Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 02 Oktober 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Buku Insinyur Indonesia menyajikan narasi komprehensif tentang peran strategis profesi insinyur dalam kerangka pembangunan nasional. Di dalamnya, ditekankan bahwa insinyur bukan sekadar penanggung jawab teknis; mereka adalah agen perubahan yang menentukan kualitas, keamanan, dan keberlanjutan infrastruktur bangsa.
Salah satu poin penting yang diangkat adalah bahwa jumlah dan distribusi insinyur di Indonesia masih sangat timpang. Buku tersebut mengkritisi bahwa banyak lulusan teknik belum tersertifikasi sebagai insinyur profesional, sehingga kapasitas teknis negara terbuang. Hal ini mendapat dukungan dari artikel Insinyur Indonesia, yang menyoroti bahwa ketimpangan kualitas, regulasi yang belum optimal, dan kurangnya keterlibatan insinyur dalam kebijakan publik menjadi isu utama dalam pengembangan profesi teknik di Indonesia.
Selain itu, buku ini menekankan pentingnya legalitas profesi insinyur melalui Surat Tanda Registrasi Insinyur (STRI) agar gelar dan praktek teknik memiliki basis hukum yang kokoh. Hal ini relevan dengan artikel Gelar Insinyur tak lagi Masyur, harus punya Sertifikat Profesi, yang membahas bahwa gelar insinyur kini harus disertai sertifikasi resmi serta diakui secara legal agar tidak sekadar simbol formalitas.
Dengan demikian, buku ini menjadi panggilan bagi penyusunan kebijakan publik agar tidak hanya menciptakan regulasi teoretis, tetapi juga keterpaduan antara pendidikan tinggi, profesi, regulasi, dan dunia industri agar insinyur bisa benar-benar menjadi motor pembangunan nasional.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak
Peningkatan kualitas infrastruktur: Bila lebih banyak insinyur profesional terlibat dalam proyek strategis dengan standar yang memadai, kualitas pelaksanaan, pengawasan, dan pemeliharaan dapat meningkat signifikan.
Kepercayaan publik menguat: Publik mendapatkan jaminan bahwa proyek-proyek nasional ditangani oleh tenaga teknis yang memiliki kompetensi dan legalitas profesional.
Daya saing insinyur meningkat: Dengan profil profesional yang jelas, insinyur Indonesia dapat bersaing di tingkat regional dan global.
Efisiensi sumber daya: Proyek yang didesain dan dikelola dengan baik dapat meminimalisir biaya revisi, kecacatan, dan kerugian jangka panjang.
Hambatan
Kesadaran rendah dan persepsi negatif: Banyak lulusan teknik dan praktisi belum melihat nilai tambah sertifikasi insinyur. Sertifikasi dianggap beban tambahan tanpa manfaat langsung.
Biaya dan beban administratif: Pengurusan sertifikasi, pelatihan CPD, dan regulasi pendukung sering dianggap mahal, terutama bagi insinyur pemula atau yang berada di luar kota besar.
Ketidakmerataan fasilitas pendidikan: Sebagaimana artikel Insinyur Indonesia di Era Industri 4.0: Siapkah Kita? menyebut, jumlah universitas penyelenggara PSPPI sangat timpang — 32 di wilayah barat, 7 di tengah, dan hanya 1 di timur — yang menyebabkan kesenjangan kompetensi antarwilayah.
Dualisme regulasi dan lembaga: Sistem sertifikasi di Indonesia melibatkan beberapa lembaga (PII, LSP, pemerintah) yang kadang memiliki tumpang tindih kewenangan dan sinkronisasi kurang baik.
Peraturan pelaksana yang belum lengkap: Meskipun UU Keinsinyuran sudah diterbitkan, regulasi teknis pelaksana (Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri) belum sepenuhnya menjabarkan mekanisme detail.
Peluang
Penguatan Program Profesi Insinyur (PSPPI) di lebih banyak perguruan tinggi untuk memicu peningkatan akses sertifikasi.
Pemanfaatan teknologi digital, seperti platform daring untuk pelatihan CPD, registrasi insinyur, dan audit profesional yang transparan.
Insentif pemerintah (seperti prioritas proyek, pengurangan birokrasi, atau subsidi sertifikasi) bagi insinyur yang sudah bersertifikasi untuk mendorong partisipasi.
Harmonisasi sertifikasi nasional dengan skema internasional (ASEAN MRA, mutual recognition) agar sertifikasi insinyur Indonesia memiliki pengakuan global.
Kampanye kesadaran profesi teknik yang mengangkat cerita sukses insinyur bersertifikasi agar nilai sertifikasi lebih dirasakan secara nyata oleh profesional di lapangan.
Relevansi untuk Indonesia
Buku ini sangat relevan dengan pengembangan profesi teknik di Indonesia. Dalam banyak proyek nasional (tol, kereta cepat, IKN, PLTA, proyek energi terbarukan), keterlibatan insinyur profesional yang kompeten adalah mutlak. Kelemahan dalam sistem profesi insinyur bisa melemahkan daya saing, menurunkan kualitas proyek, bahkan mengancam keselamatan publik.
Sistem sertifikasi insinyur Indonesia sendiri telah berkembang. Menurut artikel Evaluasi Sertifikasi Kompetensi Insinyur Indonesia, sertifikasi PII terdiri dari jenjang Insinyur Profesional Pratama, Madya, dan Utama, dengan sistem portofolio dan asesmen. Namun, survei penulis menunjukkan bahwa lebih dari 50% insinyur belum memiliki sertifikasi, dan hambatan utama adalah kurangnya sosialisasi dan biaya.
Lebih lanjut, artikel Analisis Kesesuaian Sertifikasi Insinyur Indonesia terhadap Best Practices mengidentifikasi bahwa dari 36 faktor uji, 20 tidak sesuai dengan praktik terbaik sertifikasi internasional. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kerangka regulasi sudah ada, banyak aspek teknis implementasinya belum menyentuh standar global.
Dengan merujuk referensi-referensi tersebut, buku Insinyur Indonesia makin diperkuat sebagai landasan debat kebijakan: bahwa profesionalisme insinyur harus dibangun tidak hanya lewat regulasi formal, tetapi lewat pemahaman praktis, pengawasan nyata, dan kesetaraan akses.
Rekomendasi Kebijakan
Wajibkan Sertifikasi Insinyur dalam Proyek Strategis
Proyek publik nasional (misalnya proyek infrastruktur, energi, IKN) sebaiknya mensyaratkan bahwa tim teknis proyek melibatkan insinyur bersertifikasi STRI atau setara sebagai syarat legal.
Perluas PSPPI ke wilayah timur Indonesia
Dengan distribusi PSPPI yang timpang, perluasan ke universitas di luar Jawa dan Sumatra sangat penting agar kesempatan kompetensi merata.
Penguatan regulasi teknis pelaksana UU Keinsinyuran
Pemerintah harus segera menerbitkan regulasi teknis (PP, Permen, regulasi PKB, audit profesi) agar UU tidak menjadi sekadar dokumen formal.
Subsidi dan Insentif Sertifikasi bagi Insinyur Pemula / Daerah
Misalnya pembiayaan ujian, insentif pajak, akses lebih mudah ke proyek pemerintah bagi insinyur bersertifikasi.
Digitalisasi proses sertifikasi dan audit
Sistem online terpusat agar registrasi, verifikasi, audit, dan pelaporan dapat diakses publik, memperkuat transparansi dan akuntabilitas.
Harmonisasi sertifikasi nasional dengan skema global
Kerjasama internasional agar sertifikasi STRI/PPI dapat diakui di kawasan ASEAN atau global melalui perjanjian Mutual Recognition Agreements (MRA).
Kampanye nasional & edukasi profesi teknik
Program literasi profesi teknik di perguruan tinggi, perusahaan, dan lembaga pemerintah agar manfaat sertifikasi lebih dipahami dan diapresiasi.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Jika regulasi hanya berlaku di kota besar dan tidak terimplementasi di daerah terpencil, maka ketidaksetaraan justru membesar.
Tanpa audit eksternal atau lembaga pengawas independen, sertifikasi bisa berubah menjadi formalitas tanpa makna nyata.
Jika biaya dan proses birokrasi tidak disederhanakan, banyak insinyur enggan ikut sertifikasi, sehingga tujuan peningkatan kualitas terhambat.
Potensi konflik kepentingan: lembaga sertifikasi atau asosiasi bisa memiliki kepentingan dalam “mengatur” pasar insinyur dan bukan memfokuskan pada kompetensi publik.
Regulasi teknis yang lambat disusun bisa membuat UU Keinsinyuran tidak efektif di lapangan, sehingga celah implementasi akan menyalahkan regulasi dan bukan kualitas insinyur.
Penutup
Buku Insinyur Indonesia adalah panggilan penting bahwa penguatan profesi insinyur bukanlah proyek masa depan, melainkan kebutuhan saat ini. Indonesia tidak cukup memiliki UU, tetapi harus membangun sistem sertifikasi, regulasi, pendidikan, dan budaya profesi yang matang. Hanya dengan sinergi regulasi, institusi pendidikan, asosiasi profesi, dan teknologi digital, insinyur Indonesia bisa menjadi pilar pembangunan nasional yang kredibel dan berdaya saing global.
Sumber
Buku Insinyur Indonesia (PII / penerbit)
Keinsinyuran
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 02 Oktober 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Makalah Engineers and Accountability karya Kenneth Van Treuren (2022) membahas aspek fundamental dari profesi teknik: akuntabilitas — bahwa insinyur tidak hanya bertanggung jawab pada aspek teknis, tetapi juga moral, sosial, dan legal dari setiap keputusan mereka. Di dalamnya ditekankan bahwa standar akreditasi pendidikan, sertifikasi profesional, dan mekanisme pertanggungjawaban (audit, regulasi, sanksi) harus berjalan sinergis agar kepercayaan publik terhadap profesi teknik tetap lestari.
Dalam konteks Indonesia, makalah ini sangat relevan. Dengan tingginya ekspektasi publik terhadap hasil proyek infrastruktur, setiap kegagalan teknis, kecelakaan, atau kerusakan bangunan menjadi sorotan serius. Tanpa akar akuntabilitas yang kokoh, reputasi profesi teknik akan mudah rusak. Link ke artikel “Professional Engineer & Etika Profesi (Insinyur)” dari DiklatKerja menunjukkan bahwa profesionalisme insinyur mencakup tanggung jawab moral dan sosial, bukan hanya keterampilan teknis:
Professional Engineer & Etika Profesi (Insinyur)
Makalah ini juga menegaskan bahwa regulasi akuntabilitas tidak boleh dipisahkan dari etika profesi dan pengawasan eksternal. Tanpa itu, sertifikasi bisa menjadi formalitas tanpa makna.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak
Kepercayaan Publik Naik
Ketika masyarakat tahu bahwa insinyur terikat akuntabilitas profesional, mereka lebih percaya bahwa infrastruktur dibangun aman dan andal.
Standar Mutu Proyek Meningkat
Insinyur yang jam terbangnya diawasi dan disertifikasi terus-menerus cenderung menjaga kualitas proyek agar sesuai desain dan regulasi.
Profesionalisme Profesi Tambah Kokoh
Akuntabilitas memperkuat posisi profesi teknik sebagai profesi sejati (bukan hanya teknis), selaras dengan prinsip-prinsip profesi seperti dokter atau arsitek.
Hambatan
Ketidaksiapan Institusi Pendidikan & Industri
Banyak institusi teknik belum memasukkan kurikulum etika dan praktik akuntabilitas secara mendalam.
Biaya dan Proses Sertifikasi
Sertifikasi profesional dan audit eksternal memerlukan biaya signifikan, yang bisa membebani peserta baru atau praktisi di daerah terpencil.
Kesenjangan Penegakan & Pengawasan
Tanpa lembaga yang mandiri dan berwenang menjalankan audit dan sanksi, regulasi akuntabilitas bisa lemah dalam praktik.
Tekanan Komersial dan Konflik Kepentingan
Kadang insinyur berada di bawah tekanan manajemen atau pemilik proyek untuk mengejar target biaya/waktu, yang bisa memicu kompromi teknis dan etika.
Peluang
Digitalisasi Sistem Audit & Pelaporan
Dengan sistem daring, audit integritas, pelaporan pelanggaran, dan verifikasi sertifikasi dapat dilakukan lebih efisien dan transparan.
Kolaborasi Perguruan Tinggi, Profesi, dan Regulator
Institusi pendidikan, organisasi profesi (misalnya PII), dan pemerintah bisa bekerja sama menyusun standar akuntabilitas yang berkelanjutan.
Integrasi Etika & Soft Skills dalam Kurikulum Teknik
Pendidikan teknik perlu lebih menekankan etika profesional, pengambilan keputusan moral, dan tanggung jawab terhadap publik.
Pemberian Insentif bagi Insinyur yang Memiliki Rekam Integritas
Misalnya prioritas proyek pemerintah, tarif administratif lebih rendah, atau pengakuan profesional.
Relevansi untuk Indonesia
Di Indonesia, isu akuntabilitas insinyur sudah muncul nyata di berbagai kasus kegagalan bangunan, keruntuhan struktur, dan penyimpangan teknis. Makalah tentang “Kajian Etika Profesi Keinsinyuran Sipil” dari DiklatKerja menyoroti bagaimana kode etik insinyur sangat penting untuk menjaga kredibilitas dan keselamatan proyek teknik sipil:
Kajian Etika Profesi Keinsinyuran Sipil
Selain itu, artikel “Pentingnya Etika Profesi Teknik Sipil dalam Pengambilan Keputusan K3L” menekankan bahwa banyak keputusan teknik berdampak langsung pada keselamatan kerja dan lingkungan, sehingga insinyur harus mengambil keputusan yang tidak hanya “teknis benar” tetapi juga etis:
Pentingnya Etika Profesi Teknik Sipil dalam Pengambilan Keputusan K3L
Di Indonesia, regulasi UU No. 11/2014 tentang Keinsinyuran memberi landasan legal untuk sertifikasi dan pengaturan profesi insinyur. Namun, praktik akuntabilitas masih lemah karena kurangnya penegakan kode etik, audit eksternal, dan transparansi data insinyur. Van Treuren menunjukkan bahwa akuntabilitas harus menjadi pondasi regulasi profesi agar insinyur tidak hanya terampil, tetapi juga bertanggung jawab kepada masyarakat.
Rekomendasi Kebijakan
Standar Akuntabilitas Nasional
Buat regulasi yang menetapkan standar akuntabilitas insinyur — mencakup sertifikasi, audit, pelaporan, dan sanksi.
Integrasi Program Profesi Insinyur (PSPPI) dan Etika Profesi
Program profesi insinyur (seperti PSPPI UMI) perlu memperkuat kurikulum etika, audit, dan integritas.
Contoh: DiklatKerja menulis tentang PSPPI UMI sebagai model kolaborasi akademik, industri, dan sertifikasi ASEAN Engineer: Program Profesi Insinyur – PSPPI UMI
Pelatihan dan Workshop Etika & Akuntabilitas
Pemerintah, PII, dan lembaga pendidikan harus menyelenggarakan pelatihan profesional secara berkala untuk memperkuat pemahaman akuntabilitas.
Platform Digital Terbuka
Sistem online untuk verifikasi status insinyur, laporan pelanggaran, audit, dan statistik akuntabilitas agar publik dapat mengakses informasi.
Audit Independen dan Mekanisme Sanksi
Bentuk lembaga audit independen yang dapat menegakkan kode etik insinyur dan memberikan sanksi bila terjadi penyimpangan teknis maupun etika.
Insentif bagi Insinyur Integritas
Berikan prioritas dalam tender publik kepada insinyur yang memiliki rekam jejak akuntabilitas baik atau sertifikasi keunggulan etika.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Bila regulasi akuntabilitas hanya formalitas tanpa penegakan, sistem menjadi lemah dan kehilangan kepercayaan publik.
Biaya tinggi dan birokrasi panjang dapat membuat banyak insinyur enggan ikut sertifikasi atau audit.
Jika institusi pendidikan atau industri belum siap (fasilitas, kurikulum, SDM), maka upaya ini bisa gagal di tahap implementasi.
Potensi konflik kepentingan jika lembaga audit atau regulator tidak independen—akuntabilitas tidak efektif jika regulator turut berkepentingan.
Penutup
Van Treuren (2022) menyampaikan pesan penting bahwa akuntabilitas bukanlah tambahan dalam profesi teknik, tetapi inti dari apa artinya menjadi insinyur profesional: kompeten, bertanggung jawab, etis, dan transparan. Bagi Indonesia, memperkuat akuntabilitas insinyur melalui regulasi, pendidikan, audit, dan budaya profesional bukan hanya langkah teknis, tetapi langkah strategis untuk memastikan bahwa pembangunan infrastruktur benar-benar melayani masyarakat dengan aman dan berkelanjutan.
Sumber
Van Treuren, Kenneth W. (2022). Engineers and Accountability.
Pendidikan & Sertifikasi
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 02 Oktober 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Artikel Engineering Dimensions edisi Januari/Februari 2014 membahas kebutuhan untuk meninjau ulang model lisensi bagi insinyur profesional di Ontario, Kanada. Salah satu isu krusial adalah persyaratan pengalaman kerja lokal (Canadian experience) minimal 12 bulan yang menjadi prasyarat lisensi. Komisi Hak Asasi Manusia Ontario menganggapnya sebagai hambatan tidak langsung, terutama bagi insinyur imigran yang memiliki kompetensi tinggi tapi belum bekerja di Kanada.
Temuan ini penting karena menunjukkan bagaimana regulasi lisensi bisa menjadi alat proteksi nasional sekaligus hambatan mobilitas profesi. Kebijakan semacam ini memiliki dampak luas: dari integritas teknis, keadilan regulasi, hingga kompetensi publik yang dilindungi.
Bagi Indonesia, relevansinya tak bisa diabaikan. Sistem sertifikasi dan lisensi insinyur Indonesia sudah diatur oleh UU No. 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran, tetapi implementasi di lapangan masih mengalami tantangan signifikan. Artikel Evaluasi Sertifikasi Kompetensi Insinyur Indonesia: Menjawab Tantangan Profesionalisme Era Industri 4.0 menegaskan bahwa walaupun adanya kerangka regulasi, banyak insinyur belum tersertifikasi atau belum menyadari prosedur dan manfaat sertifikasi secara penuh.
Selanjutnya, artikel Regulasi Keinsinyuran dalam Konteks ASEAN Mutual Recognition Agreement on Engineering Services membahas bagaimana regulasi di Indonesia perlu diselaraskan agar insinyur Indonesia bisa memanfaatkan pengakuan lintas negara melalui perjanjian MRA (Mutual Recognition Agreement). Hambatan regulasi, kurangnya pemahaman tentang ACPE (ASEAN Chartered Professional Engineer), dan rendahnya jumlah insinyur tersertifikasi ACPE menjadi faktor yang perlu diperbaiki.
Dengan demikian, isu pengalaman lokal vs pengakuan kompetensi internasional menjadi sangat relevan. Regulasi lisensi harus seimbang: menjaga standar keamanan dan mutu, sekaligus tidak menjadi penghalang mobilitas profesional atau pengakuan global.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Dampak
Praktisi imigran dan tenaga asing sering mengalami hambatan administratif, terutama jika pengalaman kerja mereka di luar negeri belum diakui. Hal ini menimbulkan penyusutan potensi keahlian di dalam negeri.
Proyek teknik khusus yang memerlukan lisensi tinggi atau sertifikasi internasional dapat terhambat oleh kurangnya tenaga lokal yang memenuhi persyaratan.
Kredibilitas profesi teknik meningkat apabila proses lisensi dipandang adil, transparan, dan kompetensi diakui berdasarkan standar global.
Hambatan
Regulasi pengalaman lokal seperti pengalaman kerja di wilayah tertentu bisa membatasi insinyur yang mampu namun belum “terverifikasi” secara lokal.
Biaya dan birokrasi sering kali tinggi, baik untuk pendidikan tambahan yang diperlukan, pengurusan dokumen, maupun biaya sertifikasi/pengakuan.
Perbedaan standar pendidikan teknik: tidak semua jurusan teknik di Indonesia memiliki akreditasi yang diakui internasional atau kurikulum yang sejalan dengan standar internasional.
Kurangnya informasi dan pemahaman tentang prosedur sertifikasi internasional, serta manfaatnya bagi karier dan mobilitas kerja.
Peluang
Mengadopsi model kompetensi berbasis hasil (outcome-based) yang lebih fleksibel, dimana aspek nyata kompetensi teknis dan pengalaman lapangan mendapat penekanan, bukan hanya lokasi atau jumlah jam kerja administratif.
Pemerintah bersama asosiasi profesi dapat menyusun mekanisme transisi bagi mereka yang belum memenuhi persyaratan pengalaman lokal, misalnya dengan pengakuan kerja luar negeri, pelatihan tambahan, atau asesmen kompetensi khusus.
Perluasan kerja sama internasional dan sertifikasi global seperti program di ASEAN (ACPE), Washington Accord, atau lembaga-sertifikasi internasional lainnya agar insinyur Indonesia lebih mudah diakui di luar negeri.
Penggunaan teknologi digital dalam proses lisensi: verifikasi dokumen secara online, sistem aplikasi yang jelas, pelacakan status lisensi, dan platform untuk publik agar dapat memeriksa lisensi seseorang—semuanya mendukung transparansi dan kepercayaan publik.
Relevansi untuk Indonesia
Indonesia sudah memiliki UU Keinsinyuran No. 11 Tahun 2014 yang menjadi landasan hukum untuk regulasi profesi insinyur. Tetapi penerapannya masih tidak merata, terutama di daerah terpencil dan perguruan tinggi yang fasilitasnya belum lengkap. Banyak lulusan teknik yang memiliki kompetensi teknis bagus tetapi belum mendapat pengakuan formal sebagai insinyur profesional karena belum memenuhi standar lisensi (sertifikasi, pengalaman kerja, atau ujian profesional).
Selain itu, dalam era MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), insinyur Indonesia yang memiliki sertifikasi global atau pengakuan internasional akan memiliki keunggulan kompetitif yang besar. Artikel Peningkatan Kualitas Insinyur melalui Sertifikasi Insinyur Profesional membahas bahwa daya saing insinyur harus ditingkatkan melalui sertifikasi yang ketat dan pengakuan kompetensi oleh industri dan pemerintah.
Dengan belajar dari pengalaman Kanada dan analisis seperti penelitian ini, Indonesia dapat memperbaiki kebijakan lisensi agar lebih adil bagi semua pihak tanpa mengorbankan standar mutu dan pengakuan internasional.
Rekomendasi Kebijakan
Revisi persyaratan pengalaman kerja lokal dalam regulasi lisensi agar lebih inklusif, termasuk pengakuan pengalaman kerja internasional atau pengalaman lapangan non‐tradisional yang dibuktikan secara kompeten.
Integrasi lusinan lembaga pendidikan teknik dan perguruan tinggi untuk memperluas akreditasi program studi agar sesuai standar internasional, serta memastikan kurikulum yang relevan dengan standar lisensi global.
Subsidi dan insentif untuk proses sertifikasi: dari pemerintah pusat atau daerah, institusi profesi, agar biaya bukan menjadi hambatan bagi insinyur muda atau mereka di daerah yang fasilitasnya terbatas.
Digitalisasi dan transparansi prosedur lisensi: pengajuan online, verifikasi dokumen, pelacakan status aplikasi, dan publikasi jumlah dan nama insinyur yang telah teregistrasi secara resmi.
Kerja sama internasional dan harmonisasi standar: ikut dalam perjanjian pengakuan internasional (seperti ACPE, Washington Accord), memastikan sertifikasi yang diambil di luar negeri dapat diakui di dalam negeri.
Kampanye kesadaran dan pendidikan profesional: meningkatkan pemahaman masyarakat teknik, perguruan tinggi, dan industri terhadap pentingnya lisensi dan sertifikasi; menyosialisasikan prosedur, manfaat, dan kewajiban profesional.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan
Kebijakan lisensi bisa menjadi formalitas jika tidak disertai pengawasan dan mekanisme sanksi terhadap penyalahgunaan gelar atau praktek tanpa lisensi.
Jika biaya dan birokrasi tidak disederhanakan, maka kebijakan bisa malah menimbulkan ketimpangan, di mana hanya praktisi di kota besar yang dapat memenuhi persyaratan.
Pendidikan teknik yang belum siap (kurikulum, fasilitas, dosen/instruktur) mungkin tidak mampu memenuhi standar tinggi standar internasional; tanpa investasi besar, standar tersebut bisa menjadi beban bagi institusi pendidikan.
kurangnya integritas dalam pelaksanaan; misalnya pengalaman kerja yang dipaksakan, dokumentasi palsu, atau proses sertifikasi yang kurang transparan — ini bisa merusak kredibilitas sistem lisensi.
Penutup
Eksplorasi model lisensi di Kanada, khususnya isu pengalaman lokal, adalah peringatan penting bagi Indonesia bahwa regulasi profesi insinyur harus terus diperbaharui agar relevan dengan konteks nasional dan tantangan global. Standar tinggi dan akreditasi internasional sangat diperlukan, tapi mesti disertai kebijakan yang adil, akses yang merata, dan transparansi. Dengan reformasi lisensi yang tepat, insinyur Indonesia bisa lebih dihargai baik dalam negeri maupun di pasar internasional, mendorong pembangunan infrastruktur lebih baik, aman, dan profesional.
Sumber
ED-JF2014. Engineering Dimensions (Januari/Februari 2014). Artikel: “Rethinking the Licensing Model.”
Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 02 Oktober 2025
Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?
Penelitian Robles & Quadrado (2023) mengeksplorasi bagaimana persyaratan akreditasi Certifying Engineer dalam standar ASME BPV (Boiler and Pressure Vessel Code) berdampak pada negara-negara di Amerika Tengah, Selatan, dan Meksiko. Banyak insinyur lokal tidak memenuhi persyaratan akreditasi internasional sehingga proyek harus bergantung pada tenaga asing yang bersertifikasi.
Bagi Indonesia, temuan ini relevan karena menghadapi tantangan serupa seiring meningkatnya proyek teknik khusus seperti pembangkit listrik, industri minyak/gas, dan sistem tekanan tinggi lainnya. Republik Indonesia telah mengatur keinsinyuran melalui UU No. 11/2014, tetapi kelemahan dalam teknis pelaksanaan dan akreditasi masih terlihat. Sebagai perbandingan, artikel Menilik Prosedur Sertifikasi Insinyur Profesional Berdasarkan UU Keinsinyuran No. 11 Tahun 2014 di Indonesia memaparkan berbagai prosedur dan tantangan yang dihadapi sistem sertifikasi insinyur di Indonesia.
Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang
Di lapangan, ketiadaan pengakuan internasional memaksa proyek konstruksi di Amerika Latin untuk mengalokasikan anggaran tambahan guna membayar insinyur asing. Hal ini berdampak pada meningkatnya biaya pembangunan infrastruktur, keterlambatan jadwal, serta berkurangnya peluang bagi insinyur lokal. Hambatannya terletak pada lambannya reformasi akreditasi pendidikan tinggi teknik, keterbatasan sistem registrasi insinyur, dan minimnya kolaborasi dengan lembaga internasional.
Namun, peluang tetap ada. Dengan mengajukan program studi teknik menjadi bagian dari Washington Accord atau memperoleh label EUR-ACE, negara-negara tersebut bisa mempercepat pengakuan global. Selain itu, CodeCase 3036 yang dikeluarkan ASME memberikan jalan tengah dengan memperbolehkan insinyur lokal bersertifikat di yurisdiksi mereka, meskipun masih ada banyak pembatasan.
Relevansi untuk Indonesia
Indonesia memiliki banyak kesamaan dengan kondisi di Amerika Latin. Banyak insinyur Indonesia masih menghadapi hambatan pengakuan internasional karena belum semua program studi teknik terakreditasi secara global. Dengan meningkatnya proyek infrastruktur strategis dan keterlibatan perusahaan asing, kebutuhan terhadap insinyur bersertifikasi internasional semakin mendesak. Mengikuti standar akreditasi internasional akan menjadi langkah penting agar insinyur Indonesia dapat berperan penuh, tanpa harus selalu bergantung pada tenaga asing.
Rekomendasi Kebijakan
Pertama, pemerintah Indonesia perlu mendorong seluruh program studi teknik untuk memperoleh akreditasi internasional seperti Washington Accord atau EUR-ACE. Kedua, asosiasi profesi insinyur harus memperkuat proses sertifikasi agar sesuai dengan standar global. Ketiga, insentif bagi universitas dan insinyur yang mengikuti proses akreditasi internasional harus diberikan. Keempat, kerja sama dengan lembaga internasional perlu ditingkatkan untuk mempercepat transfer teknologi dan standar. Kelima, Indonesia dapat belajar dari CodeCase 3036 untuk menyusun mekanisme transisi sementara hingga pengakuan penuh diperoleh.
Kritik terhadap Potensi Kegagalan
Risiko besar muncul jika kebijakan akreditasi dan sertifikasi tidak segera dilakukan. Insinyur lokal akan terpinggirkan dalam proyek besar, biaya proyek meningkat karena ketergantungan pada insinyur asing, dan posisi Indonesia dalam peta daya saing global bisa melemah. Lebih jauh, tanpa pengakuan internasional, gelar insinyur Indonesia bisa dianggap kurang kredibel di luar negeri, sehingga membatasi mobilitas global tenaga kerja teknik.
Penutup
Penelitian ini menyoroti masalah krusial dalam dunia rekayasa: pentingnya akreditasi internasional bagi insinyur untuk diakui secara global. Bagi Indonesia, pelajaran dari Amerika Latin harus menjadi dorongan untuk memperkuat sistem pendidikan teknik, sertifikasi insinyur, dan integrasi dengan standar global. Dengan kebijakan yang tepat, Indonesia dapat memastikan kemandirian teknis sekaligus memperluas kontribusi insinyur di panggung internasional.
Sumber
Robles, R., & Quadrado, J. (2023). Analyzing the ASME BPV Code of Construction Professional Engineer Accreditation Requirements and their Impact in Central, South America and Mexico. 21st LACCEI International Multi-Conference for Engineering, Education, and Technology, Buenos Aires, Argentina.