Comparative Analysis of Rights of Nature (RoN) Case Studies Worldwide

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

17 Juni 2025, 06.25

pixabay.com

Hak Alam dan Pergeseran Paradigma Hukum Lingkungan

Dalam beberapa dekade terakhir, krisis lingkungan global—mulai dari penurunan keanekaragaman hayati hingga degradasi ekosistem—memaksa masyarakat dunia mencari pendekatan baru dalam perlindungan alam. Salah satu inovasi paling radikal adalah pengakuan Rights of Nature (RoN), yaitu pemberian hak hukum kepada entitas alam seperti sungai, hutan, atau ekosistem. Paper karya Viktoria Kahui, Claire W. Armstrong, dan Margrethe Aanesen ini menawarkan analisis komparatif mendalam atas 14 studi kasus RoN di berbagai belahan dunia, menyoroti pola kemunculan, desain, serta tantangan implementasi yang dihadapi gerakan ini1.

Dari Antroposentris ke Ekosentris

Tradisi hukum lingkungan selama ini cenderung antroposentris—alam dilindungi demi kesejahteraan manusia. Namun, RoN menawarkan paradigma ekosentris, di mana alam diakui memiliki nilai intrinsik dan kepentingan hukum tersendiri. Gagasan ini berakar pada pemikiran Indigenous Peoples (misalnya Māori di Selandia Baru) dan diperkuat oleh pemikiran filsuf hukum seperti Christopher Stone yang pada 1972 mengusulkan agar “benda alam” dapat menjadi subjek hukum1.

Sejak Ekuador menjadi negara pertama yang memasukkan RoN dalam konstitusinya pada 2008, inisiatif serupa bermunculan di Bolivia, Amerika Serikat, Meksiko, Selandia Baru, Kolombia, Australia, Kanada, India, Bangladesh, dan Spanyol. Data terbaru menunjukkan hingga 2021 terdapat 409 inisiatif RoN di 39 negara, dengan 80% di antaranya berada di Amerika1.

Analisis Komparatif Deskriptif

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif komparatif untuk menelaah 14 kasus RoN yang dipilih berdasarkan literatur dan signifikansi global. Analisis difokuskan pada dua aspek utama:

  • Fitur Kemunculan: Siapa penggerak utama, aktivitas ekonomi yang menjadi ancaman, rentang waktu konflik, dan tujuan pengakuan RoN.
  • Fitur Desain: Skala geografis entitas yang diakui, kerangka hukum, status hukum, mekanisme perwalian (guardianship), serta aspek liability dan pembiayaan1.

Kasus-kasus ini kemudian dikategorikan dalam dua kelompok besar: public guardianship (hak diadvokasi semua warga) dan appointed guardianship (hak diwakili entitas atau individu tertentu, disebut juga Environmental Legal Personhood/ELP, dengan subkategori indirect, direct, dan living ELPs)12.

Temuan Utama: Pola Kemunculan dan Desain RoN

Pola Kemunculan: Perlawanan atas Kegagalan Tata Kelola Konvensional

Sebagian besar kasus RoN muncul sebagai respons terhadap kegagalan tata kelola lingkungan konvensional dalam menghadapi tekanan ekonomi—baik urbanisasi, pertanian, maupun industri. Di hampir semua kasus, peran komunitas lokal dan masyarakat adat sangat menonjol, baik sebagai penggerak utama maupun penjaga nilai-nilai ekosentris. Contoh nyata:

  • Ekuador (2008): RoN diadopsi sebagai reaksi atas dominasi korporasi pertambangan dan kebijakan neoliberal yang dianggap merusak alam. Prosesnya sangat partisipatif, melibatkan ribuan proposal masyarakat sipil. Dalam 8 tahun pertama, terdapat 13 gugatan hukum yang berhasil menggunakan RoN untuk melindungi alam1.
  • Bolivia (2010): Lahir dari konflik air dan gas serta gerakan sosial besar-besaran (Cochabamba Water War, Gas Conflict), RoN diakui dalam konstitusi dan diperkuat lewat “Law of the Rights of Mother Earth”. Tujuannya menyeimbangkan kepentingan manusia dan alam, menolak komersialisasi sistem kehidupan, dan mengakui keberagaman nilai budaya1.

Ragam Desain dan Tantangan Implementasi

Public Guardianship

  • Ekuador & Bolivia: Semua warga dapat mengadvokasi hak alam di pengadilan. Namun, efektivitas sangat bergantung pada pemahaman dan pelatihan hakim dalam menafsirkan undang-undang baru. Di Bolivia, hak alam diatur secara rinci, termasuk hak atas kehidupan, air, udara bersih, dan regenerasi1.
  • Amerika Serikat (Lake Erie Bill of Rights, 2020): Inisiatif warga Toledo untuk melindungi Danau Erie dari polusi pupuk pertanian. Namun, undang-undang ini dibatalkan pengadilan karena dianggap terlalu “vague” dan menimbulkan ketidakpastian liability bagi pelaku ekonomi1.

Appointed Guardianship/ELP

  • Australia (Victorian Environmental Water Holder/VEWH, 2011): Pemerintah mendirikan badan hukum khusus untuk mengelola hak air lingkungan. VEWH dapat membeli dan menjual hak air di pasar, didanai pemerintah, dan memiliki liability terbatas. Namun, muncul paradoks: VEWH dianggap “bersaing” dengan kebutuhan air manusia sehingga menimbulkan resistensi komunitas1.
  • Selandia Baru (Whanganui River & Te Urewera, 2014 & 2017): Sungai dan hutan diakui sebagai entitas hukum dengan guardian gabungan (perwakilan Māori dan pemerintah). Hak, kewajiban, dan liability diatur jelas, didukung advisory group, dan pendanaan dari negara. Model ini menjadi benchmark global karena detail dan keberhasilannya dalam mengakomodasi nilai adat dan sistem hukum modern1.
  • Kolombia (Atrato River, 2016): Pengakuan hak sungai sebagai respons atas kerusakan akibat tambang ilegal dan polusi. Guardian terdiri atas perwakilan pemerintah dan komunitas adat, didukung tim ahli dari lembaga riset dan universitas1.
  • Spanyol (Mar Menor, 2022): Inisiatif warga dan akademisi mengadvokasi hak laguna dari kerusakan akibat pertanian dan pertambangan. Hak-hak laguna diatur dalam undang-undang, dengan mekanisme perwalian kolektif (komite perwakilan pemerintah, warga, dan ilmuwan)1.

Living ELPs

  • India (Ganges & Yamuna, 2017): Pengadilan mengakui sungai sebagai “legal/living person” dengan hak setara manusia. Namun, keputusan ini dibatalkan Mahkamah Agung karena ketidakjelasan liability dan masalah yurisdiksi lintas negara bagian1.
  • Bangladesh (Turag River, 2019): Pengadilan mengakui seluruh sungai sebagai entitas hukum, dengan National River Conservation Commission sebagai guardian. Sejak keputusan ini, lebih dari 4.000 bangunan ilegal di bantaran sungai telah dibongkar dan 190 hektar lahan berhasil direklamasi1.

Analisis Kritis: Keunggulan, Tantangan, dan Perbandingan

Keunggulan RoN

  • Mengisi Kelemahan Tata Kelola Konvensional: RoN muncul sebagai solusi atas kegagalan regulasi dan insentif ekonomi yang terlalu antroposentris.
  • Mengakomodasi Nilai Adat dan Lokal: Banyak kasus RoN dipelopori atau diinspirasi oleh masyarakat adat, sehingga mampu mengintegrasikan nilai spiritual dan budaya ke dalam sistem hukum modern.
  • Memberi Suara pada Alam: Dengan mengakui entitas alam sebagai subjek hukum, RoN memaksa perubahan dalam pengambilan keputusan ekonomi dan politik yang lebih memperhatikan eksternalitas lingkungan12.

Tantangan dan Kritik

  • Ketidakjelasan Liability: Dua kasus besar (Lake Erie di AS dan sungai di India) dibatalkan karena ketidakjelasan siapa yang bertanggung jawab jika terjadi pelanggaran hak alam. Liability yang tidak jelas dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan resistensi pelaku ekonomi1.
  • Keterbatasan Implementasi: Di beberapa negara, RoN lebih bersifat deklaratif dan belum diikuti perubahan nyata dalam perlindungan ekosistem. Efektivitas sangat bergantung pada political will, kapasitas institusi, dan dukungan masyarakat1.
  • Paradoks Legal Personhood: Di Australia, VEWH justru melemahkan dukungan komunitas karena dianggap “kompetitor” dalam perebutan sumber daya air. Hal ini menunjukkan pentingnya desain kelembagaan yang sensitif terhadap konteks sosial-ekonomi1.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

Penelitian ini memperkuat temuan sebelumnya bahwa RoN seringkali lahir dari kegagalan tata kelola konvensional dan didorong oleh advokasi akar rumput serta komunitas adat. Namun, paper ini menambah dimensi baru dengan menyoroti pentingnya detail desain kelembagaan—khususnya soal liability dan mekanisme perwalian—sebagai kunci keberhasilan implementasi RoN12.

Relevansi dengan Tren Global dan Industri

RoN sangat relevan dengan tren global menuju earth system law dan environmental rule of law, serta upaya pencapaian target SDGs terkait keanekaragaman hayati dan tata kelola air. Di sektor industri, RoN menuntut perusahaan untuk mempertimbangkan eksternalitas lingkungan secara lebih serius, bahkan membuka kemungkinan gugatan hukum atas nama entitas alam. Di Indonesia, wacana RoN mulai berkembang, misalnya dalam advokasi perlindungan Sungai Citarum dan Danau Toba, meski belum diakui secara hukum formal.

Studi Kasus Inspiratif: Whanganui River, Selandia Baru

Salah satu model paling sukses adalah pengakuan Whanganui River sebagai entitas hukum di Selandia Baru. Setelah lebih dari 150 tahun konflik antara Māori dan pemerintah kolonial, pada 2017 sungai ini diakui sebagai “legal person” dengan guardian gabungan (perwakilan Māori dan pemerintah). Hak dan kewajiban diatur jelas, didukung advisory group, dan pendanaan dari negara. Model ini menjadi rujukan global karena mampu mengakomodasi nilai adat, memperkuat perlindungan ekosistem, dan meminimalisir konflik liability1.

Implikasi Kebijakan: Rekomendasi untuk Masa Depan

Berdasarkan temuan paper, berikut beberapa rekomendasi untuk pengembangan RoN yang efektif:

  • Perjelas Mekanisme Liability: Setiap RoN harus memiliki aturan jelas tentang siapa yang bertanggung jawab jika terjadi pelanggaran hak alam, baik guardian maupun pelaku ekonomi.
  • Perkuat Peran Komunitas Lokal dan Adat: Partisipasi masyarakat adat dan lokal harus menjadi inti desain kelembagaan RoN, bukan sekadar simbolis.
  • Integrasikan RoN dengan Tata Kelola Konvensional: RoN tidak harus menggantikan sistem lama, tapi dapat menjadi pelengkap yang memperkuat perlindungan lingkungan.
  • Sediakan Pendanaan dan Kapasitas Institusi: Guardian harus didukung dana memadai dan akses ke keahlian ilmiah serta hukum.
  • Edukasi dan Advokasi Publik: Keberhasilan RoN sangat bergantung pada pemahaman dan dukungan masyarakat luas, termasuk dunia usaha dan pembuat kebijakan.

Menuju Tata Kelola Alam yang Lebih Adil dan Berkelanjutan

Paper ini menegaskan bahwa Rights of Nature bukan sekadar inovasi hukum, tetapi juga refleksi perubahan nilai dan paradigma dalam hubungan manusia-alam. Keberhasilan RoN sangat ditentukan oleh desain kelembagaan yang jelas, keterlibatan komunitas lokal, dan keberanian politik untuk menempatkan hak alam setara dengan hak manusia dan korporasi. Di tengah ancaman krisis lingkungan global, RoN menawarkan harapan baru untuk tata kelola alam yang lebih adil, berkelanjutan, dan inklusif.

Sumber Artikel 

Kahui, V., Armstrong, C.W., & Aanesen, M. (2024). Comparative analysis of Rights of Nature (RoN) case studies worldwide: Features of emergence and design. Ecological Economics, 221, 108193. Available online 6 April 2024. 0921-8009/© 2024 The Authors. Published by Elsevier B.V.