Properti dan Arsitektur

Arsitektur Masjid di Indonesia

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Februari 2025


Arsitektur masjid di Indonesia mengacu pada tradisi arsitektur masjid yang dibangun di kepulauan Indonesia. Bentuk awal masjid, misalnya, sebagian besar dibangun dengan gaya arsitektur vernakular Indonesia yang bercampur dengan elemen arsitektur Hindu, Buddha atau Cina, dan terutama tidak dilengkapi dengan bentuk ortodoks elemen arsitektur Islam seperti kubah dan menara. Gaya arsitektur vernakular bervariasi tergantung pada pulau dan daerahnya.

Sejak abad ke-19, masjid-masjid mulai menggabungkan lebih banyak gaya ortodoks yang diimpor pada masa penjajahan Belanda. Gaya arsitektur pada era ini ditandai dengan elemen arsitektur Indo-Islam atau Kebangkitan Moor, dengan kubah berbentuk bawang dan kubah melengkung. Menara tidak diperkenalkan secara penuh hingga abad ke-19, dan pengenalannya disertai dengan impor gaya arsitektur asal Persia dan Ottoman dengan penggunaan kaligrafi dan pola geometris yang menonjol. Selama masa ini, banyak masjid tua yang dibangun dengan gaya tradisional direnovasi, dan kubah kecil ditambahkan pada atap berpinggul persegi.

Sejarah

Islam menyebar secara bertahap di Indonesia sejak abad ke-12 dan seterusnya, dan terutama pada abad ke-14 dan ke-15. Masuknya Islam tidak membawa tradisi bangunan baru, namun hanya mengambil bentuk-bentuk arsitektur yang sudah ada, yang ditafsirkan ulang agar sesuai dengan kebutuhan umat Islam.

Arsitektur Islam awal

Meskipun banyak bangunan Islam paling awal di Jawa dan hampir semuanya di Sumatra tidak bertahan, terutama karena pengaruh iklim terhadap bahan bangunan yang mudah rusak, bangunan permanen tidak dianggap sebagai prioritas untuk salat umat Islam, karena ruang terbuka yang bersih dapat mengakomodasi salat bersama.

Sebagian besar masjid Islam awal masih dapat ditemukan di Jawa, dan gaya arsitekturnya mengikuti tradisi bangunan yang ada di Jawa. Ciri khas arsitektur Islam Jawa meliputi atap bertingkat, gapura seremonial, empat tiang pusat yang menopang atap piramida yang menjulang tinggi, dan berbagai elemen dekoratif seperti finial tanah liat yang rumit untuk puncak atap. Atap bertingkat ini berasal dari atap meru bertingkat yang ditemukan di pura-pura di Bali. Beberapa arsitektur Islam Jawa awal menyerupai candi atau gerbang era Majapahit.

Masjid tertua di Indonesia yang masih ada berukuran cukup besar dan dalam banyak kasus berhubungan erat dengan istana. Masjid tertua yang masih ada di Indonesia adalah Masjid Agung Demak yang merupakan masjid kerajaan Kesultanan Demak, meskipun ini bukan bangunan Islam tertua. Bangunan Islam tertua di Indonesia adalah bagian dari istana kerajaan di Kesultanan Cirebon, Cirebon. Kompleks istana ini memiliki kronogram yang dapat dibaca sebagai penanggalan Saka tahun 1454 Masehi. Istana-istana Islam awal mempertahankan banyak fitur arsitektur pra-Islam yang terlihat pada gerbang atau menara bedug. Keraton Kasepuhan mungkin dimulai pada akhir periode pra-Islam dan terus berkembang selama periode transisi Hindu ke Islam. Kompleks ini berisi petunjuk tentang tahapan proses perubahan bertahap saat Islam mulai masuk ke dalam arsitektur Indonesia. Dua dari fitur-fitur Hindu yang diadopsi ke dalam Islam di Istana adalah dua jenis gerbang - portal terbelah (candi bentar) yang menyediakan akses ke paviliun penonton umum dan gerbang ambang pintu (paduraksa) yang mengarah ke halaman depan.

Menara pada awalnya tidak menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masjid di Indonesia. Menara Masjid Menara Kudus dibangun dengan gaya candi bata Hindu Jawa, Menara ini tidak digunakan sebagai menara, tetapi sebagai tempat untuk bedug, bedug besar yang ditabuh sebagai panggilan untuk sholat di Indonesia. Menara ini mirip dengan menara bedug di pura-pura Hindu Bali yang disebut kul-kul. Hal ini menunjukkan adanya kelanjutan dari periode Hindu-Buddha ke era Islam di Indonesia.

Secara tradisional, pendirian masjid di Indonesia dimulai dengan pembukaan atau pembelian tanah untuk masjid. Selanjutnya adalah pembangunan masjid pertama, yang seringkali menggunakan bahan tradisional seperti bambu dan atap jerami. Masjid ini pada akhirnya akan dibuat menjadi masjid permanen dan kemudian secara bertahap diperluas untuk mengakomodasi populasi yang terus bertambah.

Periode kolonial

Kubah dan lengkungan runcing, fitur yang terkenal di Asia tengah, selatan dan barat daya tidak muncul di Indonesia sampai abad ke-19 ketika diperkenalkan oleh pengaruh Belanda atas penguasa lokal. Para cendekiawan Indonesia menjadi akrab dengan pengaruh Timur Dekat ketika mereka mulai mengunjungi pusat-pusat Islam di Mesir dan India.

Kubah di Indonesia mengikuti bentuk kubah berbentuk bawang dari India dan Persia. Kubah-kubah ini pertama kali muncul di Sumatra. Masjid Agung Kesultanan Riau di Pulau Penyengat adalah masjid tertua yang masih ada di Indonesia yang memiliki kubah. Ada indikasi bahwa Masjid Rao Rao di Sumatera Barat menggunakan kubah pada desain awalnya. Penggunaan kubah di masjid-masjid di Jawa lebih lambat dibandingkan dengan di Sumatera. Masjid berkubah tertua di Jawa kemungkinan adalah Masjid Jami Tuban (1928), diikuti oleh Masjid Agung Kediri dan Masjid Al Makmur Tanah Abang di Jakarta.

Pasca kemerdekaan

Setelah berdirinya Republik Indonesia, banyak masjid tua yang dibangun dengan gaya tradisional direnovasi dan kubah-kubah kecil ditambahkan pada atap berpinggul persegi. Mungkin masjid ini dibangun dengan meniru modifikasi serupa yang dilakukan pada masjid utama di ibu kota daerah terdekat.

Sejak tahun 1970-an, kesesuaian bangunan tradisional telah diakui secara politis, dan beberapa bentuk berpinggul berlapis telah dipulihkan. Presiden Suharto berkontribusi pada tren ini selama tahun 1980-an dengan menginisiasi Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila yang memberikan subsidi untuk pembangunan masjid-masjid kecil di masyarakat yang kurang mampu. Desain standar masjid-masjid ini mencakup tiga atap berpinggul di atas aula salat berbentuk persegi, yang mengingatkan kita pada Masjid Agung Demak.

Saat ini, arsitektur masjid di Indonesia terpisah dari tradisi bertingkat dari masjid-masjid tradisional Jawa. Sebagian besar masjid di Indonesia saat ini mengikuti pengaruh Timur Dekat, seperti arsitektur gaya Persia, Arab, atau Ottoman.

Berdasarkan wilayah

  • Jawa

Masjid Agung Demak, salah satu masjid tertua yang masih ada di Indonesia, menunjukkan arsitektur khas Jawa untuk masjid dengan atap bertingkat, sebuah gaya yang akan ditiru di seluruh nusantara. Masjid-masjid paling awal di Jawa dibangun pada pertengahan abad ke-15 dan seterusnya, meskipun ada referensi yang lebih awal tentang masjid-masjid di ibukota Majapahit pada abad ke-14.

Sebagian besar masjid tertua di Jawa biasanya memiliki atap bertingkat. Sebuah serambi beratap yang menempel di bagian depan masjid. Jumlah minimum tingkat adalah dua dan maksimum lima. Bagian atas atap dihiasi dengan hiasan dari tanah liat yang disebut mustoko atau memolo. Kadang-kadang tingkatan atap mewakili pembagian menjadi beberapa lantai yang masing-masing digunakan untuk fungsi yang berbeda: lantai bawah untuk salat, lantai tengah untuk belajar, dan lantai atas untuk azan. Menara tidak diperkenalkan ke Jawa hingga abad ke-19 sehingga di masjid satu lantai, azan dikumandangkan dari serambi. Tingkat atap tertinggi ditopang oleh empat pilar utama, yang disebut soko guru. Di beberapa masjid tertua, salah satu pilarnya terbuat dari serpihan kayu yang disatukan dengan pita logam.

Di dalam masjid terdapat mihrab di dinding kiblat dan minbar kayu. Ceruk mihrab terbuat dari batu bata dan sangat dihiasi dengan ukiran kayu yang berasal dari seni pra-Islam di daerah tersebut. Dinding penutupnya cukup rendah dan dihiasi dengan mangkuk dan piring yang disisipkan dari Cina, Vietnam, dan tempat lain. Di tengah-tengah sisi timur, terdapat sebuah gerbang monumental. Beberapa masjid, seperti masjid di Yogyakarta, dikelilingi oleh parit.

  • Sumatra

Di Aceh, masjid kerajaan merupakan pusat perlawanan bersenjata terhadap Belanda pada tahun 1870-an dan oleh karena itu dihancurkan dalam pertempuran. Gambar-gambar awal menunjukkannya sebagai bangunan dengan atap berpinggul lebar yang mirip dengan masjid yang masih berdiri di benteng Sultan Iskandar Muda dari abad ke-17.

Di Sumatera Barat, masjid, yang dikenal sebagai surau, mengikuti gaya lokal dengan atap bertingkat tiga atau lima yang mirip dengan masjid Jawa, tetapi dengan profil atap 'bertanduk' khas Minangkabau. Atapnya ditopang oleh tiang-tiang konsentris, sering kali berfokus pada penyangga utama yang menjulang tinggi hingga mencapai puncak bangunan. Beberapa masjid dibangun di atas pulau-pulau di kolam buatan. Ukiran kayu tradisional Minangkabau dapat diterapkan pada fasad.

Banyak masjid di Pekanbaru dan Riau mengadopsi atap bertingkat tiga atau lima yang mirip dengan Sumatera Barat, namun dengan kurangnya profil atap 'bertanduk' yang menonjol. Hal ini memberikan tampilan masjid bergaya Jawa namun dengan profil yang lebih tinggi.

  • Kalimantan

Kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan adalah kerajaan Hindu pertama di Kalimantan yang memeluk agama Islam setelah mendapat pengaruh dari Kesultanan Demak di Jawa. Gaya arsitektur masjid Banjar memiliki kemiripan dengan masjid-masjid kesultanan Demak, terutama Masjid Agung Demak. Dalam perjalanan sejarahnya, Banjar mengembangkan gaya arsitekturnya sendiri. Salah satu ciri khas utama masjid Banjar adalah atapnya yang bersusun tiga atau lima dengan atap bagian atas yang lebih curam, dibandingkan dengan atap masjid Jawa yang bersudut relatif rendah. Ciri khas lainnya adalah tidak adanya serambi di masjid-masjid Banjar, yang merupakan ciri khas masjid Jawa. Gaya masjid Banjar mirip dengan masjid-masjid di Sumatra Barat dan mungkin terkait dengan contoh-contoh lain dari semenanjung Malaysia.

Ciri-ciri lainnya adalah penggunaan tiang-tiang pada beberapa masjid, atap terpisah pada mihrab, puncak atap dihiasi dengan finial yang disebut pataka (mustoko/memolo Kesultanan Demak) yang terbuat dari kayu ulin Kalimantan, ornamen pada sudut atap yang disebut jamang, dan pagar di sekeliling area masjid yang disebut kandang rasi. Perbedaan lainnya dengan masjid-masjid di Jawa adalah masjid-masjid di Banjar tidak memiliki serambi, yang merupakan ciri khas masjid-masjid di Jawa.

  • Maluku dan Papua

Islam masuk ke Maluku pada akhir abad ke-15 melalui Jawa, dengan dampak terkuat dirasakan di pulau-pulau rempah-rempah Ternate dan Tidore. Fitur-fitur di masjid tertua di pulau-pulau tersebut, seperti Masjid Sultan Ternate, meniru fitur-fitur di masjid-masjid tertua di Jawa. Namun, masjid-masjid di Maluku tidak memiliki serambi, teras, halaman, dan gerbang, tetapi tetap mempertahankan atap bertingkat dan denah terpusat seperti masjid-masjid di Jawa. Wilayah Papua hanya memiliki sedikit masjid yang signifikan, karena sebagian besar penduduknya beragama Kristen.

Disadur dari: https://en.wikipedia.org/

Selengkapnya
Arsitektur Masjid di Indonesia

Pertanian

Profil Teknologi Hasil Pertanian

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Februari 2025


Sarjana Teknologi Hasil Pertanian membangun karir masa depannya dengan bekerja pada industri pangan dan pertanian khususnya, sebagai profesional di bidang keamanan pangan, kontrol kualitas, sistem jaminan halal, penelitian dan pengembangan, pengolahan makanan dan minuman, dan manajemen rantai pasokan makanan. Program Sarjana Teknologi Hasil Pertanian berlangsung selama 4 tahun dengan beban kredit sebesar 147 SKS. Mahasiswa diberi peluang untuk memilih salah satu dari dua bidang minat sejak semester 3 yaitu Bidang Minat Teknologi Pangan dan Bidang Minat Teknologi Industri Pertanian. Lulusan sarjana teknologi hasil pertanian berhak mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian atau disingkat S.TP. di belakang namanya. 

Bidang profesi teknologi hasil pertanian sangat penting dan tetap dibutuhkan pada masa kini dan masa depan. Selagi manusia masih membutuhkan makanan dalam hidupnya, industri makanan dan minuman berkembang sangat signifikan setiap tahunnya dan termasuk penyumbang pendapatan domestrik bruto Indonesia. Profesi teknologi hasil pertanian sangat dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan industri makanan dan minuman dalam memberikan asupan pangan yang baik, bergizi dan halal bagi hampir 275 juta penduduk Indonesia dan hampir 8 milyar penduduk dunia.  

Sumber: https://thp.usk.ac.id/

Jurusan Studi Teknologi Hasil Pertanian (THP) Universitas Syiah Kuala didirikan pada tahun 1987. Saat ini THP memiliki 2 program studi yaitu Program Sarjana Teknologi Hasil Pertanian dan Program Magister Teknologi Industri Pertanian. THP memiliki 34 dosen dengan 4 profesor, 17 doktor, 8 kandidat doktor dan 5 magister. Fasilitas yang dimiliki terdiri atas 5 laboratorium untuk melayani kebutuhan praktikum mahasiswa dan melayani masyarakat dalam melakukan analisis laboratorium. Setiap tahun terdaftar sekitar 75 mahasiswa baru. 

Program Studi Teknologi Hasil Pertanian terakreditasi A oleh BAN-PT dan berada pada ranking 1 terbaik nasional diantara 61 program studi ilmu dan teknologi pangan dan hasil pertanian se-Indonesia berdasarkan ranking Sinta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi. Pada tahun 2023, THP sedang mempersiapkan akreditasi internasional dari The European Quality Assurance Register for Higher Education (EQAR) melalui agensi Akkreditierungsagentur für Studiengänge der Ingenieurwissenschaften, der Informatik, der Naturwissenschaften und der Mathematik (ASIIN e.V.). 

Dosen dan lulusan Program Studi Teknologi Hasil Pertanian dapat membangun networknya di dalam asosiasi tingkat nasional dan internasional seperti Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Persatuan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI), Asosiasi Profesi Teknologi Agroindustri (APTA), International Food Technologist (IFT), dan The International Union of Food Science and Technology (IUFoST).

Sumber: https://thp.usk.ac.id/

 

Selengkapnya
Profil Teknologi Hasil Pertanian

Riset dan Inovasi

BRIN Bahas Smart Defense untuk Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Februari 2025


Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, sebagai proyek pembangunan ibu kota baru Indonesia memiliki implikasi besar terhadap keamanan nasional. IKN yang dirancang sebagai kota cerdas (smart city) perlu dipikirkan ulang Smart Defense yang cocok dan dapat diaplikasikan di Indonesia dan juga dapat diterima oleh TNI. Koordinator Pelaksana Fungsi Kebijakan Bidang Pertahanan dan Keamanan, Gerald Theodorus L.Toruan mengungkapkan bahwa Smart Defense yang sementara ini ada dalam Perpres belum secara jelas mengatur dan belum memiliki indikator atau kriteria untuk dapat digunakan di Indonesia.

“Sistem Pertahanan Negara di IKN harus menyesuaikan dengan ancaman militer yang ada di kawasan Indo Pasifik. Kajian Smart Defense Indonesia akan menyempurnakan Kebijakan Smart Defense yang sudah ada saat ini,” kata Gerald.

Sementara itu, Dosen Departemen Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia, Broto Wardoyo dalam Focuss Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) bertema "Smart Defense Indonesia : Penguatan Sistem Pertahanan Ibu Kota Nusantara mengungkapkan bahwa ancaman pertahanan yang paling dekat dari letak IKN adalah adanya pangkalan militer negara asing yang berada di kawasan Indo Pasifik yaitu pangkalan militer milik Amerika Serikat.

Ia mengatakan mundurnya Amerika Serikat dari Intermediate-Range Nuclear Forces Treaty (INF Treaty) pada tahun 2019 membuat potensinya untuk meletakan intermediate-range nuclear forces desainnya di kawasan Guam semakin besar.

“Ini beberapa yang perlu untuk kita pertimbangkan kalau nanti kita berbicara dalam konteks kemungkinan konflik terbuka dengan senjata nuklir,” kata Broto pada Kamis (07/03), di Gedung BJ Habibie, Jakarta. 

Menurutnya di kawasan Asia Pasifik ada 4 titik konflik aktif dengan intensitas dan potensi peningkatan intensitas yang berbeda - beda, diantaranya berada di Semenanjung Korea, Selat Taiwan, Laut Tiongkok Selatan, dan krisis Myanmar.

“Tiga diantara empat titik konflik tersebut berstatus critical bagi amerika serikat, jika konflik mencapai klimaks dimungkinkan adanya deployment pasukan dan alokasi resources dalam jumlah besar,” jelasnya.

Lebih lanjut Broto menguraikan bahwa untuk membentuk Smart Defense Indonesia perlu untuk membangun tiga kekuatan, yaitu internal balancing, external balancing serta kebijakan dan aksi yang terkoordinasi.

“Problem mendasar yang dialami oleh Indonesia, saya melihat ada pada koordinasi kebijakan dan aksinya, ini terkait dengan ego sektoral juga urusan otoritas dan kewenangan. Harapannya ketika kita nanti memiliki presiden baru yang memahami pertahanan, hubungan internasional, geopolitik tapi juga terlatih untuk mengurusi politik domestik maka urusan otoritas dan kewenangan itu nantinya bisa tertata dengan baik,” tutupnya. 

Sumber: https://brin.go.id/

Selengkapnya
BRIN Bahas Smart Defense untuk Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara

Riset dan Inovasi

BRIN Dorong Periset Daerah Manfaatkan Skema Pendanaan Penelitian Kompetitif

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Februari 2025


Daerah Papua khususnya Provinsi Papua Barat Daya memiliki sumber daya hayati dan budaya yang luar biasa, sehingga menjadi daya tarik bagi peneliti untuk melakukan kegiatan penelitian dan kajian. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mendorong periset daerah untuk bisa memanfaatkan skema pendanaan penelitian kompetitif yang ada di BRIN, dengan proposal penelitian berbasis Papua.

Pernyataan tersebut disampaikan Yopi Deputi Bidang Riset dan Inovasi Daerah (RID) BRIN saat melakukan kunjungan kerja untuk berdiskusi dengan PJ Gubernur dan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bapperida) Provinsi Papua Barat Daya di Sorong Provinsi Papua Barat Daya, Kamis (07/03).

Pada  pertemuan tersebut, Yopi memberikan dukungan dan apresiasi kepada Pj. Gubernur Papua Barat Daya atas dibentuknya Bapperida di Provinsi Papua Barat Daya.  Dirinya berharap agar gubernur dapat mendorong kabupaten/kota untuk segera membentuk BRIDA. Sementara ini baru kabupaten Sorong Selatan yang telah mengajukan permohonan pembentukan.

“BRIN siap memberikan dukungan dan pendampingan kepada Pemerintah Provinsi Papua Barat Daya melalui Bapperida. Silakan memasukkan sebanyak mungkin muatan iptek di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), jangka menengah, maupun jangka pendek. Apalagi saat ini daerah sedang mempersiapkan dokumen perencanaan pembangunan tersebut,” jelasnya.

Dia menegaskan, BRIN juga siap mendampingi pemerintah dalam mengeluarkan suatu kebijakan melalui dukungan kajian atau riset berbasis bukti bersinergi dengan Bapperida. Dirinya menjelaskan, Bapperida tidak perlu menjadi satu pusat riset sendiri tetapi diharapkan lebih berperan sebagai manajemen riset yang dilakukan di daerah.

“Bapperida dapat mengoptimalkan jaringan periset atau perguruan tinggi yang ada di daerah, untuk melaksanakan penelitian atau kajian yang dibutuhkan oleh pemerintah daerah,” tambahnya.

Muhammad Musa'ad Pj. Gubernur Papua Barat Daya dalam balasannya menyampaikan terima kasih dan menyambut baik dukungan yang diberikan BRIN untuk membangun Provinsi Papua Barat Daya melalui riset dan inovasi.

“Rekomendasi kebijakan sebagai hasil dari kajian berbasis bukti sangat dibutuhkan pemerintah daerah dalam membuat keputusan. Hasil penelitian atau kajian selayaknya tidak selesai dan disimpan di dalam meja saja, tetapi dapat secara nyata berkontribusi bagi pembangunan daerah,”tandasnya.

Secara khusus Musa'ad meminta BRIN untuk melakukan kajian yang mendalam terkait pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Sorong. “Status KEK Sorong terancam dicabut oleh pemerintah yang dianggap lambat untuk masuknya investasi dari luar. Hal ini terjadi karena berbagai kendala di lapangan, sedangkan investasi yang dikeluarkan sudah banyak untuk membangun infrastruktur,” jelasnya.

Pada akhir pertemuan, Yopi mengundang Pj. Gubernur untuk berkunjung ke BRIN, berdiskusi lebih mendalam dengan pimpinan dan para periset BRIN, serta menjadi narasumber di BRINTV.

“Tentunya  untuk mendapatkan solusi yang tepat dalam menjawab permasalahan daerah Papua Barat Daya. Diharapkan juga agar dapat berbagi ide, menjelaskan visi dalam mengembangkan riset dan inovasi di daerah,” pungkas Yopi. 

Sumber: https://brin.go.id/

 

Selengkapnya
BRIN Dorong Periset Daerah Manfaatkan Skema Pendanaan Penelitian Kompetitif

Pertanian

Mengenal Apa itu Ubi Kayu

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Februari 2025


Ubi kayu, atau disebut juga singkongkaspeketela pohonubi sampa atau ubi prancis (Manihot esculenta, sinonim: Manihot utilissima), adalah perdu tropis dan subtropis tahunan dari suku Euphorbiaceae. Umbinya dikenal luas sebagai makanan pokok penghasil karbohidrat dan daunnya sebagai sayuran.

Deskripsi

Perdu bisa mencapai hingga 7 meter dengan cabang agak jarang. Singkong memiliki akar tunggang dengan sejumlah akar cabang yang kemudian membesar menjadi umbi akar yang dapat dimakan. Ukuran umbi rata-rata bergaris tengah 2–3 cm dan panjang 50–80 cm, tergantung dari klon/kultivar. Bagian dalam umbinya berwarna putih atau kekuning-kuningan. Umbi singkong tidak tahan simpan meskipun ditempatkan di lemari pendingin. Gejala kerusakan ditandai dengan keluarnya warna biru gelap akibat terbentuknya asam sianida yang bersifat racun bagi manusia.

Umbi dari ubi kayu merupakan sumber energi yang kaya karbohidrat, tetapi sangat miskin protein. Sumber protein yang bagus justru terdapat pada daun singkong karena mengandung asam amino metionina.

Sejarah dan pengaruh ekonomi

  • Sejarah budidaya dan penyebarannya

Manihot esculenta pertama kali dikenal di Amerika Selatan kemudian dikembangkan pada masa prasejarah di Brasil dan Paraguay, sejak kurang lebih 10 ribu tahun yang lalu. Bentuk-bentuk modern dari spesies yang telah dibudidayakan dapat ditemukan bertumbuh liar di Brasil selatan. Meskipun ada banyak spesies Manihot yang liar, semua kultivar M. esculenta dapat dibudidayakan. Walaupun demikian, bukti-bukti arkeologis budidaya singkong justru banyak ditemukan di kebudayaan Indian Maya, tepatnya di Meksiko dan El Salvador.

Produksi singkong dunia, diperkirakan mencapai 192 juta ton pada tahun 2004. Nigeria menempati urutan pertama dengan 52,4 juta ton, disusul Brasil dengan 25,4 juta ton. Indonesia menempati posisi ketiga dengan 24,1 juta ton, diikuti Thailand dengan 21,9 juta ton (FAO, 2004) Sebagian besar produksi dihasilkan di Afrika 99,1 juta ton dan 33,2 juta ton di Amerika Latin dan Kepulauan Karibia.

  • Di Hindia Belanda

Singkong ditanam secara komersial di wilayah Indonesia (waktu itu Hindia Belanda) pada sekitar tahun 1810, setelah sebelumnya diperkenalkan orang Portugis pada abad ke-16 dari Brasil. Menurut Haryono Rinardi dalam Politik Singkong Zaman Kolonial, singkong masuk ke Indonesia dibawa oleh Portugis ke Maluku sekitar abad ke-16. Tanaman ini dapat dipanen sesuai kebutuhan. “Sifat itulah yang menyebabkan tanaman ubi kayu sering kali disebut sebagai gudang persediaan di bawah tanah,” tulis Haryono.

Butuh waktu lama singkong menyebar ke daerah lain, terutama ke Pulau Jawa. Diperkirakan singkong kali pertama diperkenalkan di suatu kabupaten di Jawa Timur pada 1852. “Bupatinya sebagai seorang pegawai negeri harus memberikan contoh dan bertindak sebagai pelopor. Kalau tidak, rakyat tidak akan memercayainya sama sekali,” tulis Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen dalam Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia.

Namun hingga 1876, sebagaimana dicatat H.J. van Swieten, kontrolir di Trenggalek, dalam buku De Zoete Cassave (Jatropha janipha) yang terbit 1875, singkong kurang dikenal atau tidak ada sama sekali di beberapa bagian Pulau Jawa, tetapi ditanam besar-besaran di bagian lain. “Bagaimanapun juga, singkong saat ini mempunyai arti yang lebih besar dalam susunan makanan penduduk dibandingkan dengan setengah abad yang lalu,” tulisnya, sebagaimana dikutip Creutzberg dan van Laanen. Sampai sekitar tahun 1875, konsumsi singkong di Jawa masih rendah. Baru pada permulaan abad ke-20, konsumsinya meningkat pesat. Pembudidayaannya juga meluas. Terlebih rakyat diminta memperluas tanaman singkong mereka.

Peningkatan penanaman singkong sejalan dengan pertumbuhan penduduk Pulau Jawa yang pesat. Ditambah lagi produksi padi tertinggal di belakang pertumbuhan penduduk. “Singkong khususnya menjadi sumber pangan tambahan yang disukai,” tulis Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia V. Hingga saat ini, singkong telah menjadi salah satu bahan pangan yang utama, tidak saja di Indonesia tetapi juga di dunia. Di Indonesia, singkong merupakan makanan pokok ketiga setelah padi-padian dan jagung.

Hindia Belanda pernah menjadi salah satu pengekspor dan penghasil tepung tapioka terbesar di dunia. Di Jawa banyak sekali didirikan pabrik-pabrik pengolahan singkong untuk dijadikan tepung tapioka. Seperti dalam buku Handbook of the Netherlands East Indies, pada tahun 1928 tercatat 21,9% produksi tapioka diekspor ke Amerika Serikat, 16,7% ke Inggris, 8,4% ke Jepang, lalu 7% dikirim ke Belanda, Jerman, Belgia, Denmark dan Norwegia. Biasanya tepung olahan singkong tersebut dimanfaatkan sebagai bahan baku lem dan permen karet, industri tekstil dan furniture.

Sampai dan Singkong adalah nama lokal di kawasan Jawa Barat untuk tanaman ini. Nama "ubi kayu" dan "ketela pohon" dipakai dalam bahasa Melayu secara luas. Nama "ketela" secara etimologi berasal dari kata dalam bahasa Portugis "castilla" (dibaca "kastiya"), karena tanaman ini dibawa oleh orang Portugis dan Castilla (Spanyol).

Pengolahan

Umbi singkong dapat dimakan mentah. Kandungan utamanya adalah pati dengan sedikit glukosa sehingga rasanya sedikit manis. Pada keadaan tertentu, terutama bila teroksidasi, akan terbentuk glukosida racun yang selanjutnya membentuk asam sianida (HCN). Sianida ini akan memberikan rasa pahit. Umbi yang rasanya manis menghasilkan paling sedikit 20 mg HCN per kilogram umbi segar, dan 50 kali lebih banyak pada umbi yang rasanya pahit. Proses pemasakan dapat secara efektif menurunkan kadar racun.

Dari pati umbi ini dibuat tepung tapioka (kanji).

Penggunaan

Dimasak dengan berbagai cara, singkong banyak digunakan pada berbagai macam masakan. Direbus untuk menggantikan kentang, dan pelengkap masakan. Tepung singkong dapat digunakan untuk mengganti tepung gandum, cocok untuk pengidap alergi gluten.

Kadar gizi

Kandungan gizi singkong per 100 gram meliputi:

  • Kalori 121 kal
  • Air 62,50 gram
  • Fosfor 40,00 gram
  • Karbohidrat 34,00 gram
  • Kalsium 33,00 miligram
  • Vitamin C 30,00 miligram
  • Protein 1,20 gram
  • Besi 0,70 miligram
  • Lemak 0,30 gram
  • Vitamin B1 0,01 miligram

Sedangkan daun singkong yang banyak dijadikan sayuran pada masakan Sunda dan masakan Padang memiliki nutrisi sebagia berikut:

Nutrisi: Protein, Kalsium, Fosfor, Besi, Vitamin A, Vitamin C

Satuan: gram, mg, mg, mg, IU, mg

Kadar: 6.8, 165, 54, 2.0, 11000, 275

Varietas tanaman singkong

Tanaman singkong disebut manis atau beracun, tergantung kandungan asam hydrocyanic dalam akarnya, yang umum diakui mengandung kurang dari 50 miligram asam hydrocyanic per kilogram bahan segar. Saat ini tersedia 10 varietas ubi kayu di pasaran. Kesepuluh varietas tersebut dikelompokkan menjadi dua, yakni kelompok varietas ubi kayu untuk pangan dan untuk industri.

Varietas untuk pangan adalah

  • N1 Mekarmanik
  • Adira 1
  • Malang 1
  • Malang 2
  • Darul Hidayah.

Sedangkan untuk ubi industri adalah

  • N1 Mekarmanik
  • Adira 2
  • Adira 4
  • Malang 4
  • Malang 6
  • UJ 5
  • UJ 3.

Varietas untuk pangan mempunyai tekstur umbi yang pulen dengan kadar HCN < 50 miligram per kilogram dan mempunyai rasa tidak pahit. Sedangkan ubi jalar untuk industri mempunyai kadar patin atau kadar bahan kering sekitar 0,6 gram per kilogram

Beberapa varietas unggul singkong yang telah dilepas oleh Kementrian Pertanian antara lain Adira 1, Adira 2, Adira 4, Malang 1, Malang 2, Darul Hidayah, Malang 4 maupun Malang 6.

Etimologi

Nama "ubi kayu" dan "ketela pohon" dipakai dalam bahasa Melayu secara luas. Nama "ketela" secara etimologi berasal dari kata "castilla" (dibaca "kastilya"), karena tanaman ini dibawa oleh orang Portugis dan Castilla (Spanyol).

Dalam bahasa lokal, bahasa Jawa menyebutnya Telo, bahasa Sangihe bungkahe, bahasa Tolitoli dan Gorontalo kasubi, dan bahasa Sunda sampeu. Sementara dalam bahasa Rejang, tanaman ini dikenal sebagai ubai.

Disadur dari: https://en.wikipedia.org/

Selengkapnya
Mengenal Apa itu Ubi Kayu

Pertanian

Peternak Rakyat Terjepit dalam Sistem Industri Peternakan Ayam

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Februari 2025


Peternakan ayam pedaging merupakan salah satu industri terpenting di Indonesia. Riset BRIN menunjukkan bahwa peternakan ayam menghasilkan produksi protein hewani yang dominan, mencapai 71,35% dari produksi daging nasional. Dari sisi sumber daya yang terlibat, jumlah SDM yang menjadi tenaga kerja  dalam industri peternakan ini cukup banyak.  Berdasarkan publikasi BPS tahun 2022 Tenaga kerja di Subsektor ini tahun 2021 sebanyak 4.9 juta jiwa, mayoritas hanya memiliki pendidikan dasar.

Berdasarkan data itu industri peternakan ini memiliki kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian masyarakat. Namun pada kenyataannya, kelompok ini masuk dalam kelompok marginal. Terdapat banyak masalah yang dijumpai di lapangan. Ada persoalan mendasar dalam sistem industri yang berlaku. Hal itu kelihatan melalui berbagai bentuk ungkapan aspirasi yang dilakukan para petani peternak, menyuarakan masalah yang mereka hadapi.

Dalam beberapa tahun terakhir, peternak ayam mandiri berulang kali menggelar demonstrasi di Indonesia. Petani mengeluhkan masalah yang mereka hadapi. Mereka mencurigai adanya kecurangan dalam peternakan ayam, ayam pedaging, dan ayam petelur. Hal ini tercermin dari selisih harga antara harga yang berlaku di tingkat konsumen dengan harga unggas hidup di tingkat peternak. Sugeng Wahyudi, Sekjen Gabungan Peternak Unggas Nasional (GOPAN), mengumumkan harga pasaran ayam potong mendekati Rp. 40.000 per kilogram. Padahal harga ayam hidup bervariasi hanya sekitar Rp. 21.000/kg.

Sistem industri yang timpang

Pembahasan tentang persoalan ini dapat dilihat dari analisis sistem industrinya. Sistem industri adalah suatu sistem yang dibangun dari beberapa unsur yang saling berhubungan dan terorganisir yang bertujuan untuk menciptakan, memproduksi, dan mendistribusikan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sistem ini mencakup berbagai aspek seperti teknologi, manajemen dan sumber daya manusia.

Dalam konteks industri peternakan ayam, elemen-elemen pembentuk sistemnya berkaitan dengan proses bisnis utama budidaya peternakan ayam yaitu mulai dari produksi bibit, pemberian pakan, pemeliharaan, pengolahan dan pemasaran produk ayam. masing-masing elemen sistem tersebut memiliki saling ketergantungan yang tinggi untuk berjalannya sistem industri secara efektif. Secara ringkas akan digambarkan dalam bagian berikut.

  1. Produksi benih. Anak ayam diproduksi untuk pembibitan ayam pedaging atau petelur berkualitas tinggi. Kualitas genetik bibit ayam yang dihasilkan harus baik agar dapat tumbuh dengan cepat dan sehat. Peternakan ayam dapat dilakukan secara tradisional atau modern dengan menggunakan teknik pembibitan seperti inseminasi buatan. pemeliharaan.
  2. Produksi makanan. Pakan ayam harus memiliki kandungan nutrisi yang tepat untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ayam. Produksi pakan dapat dilakukan secara mandiri dengan membuat pakan sendiri atau membeli pakan dari produsen pakan.
  3. Pemeliharaan ternak: Saat ayam mencapai umur panen, maka dikumpulkan dan diolah menjadi produk olahan ayam seperti daging ayam, telur dan hasil olahan lainnya. Teknologi modern dan higienis digunakan dalam pengolahan daging ayam sehingga produk yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi.
  4. Pemeliharaan kesehatan. Aktivitas utama ini meliput upaya untuk menjaga kesehatan ayam melalui vaksinasi serta pemberian obat untuk pencegahan atau mengatasi penyakit.
  5. Pemasaran. Produk industri peternakan ayam tersebut kemudian dijual dalam berbagai bentuk dan dikemas di pasaran. Produk ayam dipasarkan melalui berbagai saluran seperti  pasar tradisional, toko modern, restoran dan supermarket.

Setiap proses bisnis utama yang juga dikenal dengan panca usaha ini, dapat dijalankan oleh aktor atau pelaku sama atau berbeda. Hanya saya untuk dapat menjalankan keseluruhannya dibutuhkan skala ekonomi yang sesuai. Mayoritas peternak rakyat tidak memiliki kemampuan untuk menjalankan keseluruhannya. Hal itu disebab di antara proses tersebut membutuhkan investasi yang besar serta memerlukan teknologi tinggi dan mahal. Karena itu para peternak mandiri biasanya hanya fokus pada pengelolaan pemeliharaan di kandang.

Di lain pihak perusahaan pemilik modal yang memiliki akses dana kuat mampu menjalankan keseluruhan proses bisnis itu secara integratif. Mulai dari pembibitan, memproduksi pakan berkualitas, penguasaan distribusi obat, pemeliharaan di kandang hingga mengelola pemasaran. Dengan model integratif tersebut maka akan diperoleh efisiensi yang tinggi. Perusahaan memiliki kemampuan untuk mengontrol input hingga output. Mereka mampu mengontrol biaya produksi, sekaligus posisi tawar harga jual yang kuat.

Hidup mati peternak mandiri ditentukan pemain besar

Jika dilihat dari perspektif supply chain dan value chain, kita akan dapat melihat saling ketergantungan antara proses bisnis utama dan aktor pada setiap segment. Namun pihak yang menguasai lebih banyak proses bisnis akan menjadi penentu dalam industri ini, kemudian menjelma menjadi sistem industri yang monopolistik. Sistem industri peternakan ayam di Indonesia menunjukkan bahwa segelintir perusahaan besar memiliki penguasaan sangat dominan pada keseluruhan aktivitas utama. Sehingga perusahaan itu menjadi pengatur berjalannya sistem.

Persoalan utama yang ada saat ini adalah nyaris seluruh peternak rakyat atau peternak mandiri berada pada posisi yang sangat lemah. Mereka tidak memiliki posisi tawar terhadap supplier yang memasok komponen input seperti bibit, pakan dan obat, pada saat yang sama, juga tidak memiliki posisi tawar dari sisi penjualan, karena pasar dikuasai oleh pemain besar.

Dengan posisi peternak rakyat sedemikian di dalam sistem industri peternakan ayam, maka hidup mati mereka ditentukan oleh pemain besar. Pemain besar dapat menentukan harga bibit, harga pakan dan harga obat, sekaligus menentukan harga jual kepada konsumen. Sering menjadi keluhan peternak mandiri bahwa pada saat harga input naik, tidaklah serta merta diikuti dengan harga jual produksinya. Mereka menghadapi situasi sulit, bahkan sering kali harga penjualan lebih tinggi dari biaya pokok produksi yang telah dikeluarkan. 

Perlu intervensi pemerintah

Sistem industri peternakan ayam seperti yang telah dipaparkan ini adalah sistem yang timpang dan tidak adil. Terjadi kondisi monopoli atau oligopoli yang parah, sebagai akibat penguasaan mutlak yang ada pada tangan segelintir perusahaan atas proses bisnis utama. Jika terus dibiarkan, maka peternak rakyat atau peternak mandiri akan terusir dari sistem industri ini. Atau pada akhirnya bersedia hanya sekedar menjadi buruh atau pekerja bagi pengusaha besar, meski dikemas dengan istilah kemitraan, namun tidak sejajar.

Sikap keberpihakan pemerintah mendesak untuk diwujudkan. Bahkan di negara ekonomi liberal seperti Amerika Serikat pun sangat sensitif terhadap issue monopoli. Perusahaan raksasa, seperti Microsoft, Google, Facebook menuai begitu banyak gugatan. Dalam beberapa kasus perusahaan itu telah merasakan tajamnya pisau regulasi anti monopoli seperti Google yang didenda US$270 juta atau setara Rp3,86 triliun, akibat monopoli periklanan tahun 2021 lalu.

Pemerintah perlu segera membuat regulasi untuk mencegah berlanjutnya praktik monopoli dalam sistem industri ini. Perusahaan besar perlu dibatasi penguasaannya, agar peternak rakyat atau peternak mandiri memiliki posisi tawar, berbekal regulasi yang berpihak pada rakyat. Ada jutaan jiwa yang menggantungkan harapan masa depan dalam industri peternakan ini, sehingga mengaturnya agar berjalan sehat adalah bagian dari kewajiban pemerintah untuk mengatur permainan di industri ini agar berlangsung adil.

Sumber: https://unand.ac.id/

Selengkapnya
Peternak Rakyat Terjepit dalam Sistem Industri Peternakan Ayam
« First Previous page 781 of 1.121 Next Last »