Desain

Cacat Sejak Lahir: Tesis Rwanda yang Mengungkap Mengapa Jalan Baru Menjadi Zona Kematian

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 14 November 2025


Bayangkan ini: setelah bertahun-tahun menabung, Anda akhirnya membangun rumah impian Anda. Anda menghabiskan miliaran rupiah. Desainnya modern, materialnya baru, lokasinya sempurna. Enam bulan setelah pindah, badai besar pertama datang, dan seluruh lantai dasar rumah Anda terendam banjir parah.

Anda memanggil ahli. Jawabannya? Arsitek Anda, dalam kecemerlangannya merancang fasad kaca yang indah, ternyata lupa merancang sistem drainase yang memadai untuk iklim lokal. Rumah baru Anda, yang seharusnya menjadi pencapaian puncak, ternyata sudah cacat secara desain sejak hari pertama.   

Ini bukan skenario hipotetis. Menurut sebuah tesis Master yang baru-saja selesai saya baca, inilah yang terjadi pada banyak proyek infrastruktur paling mahal dan penting kita: jalan raya.   

Saya baru saja "tersesat" selama beberapa hari di dalam dokumen setebal 92 halaman berjudul "DEVELOPMENT OF A SIMPLE ROAD SAFETY AUDIT PROCEDURE SUITABLE FOR ROAD CONDITION IN RWANDA". Ini adalah tesis Master dari Hadelin Verjus di Universitas Rwanda.   

Kedengarannya kering? Memang. Tapi di balik semua tabel dan jargon teknik, tesis ini  adalah salah satu cerita paling manusiawi dan mendesak yang pernah saya baca tentang bagaimana desain yang buruk—atau ketiadaan desain yang penuh pertimbangan—secara harfiah dapat membunuh.   

Tesis ini menemukan bahwa banyak jalan raya baru yang berkilau, yang dibangun untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, justru dirancang sebagai "black spot"—zona bahaya kecelakaan—langsung dari papan gambar.   

Saat Jalan Baru Menjadi Zona Kematian

Paradoks Pertumbuhan Rwanda

Untuk memahami mengapa tesis ini  begitu penting, kita perlu memahami konteksnya. Latar belakangnya adalah sebuah kisah sukses yang tragis. Pemerintah Rwanda, pada periode penulisan tesis (sekitar 2014), sedang berinvestasi besar-besaran dalam infrastruktur jalan. Tujuannya mulia: "untuk mengurangi biaya transportasi secara drastis bagi bisnis dan individu" dan mendorong pembangunan ekonomi.   

Dan itu berhasil. Pertumbuhan ekonomi Rwanda melesat. Jumlah kendaraan di jalan raya meledak. Tesis ini  mencatat peningkatan jumlah total kendaraan terdaftar dari hanya 30.158 pada tahun 2004 menjadi 105.306 pada tahun 2011. Itu peningkatan lebih dari tiga kali lipat dalam tujuh tahun.   

Tapi ada sisi gelap yang brutal dari pertumbuhan ini.

Semakin banyak jalan baru dan kendaraan baru, semakin banyak orang yang mati. Tesis ini  dengan gamblang menyatakan bahwa "kecelakaan di Rwanda meningkat dari tahun ke tahun". Data statistik kecelakaan sangat mengerikan: lebih dari 4.000 kecelakaan terjadi setiap tahun. Jumlah kematian akibat kecelakaan melonjak 61,9% hanya dalam lima tahun (dari 344 kematian pada 2009 menjadi 556 pada 2013).   

Di sinilah letak paradoks inti yang diidentifikasi oleh Verjus : "Pada banyak kesempatan, proyek jalan yang sama sekali baru telah ditetapkan sebagai black spot (titik rawan kecelakaan) hanya setelah beberapa tahun [beroperasi]".   

Jalan-jalan baru yang seharusnya menjadi simbol kemajuan, malah menjadi jebakan maut.   

Cacat Sejak Lahir

Pertanyaan yang jelas: Mengapa?

Jawaban yang mudah (dan malas) adalah menyalahkan pengemudi. Tapi tesis ini  menolak jawaban itu. Masalahnya jauh lebih dalam dan jauh lebih sistemik: ini adalah kegagalan desain.   

Verjus  mencatat bahwa "Rwanda sudah memiliki banyak masalah keselamatan jalan, seperti penampang melintang jalan yang di bawah standar (substandard cross sections), percampuran pengguna jalan yang berbeda (mixing of different road users), dan rintangan di tepi jalan (roadside obstacles)".   

Alih-alih menggunakan proyek jalan baru sebagai kesempatan untuk memperbaiki masalah warisan ini, para desainer dan konsultan sering kali hanya mengulanginya. Desain jalan baru tidak diaudit untuk keselamatan. Akibatnya, mereka membangun infrastruktur yang berbahaya sejak awal.   

Mereka sedang membangun "utang" keselamatan. Setiap kilometer jalan baru yang dibangun tanpa audit desain yang tepat adalah aset jangka panjang yang berbahaya. Ini adalah bom waktu finansial dan kemanusiaan, yang suatu hari nanti akan meledak dalam bentuk biaya rumah sakit, kehilangan produktivitas, dan—yang terburuk—duka keluarga.

  • 🚀 Hasilnya Mengerikan: Kecelakaan meningkat 1.808 kasus dalam satu dekade (2002-2012), dengan lebih dari 4.000 kecelakaan terjadi setiap tahun.   

  • 🧠 Inovasi yang Hilang: Alih-alih menggunakan proyek baru sebagai kesempatan untuk inovasi keselamatan, desain lama yang cacat (penampang di bawah standar, rintangan di tepi jalan) terus diimplementasikan di jalan-jalan baru.   

  • 💡 Pelajaran: Pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh infrastruktur tanpa desain yang aman hanya memindahkan biaya dari satu pos anggaran (transportasi) ke pos anggaran lain (kesehatan publik dan pemakaman).

Yang Paling Rentan, Yang Paling Sering Menjadi Korban

Ini Bukan "Kecelakaan", Ini Adalah Konsekuensi Desain

Di sinilah tesis ini  berubah dari laporan teknis menjadi sebuah tragedi kemanusiaan. Bab 6  adalah studi kasus yang mendalam dan memilukan di Jalan Nasional 1 (NR1).   

Saat Anda membedah 187 kecelakaan fatal yang dianalisis di jalan ini, sebuah pola yang mengerikan muncul.

Jika Anda bertanya, "Apa jenis kecelakaan fatal yang paling umum?" Jawabannya menusuk hati. Gambar 9 dalam tesis  menunjukkan bahwa 52% dari semua kecelakaan fatal adalah tabrakan antara kendaraan bermotor dan pejalan kaki.   

Separuh lebih.

Tabel 24  menguraikannya lebih lanjut. Dari semua orang yang tewas di jalan itu, 47% adalah pejalan kaki. Tambahkan 14% korban tewas lainnya yang merupakan pengendara sepeda.   

Itu berarti 6 dari 10 orang yang tewas di jalan raya utama itu  bukanlah pengemudi atau penumpang, melainkan orang-orang yang berjalan kaki atau bersepeda.   

Sekarang, mari kita hubungkan ini kembali ke jargon teknis yang kita lihat sebelumnya: "percampuran pengguna jalan yang berbeda" (mixing of different road users).   

Apa yang baru saja kita temukan adalah bahwa "percampuran pengguna jalan" adalah cara sopan para insinyur untuk mengatakan: "Kami merancang jalan raya berkecepatan tinggi yang mematikan tepat di tengah-tengah komunitas di mana orang-orang hidup, berjalan, dan bersepeda, tanpa memberi mereka perlindungan yang memadai."

Ini bukan "percampuran". Ini adalah pemaksaan koeksistensi yang tidak adil antara baja seberat dua ton yang melaju kencang dan tubuh manusia yang rapuh.

Kita tidak sedang melihat "kecelakaan" yang acak. Kita sedang melihat hasil yang dapat diprediksi dari sebuah sistem yang memprioritaskan kecepatan kendaraan di atas kehidupan manusia.

Korban Ekonomi yang Tersembunyi

Dan siapa yang berada di balik kemudi saat kecelakaan ini terjadi?

Tesis ini  juga melihat data itu. Gambar 3  menunjukkan bahwa kelompok usia pengemudi yang paling banyak terlibat dalam kecelakaan adalah antara 25-35 tahun.   

Verjus  dengan tepat menyebut ini sebagai "kelompok usia yang aktif secara ekonomi" (economically active age group).   

Ini adalah krisis ganda yang menghancurkan. Di satu sisi, Anda memiliki pengguna jalan yang paling rentan (pejalan kaki, pengendara sepeda, seringkali yang lebih miskin) yang tewas. Di sisi lain, Anda memiliki pengemudi di usia paling produktif mereka yang juga tewas atau cedera.

Negara ini secara bersamaan membunuh tenaga kerja manual dan tenaga kerja terampil/produktifnya. Dan akar penyebabnya? Desain infrastruktur yang buruk.

Lubang Hitam dalam Sistem: Mengapa Kita Terus Mengobati Gejala?

Jebakan "Black Spot"

Jadi, jika sebuah jalan baru secara ajaib menjadi "black spot", apa yang biasanya kita lakukan?

Kita bereaksi. Kita mengirim tim untuk "menganalisis black spot" dan menerapkan "tindakan perbaikan" (remedial measures).   

Tesis ini  pada dasarnya berteriak bahwa ini adalah kegilaan. Ini seperti menunggu puluhan orang jatuh dari tangga rumah baru Anda sebelum Anda memutuskan, "Hmm, mungkin kita harus memasang pegangan tangan."   

Mengapa tidak memasang pegangannya dari awal?

Studi kasus NR1  adalah bukti nyatanya. Setelah ratusan nyawa melayang dan cedera , tesis ini  dengan susah payah mengidentifikasi "langkah-langkah rekayasa keselamatan jalan perbaikan". Ini termasuk hal-hal yang seharusnya sudah ada sejak awal, seperti:   

  • Memasang "Raised pedestrian Crossings" (zebra cross timbul) di area padat.   

  • Memasang "Guardrail" (pagar pengaman) di tikungan tajam.   

  • Memperbaiki marka jalan dan rambu peringatan.   

Biaya untuk perbaikan ini? Tesis ini  mengestimasikan biaya untuk memperbaiki hanya dua bagian kecil jalan ini (total 4,5 km) mencapai RWF 280.763.000 (sekitar USD 432.000 dengan kurs 2014).   

Ini adalah biaya dari kegagalan. Ini adalah uang yang dibakar untuk memperbaiki kesalahan yang seharusnya tidak pernah dibuat.

Seperti yang dikatakan Verjus  dengan sangat tajam: "jauh lebih murah dan lebih mudah untuk memperbaiki proyek di papan gambar daripada setelah proyek tersebut diimplementasikan".   

Kesenjangan Prosedural

Bagaimana mungkin ini terjadi? Bagaimana mungkin jalan raya baru yang modern dirancang tanpa zebra cross timbul di area pejalan kaki atau pagar pengaman di tikungan tajam?

Tesis ini  memberikan jawaban yang paling mengejutkan di Bab 2: "praktik terbaik internasional dalam audit keselamatan jalan tidak diterapkan di Rwanda".   

Dan kalimat yang paling memberatkan, yang saya tandai dan baca berulang kali:

"Tidak ada auditor keselamatan jalan yang dipekerjakan pada tahap mana pun" (No road safety auditor is hired at any stage).   

Tidak ada. Nol.

Masalahnya bukanlah bahwa auditnya gagal; masalahnya adalah auditnya tidak ada. Proyek-proyek jalan raya bernilai miliaran ini dibangun berdasarkan desain dari konsultan, tanpa ada pemeriksaan keselamatan formal yang independen. Mereka hanya "berdoa" agar desainnya aman.

Dan data korban jiwa  menunjukkan bahwa doa saja tidak cukup.   

Solusi Sederhana yang Brilian: Berhenti Meramal, Mulai Memeriksa

Mendesain Keselamatan, Bukan Kebetulan

Di sinilah letak kontribusi inti dan kecemerlangan tesis Verjus. Dia tidak hanya mengidentifikasi masalah; dia membangun solusinya. Judul tesisnya  adalah tentang "Pengembangan Prosedur Audit Keselamatan Jalan yang Sederhana" (Bab 7).   

Ini adalah proposal radikal (sekaligus sangat masuk akal) untuk beralih dari reaktif (memperbaiki black spot) menjadi proaktif (mencegah black spot).

Bayangkan jika kamu mengatur desain jalan seperti peneliti di sini. Alih-alih hanya mempercayai arsitek (konsultan) Anda, Anda menyewa seorang inspektur independen (auditor) untuk memeriksa pekerjaan di 5 tahap krusial :   

  1. Tahap 1: Preliminary (Konsep Awal) : Tepat saat ide rute baru dibuat. Auditor bertanya: "Apakah kita benar-benar harus membangun jalan raya di sebelah sekolah? Bagaimana dampaknya terhadap jaringan jalan yang ada?". Ini mencegah kesalahan strategis.   

  2. Tahap 2: Draft Design (Draf Desain) : Saat draf pertama selesai. Auditor memeriksa hal-hal seperti "Alignment (horizontal, vertical)" dan "Sight distances" (jarak pandang). "Apakah tikungan ini terlalu tajam? Bisakah pengemudi melihat cukup jauh ke depan?"   

  3. Tahap 3: Detailed Design (Desain Rinci) : Tepat sebelum dokumen kontrak diserahkan. Ini adalah pemeriksaan terakhir pada semua detail: "Rambu dan marka lalu lintas," "Pencahayaan jalan," "Manajemen bahaya di tepi jalan," dan yang terpenting, "Kebutuhan... untuk Pengguna Jalan Khusus (pejalan kaki, pengendara sepeda...)".   

  4. Tahap 4: Construction (Selama Konstruksi) : Auditor mengunjungi lokasi untuk memastikan pengaturan lalu lintas sementara selama proyek aman bagi pekerja dan publik.   

  5. Tahap 5: Pre-opening (Sebelum Pembukaan) : Ini adalah tes terakhir. Auditor benar-benar mengemudikan dan berjalan di jalan yang sudah jadi, baik siang maupun malam, untuk "memeriksa apakah semua rambu dan marka terlihat" dan "apa yang ada di gambar sesuai dengan yang dibangun".   

Ini adalah langkah-langkah yang sangat masuk akal. Ini adalah quality control dasar. Fakta bahwa ini perlu diusulkan sebagai sebuah inovasi di tahun 2014 menunjukkan betapa dalamnya kesenjangan prosedural yang ada sebelumnya.

  • 🚀 Hasilnya Luar Biasa: Mencegah kecelakaan sebelum terjadi. Ini "lebih murah dan lebih mudah"  dan "mencegah orang terbunuh".   

  • 🧠 Inovasinya: Menggeser seluruh pola pikir industri dari "membangun" menjadi "membangun dengan aman". Ini melembagakan skeptisisme yang sehat ke dalam proses desain.

  • 💡 Pelajaran: Keselamatan bukanlah sesuatu yang Anda tambahkan di akhir. Keselamatan adalah sesuatu yang Anda desain dari awal.

Apa yang Paling Mengusik Saya (Kritik yang Sebenarnya)

Prosedur Hebat, Tapi Siapa yang Menjalankan?

Saya sangat antusias membaca solusi 5 tahap ini. Ini sangat jelas, logis, dan bisa ditindaklanjuti. Tetapi, ada satu kalimat dalam pendahuluan tesis ini  yang terus mengusik saya.   

Ini adalah opini pribadi saya , tetapi kalimat ini adalah pengakuan yang jujur dan brutal akan tantangan yang sebenarnya.   

Di halaman 13, Verjus  menulis:   

"Rwanda memiliki sedikit insinyur jalan berpengalaman yang dapat menantang desain dari konsultan" (Rwanda has few experienced road engineers that can challenge to designs of consultants).   

Mari kita baca lagi. Rwanda memiliki sedikit insinyur berpengalaman yang bisa menantang desain dari konsultan.

Bagi saya, di sinilah letak masalah sebenarnya. Tesis ini  telah mengidentifikasi solusi teknis (prosedur 5 tahap) untuk masalah yang pada dasarnya bersifat manusiawi dan organisasional.   

Prosedur audit 5 tahap  tidak ada artinya jika tidak ada orang yang kompeten, berpengalaman, dan—yang paling penting—diberdayakan untuk melaksanakannya.   

Apa gunanya "Tahap 3: Audit Desain Rinci"  jika auditor (jika ada) terlalu junior, terlalu takut dipecat, atau terlalu kurang pengalaman untuk berkata, "Maaf, Tuan Konsultan, desain tikungan Anda ini akan membunuh orang"?   

Tesis ini  bahkan mengakui bahwa "Manual yang ada memberikan sedikit panduan tentang cara mengevaluasi... Evaluasi biasanya diserahkan pada penilaian auditor keselamatan jalan yang berpengalaman".   

Ini adalah Paradoks Kapasitas: Anda memerlukan auditor berpengalaman untuk menilai desain, tetapi Anda tidak memiliki auditor berpengalaman.   

Tantangan di Balik Kertas

Ini adalah tantangan yang jauh melampaui teknik sipil. Ini adalah tentang membangun modal manusia, budaya akuntabilitas, dan keberanian profesional.

Kita tidak hanya membutuhkan lebih banyak insinyur; kita membutuhkan insinyur yang lebih baik, manajer proyek yang lebih kritis, dan pemimpin yang 'melek' desain.

Kemampuan untuk "menantang konsultan"  bukanlah sesuatu yang diajarkan di sebagian besar sekolah teknik. Itu adalah perpaduan antara pengalaman teknis, keterampilan negosiasi, manajemen risiko, dan ketajaman kepemimpinan.   

Ini adalah inti dari pengembangan profesional berkelanjutan, sesuatu yang sering diabaikan. Baik di Rwanda pada tahun 2014 maupun di konteks kita di Indonesia saat ini, para profesional teknis perlu terus mengasah kemampuan manajerial dan kepemimpinan mereka, mungkin melalui online course yang fokus pada aspek-aspek lanjutan seperti manajemen proyek, rekayasa nilai, dan kepemimpinan dalam proyek teknis di(https://www.diklatkerja.com).

Meski temuan tesis ini  hebat, tantangan implementasi yang diidentifikasinya sendiri (kekurangan SDM ahli)  jauh lebih besar daripada solusi prosedural yang ditawarkannya.   

Dampak Nyata yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini (Bahkan Jika Anda Bukan Insinyur)

Anda mungkin tidak sedang merancang jalan raya. Tetapi Anda sedang merancang sesuatu.

Mungkin itu adalah alur kerja baru untuk tim Anda. Mungkin itu adalah produk perangkat lunak. Mungkin itu slide presentasi, atau kurikulum pelatihan. Kebijaksanaan dari tesis Hadelin Verjus  ini berlaku universal.   

Inilah cara Anda menerapkan "Audit Keselamatan 5 Tahap"  dalam hidup dan pekerjaan Anda:   

  • 🚀 Pelajaran 1: Temukan "Pejalan Kaki" Anda. Dalam sistem apa pun yang Anda rancang, tanyakan: "Siapa pengguna yang paling rentan?" Apakah itu pelanggan baru yang bingung? Anggota tim junior? Pengguna dengan koneksi internet lambat? Rancang sistem Anda untuk melindungi mereka terlebih dahulu. Jangan biarkan mereka "tercampur"  dan tertabrak oleh pengguna ahli.   

  • 🧠 Pelajaran 2: Tantang "Konsultan" Anda. Kita semua memiliki "konsultan" dalam hidup kita—bisa jadi itu atasan kita, ahli dari departemen lain, atau bahkan asumsi kita sendiri yang sudah mendarah daging ("kita selalu melakukannya seperti ini"). Tesis ini  mengingatkan kita untuk tidak 'nurut' saja. Tanyakan "mengapa". Minta datanya. "Audit" klaim mereka sebelum Anda "membangun" seluruh proyek Anda di atasnya.   

  • 💡 Pelajaran 3: Mencegah Jauh Lebih Murah Daripada Mengobati. "Jauh lebih murah... di papan gambar". Investasikan satu jam ekstra di awal untuk merencanakan (Tahap 1-3) untuk menghemat 100 jam di akhir untuk memadamkan kebakaran (memperbaiki "black spot"). Baik itu menulis email penting atau meluncurkan produk baru, periksa draf Anda. Lakukan "audit pre-opening"  sebelum Anda menekan "kirim".   

Penutup: Jalan di Depan

Membaca tesis Hadelin Verjus  adalah sebuah pengalaman yang membuka mata. Ini adalah pengingat yang kuat bahwa dunia di sekitar kita—jalan yang kita lalui, gedung yang kita masuki, sistem yang kita gunakan—dibangun di atas ribuan keputusan desain.   

Ketika keputusan tersebut dibuat tanpa empati, tanpa audit, dan tanpa menantang status quo, hasilnya bisa menjadi bencana. Orang-orang terluka dan tewas. Bukan karena "nasib buruk", tetapi karena "desain yang buruk".

Dunia yang lebih aman, lebih adil, dan lebih efisien tidak terjadi secara kebetulan. Ia didesain.

Pertanyaannya sekarang, baik untuk Rwanda pada tahun 2014 maupun untuk kita hari ini, adalah: Apakah kita memiliki keberanian untuk mengaudit desain kita sendiri?

Kalau kamu tertarik dengan analisis mendalam ini, dan kamu tidak takut dengan dokumen teknis yang padat data, coba baca karya aslinya.

Selengkapnya
Cacat Sejak Lahir: Tesis Rwanda yang Mengungkap Mengapa Jalan Baru Menjadi Zona Kematian

Pembangunan Berkelanjutan

Masalah 94%: Mengapa Kita Salah Besar Soal Keselamatan Jalan

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 14 November 2025


Minggu lalu saya membaca sebuah paper penelitian.

Oke, saya tahu. Itu terdengar seperti awalan yang paling membosankan di dunia. Tapi percayalah, paper yang satu ini—judulnya "Competency of Rural Roads Achieving Targets 3.6 and 11.2 of the Sustainable Development Goals in Bangladesh"—terus menghantui saya. Ini bukan sekadar tumpukan data akademis yang kering; ini adalah sebuah cerita detektif yang mengungkap sebuah kelalaian yang begitu besar dan sistematis, sehingga saya harus membacanya dua kali.   

Bayangkan sejenak perjalanan pulang Anda. Anda mungkin memikirkan jalan tol atau jalan arteri utama yang sibuk. Tapi perjalanan sebenarnya—bagian yang paling penting—adalah kilometer terakhir. Jalan kecil yang membawa Anda ke depan pintu rumah Anda, jalan yang menghubungkan Anda ke pasar lokal, jalan yang dilewati anak-anak Anda ke sekolah.

Sekarang bayangkan jika saya katakan bahwa di satu negara besar, jalan-jalan "kilometer terakhir" ini—jalan pedesaan—mencakup 94% dari seluruh jaringan jalan. Sembilan puluh empat persen!   

Dan inilah intinya, yang diungkap oleh paper ini dengan sangat gamblang: negara itu, dan mungkin juga kita semua, secara kolektif buta terhadap apa yang terjadi di 94% jaringan jalan tersebut.

Kita memiliki target global yang mulia, tetapi kita bahkan tidak mengukur masalahnya dengan benar. Dan apa yang tidak Anda ukur, tidak akan pernah Anda perbaiki.

Janji Kita di Kertas vs. Nyawa yang Tak Terhitung

Kita semua ada dalam hal ini bersama-... secara global, maksud saya. Pada tahun 2015, PBB menetapkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Paper ini berfokus pada dua target spesifik yang telah dijanjikan oleh Bangladesh untuk dicapai :   

  1. Target 3.6: Mengurangi separuh jumlah kematian dan cedera global akibat kecelakaan lalu lintas jalan pada tahun 2030.

  2. Target 11.2: Menyediakan akses ke sistem transportasi yang aman, terjangkau, mudah diakses, dan berkelanjutan untuk semua.

Kedengarannya bagus, bukan? Ambisius. Penuh harapan. Tapi di sinilah letak masalah pertama yang membuat saya mengernyitkan dahi.

Para peneliti, Susankar Chandra Acharjee dan Hasib Mohammed Ahsan, menunjukkan sebuah kesenjangan data yang mengerikan. Data resmi Polisi Bangladesh melaporkan sekitar 4.000 kematian akibat kecelakaan lalu lintas setiap tahun. Namun, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan angka sebenarnya "bisa jadi lebih dari 25.000".   

Bayangkan jika Anda bertanya kepada CEO Anda tentang pendapatan kuartal ini, dan dia berkata, "Oh, antara $4 juta atau $25 juta." Anda tidak akan menyebutnya sebagai kesalahan pembulatan; Anda akan menyebutnya sebagai kelalaian besar-besaran. Ini bukan sekadar perbedaan statistik; ini adalah jurang ketidaktahuan. Puluhan ribu nyawa hilang dalam 'kesalahan estimasi' itu setiap tahun.

Dan kesenjangan ini menjadi lebih buruk.

Paper ini menjelaskan mengapa kesenjangan itu ada: Sistem pencatatan dan pelaporan kecelakaan saat ini "didasarkan terutama pada jalan raya" yang dikelola oleh Departemen Jalan dan Jalan Raya (RHD). Sistem ini "meninggalkan sejumlah besar jalan pedesaan" yang dikelola oleh Departemen Teknik Pemerintah Daerah (LGED).   

Ingat angka 94% tadi? Ya, 94% jalan pedesaan itu dikelola oleh LGED. Ini berarti, sistem data kecelakaan resmi secara sistematis mengabaikan 94% dari total jaringan jalan.

Dan inilah pukulan telaknya. Paragraf yang membuat saya benar-benar terdiam.

Para peneliti dengan santai menyebutkan bahwa pada tahun 2022, sebuah proyek keselamatan jalan utama senilai $358 juta (dengan bantuan Bank Dunia) telah disetujui. Tujuannya? "Membangun kapasitas manajemen keselamatan jalan dan mencapai pengurangan yang ditargetkan dalam fatalitas lalu lintas... untuk jalan raya tanpa memasukkan jalan pedesaan milik LGED".   

Siklusnya sempurna:

  1. Kita tidak mengumpulkan data di jalan pedesaan (94% jaringan).

  2. Karena tidak ada data, secara resmi masalahnya tidak ada.

  3. Kita mengalokasikan dana $358 juta untuk memperbaiki 6% jaringan lainnya (jalan raya) di mana kita memiliki data.

Ini adalah kegagalan sistemik yang terdokumentasi dengan sempurna. Kebijakan dan uang ratusan juta dolar mengikuti data yang cacat, mengabaikan inti masalah yang sebenarnya.

Saat Data Tak Ada, Jadilah Detektif Lapangan

Jadi, jika Anda adalah seorang peneliti yang ingin tahu seberapa aman 94% jalan pedesaan itu, apa yang Anda lakukan ketika tidak ada data kecelakaan sama sekali?

Anda tidak bisa menggunakan "model statistik yang tersedia". Database-nya kosong.   

Inilah bagian yang saya sukai. Para peneliti ini tidak menyerah. Mereka melakukan sesuatu yang sangat 'analog' dan brilian: mereka menjadi detektif lapangan.

Mereka menggunakan metodologi non-statistik yang disebut "Road Safety Inspection (RSI)". Sederhananya, alih-alih melihat statistik kecelakaan (yang tidak ada), mereka secara fisik pergi ke jalan dan mencari risiko kecelakaan. Mereka memeriksa " TKP" sebelum kecelakaan terjadi.   

Mereka secara acak memilih 8 jalan pedesaan dengan lalu lintas tinggi, satu dari setiap delapan divisi di negara itu, untuk "mewakili karakteristik topografi dan demografi seluruh negeri".   

Mereka membawa daftar periksa, kamera, dan mungkin pita pengukur. Mereka mencatat hal-hal mendasar :   

  • Dimensi geometris yang ada (seberapa lebar jalannya?)

  • Kekurangan elemen geometris (apakah ada marka jalan?)

  • Kondisi jalan (apakah rusak?)

  • Bahaya di pinggir jalan (ada apa di tepi jalan?)

  • Kurangnya fitur keselamatan (adakah trotoar?)

Mereka melakukan apa yang seharusnya dilakukan oleh sistem: mereka pergi dan melihat dengan mata kepala sendiri.

'Galeri Kengerian' yang Saya Lihat di Foto-Foto

Angka adalah satu hal. Tapi gambar-gambar dalam paper inilah—Gambar 4 hingga 22—yang benar-benar menghantui saya. Ini adalah data visual dari 8 inspeksi jalan tersebut. Ini seperti melakukan "tur virtual" neraka infrastruktur.   

Izinkan saya memandu Anda melalui beberapa temuan paling gila:

  • Tiang Listrik di Tengah Jalan (Gbr 20): Saya tidak bercanda. Saya harus memperbesar foto ini untuk memastikannya. Ya, itu tiang utilitas (listrik atau telepon). Berdiri dengan kokoh di atas badan jalan beraspal. Bukan di bahu jalan. Di badan jalan..   

  • Kolam Renang Maut (Gbr 18): Foto lain menunjukkan sebuah kolam besar, airnya tenang, persis di tepi jalan. Tidak ada pagar pembatas. Tidak ada penghalang. Tidak ada crash barrier. Satu kesalahan kecil di malam hari, satu ban selip di musim hujan, dan mobil Anda tenggelam.   

  • Jembatan Tanpa Pilihan (Gbr 21): Sebuah jembatan sempit melintasi sungai. Terlihat kokoh, tetapi lebarnya pas-pasan untuk satu truk. Dan... tidak ada fasilitas pejalan kaki sama sekali. Nol. Jadi, jika Anda seorang pejalan kaki, pilihan Anda adalah: berdesakan dengan lalu lintas di jembatan, bertaruh nyawa, atau tidak menyeberang sama sekali.   

  • Bahu Jalan Adalah Pasar (Gbr 15): Bahu jalan yang seharusnya menjadi zona aman bagi pejalan kaki? Oh, itu sudah beralih fungsi. Di banyak tempat, bahu jalan yang sempit itu ditempati oleh pedagang kaki lima yang mendirikan lapak. Ini memaksa pejalan kaki, anak-anak sekolah, dan hewan ternak untuk berjalan di badan jalan yang sudah sempit.   

  • Selokan Terbuka dan Lereng Curam (Gbr 16 & 19): Foto-foto lain menunjukkan saluran drainase terbuka yang dalam dan lereng yang curam, tepat di tepi aspal. Tidak ada 'zona aman' (clear zone). Tidak ada ruang untuk kesalahan sekecil apa pun.   

  • Kekacauan 'Heterogen' (Gbr 22): Dan foto puncaknya: "karakteristik lalu lintas". Ini adalah gambaran kekacauan total. Truk besar, bus, becak motor (autorickshaw), sepeda, dan pejalan kaki, semuanya "berperang" memperebutkan ruang di jalur sempit yang sama. Ini adalah resep pasti untuk bencana.   

Setelah melihat foto-foto ini, kesenjangan data antara 4.000 dan 25.000 kematian itu tiba-tiba terasa sangat masuk akal.

Ini Bukan Sekadar Jalan Rusak, Ini Desain yang Gagal

Melihat foto-foto itu, reaksi pertama saya adalah, "Wow, jalan-jalan ini sangat tidak terawat." Tapi ketika saya melihat lebih dalam pada Tabel III dan V, saya menyadari sesuatu yang jauh lebih buruk.

Ini bukan masalah 'kurang perawatan'. Ini masalah desain. Jalan-jalan ini dibangun dengan cara yang salah sejak awal. Mereka dirancang untuk gagal.

Para peneliti membandingkan dimensi aktual di lapangan dengan standar desain resmi yang disetujui oleh Komisi Perencanaan pemerintah sendiri.   

Mari kita bicara bahasa manusiawi di sini. Bayangkan Anda seorang insinyur sipil yang ditugaskan membangun "Jalan Upazila (UZR)":

  • Standar Lebar Jalan (Carriageway): Buku aturan Anda (standar) mengatakan jalan itu harus memiliki lebar 6.10 meter. Ini cukup untuk dua kendaraan berpapasan dengan hati-hati.

  • Kenyataan di Lapangan: Jalan #7 (Char Kowa-Karnakati) yang mereka inspeksi lebarnya hanya 3.70 meter. Jalan #5 dan #6 lebarnya bervariasi antara 3.70 dan 5.50 meter. Itu hampir 40% lebih sempit dari standar minimum!   

  • Standar Bahu Jalan (Shoulder): Buku aturan Anda mengatakan bahu jalan—zona aman yang krusial untuk pejalan kaki, sepeda, dan kendaraan berhenti darurat—harus memiliki lebar 2.45 meter.

  • Kenyataan di Lapangan: Sebagian besar jalan yang diinspeksi hanya memiliki bahu jalan antara 0.6 hingga 0.9 meter. Jalan #8 bahkan lebih buruk, 0.3 meter. Itu bukan bahu jalan; itu selokan. Itu 75% lebih sempit dari standar.   

Ini adalah "kekurangan kompetensi akibat kekurangan elemen geometris". Dan daftar ini terus berlanjut: tidak ada marka jalan, tidak ada rambu lalu lintas, tidak ada fasilitas pejalan kaki, jembatan dan gorong-gorong yang sempit.   

Inilah kritik halus saya terhadap paper ini: Paper ini brilian dalam mendokumentasikan apa yang salah. Data inspeksinya tak terbantahkan. Namun, para penulisnya (mungkin karena kesopanan akademis) agak terlalu halus dalam membahas mengapa ini terjadi.

Pertanyaan saya yang terus muncul adalah: Mengapa jalan-jalan yang 'sudah ditingkatkan' (improved) dan beraspal ini dibangun jauh di bawah standar yang ditetapkan oleh Komisi Perencanaan pemerintah sendiri? Ini bukan jalan tanah era kolonial; ini adalah jalan yang relatif baru dan 'ditingkatkan'.

Apakah ini masalah anggaran yang dipotong? Apakah ini masalah korupsi, di mana kontraktor menghemat biaya aspal dengan mempersempit jalan? Ataukah ini murni kesenjangan kapasitas—bahwa standar desain yang hebat di tingkat nasional gagal total untuk diimplementasikan di tingkat lokal?

Apa pun alasannya, ini adalah kegagalan tata kelola yang sistematis. Ini adalah kegagalan dalam Manajemen Proyek Infrastruktur. Ini bukan 'bencana alam'; ini adalah serangkaian keputusan buruk yang dibuat oleh manusia, yang mengakibatkan konsekuensi mematikan.

Pelajaran yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini

Paper ini menyimpulkan bahwa "kondisi keselamatan lalu lintas jalan yang buruk adalah penghalang signifikan untuk mencapai target 3.6 dan 11.2 SDG pada tahun 2030".   

Saya akan lebih blak-blakan: Kondisi ini bukan 'penghalang'. Ini adalah 'jaminan kegagalan'. Mustahil Anda bisa mencapai target global jika Anda secara aktif mengabaikan 94% dari masalah.

Bagi saya, ini bukan hanya cerita tentang jalan di Bangladesh. Ini adalah pelajaran universal tentang data, fokus, dan akuntabilitas.

Para peneliti harus turun tangan melakukan RSI secara manual karena sistem pengumpulan data otomatis gagal. Ini mengingatkan saya bahwa keahlian inti seperti Audit dan Inspeksi Keselamatan Jalan sangat penting. Anda tidak bisa hanya mengandalkan dashboard. Terkadang Anda harus "pergi dan melihat."

Pelanggaran mencolok terhadap standar keselamatan dasar—seperti membangun jalan 40% lebih sempit dari yang seharusnya—adalah kegagalan fundamental dalam(https://diklatkerja.com/). Ini adalah keterampilan dasar yang harus dimiliki oleh setiap profesional infrastruktur.

Dan pada akhirnya, target SDG yang terdengar muluk-muluk itu tidak akan tercapai melalui rapat komite di ibu kota. Target itu dicapai (atau gagal) di lapangan, di jalan pedesaan yang berlumpur. Itu semua kembali ke(https://diklatkerja.com/) yang mengakar pada kenyataan, bukan pada database yang cacat.

Inilah pelajaran utama yang saya ambil dari paper ini:

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: 94% jaringan jalan—urat nadi ekonomi dan sosial—secara sistematis tidak aman, lebarnya puluhan persen di bawah standar desain minimumnya sendiri, dan penuh dengan bahaya mematikan (kolam, tiang listrik).

  • 🧠 Inovasinya: Kita tidak akan pernah tahu skala masalah ini jika hanya melihat database kecelakaan. Kebenaran ada di lapangan, ditemukan dengan metode 'detektif' (RSI) karena sistem data resmi buta terhadap 94% masalah.

  • 💡 Pelajaran: Berhentilah terobsesi dengan data yang cacat. Kebijakan (dan dana $358 juta) mengikuti apa yang kita ukur. Jika kita mengukur hal yang salah, kita akan memperbaiki masalah yang salah. Fokus pada 6% jaringan tidak akan pernah menyelesaikan 94% masalah.

Paper ini bukan hanya tentang jalan. Ini tentang melihat. Ini tentang bahaya memiliki titik buta yang sangat besar dalam cara kita memandang dunia—dan konsekuensi mematikan dari titik buta tersebut.

Ini adalah salah satu paper paling gamblang dan penting yang saya baca tahun ini. Jika Anda seorang insinyur, perencana kota, manajer proyek, atau siapa pun yang peduli tentang bagaimana kita membangun dunia yang lebih aman dan adil, Anda wajib membacanya.

Ini adalah studi kasus yang sempurna tentang di mana letak kegagalan kita—dan di mana kita harus memulai perbaikan.

(https://doi.org/10.54105/ijte.A1907.03010523)

Selengkapnya
Masalah 94%: Mengapa Kita Salah Besar Soal Keselamatan Jalan

Keselamatan Jalan

Ada yang Salah di Persimpangan Itu. Sebuah Studi Mengubah Cara Saya Melihat Jalanan Sepi.

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 14 November 2025


Ada semacam kedamaian palsu saat berkendara di jalan pedesaan yang sepi. Anda tahu perasaan itu: jendela terbuka, angin sepoi-sepoi, tidak ada lalu lintas yang terlihat bermil-mil. Rasanya aman. Rasanya tenang. Ini adalah ilusi yang nyaman yang kita semua nikmati.

Sebuah paper penelitian yang saya baca minggu ini menghancurkan ilusi itu berkeping-keping.

Paper itu berjudul "A Study of Fatal Pedestrian Crashes at Rural Low Volume Road Intersections in Southwest China". Judul yang kering, saya tahu. Tetapi isinya jauh dari itu. Ini bukan tentang kekacauan lalu lintas kota yang padat yang biasa kita lihat di berita. Ini tentang bahaya tersembunyi di persimpangan jalan pedesaan yang tampak sepi—jenis tempat di mana, secara global, 92% kematian lalu lintas terjadi, di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.   

Para peneliti—Xie, Nikitas, dan Liu—tidak hanya mengambil data statistik dan membuat grafik yang membosankan. Mereka melakukan sesuatu yang jauh lebih dalam. Mereka mengambil 28 kasus kecelakaan fatal pejalan kaki, yang terjadi antara 2005 dan 2010 di delapan jalan pedesaan di Tiongkok Barat Daya, dan pada dasarnya melakukan "autopsi psikologis" pada setiap kecelakaan tersebut.   

Bayangkan jika Anda menganalisis setiap kesalahan besar di tempat kerja. Pendekatan yang malas adalah dengan mengatakan, "Yah, Budi mengklik tombol yang salah. Kesalahan Budi." Pendekatan yang mendalam adalah bertanya: Mengapa Budi mengklik tombol itu? Apakah labelnya membingungkan? Apakah dia kurang tidur karena jam kerja yang gila? Apakah dia tidak pernah dilatih dengan benar tentang software itu?

Itulah yang dilakukan para peneliti ini. Mereka menggunakan metode yang disebut DREAM (Driving Reliability and Error Analysis Method). DREAM adalah cara sistematis untuk mengklasifikasikan mengapa kecelakaan terjadi. Metode ini tidak berhenti pada "pengemudi mengebut." Ia terus menggali lebih dalam.   

  • Pengemudi mengebut (A2.1 Speed: too high). Mengapa?   

  • Karena dia salah menilai situasi (C2 Misjudgement of situation). Mengapa?   

  • Karena dia melewatkan pengamatan (B1 Missed observation). Mengapa?   

  • Karena rambu-rambu di persimpangan itu sangat buruk (Q1 Inadequate information design) dan dia tidak pernah dilatih dengan benar (N4 Inadequate training).   

Metode DREAM ini adalah kunci mengapa studi ini begitu kuat meskipun jumlah sampelnya kecil (hanya 28 kecelakaan). Para peneliti sendiri mengakui bahwa fokus mereka adalah pada "kualitas daripada kuantitas". Ini bukan statistik; ini adalah pendongengan forensik. Dan cerita yang mereka ungkapkan sangat mengerikan.   

Mimpi Buruk di Balik Data: Angka-Angka yang Membuat Saya Berhenti Sejenak

Sebelum kita masuk ke "mengapa", kita perlu memahami "apa". Dan data mentahnya saja sudah cukup untuk membuat Anda merinding. Ini adalah beberapa statistik dari 28 kecelakaan fatal yang dianalisis, yang terus terngiang di kepala saya :   

  • 75% pejalan kaki tewas di persimpangan T (T-intersections). Awalnya ini mengejutkan saya. Persimpangan T seharusnya sederhana. Tetapi paper ini menjelaskan bahwa di daerah pedesaan Tiongkok, ini seringkali bukan persimpangan resmi. Mereka adalah "jalan cabang dan bahkan pintu rumah" yang langsung terhubung ke jalan raya tanpa peringatan. Ini adalah resep untuk bencana.   

  • 82% persimpangan tidak memiliki fasilitas pejalan kaki. Saya ulangi: delapan dari sepuluh persimpangan tidak memiliki apa-apa. Nol zebra cross. Nol rambu peringatan pejalan kaki. Nol perlindungan.   

  • 50% kecelakaan terjadi pada malam hari atau dalam kondisi cahaya redup. Dan inilah bagian terburuknya, yang membuat saya ternganga: Tidak ada (0%) dari persimpangan yang diteliti yang memiliki lampu penerangan jalan. Pejalan kaki menyeberang dalam kegelapan total di persimpangan tak bertanda.   

  • 61% kendaraan melebihi batas kecepatan. Ini adalah bahan bakar yang menyulut api.   

Jika Anda menggabungkan fakta-fakta ini, itu bukan hanya sekumpulan angka. Itu menceritakan sebuah kisah.

  • 🚀 Lingkungan yang Dirancang untuk Kematian: Pengemudi yang ngebut (61%) + kegelapan total (50% kecelakaan, 0% lampu) + persimpangan tak bertanda (82% tanpa fasilitas).

  • 🧠 Kesimpulan yang Tak Terelakkan: Kematian ini bukanlah "kecelakaan" dalam arti sesuatu yang acak dan tidak bisa dihindari. Mereka adalah hasil yang dapat diprediksi dari sistem yang dirancang dengan kelalaian total.

  • 💡 Pelajaran: Kita tidak bisa hanya menyalahkan "kesalahan pengemudi" ketika kita merancang lingkungan yang membuat kesalahan itu hampir pasti terjadi.

Empat Penjahat yang Sebenarnya (Dan Ini Bukan Sekadar "Kesalahan Manusia")

Inilah inti dari paper ini. Analisis DREAM mereka mengelompokkan semua faktor penyebab ini menjadi empat tema utama yang menghancurkan. Ini adalah empat pilar kegagalan yang menopang 28 kematian tersebut:   

  1. Desain Infrastruktur Keselamatan yang Kurang.

  2. Pendidikan Keselamatan Pejalan Kaki yang Kurang.

  3. Pelatihan Pengemudi yang Tidak Memadai.

  4. Penegakan Hukum Lalu Lintas yang Tidak Cukup.

Mari kita bedah satu per satu, karena di sinilah pelajarannya menjadi sangat jelas dan dapat ditindaklanjuti.

Penjahat #1: Desain Jalan yang "Malas"

Ini adalah "Deficient intersection safety infrastructure".   

Bayangkan seorang desainer UI web menempatkan tombol 'Hapus Akun Anda Secara Permanen' tepat di sebelah tombol 'Login', tanpa label atau kotak konfirmasi. Itulah tingkat desain 'malas' yang kita bicarakan di sini.

Faktor DREAM "Q1 Inadequate information design" (desain informasi yang tidak memadai) adalah penyebab utama yang muncul di setiap pola kecelakaan. Ini berarti rambu-rambu, marka jalan, dan panduan visual untuk memperingatkan pengemudi atau pejalan kaki tidak ada, atau sangat membingungkan.   

Tetapi paper ini tidak hanya mengeluh. Mereka menawarkan solusi cerdas, dan yang terpenting, solusi realistis. Mereka tahu bahwa "sumber daya untuk investasi... terbatas" di daerah pedesaan. Jadi, mereka tidak menyarankan jalan layang multi-juta dolar. Mereka menyarankan intervensi "traffic calming" (penenangan lalu lintas) yang berbiaya rendah dan terbukti :   

  • Polisi Tidur (Speed Bumps): Murah, mudah dipasang, dan sangat efektif untuk memaksa kendaraan melambat.   

  • Bundaran (Roundabouts): Secara fisik memaksa pengemudi untuk mengurangi kecepatan saat mendekati, memasuki, dan bergerak di dalam persimpangan.   

  • Lampu Jalan: Solusi yang paling jelas di dunia, mengingat 50% kecelakaan terjadi dalam kegelapan total.   

Penjahat #2: Saat Pejalan Kaki Tidak Pernah Diajari Cara Menyeberang

Ini adalah "Lack of pedestrian safety education".   

Analisis DREAM menemukan faktor "M1 Inadequate transmission from other road users" (transmisi [niat] yang tidak memadai dari pengguna jalan lain) sebagai penyebab utama. Dalam bahasa manusiawi? Pejalan kaki "menyeberang jalan tanpa melihat dulu" untuk mencari kendaraan. Mereka tidak melakukan kontak mata, tidak memberi isyarat. Mereka hanya berjalan ke jalan raya.   

Dan inilah data yang paling tragis: lebih dari separuh (56%) dari mereka yang tewas adalah anak-anak (di bawah 15 tahun) atau lansia (di atas 65 tahun). Kelompok paling rentan yang membayar harga tertinggi.   

Di sinilah paper ini benar-benar bersinar bagi saya. Solusinya tidak umum. Mereka sangat kontekstual dan spesifik secara budaya. Para peneliti tidak menyarankan kampanye TikTok yang gemerlap. Mereka menyarankan "cara yang tidak konvensional" :   

  • Menggunakan "pengeras suara dari stasiun radio desa" untuk menyiarkan program keselamatan lalu lintas harian pada waktu-waktu tertentu.

  • Membuat "kader desa" (aparat desa setempat) bertanggung jawab untuk mempublikasikan informasi keselamatan lalu lintas.

  • Menerapkan solusi sederhana seperti membagikan bahan reflektif untuk "tongkat pejalan lansia dan tas anak-anak" agar mereka lebih terlihat dalam gelap.   

Ini jenius. Ini adalah solusi berbiaya rendah yang menjangkau tepat target audiens (seperti lansia di rumah) yang tidak akan pernah melihat iklan layanan masyarakat di TV.

Penjahat #3: Sekolah Mengemudi "Abal-Abal"

Ini adalah "Inadequate driver training". Dan bagian ini, terus terang, membuat saya marah.   

Faktor-faktor DREAM seperti "N4 Inadequate training" (pelatihan tidak memadai) dan "F6 Insufficient skills/knowledge" (keterampilan/pengetahuan tidak cukup) adalah akar penyebab yang masif.   

Tetapi paper ini tidak berhenti di situ. Ia menggali mengapa pelatihannya tidak memadai. Ini bukan hanya karena kurikulumnya sulit. Ini karena sistemnya korup. Para peneliti dengan jujur menulis bahwa :   

  • "banyak sekolah mengemudi memotong waktu pelatihan" untuk menghemat uang.

  • Beberapa sekolah "membantu orang berbuat curang dalam ujian atau menjual surat izin mengemudi."

  • Ada "sejumlah sekolah mengemudi ilegal" yang beroperasi di daerah pedesaan ini.

Ini mengubah segalanya. Fakta bahwa 61% pengemudi mengebut  bukan hanya pilihan individu yang buruk; itu adalah gejala dari sistem yang secara aktif meluluskan pengemudi yang tidak terampil, tidak berpengetahuan, dan mungkin ilegal ke jalan. Masalahnya tidak dimulai di jalan; itu dimulai di "sekolah mengemudi" itu.   

Membaca bagian ini membuat saya merinding. Ini adalah kegagalan sistemik. Jika fondasi pelatihannya saja sudah korup, bagaimana kita bisa mengharapkan perilaku yang aman di jalan?

Ini mengingatkan saya pada pentingnya pelatihan berkualitas di semua aspek kehidupan. Di dunia profesional, mengambil jalan pintas dalam pelatihan bisa sama berbahayanya bagi karier Anda. Untungnya, untuk [mengembangkan keterampilan profesional Anda], ada platform seperti **** yang menyediakan fondasi yang kokoh dan sah, tidak seperti sekolah mengemudi 'abal-abal' yang dibahas di sini.

Penjahat #4: Polisi yang Tidak Terlihat

Yang terakhir adalah "Insufficient traffic law enforcement".   

Jika 61% pengemudi mengebut dan banyak yang mengemudi tanpa SIM , itu menyiratkan satu hal: tidak ada yang mengawasi.   

Tetapi sekali lagi, paper ini menggali lebih dalam. Ini bukan karena polisinya malas. Ini karena "sumber daya polisi yang terbatas". Dan mereka memberikan statistik yang paling mencengangkan di seluruh paper:   

"tidak jarang bahwa hanya tiga atau empat polisi lalu lintas lokal mengawasi sebanyak empat atau lima kota... yang mungkin memiliki total populasi 0,3 juta".   

Itu adalah situasi yang mustahil. Itu bukan "penegakan hukum yang lemah"; itu adalah "penegakan hukum yang non-eksisten".

Sekali lagi, para peneliti menawarkan solusi pragmatis. Karena menambah jumlah polisi itu mahal dan lambat, mereka menyarankan :   

  • Sewa "petugas lalu lintas" (traffic wardens)—petugas sipil yang lebih murah untuk membantu menegakkan hukum.

  • Gunakan "penegakan hukum dengan kamera" (camera enforcement) di persimpangan yang paling rawan kecelakaan.

Ini adalah tema yang berulang: Jika sumber daya manusia (polisi, guru) terbatas, kita harus mengandalkan teknologi (kamera) dan struktur komunitas (kader desa, petugas lalu lintas) untuk mengisi kesenjangan tersebut.

Kritik Halus Saya: Apakah 28 Kematian Cukup?

Saya harus jujur, sebagai seorang jurnalis, hal pertama yang saya lihat adalah "N=28". Hanya 28 kecelakaan.   

Meskipun temuannya hebat, cara analisanya yang didasarkan pada 28 kasus awalnya membuat saya skeptis. Bisakah kita benar-benar menarik kesimpulan besar tentang infrastruktur, pendidikan, dan korupsi seluruh wilayah dari data sekecil itu?   

Namun, di sinilah saya menghargai kejujuran peneliti. Mereka adalah yang pertama mengakui ini di bagian "Batasan Studi". Mereka menunjukkan betapa sulitnya mendapatkan data kecelakaan yang terperinci seperti ini dari kepolisian di Tiongkok.   

Lebih penting lagi, mereka berargumen bahwa metode DREAM yang mereka gunakan berfokus pada "kualitas daripada kuantitas". Dan setelah membaca analisis mereka, saya setuju.   

Mereka tidak mencoba memetakan seluruh Tiongkok. Mereka melakukan "autopsi" mendalam pada 28 tragedi untuk memberi kita 4 pelajaran yang sangat kuat. Dan dalam hal itu, mereka berhasil dengan cemerlang.

Yang Paling Mengubah Pikiran Saya (Dan Apa yang Bisa Kita Terapkan)

Setelah membaca paper ini, pelajaran terbesar bagi saya bukanlah "menyetirlah dengan aman" atau "lihat kiri-kanan." Pelajaran terbesarnya adalah: Keselamatan bukanlah kebetulan. Keselamatan adalah hasil dari desain.

Ke-28 kematian ini bukanlah "kecelakaan" dalam arti takdir acak atau nasib buruk. Mereka adalah insiden—kegagalan yang dapat diprediksi yang disebabkan oleh sistem yang rusak dalam empat cara yang jelas: desain infrastruktur, pendidikan, pelatihan, dan penegakan.

Jalan-jalan pedesaan ini, seperti yang digambarkan dalam paper ini, seperti software yang dirilis ke publik dalam versi beta, tanpa quality assurance. Para penggunanya—pejalan kaki dan pengemudi—dibiarkan menemukan bug fatalnya sendiri. Dan mereka membayarnya dengan nyawa.

Ini hanya goresan di permukaan dari apa yang saya gali. Jika Anda seorang analis, perencana kota, insinyur, atau hanya seseorang yang tertarik pada bagaimana "analisis akar masalah" yang sebenarnya bekerja dalam praktik, saya sangat merekomendasikan Anda membaca paper aslinya.

Ini padat, teknis, tetapi wawasannya sepadan.

(https://doi.org/10.1080/15389588.2017.1387654)

Selengkapnya
Ada yang Salah di Persimpangan Itu. Sebuah Studi Mengubah Cara Saya Melihat Jalanan Sepi.

Kebijakan Publik

Saya Membaca Jurnal 29 Halaman tentang Jalan Raya, dan Temuan Ini Menghantui Saya

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 14 November 2025


Saya yakin Anda pernah merasakannya. Jantung Anda serasa melompat ke tenggorokan. Sebuah motor memotong jalur Anda tanpa lampu sen, atau sebuah mobil tiba-tiba mengerem mendadak di depan Anda.

Reaksi pertama saya biasanya adalah kemarahan. Saya akan membunyikan klakson, mungkin mengumpat sedikit di dalam mobil. Pikiran saya langsung tertuju pada satu hal: "Orang gila itu seharusnya tidak boleh menyetir!" Kita semua, secara naluriah, melihat lalu lintas sebagai masalah moral individu. Ada pengemudi yang baik (kita) dan pengemudi yang buruk (mereka).

Tapi bagaimana jika kemarahan kita salah sasaran? Bagaimana jika masalahnya bukan pada individu-individu yang gagal, tetapi pada sebuah sistem yang memang dirancang untuk gagal?

Saya baru saja menghabiskan sore saya membaca dokumen yang, jujur saja, judulnya adalah obat tidur yang sempurna. Judulnya: "ROAD SAFETY PROBLEMS IN BANGLADESH: SOME MAJOR INITIATIVES, CONSTRAINTS AND REQUIREMENTS". Ini adalah artikel dari buletin Transportasi dan Komunikasi PBB tahun 2009.   

Bahasa di abstraknya pun kaku luar biasa: "Dalam paper ini, sebuah upaya telah dilakukan untuk menyajikan...".   

Tapi izinkan saya memberi tahu Anda: di balik puluhan halaman jargon teknis, tabel data, dan bahasa birokrasi yang kering, tersembunyi sebuah "autopsi". Ini adalah cerita detektif yang brutal dan jujur tentang krisis kesehatan masyarakat—dan yang lebih penting, tentang mengapa semua solusi yang jelas dan logis gagal total.

Paper ini menghantui saya bukan karena data kecelakaannya. Paper ini menghantui saya karena analisisnya yang tajam tentang mengapa solusi tidak berhasil. Ini adalah studi kasus tentang "kendala" (constraints) , yang merupakan cara sopan para akademisi untuk mengatakan "kegagalan sistemik total."   

Angka-Angka yang Berteriak (Saat Kamu Mau Mendengarkan)

Bayangkan Anda ingin mulai serius mengatur keuangan pribadi. Langkah pertama? Anda mengecek saldo rekening Anda. Anda login ke aplikasi bank, dan di sana tertulis Anda punya uang Rp 100 juta. Anda merasa aman, Anda mulai membuat rencana anggaran berdasarkan angka itu.

Lalu, seorang auditor independen datang. Setelah memeriksa semua catatan, ia berkata, "Maaf, ada kesalahan pencatatan. Uang Anda yang sebenarnya di bank hanya Rp 30 juta."

Apakah Anda masih akan membuat keputusan yang sama? Tentu saja tidak. Rencana Anda akan gagal total, karena data dasarnya saja sudah salah tiga kali lipat.

Sekarang, pegang analogi itu. Bagian paling gila dari seluruh paper ini terkubur di Bagian I. Para peneliti membandingkan dua set data:   

  1. Data Polisi Resmi (PFIR) tahun 2008: Mencatat ada 3.764 kematian akibat kecelakaan lalu lintas.

  2. Data Studi Independen (TRL) tahun 2003: Mengestimasi ada 12.792 kematian.

Ada perbedaan hampir 10.000 nyawa.

Paper ini dengan sopan menyebutnya "reporting problems and recording inconsistencies" (masalah pelaporan dan inkonsistensi pencatatan). Saya menyebutnya "dosa asal".   

Coba pikirkan implikasinya. Jika pemerintah secara resmi bekerja dengan angka 3.764, maka anggaran yang mereka alokasikan, jumlah polisi yang mereka kerahkan, dan urgensi kebijakan yang mereka rancang akan 3 sampai 4 kali lebih kecil daripada yang sebenarnya dibutuhkan. Paper ini bahkan secara gamblang menyebut "significant level of underreporting" (tingkat underreporting yang signifikan)  sebagai salah satu masalah utama.   

Masalah pertama dan terbesar keselamatan jalan di Bangladesh bukanlah jalan yang rusak atau pengemudi yang ugal-ugalan. Masalah terbesarnya adalah mereka bahkan tidak tahu (atau mungkin tidak mau mengakui) seberapa parah masalah yang sedang mereka hadapi.

Ini Bukan 'Kecelakaan Mobil', Ini Adalah Perang terhadap Pejalan Kaki

Saya akan jujur. Sebelum membaca ini, ketika saya mendengar "kecelakaan lalu lintas", otak saya otomatis membayangkan dua mobil ringsek di persimpangan. Seluruh diskursus publik kita didominasi oleh mobil.

Paper ini mengubah perspektif saya selamanya.

Para peneliti  menyatakan bahwa korban yang paling parah terkena dampaknya bukanlah pengemudi, melainkan sekelompok orang yang mereka sebut "Vulnerable Road Users (VRUs)" atau Pengguna Jalan Rentan.   

Siapa mereka? "pejalan kaki, anak-anak, pengendara sepeda, dan penumpang serta penarik becak".   

Angkanya? Kelompok ini mencakup "hampir 80 per sen" dari total kematian akibat kecelakaan lalu lintas.   

Data ini begitu penting sehingga saya harus melihatnya lebih dalam. Di Tabel 5, paper ini merinci siapa yang tewas, dan di mana :   

  • Di Perkotaan (Urban): 63% korban tewas adalah Pejalan Kaki.

  • Di Pedesaan (Rural): 46% korban tewas adalah Pejalan Kaki.

Kata "Vulnerable" (Rentan) itu sendiri, menurut saya, menyesatkan. Kata itu menyiratkan kelemahan. Itu menyiratkan bahwa masalahnya ada pada korban—mereka tewas karena mereka "rentan".

Tapi paper ini  membongkar narasi itu. Di Bagian II-D, paper ini menganalisis mengapa para pejalan kaki ini tewas :   

  • 41% tewas saat "menyeberang jalan".

  • 39% tewas saat "berjalan di jalan".

Tunggu sebentar. Mengapa orang "berjalan di jalan"? Jawabannya, tentu saja, karena tidak ada trotoar. Mengapa mereka tewas saat "menyeberang jalan"? Karena tidak ada zebra cross, jembatan penyeberangan, atau lampu lalu lintas yang berfungsi.

Infrastruktur inilah yang memaksa mereka menjadi "rentan".

Ini seperti membangun kolam renang umum di sebelah taman bermain anak-anak, tidak membangun pagar di sekelilingnya, lalu ketika ada anak-anak yang tenggelam, kita menyalahkan mereka karena "rentan" terhadap air. Kita tidak membangun jalan raya; kita membangun jebakan kematian.

Mengidentifikasi 'Raja Jalanan' yang Sebenarnya

Jadi, jika 80% korban adalah pejalan kaki dan pengendara sepeda, siapa—atau apa—yang membunuh mereka?

Lagi-lagi, otak saya langsung berpikir: "Pasti motor." Mereka yang paling ugal-ugalan, kan?

Data di paper ini  berkata lain. Jawabannya ada di Tabel 2, dan ini adalah data paling eksplosif dalam 29 halaman ini. Para peneliti menghitung angka fatalitas per 10.000 kendaraan yang ada di jalan.   

Lihat perbandingan ini:

  • 🚗 Jeep/Mobil/Taksi: 17 kematian

  • 🏍️ Motor: 7 kematian

  • 🚚 Truk: 138 kematian

  • 🚀 Bus/Minibus: 338 kematian

Angka ini gila. Secara statistik, satu bus di jalan memiliki potensi membunuh 20 kali lipat (338 vs 17) lebih tinggi daripada satu mobil, dan hampir 50 kali lipat lebih tinggi dari satu motor.

Paper ini mengonfirmasi temuan ini di bagian lain (Bagian II-F). "Kendaraan berat seperti truk dan bus... adalah kontributor utama". Jika digabungkan, bus dan truk bertanggung jawab atas 68% dari total kematian dan 72% dari kematian pejalan kaki.   

Ini adalah momen "aha!" terbesar saya. Krisis ini bukan masalah "lalu lintas" yang umum. Ini adalah masalah spesifik yang disebabkan oleh industri kendaraan berat (bus dan truk) yang tidak teregulasi yang beroperasi di lingkungan yang tidak memiliki infrastruktur untuk pejalan kaki.

Apa yang Bikin Saya Terkejut: Tiga Dosa Sistemik

Oke, jadi kita tahu: datanya tidak dilaporkan, korbannya pejalan kaki, dan pelakunya bus/truk. Pertanyaan logis berikutnya: Kenapa ini terjadi?

Paper ini  menunjuk tiga biang keladi utama. Saya menyebutnya "Tiga Dosa Sistemik".   

Dosa #1: Jalanan yang Didesain untuk Mencelakai

Paper ini menggunakan istilah teknis "defisiensi teknik jalan dan lingkungan" ("Road engineering and environmental deficiencies").   

Saya terjemahkan: Jalanan di sana memang dirancang untuk membunuh. Para peneliti menemukan "desain tata letak yang buruk" (poor layout design), "desain persimpangan yang tidak sesuai" (inappropriate intersection designs), dan yang paling parah, "tidak adanya atau tidak memadainya fasilitas pejalan kaki" (absence of or inappropriate pedestrian facilities).   

Jalanan dibangun untuk satu hal: kecepatan kendaraan. Bukan keselamatan manusia.

Dosa #2: Pengemudi yang Seharusnya Tidak Pernah Mengemudi

Ini adalah bagian yang membuat saya menganga. Para peneliti  merujuk sebuah studi di Bagian V [hlm. 24] yang menilai para pengemudi. Temuannya:   

  • 92% pengemudi (terutama kendaraan berat) tidak memiliki pelatihan formal.

  • 53% (lebih dari SETENGAH!) mengakui bahwa mereka "mendapatkan SIM dengan cara ilegal".

Bayangkan itu sejenak. Separuh lebih dari bus dan truk di jalanan (yang 20-50x lebih mematikan) dikemudikan oleh orang yang membeli lisensi mereka. Ini bukan lagi "human error". Ini adalah korupsi sistemik yang memiliki konsekuensi mematikan.

Dosa #3: Kendaraan 'Zombie' di Jalanan

Seakan itu belum cukup, paper ini menyoroti "kendaraan non-standar, informal, cacat, dan tidak layak jalan" ("Non-standard, informal, defective and road unworthy motor vehicles").   

"Cacat umum" yang mereka temukan? "sistem rem dan lampu indikator yang rusak, ban yang sudah aus, roda yang kendor".   

Sekarang, mari kita gabungkan ketiga dosa itu.

  1. Anda memiliki jalan tanpa trotoar yang memaksa seorang anak berjalan di aspal (Dosa #1).

  2. Anda memiliki pengemudi truk yang membeli SIM-nya dan tidak pernah dilatih cara mengerem (Dosa #2).

  3. Truk yang ia kendarai memiliki rem blong dan ban botak (Dosa #3).

Ketika anak itu tewas, apakah itu "kecelakaan"?

Bukan. Itu adalah kepastian matematis. Sistem ini secara aktif memproduksi kematian.

Bagian Terbaik: Autopsi atas Kegagalan Kebijakan

Ini adalah bagian favorit saya dari paper ini. Para peneliti tidak hanya memberi data, mereka mengaudit solusinya. Dan ini adalah pembantaian birokrasi paling sopan yang pernah saya baca.   

Lihat, Bangladesh sebenarnya sudah melakukan semua hal yang "benar" di atas kertas (Bagian III). Mereka membentuk:   

  1. National Road Safety Council (NRSC) / Dewan Keselamatan Jalan Nasional (1995).

  2. Accident Research Institute (ARI) / Institut Penelitian Kecelakaan (2002).

  3. Highway Police / Polisi Jalan Raya (2005).

  4. Mereka membuat Rencana Aksi Keselamatan Jalan berulang kali.

  5. Mereka membuat setumpuk Manual dan Pedoman Keselamatan yang tebal-tebal.

Di atas kertas, mereka A+. Di dunia nyata?

Lalu, Kenapa Semuanya Gagal Total?

Para peneliti  di Bagian IV dan V dengan cermat membongkar satu per satu mengapa semua ini tidak berfungsi [hlm. 18-25].   

  • 🧠 Inovasinya: NRSC, badan puncak yang seharusnya mengoordinasi semua ini? Paper ini  mencatat bahwa badan ini "sangat kekurangan tenaga, logistik dan fasilitas dan belum berfungsi penuh" [hlm. 14]. Rencana Aksi yang mereka buat? "implementasinya... sangat tidak signifikan" [hlm. 20]. Mengapa? Karena itu "hanyalah kompilasi dari beberapa kegiatan" tanpa "prioritas kebutuhan," "indikasi kebutuhan anggaran," atau "kerangka waktu" [hlm. 21]. Ini adalah "Teater Inovasi" di level pemerintahan.   

  • 💡 Pelajaran: Manual Keselamatan yang mahal? "hampir semua manual dan pedoman disiapkan oleh konsultan asing". Dan ini bagian terbaiknya: "Insinyur dan profesional lokal tidak dilibatkan dalam penyusunannya dan tidak ada lokakarya pelatihan yang diselenggarakan". Mereka pada dasarnya membeli buku resep seharga miliaran rupiah, tapi tidak ada satu pun koki lokal yang diajari cara memasak.   

  • 🚀 Hasilnya Luar Biasa (Gagal): Polisi Jalan Raya yang baru dibentuk? Mereka "kekurangan tenaga kerja dan dukungan logistik yang diperlukan," dan "tidak memiliki kekuatan untuk menuntut pelanggar hukum lalu lintas". Mereka adalah macan kertas.   

Meskipun temuan paper ini hebat dalam mengidentifikasi masalah, kelemahan terbesarnya, secara ironis, adalah bagian 'Kesimpulan'-nya sendiri. Setelah 25 halaman bukti forensik yang memberatkan tentang kegagalan institusional, korupsi sistemik, dan data yang salah, apa rekomendasi utamanya? "perlu koordinasi yang erat" (need for close coordination) dan "komitmen pemerintah yang diperbarui" (renewed government commitment).   

Ini adalah kritik paling halus saya: bahkan para peneliti yang brilian ini, setelah mengidentifikasi masalahnya dengan sangat baik, tampaknya terjebak dalam bahasa birokrasi yang sama yang mereka kritik.

Pelajaran yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini

Paper ini  ditulis tahun 2009. Sudah lebih dari satu decade. Tapi pelajarannya terasa sangat relevan untuk pekerjaan, dan bahkan kehidupan kita hari ini.   

Pelajaran 1: Data adalah Cermin (atau Kebohongan). Wawasan terbesar bagi saya adalah masalah underreporting. Anda tidak akan pernah bisa memperbaiki masalah jika Anda menipu diri sendiri tentang skala masalah tersebut. Ini berlaku untuk lalu lintas, ini berlaku untuk kesehatan masyarakat, dan ini berlaku untuk Key Performance Indicators (KPI) di perusahaan Anda.   

Jika Anda bekerja di bidang apa pun yang bergantung pada data—entah itu kebijakan publik, bisnis, atau pemasaran—Anda memiliki tanggung jawab moral untuk jujur pada data tersebut. Memastikan Anda tahu cara membacanya, dan yang lebih penting, memvisualisasikannya secara jujur, adalah kuncinya. Ini mengingatkan saya betapa pentingnya pelatihan analisis dan visualisasi data agar kita tidak secara tidak sengaja menipu diri sendiri dengan angka-angka yang salah.   

Pelajaran 2: Waspadai "Institusi Kosong". Pelajaran dari NRSC  adalah pelajaran yang menyakitkan tentang "Teater Institusional". Berapa banyak dari kita yang pernah ada di "Satgas" atau "Komite" baru di tempat kerja yang tidak memiliki anggaran, tidak memiliki wewenang nyata, dan tidak memiliki target yang jelas? Itulah NRSC. Membentuk sebuah lembaga tidak ada artinya jika lembaga itu tidak diberi wewenang dan sumber daya untuk berhasil.   

Saya menutup paper 29 halaman ini  dengan perasaan campur aduk. Ini lebih dari sekadar laporan tentang lalu lintas. Ini adalah sebuah autopsi kebijakan publik yang brutal dan jujur.   

Jika Anda tertarik untuk melihat bagaimana para akademisi dengan sangat sopan—namun tanpa ampun—membongkar kegagalan sistemik, mulai dari data yang korup, lisensi palsu, hingga konsultan asing yang mahal, saya sangat sarankan Anda mencoba membacanya sendiri.

(Update kecil: Saya mencari DOI resmi untuk paper ini, tapi sepertinya publikasi buletin UNESCAP dari tahun 2009 ini tidak memilikinya. Tapi, saya menemukan tautan langsung ke PDF-nya. Selamat membaca!)

(http://www.unescap.org/ttdw/Publications%5CTPTS_pubs%5Cbulletin79%5Cb79_fulltext.pdf)

Selengkapnya
Saya Membaca Jurnal 29 Halaman tentang Jalan Raya, dan Temuan Ini Menghantui Saya

Ekonomi Hijau

Mengukur Kemajuan Sirkular: Pemantauan dan Evaluasi Ekonomi Sirkular dalam Pembangunan Nasional

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 13 November 2025


Transisi menuju ekonomi sirkular tidak dapat berjalan tanpa sistem pemantauan dan evaluasi yang kuat. Dalam konteks pembangunan nasional, keberhasilan kebijakan hanya dapat diukur apabila tersedia mekanisme yang memastikan setiap langkah implementasi sesuai dengan rencana strategis yang telah disusun. Karena itu, ekonomi sirkular sebagai agenda lintas sektor memerlukan pendekatan monitoring and evaluation (M&E) yang terintegrasi dalam siklus perencanaan nasional.

Berdasarkan mandat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) serta Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006, siklus pembangunan terdiri atas empat tahapan utama: penyusunan rencana, penetapan rencana, pengendalian pelaksanaan, dan evaluasi pelaksanaan. Dalam konteks ekonomi sirkular, tahapan ini berfungsi memastikan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas program lintas kementerian dan daerah, sekaligus menjadi sarana pembelajaran untuk penyempurnaan kebijakan di masa depan.

Keterpaduan Perencanaan dan Pemantauan

Integrasi ekonomi sirkular dalam RPJPN 2025–2045 dan RPJMN 2025–2029 menandai langkah penting menuju kebijakan pembangunan yang adaptif terhadap keberlanjutan sumber daya. Melalui dokumen ini, rencana aksi ekonomi sirkular menjadi acuan bagi kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah dalam penyusunan strategi sektoral dan perencanaan daerah.

Agar implementasi berjalan efektif, Kementerian PPN/Bappenas bertindak sebagai koordinator pemantauan lintas lembaga, dibantu oleh Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Di tingkat daerah, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan pemerintah provinsi berperan sebagai pengawas serta fasilitator untuk sinkronisasi program pusat dan daerah.

Kerangka koordinasi pemantauan ini membagi peran aktor menjadi tiga kategori utama:

  1. Promotor, yaitu Kementerian PPN/Bappenas yang memastikan strategi nasional berjalan sesuai visi pembangunan jangka panjang.

  2. Fasilitator, seperti Kemendagri, yang berperan menghubungkan kebijakan pusat dan daerah.

  3. Enabler, yaitu kementerian teknis dan pelaku non-pemerintah (industri, akademisi, NGO) yang menjadi pelaksana sekaligus penyedia data lapangan.

Pelaksanaan dan Evaluasi Program Sirkular

Pemantauan ekonomi sirkular dilakukan melalui dua mekanisme utama:

  1. Pelaksana dan Pemantau Aksi Ekonomi Sirkular, yang bertanggung jawab atas perencanaan, pengumpulan data, dan pelaporan capaian setiap program prioritas.

  2. Pelaksana Evaluasi dan Pelaporan Aksi Ekonomi Sirkular, yang menilai efektivitas dan dampak kebijakan secara menyeluruh, dikoordinasikan oleh Kementerian PPN/Bappenas dan Kementerian Keuangan.

Evaluasi dilakukan dengan membandingkan input, output, dan outcome dari setiap program. Indikator yang digunakan meliputi efisiensi penggunaan sumber daya, nilai tambah ekonomi, serta tingkat pengurangan limbah. Proses ini tidak hanya bertujuan menilai keberhasilan, tetapi juga memperkuat mekanisme transparansi publik melalui pelaporan terbuka kepada para pemangku kepentingan.

Tujuan Strategis Pemantauan dan Evaluasi

Sistem pemantauan, evaluasi, dan pelaporan (PEP) ekonomi sirkular memiliki tiga tujuan utama:

  • Mengetahui capaian secara reguler, untuk mengukur kemajuan implementasi rencana aksi sesuai target tahunan RPJMN.

  • Memperkuat kebijakan, melalui pembaruan berbasis bukti (evidence-based policy).

  • Meningkatkan akuntabilitas dan transparansi, dengan memperluas akses data dan pelibatan masyarakat dalam penilaian capaian pembangunan.

Melalui pendekatan ini, data hasil pemantauan tidak hanya menjadi alat kontrol, tetapi juga sumber inovasi kebijakan yang dapat menyesuaikan arah strategi nasional terhadap dinamika ekonomi global dan kebutuhan lokal.

Kesimpulan

Pemantauan dan evaluasi bukan sekadar kegiatan administratif, melainkan jantung dari tata kelola pembangunan berkelanjutan. Dengan integrasi ekonomi sirkular dalam RPJPN dan RPJMN, Indonesia menegaskan komitmennya terhadap sistem perencanaan yang akuntabel dan berbasis hasil. Penguatan mekanisme pelaporan dan koordinasi lintas sektor akan memastikan bahwa transisi menuju ekonomi hijau berjalan terukur, inklusif, dan berkelanjutan.

 

Daftar Pustaka

Bappenas. (2024). Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025–2045. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.

Kementerian PPN/Bappenas. (2023). Pedoman Pemantauan dan Evaluasi Program Pembangunan Nasional Berbasis Hasil. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.

Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2023). Kerangka Pembiayaan Ekonomi Hijau dan Mekanisme Pelaporan Kinerja Fiskal Berkelanjutan. Jakarta: Kemenkeu RI.

Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia. (2023). Panduan Sinkronisasi Program Ekonomi Sirkular Pusat dan Daerah. Jakarta: Kemendagri RI.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. (2022). Laporan Nasional Implementasi Ekonomi Sirkular dan Pengurangan Limbah. Jakarta: KLHK RI.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). Measuring Circular Economy Progress: Policy Indicators and Evaluation Frameworks. Paris: OECD Publishing.

United Nations Development Programme (UNDP). (2023). Monitoring and Evaluation Frameworks for Circular Economy Transitions. New York: UNDP.

World Bank. (2024). Green Growth Policy Implementation and Evaluation in Developing Economies. Washington, DC: World Bank Group.

Selengkapnya
Mengukur Kemajuan Sirkular: Pemantauan dan Evaluasi Ekonomi Sirkular dalam Pembangunan Nasional

Ekonomi Hijau

Membangun Ketahanan Pangan Berkelanjutan: Ekonomi Sirkular dalam Sektor Pertanian Indonesia

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 13 November 2025


Ketahanan pangan merupakan salah satu pilar utama pembangunan nasional. Namun, di tengah dinamika perubahan iklim, degradasi lahan, urbanisasi cepat, dan pertumbuhan populasi yang diproyeksikan mencapai 319 juta jiwa pada 2045, sistem pangan Indonesia menghadapi tekanan yang semakin kompleks. Tantangan tersebut tidak hanya menyangkut ketersediaan dan distribusi pangan, tetapi juga efisiensi sumber daya, kesejahteraan petani, dan dampak ekologis dari proses produksi yang masih linear.

Selama beberapa dekade, model pertanian konvensional cenderung mengandalkan input tinggi—pupuk kimia, pestisida sintetis, dan eksploitasi lahan intensif—untuk mengejar produktivitas jangka pendek. Namun, pendekatan ini justru menimbulkan ketergantungan struktural terhadap sumber daya tak terbarukan dan memperparah penurunan kualitas tanah serta kerentanan terhadap perubahan iklim. Laporan Peta Jalan Ekonomi Sirkular Nasional (Bappenas, 2024) menegaskan bahwa sistem pangan Indonesia menghasilkan 48 juta ton limbah setiap tahun, dengan potensi kerugian ekonomi mencapai Rp551 triliun.

Kondisi tersebut mengindikasikan urgensi transformasi mendasar dalam sistem pangan nasional. Pendekatan ekonomi sirkular menawarkan paradigma baru—dari pola produksi “ambil, buat, buang” menjadi sistem yang menjaga nilai sumber daya selama mungkin, meminimalkan limbah, dan menciptakan keseimbangan antara efisiensi ekonomi serta keberlanjutan lingkungan. Dalam konteks pangan dan pertanian, hal ini berarti mengoptimalkan penggunaan sumber daya alam, memperpanjang umur bahan pangan, serta menutup siklus nutrien melalui pengelolaan limbah organik.

Lebih dari sekadar konsep lingkungan, ekonomi sirkular berpotensi menjadi strategi pembangunan pedesaan yang inklusif. Melalui inovasi teknologi seperti Internet of Things (IoT), sistem pertanian presisi, dan rantai pasok digital, petani kecil dapat meningkatkan efisiensi dan memperoleh nilai tambah yang lebih besar. Di sisi lain, sektor swasta memiliki peluang besar untuk mengembangkan model bisnis baru berbasis biomassa, kompos, dan bahan pangan alternatif.

Dengan demikian, penerapan ekonomi sirkular di sektor pangan dan pertanian tidak hanya memperkuat ketahanan pangan nasional, tetapi juga memperkuat posisi Indonesia dalam rantai nilai global yang semakin menuntut keberlanjutan.

 

Transformasi Sistem Pangan Melalui Prinsip Sirkularitas

Penerapan ekonomi sirkular dalam sektor pangan menuntut perubahan paradigma yang menyeluruh — dari bagaimana bahan pangan diproduksi, diproses, hingga dikonsumsi. Prinsip dasarnya adalah menjaga sumber daya tetap berada dalam siklus ekonomi selama mungkin melalui desain sistem pangan yang regeneratif. Pendekatan ini tidak hanya menekan pemborosan, tetapi juga membangun ketahanan terhadap guncangan iklim dan pasar global.

Secara konseptual, ekonomi sirkular di bidang pangan beroperasi melalui empat prinsip utama:

  1. Regenerasi Sumber Daya Alam.
    Sistem pertanian sirkular tidak lagi mengekstraksi sumber daya hingga habis, tetapi memulihkannya. Praktik seperti pertanian organik, agroforestri, dan rotasi tanaman mampu meningkatkan kesuburan tanah serta menekan emisi karbon. Penggunaan pupuk organik dan biochar juga membantu menyimpan karbon di tanah sambil meningkatkan produktivitas jangka panjang. Inisiatif seperti Sustainable Landscape Management Program di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa sistem ini dapat menekan deforestasi hingga 12% per tahun sambil menjaga hasil panen stabil.

  2. Desain untuk Ketahanan Pangan.
    Diversifikasi pangan lokal menjadi kunci mengurangi ketergantungan pada komoditas impor seperti gandum dan kedelai. Pengembangan tanaman adaptif—sorgum, sagu, porang, hingga singkong—dapat memperkuat cadangan pangan nasional sekaligus menyesuaikan dengan kondisi agroekologis daerah. Pendekatan ini mendukung kemandirian pangan dan menghidupkan kembali rantai nilai komoditas lokal yang selama ini terpinggirkan.

  3. Pengelolaan Limbah Pangan sebagai Sumber Daya.
    Limbah organik memiliki nilai ekonomi tinggi jika dikelola secara tepat. Konversi sisa pangan menjadi pakan ternak, pupuk cair, atau biogas dapat mengurangi beban TPA sekaligus membuka peluang usaha baru di tingkat komunitas. Di Bali, program Waste-to-Energy telah memanfaatkan lebih dari 1.000 ton limbah organik per bulan untuk menghasilkan listrik bagi fasilitas publik. Sementara di Yogyakarta, startup lokal mengubah ampas kopi menjadi media tanam jamur, memperlihatkan bahwa inovasi berbasis limbah dapat menciptakan nilai tambah ekonomi yang nyata.

  4. Digitalisasi dan Ketelusuran (Traceability).
    Digitalisasi rantai pasok pangan merupakan fondasi untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi. Melalui pemanfaatan Internet of Things (IoT), blockchain, dan precision agriculture, petani dapat mengoptimalkan pemakaian air, pupuk, dan tenaga kerja. Sistem ketelusuran berbasis blockchain juga membantu konsumen memastikan keamanan dan keberlanjutan produk yang mereka beli. Model ini mulai diterapkan di industri perikanan dan kopi, namun potensinya besar untuk diperluas ke subsektor pangan pokok seperti beras dan sayuran.

Penerapan prinsip-prinsip di atas menuntut koordinasi lintas sektor yang kuat—antara kementerian, pelaku usaha, lembaga riset, dan masyarakat. Namun, keberhasilan jangka panjangnya akan menciptakan sistem pangan yang lebih adil, efisien, dan tangguh terhadap krisis.

Inovasi dan Praktik Terbaik di Indonesia (versi diperluas)

Transformasi menuju ekonomi sirkular dalam sistem pangan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peran inovasi, kolaborasi lintas sektor, dan inisiatif berbasis komunitas. Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah pelaku usaha, startup agritech, dan lembaga pemerintah telah mulai menerapkan praktik sirkular yang mengubah cara pangan diproduksi, diolah, dan dikonsumsi.

  1. Integrasi Sistem Closed-Loop di Industri Pangan Besar.
    Salah satu contoh paling menonjol datang dari PT Indofood Sukses Makmur Tbk, yang mengimplementasikan sistem closed-loop supply chain dengan mengubah limbah hasil produksi seperti kulit singkong dan sisa tepung menjadi pakan ternak serta bahan bakar alternatif. Langkah ini tidak hanya mengurangi limbah produksi hingga 30%, tetapi juga menurunkan biaya energi secara signifikan. Strategi serupa mulai diterapkan oleh industri kelapa sawit dan tebu melalui pemanfaatan residu biomassa menjadi energi.

  2. Digitalisasi dan Efisiensi Melalui Agritech.
    Perkembangan teknologi digital memainkan peran penting dalam mempercepat adopsi sirkularitas di tingkat petani. Platform seperti eFishery, TaniHub, dan Sayurbox membantu memperpendek rantai distribusi, menghubungkan petani langsung ke konsumen, sekaligus menekan kehilangan hasil panen akibat distribusi panjang. Startup eFishery, misalnya, menggunakan sensor IoT untuk mengatur pakan ikan secara otomatis, mengurangi limbah pakan hingga 30% dan meningkatkan produktivitas budidaya sebesar 25%.

  3. Pengelolaan Limbah Organik oleh Komunitas Lokal.
    Di tingkat daerah, sejumlah inisiatif berbasis komunitas menunjukkan keberhasilan ekonomi sirkular skala kecil. Program Zero Waste Village di Kabupaten Banyumas dan Denpasar, misalnya, mengolah limbah organik rumah tangga menjadi pupuk kompos dan biogas untuk kebutuhan energi desa. Selain mengurangi beban TPA hingga 70%, kegiatan ini juga membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat pedesaan, terutama perempuan.

  4. Inovasi Start-up dan Industri Kreatif.
    Inovasi di sektor pangan kini juga bergerak ke arah material alternatif dan pangan fungsional. Waste4Change, misalnya, berhasil membangun model bisnis berbasis pengelolaan limbah makanan restoran menjadi pupuk cair dan bahan baku biogas. Sementara MYCL (Mycotech Lab) mengembangkan teknologi berbasis mycelium untuk memanfaatkan limbah pertanian menjadi bahan pangan dan kemasan biodegradable. Praktik semacam ini menunjukkan potensi besar bagi penciptaan green jobs di sektor kreatif.

  5. Kemitraan Pemerintah dan Swasta.
    Pemerintah mulai menginisiasi model kemitraan Public-Private Partnership (PPP) dalam pengelolaan pangan sirkular. Salah satu contohnya adalah kerja sama antara Kementerian Pertanian, Bappenas, dan FAO dalam proyek Food Loss and Waste Roadmap 2022–2030. Program ini menargetkan pengurangan limbah pangan sebesar 50% pada 2040, melalui insentif fiskal, peningkatan infrastruktur penyimpanan dingin, dan kampanye konsumsi berkelanjutan.

Kombinasi inovasi digital, efisiensi rantai pasok, serta penguatan komunitas lokal menjadikan ekonomi sirkular bukan sekadar konsep, tetapi arah baru dalam membangun sistem pangan nasional yang lebih tangguh dan inklusif.

 

Kebijakan dan Arah Strategis Nasional 

Keberhasilan transformasi menuju sistem pangan dan pertanian sirkular sangat bergantung pada arah kebijakan dan koordinasi antar-lembaga pemerintah. Selama satu dekade terakhir, Indonesia telah menapaki serangkaian langkah strategis menuju ekonomi hijau, di mana sektor pangan menjadi fokus utama karena keterkaitannya langsung dengan kesejahteraan masyarakat dan ketahanan ekologis.

Pemerintah Indonesia telah menempatkan isu pangan berkelanjutan dalam berbagai dokumen perencanaan nasional, antara lain:

  1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029.
    RPJMN generasi baru menegaskan pergeseran paradigma pembangunan menuju ekonomi hijau dan biru, dengan menempatkan pertanian regeneratif dan efisiensi rantai pasok pangan sebagai prioritas utama. Strategi ini menggarisbawahi pentingnya transisi menuju low-carbon agriculture, peningkatan produktivitas tanpa ekspansi lahan, serta perlindungan ekosistem pertanian dan pesisir.

  2. Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2023 tentang Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG).
    Dokumen ini menekankan pentingnya pengurangan kehilangan dan pemborosan pangan (food loss and waste), peningkatan nilai tambah bahan pangan lokal, serta sinergi antara produksi dan konsumsi berkelanjutan. RAN-PG juga menjadi payung kebijakan untuk program Satu Data Pangan Nasional, yang memungkinkan sinkronisasi antara BPS, Kementerian Pertanian, dan Bappenas.

  3. Inisiatif Food Loss and Waste Roadmap 2022–2030.
    Disusun oleh Bappenas bekerja sama dengan FAO dan UNEP, peta jalan ini menargetkan pengurangan 50% limbah pangan pada 2040 melalui strategi pencegahan, redistribusi, dan pemanfaatan ulang. Fokus kebijakan diarahkan pada peningkatan kapasitas rantai dingin, insentif fiskal bagi pelaku usaha yang menerapkan praktik sirkular, serta integrasi sektor informal ke dalam sistem pengelolaan limbah pangan nasional.

  4. Program Pertanian Cerdas Iklim (Climate-Smart Agriculture / CSA).
    Didorong oleh Kementerian Pertanian dan dukungan lembaga internasional seperti IFAD dan World Bank, CSA menggabungkan inovasi teknologi pertanian presisi dengan pengelolaan sumber daya yang adaptif terhadap perubahan iklim. Program ini berperan penting dalam memastikan transisi sirkular berjalan seiring dengan ketahanan ekonomi petani.

  5. Sinergi Ekonomi Hijau dan Biru.
    Integrasi program green economy (daratan) dan blue economy (kelautan) menjadi prioritas lintas kementerian, terutama dalam konteks rantai pangan terpadu. Sinergi ini melibatkan Kementerian KKP dan Kementerian Pertanian dalam pengelolaan limbah hasil laut menjadi pakan, pupuk organik, serta bahan baku bioenergi.

Kebijakan nasional ini menunjukkan bahwa arah transformasi ekonomi sirkular sektor pangan tidak hanya berfokus pada efisiensi produksi, tetapi juga pada keadilan sosial dan inklusivitas ekonomi. Pendekatan lintas sektor memastikan bahwa petani kecil, nelayan, dan UMKM pangan dapat menjadi bagian aktif dari transisi ini, bukan sekadar penerima dampaknya.

Lebih jauh lagi, Indonesia juga berperan di tingkat global. Dalam forum G20 2022 di Bali, pemerintah memperkenalkan komitmen Food Loss and Waste Reduction Initiative sebagai bagian dari agenda Sustainable Consumption and Production (SCP). Komitmen ini memperkuat posisi Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang mengedepankan kebijakan pangan sirkular berbasis data dan kolaborasi internasional.

 

Dampak Ekonomi dan Lingkungan

Penerapan ekonomi sirkular di sektor pangan dan pertanian Indonesia membawa potensi manfaat yang sangat besar — tidak hanya dari sisi efisiensi sumber daya, tetapi juga pada penciptaan nilai ekonomi baru dan penguatan kesejahteraan masyarakat desa. Kajian simulatif Bappenas (2024) menunjukkan bahwa transisi menuju sistem pangan sirkular dapat menjadi motor pertumbuhan ekonomi hijau nasional dengan dampak lintas sektor yang signifikan.

Secara kuantitatif, penerapan prinsip ekonomi sirkular dalam rantai pasok pangan berpotensi:

  • Mengurangi limbah pangan hingga 50% pada 2040, melalui sistem pengumpulan dan redistribusi yang lebih efisien.

  • Menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 43 juta ton CO₂ per tahun, terutama dari sektor pertanian dan pengelolaan sampah organik.

  • Menghasilkan nilai ekonomi tambahan mencapai Rp330 triliun per tahun, yang bersumber dari pemanfaatan kembali limbah organik, inovasi bioteknologi, dan pengembangan produk pangan alternatif.

  • Menciptakan lebih dari 2,3 juta lapangan kerja baru, mayoritas di sektor pedesaan, yang berfokus pada pengelolaan sampah, kompos, logistik rantai dingin, dan pertanian presisi.

Selain manfaat ekonomi, transisi ini juga berdampak langsung terhadap keberlanjutan lingkungan dan sosial. Penggunaan kembali limbah organik sebagai pupuk dan energi mampu mengurangi ketergantungan terhadap pupuk kimia serta memperbaiki struktur tanah. Dalam jangka panjang, hal ini menurunkan degradasi lahan dan meningkatkan produktivitas pertanian hingga 15–20% di wilayah-wilayah yang menerapkan sistem regeneratif.

Dari perspektif sosial, penerapan ekonomi sirkular di sektor pangan juga memperkuat ketahanan komunitas pedesaan. Melalui program seperti Desa Mandiri Energi dan Desa Pangan Lestari, masyarakat lokal memperoleh keterampilan baru di bidang pengolahan limbah, pengelolaan rantai nilai, hingga wirausaha sosial berbasis sumber daya alam. Dengan demikian, sirkularitas tidak hanya berorientasi pada efisiensi, tetapi juga pada pemberdayaan dan pemerataan ekonomi.

Lebih jauh, pengurangan food loss and waste juga memiliki dimensi moral dan etika yang penting. Setiap ton makanan yang diselamatkan berarti tambahan konsumsi bagi masyarakat rentan yang mengalami kekurangan gizi. Dalam konteks ini, sirkularitas pangan membantu mencapai Sustainable Development Goals (SDGs) nomor 2 (Zero Hunger) dan nomor 12 (Responsible Consumption and Production) secara bersamaan.

Indonesia juga berpotensi menjadi hub pangan berkelanjutan Asia Tenggara, dengan kemampuan untuk mengekspor produk pertanian sirkular seperti pupuk organik, biofertilizer, dan bahan pangan alternatif berbasis tanaman lokal. Jika strategi nasional ini dijalankan secara konsisten, pada 2045 Indonesia dapat beralih dari negara agraris konvensional menjadi ekonomi pangan regeneratif, yang tidak hanya memberi makan rakyatnya tetapi juga menjaga keseimbangan ekologis planet.

 

Kesimpulan

Transformasi menuju sistem pangan dan pertanian yang sirkular merupakan langkah strategis bagi Indonesia untuk menjawab tiga tantangan besar abad ini: krisis iklim, ketimpangan ekonomi, dan keberlanjutan sumber daya. Pendekatan ekonomi sirkular bukan sekadar inovasi teknis, tetapi perubahan paradigma dalam melihat hubungan antara manusia, alam, dan ekonomi.

Melalui penerapan prinsip regeneratif, pemanfaatan teknologi digital, serta kebijakan lintas sektor yang terintegrasi, Indonesia memiliki peluang besar untuk membangun sistem pangan yang tangguh dan adil. Upaya mengurangi limbah, memperkuat nilai tambah di hulu, dan memperluas pasar bagi produk berkelanjutan dapat menjadikan sektor pangan sebagai motor pertumbuhan hijau sekaligus pilar ketahanan nasional.

Lebih dari itu, ekonomi sirkular mengembalikan keseimbangan antara produktivitas dan keberlanjutan. Ia membuka ruang bagi inovasi lokal, memperkuat peran petani dan pelaku UMKM, serta menegaskan bahwa pembangunan tidak harus menafikan kelestarian alam. Dengan arah kebijakan yang jelas dan komitmen lintas aktor, sektor pangan Indonesia dapat menjadi contoh nyata bagaimana ekonomi hijau dijalankan — bukan sekadar wacana, melainkan praktik yang memberi manfaat ekonomi, sosial, dan ekologis secara bersamaan.

 

Daftar Pustaka

Bappenas. (2024). Peta Jalan dan Rencana Aksi Nasional Ekonomi Sirkular Indonesia 2025–2045. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.

Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2023. Jakarta: BPS.

Kementerian Pertanian Republik Indonesia. (2022). Program Climate-Smart Agriculture untuk Ketahanan Pangan Nasional. Jakarta: Kementan RI.

Kementerian PPN/Bappenas & Food and Agriculture Organization. (2022). Food Loss and Waste Roadmap Indonesia 2022–2030. Jakarta: FAO Indonesia.

Kementerian PPN/Bappenas. (2023). Green Economy Framework Indonesia 2045. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). Circular Economy and Food Systems: Closing the Loop for Sustainable Growth. Paris: OECD Publishing.

United Nations Environment Programme (UNEP). (2023). Circular Food Systems for Sustainable Future: Asia-Pacific Outlook. Nairobi: UNEP.

World Bank. (2023). Low Carbon Agriculture and Food Systems Transition in Indonesia. Washington, DC: World Bank Group.

Waste4Change. (2023). Circular Waste Management and Food Waste Innovation in Indonesia. Jakarta: Waste4Change.

eFishery. (2023). Impact Report: Smart Aquaculture and Circular Food Systems. Bandung: eFishery Indonesia.

Selengkapnya
Membangun Ketahanan Pangan Berkelanjutan: Ekonomi Sirkular dalam Sektor Pertanian Indonesia
« First Previous page 64 of 1.352 Next Last »