Pertanian

Jaring Makanan: Jenis dan Sejarah

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 11 Juni 2024


Jenis-jenis jaring-jaring makanan

Jaring-jaring makanan harus dikumpulkan dan hanya menggambarkan sebagian kecil dari kompleksitas ekosistem yang sebenarnya. Sebagai contoh, jumlah spesies di planet ini kemungkinan besar berada pada urutan umum 107, lebih dari 95% dari spesies ini terdiri dari mikroba dan invertebrata, dan relatif sedikit yang telah diberi nama atau diklasifikasikan oleh para ahli taksonomi. Secara eksplisit dipahami bahwa sistem alam itu 'ceroboh' dan bahwa posisi trofik jaring-jaring makanan menyederhanakan kompleksitas sistem nyata yang terkadang terlalu menekankan banyak interaksi yang jarang terjadi. Sebagian besar penelitian berfokus pada pengaruh yang lebih besar di mana sebagian besar transfer energi terjadi. “Kelalaian dan masalah ini menjadi perhatian, tetapi berdasarkan bukti yang ada, tidak ada kesulitan yang tidak dapat diatasi.”

Ada berbagai jenis atau kategori jaring-jaring makanan:

  • Jaring-jaring sumber - satu atau lebih simpul, semua pemangsa mereka, semua makanan yang dimakan oleh pemangsa ini, dan seterusnya.
  • Jaring-jaring makanan (sink web) - satu atau beberapa simpul, semua mangsanya, semua makanan yang dimakan oleh mangsa, dan seterusnya.
  • Jaring komunitas (atau keterhubungan) - sekelompok simpul dan semua hubungan siapa yang memakan siapa.
  • Jaring aliran energi - aliran energi yang terukur di antara simpul-simpul di sepanjang hubungan antara sumber daya dan konsumen.
  • Jejaring paleoekologi - jejaring yang merekonstruksi ekosistem dari catatan fosil.
  • Jaring fungsional - menekankan signifikansi fungsional dari hubungan tertentu yang memiliki kekuatan interaksi yang kuat dan pengaruh yang lebih besar terhadap organisasi masyarakat, lebih dari jalur aliran energi. Jaring fungsional memiliki kompartemen, yang merupakan sub-kelompok dalam jaringan yang lebih besar dengan kepadatan dan kekuatan interaksi yang berbeda. Jaring-jaring fungsional menekankan bahwa “pentingnya setiap populasi dalam menjaga keutuhan suatu komunitas tercermin dari pengaruhnya terhadap tingkat pertumbuhan populasi lain.”: 511 

Dalam kategori ini, jaring-jaring makanan dapat diatur lebih lanjut sesuai dengan berbagai jenis ekosistem yang sedang diselidiki. Misalnya, jaring makanan manusia, jaring makanan pertanian, jaring makanan detrital, jaring makanan laut, jaring makanan akuatik, jaring makanan tanah, jaring makanan Arktik (atau kutub), jaring makanan terestrial, dan jaring makanan mikroba. Karakterisasi ini berasal dari konsep ekosistem, yang mengasumsikan bahwa fenomena yang sedang diselidiki (interaksi dan umpan balik) cukup untuk menjelaskan pola di dalam batas-batas, seperti tepi hutan, pulau, garis pantai, atau beberapa karakteristik fisik yang jelas.

  • Jaring detrital

Dalam jaring detrital, materi tumbuhan dan hewan diuraikan oleh pengurai, misalnya bakteri dan jamur, dan berpindah ke detritivora dan kemudian ke karnivora. Sering kali terdapat hubungan antara jaring detrital dan jaring penggembalaan. Jamur yang dihasilkan oleh pengurai di jaring detrital menjadi sumber makanan bagi rusa, tupai, dan tikus di jaring penggembalaan. Cacing tanah yang dimakan oleh burung robin adalah detritivora yang memakan daun-daun yang membusuk.

"Detritus dapat didefinisikan secara luas sebagai segala bentuk bahan organik tak hidup, termasuk berbagai jenis jaringan tanaman (misalnya serasah daun, kayu mati, makrofita akuatik, ganggang), jaringan hewan (bangkai), mikroba mati, kotoran (pupuk kandang, kotoran, pelet feses, guano, frass), serta produk yang dikeluarkan, diekskresikan, atau dipancarkan dari organisme (misalnya g. polimer ekstra seluler, nektar, eksudat dan lindi akar, bahan organik terlarut, matriks ekstra seluler, lendir). Pentingnya bentuk-bentuk detritus ini, dalam hal asal, ukuran, dan komposisi kimia, bervariasi di seluruh ekosistem.": 585 

Jaring-jaring makanan kuantitatif

Ahli ekologi mengumpulkan data tentang tingkat trofik dan jaring-jaring makanan untuk memodelkan secara statistik dan menghitung parameter secara matematis, seperti yang digunakan dalam jenis analisis jaringan lainnya (misalnya, teori graf), untuk mempelajari pola dan sifat yang muncul dan dimiliki bersama di antara ekosistem. Ada beberapa dimensi ekologi yang dapat dipetakan untuk membuat jaring-jaring makanan yang lebih rumit, termasuk: komposisi spesies (jenis spesies), kekayaan (jumlah spesies), biomassa (berat kering tanaman dan hewan), produktivitas (tingkat konversi energi dan nutrisi ke dalam pertumbuhan), dan stabilitas (jaringan makanan dari waktu ke waktu). Diagram jaring makanan yang menggambarkan komposisi spesies menunjukkan bagaimana perubahan pada satu spesies dapat secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi banyak spesies lainnya. Studi mikrokosmos digunakan untuk menyederhanakan penelitian jaring makanan ke dalam unit semi-terisolasi seperti mata air kecil, batang kayu yang membusuk, dan eksperimen laboratorium menggunakan organisme yang bereproduksi dengan cepat, seperti daphnia yang memakan ganggang yang tumbuh di bawah lingkungan terkontrol dalam stoples berisi air.

Meskipun kompleksitas hubungan jaring-jaring makanan yang sebenarnya sulit untuk diuraikan, para ahli ekologi telah menemukan model matematika pada jaringan sebagai alat yang sangat berharga untuk mendapatkan wawasan tentang struktur, stabilitas, dan hukum perilaku jaring-jaring makanan relatif terhadap hasil yang dapat diamati. “Teori jejaring makanan berpusat pada gagasan keterhubungan.”: 1648 Rumus kuantitatif menyederhanakan kompleksitas struktur jaring-jaring makanan. Jumlah hubungan trofik (tL), misalnya, dikonversi menjadi nilai keterhubungan:

di mana, S(S-1)/2 adalah jumlah maksimum hubungan biner di antara S spesies. “Konektivitas (C) adalah bagian dari semua kemungkinan hubungan yang terealisasi (L/S2) dan mewakili ukuran standar kompleksitas jaring-jaring makanan...”: 12913 Jarak (d) antara setiap pasangan spesies dalam sebuah jaring dirata-ratakan untuk menghitung jarak rata-rata antara semua simpul dalam jaring (D) dan dikalikan dengan jumlah total tautan (L) untuk mendapatkan kerapatan tautan (LD), yang dipengaruhi oleh variabel yang bergantung pada skala, seperti kekayaan spesies. Rumus-rumus ini merupakan dasar untuk membandingkan dan menyelidiki sifat pola non-acak dalam struktur jaringan rantai makanan di berbagai jenis ekosistem.

Hukum skala, kompleksitas, kekacauan, dan korelasi pola adalah fitur umum yang dikaitkan dengan struktur jaringan makanan.

  • Kompleksitas dan stabilitas

Jaring-jaring makanan sangat kompleks. Kompleksitas adalah istilah yang menunjukkan kesulitan mental untuk memahami semua efek tingkat tinggi yang mungkin terjadi dalam jaring-jaring makanan. Kadang-kadang dalam terminologi jaring-jaring makanan, kompleksitas didefinisikan sebagai hasil kali antara jumlah spesies dan keterhubungan, meskipun ada kritik terhadap definisi ini dan metode lain yang diusulkan untuk mengukur kompleksitas jaringan. Keterhubungan adalah “sebagian kecil dari semua kemungkinan hubungan yang direalisasikan dalam sebuah jaringan” ..: 12917 Konsep-konsep ini diturunkan dan distimulasi melalui saran bahwa kompleksitas mengarah pada stabilitas dalam jaring-jaring makanan, seperti meningkatkan jumlah tingkat trofik dalam ekosistem yang lebih kaya spesies. Hipotesis ini ditantang melalui model matematika yang menunjukkan sebaliknya, tetapi penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa premis tersebut berlaku dalam sistem nyata.

Pada tingkat yang berbeda dalam hirarki kehidupan, seperti stabilitas jaring makanan, “struktur keseluruhan yang sama dipertahankan meskipun ada aliran dan perubahan komponen yang terus menerus.”: 476 Semakin jauh suatu sistem kehidupan (misalnya, ekosistem) bergoyang dari keseimbangan, semakin besar kompleksitasnya. Kompleksitas memiliki banyak arti dalam ilmu kehidupan dan di ruang publik yang membingungkan penerapannya sebagai istilah yang tepat untuk tujuan analisis dalam sains. Kompleksitas dalam ilmu kehidupan (atau biokompleksitas) didefinisikan sebagai “sifat-sifat yang muncul dari interaksi perilaku, biologis, fisik, dan interaksi sosial yang memengaruhi, menopang, atau dimodifikasi oleh organisme hidup, termasuk manusia.” 1018 

Beberapa konsep telah muncul dari studi tentang kompleksitas dalam jaring-jaring makanan. Kompleksitas menjelaskan banyak prinsip yang berkaitan dengan pengorganisasian diri, non-linearitas, interaksi, umpan balik sibernetik, diskontinuitas, kemunculan, dan stabilitas dalam jaring-jaring makanan. Nestedness, misalnya, didefinisikan sebagai “pola interaksi di mana spesialis berinteraksi dengan spesies yang membentuk subset sempurna dari spesies yang berinteraksi dengan generalis”,: 575 “-yaitu, makanan spesies yang paling terspesialisasi merupakan subset dari makanan spesies yang lebih umum, dan makanannya merupakan subset dari yang lebih umum, dan seterusnya.” Sampai saat ini, diperkirakan bahwa jaring-jaring makanan hanya memiliki sedikit struktur bersarang, tetapi bukti empiris menunjukkan bahwa banyak jaring-jaring yang telah dipublikasikan memiliki sub-jaring yang bersarang di dalamnya.

Jaring-jaring makanan adalah jaringan yang kompleks. Sebagai jaringan, mereka menunjukkan sifat struktural dan hukum matematika yang sama yang telah digunakan untuk menggambarkan sistem kompleks lainnya, seperti dunia kecil dan sifat bebas skala. Atribut dunia kecil mengacu pada banyaknya simpul yang terhubung secara longgar, pengelompokan padat non-acak dari beberapa simpul (misalnya, trofik atau spesies kunci dalam ekologi), dan panjang jalur yang kecil dibandingkan dengan kisi-kisi biasa. "Jaringan ekologi, terutama jaringan mutualistik, umumnya sangat heterogen, terdiri dari area dengan hubungan yang jarang antar spesies dan area yang berbeda dengan spesies yang terkait erat. Wilayah dengan kepadatan hubungan yang tinggi ini sering disebut sebagai kelompok, pusat, kompartemen, sub-kelompok kohesif, atau modul... Dalam jaring-jaring makanan, terutama pada sistem akuatik, kesarang tampaknya terkait dengan ukuran tubuh karena makanan predator yang lebih kecil cenderung bersarang di dalam himpunan bagian dari predator yang lebih besar (Woodward & Warren, 2007; YvonDurocher et al. 2008), dan kendala filogenetik, di mana taksa terkait bersarang berdasarkan sejarah evolusi yang sama, juga terlihat jelas (Cattin et al. 2004).": 257 ”Kompartemen dalam jaring-jaring makanan merupakan subkelompok taksa di mana banyak interaksi yang kuat terjadi di dalam subkelompok dan hanya sedikit interaksi yang lemah yang terjadi di antara subkelompok. Secara teoritis, kompartemen meningkatkan stabilitas dalam jaringan, seperti jaring-jaring makanan."

Jaring-jaring makanan juga kompleks dalam hal perubahan skala, musiman, dan geografis. Komponen-komponen jaring-jaring makanan, termasuk organisme dan nutrisi mineral, melewati ambang batas ekosistem. Hal ini memunculkan konsep atau area studi yang dikenal sebagai subsidi lintas batas. “Hal ini menyebabkan anomali, seperti perhitungan jaring makanan yang menentukan bahwa suatu ekosistem dapat mendukung separuh karnivora puncak, tanpa menentukan ujung yang mana.” Meskipun demikian, perbedaan nyata dalam struktur dan fungsi telah diidentifikasi ketika membandingkan berbagai jenis jaring-jaring makanan ekologis, seperti jaring-jaring makanan terestrial vs akuatik.

Sejarah jaring-jaring makanan

Jaring-jaring makanan berfungsi sebagai kerangka kerja untuk membantu para ahli ekologi dalam mengatur jaringan interaksi yang kompleks di antara spesies yang diamati di alam dan di seluruh dunia. Salah satu deskripsi paling awal tentang rantai makanan dijelaskan oleh seorang sarjana Afro-Arab abad pertengahan bernama Al-Jahiz: “Semua hewan, singkatnya, tidak dapat hidup tanpa makanan, dan hewan yang diburu juga tidak dapat menghindar dari buruannya.”: 143 Penggambaran grafis paling awal dari jaring makanan adalah oleh Lorenzo Camerano pada tahun 1880, diikuti secara terpisah oleh Pierce dan rekan-rekannya pada tahun 1912 dan Victor Shelford pada tahun 1913. Dua jaring makanan tentang ikan haring dibuat oleh Victor Summerhayes dan Charles Elton serta Alister Hardy pada tahun 1923 dan 1924. Charles Elton kemudian memelopori konsep siklus makanan, rantai makanan, dan ukuran makanan dalam buku klasiknya tahun 1927 “Animal Ecology”; 'siklus makanan' Elton digantikan oleh 'jaring makanan' dalam teks ekologi berikutnya. Setelah Charles Elton menggunakan jaring-jaring makanan dalam sintesisnya pada tahun 1927, jaring-jaring makanan menjadi konsep utama dalam bidang ekologi. Elton mengorganisasikan spesies ke dalam kelompok-kelompok fungsional, yang menjadi dasar bagi sistem klasifikasi trofik dalam karya klasik dan penting Raymond Lindeman pada tahun 1942 tentang dinamika trofik. Gagasan tentang jaring makanan memiliki pijakan historis dalam tulisan-tulisan Charles Darwin dan terminologinya, termasuk “bank yang terjerat”, “jaring kehidupan”, “jaring hubungan yang rumit”, dan mengacu pada tindakan dekomposisi cacing tanah, ia berbicara tentang “pergerakan partikel-partikel bumi yang terus berlanjut”. Bahkan sebelumnya, pada tahun 1768, John Bruckner menggambarkan alam sebagai “satu jaringan kehidupan yang berkelanjutan”.

Ketertarikan pada jaring makanan meningkat setelah studi eksperimental dan deskriptif Robert Paine tentang pantai intertidal yang menunjukkan bahwa kompleksitas jaring makanan adalah kunci untuk menjaga keragaman spesies dan stabilitas ekologi. Banyak ahli ekologi teoretis, termasuk Sir Robert May dan Stuart Pimm, terdorong oleh penemuan ini dan yang lainnya untuk meneliti sifat-sifat matematis jaring-jaring makanan.

Disadur dari: https://en.wikipedia.org/

Selengkapnya
Jaring Makanan: Jenis dan Sejarah

Pertanian

Jaring makanan: Taksonomi Jaring-jaring Makanan

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 11 Juni 2024


Jaring makanan adalah interkoneksi alami rantai makanan dan representasi grafis dari apa-makan-apa dalam sebuah komunitas ekologi. Para ahli ekologi dapat mendefinisikan semua bentuk kehidupan secara luas sebagai autotrof atau heterotrof, berdasarkan tingkat trofik mereka, posisi yang mereka tempati dalam jaring makanan. Untuk mempertahankan tubuh mereka, tumbuh, berkembang, dan bereproduksi, makhluk autotrof menghasilkan bahan organik dari zat-zat anorganik, termasuk mineral dan gas seperti karbon dioksida. Reaksi kimia ini membutuhkan energi, yang sebagian besar berasal dari Matahari dan sebagian besar melalui fotosintesis, meskipun sebagian kecil berasal dari bioelektrogenesis di lahan basah, dan donor elektron mineral di ventilasi hidrotermal dan sumber air panas. Tingkat trofik ini tidak biner, tetapi membentuk gradien yang mencakup autotrof lengkap, yang memperoleh satu-satunya sumber karbon dari atmosfer, mixotrof (seperti tanaman karnivora), yang merupakan organisme autotrof yang sebagian memperoleh bahan organik dari sumber selain atmosfer, dan heterotrof lengkap yang harus memberi makan untuk mendapatkan bahan organik.

Keterkaitan dalam jaring makanan menggambarkan jalur makan, seperti di mana heterotrof memperoleh bahan organik dengan memakan autotrof dan heterotrof lainnya. Jaring makanan adalah ilustrasi yang disederhanakan dari berbagai metode pemberian makan yang menghubungkan ekosistem ke dalam sistem pertukaran terpadu. Ada berbagai jenis interaksi konsumen-sumber daya yang secara kasar dapat dibagi menjadi herbivora, karnivora, pemakan bangkai, dan parasitisme. Beberapa bahan organik yang dimakan oleh heterotrof, seperti gula, menyediakan energi. Autotrof dan heterotrof memiliki berbagai ukuran, mulai dari yang mikroskopis hingga berton-ton - mulai dari sianobakteri hingga kayu merah raksasa, dan dari virus dan bdellovibrio hingga paus biru.

Charles Elton memelopori konsep siklus makanan, rantai makanan, dan ukuran makanan dalam buku klasiknya tahun 1927, “Animal Ecology”; 'siklus makanan' Elton digantikan dengan 'jaring makanan' dalam teks ekologi berikutnya. Elton mengorganisasikan spesies ke dalam kelompok-kelompok fungsional, yang menjadi dasar dari karya klasik dan penting Raymond Lindeman pada tahun 1942 tentang dinamika trofik. Lindeman menekankan peran penting organisme pengurai dalam sistem klasifikasi trofik. Gagasan tentang jaring makanan memiliki pijakan historis dalam tulisan-tulisan Charles Darwin dan terminologinya, termasuk “bank yang terjerat”, “jaring kehidupan”, “jaring hubungan yang rumit”, dan mengacu pada tindakan dekomposisi cacing tanah, ia berbicara tentang “pergerakan partikel-partikel bumi yang berkelanjutan”. Bahkan sebelumnya, pada tahun 1768, John Bruckner menggambarkan alam sebagai “satu jaringan kehidupan yang berkelanjutan”.

Jaring-jaring makanan adalah representasi terbatas dari ekosistem nyata karena mereka harus mengumpulkan banyak spesies ke dalam spesies trofik, yang merupakan kelompok fungsional spesies yang memiliki predator dan mangsa yang sama dalam jaring-jaring makanan. Para ahli ekologi menggunakan penyederhanaan ini dalam model kuantitatif (atau representasi matematis) dari dinamika sistem trofik atau sistem konsumen-sumber daya. Dengan menggunakan model-model ini, mereka dapat mengukur dan menguji pola umum dalam struktur jaringan jaring-jaring makanan yang nyata. Para ahli ekologi telah mengidentifikasi sifat-sifat non-acak dalam struktur topologi jaring-jaring makanan. Contoh-contoh yang dipublikasikan yang digunakan dalam analisis meta memiliki kualitas variabel dengan penghilangan. Namun, jumlah studi empiris tentang jaring-jaring komunitas terus meningkat dan perlakuan matematis terhadap jaring-jaring makanan dengan menggunakan teori jaringan telah mengidentifikasi pola-pola yang umum terjadi pada semua. Hukum skala, misalnya, memprediksi hubungan antara topologi hubungan mangsa-pemangsa dalam jaring-jaring makanan dan tingkat kekayaan spesies.

Taksonomi jaring-jaring makanan

Tautan dalam jaring-jaring makanan memetakan hubungan makan (siapa yang makan siapa) dalam suatu komunitas ekologi. Siklus makanan adalah istilah usang yang identik dengan jaring-jaring makanan. Para ahli ekologi dapat mengelompokkan semua bentuk kehidupan ke dalam salah satu dari dua lapisan trofik, yaitu autotrof dan heterotrof. Autotrof menghasilkan lebih banyak energi biomassa, baik secara kimiawi tanpa energi matahari atau dengan menangkap energi matahari dalam fotosintesis, daripada yang mereka gunakan selama respirasi metabolisme. Heterotrof mengkonsumsi daripada memproduksi energi biomassa saat mereka bermetabolisme, tumbuh, dan menambah tingkat produksi sekunder. Jaring makanan menggambarkan kumpulan konsumen heterotrofik polifag yang membentuk jaringan dan siklus aliran energi dan nutrisi dari basis produktif autotrof yang makan sendiri.

Spesies dasar atau basal dalam jaring-jaring makanan adalah spesies yang tidak memiliki mangsa dan dapat mencakup autotrof atau detritivora saprofit (yaitu komunitas pengurai di tanah, biofilm, dan perifiton). Sambungan makanan dalam jaring disebut tautan trofik. Jumlah tautan trofik per konsumen adalah ukuran hubungan rantai makanan. Rantai makanan bersarang di dalam hubungan trofik jaring-jaring makanan. Rantai makanan adalah jalur makan linear (non siklik) yang melacak konsumen monofag dari spesies dasar hingga konsumen teratas, yang biasanya merupakan karnivora pemangsa yang lebih besar.

Rantai terhubung ke simpul-simpul dalam jaring makanan, yang merupakan kumpulan taksa biologis yang disebut spesies trofik. Spesies trofik adalah kelompok fungsional yang memiliki pemangsa dan mangsa yang sama dalam jaring makanan. Contoh umum dari simpul agregat dalam jaring makanan dapat mencakup parasit, mikroba, pengurai, saprotrof, konsumen, atau predator, yang masing-masing mengandung banyak spesies dalam jaring yang dapat dihubungkan dengan spesies trofik lainnya.

  • Tingkat trofik

Jaring-jaring makanan memiliki tingkatan dan posisi trofik. Spesies basal, seperti tanaman, membentuk tingkat pertama dan merupakan spesies dengan sumber daya terbatas yang tidak memakan makhluk hidup lain di dalam jaring. Spesies basal dapat berupa autotrof atau detritivora, termasuk “pengurai bahan organik dan mikroorganisme terkait yang kami definisikan sebagai detritus, bahan mikro-anorganik dan mikroorganisme terkait (MIP), serta bahan tanaman vaskular.”: 94 Sebagian besar autotrof menangkap energi matahari dalam klorofil, tetapi beberapa autotrof (kemolitotrof) memperoleh energi melalui oksidasi kimiawi senyawa anorganik dan dapat tumbuh di lingkungan yang gelap, seperti bakteri belerang Thiobacillus yang hidup di mata air belerang yang panas. Tingkat teratas memiliki predator teratas (atau puncak) yang tidak dibunuh oleh spesies lain secara langsung untuk kebutuhan sumber daya makanannya. Tingkat menengah diisi oleh omnivora yang memakan lebih dari satu tingkat trofik dan menyebabkan energi mengalir melalui sejumlah jalur makanan yang dimulai dari spesies dasar.

Dalam skema yang paling sederhana, tingkat trofik pertama (level 1) adalah tumbuhan, kemudian herbivora (level 2), dan kemudian karnivora (level 3). Tingkat trofik sama dengan satu lebih banyak dari panjang rantai, yaitu jumlah mata rantai yang terhubung ke pangkal. Dasar rantai makanan (produsen primer atau detritivora) ditetapkan nol. Para ahli ekologi mengidentifikasi hubungan makan dan mengatur spesies ke dalam spesies trofik melalui analisis isi usus yang ekstensif dari spesies yang berbeda. Teknik ini telah ditingkatkan melalui penggunaan isotop stabil untuk melacak aliran energi melalui jaring dengan lebih baik. Dulu diperkirakan bahwa omnivora jarang terjadi, tetapi bukti terbaru menunjukkan sebaliknya. Kesadaran ini membuat klasifikasi trofik menjadi lebih kompleks.

  • Dinamika trofik dan interaksi multitrofik

Konsep tingkat trofik diperkenalkan dalam sebuah makalah bersejarah tentang dinamika trofik pada tahun 1942 oleh Raymond L. Lindeman. Dasar dari dinamika trofik adalah transfer energi dari satu bagian ekosistem ke bagian lainnya. Konsep dinamika trofik telah berfungsi sebagai heuristik kuantitatif yang berguna, tetapi memiliki beberapa keterbatasan utama termasuk ketepatan di mana suatu organisme dapat dialokasikan ke tingkat trofik tertentu. Omnivora, misalnya, tidak terbatas pada satu tingkat saja. Meskipun demikian, penelitian terbaru telah menemukan bahwa tingkat trofik yang berbeda memang ada, tetapi “di atas tingkat trofik herbivora, jaring-jaring makanan lebih baik dicirikan sebagai jaring-jaring omnivora yang kusut.”

Pertanyaan utama dalam literatur dinamika trofik adalah sifat kontrol dan regulasi atas sumber daya dan produksi. Para ahli ekologi menggunakan model rantai makanan satu posisi trofik yang disederhanakan (produsen, karnivora, pengurai). Dengan menggunakan model-model ini, para ahli ekologi telah menguji berbagai jenis mekanisme kontrol ekologis. Sebagai contoh, herbivora umumnya memiliki sumber daya vegetatif yang berlimpah, yang berarti bahwa populasi mereka sebagian besar dikendalikan atau diatur oleh predator. Hal ini dikenal sebagai hipotesis top-down atau hipotesis 'dunia hijau'. Sebagai alternatif dari hipotesis top-down, tidak semua bahan tanaman dapat dimakan dan kualitas nutrisi atau pertahanan antiherbivora tanaman (struktural dan kimiawi) menunjukkan bentuk regulasi atau kontrol dari bawah ke atas. Studi terbaru menyimpulkan bahwa kekuatan “top-down” dan “bottom-up” dapat memengaruhi struktur komunitas dan kekuatan pengaruhnya bergantung pada konteks lingkungan. Interaksi multitrofik yang kompleks ini melibatkan lebih dari dua tingkat trofik dalam jaring makanan.[25] Sebagai contoh, interaksi semacam itu telah ditemukan dalam konteks jamur mikoriza arbuskular dan herbivora kutu daun yang memanfaatkan spesies tanaman yang sama.

Contoh lain dari interaksi multitrofik adalah kaskade trofik, di mana predator membantu meningkatkan pertumbuhan tanaman dan mencegah penggembalaan berlebihan dengan menekan herbivora. Tautan dalam jaring-jaring makanan menggambarkan hubungan trofik langsung di antara spesies, tetapi ada juga efek tidak langsung yang dapat mengubah kelimpahan, distribusi, atau biomassa di tingkat trofik. Sebagai contoh, predator yang memakan herbivora secara tidak langsung mempengaruhi kontrol dan pengaturan produksi primer pada tanaman. Meskipun predator tidak memakan tanaman secara langsung, mereka mengatur populasi herbivora yang secara langsung terkait dengan trofik tanaman. Efek bersih dari hubungan langsung dan tidak langsung disebut kaskade trofik. Riam trofik dipisahkan menjadi riam tingkat spesies, di mana hanya sebagian dari dinamika jaring-jaring makanan yang dipengaruhi oleh perubahan jumlah populasi, dan riam tingkat komunitas, di mana perubahan jumlah populasi memiliki efek dramatis pada seluruh jaring-jaring makanan, seperti distribusi biomassa tanaman.

Bidang ekologi kimia telah menjelaskan interaksi multitrofik yang memerlukan transfer senyawa pertahanan di berbagai tingkat trofik.[28] Sebagai contoh, spesies tanaman tertentu dalam marga Castilleja dan Plantago telah ditemukan menghasilkan senyawa pertahanan yang disebut glikosida iridoid yang diasingkan dalam jaringan larva kupu-kupu kotak-kotak Taylor yang telah mengembangkan toleransi terhadap senyawa-senyawa ini dan mampu mengonsumsi dedaunan tanaman ini. Glikosida iridoid yang diasingkan ini kemudian memberikan perlindungan kimiawi terhadap pemangsa burung kepada larva kupu-kupu. Contoh lain dari interaksi multitrofik semacam ini pada tanaman adalah transfer alkaloid pertahanan yang diproduksi oleh endofit yang hidup di dalam inang rumput ke tanaman hemiparasit yang juga menggunakan rumput sebagai inang.

  • Aliran energi dan biomassa

Jaring-jaring makanan menggambarkan aliran energi melalui hubungan trofik. Aliran energi bersifat terarah, yang berbeda dengan aliran materi yang bersifat siklik melalui sistem jaring-jaring makanan. Aliran energi “biasanya mencakup produksi, konsumsi, asimilasi, kehilangan non-asimilasi (kotoran), dan respirasi (biaya pemeliharaan).”: 5 Dalam pengertian yang sangat umum, aliran energi (E) dapat didefinisikan sebagai jumlah produksi metabolisme (P) dan respirasi (R), sehingga E = P + R.

Biomassa mewakili energi yang tersimpan. Namun, konsentrasi dan kualitas nutrisi dan energi bervariasi. Banyak serat tanaman, misalnya, tidak dapat dicerna oleh banyak herbivora sehingga membuat jaring-jaring makanan komunitas penggembala memiliki nutrisi yang lebih terbatas dibandingkan jaring-jaring makanan detrital di mana bakteri dapat mengakses dan melepaskan simpanan nutrisi dan energi. "Organisme biasanya mengekstrak energi dalam bentuk karbohidrat, lipid, dan protein. Polimer-polimer ini memiliki peran ganda sebagai pasokan energi dan juga sebagai bahan penyusun; bagian yang berfungsi sebagai pasokan energi menghasilkan nutrisi (dan karbon dioksida, air, dan panas). Oleh karena itu, ekskresi nutrisi merupakan dasar dari metabolisme.": 1230-1231 Unit dalam jaring aliran energi biasanya berupa ukuran massa atau energi per m2 per satuan waktu. Konsumen yang berbeda akan memiliki efisiensi asimilasi metabolik yang berbeda dalam makanan mereka. Setiap tingkat trofik mengubah energi menjadi biomassa. Diagram aliran energi menggambarkan tingkat dan efisiensi transfer dari satu tingkat trofik ke tingkat trofik lainnya dan ke atas melalui hirarki.

Biomassa dari setiap tingkat trofik menurun dari dasar rantai ke atas. Hal ini disebabkan karena energi hilang ke lingkungan dengan setiap perpindahan seiring dengan meningkatnya entropi. Sekitar delapan puluh hingga sembilan puluh persen energi dikeluarkan untuk proses kehidupan organisme atau hilang sebagai panas atau limbah. Hanya sekitar sepuluh hingga dua puluh persen energi organisme yang umumnya diteruskan ke organisme berikutnya. Jumlahnya bisa kurang dari satu persen pada hewan yang mengonsumsi tanaman yang kurang dapat dicerna, dan bisa mencapai empat puluh persen pada zooplankton yang mengonsumsi fitoplankton. Representasi grafis dari biomassa atau produktivitas di setiap tingkat tropik disebut piramida ekologi atau piramida trofik. Perpindahan energi dari produsen primer ke konsumen teratas juga dapat dicirikan dengan diagram aliran energi.

  • Rantai makanan

Metrik umum yang digunakan untuk mengukur struktur trofik jaring makanan adalah panjang rantai makanan. Panjang rantai makanan adalah cara lain untuk menggambarkan jaring-jaring makanan sebagai ukuran jumlah spesies yang ditemui saat energi atau nutrisi berpindah dari tanaman ke pemangsa teratas. 269 Ada berbagai cara untuk menghitung panjang rantai makanan, tergantung pada parameter dinamika jaring-jaring makanan yang dipertimbangkan: hubungan, energi, atau interaksi. Dalam bentuk yang paling sederhana, panjang rantai adalah jumlah hubungan antara konsumen trofik dan dasar jaring. Panjang rantai rata-rata dari seluruh jaring adalah rata-rata aritmatika dari panjang semua rantai dalam jaring makanan.

Dalam contoh pemangsa-mangsa yang sederhana, seekor rusa berjarak satu langkah dari tanaman yang dimakannya (panjang rantai = 1) dan serigala yang memakan rusa berjarak dua langkah dari tanaman (panjang rantai = 2). Jumlah relatif atau kekuatan pengaruh parameter-parameter ini terhadap jaring-jaring makanan menimbulkan pertanyaan:

identitas atau keberadaan beberapa spesies dominan (disebut sebagai interaktor kuat atau spesies kunci)
jumlah total spesies dan panjang rantai makanan (termasuk banyak interaktor lemah) dan
bagaimana struktur, fungsi dan stabilitas komunitas ditentukan.

  • Piramida ekologi

Dalam piramida jumlah, jumlah konsumen di setiap tingkat menurun secara signifikan, sehingga satu konsumen teratas, (misalnya beruang kutub atau manusia), akan didukung oleh jumlah produsen yang jauh lebih besar. Biasanya ada maksimal empat atau lima mata rantai dalam rantai makanan, meskipun rantai makanan di ekosistem akuatik lebih panjang daripada di darat. Pada akhirnya, semua energi dalam rantai makanan disebarkan sebagai panas.

Piramida ekologi menempatkan produsen utama di dasar. Piramida ini dapat menggambarkan berbagai sifat numerik ekosistem, termasuk jumlah individu per unit area, biomassa (g/m2), dan energi (k kal m-2 thn-1). Susunan piramida tingkat trofik yang muncul dengan jumlah transfer energi yang menurun ketika spesies semakin jauh dari sumber produksi adalah salah satu dari beberapa pola yang berulang di antara ekosistem planet. Ukuran setiap tingkat dalam piramida umumnya mewakili biomassa, yang dapat diukur sebagai berat kering suatu organisme. Autotrof mungkin memiliki proporsi biomassa global tertinggi, tetapi mereka disaingi atau dilampaui oleh mikroba.

Struktur piramida dapat bervariasi di seluruh ekosistem dan sepanjang waktu. Dalam beberapa kasus, piramida biomassa dapat terbalik. Pola ini sering diidentifikasi dalam ekosistem akuatik dan terumbu karang. Pola inversi biomassa dikaitkan dengan ukuran produsen yang berbeda. Komunitas akuatik sering didominasi oleh produsen yang lebih kecil daripada konsumen yang memiliki tingkat pertumbuhan tinggi. Produsen akuatik, seperti ganggang planktonik atau tanaman air, tidak memiliki akumulasi pertumbuhan sekunder yang besar seperti yang ada pada pohon berkayu di ekosistem darat. Namun, mereka dapat bereproduksi cukup cepat untuk mendukung biomassa yang lebih besar dari para penggembala. Hal ini membalik piramida. Konsumen primer memiliki masa hidup yang lebih lama dan tingkat pertumbuhan yang lebih lambat sehingga mengakumulasi lebih banyak biomassa daripada produsen yang mereka konsumsi. Fitoplankton hanya hidup beberapa hari, sedangkan zooplankton yang memakan fitoplankton hidup selama beberapa minggu dan ikan yang memakan zooplankton hidup selama beberapa tahun. Predator air juga cenderung memiliki tingkat kematian yang lebih rendah daripada konsumen yang lebih kecil, yang berkontribusi pada pola piramida terbalik. Struktur populasi, tingkat migrasi, dan perlindungan lingkungan untuk mangsa adalah penyebab lain yang mungkin untuk piramida dengan biomassa terbalik. Piramida energi, bagaimanapun, akan selalu memiliki bentuk piramida tegak jika semua sumber energi makanan disertakan dan ini ditentukan oleh hukum kedua termodinamika.

  • Fluks dan daur ulang material

Banyak unsur dan mineral bumi (atau nutrisi mineral) terkandung di dalam jaringan dan makanan organisme. Oleh karena itu, siklus mineral dan nutrisi melacak jalur energi jaring makanan. Para ahli ekologi menggunakan stoikiometri untuk menganalisis rasio unsur-unsur utama yang ditemukan di semua organisme: karbon (C), nitrogen (N), fosfor (P). Terdapat perbedaan transisi yang besar antara banyak sistem terestrial dan akuatik karena rasio C:P dan C:N jauh lebih tinggi pada sistem terestrial, sementara rasio N:P sama antara kedua sistem tersebut. Nutrisi mineral adalah sumber daya material yang dibutuhkan organisme untuk pertumbuhan, perkembangan, dan vitalitas. Jaring-jaring makanan menggambarkan jalur siklus hara mineral yang mengalir melalui organisme. Sebagian besar produksi primer dalam suatu ekosistem tidak dikonsumsi, tetapi didaur ulang oleh detritus menjadi nutrisi yang berguna. Banyak mikroorganisme di bumi yang terlibat dalam pembentukan mineral dalam proses yang disebut biomineralisasi. Bakteri yang hidup di sedimen detritus menciptakan dan mendaur ulang nutrisi dan biomineral. Model jaring makanan dan siklus hara secara tradisional diperlakukan secara terpisah, tetapi ada hubungan fungsional yang kuat antara keduanya dalam hal stabilitas, fluks, sumber, penyerap, dan daur ulang hara mineral.

Disadur dari: https://en.wikipedia.org/

Selengkapnya
Jaring makanan: Taksonomi Jaring-jaring Makanan

Properti dan Arsitektur

Mengenal Candi di Indonesia

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 11 Juni 2024


Candi adalah istilah dalam Bahasa Indonesia yang merujuk kepada sebuah bangunan keagamaan tempat ibadah peninggalan purbakala yang berasal dari peradaban Hindu-Buddha. Bangunan ini digunakan sebagai tempat ritual ibadah, pemujaan dewa-dewi, penghormatan leluhur ataupun memuliakan Sang Buddha. Akan tetapi, istilah 'candi' tidak hanya digunakan oleh masyarakat untuk menyebut tempat ibadah saja, banyak situs-situs purbakala non-religius dari masa Hindu-Buddha Indonesia klasik, baik sebagai istana (kraton), pemandian (petirtaan), gapura, dan sebagainya, disebut dengan istilah candi.

Candi merupakan bangunan replika tempat tinggal para dewa yang sebenarnya, yaitu Gunung Mahameru. Oleh karena itu, seni arsitekturnya dihias dengan berbagai macam ukiran dan pahatan berupa pola hias yang disesuaikan dengan alam Gunung Mahameru. Candi-candi dan pesan yang disampaikan lewat arsitektur, relief, serta arca-arcanya tak pernah lepas dari unsur spiritualitas, daya cipta, dan keterampilan para pembuatnya.

Beberapa candi, seperti Candi Borobudur dan Prambanan dibangun amat megah, detail, kaya akan hiasan yang mewah, bercitarasa estetika yang luhur, dengan menggunakan teknologi arsitektur yang maju pada zamannya. Bangunan-bangunan ini hingga kini menjadi bukti betapa tingginya kebudayaan dan peradaban nenek moyang bangsa Indonesia.

Terminologi

"Antara abad ke-7 dan ke-15 masehi, ratusan bangunan keagamaan dibangun dari bahan bata merah atau batu andesit di pulau Jawa, Sumatra, dan Bali. Bangunan ini disebut candi. Istilah ini juga merujuk kepada berbagai bangunan pra-Islam termasuk gerbang, dan bahkan pemandian, akan tetapi manifestasi utamanya tetap adalah bangunan suci keagamaan."

— Soekmono, R. "Candi:Symbol of the Universe".

Istilah "Candi" diduga berasal dari kata “Candika” yang berarti nama salah satu perwujudan Dewi Durga sebagai dewi kematian. Candi selalu dihubungkan dengan monumen tempat pedharmaan untuk memuliakan raja anumerta (yang sudah meninggal) contohnya candi Kidal untuk memuliakan Raja Anusapati.

Penafsiran yang berkembang di luar negeri — terutama di antara penutur bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya — adalah; istilah candi hanya merujuk kepada bangunan peninggalan era Hindu-Buddha di Indonesia, sedangkan dalam bahasa Melayu disebut dengan istilah kuil. Sama halnya dengan istilah wat yang dikaitkan dengan candi di Kamboja dan Thailand. Akan tetapi dari sudut pandang Bahasa Indonesia, istilah 'candi' juga merujuk kepada semua bangunan bersejarah Hindu-Buddha di seluruh dunia; tidak hanya di Nusantara, tetapi juga Kamboja, Myanmar, Thailand, Laos, Vietnam, Sri Lanka, India, dan Nepal; seperti candi Angkor Wat di Kamboja dan candi Khajuraho di India. Istilah candi juga terdengar mirip dengan istilah chedi dalam bahasa Thailand yang berarti 'stupa'.

Candi di Indonesia

Di Indonesia, candi dapat ditemukan di pulau Jawa, Bali, Sumatra, dan Kalimantan, akan tetapi candi paling banyak ditemukan di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kebanyakan orang Indonesia mengetahui adanya candi-candi di Indonesia yang termasyhur seperti Borobudur, Prambanan, dan Mendut.

Pada suatu era dalam sejarah Indonesia, yaitu dalam kurun abad ke-8 hingga ke-10 tercatat sebagai masa paling produktif dalam pembangunan candi. Pada kurun kerajaan Medang Mataram ini candi-candi besar dan kecil memenuhi dataran Kedu dan dataran Kewu di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Hanya peradaban yang cukup makmur dan terpenuhi kebutuhan sandang dan pangannya sajalah yang mampu menciptakan karya cipta arsitektur bernilai seni tinggi seperti ini. Beberapa candi yang bercorak Hindu di Indonesia adalah Candi Prambanan, Candi Jajaghu (Candi Jago), Candi Gedongsongo, Candi Dieng, Candi Panataran, Candi Angin, Candi Selogrio, Candi Pringapus, Candi Singhasari, dan Candi Kidal. Candi yang bercorak Buddha antara lain Candi Borobudur dan Candi Sewu. Candi Prambanan di Jawa Tengah adalah salah satu candi Hindu-Siwa yang paling indah. Candi itu didirikan pada abad ke-9 Masehi pada masa Kerajaan Mataram Kuno.

Nama candi

Kebanyakan candi-candi yang ditemukan di Indonesia tidak diketahui nama aslinya. Kesepakatan di dunia arkeologi adalah menamai candi itu berdasarkan nama desa tempat ditemukannya candi tersebut. Candi-candi yang sudah diketahui masyarakat sejak dulu, kadang kala juga disertai dengan legenda yang terkait dengannya. Ditambah lagi dengan temuan prasasti atau mungkin disebut dalam naskah kuno yang diduga merujuk kepada candi tersebut. Akibatnya nama candi dapat bermacam-macam, misalnya candi Prambanan, candi Rara Jonggrang, dan candi Siwagrha merujuk kepada kompleks candi yang sama. Prambanan adalah nama desa tempat candi itu berdiri. Rara Jonggrang adalah legenda rakyat setempat yang terkait candi tersebut. Sedangkan Siwagrha (Sanskerta: "rumah Siwa") adalah nama bangunan suci yang dipersembahkan untuk Siwa yang disebut dalam Prasasti Siwagrha dan merujuk kepada candi yang sama. Berikut adalah sebagian kecil candi-candi yang dapat diketahui kemungkinan nama aslinya:

Selebihnya, nama candi-candi lain biasanya dinamakan berdasarkan nama desanya.

Jenis dan fungsi

  • Jenis berdasarkan agama

Berdasarkan latar belakang keagamaannya, candi dapat dibedakan menjadi candi Hindu, candi Buddha, paduan sinkretis Siwa-Buddha, atau bangunan yang tidak jelas sifat keagamaanya dan mungkin bukan bangunan keagamaan.

  1. Candi Hindu, yaitu candi untuk memuliakan dewa-dewa Hindu seperti Siwa atau Wisnu, contoh: candi Prambanan, candi Gebang, kelompok candi Dieng, candi Gedong Songo, candi Panataran, dan candi Cangkuang.
  2. Candi Buddha, candi yang berfungsi untuk pemuliaan Buddha atau keperluan biksu sanggha, contoh candi Borobudur, candi Sewu, candi Kalasan, candi Sari, candi Plaosan, candi Banyunibo, candi Sumberawan, candi Jabung, kelompok candi Muaro Jambi, candi Muara Takus, dan candi Biaro Bahal.
  3. Candi Siwa-Buddha, candi sinkretis perpaduan Siwa dan Buddha, contoh: candi Jawi.
  4. Candi non-religius, candi sekuler atau tidak jelas sifat atau tujuan keagamaan-nya, contoh: candi Ratu Boko, Candi Angin, gapura Bajang Ratu, candi Tikus, candi Wringin Lawang.

Jenis berdasarkan hierarki dan ukuran

Dari ukuran, kerumitan, dan kemegahannya candi terbagi atas beberapa hierarki, dari candi terpenting yang biasanya sangat megah, hingga candi sederhana. Dari tingkat skala kepentingannya atau peruntukannya, candi terbagi menjadi:

  1. Candi Kerajaan, yaitu candi yang digunakan oleh seluruh warga kerajaan, tempat digelarnya upacara-upacara keagamaan penting kerajaan. Candi kerajaan biasanya dibangun mewah, besar, dan luas. Contoh: Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Sewu, dan Candi Panataran.
  2. Candi Wanua atau Watak, yaitu candi yang digunakan oleh masyarakat pada daerah atau desa tertentu pada suatu kerajaan. Candi ini biasanya kecil dan hanya bangunan tunggal yang tidak berkelompok. Contoh: candi yang berasal dari masa Majapahit, Candi Sanggrahan di Tulung Agung, Candi Gebang di Yogyakarta, dan Candi Pringapus.
  3. Candi Pribadi, yaitu candi yang digunakan untuk mendharmakan seorang tokoh, dapat dikatakan memiliki fungsi mirip makam. Contoh: Candi Kidal (pendharmaan Anusapati, raja Singhasari), candi Jajaghu (Pendharmaan Wisnuwardhana, raja Singhasari), Candi Rimbi (pendharmaan Tribhuwana Wijayatunggadewi, ibu Hayam Wuruk), Candi Tegowangi (pendharmaan Bhre Matahun), dan Candi Surawana (pendharmaan Bhre Wengker).

Fungsi

Candi dapat berfungsi sebagai berikut.

  1. Candi Pemujaan: candi Hindu yang paling umum, dibangun untuk memuja dewa, dewi, atau bodhisatwa tertentu, contoh: candi Prambanan, candi Canggal, candi Sambisari, dan candi Ijo yang menyimpan lingga dan dipersembahkan utamanya untuk Siwa, candi Kalasan dibangun untuk memuliakan Dewi Tara, sedangkan candi Sewu untuk memuja Manjusri.
  2. Candi Stupa: didirikan sebagai lambang Budha atau menyimpan relik buddhis, atau sarana ziarah agama Buddha. Secara tradisional stupa digunakan untuk menyimpan relikui buddhis seperti abu jenazah, kerangka, potongan kuku, rambut, atau gigi yang dipercaya milik Buddha Gautama, atau biksu Buddha terkemuka, atau keluarga kerajaan penganut Buddha. Beberapa stupa lainnya dibangun sebagai sarana ziarah dan ritual, contoh: candi Borobudur, candi Sumberawan, dan candi Muara Takus.
  3. Candi Pedharmaan: sama dengan kategori candi pribadi, yakni candi yang dibangun untuk memuliakan arwah raja atau tokoh penting yang telah meninggal. Candi ini kadang berfungsi sebagai candi pemujaan juga karena arwah raja yang telah meninggal sering kali dianggap bersatu dengan dewa perwujudannya, contoh: candi Belahan tempat Airlangga dicandikan, arca perwujudannya adalah sebagai Wishnu menunggang Garuda. Candi Simping di Blitar, tempat Raden Wijaya didharmakan sebagai dewa Harihara.
  4. Candi Pertapaan: didirikan di lereng-lereng gunung tempat bertapa, contoh: candi-candi di lereng Gunung Penanggungan, kelompok candi Dieng dan candi Gedong Songo, serta Candi Liyangan di lereng timur Gunung Sundoro, diduga selain berfungsi sebagai pemujaan, juga merupakan tempat pertapaan sekaligus situs permukiman.
  5. Candi Wihara: didirikan untuk tempat para biksu atau pendeta tinggal dan bersemadi, candi seperti ini memiliki fungsi sebagai permukiman atau asrama, contoh: candi Sari dan Plaosan
  6. Candi Gerbang: didirikan sebagai gapura atau pintu masuk, contoh: gerbang di kompleks Ratu Boko, Bajang Ratu, Wringin Lawang, dan candi Plumbangan.
  7. Candi Petirtaan: didirikan didekat sumber air atau di tengah kolam dan fungsinya sebagai pemandian, contoh: Petirtaan Belahan, Jalatunda, dan candi Tikus

Beberapa bangunan purbakala, seperti batur-batur landasan pendopo berumpak, tembok dan gerbang, dan bangunan lain yang sesungguhnya bukan merupakan candi, sering kali secara keliru disebut pula sebagai candi. Bangunan seperti ini banyak ditemukan di situs Trowulan, ataupun paseban atau pendopo di kompleks Ratu Boko yang bukan merupakan bangunan keagamaan.

Arsitektur

Pembangunan candi dibuat berdasarkan beberapa ketentuan yang terdapat dalam suatu kitab Vastusastra atau Silpasastra yang dikerjakan oleh silpin, yaitu seniman yang membuat candi (arsitek zaman dahulu). Salah satu bagian dari kitab Vastusastra adalah Manasara yang berasal dari India Selatan, yang tidak hanya berisi pedoman-pedoman membuat kuil beserta seluruh komponennya saja, melainkan juga arsitektur profan, bentuk kota, desa, benteng, penempatan kuil-kuil di kompleks kota dan desa.

Lokasi

Kitab-kitab ini juga memberikan pedoman mengenai pemilihan lokasi tempat candi akan dibangun. Hal ini terkait dengan pembiayaan candi, karena biasanya untuk pemeliharaan candi maka ditentukanlah tanah sima, yaitu tanah swatantra bebas pajak yang penghasilan panen berasnya diperuntukkan bagi pembangunan dan pemeliharaan candi. Beberapa prasasti menyebutkan hubungan antara bangunan suci dengan tanah sima ini. Selain itu pembangunan tata letak candi juga sering kali memperhitungkan letak astronomi (perbintangan).

Beberapa ketentuan dari kitab selain Manasara namun sangat penting di Indonesia adalah syarat bahwa bangunan suci sebaiknya didirikan di dekat air, baik air sungai, terutama di dekat pertemuan dua buah sungai, danau, laut, bahkan kalau tidak ada harus dibuat kolam buatan atau meletakkan sebuah jambangan berisi air di dekat pintu masuk bangunan suci tersebut. Selain di dekat air, tempat terbaik mendirikan sebuah candi, yaitu di puncak bukit, di lereng gunung, di hutan, atau di lembah. Seperti kita ketahui, candi-candi pada umumnya didirikan di dekat sungai, bahkan candi Borobudur terletak di dekat pertemuan sungai Elo dan sungai Progo. Sedangkan candi Prambanan terletak di dekat sungai Opak. Sebaran candi-candi di Jawa Tengah banyak tersebar di kawasan subur dataran Kedu dan dataran Kewu.

Struktur

Kebanyakan bentuk bangunan candi meniru tempat tinggal para dewa yang sesungguhnya, yaitu Gunung Mahameru. Oleh karena itu, seni arsitekturnya dihias dengan berbagai macam ukiran dan pahatan berupa pola yang menggambarkan alam Gunung Mahameru.

Peninggalan-peninggalan purbakala, seperti bangunan-bangunan candi, patung-patung, prasasti-prasasti, dan ukiran-ukiran pada umumnya menunjukkan sifat kebudayaan Indonesia yang dilapisi oleh unsur-unsur Hindu-Budha. Pada hakikatnya, bentuk candi-candi di Indonesia adalah punden berundak, di mana punden berundak sendiri merupakan unsur asli Indonesia.

Berdasarkan bagian-bagiannya, bangunan candi terdiri atas tiga bagian penting, antara lain, kaki, tubuh, dan atap.

Kaki candi merupakan bagian bawah candi. Bagian ini melambangkan dunia bawah atau bhurloka. Pada konsep Buddha disebut kamadhatu, yaitu menggambarkan dunia hewan, alam makhluk halus seperti iblis, raksasa dan asura, serta tempat manusia biasa yang masih terikat nafsu rendah. Bentuknya berupa bujur sangkar yang dilengkapi dengan jenjang pada salah satu sisinya. Bagian dasar candi ini sekaligus membentuk denahnya, dapat berbentuk persegi empat atau bujur sangkar. Tangga masuk candi terletak pada bagian ini, pada candi kecil tangga masuk hanya terdapat pada bagian depan, pada candi besar tangga masuk terdapat di empat penjuru mata angin. Biasanya pada kiri-kanan tangga masuk dihiasi ukiran makara.

Pada dinding kaki candi biasanya dihiasi relief flora dan fauna berupa sulur-sulur tumbuhan, atau pada candi tertentu dihiasi figur penjaga seperti dwarapala. Pada bagian tengah alas candi, tepat di bawah ruang utama biasanya terdapat sumur yang didasarnya terdapat pripih (peti batu). Sumur ini biasanya diisi sisa hewan kurban yang dikremasi, lalu diatasnya diletakkan pripih. Di dalam pripih ini biasanya terdapat abu jenazah raja serta relik benda-benda suci seperti lembaran emas bertuliskan mantra, kepingan uang kuno, permata, kaca, potongan emas, lembaran perak, dan cangkang kerang.

Tubuh candi adalah bagian tengah candi yang berbentuk kubus yang dianggap sebagai dunia antara atau bhuwarloka. Pada konsep Buddha disebut rupadhatu, yaitu menggambarkan dunia tempat manusia suci yang berupaya mencapai pencerahan dan kesempurnaan batiniah. Pada bagian depan terdapat gawang pintu menuju ruangan dalam candi. Gawang pintu candi ini biasanya dihiasi ukiran kepala kala tepat di atas-tengah pintu dan diapit pola makara di kiri dan kanan pintu. Tubuh candi terdiri dari garbagriha, yaitu sebuah bilik (kamar) yang ditengahnya berisi arca utama, misalnya arca dewa-dewi, bodhisatwa, atau Buddha yang dipuja di candi itu.

Di bagian luar dinding di ketiga penjuru lainnya biasanya diberi relung-relung yang berukir relief atau diisi arca. Pada candi besar, relung keliling ini diperluas menjadi ruangan tersendiri selain ruangan utama di tengah. Terdapat jalan selasar keliling untuk menghubungkan ruang-ruang ini sekaligus untuk melakukan ritual yang disebut pradakshina. Pada lorong keliling ini dipasangi pagar langkan, dan pada galeri dinding tubuh candi maupun dinding pagar langkan biasanya dihiasi relief, baik yang bersifat naratif (berkisah) ataupun dekoratif (hiasan).

Atap candi adalah bagian atas candi yang menjadi simbol dunia atas atau swarloka. Pada konsep Buddha disebut arupadhatu, yaitu menggambarkan ranah surgawi tempat para dewa dan jiwa yang telah mencapai kesempurnaan bersemayam. Pada umumnya, atap candi terdiri dari tiga tingkatan yang semakin atas semakin kecil ukurannya. Sedangkan atap langgam Jawa Timur terdiri atas banyak tingkatan yang membentuk kurva limas yang menimbulkan efek ilusi perspektif yang mengesankan bangunan terlihat lebih tinggi. Pada puncak atap dimahkotai stupa, ratna, wajra, atau lingga semu. Pada candi-candi langgam Jawa Timur, kemuncak atau mastakanya berbentuk kubus atau silinder dagoba. Pada bagian sudut dan tengah atap biasanya dihiasi ornamen antefiks, yaitu ornamen dengan tiga bagian runcing penghias sudut. Kebanyakan dinding bagian atap dibiarkan polos, akan tetapi pada candi-candi besar, atap candi ada yang dihiasi berbagai ukiran, seperti relung berisi kepala dewa-dewa, relief dewa atau bodhisatwa, pola hias berbentuk permata atau kala, atau sulur-sulur untaian roncean bunga.

Tata letak

Bangunan candi ada yang berdiri sendiri ada pula yang berkelompok. Ada dua sistem dalam pengelompokan atau tata letak kompleks candi, yaitu:

  • Sistem konsentris, sistem gugusan terpusat; yaitu posisi candi induk berada di tengah–tengah anak candi (candi perwara). Candi perwara disusun rapi berbaris mengelilingi candi induk. Sistem ini dipengaruhi tata letak denah mandala dari India. Contohnya kelompok Candi Prambanan dan Candi Sewu.
  • Sistem berurutan, sistem gugusan linear berurutan; yaitu posisi candi perwara berada di depan candi induk. Ada yang disusun berurutan simetris, ada yang asimetris. Urutan pengunjung memasuki kawasan yang dianggap kurang suci berupa gerbang dan bangunan tambahan, sebelum memasuki kawasan tersuci tempat candi induk berdiri. Sistem ini merupakan sistem tata letak asli Nusantara yang memuliakan tempat yang tinggi, sehingga bangunan induk atau tersuci diletakkan paling tinggi di belakang mengikuti topografi alami ketinggian tanah tempat candi dibangun. Contohnya Candi Penataran dan Candi Sukuh. Sistem ini kemudian dilanjutkan dalam tata letak Pura Bali.

Bahan bangunan

Bahan material bangunan pembuat candi bergantung kepada lokasi dan ketersediaan bahan serta teknologi arsitektur masyarakat pendukungnya. Candi-candi di Jawa Tengah menggunakan batu andesit, sedangkan candi-candi pada masa Majapahit di Jawa Timur banyak menggunakan bata merah. Demikian pula candi-candi di Sumatra seperti Biaro Bahal, Muaro Jambi, dan Muara Takus yang berbahan bata merah. Bahan-bahan untuk membuat candi antara lain:

  • Batu andesit, batu bekuan vulkanik yang ditatah membentuk kotak-kotak yang saling kunci. Batu andesit bahan candi harus dibedakan dari batu kali. Batu kali meskipun mirip andesit tetapi keras dan mudah pecah jika ditatah (sukar dibentuk). Batu andesit yang cocok untuk candi adalah yang terpendam di dalam tanah sehingga harus ditambang di tebing bukit.
  • Batu putih (tuff), batu endapan piroklastik berwarna putih, digunakan di Candi Pembakaran di kompleks Ratu Boko. Bahan batu putih ini juga ditemukan dijadikan sebagai bahan isi candi, di mana bagian luarnya dilapis batu andesit.
  • Bata merah, dicetak dari lempung tanah merah yang dikeringkan dan dibakar. Candi Majapahit dan Sumatra banyak menggunakan bata merah.
  • Stuko (stucco), yaitu bahan semacam beton dari tumbukan batu dan pasir. Bahan stuko ditemukan di percandian Batu Jaya.
  • Bajralepa (vajralepa), yaitu bahan lepa pelapis dinding candi semacam plaster putih kekuningan untuk memperhalus dan memperindah sekaligus untuk melindungi dinding dari kerusakan. Bajralepa dibuat dari campuran pasir vulkanik dan kapur halus. Konon campuran bahan lain juga digunakan seperti getah tumbuhan, putih telur, dan lain-lain. Bekas-bekas bajralepa ditemukan di candi Sari dan candi Kalasan. Kini pelapis bajralepa telah banyak yang mengelupas.

Kayu, beberapa candi diduga terbuat dari kayu atau memiliki komponen kayu. Candi kayu serupa dengan Pura Bali yang ditemukan kini. Beberapa candi tertinggal hanya batu umpak atau batur landasannya saja yang terbuat dari batu andesit atau bata, sedangkan atasnya yang terbuat dari bahan organik kayu telah lama musnah. Beberapa dasar batur di Trowulan Majapahit disebut candi, meskipun sesungguhnya merupakan landasan pendopo yang bertiang kayu. Candi Sambisari dan candi Kimpulan memiliki umpak yang diduga candi induknya dinaungi bangunan atap kayu. Beberapa candi seperti Candi Sari dan Candi Plaosan memiliki komponen kayu karena pada struktur batu ditemukan bekas lubang-lubang untuk meletakkan kayu gelagar penyangga lantai atas, serta lubang untuk menyisipkan daun pintu dan jeruji jendela.

Gaya arsitektur

Soekmono, seorang arkeolog terkemuka di Indonesia, mengidentifikasi perbedaan gaya arsitektur (langgam) antara candi Jawa tengah dengan candi Jawa Timur. Langgam Jawa Tengahan umumnya adalah candi yang berasal dari sebelum tahun 1000 masehi, sedangkan langgam Jawa Timuran umumnya adalah candi yang berasal dari sesudah tahun 1000 masehi. Candi-candi di Sumatra dan Bali karena kemiripannya dikelompokkan ke dalam langgam Jawa Timur.

Meskipun demikian terdapat beberapa pengecualian dalam pengelompokkan langgam candi ini. Sebagai contoh candi Penataran, Jawi, Jago, Kidal, dan candi Singhasari jelas masuk dalam kelompok langgam Jawa Timur, akan tetapi bahan bangunannya adalah batu andesit, sama dengan ciri candi langgam Jawa Tengah; dikontraskan dengan reruntuhan Trowulan seperti candi Brahu, serta candi Majapahit lainnya seperti candi Jabung dan candi Pari yang berbahan bata merah. Bentuk candi Prambanan adalah ramping serupa candi Jawa Timur, tetapi susunan dan bentuk atapnya adalah langgam Jawa Tengahan. Lokasi candi juga tidak menjamin kelompok langgamnya, misalnya candi Badut terletak di Malang, Jawa Timur, akan tetapi candi ini berlanggam Jawa Tengah yang berasal dari kurun waktu yang lebih tua pada abad ke-8 masehi.

Bahkan dalam kelompok langgam Jawa Tengahan terdapat perbedaan tersendiri dan terbagi lebih lanjut antara langgam Jawa Tengah Utara (misalnya kelompok Candi Dieng) dengan Jawa Tengah Selatan (misalnya kelompok Candi Sewu). Candi Jawa Tengah Utara ukirannya lebih sederhana, bangunannya lebih kecil, dan kelompok candinya lebih sedikit; sedangkan langgam candi Jawa Tengah Selatan ukirannya lebih raya dan mewah, bangunannya lebih megah, serta candi dalam kompleksnya lebih banyak dengan tata letak yang teratur.

Pada kurun akhir Majapahit, gaya arsitektur candi ditandai dengan kembalinya unsur-unsur langgam asli Nusantara bangsa Austronesia, seperti kembalinya bentuk punden berundak. Bentuk bangunan seperti ini tampak jelas pada candi Sukuh dan candi Cetho di lereng gunung Lawu, selain itu beberapa bangunan suci di lereng Gunung Penanggungan juga menampilkan ciri-ciri piramida berundak mirip bangunan piramida Amerika Tengah.

Disadur dari: https://en.wikipedia.org/

Selengkapnya
Mengenal Candi di Indonesia

Properti dan Arsitektur

Mengenal Stasiun Jakarta Kota

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 11 Juni 2024


Stasiun Jakarta Kota (bahasa Indonesia: Stasiun Jakarta Kota, kode stasiun: JAKK) adalah sebuah stasiun kereta api yang terletak di kawasan kota tua Kota, Jakarta, Indonesia.

Stasiun ini dulunya bernama Batavia Zuid (atau Batavia Selatan) hingga awal abad ke-20. Stasiun ini juga dikenal dengan nama Stasiun Beos sebagai singkatan dari nama pemilik stasiun sebelumnya, Bataviasche Oosterspoorweg Maatschapij (BOS).

Stasiun Jakarta Kota merupakan stasiun utama, bersama dengan Stasiun Gambir, Stasiun Jatinegara, dan Stasiun Pasar Senen, untuk beberapa jalur kereta api antarkota di Pulau Jawa. Stasiun ini juga melayani dua dari lima jalur kereta KRL Commuterline yang beroperasi di wilayah metropolitan Jakarta.

Nama Beos pada julukan stasiun ini memiliki banyak versi. Pertama, nama Beos merujuk pada pemilik stasiun Batavia, Bataviasche Oosterspoorweg Maatschapij (Perusahaan Kereta Api Batavia Timur atau BOS), yang berada di lokasi yang sama sebelum stasiun ini dihancurkan. Ini adalah perusahaan kereta api swasta yang menghubungkan Batavia dengan Kedunggedeh. Pada versi lain, Beos berasal dari kata Batavia En Omstreken, yang berarti “Batavia dan Sekitarnya”, yang berasal dari fungsi stasiun ini sebagai pusat transportasi kereta api yang menghubungkan Batavia dengan kota-kota lain seperti Bekassie (Bekasi), Buitenzorg (Bogor), Parijs van Java (Bandung), Karavam (Karawang), dan lain-lain.

Sebenarnya masih ada nama lain dari Stasiun Jakarta Kota ini, yaitu Batavia Zuid yang berarti Stasiun Batavia Selatan. Nama ini muncul karena pada akhir abad ke-19, Batavia sudah memiliki lebih dari dua stasiun kereta api. Salah satunya adalah Stasiun Batavia Noord (Batavia Utara) yang terletak di sebelah selatan Museum Sejarah Jakarta saat ini. Batavia Noord awalnya merupakan milik perusahaan kereta api Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij, dan merupakan stasiun pemberhentian untuk jalur Batavia-Buitenzorg. Pada tahun 1913, jalur Batavia-Buitenzorg dijual kepada pemerintah Hindia Belanda dan dikelola oleh Staatsspoorwegen. Pada saat itu wilayah Jatinegara dan Tanjung Priok belum menjadi bagian dari gemeente Batavia.

Stasiun pertama dibangun pada tahun 1887 oleh BOS, sebuah perusahaan kereta api swasta. Stasiun ini diberi nama Batavia Zuid (Batavia Selatan) untuk membedakannya dengan stasiun Batavia Noord (Batavia Utara) yang lebih tua (dimiliki oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij, sebuah perusahaan kereta api swasta lainnya), yang terletak agak jauh di sebelah utara, tepat di belakang bekas balai kota. Perusahaan kereta api publik Staatsspoorwegen mengakuisisi stasiun selatan dan utara pada tahun 1898 dan 1913.

Stasiun BOS selatan ditutup pada tahun 1923, dan dibangun kembali antara tahun 1926 dan 1929, di mana semua layanan kereta api untuk sementara waktu diambil alih oleh stasiun Batavia Utara. Bangunan stasiun ini dirancang pada tahun 1927-1928 oleh arsitek Asselbergs, Frans Johan Louwrens Ghijsels, dan Hes dari perusahaan arsitek Algemeen Ingenieurs-en Architectenbureau (AIA) di Batavia. Selama pembangunan pada tahun 1928-1929, digunakan beton dari Hollandsche Beton Maatschappij (“Perusahaan Beton Belanda”). Bangunan utama dirancang dengan 12 rel kereta api, yang dirancang untuk menghubungkan Batavia dengan Buitenzorg, pelabuhan Tandjoeng Priok, dan pelabuhan Merak di dekat Selat Sunda dengan kapal feri yang menghubungkan Jawa bagian Barat dengan Sumatera bagian Selatan. Bangunan baru dan yang sekarang ini secara resmi dibuka pada tanggal 8 Oktober 1929 dengan sebuah upacara pribadi oleh staf perusahaan. Semua layanan kereta api ke kota lama kemudian dipindahkan ke stasiun selatan yang baru, sementara stasiun utara yang tersisa dihancurkan.

Stasiun baru ini dijuluki BEOS sesuai dengan nama pemilik stasiun sebelumnya, BOS. Secara resmi bernama Stasiun Batavia Stad (“Stasiun Kota Batavia”), stasiun ini terletak di Stationsplein (“Alun-alun stasiun”) di Batavia Benedenstad (“Pusat Kota Batavia”), yang sekarang menjadi Jalan Stasiun Kota Barat.

Stasiun Beos merupakan mahakarya Ghijsels yang dikenal dengan ekspresi Het Indische Bouwen, yang merupakan perpaduan antara struktur dan teknik modern barat yang dipadukan dengan bentuk-bentuk tradisional setempat. Dengan balutan art deco yang kental, desain Ghijsels ini terkesan sederhana meskipun memiliki cita rasa yang tinggi. Menurut filosofi Yunani kuno, kesederhanaan adalah jalan terpendek menuju keindahan.

Stasiun Jakarta Kota akhirnya ditetapkan sebagai cagar budaya melalui Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 475 tahun 1993. Meski masih berfungsi, masih ada beberapa sudut yang tidak terawat dengan baik. Keberadaannya mulai terusik dengan adanya kabar pembangunan pusat perbelanjaan di atas bangunan stasiun. Begitu juga dengan kebersihan yang tidak terjaga dengan baik, sampah-sampah berserakan di rel kereta api. Selain itu, banyaknya masyarakat yang tinggal di kanan-kiri rel kereta api di dekat stasiun mengurangi nilai estetika dari stasiun ini. Kini, Kereta Api Indonesia melalui Unit Pelestarian Benda dan Bangunan Bersejarah mulai menata stasiun bersejarah ini.

Bangunan dan tata letak

Desain stasiun yang dirancang oleh arsitek Belanda Frans Johan Louwrens Ghijsels (lahir 8 September 1882) ini merupakan perpaduan antara gaya Art Deco Barat dan arsitektur lokal.

Stasiun Jakarta Kota merupakan stasiun dua lantai yang dikelilingi oleh jalan di ketiga sisinya dengan satu pintu masuk utama dan dua pintu masuk samping. Pintu masuk utama dan aula memiliki ciri khas atap kubah tong dengan bukaan yang disusun secara horizontal dengan bagian atas didominasi oleh unit vertikal (lunette).

Dinding bagian dalam aula dilapisi dengan keramik berwarna coklat bertekstur kasar dan dinding luar pada bagian bawah seluruh bangunan dilapisi dengan plesteran berwarna hijau kekuningan. Lantai stasiun menggunakan kayu jati kuning dan kayu abu-abu, dan untuk lantai peron menggunakan kayu jati wafel kuning. Stasiun Jakarta Kota memiliki enam peron yang melayani 12 jalur. Peron-peron tersebut dinaungi oleh kanopi yang ditopang oleh tiang-tiang baja.

Pada awalnya, stasiun ini memiliki dua belas jalur kereta api dengan jalur 4 dan 5 merupakan jalur ganda sepur lurus dari dan ke arah Kampung Bandan Bawah-Pasar Senen-Jatinegara, jalur 8 dan 9 merupakan jalur ganda sepur lurus dari dan ke arah Kampung Bandan Atas-Tanjung Priuk, serta jalur 11 dan 12 merupakan jalur ganda sepur layang dari dan ke arah Gambir-Manggarai. Namun, saat ini jumlah jalur tersebut berkurang menjadi sebelas jalur karena jalur 1 yang lama telah ditutup dan dialihfungsikan menjadi ruang tunggu penumpang untuk beberapa kereta api antarkota yang layanan rutenya berhenti di stasiun ini.

Stasiun ini terakhir kali direnovasi pada tahun 2019, salah satunya adalah penambahan ruang tunggu baru untuk kereta jarak jauh. Per 23 Februari 2020, saklar kereta api Inggris dan gunting stasiun yang telah digunakan selama hampir lima puluh tahun kini telah diganti dengan yang terbaru.

Pada budaya populer

Stasiun ini dijadikan salah satu lokasi syuting video musik oleh sejumlah grup musik dan penyanyi, seperti Krakatau dalam lagu yang berjudul Kau Datang pada tahun 1989, TIC Band dalam lagu Terbaik Untukmu pada tahun 2001, film Cinlok pada tahun 2008, Kotak dalam lagu Selalu Cinta pada tahun 2013, penyanyi Kunto Aji dalam lagu debutnya yang berjudul Terlalu Lama Sendiri pada tahun 2014, dan Maudy Ayunda dalam lagu Jakarta Ramai pada tahun 2016.

Layanan kereta api

Sejak sekitar tahun 2013-2014 semua kereta api penumpang jarak jauh dan menengah yang dahulu memiliki terminus ke Stasiun Jakarta Kota dialihkan ke Stasiun Pasar Senen, antara lain KA Gumarang, KA Gaya Baru Malam Selatan, KA Tegal Arum (sekarang tidak beroperasi lagi), dan KA Serayu. Pemindahan juga dilakukan ke Gambir untuk KA Argo Parahyangan dan KA Gajayana. Sejak tanggal 9 Februari 2017 semua perjalanan KA lokal Daop I bagian timur (KA Walahar Ekspres/Lokal Purwakarta dan KA Jatiluhur/Lokal Cikampek) dipindahkan ke Stasiun Tanjung Priuk.

Sejak tanggal 29 Mei 2019, tiga perjalanan kereta api jarak jauh dan menengah kelas ekonomi yang semula berakhir di Stasiun Pasar Senen (KA Jayakarta, Menoreh, dan Kutojaya Utara), dipindahkan ke Stasiun Jakarta Kota. Dengan berlakunya Gapeka 2021 tanggal 10 Februari 2021, maka stasiun terminus KA Jayakarta dikembalikan lagi ke Stasiun Pasar Senen untuk memudahkan pelayanan penumpang kereta api rangkaian panjang.

Mulai 1 Juni 2023 sejak diberlakukan Gapeka 2023, keberangkatan KA Menoreh dikembalikan ke Stasiun Pasar Senen karena okupansi yang minim di Stasiun Jakarta Kota.

Berikut ini adalah layanan kereta api yang berhenti di stasiun ini sesuai Gapeka 2023

  • Antarkota

  • Komuter

  • Insiden

​​​​​​​Pada 26 Desember 2014 pukul 06.30, lokomotif CC201 89 07 menabrak peron di Stasiun Jakarta Kota, pada saat melangsir rangkaian kereta api Argo Parahyangan. Lokomotif tersebut melampaui batas aman berhenti, sehingga meloncat keluar rel kemudian menggerus lantai peron. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini.

  • Antarmoda pendukung

​​​​​​​

Galeri

Disadur dari: https://en.wikipedia.org/

Selengkapnya
Mengenal Stasiun Jakarta Kota

Badan Usaha Milik Negara

Menilai Kapasitas Tata Kelola Maritim Indonesia: Prioritas dan Tantangan

Dipublikasikan oleh Nurul Aeni Azizah Sari pada 11 Juni 2024


Apa saja prioritas tata kelola maritim untuk Indonesia?

Pada tahun 2014, pemerintah Indonesia mengumumkan visi “Global Maritime Fulcrum” (GMF). Kebijakan pengorganisasian ini mencakup lima pilar utama yang menjadi pusat tata kelola dan pembangunan maritim Indonesia:

  • Budaya maritim
  • Sumber daya maritim
  • Infrastruktur dan konektivitas maritim
  • Diplomasi maritim
  • Kekuatan pertahanan maritim

Hal ini menimbulkan kegembiraan tertentu terkait potensi untuk memajukan kemakmuran maritim dalam negeri Indonesia dan kemitraan internasional, tetapi sebagian besar pengamat sekarang menganggap GMF sebagai kebijakan yang “mati”. Pemerintah Indonesia belum menindaklanjuti GMF sebagai doktrin maritim atau strategi besar, terutama sejak awal masa kepresidenan kedua Presiden Joko ('Jokowi') Widodo. Namun demikian, karena GMF merupakan artikulasi paling kompleks dari prioritas tata kelola maritim Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, GMF tetap menjadi dokumen yang penting.

Pada tahun 2017, pemerintah memperluas visi GMF melalui pemberlakuan Peraturan Presiden tentang Kebijakan Kelautan Indonesia yang memiliki tujuh pilar:

  • Sumber daya dan sumber daya manusia maritim
  • Keamanan dan keselamatan maritim
  • Tata kelola dan kelembagaan maritim ekonomi dan infrastruktur maritim
  • Pengelolaan tata ruang dan lingkungan maritim
  • Budaya maritim, diplomasi maritim
  • Sejak saat itu, pemerintah mulai mengeluarkan rencana aksi Kebijakan Maritim setiap lima tahun sekali pertama kali pada tahun 2017 dan kemudian pada tahun 2022 yang menguraikan program-program prioritas untuk setiap pilar dalam kurun waktu lima tahun.
  • Ketujuh pilar ini dapat dianggap sebagai kebijakan tata kelola maritim Indonesia saat ini.

Apa yang dilihat Indonesia sebagai tantangan keamanan maritim yang paling kritis?

Karena wilayah maritimnya yang luas dan lokasinya yang berada di pertemuan dua samudra - Samudra Hindia dan Pasifik - Indonesia menghadapi berbagai macam tantangan keamanan maritim. Di antara semua itu, sengketa Laut Cina Selatan dianggap sebagai yang paling kritis. Meskipun Indonesia menegaskan bahwa Indonesia adalah negara bukan penuntut dalam sengketa ini, sebagian zona ekonomi eksklusifnya di Laut Natuna diklaim secara sepihak oleh Cina dalam “sembilan garis putus-putus”. Sejak tahun 2016, serangan Tiongkok ke ZEE Indonesia telah meningkat, dan Indonesia telah merespons dengan memperluas kehadiran angkatan lautnya di dalam dan di sekitar Natuna serta mendukung putusan Pengadilan Arbitrase Permanen (PCA) pada tahun 2016 yang menyatakan bahwa klaim Tiongkok tidak memiliki kekuatan hukum.[5].

Tantangan kritis kedua bagi Indonesia adalah penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU). Pemerintah memberikan perhatian khusus pada penangkapan ikan IUU selama penunjukan Susi Pudjiastuti sebagai menteri kelautan dan perikanan pada tahun 2014-2019, ketika pemerintah melakukan tindakan keras terhadap penangkapan ikan IUU.[6] Namun, pemerintah beralih dari kebijakan ini setelah Susi tidak lagi menjadi menteri. Penggantinya, Edhy Prabowo, ditangkap setelah satu tahun menjabat karena diduga menerima suap dalam pemberian izin ekspor benih lobster. Menteri saat ini, Sakti Wahyu Trenggono, juga tidak lagi menggunakan pendekatan keras terhadap penangkapan ikan ilegal seperti yang dilakukan oleh mantan menteri Susi.

Apa saja kekuatan tata kelola maritim Indonesia?

Terlepas dari “kematiannya”, GMF telah meletakkan dasar untuk meningkatkan tata kelola maritim Indonesia. Sebagai contoh, pemerintah Indonesia membentuk Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman pada tahun 2014, yang pada tahun 2019 berganti nama menjadi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves). Sebelumnya, pemerintah tidak memiliki kementerian yang mengkoordinasikan kebijakan di bidang kemaritiman. Badan koordinasi tingkat tinggi yang tidak biasa ini memberikan Indonesia kekuatan tata kelola maritim yang tidak ditemukan di negara lain.

Kekuatan tata kelola maritim Indonesia lainnya adalah kedalaman lembaga-lembaga yang terkait dengan tata kelola maritim. Kemenko Marves mengkoordinasikan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan. Sementara itu, kementerian yang lebih tua, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), mengoordinasikan lembaga-lembaga terkait keamanan maritim: Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL), Badan Keamanan Laut (Bakamla), dan Polisi Perairan (Polair). Badan-badan terkait tata kelola maritim lainnya termasuk Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, serta dua puluh satu badan lainnya yang memiliki tugas/wewenang terkait maritim.

Apa kesenjangan kapasitas tata kelola maritim yang paling signifikan di Indonesia?

Terdapat dua kesenjangan kapasitas tata kelola maritim utama di Indonesia: Yang pertama bersifat politis dan yang kedua bersifat operasional. Dalam hal kesenjangan politik, terdapat masalah tumpang tindih peran dan tanggung jawab di antara berbagai lembaga tata kelola maritim, budaya strategis, serta kerentanan tata kelola maritim terhadap perubahan prioritas politik dalam negeri.

Isu-isu ini diilustrasikan oleh peran Badan Keamanan Laut (Bakamla) yang terus berkembang. Sebelumnya bernama Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) dengan peran yang lebih bersifat koordinatif, Bakamla berganti nama pada tahun 2014 untuk memungkinkan peran yang lebih utama dalam patroli maritim. Terlepas dari perubahan tersebut, TNI-AL tampaknya tidak mau melepaskan fungsi keamanan internal yang telah lama dijalankannya, sementara Bakamla masih berjuang untuk mengembangkan kemampuan yang dibutuhkan untuk memimpin keamanan maritim.

Beberapa peneliti menjelaskan masih adanya kesenjangan ini dengan merujuk pada peran budaya strategis Indonesia. Secara khusus, mereka berpendapat bahwa dominasi historis Angkatan Darat di Indonesia, ditambah dengan perbedaan yang kabur antara “pertahanan” yang merupakan perlindungan kedaulatan dan “keamanan” yang merupakan penegakan hukum di sektor pemerintahan Indonesia, telah menyebabkan Angkatan Laut mempertahankan peran dominannya dalam keamanan maritim Indonesia. Sementara itu, Indonesia tidak memiliki keakraban yang lama dengan konsep penjaga pantai sebagai lembaga keamanan maritim sipil yang berdedikasi yang memiliki peran yang jelas dibandingkan dengan lembaga lainnya.[8].

Kesenjangan politik lainnya berasal dari kerentanan tata kelola maritim terhadap perubahan prioritas politik dalam negeri. Sebagai contoh, “kematian” GMF telah dikaitkan dengan kekakuan birokrasi Indonesia dan pergeseran fokus ke arah urusan ekonomi, investasi, dan pembangunan infrastruktur.[9] Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman juga telah menjadi korban dari perubahan prioritas ini: Pada tahun 2019, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman diberi fungsi tambahan untuk mengoordinasikan investasi (oleh karena itu namanya diubah menjadi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi). Sejak saat itu, Luhut Binsar Pandjaitan, sebagai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, tidak terlalu banyak mencurahkan perhatiannya pada fungsi kemaritiman dan lebih disibukkan dengan porsi investasi dalam portofolionya.

Dalam hal kesenjangan kapasitas operasional, Indonesia tidak memiliki jumlah kapal perang, kapal patroli, dan sensor yang memadai dibandingkan dengan wilayah maritimnya yang luas. Angkatan Laut mengoperasikan tujuh fregat, empat kapal selam, 25 korvet, 23 kapal patroli, 91 kapal patroli, dan beberapa kapal pendukung. Bakamla mengoperasikan sepuluh kapal patroli dan beberapa kapal patroli kecil. Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai Indonesia (KPLP) mengoperasikan tujuh kapal patroli dan 30 kapal patroli.10 Sebagian besar dari kapal-kapal ini juga sangat kurang dalam hal modernisasi.11 Hal ini tidak cukup untuk berpatroli di wilayah laut Indonesia yang luas.

Apa saja area prioritas untuk kerja sama internasional yang dapat meningkatkan kapasitas tata kelola maritim di Indonesia?

Kesenjangan politik dalam kapasitas tata kelola maritim Indonesia sulit untuk diatasi melalui kerja sama internasional. Namun, kesenjangan kapasitas operasional dapat ditingkatkan melalui kerja sama.  Berfokus pada empat bidang prioritas untuk kerja sama internasional akan menguntungkan Indonesia: pertukaran dan penggabungan informasi dan intelijen, pengadaan peralatan, peningkatan kapasitas untuk keterampilan personel, dan kerja sama industri.

Terkait informasi dan intelijen, Indonesia perlu melanjutkan dan meningkatkan kerja sama pertukaran dan penggabungan informasi dan intelijen dengan negara-negara tetangga, organisasi regional, dan mitra internasional, serta inisiatif multilateral dan regional seperti ReCAAP, International Maritime Bureau (IMB), dan Information Fusion Centre (IFC) Singapura.

Untuk bidang kedua, Indonesia perlu meningkatkan kerja sama internasional terkait pengadaan kapal perang, kapal patroli, radar, dan peralatan lain yang diperlukan untuk memenuhi peran keamanan maritim. Indonesia sangat membutuhkan teknologi penting untuk melakukan patroli maritim, peringatan dini terhadap ancaman keamanan maritim, dan peran-peran lainnya secara lebih efektif.

Indonesia juga perlu melanjutkan kerja sama berbasis dialog untuk membangun rasa saling percaya dengan negara-negara lain dan meningkatkan kerja sama praktis yang melibatkan pengerahan aset di laut atau lepas pantai, termasuk inisiatif berbagi informasi dan latihan lapangan, atau latihan peningkatan kapasitas terkait lainnya untuk meningkatkan kapasitas tata kelola maritim yang nyata di laut.

Terakhir, sebagai prioritas keempat, Indonesia perlu melanjutkan dan meningkatkan kerja sama untuk mengembangkan kapasitas industri pembuatan kapal dan perbaikan kapal serta bidang-bidang lain dalam ekonomi maritim domestik Indonesia seperti pendidikan dan pelatihan para insinyur, transfer teknologi angkatan laut, penelitian dan pengembangan pembuatan kapal, dan bentuk-bentuk kerja sama industri lainnya.

Bagaimana kerangka kerja keamanan regional dan minilateral yang ada dapat berkontribusi pada tata kelola maritim di Indonesia?

Indonesia harus menggunakan kerangka kerja keamanan regional dan minilateral yang ada untuk melanjutkan dan meningkatkan kerja sama keamanan maritim yang sudah ada untuk meningkatkan kapasitas tata kelolanya. Indonesia telah terlibat dalam kerja sama tata kelola maritim di berbagai kerangka kerja sama keamanan regional dan minilateral.

Beberapa kerja sama regional telah dilakukan dalam kerangka kerja Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN): Pertemuan Antar-Sesi Forum Regional ASEAN (ARF) tentang Keamanan Maritim, Pertemuan Menteri Pertahanan ASEAN (ADMM) dan Kelompok Kerja Ahli ADMM-Plus untuk Keamanan Maritim, serta Forum Maritim ASEAN (AMF) dan Forum Maritim ASEAN yang Diperluas (Expanded ASEAN Maritime Forum - EAMF).

Akan tetapi, seperti yang ditemukan oleh Agastia (2021), kerja sama dalam kerangka kerja regional ini sebagian besar berbasis dialog, sementara kerja sama praktis masih terbatas.[12] Oleh karena itu, banyak peneliti menyarankan lebih banyak kemajuan yang dapat dicapai dengan berfokus pada kerangka kerja minilateral untuk keamanan maritim.Dalam hal kerangka kerja minilateral, Indonesia telah melakukan patroli terkoordinasi, latihan angkatan laut, dan bentuk-bentuk kerja sama keamanan maritim lainnya dengan negara-negara tetangga dan kekuatan eksternal.

Supriyanto secara persuasif berpendapat bahwa kerangka kerja yang ada, seperti pengaturan patroli maritim di antara negara-negara pesisir ASEAN di Selat Malaka dan Laut Sulawesi, dapat menjadi model untuk kerja sama di Laut Cina Selatan. Indonesia, Malaysia, dan Vietnam dapat memprakarsai patroli serupa di Laut Cina Selatan di mana batas-batas maritim mereka bersebelahan.13 Perjanjian ZEE Indonesia-Vietnam yang baru saja disepakati dapat mendorong kemajuan pengaturan semacam ini.14 Demikian pula, ratifikasi Indonesia baru-baru ini terhadap perjanjian kerja sama pertahanan (DCA) Indonesia-Singapura.15 Hal ini dapat mendorong kelanjutan dan peningkatan latihan militer bersama antara kedua negara dan pihak ketiga 16.

Disadur dari: amti.csis.org

Selengkapnya
Menilai Kapasitas Tata Kelola Maritim Indonesia: Prioritas dan Tantangan

Badan Usaha Milik Negara

Pelindo Siapkan Tiga Pelabuhan Jadi Gerbang Utama Logistik Global

Dipublikasikan oleh Nurul Aeni Azizah Sari pada 11 Juni 2024


Jakarta - PT Pelabuhan Indonesia/Pelindo I (Persero) tengah mempersiapkan Pelabuhan Kuala Tanjung, Belawan, dan Dumai menjadi gerbang utama logistik global. Ketiga pelabuhan tersebut akan menyerap pasar pelayaran di Selat Malaka yang merupakan jalur pelayaran tersibuk di dunia. Direktur Utama Pelindo I, Prasetyo, mengungkapkan bahwa Pelindo I mengelola 23 pelabuhan di empat provinsi, yaitu Aceh, Sumatera Utara, Riau, dan Kepulauan Riau. Sebagian besar pelabuhan tersebut berhadapan langsung dengan Selat Malaka, yang menjadi keunggulan bagi Pelindo I dibandingkan dengan operator pelabuhan lainnya di Indonesia.

Selat Malaka merupakan jalur yang menghubungkan Eropa dan Asia yang dilalui oleh 120.000 kapal setiap tahunnya. Selat ini dikenal sebagai jalur pelayaran tersibuk di dunia. “Sebagai jalur perdagangan tersibuk di dunia. Selat Malaka dilalui hampir 120.000 kapal setiap tahunnya. Ini adalah potensi besar yang tidak bisa kita tinggalkan. Kita harus memanfaatkannya sebaik mungkin. Oleh karena itu, visi Pelindo I adalah menjadi pintu gerbang Indonesia untuk logistik global. Kami fokus pada visi tersebut,” ujar Prasetyo.

Hal tersebut disampaikannya dalam acara 60 Menit Bersama Direktur Utama Pelindo I Prasetyo. Program yang dipandu oleh Direktur Pemberitaan BeritaSatu Media Holdings (BSMH), Primus Dorimulu, ini disiarkan oleh Beritasatu TV pada Rabu (11/8) mulai pukul 19.00-20.00 WIB. Prasetyo menjelaskan bahwa ada tiga pelabuhan yang mereka kelola yang memiliki potensi besar untuk menyerap pasar pelayaran di Selat Malaka, yaitu Pelabuhan Kuala Tanjung, Belawan, dan Dumai. Ketiga pelabuhan tersebut telah memenuhi standar internasional dalam hal lokasi, kedalaman, dan suprastruktur.

“Pelabuhan yang paling potensial adalah Kuala Tanjung, Dumai, dan Belawan. Kuala Tanjung merupakan pelabuhan masa depan dari Pelindo I,” katanya. Menurut Prasetyo, pelabuhan-pelabuhan tersebut saat ini melayani berbagai rute domestik dan internasional. Sebagian besar rute domestik yang dilayani oleh pelabuhan-pelabuhan tersebut menuju Surabaya, Makassar, dan Jakarta. Selain itu, Kuala Tanjung juga menjadi hub domestik untuk angkutan peti kemas di Sumatera. “Kapal-kapal peti kemas dari Jakarta dan Surabaya akan transit di Pelabuhan Kuala Tanjung sebelum peti kemas tersebut didistribusikan dengan kapal-kapal kecil ke Aceh atau pelabuhan-pelabuhan lain di Sumatera,” katanya.

Untuk rute internasional, Prasetyo mengatakan Pelabuhan Belawan melayani kapal-kapal yang akan menuju Singapura, Malaysia, Jepang, Pakistan, India, Belanda, dan Belgia. Sedangkan Kuala Tanjung melayani pengangkutan minyak sawit mentah (CPO) dengan tujuan India, Bangladesh, dan Pakistan. “CPO dari Kalimantan Tengah, Sampit, dan Kumai dikirim ke Kuala Tanjung. Dari Kuala Tanjung, (CPO) didistribusikan dengan kapal-kapal yang lebih besar ke Bangladesh, India, dan Pakistan. Jadi, pelabuhan ini didesain sebagai hub CPO,” katanya.

Kuala Tanjung TIE

Direktur Utama Pelindo I, Prasetyo, mengungkapkan bahwa Pelabuhan Kuala Tanjung merupakan proyek strategis nasional. Pelindo I menamai pelabuhan tersebut dengan nama Kuala Tanjung Port and Industrial Estate (PIE). Kawasan ini tidak hanya mencakup pelabuhan, tetapi juga kawasan industri yang luasnya mencapai 3.400 ha. Dengan demikian, Kuala Tanjung PIE diharapkan akan menjadi pusat logistik dan rantai pasok di Indonesia. “Kuala Tanjung PIE akan menjadi pusat logistik dan rantai pasok Indonesia. Artinya, bisnis logistik dan rantai pasok dari dan ke Indonesia diharapkan masuk ke Kuala Tanjung terlebih dahulu. Selain pelabuhan yang rencananya akan dikembangkan menjadi 58 ha, Kuala Tanjung memiliki kawasan industri yang direncanakan mencapai 3.400 ha,” tegas Prasetyo.

Menurutnya, KEK Kuala Tanjung memiliki potensi untuk bersaing dengan pelabuhan-pelabuhan di negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Pelabuhan Kuala Tanjung akan semakin menarik berkat adanya jaminan kargo yang diangkut dari dan ke kawasan industri Kuala Tanjung. Selain itu, ada kawasan industri lain, yaitu Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei yang berjarak 40 km dari Pelabuhan Kuala Tanjung. “Kuala Tanjung memiliki kawasan industri lain, yaitu kawasan industri Sei Mangkei seluas 2.000 ha yang berjarak 40 km dari Pelabuhan Kuala Tanjung. Dengan kekuatan-kekuatan tersebut, Pelabuhan Kuala Tanjung akan menjadi pelabuhan masa depan Indonesia dan menjadi kendaraan Indonesia dalam menguasai pasar di Selat Malaka,” ujar Prasetyo.

Dia menambahkan bahwa Kuala Tanjung saat ini memiliki dermaga multiguna sepanjang 500 meter yang dapat digunakan di kedua sisinya. Sisi luar akan digunakan untuk transportasi curah dan sisi dalam akan digunakan untuk peti kemas. Selain itu, terdapat lapangan penumpukan peti kemas di Pelabuhan Kuala Tanjung seluas 8 h. “Kuala Tanjung memiliki kedalaman 17 meter, yang merupakan kedalaman alami. Ini adalah pelabuhan dengan kedalaman yang sesuai standar internasional untuk menjadi hub,” tambah Prasetyo.

Kawasan industri Kuala Tanjung

Prasetyo mengatakan bahwa ada beberapa calon investor yang tertarik untuk menanamkan modalnya di Kawasan Industri Kuala Tanjung. Beberapa di antaranya adalah di sektor oleokimia, di sektor smelter, dan pemain logistik global. “Itu adalah (investor) yang sudah mengajukan proposal. Kami sudah melakukan pendekatan dengan mereka, salah satunya bahkan sudah menjalin nota kesepahaman (MoU), yaitu DHL. Seperti yang kita ketahui, DHL adalah pemain bisnis besar internasional,” katanya.

Prasetyo menjelaskan bahwa mereka tertarik karena Kuala Tanjung berada di posisi yang strategis, yaitu di tengah-tengah Selat Malaka. “Ada beberapa investor asing lain yang tertarik karena Kuala Tanjung berada di Selat Malaka. Salah satunya dari India yang ingin membangun pabrik oleochemical. Ada juga [investor] dari China yang akan membangun smelter di Kuala Tanjung,” ungkapnya. Prasetyo mengungkapkan bahwa Pelindo I bersama Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Batu Bara dan BPN pusat saat ini sedang memverifikasi kebutuhan lahan Kawasan Industri Kuala Tanjung. Lahan seluas 300 hektare tersebut akan dibebaskan secara bertahap hingga tahun depan.

Dia menegaskan bahwa pengembangan Kawasan Industri Kuala Tanjung dilakukan secara bertahap hingga mencapai 3.400 ha. Saat ini, calon mitra Palindo I yang berminat untuk berinvestasi di Kawasan Industri Kuala Tanjung membutuhkan lahan seluas 250 ha. Saat ini mereka sedang mempersiapkan uji tuntas (due diligence). “Calon investor yang membutuhkan 250 ha sudah mengajukan proposal, dan kami sudah melakukan MoU dengan calon mitra tersebut. Mereka masih melakukan uji tuntas terhadap kondisi Kuala Tanjung. Kami menargetkan untuk mengakuisisi 3.000 ha tahun depan,” jelas Prasetyo.

Disadur dari: pwc.com

Selengkapnya
Pelindo Siapkan Tiga Pelabuhan Jadi Gerbang Utama Logistik Global
« First Previous page 65 of 773 Next Last »