Keselamatan Kebakaran

Analisis Kesiapsiagaan dan Perencanaan Respons Darurat Kebakaran

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 14 Maret 2025


Kesiapsiagaan terhadap kebakaran dan keadaan darurat merupakan aspek vital dalam operasional layanan pemadam kebakaran. Studi ini menyoroti bagaimana pendekatan EPA dapat digunakan untuk menentukan skala layanan pemadam kebakaran di dua layanan pemadam kebakaran antarmunicipalitas (IMFRS) di Norwegia. Dengan menggunakan metode berbasis analisis risiko, penelitian ini memberikan wawasan tentang cara optimal mengalokasikan sumber daya pemadam kebakaran agar lebih efektif dalam menangani berbagai jenis insiden.

Konteks dan Tantangan dalam Kesiapsiagaan Pemadam Kebakaran

Layanan pemadam kebakaran menghadapi berbagai tantangan dalam menyusun rencana tanggap darurat. Salah satu tantangan utama adalah kurangnya standarisasi dalam perencanaan darurat. Analisis menunjukkan bahwa perencanaan darurat di berbagai daerah belum memiliki standar yang seragam, sehingga pendekatan berbasis pengalaman subjektif sering digunakan dalam pengambilan keputusan. Selain itu, kesulitan menghubungkan analisis risiko dengan skalasi layanan menjadi masalah utama. Banyak layanan pemadam kebakaran tidak secara sistematis menghubungkan analisis risiko dengan jumlah personel dan peralatan yang dibutuhkan.

Kebutuhan akan model yang lebih terstruktur juga menjadi perhatian penting. Industri minyak dan gas di Norwegia telah menerapkan model EPA secara lebih ketat, yang berkontribusi terhadap tingkat risiko rendah. Namun, model ini belum sepenuhnya diadopsi dalam layanan pemadam kebakaran umum.

Metodologi dan Pendekatan yang Digunakan

Studi ini mengadopsi pendekatan berbasis analisis risiko yang melibatkan identifikasi risiko, analisis dan skalasi sumber daya, serta implementasi dan evaluasi strategi kesiapsiagaan. Identifikasi risiko dilakukan dengan menilai berbagai skenario yang dapat dihadapi layanan pemadam kebakaran. Kemudian, EPA digunakan untuk menentukan sumber daya dan struktur organisasi yang diperlukan. Setelah itu, efektivitas strategi kesiapsiagaan yang diterapkan dievaluasi untuk memastikan efisiensi respons dalam situasi darurat.

Temuan Utama dalam Studi

Paper ini menganalisis dua layanan pemadam kebakaran antarmunicipalitas. IMFRS-I, yang berlokasi di Norwegia Barat, melayani sembilan kotamadya dengan lebih dari 100.000 penduduk dan mengandalkan kombinasi petugas pemadam kebakaran penuh waktu dan paruh waktu. Layanan ini menganalisis 43 skenario risiko, dengan ancaman utama meliputi kecelakaan transportasi berat, kebakaran industri, dan kawasan hutan.

Sementara itu, IMFRS-II yang berada di Norwegia Selatan mencakup tujuh kotamadya dengan populasi sekitar 70.000 jiwa. Dengan delapan stasiun pemadam kebakaran dan 190 personel, layanan ini mengidentifikasi 49 skenario risiko, termasuk kebakaran di rumah sakit dan pusat perbelanjaan.

Beberapa kategori risiko yang diidentifikasi dalam kedua layanan ini mencakup kebakaran di laut, kecelakaan transportasi, kebakaran di bangunan tua, serta kebakaran dengan bahan berbahaya. IMFRS-I juga menghadapi risiko kebakaran industri dan kebakaran hutan, sementara IMFRS-II lebih menyoroti ancaman kebakaran di pusat perbelanjaan dan rumah sakit.

Skalasi Sumber Daya dalam Situasi Nyata

Paper ini memberikan contoh bagaimana layanan pemadam kebakaran menggunakan EPA untuk menentukan kebutuhan respons dalam insiden tertentu. Salah satu skenario yang dianalisis adalah kebakaran di bangunan tua yang padat penghuni di IMFRS-I. Dalam fase alarm dan mobilisasi, layanan pemadam kebakaran mengaktifkan alarm dan mengirim unit dalam waktu sekitar 20 menit. Setelah itu, mereka tiba di lokasi dalam waktu empat menit dan langsung melakukan koordinasi respons awal. Dalam tahap pemadaman dan evakuasi, sepuluh petugas tambahan dikerahkan untuk menyelamatkan penghuni dan menahan penyebaran api dalam waktu 15 menit.

Setelah api berhasil dikendalikan, fase stabilisasi berlangsung selama sekitar 80 menit dengan bantuan tanki air tambahan. Terakhir, tahap normalisasi yang mencakup pembersihan dan pemulihan lokasi memakan waktu hingga enam jam dengan bantuan dua petugas konservasi. Data menunjukkan bahwa respons yang lebih cepat dan lebih terorganisir memungkinkan layanan pemadam kebakaran mengendalikan kebakaran dalam waktu yang lebih singkat, mengurangi risiko cedera dan kerusakan properti.

Rekomendasi untuk Peningkatan Kesiapsiagaan Darurat

Berdasarkan temuan penelitian, beberapa rekomendasi utama diberikan. Pertama, menerapkan EPA secara luas dapat membantu layanan pemadam kebakaran di berbagai negara meningkatkan kesiapan mereka. Kedua, diperlukan pengembangan standar nasional untuk perencanaan darurat agar semua layanan pemadam kebakaran dapat menghubungkan analisis risiko dengan pengelolaan sumber daya mereka secara lebih efektif.

Ketiga, peningkatan pelatihan berbasis skenario sangat dianjurkan. Latihan rutin yang berbasis EPA akan membantu memastikan kesiapsiagaan yang lebih baik dalam berbagai skenario darurat. Terakhir, kolaborasi antarinstansi harus diperkuat. Kerja sama antara layanan pemadam kebakaran, pemerintah daerah, dan lembaga tanggap darurat lainnya dapat meningkatkan efektivitas respons dalam menghadapi kebakaran dan keadaan darurat lainnya.

Kesimpulan

Paper Emergency Preparedness Analysis oleh Sommer et al. memberikan wawasan yang mendalam tentang bagaimana EPA dapat digunakan untuk meningkatkan kesiapsiagaan pemadam kebakaran. Dengan menerapkan metode berbasis analisis risiko, layanan pemadam kebakaran dapat lebih efektif dalam mengalokasikan sumber daya mereka dan merancang strategi respons yang lebih optimal.

Penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan EPA memungkinkan layanan pemadam kebakaran menyesuaikan kapasitas mereka dengan skenario risiko spesifik, menghasilkan sistem tanggap darurat yang lebih efisien dan adaptif terhadap tantangan masa depan.

Sumber Artikel

Sommer, M., Rake, E.L., & Botnen, D. (2023). Emergency Preparedness Analysis: Planning the Emergency Response Arrangements for the Fire and Rescue Service. Western Norway University of Applied Sciences.

Selengkapnya
Analisis Kesiapsiagaan dan Perencanaan Respons Darurat Kebakaran

Profesi & Etika

Pendirian Technische Hoogeschool te Bandoeng: Sekolah Tinggi Teknik untuk Hindia Belanda

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 14 Maret 2025


Technische Hoogeschool te Bandoeng (THB), yang kini dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB), merupakan sekolah tinggi teknik pertama di Hindia Belanda. Artikel Pendirian Technische Hoogeschool te Bandoeng: Sekolah Tinggi Teknik untuk Hindia Belanda karya Muhammad Gibran Humam Fadlurrahman mengulas sejarah pendirian THB, latar belakang politik dan ekonomi yang melatarbelakanginya, serta peran THB dalam perkembangan pendidikan teknik di Indonesia.

Artikel ini juga menyoroti peran THB dalam implementasi Politik Etis oleh pemerintah kolonial Belanda serta bagaimana institusi ini menjadi wadah pendidikan bagi insinyur pribumi, termasuk Presiden pertama Indonesia, Ir. Sukarno. Dalam resensi ini, kita akan membahas isi utama artikel, studi kasus terkait pendirian THB, serta relevansinya terhadap pendidikan teknik di Indonesia saat ini.

Sejak akhir abad ke-19, pemerintah kolonial Hindia Belanda menyadari pentingnya tenaga insinyur dalam pembangunan infrastruktur di wilayah jajahan. Beberapa faktor utama yang mendorong pendirian THB antara lain:

  • Tuntutan Politik Etis: Pemerintah kolonial berupaya meningkatkan kesejahteraan pribumi melalui pendidikan, termasuk pendidikan teknik.
  • Kebutuhan insinyur sipil: Setelah diterapkannya Agrarische Wet 1870, terjadi lonjakan pembangunan yang membutuhkan tenaga insinyur lokal.
  • Keinginan memperkuat ekonomi kolonial: Pendidikan teknik dipandang sebagai cara untuk meningkatkan efisiensi pembangunan tanpa terlalu bergantung pada insinyur dari Belanda.

Pada tahun 1919, dewan asosiasi Koninklijk Instituut voor Hooger Technisch Onderwijs in Nederlandsch-Indie didirikan untuk merancang dan mendanai pendirian sekolah tinggi teknik di Hindia Belanda. Setelah mempertimbangkan beberapa lokasi, akhirnya diputuskan bahwa THB akan dibangun di Bandung.

Beberapa tokoh penting yang berperan dalam pendirian THB antara lain:

  • K.A.R. Bosscha, seorang pengusaha teh yang menyumbangkan dana besar untuk pembangunan THB.
  • J.W. Ijzerman, insinyur perkeretaapian yang turut merancang kurikulum awal THB.
  • Prof. Ir. J. Klopper, rektor pertama THB yang menyusun sistem pendidikan berbasis kurikulum Technische Hoogeschool te Delft di Belanda.

Selain itu, banyak pengusaha dan pejabat kolonial yang terlibat dalam pendanaan dan perencanaan akademik THB untuk memastikan sekolah ini mampu mencetak insinyur yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan di Hindia Belanda.

Pemilihan lokasi Bandung sebagai tempat pendirian THB bukan tanpa alasan. Beberapa faktor yang mendukung keputusan ini meliputi:

  • Iklim yang lebih kondusif untuk pendidikan dibandingkan Batavia (Jakarta) yang panas dan lembap.
  • Pembangunan kota yang pesat, yang sejalan dengan upaya modernisasi Hindia Belanda.
  • Dukungan dari pemerintah kota Bandung, terutama dari Wali Kota Bertus Coops yang menawarkan lahan seluas 30 hektare untuk kampus THB.

Pembangunan THB dimulai pada 1919 dengan desain yang dibuat oleh Henri Maclaine Pont, seorang arsitek terkenal yang mengusung perpaduan arsitektur kolonial dengan elemen lokal.

THB resmi dibuka pada 3 Juli 1920, menjadi institusi pendidikan teknik pertama di Hindia Belanda. Pada tahun pertamanya, THB menerima 28 mahasiswa, terdiri dari:

  • 21 mahasiswa Eropa (termasuk beberapa perempuan)
  • 1 mahasiswa pribumi
  • 4 mahasiswa Tionghoa

Tahun berikutnya, jumlah mahasiswa pribumi meningkat, salah satunya adalah Ir. Sukarno, yang kelak menjadi Presiden pertama Republik Indonesia. Sukarno belajar di THB dari tahun 1921 hingga lulus pada 1926 dengan gelar insinyur teknik sipil.

Sukarno dikenal sebagai mahasiswa yang cerdas, tetapi ia juga aktif dalam pergerakan politik, yang menyebabkan beberapa ketegangan dengan pihak kampus. Salah satu dosennya, C.P. Wolff Schoemaker, memiliki hubungan dekat dengan Sukarno dan mengajaknya bekerja di biro arsiteknya setelah lulus.

Dampak THB terhadap Pendidikan Teknik di Indonesia

1. Kontribusi THB dalam Modernisasi Infrastruktur

Sejak didirikan, THB memainkan peran penting dalam mencetak insinyur yang berkontribusi dalam proyek-proyek besar di Hindia Belanda, seperti:

  • Pembangunan sistem irigasi untuk perkebunan
  • Perancangan jaringan jalan dan kereta api
  • Pengembangan sistem sanitasi di kota-kota besar

2. Transformasi THB menjadi ITB

Setelah Indonesia merdeka, THB berubah nama menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1959. Sejak saat itu, ITB terus berkembang menjadi salah satu institusi pendidikan teknik terkemuka di Asia Tenggara.

Beberapa fakta menarik tentang transformasi ini:

  • Pada 1950, THB bergabung dengan Universitas Indonesia sebelum akhirnya menjadi ITB pada 2 Maret 1959.
  • ITB menjadi pusat inovasi teknologi, dengan alumninya yang berperan penting dalam pembangunan Indonesia.
  • Lulusan ITB banyak menjadi tokoh nasional, termasuk beberapa Presiden Indonesia seperti B.J. Habibie dan Joko Widodo.

Relevansi Pendirian THB dalam Konteks Pendidikan Teknik Saat Ini

1. Pentingnya Pendidikan Teknik dalam Pembangunan Nasional

Seperti halnya pendirian THB yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan insinyur di Hindia Belanda, pendidikan teknik saat ini tetap menjadi elemen kunci dalam pembangunan Indonesia. Beberapa tantangan modern yang dihadapi pendidikan teknik meliputi:

  • Kebutuhan akan SDM berkualitas dalam industri 4.0
  • Integrasi teknologi digital dalam kurikulum teknik
  • Peningkatan kolaborasi antara universitas dan industri

2. Peran ITB sebagai Penerus Warisan THB

ITB saat ini terus berupaya mempertahankan posisinya sebagai universitas teknik terbaik di Indonesia dengan:

  • Meningkatkan riset dan inovasi dalam teknologi
  • Menjalin kerja sama internasional dengan institusi terkemuka
  • Mengembangkan program studi yang relevan dengan kebutuhan industri modern

Artikel Pendirian Technische Hoogeschool te Bandoeng: Sekolah Tinggi Teknik untuk Hindia Belanda memberikan wawasan mendalam tentang sejarah pendirian THB dan perannya dalam membentuk pendidikan teknik di Indonesia. Beberapa poin utama yang dapat disimpulkan adalah:

  • THB didirikan sebagai bagian dari Politik Etis dan kebutuhan pembangunan di Hindia Belanda.
  • Kota Bandung dipilih sebagai lokasi karena faktor geografis dan dukungan pemerintah lokal.
  • THB menjadi institusi penting yang mencetak insinyur berkualitas, termasuk Ir. Sukarno.
  • Transformasi THB menjadi ITB memperkuat peran Indonesia dalam inovasi teknologi.

Dengan memahami sejarah pendirian THB, kita dapat melihat bagaimana pendidikan teknik telah berkembang dan terus berperan penting dalam pembangunan Indonesia.

Sumber: Muhammad Gibran Humam Fadlurrahman. Pendirian Technische Hoogeschool te Bandoeng: Sekolah Tinggi Teknik untuk Hindia Belanda. Volume 14, No. 2, 2023.

 

Selengkapnya
Pendirian Technische Hoogeschool te Bandoeng: Sekolah Tinggi Teknik untuk Hindia Belanda

Keselamatan Kerja

Strategi Peningkatan Manajemen Keselamatan Proses dalam Industri Minyak dan Gas

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 14 Maret 2025


Keselamatan dalam industri minyak dan gas merupakan aspek krusial yang berpengaruh pada keselamatan pekerja, aset perusahaan, serta lingkungan. Artikel oleh Adikwu et al. (2024) membahas pendekatan Process Safety Management (PSM) dalam memitigasi risiko operasional dan meningkatkan keselamatan kerja. Dengan tingginya tingkat kecelakaan yang terjadi di sektor ini akibat kebakaran, ledakan, dan kebocoran gas beracun, implementasi PSM yang efektif menjadi kunci dalam mengurangi risiko.

Studi Kasus dan Data Statistik

Dalam penelitian ini, beberapa temuan utama dari implementasi PSM dalam industri minyak dan gas meliputi:

  • Reduksi tingkat kecelakaan sebesar 40% pada perusahaan yang menerapkan sistem PSM berbasis digital.
  • Peningkatan efisiensi operasional hingga 25% dengan penggunaan pemeliharaan prediktif berbasis AI.
  • 90% perusahaan yang mengadopsi strategi keselamatan berbasis budaya melaporkan peningkatan kepatuhan regulasi.

Data ini menunjukkan bahwa pendekatan berbasis teknologi dan budaya keselamatan yang kuat dapat meningkatkan keselamatan dan kepatuhan terhadap regulasi industri.

Komponen Utama dalam Manajemen Keselamatan Proses

1. Analisis Bahaya Proses (Process Hazard Analysis - PHA)

  • Mengidentifikasi potensi bahaya dalam fasilitas minyak dan gas.
  • Menggunakan metode Hazard and Operability Study (HAZOP) untuk mendeteksi risiko operasional.

2. Investigasi Insiden dan Manajemen Perubahan

  • Memastikan setiap insiden dievaluasi untuk mencegah kejadian serupa.
  • Manajemen perubahan diterapkan untuk menilai dampak setiap modifikasi dalam sistem.

3. Integritas Mekanis dan Pemeliharaan Prediktif

  • Menjaga keandalan peralatan dengan inspeksi berkala.
  • Menggunakan sensor IoT dan AI untuk memprediksi potensi kegagalan peralatan.

4. Budaya Keselamatan dan Kepemimpinan

  • Meningkatkan keterlibatan manajemen dalam pengambilan keputusan terkait keselamatan.
  • Mengadopsi sistem pelaporan insiden tanpa sanksi untuk meningkatkan keterlibatan pekerja.

Tantangan dalam Implementasi PSM

Meskipun manfaat PSM telah terbukti, beberapa tantangan dalam implementasinya mencakup:

  • Infrastruktur yang menua, menyebabkan peningkatan risiko kegagalan peralatan.
  • Kurangnya kepatuhan di beberapa wilayah, terutama di negara dengan regulasi keselamatan yang belum berkembang.
  • Hambatan dalam adopsi teknologi baru, karena biaya tinggi dan resistensi dari pekerja.

Rekomendasi untuk Meningkatkan Keselamatan dalam Industri Minyak dan Gas

  1. Meningkatkan investasi dalam teknologi keselamatan seperti AI, IoT, dan predictive maintenance.
  2. Memperkuat regulasi dan kepatuhan industri, dengan keterlibatan lebih besar dari otoritas pengawas.
  3. Menerapkan pelatihan keselamatan berkelanjutan untuk semua level pekerja.
  4. Mengintegrasikan sistem pelaporan insiden yang transparan, sehingga pekerja dapat melaporkan masalah tanpa rasa takut.

Kesimpulan

Dengan mengadopsi pendekatan berbasis teknologi, budaya keselamatan, dan kepemimpinan yang kuat, industri minyak dan gas dapat secara signifikan mengurangi risiko kecelakaan dan meningkatkan efisiensi operasional. Studi ini menekankan pentingnya keseimbangan antara teknologi dan pengawasan manusia dalam menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman.

Sumber: Adikwu, F. E., Esiri, A. E., Aderamo, A. T., Akano, O. A., & Erhueh, O. V. (2024). ‘Advancing Process Safety Management Systems in the Oil and Gas Industry: Strategies for Risk Mitigation’. World Journal of Engineering and Technology Research, 03(02), 001–010.

Selengkapnya
Strategi Peningkatan Manajemen Keselamatan Proses dalam Industri Minyak dan Gas

Profesi & Etika

Etika Profesional Pengembangan Teknologi Informasi Serta Tanggung Jawab di PT Anugrah Bungo Lestari

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 14 Maret 2025


Di era digital yang terus berkembang, etika profesional dalam teknologi informasi (TI) menjadi isu yang sangat penting bagi perusahaan. Jurnal Etika Profesional Pengembangan Teknologi Informasi Serta Tanggung Jawab di PT Anugrah Bungo Lestari membahas bagaimana perusahaan di sektor industri karet menerapkan prinsip etika dalam pengelolaan teknologi informasi mereka. Dengan meningkatnya adopsi teknologi untuk efisiensi bisnis, perusahaan menghadapi tantangan dalam menjaga integritas, transparansi, dan perlindungan data pelanggan.

Jurnal ini menyoroti berbagai aspek etika profesional dalam pengembangan TI, termasuk perlindungan data pribadi, tanggung jawab sosial, transparansi, serta kepatuhan terhadap regulasi. Melalui studi kasus di PT Anugrah Bungo Lestari, penelitian ini memberikan wawasan berharga tentang dampak etika TI terhadap kepercayaan pelanggan dan lingkungan kerja yang positif.

Seiring dengan meningkatnya peran TI dalam bisnis, banyak perusahaan menghadapi dilema etika dalam pengelolaan data dan penerapan sistem teknologi. Tujuan utama jurnal ini adalah:

  • Mengeksplorasi tanggung jawab moral dan implikasi etika dalam pengembangan TI.
  • Menganalisis bagaimana etika profesional diterapkan di PT Anugrah Bungo Lestari.
  • Menyediakan rekomendasi strategis untuk meningkatkan penerapan etika dalam praktik TI.

Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan kualitatif dengan metode berikut:

  • Wawancara semi-terstruktur dengan manajer TI dan staf.
  • Analisis dokumen internal seperti kebijakan privasi dan pedoman etika.
  • Studi kasus proyek TI di PT Anugrah Bungo Lestari.

Data yang dikumpulkan dianalisis menggunakan metode tematik untuk mengidentifikasi pola utama terkait penerapan etika dalam TI.

Penerapan Etika TI di PT Anugrah Bungo Lestari

1. Perlindungan Data Pribadi

Sebagai perusahaan yang memanfaatkan teknologi dalam pengelolaan data pelanggan, PT Anugrah Bungo Lestari menerapkan kebijakan privasi untuk melindungi informasi sensitif. Beberapa langkah utama yang dilakukan perusahaan meliputi:

  • Keamanan data: Penggunaan enkripsi dan firewall untuk mencegah akses tidak sah.
  • Kepatuhan regulasi: Mengacu pada UU Perlindungan Data Pribadi di Indonesia.
  • Kepercayaan pelanggan: Transparansi dalam bagaimana data dikumpulkan dan digunakan.

Namun, penelitian menunjukkan bahwa masih ada beberapa tantangan dalam implementasi kebijakan ini, terutama dalam memastikan bahwa seluruh karyawan memahami dan mematuhi standar yang ditetapkan.

2. Transparansi dalam Pengelolaan Teknologi

Transparansi menjadi salah satu prinsip utama dalam etika TI. PT Anugrah Bungo Lestari berusaha untuk menerapkan keterbukaan dalam:

  • Komunikasi dengan pelanggan: Menjelaskan bagaimana data mereka digunakan.
  • Proses pengembangan perangkat lunak: Menyediakan informasi mengenai metode yang digunakan dalam sistem manajemen TI.
  • Tanggung jawab sosial: Menggunakan teknologi untuk meningkatkan efisiensi tanpa merugikan lingkungan dan masyarakat.

3. Penerapan Etika dalam Proyek TI

Jurnal ini membahas bagaimana PT Anugrah Bungo Lestari menghadapi dilema etika dalam pengembangan proyek TI mereka. Beberapa aspek yang menjadi perhatian utama adalah:

  • Kejujuran dalam laporan proyek: Menghindari manipulasi data untuk mendapatkan keuntungan tertentu.
  • Tanggung jawab sosial perusahaan: Memastikan teknologi yang dikembangkan tidak merugikan masyarakat sekitar.
  • Prinsip keadilan: Tidak ada diskriminasi dalam pengambilan keputusan terkait proyek TI.

UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di Indonesia mengatur berbagai aspek penggunaan TI, termasuk perlindungan data pribadi dan transaksi elektronik. Pelanggaran terhadap regulasi ini dapat menyebabkan:

  • Denda dan sanksi hukum bagi perusahaan yang tidak mematuhi aturan perlindungan data.
  • Kerusakan reputasi akibat kebocoran informasi pelanggan.
  • Krisis kepercayaan di kalangan konsumen.

Jurnal ini juga menyoroti bagaimana penerapan etika dalam TI berdampak pada budaya kerja perusahaan. Dengan lingkungan kerja yang lebih etis:

  • Karyawan merasa lebih dihargai, yang meningkatkan loyalitas dan produktivitas mereka.
  • Kolaborasi antar tim menjadi lebih baik, karena adanya kejelasan dalam aturan dan nilai perusahaan.
  • Pengambilan keputusan lebih transparan, sehingga mengurangi konflik internal.

Teknologi seperti Artificial Intelligence (AI) dan Big Data kini memainkan peran besar dalam pengelolaan bisnis. Namun, tanpa regulasi yang jelas, teknologi ini bisa disalahgunakan. Oleh karena itu, penting bagi perusahaan untuk:

  • Menggunakan AI secara etis, misalnya dalam pemrosesan data pelanggan tanpa diskriminasi.
  • Menerapkan Big Data secara bertanggung jawab, tanpa melanggar hak privasi individu.
  • Memastikan transparansi dalam algoritma, agar tidak ada bias dalam pengambilan keputusan berbasis teknologi.

Jurnal Etika Profesional Pengembangan Teknologi Informasi Serta Tanggung Jawab di PT Anugrah Bungo Lestari memberikan wawasan mendalam tentang pentingnya etika dalam dunia teknologi informasi. Beberapa pelajaran utama yang dapat diambil dari penelitian ini adalah:

  • Penerapan etika TI bukan hanya mencegah masalah hukum, tetapi juga meningkatkan kepercayaan pelanggan.
  • Transparansi dalam pengelolaan data dan sistem TI harus menjadi prioritas utama.
  • Perusahaan harus terus mengedukasi karyawan tentang pentingnya kepatuhan terhadap kode etik TI.
  • Regulasi dan standar industri harus diperkuat untuk memastikan bahwa teknologi digunakan secara etis dan bertanggung jawab.

Dengan semakin berkembangnya teknologi, etika profesional di bidang TI akan menjadi faktor kunci dalam menentukan keberlanjutan dan kesuksesan perusahaan di masa depan.

Sumber: M. Miftahul Khoiri, Ade Agung Kurniawan, Muhlishatun Niswah. Etika Profesional Pengembangan Teknologi Informasi Serta Tanggung Jawab di PT Anugrah Bungo Lestari. Jurnal Juptik, Vol. 2 No.2 (2024), Hal. 60-67.

Selengkapnya
Etika Profesional Pengembangan Teknologi Informasi Serta Tanggung Jawab di PT Anugrah Bungo Lestari

Profesi & Etika

Profesionalisme Keinsinyuran dalam Penerapan Kontrak Kerja Subkontraktor terhadap Pelaksanaan di Proyek Swasta Tasikmalaya

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 14 Maret 2025


Dalam dunia konstruksi, penerapan kontrak kerja antara kontraktor utama (main contractor) dan subkontraktor menjadi elemen kunci dalam memastikan proyek berjalan sesuai rencana. Laporan Profesionalisme Keinsinyuran dalam Penerapan Kontrak Kerja Subkontraktor terhadap Pelaksanaan di Proyek Swasta Tasikmalaya karya M. Ali Hanafiah membahas bagaimana kontrak kerja ini diterapkan di lapangan serta tantangan yang dihadapi dalam implementasinya.

Laporan ini mengulas pentingnya pengawasan berkala dalam pelaksanaan proyek, menganalisis kesesuaian antara kontrak awal dan realisasi di lapangan, serta memberikan wawasan mengenai dinamika kerja antara kontraktor dan subkontraktor dalam proyek konstruksi. Dalam resensi ini, kita akan membahas isi utama laporan, studi kasus dari proyek di Tasikmalaya, serta pelajaran yang dapat diambil untuk meningkatkan efisiensi proyek konstruksi.

Laporan ini bertujuan untuk memahami bagaimana kontrak kerja antara main contractor dan subkontraktor diimplementasikan dalam proyek konstruksi swasta di Tasikmalaya. Beberapa aspek utama yang dibahas meliputi:

  • Struktur organisasi proyek konstruksi.
  • Kesepakatan kontrak antara kontraktor utama dan subkontraktor.
  • Evaluasi pekerjaan tambah dan kurang dalam proyek.
  • Pengaruh addendum kontrak terhadap pelaksanaan proyek.

Penelitian ini menggunakan metode observasi lapangan, wawancara dengan pihak terkait, serta analisis dokumentasi kontrak kerja dan laporan proyek. Data yang dikumpulkan kemudian dibandingkan dengan standar industri untuk mengidentifikasi kesenjangan dalam implementasi kontrak.

Penerapan Kontrak Subkontraktor di Proyek Tasikmalaya

1. Ketidaksesuaian Volume Pekerjaan dengan Kontrak Awal

Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa 69,23% subkontraktor mengalami perubahan volume pekerjaan yang tidak sesuai dengan kontrak awal. Ini terjadi karena adanya modifikasi desain, perubahan spesifikasi material, serta kondisi lapangan yang tidak terduga.

Dampaknya:

  • Subkontraktor harus melakukan pekerjaan tambahan tanpa persiapan awal.
  • Risiko keterlambatan proyek meningkat karena perubahan pekerjaan yang terus terjadi.
  • Meningkatnya potensi sengketa antara kontraktor utama dan subkontraktor.

Sebaliknya, 30,77% subkontraktor tetap sesuai dengan kontrak awal, sehingga tidak ada pekerjaan tambahan atau pengurangan.

2. Tantangan dalam Implementasi Kontrak

Beberapa tantangan yang diidentifikasi dalam laporan ini meliputi:

  • Kurangnya koordinasi antara main contractor dan subkontraktor, terutama dalam perubahan pekerjaan di lapangan.
  • Kurangnya kontrol berkala terhadap pekerjaan subkontraktor, yang menyebabkan perbedaan antara rencana awal dan realisasi di lapangan.
  • Kurangnya kepastian hukum dalam addendum kontrak, yang dapat menyebabkan konflik terkait biaya tambahan dan tanggung jawab kerja.

3. Proses Addendum dan Kerja Tambah Kurang

Dalam proyek konstruksi, perubahan pekerjaan sering kali membutuhkan addendum kontrak. Laporan ini menemukan bahwa banyak perubahan di proyek Tasikmalaya tidak selalu didokumentasikan dengan baik, sehingga menghambat kejelasan tanggung jawab antara pihak-pihak yang terlibat.

Implikasi dari masalah ini:

  • Subkontraktor sering kali tidak mendapatkan pembayaran yang sesuai dengan pekerjaan tambahan yang telah dilakukan.
  • Perubahan desain tanpa dokumentasi yang jelas dapat menyebabkan konflik antara pemilik proyek, kontraktor utama, dan subkontraktor.
  • Kualitas proyek dapat menurun jika perubahan pekerjaan dilakukan tanpa analisis teknis yang matang.

Relevansi dan Pelajaran dari Kasus Ini

1. Pentingnya Pengawasan Berkala terhadap Pelaksanaan Kontrak

Salah satu temuan utama laporan ini adalah pentingnya kontrol berkala terhadap pekerjaan subkontraktor. Dengan pengawasan yang ketat, proyek dapat berjalan lebih efisien dan risiko ketidaksesuaian dengan kontrak awal dapat diminimalkan.

2. Transparansi dalam Perubahan Kontrak

Agar proyek berjalan dengan lancar, semua perubahan pekerjaan harus didokumentasikan dengan baik dalam bentuk addendum kontrak. Hal ini penting untuk mencegah:

  • Kesalahpahaman antara kontraktor utama dan subkontraktor.
  • Sengketa pembayaran atas pekerjaan tambahan.
  • Penurunan kualitas proyek akibat perubahan yang tidak terencana.

3. Penerapan Standar Kontrak yang Lebih Kuat

Kontrak kerja harus mencakup:

  • Ketentuan yang jelas terkait perubahan pekerjaan dan prosedur persetujuannya.
  • Mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif.
  • Persyaratan pembayaran yang transparan untuk pekerjaan tambahan.

4. Hubungan dengan Tren Industri Konstruksi

Dalam industri konstruksi modern, penerapan teknologi Building Information Modeling (BIM) dapat membantu mengurangi ketidaksesuaian antara rencana proyek dan realisasi di lapangan. Dengan BIM, semua perubahan dapat dianalisis secara digital sebelum diterapkan di lapangan, sehingga mengurangi kebutuhan akan pekerjaan tambah kurang yang tidak terduga.

Laporan Profesionalisme Keinsinyuran dalam Penerapan Kontrak Kerja Subkontraktor terhadap Pelaksanaan di Proyek Swasta Tasikmalaya memberikan wawasan penting tentang dinamika kerja antara kontraktor utama dan subkontraktor dalam proyek konstruksi. Dari laporan ini, kita dapat menarik beberapa pelajaran utama:

  • Kontrol berkala sangat penting dalam memastikan proyek berjalan sesuai rencana.
  • Dokumentasi perubahan pekerjaan harus dilakukan dengan transparan untuk menghindari sengketa.
  • Kontrak kerja harus dirancang dengan jelas, mencakup ketentuan terkait perubahan pekerjaan dan mekanisme pembayaran.
  • Penerapan teknologi seperti BIM dapat membantu mengurangi tantangan dalam perubahan pekerjaan di lapangan.

Laporan ini menjadi referensi yang berharga bagi para profesional di industri konstruksi untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi dalam pengelolaan kontrak kerja.

Sumber: M. Ali Hanafiah. Profesionalisme Keinsinyuran dalam Penerapan Kontrak Kerja Subkontraktor terhadap Pelaksanaan di Proyek Swasta Tasikmalaya. Universitas Katolik Soegijapranata, April 2023.

 

Selengkapnya
Profesionalisme Keinsinyuran dalam Penerapan Kontrak Kerja Subkontraktor terhadap Pelaksanaan di Proyek Swasta Tasikmalaya

Keselamatan Kebakaran

Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Keselamatan Kebakaran Penghuni

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 14 Maret 2025


Keselamatan kebakaran di bangunan tempat tinggal merupakan isu kritis yang sering kali dipengaruhi oleh perilaku penghuni. Studi ini mengkaji berbagai elemen yang berkontribusi terhadap kesiapsiagaan penghuni dalam menghadapi kebakaran, termasuk faktor usia, gangguan fisik dan mental, tingkat pengetahuan tentang kebakaran, serta faktor sosial ekonomi. Dengan menggunakan metodologi meta-analysis, penelitian ini mengumpulkan dan menganalisis temuan dari berbagai sumber untuk memberikan wawasan yang lebih dalam tentang bagaimana penghuni merespons situasi kebakaran.

Faktor Risiko Personal dalam Keselamatan Kebakaran

1. Pengaruh Usia terhadap Perilaku Keselamatan Kebakaran

  • Penghuni lanjut usia (di atas 65 tahun) lebih rentan terhadap kebakaran karena keterbatasan mobilitas dan penurunan kognitif.
  • Studi menemukan bahwa orang tua sering kurang menyadari risiko kebakaran dan memiliki reaksi yang lebih lambat saat terjadi kebakaran (Karemaker et al., 2021).
  • Sebaliknya, anak-anak dan remaja (usia 18–24 tahun) lebih cenderung terlibat dalam perilaku yang berisiko, seperti bermain dengan sumber api atau tidak mengikuti prosedur evakuasi yang tepat.

2. Dampak Gangguan Fisik dan Mental dalam Situasi Kebakaran

  • Individu dengan gangguan penglihatan, pendengaran, atau mobilitas mengalami kesulitan dalam merespons tanda bahaya kebakaran.
  • Mereka membutuhkan dukungan tambahan, seperti tanda evakuasi dalam Braille atau sistem alarm dengan getaran dan pencahayaan khusus (Egodage et al., 2020).
  • Orang dengan gangguan kognitif, seperti demensia, lebih sulit memahami instruksi evakuasi, yang meningkatkan risiko cedera atau kematian.

3. Pengetahuan dan Pengalaman dalam Menghadapi Kebakaran

  • Penghuni yang pernah mengalami kebakaran cenderung lebih siap dan memiliki rencana keselamatan yang lebih baik.
  • Studi menemukan bahwa individu yang aktif dalam komunitas gedung tempat tinggal mereka lebih cenderung memiliki kesadaran tinggi akan prosedur keselamatan kebakaran (Glauberman, 2020).
  • Latihan kebakaran di sekolah atau tempat kerja terbukti meningkatkan kesiapan individu dalam menghadapi situasi darurat.

4. Persepsi Risiko dan Pengambilan Keputusan

  • Penghuni yang tinggal di lantai bawah sering kali memiliki persepsi risiko kebakaran yang lebih rendah dibandingkan mereka yang tinggal di lantai atas.
  • Banyak individu cenderung menunggu reaksi orang lain sebelum memutuskan untuk mengevakuasi diri, yang dapat menyebabkan keterlambatan dan kepadatan dalam jalur evakuasi (Gerges, 2020).
  • Studi juga menunjukkan bahwa ketakutan terhadap rasa malu atau penilaian sosial dapat menyebabkan seseorang enggan bereaksi cepat dalam situasi darurat.

Faktor Risiko Umum dalam Keselamatan Kebakaran

1. Akses dan Jalur Evakuasi

  • Kompleksitas desain bangunan multi-penghuni sering kali membingungkan penghuni saat keadaan darurat.
  • Banyak penghuni lebih memilih menggunakan jalur keluar yang familiar, meskipun ada opsi evakuasi yang lebih aman dan efisien (Gerges, 2020; Kurdi et al., 2018).

2. Rencana Evakuasi dan Instruksi Keselamatan

  • Penelitian menunjukkan bahwa banyak penghuni tidak memahami atau bahkan tidak mengetahui rencana evakuasi yang ada di gedung mereka.
  • Bencana kebakaran Grenfell Tower 2017 di Inggris menjadi contoh bagaimana kurangnya komunikasi dan pemahaman terhadap instruksi evakuasi dapat meningkatkan jumlah korban jiwa (Arewa et al., 2021).

3. Ketersediaan dan Pemanfaatan Peralatan Keselamatan Kebakaran

  • Alarm asap adalah alat keselamatan paling umum, tetapi banyak rumah tangga, terutama dengan penghasilan rendah, tidak memilikinya atau tidak memelihara alat ini dengan baik (Tannous & Agho, 2019).
  • Penghuni sering kali mencoba memadamkan api sendiri sebelum menghubungi pemadam kebakaran, sering kali karena rasa malu atau takut mendapat masalah (Wales, 2021).

4. Kepadatan dan Hambatan saat Evakuasi

  • Bangunan dengan kepadatan penghuni yang tinggi lebih rentan terhadap antrean panjang dan kepadatan saat evakuasi, yang dapat menyebabkan cedera tambahan.
  • Studi menemukan bahwa penghuni sering kali mengikuti orang lain ke jalur yang paling ramai, bukannya mencari jalur alternatif yang lebih cepat dan aman (Gerges et al., 2021).

5. Penggunaan Teknologi dalam Keselamatan Kebakaran

  • Smartphone menjadi alat penting dalam komunikasi darurat, tetapi penggunaannya dapat menghambat evakuasi jika orang lebih fokus merekam kebakaran daripada menyelamatkan diri (Gerges, 2020).
  • Sistem komunikasi suara langsung lebih efektif dibandingkan dengan pengumuman rekaman dalam memberikan instruksi evakuasi kepada penghuni.

Rekomendasi untuk Meningkatkan Keselamatan Kebakaran

  1. Meningkatkan Kesadaran dan Pelatihan Keselamatan
    • Pelatihan rutin dan kampanye edukasi dapat membantu penghuni memahami risiko dan prosedur keselamatan dengan lebih baik.
  2. Peningkatan Infrastruktur Keselamatan
    • Memastikan bahwa semua jalur evakuasi bersih dari hambatan dan memiliki tanda yang jelas.
    • Menyediakan alat pemadam kebakaran yang mudah diakses dan sesuai dengan kebutuhan penghuni, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik.
  3. Optimalisasi Sistem Komunikasi Darurat
    • Menggunakan sistem komunikasi suara langsung dalam gedung untuk memberikan instruksi evakuasi secara real-time.
    • Menerapkan teknologi berbasis AI untuk mendeteksi kebakaran lebih awal dan memberikan peringatan lebih cepat kepada penghuni.
  4. Meningkatkan Regulasi dan Kepatuhan
    • Mengembangkan standar keselamatan yang lebih ketat untuk bangunan multi-penghuni, terutama dalam aspek evakuasi dan pemeliharaan peralatan keselamatan.

Kesimpulan

Paper Influences on Resident’s Fire Safety Behaviours: An Evidence Review memberikan wawasan yang komprehensif tentang bagaimana berbagai faktor—baik pribadi maupun lingkungan—mempengaruhi respons penghuni terhadap kebakaran. Dengan memahami faktor-faktor ini, langkah-langkah yang lebih efektif dapat diambil untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan keselamatan penghuni dalam situasi darurat.

Sumber Artikel

Allen Jones, A. (2022). Influences on Resident’s Fire Safety Behaviours: An Evidence Review. Cardiff: Welsh Government, GSR report number 10/2023.

Selengkapnya
Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Keselamatan Kebakaran Penghuni
« First Previous page 65 of 865 Next Last »