Sumber Daya Alam

Comparative Analysis of Rights of Nature (RoN) Case Studies Worldwide

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Hak Alam dan Pergeseran Paradigma Hukum Lingkungan

Dalam beberapa dekade terakhir, krisis lingkungan global—mulai dari penurunan keanekaragaman hayati hingga degradasi ekosistem—memaksa masyarakat dunia mencari pendekatan baru dalam perlindungan alam. Salah satu inovasi paling radikal adalah pengakuan Rights of Nature (RoN), yaitu pemberian hak hukum kepada entitas alam seperti sungai, hutan, atau ekosistem. Paper karya Viktoria Kahui, Claire W. Armstrong, dan Margrethe Aanesen ini menawarkan analisis komparatif mendalam atas 14 studi kasus RoN di berbagai belahan dunia, menyoroti pola kemunculan, desain, serta tantangan implementasi yang dihadapi gerakan ini1.

Dari Antroposentris ke Ekosentris

Tradisi hukum lingkungan selama ini cenderung antroposentris—alam dilindungi demi kesejahteraan manusia. Namun, RoN menawarkan paradigma ekosentris, di mana alam diakui memiliki nilai intrinsik dan kepentingan hukum tersendiri. Gagasan ini berakar pada pemikiran Indigenous Peoples (misalnya Māori di Selandia Baru) dan diperkuat oleh pemikiran filsuf hukum seperti Christopher Stone yang pada 1972 mengusulkan agar “benda alam” dapat menjadi subjek hukum1.

Sejak Ekuador menjadi negara pertama yang memasukkan RoN dalam konstitusinya pada 2008, inisiatif serupa bermunculan di Bolivia, Amerika Serikat, Meksiko, Selandia Baru, Kolombia, Australia, Kanada, India, Bangladesh, dan Spanyol. Data terbaru menunjukkan hingga 2021 terdapat 409 inisiatif RoN di 39 negara, dengan 80% di antaranya berada di Amerika1.

Analisis Komparatif Deskriptif

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif komparatif untuk menelaah 14 kasus RoN yang dipilih berdasarkan literatur dan signifikansi global. Analisis difokuskan pada dua aspek utama:

  • Fitur Kemunculan: Siapa penggerak utama, aktivitas ekonomi yang menjadi ancaman, rentang waktu konflik, dan tujuan pengakuan RoN.
  • Fitur Desain: Skala geografis entitas yang diakui, kerangka hukum, status hukum, mekanisme perwalian (guardianship), serta aspek liability dan pembiayaan1.

Kasus-kasus ini kemudian dikategorikan dalam dua kelompok besar: public guardianship (hak diadvokasi semua warga) dan appointed guardianship (hak diwakili entitas atau individu tertentu, disebut juga Environmental Legal Personhood/ELP, dengan subkategori indirect, direct, dan living ELPs)12.

Temuan Utama: Pola Kemunculan dan Desain RoN

Pola Kemunculan: Perlawanan atas Kegagalan Tata Kelola Konvensional

Sebagian besar kasus RoN muncul sebagai respons terhadap kegagalan tata kelola lingkungan konvensional dalam menghadapi tekanan ekonomi—baik urbanisasi, pertanian, maupun industri. Di hampir semua kasus, peran komunitas lokal dan masyarakat adat sangat menonjol, baik sebagai penggerak utama maupun penjaga nilai-nilai ekosentris. Contoh nyata:

  • Ekuador (2008): RoN diadopsi sebagai reaksi atas dominasi korporasi pertambangan dan kebijakan neoliberal yang dianggap merusak alam. Prosesnya sangat partisipatif, melibatkan ribuan proposal masyarakat sipil. Dalam 8 tahun pertama, terdapat 13 gugatan hukum yang berhasil menggunakan RoN untuk melindungi alam1.
  • Bolivia (2010): Lahir dari konflik air dan gas serta gerakan sosial besar-besaran (Cochabamba Water War, Gas Conflict), RoN diakui dalam konstitusi dan diperkuat lewat “Law of the Rights of Mother Earth”. Tujuannya menyeimbangkan kepentingan manusia dan alam, menolak komersialisasi sistem kehidupan, dan mengakui keberagaman nilai budaya1.

Ragam Desain dan Tantangan Implementasi

Public Guardianship

  • Ekuador & Bolivia: Semua warga dapat mengadvokasi hak alam di pengadilan. Namun, efektivitas sangat bergantung pada pemahaman dan pelatihan hakim dalam menafsirkan undang-undang baru. Di Bolivia, hak alam diatur secara rinci, termasuk hak atas kehidupan, air, udara bersih, dan regenerasi1.
  • Amerika Serikat (Lake Erie Bill of Rights, 2020): Inisiatif warga Toledo untuk melindungi Danau Erie dari polusi pupuk pertanian. Namun, undang-undang ini dibatalkan pengadilan karena dianggap terlalu “vague” dan menimbulkan ketidakpastian liability bagi pelaku ekonomi1.

Appointed Guardianship/ELP

  • Australia (Victorian Environmental Water Holder/VEWH, 2011): Pemerintah mendirikan badan hukum khusus untuk mengelola hak air lingkungan. VEWH dapat membeli dan menjual hak air di pasar, didanai pemerintah, dan memiliki liability terbatas. Namun, muncul paradoks: VEWH dianggap “bersaing” dengan kebutuhan air manusia sehingga menimbulkan resistensi komunitas1.
  • Selandia Baru (Whanganui River & Te Urewera, 2014 & 2017): Sungai dan hutan diakui sebagai entitas hukum dengan guardian gabungan (perwakilan Māori dan pemerintah). Hak, kewajiban, dan liability diatur jelas, didukung advisory group, dan pendanaan dari negara. Model ini menjadi benchmark global karena detail dan keberhasilannya dalam mengakomodasi nilai adat dan sistem hukum modern1.
  • Kolombia (Atrato River, 2016): Pengakuan hak sungai sebagai respons atas kerusakan akibat tambang ilegal dan polusi. Guardian terdiri atas perwakilan pemerintah dan komunitas adat, didukung tim ahli dari lembaga riset dan universitas1.
  • Spanyol (Mar Menor, 2022): Inisiatif warga dan akademisi mengadvokasi hak laguna dari kerusakan akibat pertanian dan pertambangan. Hak-hak laguna diatur dalam undang-undang, dengan mekanisme perwalian kolektif (komite perwakilan pemerintah, warga, dan ilmuwan)1.

Living ELPs

  • India (Ganges & Yamuna, 2017): Pengadilan mengakui sungai sebagai “legal/living person” dengan hak setara manusia. Namun, keputusan ini dibatalkan Mahkamah Agung karena ketidakjelasan liability dan masalah yurisdiksi lintas negara bagian1.
  • Bangladesh (Turag River, 2019): Pengadilan mengakui seluruh sungai sebagai entitas hukum, dengan National River Conservation Commission sebagai guardian. Sejak keputusan ini, lebih dari 4.000 bangunan ilegal di bantaran sungai telah dibongkar dan 190 hektar lahan berhasil direklamasi1.

Analisis Kritis: Keunggulan, Tantangan, dan Perbandingan

Keunggulan RoN

  • Mengisi Kelemahan Tata Kelola Konvensional: RoN muncul sebagai solusi atas kegagalan regulasi dan insentif ekonomi yang terlalu antroposentris.
  • Mengakomodasi Nilai Adat dan Lokal: Banyak kasus RoN dipelopori atau diinspirasi oleh masyarakat adat, sehingga mampu mengintegrasikan nilai spiritual dan budaya ke dalam sistem hukum modern.
  • Memberi Suara pada Alam: Dengan mengakui entitas alam sebagai subjek hukum, RoN memaksa perubahan dalam pengambilan keputusan ekonomi dan politik yang lebih memperhatikan eksternalitas lingkungan12.

Tantangan dan Kritik

  • Ketidakjelasan Liability: Dua kasus besar (Lake Erie di AS dan sungai di India) dibatalkan karena ketidakjelasan siapa yang bertanggung jawab jika terjadi pelanggaran hak alam. Liability yang tidak jelas dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan resistensi pelaku ekonomi1.
  • Keterbatasan Implementasi: Di beberapa negara, RoN lebih bersifat deklaratif dan belum diikuti perubahan nyata dalam perlindungan ekosistem. Efektivitas sangat bergantung pada political will, kapasitas institusi, dan dukungan masyarakat1.
  • Paradoks Legal Personhood: Di Australia, VEWH justru melemahkan dukungan komunitas karena dianggap “kompetitor” dalam perebutan sumber daya air. Hal ini menunjukkan pentingnya desain kelembagaan yang sensitif terhadap konteks sosial-ekonomi1.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

Penelitian ini memperkuat temuan sebelumnya bahwa RoN seringkali lahir dari kegagalan tata kelola konvensional dan didorong oleh advokasi akar rumput serta komunitas adat. Namun, paper ini menambah dimensi baru dengan menyoroti pentingnya detail desain kelembagaan—khususnya soal liability dan mekanisme perwalian—sebagai kunci keberhasilan implementasi RoN12.

Relevansi dengan Tren Global dan Industri

RoN sangat relevan dengan tren global menuju earth system law dan environmental rule of law, serta upaya pencapaian target SDGs terkait keanekaragaman hayati dan tata kelola air. Di sektor industri, RoN menuntut perusahaan untuk mempertimbangkan eksternalitas lingkungan secara lebih serius, bahkan membuka kemungkinan gugatan hukum atas nama entitas alam. Di Indonesia, wacana RoN mulai berkembang, misalnya dalam advokasi perlindungan Sungai Citarum dan Danau Toba, meski belum diakui secara hukum formal.

Studi Kasus Inspiratif: Whanganui River, Selandia Baru

Salah satu model paling sukses adalah pengakuan Whanganui River sebagai entitas hukum di Selandia Baru. Setelah lebih dari 150 tahun konflik antara Māori dan pemerintah kolonial, pada 2017 sungai ini diakui sebagai “legal person” dengan guardian gabungan (perwakilan Māori dan pemerintah). Hak dan kewajiban diatur jelas, didukung advisory group, dan pendanaan dari negara. Model ini menjadi rujukan global karena mampu mengakomodasi nilai adat, memperkuat perlindungan ekosistem, dan meminimalisir konflik liability1.

Implikasi Kebijakan: Rekomendasi untuk Masa Depan

Berdasarkan temuan paper, berikut beberapa rekomendasi untuk pengembangan RoN yang efektif:

  • Perjelas Mekanisme Liability: Setiap RoN harus memiliki aturan jelas tentang siapa yang bertanggung jawab jika terjadi pelanggaran hak alam, baik guardian maupun pelaku ekonomi.
  • Perkuat Peran Komunitas Lokal dan Adat: Partisipasi masyarakat adat dan lokal harus menjadi inti desain kelembagaan RoN, bukan sekadar simbolis.
  • Integrasikan RoN dengan Tata Kelola Konvensional: RoN tidak harus menggantikan sistem lama, tapi dapat menjadi pelengkap yang memperkuat perlindungan lingkungan.
  • Sediakan Pendanaan dan Kapasitas Institusi: Guardian harus didukung dana memadai dan akses ke keahlian ilmiah serta hukum.
  • Edukasi dan Advokasi Publik: Keberhasilan RoN sangat bergantung pada pemahaman dan dukungan masyarakat luas, termasuk dunia usaha dan pembuat kebijakan.

Menuju Tata Kelola Alam yang Lebih Adil dan Berkelanjutan

Paper ini menegaskan bahwa Rights of Nature bukan sekadar inovasi hukum, tetapi juga refleksi perubahan nilai dan paradigma dalam hubungan manusia-alam. Keberhasilan RoN sangat ditentukan oleh desain kelembagaan yang jelas, keterlibatan komunitas lokal, dan keberanian politik untuk menempatkan hak alam setara dengan hak manusia dan korporasi. Di tengah ancaman krisis lingkungan global, RoN menawarkan harapan baru untuk tata kelola alam yang lebih adil, berkelanjutan, dan inklusif.

Sumber Artikel 

Kahui, V., Armstrong, C.W., & Aanesen, M. (2024). Comparative analysis of Rights of Nature (RoN) case studies worldwide: Features of emergence and design. Ecological Economics, 221, 108193. Available online 6 April 2024. 0921-8009/© 2024 The Authors. Published by Elsevier B.V.

Selengkapnya
Comparative Analysis of Rights of Nature (RoN) Case Studies Worldwide

Sumber Daya Air

Mengukur Dampak Indeks Keamanan Air terhadap Pembangunan Sosial-Ekonomi Uni Eropa

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 17 Juni 2025


Air sebagai Fondasi Kemajuan Eropa

Di tengah perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan tantangan polusi, air bersih dan aman menjadi isu strategis bagi masa depan Eropa. Paper “Quantifying the Impact of the Water Security Index on Socio-Economic Development in EU27” karya Monica Laura Zlati dkk. menghadirkan analisis komprehensif tentang bagaimana indeks keamanan air (water security index, WSI) mempengaruhi pembangunan ekonomi dan sosial di 27 negara Uni Eropa (EU27) selama dua dekade terakhir. Dengan metodologi canggih dan data lintas negara, penelitian ini menawarkan wawasan baru yang sangat relevan dengan kebutuhan kebijakan dan tren global menuju pembangunan berkelanjutan.

Kerangka Teori dan Tinjauan Literatur: Dari Teori ke Praktik

Penelitian ini menggabungkan pendekatan lintas disiplin, mulai dari teori pembangunan berkelanjutan, resource dependency, integrated water resources management, hingga keadilan lingkungan (environmental justice). Literatur sebelumnya menyoroti keunggulan negara-negara Nordik dan Eropa Barat dalam pengelolaan air, sementara kawasan Eropa Timur dan Selatan masih menghadapi tantangan besar terkait polusi, akses air, dan infrastruktur. Namun, penelitian ini melangkah lebih jauh dengan menghubungkan keamanan air, pembangunan ekonomi, dan sosial dalam satu model trilateral yang lebih representatif dan sensitif terhadap dinamika regional.

Model Persamaan Struktural dan Analisis Disparitas

Penelitian ini menggunakan data dari Eurostat dan sumber resmi lain untuk periode 2000–2022. Indikator utama meliputi efisiensi penggunaan air, akses sanitasi dan air minum, ekosistem air, belanja pemerintah untuk perlindungan lingkungan, hingga GDP per kapita. Model yang digunakan adalah structural equation modeling (SEM), yang memetakan hubungan antara tiga variabel laten: Water Security Index (WSI), Economic Development (ED), dan Social Development (SD).

Pengujian statistik dilakukan dengan berbagai indeks validitas, termasuk RMSEA yang selalu berada di bawah 0,08, menandakan model yang sangat fit. Selain itu, disparitas regional diuji dengan Kruskal-Wallis Test, yang mampu mengidentifikasi perbedaan signifikan antar kelompok negara di EU27.

Temuan Utama: Disparitas, Studi Kasus, dan Angka-angka Kunci

Disparitas Keamanan Air di Eropa

Penelitian ini menemukan disparitas tajam dalam keamanan air di seluruh EU27. Negara-negara seperti Irlandia, Denmark, Finlandia, Swedia, Austria, Luksemburg, Latvia, Lituania, dan Slovakia menempati posisi teratas dengan nilai WSI di atas 0,8. Mereka menunjukkan efisiensi pengelolaan air, akses sanitasi dan air minum yang sangat baik, serta investasi lingkungan yang signifikan.

Sebaliknya, negara-negara seperti Prancis, Kroasia, Belgia, Rumania, Italia, Belanda, Bulgaria, Spanyol, dan Yunani berada di kelompok terbawah dengan WSI negatif. Mereka menghadapi tantangan polusi tinggi, akses air bersih yang rendah, dan keterbatasan anggaran lingkungan.

Efisiensi dan Akses Sanitasi

Luxemburg, Irlandia, dan Denmark menjadi contoh sukses efisiensi penggunaan air. Negara-negara ini tidak hanya mengadopsi teknologi mutakhir, tetapi juga menerapkan kebijakan insentif dan edukasi publik yang efektif. Sebagai contoh, Irlandia berhasil meningkatkan efisiensi penggunaan air domestik hingga lebih dari 90% pada tahun 2022, jauh di atas rata-rata EU27.

Di sisi lain, Rumania, Polandia, Lithuania, dan Latvia menghadapi disparitas besar dalam akses sanitasi layak. Rumania, misalnya, pada tahun 2022 hanya mampu menyediakan sanitasi layak bagi 72% penduduknya, dibandingkan rata-rata EU27 yang mencapai 95%. Hal ini menyoroti perlunya intervensi infrastruktur dan kebijakan yang lebih agresif di kawasan Eropa Timur.

Dampak Ekonomi dan Sosial

Negara dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, seperti Jerman dan Belanda, harus mengalokasikan anggaran besar untuk menjaga kualitas air. Pada tahun 2022, Jerman menghabiskan lebih dari 1,2% GDP-nya untuk perlindungan lingkungan air, sementara negara-negara di cluster bawah hanya mampu mengalokasikan kurang dari 0,5% GDP. Akibatnya, beban sosial dan ekonomi akibat polusi dan akses air yang buruk menjadi lebih berat di negara-negara dengan kapasitas fiskal terbatas.

Kepadatan penduduk dan tingkat polusi juga menjadi faktor kunci. Belanda, misalnya, meski memiliki GDP per kapita tinggi, harus menghadapi tantangan besar akibat kepadatan penduduk dan polusi pertanian yang tinggi, sehingga biaya pengelolaan air terus meningkat.

Krisis dan Guncangan Eksternal

Penelitian ini juga menyoroti dampak guncangan eksternal seperti Brexit dan pandemi COVID-19. Selama periode 2020–2022, korelasi antara belanja lingkungan dan indeks keamanan air menurun tajam, menandakan kerentanan sistem pengelolaan air terhadap krisis global.

Analisis Kritis dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Model trilateral yang diusulkan penelitian ini menawarkan keunggulan dibandingkan model-model sebelumnya yang hanya fokus pada satu atau dua dimensi. Dengan mengintegrasikan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan secara simultan, model ini memberikan gambaran yang lebih holistik dan relevan dengan kebutuhan kebijakan masa kini.

Namun, kompleksitas model dan kebutuhan data yang sangat detail bisa menjadi tantangan bagi negara-negara dengan kapasitas statistik terbatas. Selain itu, meski model ini sangat cocok untuk konteks Eropa, penerapannya di kawasan lain mungkin memerlukan penyesuaian indikator dan metodologi.

Penelitian ini juga mengonfirmasi temuan sebelumnya bahwa negara-negara Nordik dan Eropa Barat unggul dalam keamanan air, tetapi menambahkan dimensi sosial-ekonomi yang lebih dalam dan memperkuat argumen perlunya kebijakan berbasis data.

Implikasi Kebijakan: Rekomendasi dan Strategi Masa Depan

Penelitian ini menawarkan sejumlah rekomendasi kebijakan yang sangat relevan dengan tren industri dan kebutuhan masa depan Uni Eropa:

  • Standarisasi Kerangka Kerja Nasional: Negara-negara anggota perlu menyesuaikan kebijakan pengelolaan air mereka dengan standar Uni Eropa, guna memastikan harmonisasi dan efektivitas lintas negara.
  • Pembentukan Organisasi Pemantau: Diperlukan lembaga khusus yang memantau keamanan air dan kesehatan masyarakat secara berkelanjutan.
  • Inovasi Berkelanjutan: Investasi pada riset dan teknologi baru di bidang pengelolaan air harus menjadi prioritas, terutama untuk menghadapi tantangan perubahan iklim dan urbanisasi.
  • Promosi Tanggung Jawab Sosial: Edukasi publik dan industri tentang pentingnya menjaga ekosistem air perlu terus ditingkatkan, agar tercipta budaya hemat dan peduli lingkungan.
  • Perbaikan Tata Kelola: Transparansi dan efektivitas pengelolaan air harus diperkuat, termasuk melalui digitalisasi data dan pelibatan masyarakat.

Hubungan dengan Tren Global dan Industri

Penelitian ini sangat relevan dengan tren global menuju ekonomi sirkular, di mana pengelolaan air tidak lagi hanya soal suplai, tetapi juga efisiensi, daur ulang, dan inovasi teknologi. Urbanisasi dan migrasi yang pesat di Eropa memperlebar disparitas akses air bersih, sehingga kebijakan berbasis data menjadi semakin penting.

Krisis iklim dan energi juga menempatkan ketahanan air sebagai prioritas utama, terutama untuk mendukung pertumbuhan ekonomi hijau dan pencapaian target Sustainable Development Goals (SDGs).

Kesimpulan: Menuju Keamanan Air yang Berkelanjutan dan Inklusif

Penelitian ini menegaskan bahwa keamanan air adalah fondasi utama pembangunan ekonomi dan sosial di Eropa. Disparitas regional yang tajam menuntut kebijakan yang lebih terintegrasi, inovatif, dan responsif terhadap dinamika lokal maupun global. Model trilateral yang diusulkan memberikan alat analisis yang kuat bagi pembuat kebijakan untuk memetakan prioritas, merancang intervensi, dan memonitor dampak kebijakan secara real-time.

Tantangan utama ke depan adalah harmonisasi data, peningkatan kapasitas institusi, dan adaptasi terhadap guncangan eksternal seperti krisis ekonomi, pandemi, dan perubahan iklim. Nilai tambah penelitian ini terletak pada integrasi dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan secara simultan, serta penekanan pada pentingnya kebijakan berbasis data dan inovasi teknologi untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan di sektor air.

Referensi 

Quantyfing the impact of the water security index on socio-economic development in EU27
Monica Laura Zlati, Valentin-Marian Antohi, Romeo-Victor Ionescu, Catalina Iticescu, Lucian Puiu Georgescu
Socio-Economic Planning Sciences 93 (2024) 101912
0038-0121/© 2024 The Authors. Published by Elsevier Ltd.
Available online 6 May 2024

Selengkapnya
Mengukur Dampak Indeks Keamanan Air terhadap Pembangunan Sosial-Ekonomi Uni Eropa

Perubahan Iklim

Krisis Kekurangan Air Global dan Strategi Adaptasi untuk Pertanian Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Air sebagai Sumber Daya Vital yang Terancam

Air merupakan sumber daya alam yang sangat penting bagi kehidupan manusia dan semua aktivitas ekonomi, terutama sektor pertanian yang menyerap sekitar 70% dari total penggunaan air global. Namun, meskipun bumi sebagian besar tertutup air, ketersediaan air tawar yang dapat digunakan sangat terbatas dan semakin terancam oleh perubahan iklim, pertumbuhan populasi, polusi, dan eksploitasi berlebihan. Paper berjudul Water scarcity: A global hindrance to sustainable development and agricultural production – A critical review of the impacts and adaptation strategies oleh Biswas et al. (2025) memberikan tinjauan kritis mengenai dampak kekurangan air secara global, dengan fokus khusus pada sektor pertanian dan perspektif India sebagai negara berkembang yang menghadapi krisis air parah.

Jenis dan Penyebab Kekurangan Air

Jenis Kekurangan Air

  • Kekurangan air fisik (Physical water scarcity): Terjadi ketika ketersediaan air tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia dan ekosistem. Diperkirakan 1,2 miliar orang tinggal di wilayah yang mengalami kekurangan air fisik, terutama di daerah kering dan semi-kering.
  • Kekurangan air ekonomi (Economic water scarcity): Terjadi ketika air tersedia secara fisik, tetapi aksesnya terbatas karena infrastruktur yang buruk, manajemen yang lemah, atau masalah institusional. Diperkirakan lebih dari 1,6 miliar orang menghadapi kekurangan air jenis ini.

Penyebab Utama

  • Perubahan iklim dan kekeringan: Variabilitas cuaca yang meningkat menyebabkan penurunan curah hujan dan peningkatan frekuensi kekeringan. Antara 2001-2018, 74% bencana alam terkait air seperti banjir dan kekeringan.
  • Pertumbuhan populasi: Saat ini, 41% penduduk dunia tinggal di daerah dengan tekanan air tinggi. Proyeksi menunjukkan kebutuhan air untuk pangan akan meningkat 40-50% pada 2030.
  • Polusi air: Limbah industri, pertanian, dan domestik mencemari sumber air, mengurangi kualitas dan ketersediaan air bersih.
  • Praktik pertanian yang boros air: Sekitar 60% air irigasi hilang karena sistem irigasi yang tidak efisien dan pemilihan tanaman yang tidak sesuai dengan kondisi air setempat.

Dampak Kekurangan Air pada Pertanian dan Ketahanan Pangan

  • Kekurangan air mengancam produksi pangan global, dengan prediksi penurunan hasil panen hingga 20-30% di beberapa wilayah pada 2030-2050.
  • Contoh nyata di California, AS, kekeringan tahun 2015 menyebabkan kerugian ekonomi pertanian sebesar $1,84 miliar dan hilangnya 10.100 pekerjaan musiman.
  • Di India, lebih dari 600 juta orang menghadapi krisis air, dengan penurunan drastis ketersediaan air per kapita dari 5.177 m³ pada 1951 menjadi sekitar 1.296 m³ pada 2025. Kota-kota besar seperti Delhi dan Chennai menghadapi risiko habisnya sumber air tanah.
  • Penurunan produksi gula di India dari 28,3 juta ton (2013-2014) menjadi 21,3 juta ton (2016-2017) akibat kekeringan dan kurangnya air irigasi.
  • Perubahan pola tanam, seperti pergeseran dari padi ke tanaman yang lebih hemat air (misal jagung dan millet), mulai dilakukan sebagai strategi adaptasi.

Strategi Adaptasi dan Manajemen Air dalam Pertanian

Teknik Irigasi Efisien

  • Mikro-irigasi (drip dan sprinkler): Menghemat air hingga 60%, meningkatkan hasil panen hingga 40% pada tanaman seperti tomat dan zaitun.
  • Irigasi berbasis sensor dan pengendalian evapotranspirasi: Mengoptimalkan waktu dan jumlah irigasi, mengurangi pemborosan air.
  • Irigasi defisit dan pengeringan bergantian: Mengurangi penggunaan air tanpa mengorbankan hasil panen secara signifikan.

Praktik Pertanian Berkelanjutan

  • Pengolahan tanah konservasi: Mengurangi penggunaan air hingga 40%, meningkatkan kesuburan dan struktur tanah.
  • Rotasi tanaman dan pergantian tanaman (crop shifting): Memilih tanaman yang lebih tahan kekeringan dan sesuai kondisi air lokal.
  • Mulsa: Mengurangi evaporasi tanah dan mempertahankan kelembaban, efektif di daerah kering.
  • Penggunaan varietas tahan kekeringan: Contohnya varietas padi hemat air di China dan jagung tahan kering di Afrika.

Teknologi dan Inovasi

  • Superabsorbent polymer hydrogels: Menyimpan air di dalam tanah dan mengurangi stres tanaman.
  • Precision agriculture: Menggunakan sensor dan data satelit untuk pengelolaan air yang presisi dan efisien.
  • Sistem penampungan air hujan dan pompa tenaga surya: Meningkatkan ketersediaan air di daerah kering dan terpencil.

Kebijakan dan Manajemen Sumber Daya Air

  • Penetapan harga air dan pasar air: Mendorong penggunaan air yang efisien dan alokasi yang optimal, seperti di Australia dan Brasil.
  • Pengaturan jarak sumur dan perizinan: Mencegah eksploitasi berlebihan dan konflik antar pengguna air.
  • Penguatan tata kelola dan partisipasi komunitas: Meningkatkan kesadaran dan pengelolaan bersama sumber daya air.

Analisis Kritis dan Perbandingan dengan Tren Global

Paper ini memberikan gambaran komprehensif yang menggabungkan aspek fisik, sosial, dan ekonomi dari krisis air global, dengan fokus kuat pada sektor pertanian dan negara berkembang seperti India. Pendekatan multidisipliner dan penggunaan data kuantitatif serta studi kasus nyata memperkuat argumen dan relevansi kebijakan.

Namun, tantangan implementasi strategi adaptasi tetap besar, terutama terkait biaya awal teknologi irigasi modern dan kebutuhan pelatihan petani. Selain itu, aspek kelembagaan dan politik air yang kompleks perlu lebih banyak perhatian untuk memastikan keberlanjutan.

Dibandingkan dengan literatur lain, paper ini menegaskan pentingnya integrasi antara inovasi teknologi, kebijakan harga dan pasar air, serta praktik tradisional yang adaptif. Hal ini sejalan dengan tren global dalam pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan dan inklusif.

Menuju Pertanian Berkelanjutan di Tengah Krisis Air

Krisis air merupakan hambatan utama bagi pembangunan berkelanjutan dan ketahanan pangan global. Dengan meningkatnya tekanan akibat perubahan iklim, pertumbuhan populasi, dan pola konsumsi yang berubah, kebutuhan akan strategi adaptasi yang efektif semakin mendesak.

Paper ini menyajikan berbagai solusi praktis dan inovatif yang dapat diadopsi di berbagai wilayah, khususnya negara berkembang seperti India, untuk mengurangi dampak kekurangan air pada pertanian. Penggabungan teknologi efisien, praktik pertanian berkelanjutan, dan kebijakan yang mendukung akan menjadi kunci keberhasilan.

Upaya terkoordinasi antara pemerintah, peneliti, petani, dan sektor swasta sangat diperlukan untuk mengatasi tantangan ini dan memastikan ketersediaan air yang cukup bagi generasi sekarang dan mendatang.

Sumber Artikel :

Biswas, A., Sarkar, S., Das, S., Dutta, S., Roy Choudhury, M., Giri, A., Bera, B., Bag, K., Mukherjee, B., Banerjee, K., Gupta, D., & Paul, D. (2025). Water scarcity: A global hindrance to sustainable development and agricultural production – A critical review of the impacts and adaptation strategies. Cambridge Prisms: Water, 3, e4

Selengkapnya
Krisis Kekurangan Air Global dan Strategi Adaptasi untuk Pertanian Berkelanjutan

Perubahan Iklim

Tata Kelola Air untuk Sistem Pangan Tangguh terhadap Perubahan Iklim

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Air sebagai Kunci Ketahanan Sistem Pangan Global

Perubahan iklim yang semakin nyata membawa tantangan besar terhadap ketersediaan air dan keberlanjutan sistem pangan dunia. Dalam konteks ini, tata kelola air yang efektif menjadi fondasi utama untuk membangun sistem pangan yang tangguh, adil, dan berkelanjutan. Dokumen Water Governance for Climate Resilient Food Systems (September 2021) yang disusun oleh 31 ahli global dari berbagai disiplin ilmu dan institusi internasional, mengangkat urgensi menempatkan air sebagai pusat perhatian dalam transformasi sistem pangan menghadapi masa depan iklim yang tidak pasti.

Resensi ini akan menguraikan secara komprehensif tantangan, prinsip tata kelola air yang direkomendasikan, studi kasus dan angka penting dari dokumen, serta analisis kritis dan relevansi dengan tren global dan industri.

Tantangan Tata Kelola Air dalam Sistem Pangan di Era Perubahan Iklim

Dokumen ini menegaskan bahwa meskipun produksi pangan global meningkat dan berhasil menekan harga pangan, krisis iklim dan ketidakpastian siklus air mengancam keberlanjutan sistem pangan. Beberapa tantangan utama yang dihadapi adalah:

  • Ketidakpastian dan volatilitas siklus air: Perubahan pola curah hujan, frekuensi banjir dan kekeringan yang meningkat, serta gangguan pasokan air yang berdampak langsung pada produksi dan distribusi pangan.
  • Persaingan penggunaan air: Air yang terbatas harus memenuhi kebutuhan pangan, ekosistem, energi, dan kebutuhan sosial-ekonomi lainnya.
  • Ketimpangan akses dan keadilan: Kelompok rentan, seperti petani kecil dan masyarakat miskin, seringkali paling terdampak oleh krisis air dan pangan.
  • Dampak berantai: Gangguan pada sistem air menyebabkan risiko berjenjang yang memengaruhi seluruh rantai pasok pangan, termasuk kesehatan dan gizi masyarakat.

Pandemi COVID-19 juga memperparah krisis pangan dan memperlihatkan kerentanan sistem pangan global terhadap gangguan eksternal.

Enam Prinsip Tata Kelola Air untuk Sistem Pangan Tangguh

Dokumen ini mengajukan enam atribut kunci yang harus diadopsi dalam tata kelola air untuk membangun sistem pangan yang tahan iklim:

  1. Memahami sistem pangan sebagai sistem terpadu
    Pendekatan sistem terpadu mengakui keterkaitan erat antara air, pangan, energi, lingkungan, dan sosial. Platform kolaborasi lintas sektor dan wilayah sangat diperlukan untuk mengelola kompleksitas ini secara adaptif.
  2. Mengadopsi tata kelola polisentris dan partisipatif
    Tata kelola yang melibatkan berbagai tingkat pemerintahan, komunitas lokal, perempuan, dan pemuda memungkinkan respons cepat dan inklusif terhadap ancaman lokal, serta memfasilitasi negosiasi dan resolusi konflik.
  3. Mendorong inovasi, pembelajaran, dan penyebaran pengetahuan
    Sistem yang tangguh harus terus berinovasi dalam teknologi, kebijakan, dan insentif, serta membangun mekanisme umpan balik untuk evaluasi dan penyesuaian kebijakan.
  4. Mengintegrasikan keberagaman dan redundansi
    Keanekaragaman teknik produksi dan institusi pengelolaan air meningkatkan fleksibilitas dan kapasitas adaptasi jangka pendek maupun panjang.
  5. Menjamin kesiapsiagaan sistem
    Fokus pada kesiapsiagaan melalui pemantauan data yang transparan dan akuntabel, sistem peringatan dini, dan pengembangan kapasitas adaptasi untuk menghadapi kejutan tak terduga.
  6. Merencanakan jangka panjang
    Infrastruktur keras dan lunak serta sistem tata kelola harus dirancang untuk bertahan dan beradaptasi dalam jangka waktu panjang, mengingat ketidakpastian iklim yang terus meningkat.

Studi Kasus dan Data Penting

  • Pengelolaan air tradisional yang berhasil: Sistem irigasi komunitas seperti Muang Fai di Thailand dan Subak di Bali menunjukkan prinsip tata kelola polisentris dan partisipatif yang telah bertahan selama berabad-abad.
  • Program insentif berbasis ekosistem: Payment for Ecosystem Services (PES) seperti Conservation Reserve Program di AS, Grain-to-Green di China, dan MGNREGA di India telah membantu konservasi air dan tanah, dengan potensi pendanaan global mencapai US$40 miliar per tahun.
  • Teknologi pemantauan air: Penggunaan teknologi penginderaan jauh dan sistem informasi air real-time, seperti yang diterapkan di Maharashtra, India, membantu mengatasi eksploitasi air tanah berlebihan.
  • Dampak perubahan iklim: Risiko kehilangan lahan produktif akibat intrusi air asin di delta Asia, perubahan aliran sungai utama di Andes dan Himalaya, serta peningkatan frekuensi kekeringan di Afrika, menunjukkan urgensi tata kelola air yang adaptif.

Analisis Kritis dan Perbandingan dengan Tren Global

Pendekatan tata kelola air yang diusulkan menekankan pentingnya mengatasi kompleksitas sosial-ekologis dan menghindari solusi satu dimensi seperti peningkatan efisiensi irigasi yang sering gagal ketika diterapkan secara luas. Konsep polisentris dan partisipatif sejalan dengan tren global dalam pengelolaan sumber daya bersama yang inklusif dan adaptif.

Namun, tantangan nyata tetap ada dalam hal pendanaan, kapasitas institusi, dan resistensi politik terhadap reformasi tata kelola air. Inovasi teknologi dan insentif ekonomi harus dipadukan dengan penguatan kelembagaan dan pemberdayaan komunitas lokal agar efektif.

Selain itu, integrasi solusi tradisional dan modern menjadi penting agar tata kelola air tidak hanya berfokus pada teknologi tinggi, tetapi juga menghargai kearifan lokal dan praktik berkelanjutan yang telah terbukti.

Rekomendasi Kebijakan dan Implikasi Praktis

  • Membangun kemitraan multi-sektor dan multi-level yang melibatkan pemerintah, swasta, komunitas, dan kelompok rentan dalam pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan.
  • Mengembangkan sistem pemantauan dan data terbuka untuk transparansi dan akuntabilitas pengelolaan air.
  • Mengadopsi pendekatan berbasis ekosistem dan agroekologi untuk meningkatkan keberagaman dan ketahanan sistem pangan.
  • Meningkatkan kapasitas adaptasi dan kesiapsiagaan melalui pendidikan, pelatihan, dan sistem peringatan dini.
  • Merancang infrastruktur dan kebijakan dengan perspektif jangka panjang, mempertimbangkan ketidakpastian iklim dan dinamika sosial-ekonomi.

Dokumen Water Governance for Climate Resilient Food Systems menegaskan bahwa air adalah bahasa perubahan iklim dan pusat dari ketahanan sistem pangan masa depan. Dengan mengadopsi tata kelola air yang kompleks, inklusif, inovatif, dan berorientasi jangka panjang, kita dapat membangun sistem pangan yang tidak hanya produktif dan efisien, tetapi juga adil dan berkelanjutan.

Transformasi ini membutuhkan komitmen kuat dari semua pemangku kepentingan, terutama perempuan, pemuda, dan komunitas lokal yang paling terdampak. Hanya dengan pendekatan holistik dan kolaboratif, kita dapat menghadapi tantangan air dan pangan di era perubahan iklim yang penuh ketidakpastian.

Sumber Artikel :

Water Governance for Climate Resilient Food Systems, September 2021, Statement by 31 global practitioners and researchers, United Nations Food Systems Summit 2021.

Selengkapnya
Tata Kelola Air untuk Sistem Pangan Tangguh terhadap Perubahan Iklim

Perubahan Iklim

Water Governance for Climate-Resilient Agriculture in Mediterranean Countries – Strategi Terpadu untuk Ketahanan Air dan Pertanian

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Tantangan Pengelolaan Air di Wilayah Mediterania

Wilayah Mediterania dikenal sebagai kawasan yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, khususnya terkait dengan ketersediaan air. Kekeringan, fluktuasi curah hujan, dan peningkatan suhu yang signifikan mengancam keberlanjutan sektor pertanian yang sangat bergantung pada irigasi. Dalam konteks ini, pengelolaan air yang efektif dan adaptif menjadi kunci untuk mencapai ketahanan pangan dan keberlanjutan lingkungan.

Paper berjudul “Water Governance for Climate-Resilient Agriculture in Mediterranean Countries” oleh Georgia Sismani, Vassilios Pisinaras, dan Georgios Arampatzis (2024) mengupas secara komprehensif bagaimana tata kelola air yang terintegrasi dan adaptif dapat diterapkan di tingkat organisasi petani untuk mendukung pertanian yang tahan iklim. Studi ini menyoroti pengalaman tiga organisasi petani (Farmers’ Organizations/F.ORs) di Crete, Yunani, dan Basilicata, Italia, sebagai pilot project yang mengimplementasikan skema tata kelola air berbasis standar European Water Stewardship (EWS).

Kerangka Tata Kelola Air Terintegrasi: Water Management Adaptation Strategy (WMAS) dan Agricultural Water Management System (AWMS)

Konsep dan Metodologi

Penelitian ini mengembangkan sebuah skema tata kelola air terintegrasi yang terdiri dari dua komponen utama:

  • Water Management Adaptation Strategy (WMAS): Strategi adaptasi pengelolaan air yang disusun oleh masing-masing organisasi petani berdasarkan evaluasi kondisi lokal, termasuk struktur organisasi, status sumber daya air, dan praktik pertanian yang diterapkan.
  • Agricultural Water Management System (AWMS): Sistem manajemen air pertanian yang dirancang untuk mengimplementasikan WMAS secara efektif melalui pembagian peran dan tanggung jawab di dalam organisasi, serta mekanisme monitoring dan evaluasi yang sistematis.

WMAS dan AWMS dirancang mengacu pada standar European Water Stewardship (EWS), yang menekankan tiga prinsip utama: pengelolaan kuantitas air, kualitas air, dan pelestarian area bernilai konservasi tinggi (HCV), serta prinsip tata kelola yang transparan dan partisipatif.

Pembagian Peran dalam AWMS

Setiap F.OR menetapkan tiga peran kunci untuk pengelolaan air:

  1. Penanggung jawab aspek legal air: Memantau regulasi dan memastikan kepatuhan organisasi terhadap peraturan.
  2. Penghubung dengan Komite Daerah Aliran Sungai: Menjaga komunikasi dan koordinasi dengan lembaga pengelola sumber daya air di tingkat regional.
  3. Water Steward (WS): Bertanggung jawab atas pelaksanaan dan pengawasan WMAS dalam organisasi.

Ketiga peran ini saling berkomunikasi dan melapor ke manajemen organisasi untuk menjamin pelaksanaan yang efektif.

Studi Kasus: Implementasi di Tiga Organisasi Petani di Mediterania

Lokasi dan Karakteristik

  • Dua F.OR di Crete, Yunani (Platanias dan Mirabello): Fokus pada budidaya pohon zaitun dengan sumber air irigasi dari air tanah.
  • Satu F.OR di Basilicata, Italia (Metapontino): Fokus pada tanaman perkebunan dengan irigasi dari air permukaan melalui bendungan.

Mirabello mengalami tingkat kelangkaan air tertinggi di antara ketiga lokasi, menambah urgensi pengelolaan air yang efisien.

Monitoring dan Evaluasi

Untuk memantau implementasi AWMS, dibuat sistem formulir khusus yang diisi secara berkala oleh Water Steward dan petani anggota. Monitoring ini mencakup praktik pengelolaan air di 10 kebun per lokasi pilot, dengan pelatihan intensif bagi Water Steward untuk memastikan akurasi dan konsistensi data.

Hasil Implementasi dan Pelajaran Penting

Kepatuhan Regulasi dan Transparansi

  • Di dua F.OR Yunani, 18 regulasi terkait air diidentifikasi, dengan 6 di antaranya dianggap sangat penting. Di Italia, 6 regulasi utama juga dipantau.
  • Pelaporan kepatuhan dilakukan secara tahunan, membantu organisasi tetap up-to-date terhadap perubahan regulasi.
  • Transparansi internal dan eksternal menjadi fokus utama, dengan berbagai kegiatan pelatihan, seminar, dan penyebaran informasi kepada anggota dan pemangku kepentingan lokal.

Interrelasi Air dengan Energi dan Sumber Daya Lain

  • Studi mengukur konsumsi energi langsung (misal, pompa irigasi) dan tidak langsung (misal, pemupukan, pemangkasan) yang terkait dengan penggunaan air.
  • Hasil menunjukkan konsumsi energi lebih tinggi pada lahan irigasi, namun hubungan tidak langsung antara air dan energi dalam aktivitas lain kurang jelas.
  • Pengelolaan air juga dikaitkan dengan optimalisasi penggunaan sumber daya lain seperti tanah, pupuk, dan biomassa pohon, meskipun kuantifikasi hubungan ini kompleks.

Penanganan Keadaan Darurat

  • Setiap F.OR mengembangkan rencana tanggap darurat untuk berbagai risiko seperti kekeringan, banjir, kebakaran, dan pencemaran.
  • Rencana ini mencakup tindakan pencegahan dan penanganan kerusakan tanaman, disampaikan dalam bentuk dokumen dan brosur yang mudah diakses oleh petani.

Evaluasi dan Revisi Strategi

  • Setelah tiga tahun implementasi, monitoring dan evaluasi menunjukkan pelaksanaan rencana berjalan baik, meskipun ada tantangan dalam pelaporan tepat waktu.
  • Revisi WMAS dilakukan berdasarkan feedback internal dan eksternal, namun tidak ada perubahan besar yang diperlukan.
  • Minat petani untuk bergabung dan mengadopsi praktik WMAS meningkat, memperluas cakupan strategi di wilayah pilot.

Analisis Kritis dan Kaitan dengan Tren Global

Kompleksitas dan Adaptasi Standar EWS

Implementasi standar EWS di sektor pertanian terbukti lebih kompleks dibandingkan di industri, karena fragmentasi lahan, keragaman praktik, dan sumber air yang berbeda-beda. Hal ini menuntut adaptasi prinsip dan indikator EWS agar sesuai dengan konteks pertanian Mediterania.

Pentingnya Monitoring dan Konsultasi Ahli

Keberhasilan implementasi sangat bergantung pada monitoring yang sistematis dan dukungan ahli, terutama pada tahap awal. Pengalaman F.OR dengan standar lain seperti ISO atau EMS mempercepat adopsi AWMS.

Keterlibatan dan Komunikasi

Transparansi dan komunikasi internal yang intensif menjadi kunci keberhasilan, membantu mengatasi kesenjangan informasi antara manajemen dan anggota. Komunikasi terkait risiko iklim ekstrem, seperti kekeringan dan banjir, harus dilakukan secara proaktif untuk meningkatkan kesiapsiagaan.

Hubungan dengan Otoritas Lokal

Meski ada komunikasi dengan otoritas lokal, interaksi ini masih bersifat satu arah dan perlu diperkuat agar pengelolaan air dapat terintegrasi dengan kebijakan regional dan nasional. Mengingat sektor pertanian menyerap sekitar 80% penggunaan air nasional, peran F.OR dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan sangat strategis.

Nilai Tambah dan Implikasi Kebijakan

  • Skema tata kelola air terintegrasi ini memberikan model praktis bagi organisasi petani untuk mengelola air secara efisien dan adaptif terhadap perubahan iklim.
  • Pendekatan berbasis standar internasional (EWS) yang disesuaikan dengan konteks lokal meningkatkan kredibilitas dan transparansi pengelolaan air.
  • Keterlibatan aktif petani dan pemangku kepentingan lokal memperkuat kapasitas adaptasi dan keberlanjutan pertanian.
  • Rencana tanggap darurat menghadirkan kesiapsiagaan yang diperlukan dalam menghadapi risiko iklim ekstrem yang semakin sering terjadi.
  • Perlu penguatan koordinasi lintas sektor dan tingkat pemerintahan untuk mengoptimalkan pengelolaan sumber daya air.

Kesimpulan

Studi ini menegaskan bahwa tata kelola air yang efektif dan adaptif di sektor pertanian merupakan fondasi penting untuk membangun ketahanan iklim di wilayah Mediterania yang rentan terhadap kekeringan dan perubahan iklim. Dengan mengintegrasikan strategi adaptasi pengelolaan air dan sistem manajemen yang jelas, organisasi petani dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air, menjaga kualitas sumber daya, dan mempersiapkan diri menghadapi risiko iklim.

Pengalaman pilot project di tiga F.OR di Yunani dan Italia membuktikan bahwa pendekatan ini dapat diimplementasikan dengan baik, meskipun memerlukan monitoring yang ketat, dukungan ahli, dan komunikasi yang intensif. Keberlanjutan strategi ini juga bergantung pada keterlibatan aktif petani dan sinergi dengan kebijakan lokal dan nasional.

Model tata kelola air ini dapat menjadi referensi penting bagi wilayah lain yang menghadapi tantangan serupa, sekaligus mendukung pencapaian target mitigasi dan adaptasi iklim secara global.

Sumber Artikel :

Sismani, G.; Pisinaras, V.; Arampatzis, G. Water Governance for Climate-Resilient Agriculture in Mediterranean Countries. Water 2024, 16, 1103

Selengkapnya
Water Governance for Climate-Resilient Agriculture in Mediterranean Countries – Strategi Terpadu untuk Ketahanan Air dan Pertanian

Perubahan Iklim

Climate Change, Sustainability, and Socio-Ecological Practices – Perspektif Interdisipliner dari Konferensi Internasional Socioecos 2024

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 16 Juni 2025


Memahami Dimensi Sosial dalam Krisis Iklim Global

Perubahan iklim merupakan tantangan global yang tidak hanya berdampak pada aspek fisik dan lingkungan, tetapi juga sangat terkait dengan dimensi sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Konferensi Internasional Socioecos 2024 yang diselenggarakan di Universidad del País Vasco, Bilbao, Spanyol, menghadirkan kumpulan riset dan diskusi interdisipliner yang mendalam mengenai praktik-praktik sosial-ekologis dalam konteks darurat iklim dan keberlanjutan. Buku prosiding konferensi ini, yang memuat lebih dari 800 abstrak dan puluhan makalah lengkap, menjadi sumber penting untuk memahami bagaimana ilmu sosial berkontribusi dalam mengatasi krisis iklim yang kompleks.

Resensi ini akan mengulas tema utama konferensi, studi kasus penting, serta kontribusi beberapa pembicara kunci yang menyoroti hubungan antara perubahan iklim, keadilan sosial, dan transformasi masyarakat melalui praktik sosial-ekologis.

Dimensi Sosial dalam Perubahan Iklim: Kritik dan Tantangan

Salah satu isu utama yang diangkat dalam konferensi ini adalah keterlambatan ilmu sosial dalam merespons perubahan iklim secara komprehensif, terutama dibandingkan dengan ilmu biophysical yang lebih cepat mengadopsi isu ini. Kritik utama menyatakan bahwa pendekatan yang berfokus pada individu seringkali mengabaikan aspek institusional, sosial, dan budaya yang lebih luas, sehingga kebijakan yang dihasilkan kurang efektif dan tidak menyentuh akar masalah (Tejerina et al., 2024).

Lebih jauh, kerangka interpretatif dominan, termasuk laporan IPCC, dianggap mendepolitisasi diskursus iklim dengan mengabaikan analisis kritis terhadap sistem nilai, relasi kekuasaan, dan proses institusional yang menjadi penyebab utama krisis iklim. Konsep “post-politik” ini menyoroti bagaimana wacana ilmiah dan kebijakan iklim sering mempertahankan status quo sosial-ekonomi yang tidak adil.

Praktik Sosial-Ekologis: Dari Gerakan Sosial hingga Transformasi Budaya

Konferensi ini membagi diskusi ke dalam beberapa track tematik yang luas, antara lain:

  • Gerakan sosial ekologis dan politik iklim
    Misalnya, gerakan Extinction Rebellion (XR) dan Fridays For Future (FFF) yang menentang pendekatan pasar dan kebijakan “transisi hijau dari atas”, dan mendorong “transisi ekologis dari bawah” yang menekankan keadilan iklim dan interseksionalitas (Albanese, 2024).
  • Model produksi dan kerja baru di ambang krisis iklim
    Studi tentang perusahaan energi hijau seperti Som Energia di Spanyol yang menggabungkan ekonomi sosial dan akar ekologis (Castelló et al., 2024).
  • Praktik hidup dan konsumsi berkelanjutan
    Eksplorasi tentang konsumsi makanan berkelanjutan, pasar ekologis, dan arsitektur ramah lingkungan yang mengurangi jejak karbon (González Rivas, 2024).
  • Rewilding dan pelestarian alam melalui ilmu warga dan sains partisipatif
    Contohnya proyek MitigACT di Galicia, Spanyol, yang menggabungkan ilmu warga untuk mitigasi risiko kebakaran hutan (Santiago-Gómez & Rodríguez-Rodríguez, 2024).
  • Dimensi manusia dalam krisis iklim: kesadaran, kesejahteraan, dan perawatan
    Penelitian tentang dampak psikologis krisis iklim seperti eco-ansietas dan praktik perawatan kolektif sebagai respons sosial (Heidemann, 2024).
  • Seni, teknologi, dan desain untuk krisis iklim
    Proyek seni yang menggabungkan fiksi spekulatif dan pengetahuan ilmiah untuk mengatasi antroposein dan mendorong perspektif ekosentris, seperti konsep Plantocene (Bruna, 2024).

Studi Kasus dan Angka Penting

  • Gerakan Extinction Rebellion (XR)
    XR mengusung “budaya regeneratif” yang menekankan perawatan diri, komunitas, dan lingkungan sebagai bentuk politik prefiguratif. Studi kualitatif dengan 25 wawancara mendalam menunjukkan dampak budaya ini pada individu, kelompok, dan masyarakat luas, termasuk peningkatan kecerdasan emosional dan praktik pengelolaan konflik secara non-kekerasan (Albanese, 2024).
  • Proyek AGORA (Horizon Europe)
    Inisiatif ini mengembangkan workshop kolaboratif di Spanyol, Italia, Swedia, dan Jerman untuk mendukung transformasi sosial menuju adaptasi iklim melalui co-creation dan pembelajaran bersama. Lebih dari 50 pemangku kepentingan lintas disiplin terlibat sebagai “pengikut” yang mengadopsi praktik terbaik (Mercogliano, 2024).
  • Diskursus NGO tentang Loss and Damage
    Analisis kritis terhadap posisi NGO dalam negosiasi iklim internasional mengungkapkan tiga pendekatan utama: manajemen risiko, adaptasi, dan keadilan iklim. NGO menuntut dana kompensasi dan mekanisme operasional yang jelas untuk membantu negara-negara berkembang yang paling rentan (Beltran & Sainz de Murieta, 2024).
  • Nasionalisme dan Krisis Iklim
    Studi oleh Daniele Conversi mengkritik bagaimana ideologi nasionalisme menjadi penghalang utama dalam aksi iklim global. Meskipun nasionalisme mendominasi politik dunia, belum ada integrasi serius antara studi nasionalisme dan perubahan iklim hingga tahun 2020. Nasionalisme juga berkontribusi pada keterlambatan dan hambatan dalam negosiasi iklim internasional (Conversi, 2024).

Analisis dan Nilai Tambah

Konferensi ini menegaskan bahwa krisis iklim tidak dapat dipahami dan diatasi hanya dari perspektif ilmiah dan teknis, tetapi harus melibatkan analisis kritis terhadap struktur sosial, budaya, dan politik yang mendasarinya. Pendekatan interdisipliner dan partisipatif menjadi kunci dalam mengembangkan solusi yang inklusif dan berkeadilan.

Gerakan sosial seperti Extinction Rebellion menunjukkan bahwa transformasi sosial yang nyata membutuhkan perubahan cara hidup dan hubungan antar manusia serta dengan alam, bukan sekadar kebijakan top-down. Konsep budaya regeneratif yang mereka usung memperlihatkan bagaimana praktik sosial dapat menjadi alat politik yang efektif.

Di sisi lain, analisis NGO tentang loss and damage menggarisbawahi pentingnya keadilan iklim dan tanggung jawab negara maju dalam mendukung negara berkembang, memperlihatkan kompleksitas negosiasi internasional yang melibatkan banyak aktor dan kepentingan.

Studi nasionalisme oleh Conversi membuka ruang diskusi penting mengenai bagaimana ideologi politik dapat menjadi penghalang atau pendorong dalam aksi iklim, sebuah aspek yang sering diabaikan dalam studi perubahan iklim.

Rekomendasi dan Implikasi Kebijakan

  • Memperkuat keterlibatan ilmu sosial dalam kebijakan iklim untuk mengatasi aspek politik, budaya, dan sosial yang sering terabaikan.
  • Mendukung gerakan sosial dan praktik prefiguratif yang berorientasi pada transformasi sosial-ekologis dari bawah.
  • Meningkatkan transparansi dan partisipasi dalam negosiasi internasional, khususnya terkait mekanisme loss and damage.
  • Mengintegrasikan pendekatan interdisipliner dan kolaboratif dalam proyek adaptasi dan mitigasi iklim, seperti yang dilakukan oleh proyek AGORA.
  • Mengkritisi dan merefleksikan peran nasionalisme dalam politik iklim untuk menemukan solusi yang melampaui batas-batas negara.

Kesimpulan

Buku prosiding konferensi Socioecos 2024 memberikan gambaran luas dan mendalam tentang bagaimana perubahan iklim harus dipahami sebagai fenomena sosial-ekologis yang kompleks. Kontribusi ilmu sosial sangat penting untuk membuka ruang dialog kritis tentang keadilan, kekuasaan, dan transformasi budaya dalam menghadapi krisis iklim. Studi kasus dan diskusi dari berbagai disiplin ilmu dan gerakan sosial menunjukkan bahwa perubahan nyata membutuhkan aksi kolektif, inklusif, dan berkelanjutan yang menggabungkan ilmu, seni, politik, dan praktik sosial.

Sumber Artikel :

Tejerina, B., Miranda de Almeida, C., & Acuña, C. (Eds.). (2024). Climate Change, Sustainability and Socio-ecological Practices: Conference Proceedings June 6-7, 2024, Universidad del País Vasco/Euskal Herriko Unibertsitatea, Bilbao, Spain. Servicio Editorial de la Universidad del País Vasco / Euskal Herriko Unibertsitateko Argitalpen Zerbitzua. ISBN: 978-84-9082-680-5

 

Selengkapnya
Climate Change, Sustainability, and Socio-Ecological Practices – Perspektif Interdisipliner dari Konferensi Internasional Socioecos 2024
« First Previous page 78 of 1.119 Next Last »