Perubahan Iklim

Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan dan Pengentasan Kemiskinan di Era Pemanasan Global 1,5°C

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Tantangan dan Peluang di Dunia yang Memanas

Bab ini mengkaji hubungan kompleks antara pembangunan berkelanjutan, pengentasan kemiskinan, pengurangan ketimpangan, dan tindakan iklim dalam konteks pembatasan pemanasan global hingga 1,5°C di atas tingkat pra-industri. Laporan ini menegaskan bahwa membatasi pemanasan pada 1,5°C dibanding 2°C dapat secara signifikan mengurangi risiko kemiskinan, ketimpangan, dan dampak buruk iklim lainnya, sekaligus memudahkan pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Dampak Pemanasan 1,5°C terhadap Kemiskinan dan Ketimpangan

  • Pemanasan global 1,5°C akan memperburuk kemiskinan dan ketimpangan, terutama bagi kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, masyarakat adat, dan penduduk di wilayah pesisir dan lahan kering.
  • Proyeksi menunjukkan bahwa pada 2030, pemanasan 1,5°C dapat menyebabkan 122 juta orang tambahan mengalami kemiskinan ekstrem, terutama akibat kenaikan harga pangan dan penurunan kesehatan.
  • Dibandingkan dengan pemanasan 2°C, pembatasan di 1,5°C dapat mengurangi jumlah orang yang rentan terhadap risiko iklim dan kemiskinan antara 62 hingga 457 juta orang.
  • Wilayah seperti Afrika, Asia Selatan, dan negara-negara kepulauan kecil sangat rentan terhadap dampak ini.

Sinergi dan Trade-Off antara Adaptasi, Mitigasi, dan Pembangunan Berkelanjutan

  • Adaptasi iklim yang efektif dapat memperkuat pencapaian SDGs, khususnya SDG 1 (kemiskinan), SDG 2 (kelaparan), SDG 3 (kesehatan), dan SDG 6 (air bersih).
  • Namun, beberapa strategi adaptasi dan mitigasi berpotensi menimbulkan trade-off, misalnya penggunaan pupuk yang berlebihan dapat merusak kualitas air, atau peningkatan irigasi dapat menimbulkan tekanan air.
  • Mitigasi dengan pengurangan emisi di sektor energi dan pertanian dapat memberikan manfaat kesehatan dan lingkungan yang besar, sekaligus mendukung pembangunan berkelanjutan.
  • Transformasi sosial dan ekonomi yang inklusif sangat penting untuk mengoptimalkan sinergi dan meminimalkan trade-off.

Jalur Pembangunan Berkelanjutan Menuju Dunia 1,5°C

  • Jalur pembangunan yang berkelanjutan dan tahan iklim (Climate-Resilient Development Pathways/CRDPs) mengintegrasikan adaptasi, mitigasi, dan pembangunan sosial-ekonomi.
  • Jalur ini menuntut transformasi sistemik yang meliputi perubahan teknologi, institusi, nilai budaya, dan pola konsumsi.
  • Studi menunjukkan bahwa jalur dengan tingkat kesetaraan sosial dan pengurangan kemiskinan yang tinggi (misalnya SSP1) lebih memungkinkan untuk mencapai target 1,5°C dengan biaya mitigasi yang lebih rendah.
  • Jalur yang berisiko tinggi (misalnya SSP3 dengan rivalitas regional dan ketimpangan) menghadapi tantangan besar untuk mencapai target iklim dan pembangunan.

Studi Kasus: Praktik Berbasis Komunitas dan Ekosistem

  • Di daerah kering, praktik regenerasi alami yang dikelola petani (Farmer Managed Natural Regeneration/FMNR) telah berhasil merehabilitasi jutaan hektar lahan di Afrika dan Asia, meningkatkan ketahanan pangan dan mengurangi kemiskinan.
  • Contoh di Ethiopia menunjukkan rehabilitasi lahan yang mendukung 648.000 orang dan merehabilitasi 25,4 juta hektar lahan antara 2012-2015.
  • Pendekatan berbasis ekosistem dan komunitas ini merupakan strategi adaptasi dan mitigasi yang murah, efektif, dan inklusif.

Tantangan dan Kondisi untuk Mencapai Tujuan

  • Pencapaian pembangunan berkelanjutan dan mitigasi iklim memerlukan koordinasi lintas sektor dan tingkat pemerintahan.
  • Pendanaan dan transfer teknologi harus disesuaikan dengan kebutuhan lokal dan memperhatikan keadilan sosial.
  • Proses inklusif dan partisipatif sangat penting untuk memastikan keterlibatan kelompok rentan dan pengambilan keputusan yang adil.
  • Perlu perhatian khusus pada struktur kekuasaan dan ketimpangan yang dapat menghambat transformasi sosial dan lingkungan.

Opini dan Kritik

  • Bab ini sangat komprehensif dan menggabungkan berbagai aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan secara holistik.
  • Penekanan pada sinergi dan trade-off memberikan gambaran realistis tentang kompleksitas transformasi yang dibutuhkan.
  • Namun, literatur tentang dampak jangka panjang dan evaluasi empiris jalur pembangunan berkelanjutan masih terbatas.
  • Perlu lebih banyak studi kontekstual dan kebijakan yang mengintegrasikan keadilan sosial secara eksplisit.

Jalan Menuju Masa Depan yang Adil dan Berkelanjutan

Pembatasan pemanasan global hingga 1,5°C membuka peluang besar untuk mengurangi kemiskinan dan ketimpangan, serta mempercepat pencapaian SDGs. Namun, ini menuntut transformasi sosial-ekonomi yang mendalam, penguatan kapasitas adaptasi, dan kebijakan inklusif yang mengatasi ketidaksetaraan. Pendekatan holistik yang mengintegrasikan adaptasi, mitigasi, dan pembangunan berkelanjutan menjadi kunci untuk masa depan yang lebih adil dan lestari.

Sumber Artikel 

Roy, J., Tschakert, P., Waisman, H., Abdul Halim, S., Antwi-Agyei, P., Dasgupta, P., Hayward, B., Kanninen, M., Liverman, D., Okereke, C., Pinho, P.F., Riahi, K., dan Suarez Rodriguez, A.G. (2018). Sustainable Development, Poverty Eradication and Reducing Inequalities. In: Global Warming of 1.5°C. An IPCC Special Report on the impacts of global warming of 1.5°C above pre-industrial levels and related global greenhouse gas emission pathways, in the context of strengthening the global response to the threat of climate change, sustainable development, and efforts to eradicate poverty. Masson-Delmotte, V. et al. (eds.). In Press.

Selengkapnya
Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan dan Pengentasan Kemiskinan di Era Pemanasan Global 1,5°C

Sumber Daya Air

Desentralisasi di Papua: Studi Kasus Pelayanan Publik dan Demokratisasi di Wilayah Terpencil Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Desentralisasi sebagai Jawaban atas Ketimpangan dan Konflik

Tesis ini mengkaji implementasi desentralisasi di Indonesia, khususnya di Papua dan Papua Barat, dua provinsi dengan tantangan geografis, sosial, dan politik yang unik. Desentralisasi yang dimaksud adalah pemindahan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk memperbaiki pelayanan publik dan memperkuat demokratisasi. Namun, meski sudah berjalan hampir dua dekade, hasilnya belum optimal, terutama dalam penyediaan layanan dasar dan akuntabilitas demokratis.

Metodologi dan Studi Kasus

Penelitian menggunakan pendekatan studi kasus kualitatif dan kuantitatif di empat wilayah: Jayawijaya (pendidikan), Asmat (akses layanan kesehatan), Manokwari (tata kelola air minum), dan analisis sistem pemilihan lokal “noken” di Papua. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, analisis dokumen, dan data spasial menggunakan GIS.

Temuan Utama dan Analisis

1. Pendidikan di Jayawijaya: Uniformitas Kebijakan dan Kegagalan Insentif

  • Angka kunci: Rata-rata lama sekolah hanya 6,3 tahun (2017), jauh di bawah target nasional 8,8 tahun.
  • Masalah utama: Kebijakan nasional yang seragam tidak mengakomodasi kondisi geografis dan sosial lokal yang sulit dijangkau.
  • Insentif guru tidak efektif: Tingginya ketidakhadiran guru terutama guru PNS yang sulit dipantau karena jarak dan kurangnya koordinasi.
  • Monitoring lemah: Struktur pemerintahan yang terfragmentasi dan jarak geografis menyebabkan pengawasan guru dan sekolah tidak optimal.
  • Kurikulum nasional sulit diterapkan: Buku pelajaran nasional kurang relevan dengan konteks lokal, menyebabkan rendahnya pemahaman siswa.

2. Akses Layanan Kesehatan di Asmat: Ketimpangan Spasial

  • Wilayah rawa dan terpencil menyebabkan distribusi fasilitas kesehatan tidak merata.
  • Banyak desa sulit dijangkau, sehingga akses masyarakat terhadap pelayanan dasar sangat terbatas.
  • Krisis gizi dan wabah penyakit seperti campak menyebabkan kematian anak yang tinggi (lebih dari 65 anak meninggal pada 2018).
  • Rekomendasi: Perencanaan spasial yang lebih adil dan peningkatan fasilitas di daerah terpencil.

3. Tata Kelola Air Minum di Manokwari: Desain Institusional yang Tidak Sinkron

  • Meskipun Manokwari sebagai ibu kota provinsi berkembang, cakupan air bersih masih rendah (hanya 25% penduduk terlayani).
  • Kelembagaan tata kelola air terfragmentasi antara tingkat makro (nasional), meso (kabupaten), dan mikro (desa).
  • Kebijakan dan struktur organisasi yang tidak sinkron menyebabkan tumpang tindih tugas dan lemahnya koordinasi.
  • Dampak: Layanan air minum tidak efektif dan sulit menjangkau seluruh masyarakat.

4. Sistem Pemilihan “Noken” dan Demokratisasi Lokal

  • Sistem pemilihan tradisional menggunakan “noken” (tas anyaman) sebagai kotak suara, di mana kepala suku memilih atas nama komunitas.
  • Sistem ini bertentangan dengan prinsip demokrasi liberal “satu orang satu suara” dan sering memicu konflik serta kekerasan saat pemilu.
  • Namun, sistem ini diakui secara konstitusional untuk melindungi adat dan mencegah konflik sosial.
  • Analisis menunjukkan bahwa masalah utama bukan hanya budaya, tapi juga kegagalan tata kelola dan pengawasan pemilu.

Analisis Teoritis: Desentralisasi sebagai Hubungan Principal-Agent dan Dimensi Geografis

  • Desentralisasi dipandang sebagai hubungan principal-agent, di mana pemerintah pusat (principal) mendelegasikan kewenangan kepada pemerintah daerah (agent).
  • Masalah muncul ketika agent memiliki informasi lebih baik dan kepentingan berbeda, sehingga sulit dikontrol oleh principal.
  • Geografi memperparah masalah ini: jarak dan kondisi wilayah Papua yang sulit menyebabkan lemahnya pengawasan dan koordinasi.
  • Struktur pemerintahan yang vertikal dan horizontal tidak selalu sinkron, menimbulkan konflik fungsi dan kewenangan.

Opini dan Kritik

  • Studi ini sangat komprehensif dan mendalam, menggabungkan data empiris dan teori untuk menjelaskan kompleksitas desentralisasi di daerah terpencil.
  • Penekanan pada konteks lokal dan tantangan geografis menjadi kekuatan utama, karena sering diabaikan dalam studi desentralisasi umum.
  • Namun, fokus pada Papua dan Papua Barat membuat hasil kurang generalisasi untuk daerah lain di Indonesia.
  • Studi ini juga membuka peluang riset lanjutan tentang solusi inovatif untuk mengatasi masalah monitoring dan insentif di daerah terpencil.

Rekomendasi Kebijakan

  • Kebijakan nasional harus lebih fleksibel dan responsif terhadap konteks lokal, menghindari pendekatan “one-size-fits-all”.
  • Perkuat kapasitas monitoring dan evaluasi dengan melibatkan pemerintah desa dan teknologi informasi.
  • Reformasi sistem insentif guru dan tenaga pendidik agar sesuai kebutuhan dan kondisi lokal.
  • Tingkatkan koordinasi antar lembaga dan tingkat pemerintahan untuk sinkronisasi fungsi.
  • Evaluasi dan reformasi sistem pemilihan tradisional agar demokrasi lokal lebih inklusif dan damai.

Tantangan dan Harapan Desentralisasi di Papua

Tesis ini menegaskan bahwa desentralisasi di Papua dan Papua Barat menghadapi tantangan besar yang bersifat struktural, geografis, dan kultural. Meskipun desentralisasi memberikan peluang untuk demokratisasi dan peningkatan pelayanan publik, tanpa penyesuaian kebijakan dan penguatan kapasitas lokal, hasilnya tetap jauh dari harapan. Pendekatan yang mengintegrasikan konteks lokal, perbaikan insentif, dan penguatan monitoring menjadi kunci untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif dan demokratis di wilayah ini.

Sumber Artikel

Efriandi, Tri. (2021). Decentralization and the challenges of local governance in Indonesia: Four case studies on public service provision and democratization in Papua and West Papua. University of Groningen.

Selengkapnya
Desentralisasi di Papua: Studi Kasus Pelayanan Publik dan Demokratisasi di Wilayah Terpencil Indonesia

Perubahan Iklim

Strategi Adaptasi Iklim Swedia: Studi Kasus, Tantangan, dan Inovasi Menuju Masyarakat Tangguh di Era Pemanasan Global

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Swedia di Garis Depan Adaptasi Iklim Dunia

Swedia, negara Skandinavia dengan reputasi tinggi dalam inovasi lingkungan, menghadapi tantangan perubahan iklim yang semakin nyata. Laporan “Sweden’s Adaptation Communication” (ADCOM, 2022) kepada UNFCCC memaparkan capaian, tantangan, dan strategi nasional Swedia dalam membangun masyarakat yang tahan iklim. Resensi ini mengulas laporan tersebut secara kritis, menyoroti data, studi kasus, kebijakan, serta pelajaran yang bisa diadopsi negara lain.

Gambaran Umum: Kondisi, Kerangka Hukum, dan Institusi Adaptasi Swedia

Fakta Kunci

  • Kenaikan suhu rata-rata di Swedia sudah hampir 2°C sejak era pra-industri—dua kali lipat dari rata-rata global.
  • Wilayah: 406.550 km², dengan 58% hutan, 8% lahan pertanian, 12% lahan basah, 9% perairan darat.
  • Populasi: 10,4 juta (2020), diproyeksikan 10,9 juta pada 2030.
  • Kepadatan: 25,5 jiwa/km², dengan konsentrasi tinggi di wilayah selatan dan Stockholm (367 jiwa/km²).

Kerangka Kelembagaan dan Regulasi

  • Strategi Adaptasi Nasional 2018: Menetapkan tujuan masyarakat tangguh iklim, dengan prinsip-prinsip adaptasi, monitoring, dan evaluasi lima tahunan.
  • Ordinance on Adaptation (2019): Mengatur 32 lembaga nasional dan 21 dewan administratif daerah untuk menyusun rencana aksi adaptasi, analisis kerentanan, dan pelaporan tahunan.
  • Peran Pemerintah Daerah: 290 kotamadya bertanggung jawab atas perencanaan tata ruang, infrastruktur air, layanan sosial, dan kesiapsiagaan bencana.
  • Pendanaan: Hibah pemerintah untuk pencegahan tanah longsor (misal: Göta älv), banjir, dan erosi; dana LONA untuk solusi berbasis alam.

Dampak, Risiko, dan Kerentanan: Studi Kasus dan Data

Tren Iklim & Proyeksi

  • Suhu rata-rata naik 1°C (1991–2020 vs. 1961–1990); di utara, kenaikan >2°C di musim dingin.
  • Proyeksi: Musim tanam bertambah 20–80 hari (tergantung lokasi) hingga akhir abad ini; musim dingin makin pendek, musim panas lebih panjang.

Bencana Iklim: Data dan Studi Kasus

1. Kebakaran Hutan & Kekeringan

  • 2014: Kebakaran terbesar dalam 60 tahun, membakar hampir 14.000 ha di tengah Swedia.
  • 2018: Lebih dari 25.000 ha hutan terbakar akibat musim panas ekstrem; kerugian ekonomi dan ekologi besar.
  • Proyeksi: Kekeringan meningkat >60 hari/tahun di selatan dan sekitar danau besar pada akhir abad ini.

2. Banjir dan Hujan Ekstrem

  • 2021, Gävle: 161 mm hujan dalam 24 jam (dua kali lipat rata-rata bulanan), menyebabkan banjir besar, evakuasi, dan kerusakan infrastruktur.
  • Risiko banjir: Lebih sering di selatan dan barat daya, terutama di kota-kota pesisir dan lembah sungai.

3. Kenaikan Muka Laut dan Erosi Pantai

  • Rata-rata kenaikan muka laut: 25 cm sejak 1800-an, namun di banyak wilayah Swedia diimbangi oleh kenaikan daratan pasca-glasial (hingga 10 mm/tahun di utara).
  • Wilayah selatan: Paling rentan karena kenaikan daratan hampir nol.
  • Skåne: Garis pantai mundur 200 meter dalam 35 tahun di beberapa lokasi akibat erosi.

4. Gelombang Panas

  • Definisi: Suhu ≥25°C selama ≥5 hari berturut-turut.
  • Tren: Makin sering, berdampak pada kesehatan (peningkatan mortalitas, penyakit pernapasan), terutama kelompok rentan seperti lansia dan anak-anak.

5. Dampak pada Air Minum dan Sanitasi

  • Kekeringan dan banjir: Menurunkan debit sungai, meningkatkan risiko kontaminasi sumber air baku, dan memperbesar kebutuhan teknologi pengolahan air.
  • Intrusi salinitas: Ancaman bagi akuifer pesisir akibat kenaikan muka laut.

Dampak Sektoral: Analisis Spesifik

Pertanian & Ketahanan Pangan

  • Musim tanam lebih panjang: Potensi panen meningkat, namun risiko gagal panen akibat kekeringan, banjir, dan serangan hama juga naik.
  • Irigasi: Hanya 3% pengambilan air untuk irigasi, namun kebutuhan melonjak di Skåne dan selatan saat musim kering.
  • Dampak 2018: Kekeringan menyebabkan penurunan produksi, kenaikan harga pangan, dan kerugian petani.

Kehutanan

  • 58% lahan Swedia berupa hutan; sektor penting ekonomi dan ekosistem.
  • Risiko: Kebakaran, serangan hama, badai, dan perubahan spesies pohon.
  • Adaptasi: Diversifikasi spesies, perubahan pola penebangan, perlindungan hutan tua.

Infrastruktur & Tata Kota

  • Risiko banjir dan longsor: 10 kawasan prioritas nasional diidentifikasi sebagai rawan banjir, erosi, dan tanah longsor.
  • Tindakan adaptasi: Penguatan tanggul, sistem drainase adaptif, taman resapan (rain gardens), dan pengurangan permukaan kedap air.
  • Contoh: Kota Malmö membangun taman Hyllie yang didesain untuk menampung air hujan ekstrem.

Energi

  • Hydropower: 85% gangguan listrik akibat cuaca ekstrem (badai, banjir, kekeringan).
  • Adaptasi: Penguatan bendungan, perubahan manajemen reservoir, konversi jaringan listrik bawah tanah.

Kesehatan

  • Risiko utama: Gelombang panas, penyakit vektor (Lyme, TBE), alergi, dan penyakit air.
  • Adaptasi: Panduan kesehatan untuk gelombang panas, penguatan sistem pemantauan penyakit, edukasi publik.

Reindeer Herding & Budaya Sami

  • Dampak: Pergeseran musim, hilangnya padang rumput, fragmentasi habitat, dan tekanan pada budaya Sami.
  • Adaptasi: Rencana aksi komunitas Sami untuk identifikasi risiko dan strategi adaptasi lokal.

Kebijakan, Strategi, dan Implementasi

Strategi Nasional Adaptasi (2018)

  • Tujuan: Masyarakat tahan iklim, mengurangi kerentanan, dan memanfaatkan peluang.
  • 10 prinsip adaptasi: Termasuk sains, kehati-hatian, fleksibilitas, integrasi, dan keadilan.
  • Monitoring: Evaluasi lima tahunan oleh Dewan Ahli Adaptasi Nasional.

Rencana Aksi dan Implementasi

  • 45 rencana aksi adaptasi nasional dan regional untuk sektor-sektor kunci.
  • 150+ rencana aksi lokal di tingkat kotamadya (sekitar 50% dari total kota).
  • 90% kotamadya menyadari kebutuhan adaptasi, namun hanya setengah yang sudah punya rencana aksi formal.

Pendanaan & Dukungan

  • Hibah khusus: Pencegahan longsor di Göta älv, dana LONA untuk solusi berbasis alam, LIFE-EU untuk investasi lingkungan.
  • Kerja sama internasional: Dukungan ke negara berkembang melalui Sida (Swedish International Development Cooperation Agency), dengan fokus Afrika dan Asia.

Studi Kasus Adaptasi: Inovasi dan Pembelajaran

1. Taman Hyllie, Malmö

  • Latar: Banjir besar 2014 mendorong desain ulang taman kota untuk menampung air hujan ekstrem.
  • Inovasi: Kombinasi taman, kolam resapan, dan sistem drainase alami.
  • Dampak: Menurunkan risiko banjir dan meningkatkan kualitas ruang publik.

2. Pemetaan Cloudburst di Botkyrka

  • Metode: Analisis kerentanan banjir akibat hujan deras, pemetaan zona rawan, dan pengembangan rencana aksi.
  • Manfaat: Mengidentifikasi kebutuhan infrastruktur baru dan strategi kesiapsiagaan.

3. Adaptasi Kehutanan

  • Aksi: Diversifikasi spesies, adaptasi pola penebangan, dan perlindungan hutan tua.
  • Dampak: Meningkatkan resiliensi hutan terhadap kebakaran, hama, dan badai.

4. Rencana Aksi Komunitas Sami

  • Fokus: Identifikasi risiko perubahan iklim pada penggembalaan rusa dan budaya Sami.
  • Strategi: Konsultasi komunitas, pemetaan risiko lokal, dan pengembangan rencana adaptasi berbasis pengetahuan adat.

Tantangan, Hambatan, dan Gap

Kesenjangan Implementasi

  • Variasi antar daerah: Kota besar dan pesisir lebih maju dalam adaptasi, sementara kota kecil dan utara masih tertinggal.
  • Keterbatasan SDM dan data: Banyak kota kekurangan staf dan data iklim lokal.
  • Hambatan hukum: Beberapa regulasi dianggap menghambat inovasi adaptasi.

Gap Pengetahuan

  • Risiko transnasional: Dampak iklim di luar Swedia (misal: migrasi, ketahanan pangan global) belum terintegrasi penuh dalam strategi nasional.
  • Adaptasi berkeadilan: Isu gender, kelompok rentan, dan keadilan sosial masih perlu penguatan dalam kebijakan dan implementasi.

Hambatan Praktis

  • Pendanaan: Keterbatasan anggaran untuk infrastruktur adaptasi, terutama di daerah rural.
  • Koordinasi lintas sektor: Masih perlu penguatan, terutama antara pemerintah pusat, daerah, dan komunitas lokal.

Pelajaran, Praktik Baik, dan Rekomendasi

Praktik Baik

  • Solusi berbasis alam: Restorasi lahan basah, taman kota multifungsi, dan pengelolaan DAS partisipatif.
  • Jaringan adaptasi lokal: Kolaborasi antar kota (contoh: jaringan adaptasi di Gothenburg) mempercepat pertukaran pengetahuan dan inovasi.
  • Integrasi sains dan pengetahuan lokal: Melibatkan komunitas adat Sami dalam perencanaan adaptasi.

Rekomendasi

  1. Perkuat kapasitas lokal: Pelatihan staf, penguatan data iklim, dan dukungan teknis untuk kota kecil dan daerah utara.
  2. Integrasi keadilan sosial: Pastikan adaptasi inklusif, memperhatikan gender, kelompok rentan, dan masyarakat adat.
  3. Dorong inovasi dan solusi berbasis alam: Skala-up praktik baik seperti taman resapan, restorasi lahan basah, dan desain ruang publik adaptif.
  4. Penguatan monitoring dan evaluasi: Sistem evaluasi adaptasi perlu diperkuat dan hasilnya dijadikan dasar kebijakan.
  5. Kolaborasi internasional: Tingkatkan kerja sama dengan negara berkembang, terutama di Afrika dan Asia, untuk transfer pengetahuan dan pendanaan.

Hubungan dengan Tren Global dan Industri

  • SDGs, Paris Agreement, Sendai Framework: Strategi adaptasi Swedia selaras dengan agenda global.
  • Nature-based solutions dan digitalisasi: Menjadi tren utama di Eropa dan dunia, dengan Swedia sebagai pelopor.
  • Pendanaan iklim internasional: Swedia termasuk donor utama untuk adaptasi di negara berkembang, dengan fokus pada inklusi gender dan keadilan.

Kritik dan Opini

Kelebihan

  • Komprehensif dan transparan: Laporan memuat data, kebijakan, dan studi kasus nyata.
  • Fokus pada keadilan: Integrasi gender dan pengetahuan adat menjadi kekuatan utama.
  • Monitoring dan evaluasi: Sistem evaluasi lima tahunan dan pelaporan tahunan memperkuat akuntabilitas.

Kekurangan

  • Belum merata: Implementasi adaptasi masih timpang antar wilayah.
  • Kurang roadmap digitalisasi: Perlu strategi lebih jelas untuk pemanfaatan teknologi digital dan data iklim real-time.
  • Gap pengetahuan transnasional: Dampak global dan ketergantungan Swedia pada sistem internasional masih kurang diintegrasikan.

Menuju Swedia Tangguh Iklim dan Inklusif

Laporan Adaptation Communication Sweden 2022 menunjukkan bahwa Swedia berada di jalur yang tepat dalam membangun masyarakat tahan iklim, namun tantangan besar tetap ada. Kunci keberhasilan ada pada inovasi, kolaborasi lintas sektor, penguatan kapasitas lokal, dan integrasi keadilan sosial dalam seluruh kebijakan. Dengan memperkuat praktik baik dan mempercepat adopsi solusi berbasis alam serta digitalisasi, Swedia dapat menjadi model global dalam adaptasi iklim yang inklusif dan berkelanjutan.

Sumber Artikel 

Ministry of the Environment, Sweden. (2022). Sweden’s Adaptation Communication. A report to the United Nations Framework Convention on Climate Change, November 2022.

Selengkapnya
Strategi Adaptasi Iklim Swedia: Studi Kasus, Tantangan, dan Inovasi Menuju Masyarakat Tangguh di Era Pemanasan Global

Perubahan Iklim

Krisis dan Peluang Ketahanan Pangan Arab: Analisis Data, Studi Kasus, dan Strategi Adaptasi di Era Krisis Air dan Iklim

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Peta Krisis Ketahanan Pangan Arab

Laporan “Arab Environment: Food Security” (AFED 2014) adalah salah satu dokumen paling komprehensif yang membedah tantangan dan prospek ketahanan pangan di dunia Arab. Dengan menggabungkan data empiris, studi kasus, dan analisis kebijakan, laporan ini membedah akar krisis pangan—mulai dari kelangkaan air, degradasi lahan, perubahan iklim, hingga ketergantungan impor—serta menawarkan peta jalan inovatif menuju ketahanan pangan berkelanjutan.

Gambaran Umum: Fakta, Angka, dan Tren Ketahanan Pangan

Ketergantungan Impor dan Defisit Pangan

  • Rasio swasembada pangan Arab hanya 71,7% (2011), turun dari 70,5% (2005).
  • Swasembada serealia lebih rendah: 45,5% (2011), turun dari 49,7% (2005).
  • Negara GCC (Gulf Cooperation Council) hanya 9,1% swasembada serealia.
  • Sudan tertinggi (86,8%), Qatar terendah (9,9%).
  • Rata-rata Arab: swasembada gula 36,9%, minyak/lemak 54,3%, daging 76,2%, buah & sayur 106,2%, ikan 98,2%.
  • Impor pangan Arab pada 2011 mencapai 105,8 juta ton (US$55,6 miliar), termasuk 66,8 juta ton serealia (US$25 miliar).
  • Biaya impor pangan naik dari US$288/ton (2005) ke US$525/ton (2011).
  • Proyeksi 2050: biaya impor pangan bisa tembus US$150 miliar, serealia US$60 miliar.

Krisis Air: Jantung Masalah Pangan Arab

  • Rata-rata ketersediaan air terbarukan: 813 m³/kapita/tahun (2011), jauh di bawah rata-rata dunia (6.000 m³).
  • 13 negara Arab masuk kategori sangat langka air (<500 m³/kapita); 6 negara “exceptionally scarce” (<100 m³/kapita).
  • 85% air dihabiskan untuk irigasi, dengan efisiensi rata-rata hanya 51%.
  • Beberapa negara (Kuwait, UAE, Qatar, Libya, Saudi Arabia) menarik air untuk pertanian jauh melebihi sumber terbarukan (misal: Kuwait 2.460% dari sumber terbarukan).
  • Krisis air diperparah oleh pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan perubahan iklim.

Studi Kasus dan Data Lapangan

1. Abu Dhabi: Krisis Air dan Strategi Ketahanan

  • Sumber air utama: 65% air tanah (hanya 20% yang tawar/brackish), 30% desalinasi, 5% air daur ulang.
  • 80% air tanah digunakan untuk pertanian.
  • Tingkat penurunan muka air tanah di area intensif bisa mencapai 5 meter/tahun.
  • Proyeksi: air tanah tawar habis dalam 50 tahun jika pola konsumsi tak berubah.
  • Solusi: “water budget” berbasis desalinasi, air daur ulang, dan recharge alami; mengurangi konsumsi pertanian; investasi biosaline agriculture.
  • Saat ini, produksi pangan domestik hanya penuhi 10% kebutuhan Abu Dhabi.
  • Impor pangan tetap jadi andalan, dengan strategi diversifikasi negara pemasok.

2. Maroko: Green Morocco Plan (GMP)

  • Pertanian menyumbang 18% PDB, 38% lapangan kerja nasional, 75% di pedesaan.
  • Hanya 16% lahan pertanian yang diairi, sisanya tergantung hujan (rata-rata 365 mm/tahun).
  • GMP (2008–2020): investasi >US$10 miliar, dua pilar (intensifikasi pertanian modern & penguatan petani kecil).
  • Program utama: konversi 550.000 ha irigasi permukaan ke drip irrigation (333.000 ha selesai 2012), target 700.000 ha.
  • Program adaptasi iklim: konservasi tanah, varietas toleran kekeringan, rotasi tanaman, asuransi cuaca.
  • Konversi 1,1 juta ha lahan serealia tak produktif ke pohon buah (terutama zaitun).
  • Hasil: peningkatan produktivitas dan ketahanan petani kecil terhadap iklim ekstrem.

3. GCC: Investasi Luar Negeri dan Strategi Cadangan

  • Negara GCC (Saudi, UAE, Qatar, Kuwait, Oman, Bahrain) sangat bergantung pada impor pangan.
  • Investasi besar-besaran di lahan pertanian luar negeri (Afrika, Asia) untuk menjamin pasokan serealia dan pakan.
  • Inisiatif Saudi Agricultural Investment Abroad dan Qatar National Plan for Food Security.
  • Cadangan pangan strategis dan sistem peringatan dini menjadi prioritas, termasuk pengembangan infrastruktur penyimpanan.
  • GCC juga pionir dalam penggunaan air limbah terolah untuk irigasi (37% dari total air limbah terolah).

4. Rainfed Agriculture dan Petani Kecil

  • 75% lahan pertanian Arab adalah lahan tadah hujan, namun produktivitasnya sangat rendah (rata-rata 0,8 ton/ha untuk serealia).
  • Studi ICARDA: adopsi teknologi panen air hujan bisa melipatgandakan hasil panen 2–3 kali.
  • Contoh: di Sudan dan Tunisia, panen air hujan tingkatkan hasil serealia 20–30%.
  • Raised-bed planting di Mesir: naikkan hasil gandum 30%, hemat air 25%, efisiensi air 72%.

5. Post-Harvest Losses (PHL)

  • Kerugian pascapanen serealia: 6,6 juta ton/tahun (13% produksi regional).
  • Kerugian impor gandum: 3,3 juta ton/tahun (5% dari total impor).
  • Nilai kerugian gabungan: US$3,5 miliar (setara 40% produksi gandum Arab).
  • Penyebab: panen, transportasi, penyimpanan, dan logistik impor yang buruk.
  • Solusi: investasi pada rantai pasok, penyimpanan modern, dan edukasi petani.

Analisis Kritis: Tantangan, Kesenjangan, dan Peluang

Tantangan Utama

  • Kelangkaan air dan lahan: Rata-rata lahan subur per kapita sangat rendah, bahkan di bawah 0,1 ha di banyak negara.
  • Irigasi boros dan tidak efisien: Rata-rata efisiensi irigasi hanya 51%, jauh di bawah standar global.
  • Produktivitas rendah: Rata-rata hasil serealia Arab hanya 1.794 kg/ha (2012), sedangkan rata-rata dunia 3.619 kg/ha.
  • Ketergantungan impor: Arab adalah importir serealia terbesar dunia, sangat rentan terhadap fluktuasi harga dan krisis pasokan global.
  • Dampak perubahan iklim: Proyeksi penurunan hasil panen 20–40% di negara-negara seperti Mesir, Aljazair, dan Maroko pada 2030–2050.
  • Degradasi lahan dan air: Salinisasi, erosi, penurunan muka air tanah, dan polusi air merusak kapasitas produksi jangka panjang.

Peluang dan Solusi

  • Peningkatan efisiensi irigasi: Jika efisiensi naik ke 70%, bisa hemat 50 miliar m³ air/tahun—cukup untuk produksi 30 juta ton serealia (45% impor serealia, setara US$11,25 miliar).
  • Peningkatan produktivitas lahan tadah hujan: Dengan teknologi panen air hujan dan varietas unggul, hasil bisa naik 2–3 kali lipat (tambahan 15–30 juta ton serealia).
  • Penggunaan air limbah terolah: Potensi besar, namun saat ini baru 9% air limbah terolah digunakan untuk irigasi di negara non-GCC.
  • Diversifikasi pangan: Promosi konsumsi ikan (sudah hampir swasembada) dan pengembangan akuakultur.
  • Kerja sama intra-regional: Integrasi rantai pasok pangan, harmonisasi kebijakan pertanian, dan investasi bersama di negara tetangga (terutama Afrika).
  • Virtual water trade: Impor pangan dari negara berair melimpah sebagai strategi konservasi air domestik.

Studi Perbandingan dan Tren Global

  • Produktivitas serealia dunia naik karena inovasi teknologi, bukan perluasan lahan. Di Arab, kenaikan produksi lebih banyak akibat perluasan lahan (naik 39% sejak 1961), bukan peningkatan hasil (baru 1.794 kg/ha vs. 3.619 kg/ha dunia).
  • Negara seperti Mesir dan GCC, dengan irigasi hampir 100%, hasil lebih tinggi. Sudan, dengan irigasi <10%, hasil sangat rendah (472 kg/ha).
  • GCC pionir dalam penggunaan air limbah terolah dan investasi pertanian luar negeri.
  • Maroko dan Tunisia sukses dengan drip irrigation dan asuransi cuaca.
  • Konsep water-food-energy-climate nexus makin diadopsi, menuntut kebijakan lintas sektor.

Kritik dan Opini

Kelebihan Laporan

  • Data sangat rinci dan komparatif: Menyajikan angka-angka per negara, sub-wilayah, dan tren historis.
  • Studi kasus nyata: Abu Dhabi, Maroko, GCC, dan petani kecil menjadi contoh konkret.
  • Analisis lintas sektor: Memadukan isu air, energi, pangan, dan iklim dalam satu kerangka.

Kekurangan

  • Kurang eksplorasi inovasi digital: Teknologi sensor, big data, dan digitalisasi rantai pasok belum banyak dibahas.
  • Isu keadilan dan gender: Peran perempuan dan kelompok rentan dalam ketahanan pangan kurang dieksplorasi.
  • Replikasi solusi: Banyak solusi bersifat kontekstual, perlu adaptasi jika diterapkan di negara lain.

Rekomendasi Kebijakan

  1. Tingkatkan efisiensi irigasi dan produktivitas lahan tadah hujan melalui adopsi teknologi tepat guna, pelatihan petani, dan investasi riset.
  2. Dorong penggunaan air limbah terolah secara aman dan luas untuk irigasi.
  3. Kurangi kerugian pascapanen dengan modernisasi rantai pasok dan edukasi.
  4. Bangun cadangan pangan strategis dan sistem peringatan dini untuk menghadapi krisis global.
  5. Perkuat kerja sama intra dan inter-regional untuk investasi, transfer teknologi, dan harmonisasi kebijakan.
  6. Integrasikan kebijakan pangan, air, energi, dan iklim dalam satu kerangka nasional dan regional.
  7. Kembangkan sistem asuransi pertanian dan adaptasi iklim untuk melindungi petani kecil dan meningkatkan resiliensi.
  8. Promosikan diversifikasi pangan (ikan, buah, sayur, produk lokal) dan perubahan pola konsumsi.

Hubungan dengan Tren Industri dan Kebijakan Global

  • SDG 2 (Zero Hunger), SDG 6 (Clean Water), SDG 13 (Climate Action) sangat relevan dengan temuan laporan ini.
  • Konsep Nexus (air-energi-pangan-iklim) makin diadopsi dalam kebijakan global dan regional.
  • Inovasi pertanian cerdas iklim (climate-smart agriculture) dan nature-based solutions makin penting di tengah krisis air dan iklim.
  • Investasi lintas negara dan digitalisasi rantai pasok menjadi tren masa depan untuk ketahanan pangan.

Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Ketahanan Pangan Arab

Laporan AFED 2014 menegaskan bahwa tantangan pangan di dunia Arab sangat kompleks—berakar pada krisis air, produktivitas rendah, dan ketergantungan impor. Namun, peluang perbaikan terbuka lebar melalui efisiensi irigasi, adopsi teknologi, kerja sama regional, dan diversifikasi pangan. Dengan kebijakan terintegrasi, investasi berkelanjutan, dan inovasi lintas sektor, dunia Arab dapat membalikkan tren krisis menjadi peluang menuju ketahanan pangan berkelanjutan.

Sumber Artikel 

AFED (2014). Arab Environment: Food Security. Annual Report of the Arab Forum for Environment and Development, 2014; A. Sadik, M. El-Solh and N. Saab (Eds.); Beirut, Lebanon. Technical Publications.

Selengkapnya
Krisis dan Peluang Ketahanan Pangan Arab: Analisis Data, Studi Kasus, dan Strategi Adaptasi di Era Krisis Air dan Iklim

Perubahan Iklim

Mengintegrasikan Gender dan Interseksionalitas dalam Adaptasi Iklim: Studi Kasus, Data, dan Rekomendasi Praktis dari Adaptation Fund

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Gender, Interseksionalitas, dan Adaptasi Iklim

Isu perubahan iklim dan adaptasi bukan sekadar soal teknis atau ekologi, melainkan juga sangat terkait dengan keadilan sosial, gender, dan kerentanan multidimensi. Studi “Intersectional Approaches to Gender Mainstreaming in Adaptation-Relevant Interventions” yang diterbitkan Adaptation Fund (2022) membedah bagaimana strategi gender mainstreaming dalam program adaptasi iklim harus bertransformasi menjadi lebih interseksional—yaitu, mengakui dan mengatasi tumpang tindih kerentanan dan identitas sosial (gender, usia, etnis, status ekonomi, disabilitas, dll). Artikel ini mengulas isi, data, studi kasus, serta kritik dan rekomendasi praktis dari laporan penting ini.

Konsep Kunci: Dari Gender Mainstreaming Menuju Interseksionalitas

Evolusi Gender Mainstreaming

  • Gender mainstreaming adalah strategi global untuk memastikan semua kebijakan, program, dan intervensi memperhitungkan dampak dan kebutuhan gender secara setara.
  • Namun, pengalaman lapangan menunjukkan bahwa “pria” dan “wanita” bukanlah kelompok homogen. Identitas lain—usia, etnis, status sosial, disabilitas, orientasi seksual—menciptakan lapisan kerentanan dan privilege yang saling bertumpuk.
  • Interseksionalitas (intersectionality) adalah lensa analitik yang menyoroti bagaimana gender berinteraksi dengan faktor lain dalam membentuk pengalaman, kerentanan, dan kapasitas adaptasi seseorang terhadap perubahan iklim.

Mengapa Interseksionalitas Penting dalam Adaptasi Iklim?

  • Kerentanan iklim sangat dipengaruhi tumpang tindih identitas sosial: Misal, perempuan muda dari kelompok etnis minoritas di daerah terpencil menghadapi hambatan berbeda dibanding perempuan tua di kota.
  • Pendekatan interseksional menghasilkan intervensi yang lebih inklusif, adil, dan efektif, serta menghindari solusi “satu ukuran untuk semua”.

Metodologi Studi

  • Desk review: Analisis literatur akademik, dokumen kebijakan, dan studi kasus dari berbagai organisasi internasional (UN Women, USAID, IIED, GEF, dsb).
  • Fokus sektor: Pertanian, ketahanan pangan, kehutanan, pengurangan risiko bencana, air, kesehatan.
  • Studi kasus: Diambil dari Afrika, Asia Selatan, dan negara berkembang lain, dengan penekanan pada praktik nyata dan pembelajaran lapangan.

Temuan Utama: Praktik & Tantangan Interseksionalitas

1. Interseksionalitas dalam Kebijakan dan Program

  • Banyak organisasi mulai mengadopsi interseksionalitas dalam strategi gender, seringkali dengan istilah “Gender Equality and Social Inclusion” (GESI).
  • Contoh IIED: Toolkit “Pamoja Voices” di Tanzania mengidentifikasi prioritas adaptasi berdasarkan gender dan usia, memastikan suara perempuan muda, laki-laki muda, perempuan dewasa, dan laki-laki dewasa terwakili dalam perencanaan adaptasi iklim.
  • Contoh USAID/Feed the Future di Nepal: GESI digunakan untuk mengidentifikasi hambatan akses layanan penyuluhan pertanian, bukan hanya berdasarkan gender, tapi juga kasta, etnis, dan posisi dalam rumah tangga.

2. Studi Kasus: Praktik Interseksional di Lapangan

Tanzania: Toolkit Pamoja Voices

  • Empat kelompok target: laki-laki muda, perempuan muda, laki-laki dewasa, perempuan dewasa.
  • Aktivitas: Diskusi terpisah, pemetaan musim, analisis pengalaman hidup, pemetaan stakeholder, dan penyusunan rute ketahanan.
  • Temuan:
    • Perempuan muda lebih rentan kekerasan saat mencari air di musim kering.
    • Laki-laki muda lebih rentan konflik antarkelompok saat menggembala.
    • Prioritas intervensi berbeda: perempuan menekankan akses air dan keamanan, laki-laki pada pendidikan dan diversifikasi penghidupan.
  • Dampak: Perencanaan adaptasi jadi lebih responsif terhadap kebutuhan spesifik tiap kelompok.

Nepal: GESI dalam Penyuluhan Pertanian

  • Barriers: Kasta, etnis, dan gender saling memperkuat eksklusi akses layanan pertanian.
  • Praktik baik: Kuota partisipasi perempuan, Dalit, dan Janajati; pelatihan GESI untuk staf lapangan; data terpilah gender dan etnis.
  • Kritik: Pendekatan masih sering berhenti di permukaan (misal, hanya kuota tanpa perubahan struktur kekuasaan dalam rumah tangga/komunitas).

Bangladesh: “Double Vulnerabilities” Gender dan Etnisitas

  • Metode: Participatory Vulnerability and Capacity Assessment (PVCA) di 8 komunitas etnis minoritas.
  • Temuan:
    • Perempuan etnis minoritas mengalami diskriminasi ganda: tidak bisa mewarisi tanah, lebih rentan pelecehan, akses air bersih lebih sulit.
    • Ketergantungan pada lingkungan membuat perempuan lebih terdampak bencana (banjir, salinitas, kekeringan).
    • Mobilitas terbatas akibat norma budaya, memperburuk kerentanan saat bencana.
  • Rekomendasi: Prioritaskan pembangunan shelter, layanan kesehatan bergerak, dan infrastruktur air untuk komunitas etnis minoritas, khususnya perempuan.

Analisis Sektor: Interseksionalitas dalam Adaptasi

1. Pertanian & Ketahanan Pangan

  • Perempuan petani kecil di Afrika dan Asia seringkali lebih rentan karena akses lahan, kredit, dan teknologi terbatas—dan kerentanan ini berlipat jika mereka berasal dari kasta/etnis minoritas atau rumah tangga perempuan kepala keluarga.
  • Studi Ghana: Perempuan muda lajang lebih rentan gagal panen daripada perempuan tua atau laki-laki, karena akses sumber daya dan jaringan sosial lebih sempit.

2. Kehutanan

  • Partisipasi perempuan dalam pengelolaan hutan sering dihambat oleh norma gender, usia, dan status sosial.
  • Studi India: Perempuan muda dari kasta rendah hampir tak punya suara dalam komite hutan, sementara perempuan tua dari kasta tinggi lebih berpengaruh.

3. Pengurangan Risiko Bencana

  • Studi Bangladesh: Perempuan etnis minoritas lebih jarang menerima informasi evakuasi dan lebih sulit mengakses shelter.
  • Kebijakan: Perlu shelter ramah gender, layanan kesehatan bergerak, dan pelibatan perempuan/kelompok minoritas dalam perencanaan bencana.

4. Air, Sanitasi, dan Kesehatan

  • WASH (Water, Sanitation and Hygiene): Perempuan muda dan kelompok disabilitas lebih rentan kekerasan saat mencari air atau menggunakan fasilitas umum.
  • Studi India dan Afrika Timur: Fasilitas air yang tidak inklusif memperparah beban perempuan muda dan kelompok rentan.

Tantangan Implementasi: Data, Kapasitas, dan Politik

  • Data terpilah: Masih minim data terpilah gender, usia, etnis, disabilitas, dsb., sehingga sulit mengukur dampak intervensi secara interseksional.
  • Kapasitas SDM: Banyak pelaksana proyek belum terlatih melakukan analisis interseksional, cenderung berhenti di analisis gender biner.
  • Resistensi budaya: Norma patriarki dan eksklusi sosial masih kuat di banyak komunitas, sehingga perubahan membutuhkan waktu dan strategi bertahap.
  • Keterbatasan metodologi: Kebanyakan pendekatan masih “snippet”—hanya satu atau dua aspek interseksional, belum komprehensif.

Nilai Tambah & Rekomendasi Praktis

Nilai Tambah Interseksionalitas

  • Membuka “blind spot” dalam perencanaan dan evaluasi proyek adaptasi.
  • Meningkatkan efektivitas dan keadilan: Intervensi jadi lebih tepat sasaran, mengurangi risiko memperparah ketimpangan.
  • Mendorong perubahan struktural: Dari sekadar “tidak merugikan” menjadi “memperkuat hak dan agen kelompok rentan”.

Rekomendasi

  1. Bangun data terpilah dan monitoring interseksional: Kumpulkan dan analisis data berdasarkan gender, usia, etnis, disabilitas, status sosial, dsb.
  2. Libatkan kelompok rentan dalam seluruh siklus proyek: Dari desain, implementasi, hingga evaluasi.
  3. Pelatihan SDM: Tingkatkan kapasitas pelaksana proyek dalam analisis interseksional dan gender-transformative.
  4. Gunakan indikator kualitatif dan kuantitatif: Gabungkan survei, FGD, dan pemetaan sosial untuk memahami kerentanan dan kebutuhan spesifik.
  5. Dokumentasi dan pembelajaran berkelanjutan: Catat praktik baik, tantangan, dan inovasi untuk perbaikan berkelanjutan.
  6. Advokasi kebijakan: Dorong pemerintah dan donor untuk mengadopsi kebijakan dan pendanaan berbasis interseksionalitas.

Hubungan dengan Tren Global & Industri

  • SDGs (khususnya SDG 5, 10, 13): Interseksionalitas memperkuat prinsip “leave no one behind”.
  • Kebijakan donor besar (AF, GEF, UN, USAID): Semakin menuntut analisis dan pelaporan interseksional.
  • Industri pengembangan internasional: Inovasi digital (big data, mobile survey) dan participatory mapping makin diadopsi untuk mengatasi gap data.

Kritik dan Opini

Kelebihan

  • Studi ini komprehensif: Mengintegrasikan teori, kebijakan, dan praktik lapangan.
  • Studi kasus nyata: Memberi gambaran konkret tantangan dan solusi interseksional.
  • Rekomendasi aplikatif: Bisa diadopsi oleh pemerintah, donor, dan pelaksana proyek.

Kekurangan

  • Belum ada metodologi baku: Implementasi masih sangat tergantung konteks dan kapasitas lokal.
  • Fokus negara berkembang: Studi kasus dari negara maju masih minim, padahal kerentanan juga ada di sana (misal, migran, LGBTQ+).
  • Kurang eksplorasi teknologi digital: Potensi inovasi digital untuk monitoring interseksional belum banyak dibahas.

Kesimpulan: Interseksionalitas, Gender, dan Adaptasi Iklim—Dari Wacana ke Aksi

Studi Adaptation Fund ini menegaskan bahwa tanpa lensa interseksional, upaya adaptasi iklim berisiko memperkuat ketimpangan lama dan menciptakan kerentanan baru. Dengan mengadopsi pendekatan interseksional dalam gender mainstreaming, program adaptasi dapat menjadi lebih inklusif, adil, dan efektif. Kunci suksesnya adalah data terpilah, pelibatan kelompok rentan, inovasi metode, dan komitmen perubahan struktural. Transformasi ini adalah proses bertahap, namun setiap langkah kecil menuju interseksionalitas akan memperkuat ketahanan masyarakat di era krisis iklim.

Sumber Artikel 

Adaptation Fund Board. (2022). A Study on Intersectional Approaches to Gender Mainstreaming in Adaptation-Relevant Interventions. AFB/B.37-38/Inf.1, 17 February 2022.

Selengkapnya
Mengintegrasikan Gender dan Interseksionalitas dalam Adaptasi Iklim: Studi Kasus, Data, dan Rekomendasi Praktis dari Adaptation Fund

Sumber Daya Air

Tata Kelola Air di Dunia Arab: Krisis, Studi Kasus, dan Strategi Adaptif Menuju Masa Depan Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Air sebagai Isu Pembangunan dan Ancaman

Wilayah Arab, yang terdiri dari 22 negara dan lebih dari 360 juta jiwa, menghadapi tantangan air terberat di dunia. Dengan mayoritas wilayah berupa gurun, curah hujan minim, dan tekanan populasi yang meningkat pesat, kawasan ini hanya memiliki seperdelapan ketersediaan air per kapita dibanding rata-rata global. Laporan UNDP 2013 ini mengupas akar krisis air, menyoroti data dan studi kasus, serta menawarkan strategi tata kelola air yang adaptif dan inklusif.

Fakta dan Angka: Krisis Air yang Semakin Mendesak

Rata-rata ketersediaan air terbarukan di kawasan Arab hanya 743,5 meter kubik per kapita per tahun pada 2011, jauh di bawah ambang batas kelangkaan air (1.000 m³/kapita) dan rata-rata dunia (7.240 m³/kapita). Lima belas negara Arab sudah berada di bawah ambang kelangkaan parah, bahkan tujuh di antaranya di bawah 200 m³/kapita per tahun.

Populasi Arab diperkirakan melonjak dari 360 juta jiwa pada 2011 menjadi 634 juta jiwa pada 2050, dengan urbanisasi yang meningkat dari 57% ke 75%. Kesenjangan antara pasokan dan permintaan air yang sudah mencapai 43 kilometer kubik per tahun pada 2009, diprediksi membesar menjadi 127 kilometer kubik per tahun pada 2020–2030 jika tidak ada perubahan mendasar.

Sumber Air: Ketergantungan dan Inovasi

Kawasan Arab sangat bergantung pada sumber air nonkonvensional. Kapasitas desalinasi di wilayah ini menyumbang lebih dari 50% kapasitas dunia. Pada 2011, desalinasi memenuhi 1,8% kebutuhan air, dan diproyeksikan naik menjadi 8,5% pada 2025. Selain itu, air limbah terolah mencapai 6,5 miliar meter kubik per tahun, terutama untuk irigasi dan lanskap.

Strategi virtual water trade juga semakin penting. Impor pangan yang “mengandung” air meningkat dua kali lipat dalam satu dekade, dari 147,93 miliar meter kubik pada tahun 2000 menjadi 309,89 miliar meter kubik pada 2010. Ini menandakan ketergantungan pangan Arab pada sumber air luar negeri.

Studi Kasus: Praktik, Tantangan, dan Inovasi

Bendungan Aswan di Mesir

Pembangunan Aswan High Dam membawa manfaat besar: menjamin irigasi, mengurangi risiko banjir dan kekeringan, memperluas lahan pertanian, dan menghasilkan listrik. Namun, dampak sosialnya juga besar, seperti relokasi satu juta warga dan hilangnya situs sejarah Nubia. Secara lingkungan, bendungan ini menyebabkan penurunan kesuburan tanah delta, peningkatan salinitas, penyebaran penyakit air, dan penurunan hasil perikanan. Meski demikian, manfaat ekonominya tetap signifikan, setara dua persen PDB Mesir pada 1997.

Great Man-Made River di Libya

Proyek jaringan pipa terbesar dunia ini menyalurkan 6,5 juta meter kubik air per hari dari akuifer Nubian ke kota-kota utama Libya. Biaya proyek mencapai 20 miliar dolar AS, namun dinilai sepuluh kali lebih hemat daripada desalinasi. Tantangannya adalah ketergantungan pada air non-renewable yang bisa habis dalam 100 tahun, sementara 70% airnya digunakan untuk irigasi. Efisiensi ekonomi dan kelestarian akuifer menjadi pertanyaan besar.

Penurunan Air Tanah dan Salinisasi

Di Maroko, penurunan muka air tanah di Saïss Basin mencapai 70 meter dalam 25 tahun. Di Bahrain, seluruh akuifer alami telah hilang akibat pengambilan air berlebihan, dengan biaya pengganti setara 160 juta dolar AS per tahun. Gaza menghadapi krisis kualitas air, dengan 70–80% akuifer pantai terintrusi air laut dan kadar nitrat jauh di atas batas aman WHO.

Desalinasi dan Energi di Negara Teluk

Arab Saudi memiliki 35% kapasitas desalinasi Arab, menggunakan seperempat produksi minyak dan gasnya untuk listrik dan air—angka ini diprediksi naik hingga 50% pada 2030. Biaya desalinasi di kawasan ini berkisar 1–2 dolar AS per meter kubik, lebih mahal dibandingkan negara lain. Target kapasitas desalinasi akan naik signifikan, membutuhkan investasi puluhan miliar dolar AS.

Pengelolaan Air Limbah

Wilayah Arab menghasilkan 13,2 miliar meter kubik air limbah per tahun, namun hanya 40% yang diolah. Di GCC, 40% air limbah terolah digunakan untuk irigasi non-pangan, sementara di Yordania, 20% irigasi nasional berasal dari air limbah terolah. Tantangan utama adalah standar kualitas, penerimaan sosial, dan kapasitas monitoring yang masih rendah.

Rainwater Harvesting dan Cloud Seeding

Yordania berhasil meningkatkan efisiensi pertanian dan air domestik melalui rainwater harvesting. Sementara itu, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, dan Yordania telah menguji cloud seeding yang meningkatkan curah hujan hingga 13% pada musim tertentu. Namun, tantangan teknis dan isu kepemilikan “awan” antarnegara masih menjadi hambatan.

Tantangan Tata Kelola: Kelembagaan, Sosial, dan Politik

Banyak negara Arab sudah memiliki kerangka hukum tata kelola air, namun implementasinya lemah akibat tumpang tindih otoritas, sentralisasi, dan kurang koordinasi. Pendanaan menjadi masalah besar, dengan kebutuhan investasi 200 miliar dolar AS dalam satu dekade ke depan. Negara kaya minyak relatif mampu, sementara negara miskin sangat bergantung pada donor.

Privatisasi layanan air diupayakan untuk efisiensi, namun sering menimbulkan kontroversi karena risiko ketidakadilan akses dan hilangnya kontrol publik. Kesenjangan akses masih lebar: pada 2010, 18% penduduk Arab belum memiliki akses air bersih, dan 24% tanpa sanitasi layak. Kelompok rentan seperti perempuan, masyarakat miskin, dan minoritas paling terdampak.

Konflik dan Ketergantungan Lintas Batas

Lebih dari separuh air permukaan di kawasan Arab berasal dari luar wilayah. Negara seperti Mesir, Irak, dan Suriah sangat bergantung pada sungai lintas negara, seperti Nil, Tigris, dan Efrat. Konflik air kerap terjadi, baik terkait sungai maupun akuifer lintas negara. Ini menambah kompleksitas tata kelola dan menuntut diplomasi serta perjanjian baru yang adil.

Polusi dan Degradasi Lingkungan

Polusi pertanian dan domestik menyebabkan kadar nitrat di Gaza dan Tunisia mencapai 800 mg/l, jauh di atas batas aman. Eutrofikasi dan limbah industri mencemari danau dan sungai utama, seperti Danau Manzala di Mesir dan Upper Litani di Lebanon. Dampak ekologisnya termasuk hilangnya oasis, penurunan keanekaragaman hayati, dan desertifikasi yang semakin luas.

Analisis Kritis: Kelebihan, Gap, dan Peluang

Laporan UNDP ini sangat rinci dan komparatif, menghubungkan isu air, pangan, energi, kesehatan, dan keadilan sosial dengan pendekatan holistik. Studi kasus nyata dari berbagai negara memperkuat urgensi reformasi tata kelola air. Namun, implementasi kebijakan masih lemah, inovasi digital dan teknologi belum dioptimalkan, dan peran perempuan dalam tata kelola air belum diarusutamakan.

Peluang besar terbuka jika efisiensi irigasi bisa ditingkatkan, penggunaan air limbah terolah diperluas, dan desalinasi berbasis energi terbarukan diadopsi lebih luas. Rainwater harvesting dan teknologi murah sangat relevan untuk desa dan kota kecil. Kerja sama lintas negara dan pendekatan demand management juga menjadi kunci masa depan.

Hubungan dengan Tren Global dan Industri

Laporan ini sangat relevan dengan SDG 6 (Clean Water & Sanitation) dan SDG 13 (Climate Action). Konsep water-food-energy nexus mulai diadopsi, begitu pula solusi berbasis alam seperti restorasi lahan basah dan pengelolaan DAS partisipatif. Negara-negara maju seperti Singapura dan Belanda sudah memimpin dalam digitalisasi monitoring air, sesuatu yang perlu diadopsi di Arab.

Kritik dan Opini

Laporan ini wajib dibaca oleh pembuat kebijakan, akademisi, dan praktisi air di kawasan kering. Studi kasus dan data aktual memperkuat urgensi reformasi tata kelola air, dan analisis biaya-manfaat menegaskan bahwa investasi air dan sanitasi sangat menguntungkan. Namun, roadmap digitalisasi dan inovasi teknologi masih kurang, begitu pula pembahasan tentang adaptasi berbasis komunitas dan gender.

Kesimpulan: Menuju Tata Kelola Air Adaptif dan Inklusif

Krisis air di dunia Arab adalah krisis tata kelola, bukan sekadar kelangkaan fisik. Dengan tantangan perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan tekanan politik, hanya tata kelola yang adaptif, transparan, dan inklusif yang bisa menjamin masa depan air kawasan ini. Investasi pada efisiensi, inovasi, kerja sama lintas negara, dan pelibatan kelompok rentan adalah kunci. Laporan UNDP ini menjadi peta jalan penting menuju masa depan air yang aman, adil, dan berkelanjutan di dunia Arab.

Sumber Artikel 

United Nations Development Programme, Regional Bureau for Arab States. (2013). Water Governance in the Arab Region: Managing Scarcity and Securing the Future. New York: UNDP.

 

Selengkapnya
Tata Kelola Air di Dunia Arab: Krisis, Studi Kasus, dan Strategi Adaptif Menuju Masa Depan Berkelanjutan
« First Previous page 64 of 1.099 Next Last »