui kolaborasi lintas wilayah. Wilayah ini relatif terpencil, memiliki kepadatan penduduk rendah, dan menghadapi tantangan klasik pedesaan Eropa: urbanisasi, penurunan populasi, dan kebutuhan akan infrastruktur transportasi yang memadai1.
Metodologi: Kolaborasi, Visualisasi, dan Dialog
Penelitian dilakukan melalui:
Temuan Kunci: Narasi dan Perspektif yang Dominan
Empat perspektif utama yang membentuk narasi pembangunan pedesaan di wilayah ini adalah:
Narasi ini cenderung mengabaikan:
Analisis Studi Kasus: Tantangan dan Peluang
1. Visi Masa Depan yang Kurang Inklusif
Sebagian besar pejabat lokal membayangkan masa depan dengan pertumbuhan penduduk, peningkatan lapangan kerja, dan kualitas hidup lebih baik. Namun, visi ini seringkali seragam dan kurang memperhatikan keunikan atau kebutuhan khusus tiap wilayah. Banyak kota kecil merasa hanya “mengikuti” kota besar sebagai “lokomotif pertumbuhan”, tanpa strategi diferensiasi yang jelas1.
2. Kolaborasi dan Ketidakpastian Peran
Kolaborasi lintas kota dinilai penting, namun peran dan manfaat masing-masing kota sering tidak jelas. Kota-kota kecil merasa kurang diuntungkan, sementara kota besar dibebani ekspektasi sebagai penarik utama investasi dan penduduk. Konflik kepentingan dan alokasi sumber daya antara pusat dan pinggiran menjadi isu laten1.
3. Aksesibilitas: Antara Mobilitas dan Keterjangkauan
Masalah aksesibilitas yang diangkat lebih banyak terkait mobilitas sehari-hari (komuter, rekreasi), bukan akses ke layanan dasar atau peluang ekonomi. Visualisasi yang dihasilkan peserta menyoroti:
4. Ketimpangan dan Spiral Negatif
Kota dengan kepadatan rendah sering kesulitan mendapatkan prioritas investasi infrastruktur. Hal ini menciptakan spiral negatif: aksesibilitas buruk → daya tarik rendah → penduduk dan bisnis enggan masuk → semakin sulit membenarkan investasi baru1.
Keterkaitan dengan Tren Global dan Studi Lain
Tantangan Serupa di Negara Lain
Implikasi untuk Indonesia dan Negara Berkembang
Banyak tantangan yang dihadapi Swedia tengah juga ditemukan di Indonesia:
Kritik, Opini, dan Rekomendasi
Kelebihan Pendekatan Paper
Keterbatasan dan Tantangan
Rekomendasi Praktis
Penutup: Menuju Narasi Pembangunan Pedesaan yang Lebih Inklusif dan Visioner
Studi Christine Große menegaskan bahwa narasi pembangunan pedesaan harus lebih dari sekadar cerita tentang mobilitas dan pertumbuhan penduduk. Diperlukan pemahaman mendalam tentang kebutuhan beragam pemangku kepentingan, integrasi antara infrastruktur, layanan dasar, dan peluang ekonomi, serta tata kelola yang inovatif dan partisipatif. Dengan membangun narasi yang lebih inklusif dan berbasis data, wilayah pedesaan—baik di Swedia, Indonesia, maupun negara lain—dapat merancang masa depan yang benar-benar berkelanjutan dan adaptif terhadap tantangan zaman.
Sumber asli:
Christine Große (2024). Envisioning sustainable rural development: A narrative on accessibility and infrastructure from a Swedish region. Journal of Rural Studies 109, 103319.