Sumber Daya Air

Water and Climate Change - Laporan PBB tentang Krisis Air Global dan Solusi Masa Depan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Pengantar: Air, Iklim, dan Masa Depan Umat Manusia

Krisis air dan perubahan iklim adalah dua tantangan terbesar abad ke-21 yang saling terkait erat. Laporan “United Nations World Water Development Report 2020: Water and Climate Change” (WWDR 2020) yang diterbitkan UNESCO atas nama UN-Water, menjadi salah satu referensi paling komprehensif untuk memahami dampak perubahan iklim terhadap sumber daya air dunia, sekaligus menawarkan solusi lintas sektor yang berbasis sains, kebijakan, dan aksi nyata1.

Artikel ini akan membedah temuan utama laporan, menyajikan data dan studi kasus aktual, serta mengaitkannya dengan tren global, kritik, dan peluang inovasi. Dengan gaya penulisan yang SEO-friendly dan mudah dicerna, artikel ini ditujukan bagi pembaca umum, pemerhati lingkungan, pembuat kebijakan, dan pelaku industri yang ingin memahami kenapa air adalah “jantung” dari aksi iklim dan pembangunan berkelanjutan.

Dampak Perubahan Iklim terhadap Sumber Daya Air: Fakta Global

Gambaran Umum Krisis Air Dunia

  • Konsumsi air global meningkat 6 kali lipat dalam 100 tahun terakhir dan terus bertambah sekitar 1% per tahun akibat pertumbuhan penduduk, ekonomi, dan perubahan pola konsumsi1.
  • Empat miliar orang mengalami kelangkaan air fisik setidaknya satu bulan setiap tahun. Sekitar 1,6 miliar orang menghadapi kekurangan air karena infrastruktur yang buruk1.
  • Perubahan iklim memperburuk variabilitas air, menyebabkan banjir dan kekeringan yang lebih sering dan ekstrem, serta menurunkan kualitas air akibat suhu yang lebih tinggi dan polusi1.
  • Pada tahun 2050, 52% populasi dunia diproyeksikan tinggal di wilayah dengan tekanan air tinggi1.

Studi Kasus: Kota-Kota Besar Terancam Krisis Air

Diperkirakan pada 2050, sebanyak 685 juta penduduk di lebih dari 570 kota akan mengalami penurunan ketersediaan air bersih minimal 10% akibat perubahan iklim. Beberapa kota seperti Amman, Cape Town, dan Melbourne bisa kehilangan 30–49% pasokan airnya, sementara Santiago di Chile bahkan lebih dari 50%1.

Kerentanan Wilayah Tertentu

  • Negara kepulauan kecil (SIDS): Terancam kekurangan air akibat kenaikan muka air laut dan curah hujan yang menurun. Contoh: Tuvalu pernah mengalami krisis air total selama 6 bulan pada 2011, memaksa 1.500 dari 11.000 penduduknya hidup tanpa akses air tawar1.
  • Daerah semi-kering: Sekitar 20–35% lahan kering dunia sudah mengalami degradasi dan diperkirakan akan bertambah, memperburuk risiko kelaparan dan kemiskinan1.
  • Wilayah pesisir: Lebih dari 600 juta orang tinggal di dataran rendah pesisir yang rawan banjir dan intrusi air laut1.
  • Daerah pegunungan: Pencairan gletser mempercepat perubahan pola aliran sungai, mengancam jutaan orang di Asia Selatan, Andes, dan pegunungan lainnya1.

Air, Iklim, dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)

Air adalah penghubung utama antara berbagai tujuan pembangunan global:

  • SDG 6 (Air Bersih dan Sanitasi): Terancam gagal tercapai tanpa adaptasi iklim yang efektif.
  • SDG 2 (Tanpa Kelaparan): 69% air tawar dunia digunakan untuk irigasi. Perubahan pola curah hujan dan kekeringan mengancam produksi pangan, terutama di negara tropis dan berkembang1.
  • SDG 13 (Aksi Iklim): Air belum menjadi prioritas eksplisit dalam Perjanjian Paris, padahal hampir semua strategi adaptasi dan mitigasi iklim sangat bergantung pada pengelolaan air yang baik1.

Dampak Sektoral: Dari Pertanian, Energi, hingga Permukiman

Pertanian dan Ketahanan Pangan

  • Pertanian menyerap 69% air tawar global. Proyeksi FAO: kebutuhan air irigasi naik 5,5% dari 2008 hingga 20501.
  • Wilayah tropis dan lintang rendah akan mengalami penurunan produktivitas pangan akibat kekeringan, sementara lintang tinggi bisa mendapat manfaat dari curah hujan yang bertambah1.
  • Studi kasus Australia: 28% lahan gandum diprediksi akan lebih kering antara 2020–2060. Afrika Selatan: 99% lahan jagung akan lebih kering pada 2030–20701.
  • Solusi: Climate-Smart Agriculture (CSA), pengelolaan air irigasi efisien, dan pergeseran kalender tanam1.

Energi dan Industri

  • Dua pertiga emisi gas rumah kaca berasal dari energi. Sektor energi sangat tergantung pada air untuk pendinginan dan proses industri1.
  • Risiko bisnis: Kekurangan air dapat menghentikan produksi listrik dan industri. Perusahaan mulai mengadopsi teknologi efisiensi air dan energi, serta mengukur jejak air (water footprint) dalam rantai pasoknya1.
  • Tren: Peralihan ke energi terbarukan seperti surya dan angin yang minim kebutuhan air, serta pemanfaatan biogas dari pengolahan air limbah1.

Permukiman dan Urbanisasi

  • Urbanisasi memperbesar risiko kekurangan air. Infrastruktur air dan sanitasi di kota-kota besar rentan rusak akibat banjir, kekeringan, dan polusi1.
  • Penyakit menular: Banjir menyebabkan lonjakan penyakit seperti malaria, leptospirosis, dan demam berdarah1.
  • Solusi: Kota spons (sponge city), sistem drainase adaptif, dan prioritas air domestik di atas pertanian/industri1.

Ekosistem Air dan Biodiversitas: Krisis yang Sering Terlupakan

  • 84% spesies air tawar punah sejak 1970. Separuh lahan basah dunia hilang dalam 100 tahun terakhir1.
  • Wetlands menyimpan dua kali lipat karbon dibanding hutan. Degradasi lahan basah mempercepat emisi gas rumah kaca dan menghilangkan fungsi penahan banjir serta penjernihan air1.
  • Contoh nyata: Lebih dari 60% danau di Tiongkok mengalami eutrofikasi dan ledakan alga beracun akibat kombinasi polusi dan pemanasan air1.

Banjir, Kekeringan, dan Bencana Air Lainnya: Tren Meningkat

  • Banjir dan hujan ekstrem meningkat lebih dari 50% sejak 1980. Kekeringan, badai, dan gelombang panas naik lebih dari sepertiga1.
  • Dalam 20 tahun terakhir, banjir dan kekeringan menyebabkan 166.000 kematian, memengaruhi 3 miliar orang, dan kerugian ekonomi hampir US$700 miliar1.
  • Studi kasus: Pada 2017, hampir seluruh Amerika Utara mengalami kekeringan ekstrem, sementara Asia Tenggara dan Afrika Selatan dilanda banjir parah1.

Kualitas Air: Ancaman Ganda dari Polusi dan Iklim

  • Lebih dari 80% air limbah dunia dibuang tanpa pengolahan. Pencemaran organik, patogen, logam berat, dan polutan baru (emerging pollutants) meningkat pesat1.
  • Eutrofikasi dan ledakan alga: Pemanasan air memperburuk masalah ini, menyebabkan air minum beracun dan kerusakan ekosistem1.
  • Studi kasus Tiongkok: 60% danau tercemar, menyebabkan krisis air minum dan perikanan1.

Adaptasi dan Mitigasi: Solusi Terintegrasi untuk Masa Depan

Adaptasi

  • Adaptasi air mencakup solusi alami, teknologi, dan kelembagaan: Perlindungan lahan basah, pertanian konservasi, sistem peringatan dini, asuransi banjir/kekeringan, dan pelibatan komunitas1.
  • Teknologi baru: Sensor nirkabel, satelit, dan big data untuk pemantauan air dan iklim, serta crowdsourcing data dari masyarakat1.
  • Pendekatan kota spons: Kota-kota seperti Shanghai dan Rotterdam membangun taman, danau buatan, serta sistem drainase adaptif untuk menahan banjir dan menyimpan air hujan1.

Mitigasi

  • Pengelolaan air dapat mengurangi emisi: Pengolahan air limbah menghasilkan biogas, lahan basah menyerap karbon, dan efisiensi air mengurangi kebutuhan energi1.
  • Konservasi lahan basah dan hutan: Penting untuk penyerapan karbon dan perlindungan biodiversitas1.
  • Inovasi industri: Perusahaan mengadopsi teknologi hemat air dan energi, serta mengurangi jejak air dalam rantai pasok global1.

Studi Kasus: Kota Cape Town, Afrika Selatan

Pada 2018, Cape Town hampir menjadi kota besar pertama yang kehabisan air (“Day Zero”). Kombinasi kekeringan parah, pertumbuhan penduduk, dan buruknya manajemen air membuat bendungan utama hanya terisi 13%. Pemerintah melakukan pembatasan air ekstrem, mempercepat adopsi teknologi efisiensi air, dan mengedukasi masyarakat. Hasilnya, konsumsi air turun dari 1,2 juta m³/hari menjadi 500 ribu m³/hari, menyelamatkan kota dari krisis total1.

Tata Kelola, Pembiayaan, dan Keadilan Sosial

Tata Kelola Air

  • Fragmentasi kelembagaan dan birokrasi menghambat integrasi kebijakan air dan iklim1.
  • Solusi: Pendekatan Integrated Water Resources Management (IWRM), pelibatan publik, dan penguatan kapasitas lokal1.
  • Keadilan sosial: Kelompok rentan (perempuan, minoritas, masyarakat miskin) paling terdampak dan harus diprioritaskan dalam kebijakan air dan iklim1.

Pembiayaan

  • Kebutuhan investasi air global hingga 2050 mencapai US$22,6 triliun. Untuk SDG 6 saja, investasi perlu tiga kali lipat dari saat ini1.
  • Akses ke climate finance: Hanya sebagian kecil dana iklim global yang dialokasikan untuk proyek air, padahal mitigasi dan adaptasi air menawarkan co-benefits besar (kesehatan, gender, ekonomi)1.
  • Inovasi pembiayaan: Proyek air yang “bankable” harus jelas mengaitkan aksi dengan dampak iklim dan manfaat lintas sektor1.

Inovasi Teknologi dan Partisipasi Warga

  • Big data, sensor, dan satelit: Memungkinkan pemantauan curah hujan, debit sungai, kualitas air, dan anomali iklim secara real-time1.
  • Crowdsourcing dan citizen science: Masyarakat dapat melaporkan banjir, kekeringan, atau pencemaran melalui aplikasi, mempercepat respons pemerintah1.
  • Edukasi dan literasi air: Penting untuk membangun budaya hemat air dan kesiapsiagaan bencana1.

Kritik dan Opini: Tantangan dan Peluang

Kelemahan dan Tantangan

  • Ketidakpastian model iklim: Proyeksi curah hujan dan pola ekstrem masih bervariasi tinggi, terutama di zona transisi1.
  • Kesenjangan data: Hanya 10% negara berkembang punya sistem pemantauan air memadai1.
  • Kurangnya integrasi air dalam kebijakan iklim global: Air jarang disebut dalam Perjanjian Paris dan SDG 13, padahal sangat krusial1.

Peluang dan Rekomendasi

  • Integrasi penuh air dalam aksi iklim nasional (NDCs).
  • Investasi pada solusi berbasis alam dan teknologi digital.
  • Kolaborasi lintas sektor dan negara, terutama di wilayah sungai lintas batas.
  • Pemberdayaan komunitas dan kelompok rentan sebagai aktor utama adaptasi.

Kesimpulan: Air sebagai Kunci Masa Depan Berkelanjutan

Laporan WWDR 2020 menegaskan bahwa tanpa pengelolaan air yang adaptif, inklusif, dan inovatif, upaya melawan perubahan iklim dan mencapai pembangunan berkelanjutan akan gagal. Air bukan sekadar korban perubahan iklim, melainkan solusi utama—dari pertanian, energi, kesehatan, hingga tata kota.

Aksi nyata, investasi, dan inovasi lintas sektor harus segera dilakukan. Dengan mengintegrasikan air ke dalam seluruh kebijakan iklim dan pembangunan, dunia punya peluang untuk menciptakan masa depan yang lebih tangguh, adil, dan lestari.

Sumber Artikel :

UNESCO, UN-Water, 2020: United Nations World Water Development Report 2020: Water and Climate Change, Paris, UNESCO.

Selengkapnya
Water and Climate Change - Laporan PBB tentang Krisis Air Global dan Solusi Masa Depan

Perubahan Iklim

Menilai Kerangka Kebijakan Sektor Air Bangladesh di Era Perubahan Iklim

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Pentingnya Tata Kelola Air di Bangladesh

Bangladesh, sebagai negara delta terbesar di dunia, menempatkan sumber daya air sebagai pusat ekonomi, ketahanan pangan, dan pembangunan. Dengan lebih dari 700 sungai, termasuk 57 sungai lintas batas, serta ketergantungan besar pada air tanah untuk irigasi dan konsumsi domestik, tata kelola air di Bangladesh menjadi isu strategis, terlebih di tengah ancaman perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk yang pesat.

Laporan yang diulas ini merupakan bagian dari proyek regional “Climate Adaptation and Resilience (CARE) for South Asia” yang didukung Bank Dunia. Studi ini menelaah kerangka kebijakan, kelembagaan, dan regulasi sektor air Bangladesh, mengidentifikasi celah, serta menawarkan rekomendasi untuk memperkuat adaptasi dan ketahanan iklim di sektor vital ini.

Lanskap Sumber Daya Air: Fakta dan Tantangan

Gambaran Umum Sumber Daya Air

  • Curah hujan tahunan rata-rata: 2.666 mm/tahun (393,42 miliar m³/tahun).
  • Sumber air utama: 74% dari aliran lintas batas, 24% limpasan hujan lokal, 2% air tanah.
  • Ketergantungan pada air lintas batas: 75% total volume air berasal dari luar negeri, terutama India.
  • Konsumsi air: 32 miliar m³/tahun, dengan 87% digunakan untuk irigasi pertanian.
  • Proyeksi kebutuhan air: Tahun 2030, kebutuhan air pertanian naik dari 32,3 menjadi 46,3 miliar m³; domestik dari 2,4 menjadi 4,2 miliar m³; industri dari 0,1 menjadi 0,2 miliar m³1.

Distribusi Musiman dan Ancaman Kualitas

  • Musim hujan (Juni–Oktober): 85% aliran sungai terjadi, sering menyebabkan banjir.
  • Musim kemarau: Hanya 15% aliran masuk, memicu kekeringan dan over-eksploitasi air tanah.
  • Isu kualitas: 26% sumur dangkal tercemar arsenik, salinitas meningkat di zona pesisir, serta polusi oleh limbah domestik dan industri1.

Studi Kasus: Krisis Air Tanah di Zona Pesisir

Di wilayah pesisir seperti Khulna dan Barisal, kombinasi intrusi salinitas akibat kenaikan muka air laut dan kontaminasi arsenik menyebabkan krisis air bersih. Penduduk terpaksa mengandalkan air hujan atau air permukaan yang kualitasnya tidak selalu terjamin. Pemerintah telah menggalakkan teknologi rainwater harvesting (RWH), namun infrastruktur dan adopsi masih terbatas. Potensi RWH dapat mengurangi tekanan pada air tanah hingga 50% di wilayah urban1.

Kerangka Kebijakan dan Kelembagaan: Evolusi dan Evaluasi

Pilar Kebijakan Utama

  • Bangladesh Water Act 2013: Kerangka hukum utama untuk tata kelola dan konservasi air, menekankan integrasi pengelolaan lintas lembaga dan perlindungan hak air bagi kelompok rentan.
  • National Water Policy 1999 & National Water Management Plan 2001: Menjadi pedoman utama pengembangan dan pengelolaan sumber daya air, namun belum diperbarui sejak diterbitkan.
  • Coastal Zone Policy 2005: Fokus pada adaptasi di zona pesisir yang rentan terhadap perubahan iklim dan kontaminasi.
  • Ganges Water Sharing Treaty 1996: Satu-satunya perjanjian bilateral dengan India terkait pembagian air Sungai Gangga, namun belum mengatur pengelolaan akuifer lintas batas1.

Struktur Kelembagaan

  • Kementerian Utama: Ministry of Water Resources (MoWR), Local Government Division (LGD), Ministry of Agriculture (MoA), Ministry of Environment, Forest and Climate Change (MoEFCC).
  • Lembaga Pelaksana: Water Resources Planning Organization (WARPO), Bangladesh Water Development Board (BWDB), Department of Public Health Engineering (DPHE), dan lainnya.
  • Keterlibatan Multi-Sektor: Pengelolaan air tidak hanya domain MoWR, tetapi juga LGD (khusus air minum dan sanitasi) serta MoA (irigasi pertanian)1.

Tantangan Tata Kelola

  • Pendekatan top-down: Masih dominan, menyebabkan kesenjangan pengetahuan di tingkat komunitas dan rendahnya adopsi praktik terbaik lokal.
  • Koordinasi antarlembaga: Seringkali tumpang tindih dan kurang sinkron, khususnya antara MoWR dan LGD.
  • Data dan monitoring: Sistem data belum terintegrasi, banyak data duplikat, dan akses informasi lambat. Monitoring masih manual dan tradisional, meski 8th Five Year Plan (8FYP) telah mendorong digitalisasi1.
  • Kapasitas kelembagaan: Banyak kebijakan ambisius (misal target SDGs) belum diimbangi kapasitas pelaksana di tingkat lokal.

Studi Kasus: Implementasi Kebijakan dan Dampaknya

1. Pengelolaan Irigasi dan Upaya Pengurangan Ketergantungan Air Tanah

Pemerintah berupaya menurunkan proporsi lahan irigasi yang bergantung pada air tanah dari 73% menjadi 70% pada 2030, dengan meningkatkan pemanfaatan air permukaan. Namun, implementasi di lapangan masih terkendala infrastruktur, biaya, dan resistensi petani yang sudah terbiasa dengan sumur bor1.

2. Adaptasi Iklim di Sektor Pertanian

Melalui National Agriculture Policy 2018 dan Integrated Micro-Irrigation Policy 2017, pemerintah mendorong efisiensi irigasi dan adopsi teknologi hemat air. Namun, keterbatasan data sumber daya air dan kurangnya integrasi informasi antar sektor menjadi hambatan utama1.

3. Penanganan Banjir dan Bencana

Penerapan Bangladesh Delta Plan 2100 dan BCCSAP 2009 telah memperkuat upaya adaptasi, seperti pembangunan tanggul, shelter siklon, dan pengembangan varietas padi tahan salinitas. Namun, tantangan tetap ada pada pendanaan, koordinasi, dan keterlibatan masyarakat1.

Analisis Kritis: Kesenjangan, Tantangan, dan Peluang

Kesenjangan Kebijakan dan Implementasi

  • Pembaruan kebijakan: Banyak kebijakan kunci (misal NWP 1999, NWMP 2001) belum diperbarui sesuai dinamika terbaru, termasuk tantangan perubahan iklim dan urbanisasi.
  • Pengelolaan lintas batas: Hanya satu perjanjian sungai (Ganges), belum ada instrumen untuk akuifer lintas batas, padahal ketergantungan pada air dari India sangat tinggi.
  • Pengelolaan kualitas air: Belum ada instrumen khusus untuk perlindungan dan peningkatan kualitas air, terutama terkait polusi industri dan domestik.
  • Partisipasi stakeholder: Hanya satu instrumen yang secara jelas mengatur peran serta masyarakat dan stakeholder dalam pengelolaan air (Guidelines for Participatory Water Management 2000)1.

Tantangan Adaptasi Iklim

  • Variabilitas musiman ekstrem: Ketersediaan air melimpah saat musim hujan, namun sangat langka di musim kemarau.
  • Kenaikan suhu dan intrusi salinitas: Memicu kebutuhan irigasi lebih tinggi dan menurunkan produktivitas pertanian, terutama di zona pesisir.
  • Banjir dan siklon: Proyeksi menunjukkan peningkatan frekuensi dan intensitas banjir serta gelombang badai hingga 11% pada 2100, menambah kerentanan infrastruktur dan masyarakat1.

Peluang Perbaikan

  • Digitalisasi dan integrasi data: Implementasi sistem monitoring berbasis digital dan integrasi data antarlembaga dapat meningkatkan responsivitas dan efisiensi tata kelola.
  • Pendekatan IWRM (Integrated Water Resources Management): Perlu diperkuat dengan memperjelas peran, akuntabilitas, dan koordinasi lintas sektor.
  • Penguatan kapasitas lokal: Pelatihan, pendampingan, dan peningkatan kapasitas kelembagaan di tingkat desa/kecamatan sangat krusial untuk keberhasilan implementasi kebijakan.
  • Diversifikasi sumber air: Optimalisasi rainwater harvesting, reklamasi air limbah, dan recharge akuifer dapat mengurangi tekanan pada air tanah.

Perbandingan dengan Negara Lain & Tren Global

Studi global oleh Gain et al. (2016) menunjukkan bahwa meski ketersediaan fisik air di Bangladesh cukup, aspek kualitas, keamanan, dan tata kelola masih sangat rendah dibanding negara-negara seperti Amerika Serikat atau Australia. Indeks keamanan air Bangladesh sangat dipengaruhi oleh risiko banjir, kualitas air yang buruk, dan kompleksitas pengelolaan lintas batas1.

Tren global mengarah pada penguatan tata kelola berbasis data, partisipasi masyarakat, dan integrasi adaptasi perubahan iklim ke dalam seluruh kebijakan sektor air. Bangladesh perlu mempercepat pembaruan kebijakan dan adopsi teknologi untuk mengejar ketertinggalan.

Rekomendasi dan Masa Depan Tata Kelola Air Bangladesh

Rekomendasi Utama dari Laporan

  • Pembaruan dan harmonisasi kebijakan: Segera revisi NWP 1999 dan NWMP 2001, serta harmonisasi kebijakan lintas sektor (air, pertanian, lingkungan).
  • Penguatan koordinasi antarlembaga: Bentuk platform koordinasi tetap yang melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat lokal.
  • Pengembangan sistem monitoring berbasis digital: Implementasi Result-Based Monitoring & Evaluation (RBM&E) seperti diamanatkan 8FYP dan Delta Plan 2100.
  • Peningkatan kapasitas dan pelatihan: Fokus pada level lokal agar implementasi kebijakan berjalan efektif.
  • Diversifikasi sumber air dan teknologi adaptif: Dorong investasi pada RWH, reklamasi air limbah, dan recharge akuifer.
  • Perkuat kerjasama lintas batas: Inisiasi perjanjian baru, terutama terkait pengelolaan akuifer bersama dan data sharing dengan India.

Opini dan Kritik

Laporan ini sangat komprehensif, namun masih kurang menyoroti aspek sosial-budaya dalam pengelolaan air, seperti resistensi masyarakat terhadap inovasi atau konflik kepentingan antar sektor. Selain itu, tantangan pendanaan dan political will untuk pembaruan kebijakan sering kali menjadi bottleneck yang tidak mudah diatasi hanya dengan rekomendasi teknokratik.

Namun, inisiatif CARE for South Asia yang mengintegrasikan penguatan kapasitas, digitalisasi, dan adaptasi iklim patut diapresiasi sebagai model yang dapat direplikasi di negara berkembang lain dengan karakteristik serupa.

Kesimpulan: Menuju Tata Kelola Air yang Adaptif dan Inklusif

Bangladesh berada di persimpangan penting dalam tata kelola air. Keberhasilan adaptasi dan ketahanan iklim sangat bergantung pada pembaruan kebijakan, penguatan kelembagaan, serta keterlibatan aktif masyarakat dan pemangku kepentingan lintas sektor. Dengan tantangan perubahan iklim yang kian nyata, tata kelola air yang adaptif, berbasis data, dan inklusif menjadi kunci masa depan pembangunan berkelanjutan Bangladesh.

Sumber Artikel 

Milner, H., Foisal, A., Gupta, N., & Basnayake, S. (2023). Assessment of Water Sector Policy Frameworks of Bangladesh: Identifying Gaps and Addressing Needs. Bangkok: Asian Disaster Preparedness Center (ADPC).

Selengkapnya
Menilai Kerangka Kebijakan Sektor Air Bangladesh di Era Perubahan Iklim

Sumber Daya Air

Energy and Water – The Vital Link for a Sustainable Future

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 13 Juni 2025


Air dan energi adalah dua pilar utama pembangunan yang sangat saling bergantung. Laporan “Energy and Water: The Vital Link for a Sustainable Future” (SIWI, 2014) menyoroti bagaimana hubungan keduanya menjadi kunci dalam mencapai masa depan yang berkelanjutan. Dengan meningkatnya permintaan global atas air dan energi, serta tantangan perubahan iklim, keterpaduan pengelolaan kedua sektor ini menjadi semakin krusial. Artikel ini akan membedah isi laporan tersebut, menghadirkan studi kasus, data penting, serta analisis kritis yang relevan dengan tren global dan tantangan nyata di lapangan.

Mengapa Keterkaitan Air-Energi Semakin Penting?

Fakta Global yang Mengkhawatirkan

  • 1,3 miliar orang di dunia masih belum memiliki akses listrik.
  • 800 juta orang bergantung pada sumber air yang tidak layak.
  • Sebagian besar kelompok ini adalah masyarakat miskin yang juga mengalami kekurangan gizi.

Angka-angka ini menegaskan bahwa tantangan air dan energi saling terkait erat dengan isu kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan. Jika salah satu sektor gagal, maka sektor lainnya pun akan terdampak, memperburuk kondisi sosial dan ekonomi masyarakat1.

Paradoks dan Tantangan Tata Kelola

Silo Mentality: Hambatan Menuju Kolaborasi

Salah satu tantangan utama yang diangkat laporan ini adalah “silo mentality”, di mana sektor air dan energi sering berjalan sendiri-sendiri tanpa koordinasi yang memadai. Padahal, air dibutuhkan untuk hampir semua proses produksi energi (biofuel, pembangkit listrik, pendinginan), sementara energi sangat penting untuk pengolahan, distribusi, dan pemurnian air1.

Contoh nyata:

  • Di sektor energi, efisiensi menjadi prioritas utama karena harga energi sangat sensitif di pasar.
  • Di sektor air, harga cenderung tidak terlalu diperhatikan, sehingga efisiensi sering diabaikan.

Studi Kasus dan Data Kunci

1. Hidroelektrik: Antara Solusi dan Ancaman

Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sering dianggap solusi energi ramah lingkungan. Namun, laporan ini menyoroti bahwa pembangunan PLTA juga membawa risiko besar terhadap ekosistem sungai dan masyarakat sekitar.

  • Data: Satu dari lima orang di dunia masih belum memiliki akses listrik, sehingga pembangunan PLTA terus didorong di negara berkembang.
  • Dampak: Jika tidak dikelola dengan baik, PLTA dapat mengurangi aliran air alami, merusak habitat, dan mengancam ketahanan air di hilir sungai.

Studi kasus:
Di beberapa negara Asia dan Afrika, pembangunan bendungan besar memang meningkatkan kapasitas listrik, namun juga menyebabkan konflik sosial dan kerusakan lingkungan. Laporan ini menekankan pentingnya penilaian lingkungan yang komprehensif sebelum pembangunan1.

2. Shale Gas dan Fracking: Solusi Energi atau Ancaman Air?

Fracking untuk shale gas menjadi kontroversi besar, terutama di Amerika Serikat dan Eropa. Proses ini membutuhkan air dalam jumlah besar dan berisiko mencemari air tanah.

  • Data: Dalam satu sumur fracking, bisa digunakan hingga 20 juta liter air.
  • Risiko: Cairan kimia yang digunakan dapat bocor dan mencemari sumber air bawah tanah.

Studi kasus:
Di beberapa negara bagian AS, fracking telah menyebabkan penurunan kualitas air tanah, memicu protes masyarakat dan regulasi yang lebih ketat. Laporan ini menyoroti perlunya penelitian lebih lanjut dan regulasi yang ketat untuk menyeimbangkan kebutuhan energi dan perlindungan air1.

3. Urbanisasi: Tekanan Ganda pada Air dan Energi

Kota-kota besar menghadapi tantangan besar dalam memenuhi kebutuhan air dan energi yang terus meningkat.

  • Data: Lebih dari 50% populasi dunia kini tinggal di perkotaan, dan angka ini terus meningkat.
  • Masalah: Kebocoran air di jaringan distribusi kota bisa mencapai 30–50%, menyebabkan pemborosan energi untuk pemompaan dan pengolahan.

Solusi:
Pendekatan terpadu dalam pengelolaan permintaan air dan energi, serta pemanfaatan air limbah sebagai sumber energi, menjadi strategi penting yang disarankan dalam laporan ini1.

Analisis Kritis dan Perbandingan dengan Tren Global

Keterpaduan Kebijakan: Masih Jauh dari Harapan

Laporan ini mengkritisi kurangnya integrasi kebijakan antara sektor air dan energi, baik di level nasional maupun internasional. Meski sudah ada kemajuan sejak Konferensi Rio+20 (2012), dimana keterkaitan air dan energi mulai diakui dalam agenda pembangunan global, namun implementasi di lapangan masih lemah.

Perbandingan:

  • Di Eropa, beberapa negara sudah mulai menerapkan kebijakan “water-energy nexus” dalam perencanaan infrastruktur.
  • Di negara berkembang, seperti Indonesia dan India, kebijakan masih cenderung sektoral dan belum terintegrasi.

Peran Teknologi dan Inovasi

Teknologi berperan penting dalam meningkatkan efisiensi dan mengurangi dampak lingkungan.

  • Contoh: Penggunaan smart grid dan sensor kebocoran untuk mengurangi pemborosan air dan energi di perkotaan.
  • Bioenergi: Pengembangan biofuel generasi kedua yang lebih hemat air.

Namun, laporan ini menekankan bahwa inovasi teknologi harus diiringi dengan perubahan kebijakan dan insentif ekonomi yang tepat.

Dampak Perubahan Iklim: Ancaman Ganda

Perubahan iklim memperparah tantangan air dan energi:

  • Kekeringan mengurangi ketersediaan air untuk PLTA dan pendinginan pembangkit listrik.
  • Banjir merusak infrastruktur energi dan sistem distribusi air.

Laporan ini menekankan pentingnya strategi adaptasi dan mitigasi yang terintegrasi, termasuk perlindungan ekosistem hutan sebagai penyangga air dan penyerap karbon1.

Rekomendasi Strategis dari Laporan

1. Kolaborasi Lintas Sektor

Diperlukan kerjasama erat antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil untuk memastikan kebijakan air dan energi saling mendukung.

2. Penetapan Harga yang Adil dan Transparan

Harga air dan energi harus mencerminkan biaya produksi dan dampak lingkungannya, agar mendorong efisiensi dan investasi pada teknologi bersih.

3. Inovasi Kebijakan dan Teknologi

  • Insentif untuk penggunaan energi terbarukan dan efisiensi air.
  • Investasi pada teknologi pengolahan air limbah dan pemanfaatan energi dari limbah.

4. Penguatan Data dan Riset

Pengambilan keputusan harus didasarkan pada data yang akurat tentang konsumsi air dan energi, serta dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat.

Opini dan Kritik: Menuju Tata Kelola yang Lebih Adaptif

Laporan SIWI 2014 memberikan kontribusi penting dalam mendorong integrasi kebijakan air dan energi. Namun, tantangan utama tetap pada implementasi di tingkat lokal dan nasional. Banyak negara masih terjebak pada pendekatan sektoral, sehingga peluang kolaborasi sering terhambat oleh ego sektoral dan regulasi yang tumpang tindih.

Dibandingkan dengan laporan-laporan serupa, seperti UN Water Development Report atau World Energy Outlook, SIWI lebih menekankan pada pentingnya dialog lintas sektor dan perlunya perubahan paradigma dalam tata kelola sumber daya alam.

Mengaitkan dengan Tren Industri dan Contoh Nyata

Industri: Menuju Circular Economy

Banyak perusahaan multinasional kini mulai menerapkan prinsip circular economy, di mana limbah air dan energi didaur ulang untuk mengurangi jejak lingkungan. Contohnya, pabrik-pabrik di sektor makanan dan minuman mulai memanfaatkan air limbah untuk menghasilkan biogas yang digunakan kembali sebagai energi.

Kebijakan Nasional: Indonesia dan Negara Berkembang

Indonesia, sebagai negara dengan sumber daya air melimpah namun distribusi energi yang belum merata, bisa mengambil pelajaran dari laporan ini. Integrasi kebijakan air-energi dapat mempercepat pencapaian target SDGs, khususnya dalam akses air bersih dan energi terjangkau.

Masa Depan Berkelanjutan Butuh Sinergi Air dan Energi

Laporan “Energy and Water: The Vital Link for a Sustainable Future” menegaskan bahwa masa depan berkelanjutan hanya bisa dicapai jika sektor air dan energi dikelola secara terpadu. Tantangan global seperti perubahan iklim, urbanisasi, dan pertumbuhan penduduk menuntut solusi inovatif, kolaboratif, dan berbasis data. Negara-negara berkembang seperti Indonesia perlu segera mengadopsi pendekatan ini untuk memastikan pembangunan ekonomi tidak mengorbankan keberlanjutan lingkungan.

Sumber Artikel

Jägerskog, A., Clausen, T. J., Holmgren, T. and Lexén, K., (eds.) 2014. Energy and Water: The Vital Link for a Sustainable Future. Report Nr. 33. SIWI, Stockholm.

Selengkapnya
Energy and Water – The Vital Link for a Sustainable Future

Sumber Daya Alam

Intervensi Adaptasi dan Pengaruhnya Terhadap Kerentanan di Negara Berkembang Bantuan, Hambatan, atau Tidak Relevan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025


Artikel karya Siri Eriksen dan kolega ini mengulas secara kritis dampak intervensi adaptasi perubahan iklim yang didanai internasional terhadap kerentanan di negara berkembang. Penelitian ini menyoroti bahwa meskipun tujuan utama intervensi adalah mengurangi kerentanan, kenyataannya beberapa intervensi justru memperkuat, mendistribusikan ulang, atau menciptakan sumber kerentanan baru. Artikel ini memberikan analisis mendalam berdasarkan 34 studi empiris dari berbagai negara berkembang, dengan fokus pada mekanisme maladaptasi yang muncul serta rekomendasi untuk perbaikan kebijakan dan praktik adaptasi.

Studi Kasus dan Temuan Kunci

Artikel ini mengidentifikasi tiga pola utama dampak negatif dari intervensi adaptasi:

  1. Memperkuat Kerentanan yang Ada
    • Kasus Kolombia Utara: Proyek dana Adaptation Fund yang memilih penerima manfaat untuk perumahan pasca-bencana dari daftar nasional gagal menjangkau kelompok paling rentan yang tidak mampu mengakses proses birokrasi, sehingga memperparah eksklusi sosial dan meningkatkan migrasi keluar.
    • Kasus Vietnam: Kebijakan bendungan hidroelektrik dan perlindungan hutan membantu mengatur banjir di dataran rendah, namun merugikan masyarakat pegunungan yang kehilangan akses ke tanah dan sumber daya hutan, menurunkan kapasitas adaptif mereka.
    • Kasus Ethiopia: Program pemukiman kembali pastoralis dalam strategi ekonomi hijau menyebabkan marginalisasi lebih lanjut dan penurunan ketahanan pangan bagi kelompok yang sudah rentan.
    • Kasus São Tomé dan Príncipe: Intervensi adaptasi hanya diberikan kepada pemilik tanah, mengabaikan kelompok tanpa tanah.
  2. Redistribusi Kerentanan
    • Infrastruktur seperti bendungan dan embankmen banjir yang melindungi satu komunitas dapat meningkatkan risiko bagi komunitas lain, seperti yang terjadi di Vietnam dan Bangladesh.
    • Perubahan pasar regional akibat penggunaan teknologi pertanian mahal oleh kelompok yang lebih mampu dapat mengalihkan sumber daya dari program pembangunan agraria yang menargetkan kelompok miskin.
  3. Menciptakan Risiko dan Kerentanan Baru
    • Contoh "safe development paradox" di Bangladesh, di mana pembangunan infrastruktur pesisir yang melindungi dari badai justru mendorong penduduk tetap tinggal di zona risiko tinggi, meningkatkan potensi kerugian di masa depan.
    • Intervensi top-down seperti program pemukiman kembali di Mozambik yang menggunakan tekanan militer dan penarikan layanan dasar untuk memindahkan kelompok marginal, menimbulkan kerentanan baru dan konflik sosial.

Angka dan Data Penting

  • Studi terhadap 27 donor bilateral dan multilateral di Malawi menunjukkan bahwa daerah dengan kebutuhan adaptasi tertinggi justru menerima proporsi dana paling kecil, dengan kelompok termiskin paling sedikit mendapatkan bantuan.
  • Kurang dari 50% entitas pelaksana dan LSM menilai kebijakan adaptasi sudah mempertimbangkan aspek gender secara memadai (Adaptation Fund, 2019).
  • Dari 56 kegiatan adaptasi di Kenya yang didukung program DFID StARCK+, dua pertiga fokus pada risiko yang sudah dikenal, dan hanya sedikit yang secara eksplisit menargetkan dampak perubahan iklim yang sudah diamati.

Analisis Mekanisme Maladaptasi

Artikel mengidentifikasi empat mekanisme utama yang menyebabkan intervensi adaptasi gagal mengurangi kerentanan secara adil:

  1. Pemahaman Konteks Kerentanan yang Dangkal
    Banyak intervensi tidak mengkaji secara mendalam konteks sosial-politik yang membentuk kerentanan, seperti hubungan gender, ras, kelas, dan disabilitas. Penilaian kerentanan seringkali menggunakan indikator yang telah ditentukan sebelumnya dan kurang mempertimbangkan dinamika lokal yang kompleks.
  2. Partisipasi Pemangku Kepentingan yang Tidak Adil
    Perencanaan dan pelaksanaan intervensi sering bersifat top-down, sehingga suara kelompok marginal tidak terwakili. Partisipasi yang ada seringkali bersifat simbolis dan tidak mengubah struktur kekuasaan yang ada, sehingga memperkuat ketidaksetaraan.
  3. Retrofitting Adaptasi ke Agenda Pembangunan yang Ada
    Banyak dana adaptasi digunakan untuk proyek pembangunan yang sudah ada dengan label baru "adaptasi", tanpa perubahan signifikan pada tujuan atau metode. Hal ini mengakibatkan adaptasi lebih bersifat inkremental dan tidak mengatasi penyebab mendasar kerentanan.
  4. Definisi ‘Keberhasilan Adaptasi’ yang Terbatas dan Dominan oleh Diskursus Pembangunan
    Keberhasilan adaptasi sering diukur berdasarkan output proyek (misalnya jumlah penerima manfaat) tanpa mengkaji dampak jangka panjang terhadap kerentanan dan ketidaksetaraan. Definisi keberhasilan ini cenderung mengabaikan perspektif kelompok marginal dan mempertahankan status quo.

Opini dan Kritik

Artikel ini memberikan kritik tajam terhadap pendekatan adaptasi yang terlalu teknis dan birokratis, yang mengabaikan dimensi sosial-politik dan keadilan. Penulis mengajak untuk menggeser paradigma adaptasi dari proyek yang hanya mengubah praktik masyarakat marginal menjadi proses pembelajaran yang melibatkan organisasi pelaksana dan masyarakat marginal secara setara. Pendekatan ini menuntut refleksi kritis terhadap asumsi dasar pembangunan dan adaptasi, serta keterbukaan terhadap pluralisme pengetahuan dan nilai.

Namun, artikel ini juga mengakui bahwa intervensi adaptasi tetap penting sebagai arena pembelajaran dan eksperimen untuk membentuk jalur adaptasi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Kritik utama adalah bahwa tanpa perubahan mendasar dalam cara adaptasi dirancang, dibiayai, dan dievaluasi, intervensi berisiko memperburuk kerentanan.

Hubungan dengan Tren Global dan Industri

Artikel ini sangat relevan dengan tren global dalam literatur dan praktik adaptasi yang semakin menekankan pentingnya keadilan sosial, partisipasi inklusif, dan transformasi struktural dalam menghadapi perubahan iklim. Pendekatan transformasi adaptasi yang diusulkan selaras dengan gerakan global untuk pembangunan berkelanjutan yang berkeadilan dan responsif terhadap kebutuhan kelompok marginal.

Dalam konteks industri pembangunan dan bantuan internasional, artikel ini menyoroti perlunya reformasi dalam mekanisme pendanaan dan tata kelola adaptasi agar lebih responsif terhadap konteks lokal dan lebih kritis terhadap asumsi pembangunan dominan. Hal ini mendorong integrasi pengetahuan lokal dan global, serta peningkatan kapasitas organisasi pelaksana untuk belajar dan beradaptasi secara berkelanjutan.

Rekomendasi Strategis

  • Meningkatkan Pemahaman Konteks Kerentanan dengan melakukan asesmen yang lebih mendalam dan kontekstual, termasuk dimensi sosial-politik dan interseksionalitas.
  • Memperluas Partisipasi Inklusif melalui mekanisme deliberatif yang melibatkan berbagai kelompok marginal secara bermakna dalam perencanaan dan evaluasi adaptasi.
  • Menghindari Retrofitting Adaptasi dengan merancang intervensi yang secara eksplisit menargetkan pengurangan kerentanan terhadap risiko iklim masa depan, bukan hanya mengemas ulang proyek pembangunan lama.
  • Mendefinisikan Ulang Keberhasilan Adaptasi dengan indikator yang mempertimbangkan dampak jangka panjang, keadilan sosial, dan perspektif masyarakat yang terpinggirkan.
  • Mendorong Proses Pembelajaran dan Refleksi dalam Organisasi Pelaksana untuk mengatasi bias dan asumsi yang menghambat adaptasi yang efektif dan adil.

Kesimpulan

Artikel ini memberikan wawasan kritis dan komprehensif mengenai bagaimana intervensi adaptasi perubahan iklim di negara berkembang sering kali gagal mengurangi kerentanan secara adil dan malah dapat memperburuknya. Dengan menggabungkan studi kasus empiris dan analisis mekanisme maladaptasi, penulis menekankan perlunya perubahan paradigma dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi adaptasi. Pendekatan yang lebih inklusif, reflektif, dan kritis terhadap konteks sosial-politik menjadi kunci untuk mencapai adaptasi yang benar-benar efektif dan berkeadilan.

Sumber Artikel (Bahasa Asli)

Eriksen, S., Schipper, E.L.F., Scoville-Simonds, M., Vincent, K., Adam, H.N., Brooks, N., Harding, B., Khatri, D., Lenaerts, L., Liverman, D., Mills-Novoa, M., Mosberg, M., Movik, S., Muok, B., Nightingale, A., Ojha, H., Sygna, L., Taylor, M., Vogel, C., West, J.J. (2021). Adaptation interventions and their effect on vulnerability in developing countries: Help, hindrance or irrelevance? World Development, 141, 105383.

Selengkapnya
Intervensi Adaptasi dan Pengaruhnya Terhadap Kerentanan di Negara Berkembang Bantuan, Hambatan, atau Tidak Relevan

Sumber Daya Alam

Adaptasi Perubahan Iklim oleh Organisasi Pengelola Air – Enabler dan Hambatan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025


Mengapa Adaptasi Pengelolaan Air Penting?

Perubahan iklim saat ini secara nyata berdampak pada siklus air global, termasuk perubahan pola curah hujan, peningkatan suhu, dan kejadian ekstrem seperti banjir dan kekeringan. Organisasi pengelola air—baik pemerintah, swasta, maupun lembaga non-pemerintah—berperan sentral dalam mengelola sumber daya air yang vital bagi masyarakat dan ekosistem. Namun, kemampuan organisasi-organisasi ini untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim masih menjadi tantangan besar. Paper berjudul “Adapting to climate change by water management organisations: Enablers and barriers” oleh Adani Azhoni, Simon Jude, dan Ian Holman (2018) mengkaji secara komprehensif faktor-faktor yang memfasilitasi dan menghambat adaptasi organisasi pengelola air terhadap perubahan iklim, dengan fokus pada konteks global dan khususnya negara berkembang.

Kerangka Teoritis: Kapasitas Adaptif dan Hambatan Adaptasi

Kapasitas Adaptif Organisasi

Kapasitas adaptif didefinisikan sebagai kemampuan suatu sistem atau organisasi untuk menyesuaikan diri terhadap dampak perubahan iklim, memanfaatkan peluang, atau merespons konsekuensi negatifnya. Dalam konteks organisasi pengelola air, kapasitas ini mencakup:

  • Kesadaran dan pengetahuan tentang risiko iklim dan opsi adaptasi.
  • Kemampuan teknis dan infrastruktur, seperti teknologi monitoring dan pengelolaan air.
  • Sumber daya ekonomi dan kelembagaan, termasuk dana, kebijakan, dan fleksibilitas organisasi.
  • Kepemimpinan visioner dan struktur organisasi yang mendukung pembelajaran dan pengambilan keputusan adaptif.

Penelitian menunjukkan bahwa meskipun ada konsensus umum tentang dimensi kapasitas adaptif, evaluasi kapasitas ini sangat kompleks karena sifatnya yang dinamis, kontekstual, dan tersembunyi (latent). Misalnya, indikator kuantitatif sering kali gagal menangkap nuansa lokal dan perubahan waktu yang cepat1.

Hambatan Adaptasi

Hambatan adaptasi adalah faktor-faktor yang menghalangi atau memperlambat kemampuan organisasi untuk melakukan adaptasi efektif. Hambatan ini dapat bersifat:

  • Kognitif, seperti kurangnya pemahaman risiko atau skeptisisme terhadap perubahan iklim.
  • Institusional dan birokratis, termasuk aturan yang kaku, kurangnya koordinasi antar lembaga, dan proses pengambilan keputusan yang lambat.
  • Sosial dan budaya, seperti sikap apatis, kurangnya dukungan politik, dan norma yang menghambat inovasi.
  • Sumber daya terbatas, baik dana maupun teknologi.

Paper ini menegaskan bahwa hambatan-hambatan ini sering saling terkait dan sulit diatasi tanpa pendekatan yang holistik dan kontekstual1.

Studi Kasus dan Temuan Empiris

Paper ini mengulas berbagai studi empiris dari negara maju dan berkembang, menyoroti bagaimana faktor-faktor di atas berperan dalam konteks nyata:

  • India (Himachal Pradesh): Organisasi pengelola air menghadapi hambatan berupa birokrasi yang kompleks dan kurangnya koordinasi antar lembaga, serta keterbatasan sumber daya teknis dan finansial. Hal ini menghambat respons adaptif terhadap perubahan pola curah hujan dan risiko banjir1.
  • Australia dan Inggris: Studi menunjukkan bahwa meskipun ada kesadaran tinggi dan strategi adaptasi yang dirancang, implementasi sering terhambat oleh ketidakjelasan tujuan, kurangnya indikator keberhasilan yang spesifik, dan keterbatasan kapasitas lokal dalam menerjemahkan kebijakan nasional ke tingkat daerah1.
  • Kasus Transboundary Water Management: Organisasi yang mengelola sumber daya air lintas batas negara menghadapi tantangan koordinasi dan kesepakatan kebijakan yang rumit, yang menghambat pengelolaan adaptif yang efektif1.

Strategi Adaptasi yang Diterapkan

Paper ini mengklasifikasikan strategi adaptasi dalam pengelolaan air menjadi beberapa kategori utama:

  1. Manajemen Sisi Pasokan dan Permintaan
    • Konservasi air, peningkatan efisiensi penggunaan, dan pengelolaan ulang sumber daya air.
    • Contoh: Pengurangan kebocoran jaringan distribusi dan penggunaan teknologi pengukuran untuk meningkatkan efisiensi air di Iran2.
  2. Pengoperasian Sistem dan Optimalisasi
    • Pembaruan kurva operasi waduk menggunakan algoritma optimasi untuk mengantisipasi perubahan pola hidrologi akibat iklim.
    • Studi Rheinheimer et al. (2016) menunjukkan bahwa redefinisi indeks klasifikasi tahun air (Water Year Type) efektif untuk adaptasi2.
  3. Pengembangan Infrastruktur dan Teknologi
    • Pembangunan bendungan baru, sistem panen air hujan, dan penerapan teknologi pengolahan air limbah untuk digunakan kembali.
    • Pendekatan ini seringkali mahal dan memerlukan investasi besar, sehingga perlu dikombinasikan dengan strategi non-struktural2.
  4. Pendekatan Bottom-Up dan Partisipatif
    • Meningkatkan ketahanan sistem pengelolaan air melalui keterlibatan masyarakat dan multi-stakeholder, serta penguatan jaringan antar organisasi.
    • Pendekatan ini dianggap penting untuk mengatasi hambatan sosial dan kelembagaan13.

Peran Jaringan Antar-Organisasi dan Organisasi Transboundary

Salah satu kontribusi penting paper ini adalah penekanan pada pentingnya jaringan antar-organisasi dan organisasi transboundary sebagai pendorong kapasitas adaptif:

  • Jaringan Antar-Organisasi memungkinkan pertukaran pengetahuan, sumber daya, dan koordinasi lintas sektor dan skala pemerintahan.
  • Organisasi Transboundary berperan sebagai jembatan antara ilmu pengetahuan dan kebijakan, serta menghubungkan berbagai aktor yang memiliki kepentingan berbeda.
  • Namun, jaringan ini juga menghadapi risiko dominasi oleh aktor tertentu dan konflik kepentingan yang dapat menghambat adaptasi yang inklusif dan efektif1.

Kritik dan Opini Tambahan

Paper ini memberikan gambaran komprehensif tentang kompleksitas adaptasi organisasi pengelola air, namun terdapat beberapa catatan penting:

  • Evaluasi Kapasitas Adaptif dan Keberhasilan Adaptasi masih sangat terbatas, terutama di negara berkembang. Banyak studi fokus pada perencanaan dan kesiapan, namun bukti nyata implementasi dan hasil adaptasi masih minim.
  • Hambatan Sosial dan Politik sering kali kurang mendapat perhatian yang memadai, padahal faktor-faktor ini sangat menentukan keberhasilan adaptasi di lapangan.
  • Pendekatan Integratif yang menggabungkan aspek teknis, sosial, ekonomi, dan kelembagaan sangat diperlukan untuk mengatasi hambatan yang saling terkait.
  • Konteks Lokal harus menjadi fokus utama dalam desain dan evaluasi adaptasi, mengingat perbedaan kondisi sosial-ekonomi dan institusional yang sangat besar antar wilayah.

Dalam konteks tren global, paper ini relevan dengan peningkatan perhatian pada adaptasi berbasis ekosistem, pengelolaan sumber daya air secara terintegrasi, dan pentingnya governance multi-level dalam menghadapi perubahan iklim. Pendekatan bottom-up yang partisipatif dan penggunaan teknologi informasi terkini (big data, monitoring real-time) menjadi kunci masa depan adaptasi pengelolaan air3.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Paper ini menyimpulkan bahwa adaptasi organisasi pengelola air terhadap perubahan iklim adalah proses kompleks yang dipengaruhi oleh kapasitas adaptif internal, hambatan eksternal, dan interaksi antar organisasi. Untuk meningkatkan efektivitas adaptasi, diperlukan:

  • Penguatan kapasitas adaptif melalui peningkatan pengetahuan, sumber daya, dan struktur organisasi yang fleksibel.
  • Pengembangan dan pemeliharaan jaringan antar-organisasi serta peran aktif organisasi transboundary.
  • Pendekatan adaptasi yang kontekstual, inklusif, dan mengintegrasikan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.
  • Penelitian lebih lanjut untuk memahami hambatan adaptasi secara mendalam dan bagaimana mengatasinya dalam berbagai konteks.

Dengan demikian, paper ini menjadi referensi penting bagi pembuat kebijakan, praktisi pengelolaan air, dan peneliti yang ingin memahami tantangan dan peluang adaptasi perubahan iklim dalam sektor air.

Sumber Artikel (Bahasa Asli)

Azhoni, A., Jude, S., Holman, I. (2018). Adapting to climate change by water management organisations: Enablers and barriers. Journal of Hydrology, 559, 736–748.

 

Selengkapnya
Adaptasi Perubahan Iklim oleh Organisasi Pengelola Air – Enabler dan Hambatan

Sumber Daya Air

Membangun Ketahanan Tata Kelola Air: Resensi Kritis dan Studi Kasus Afrika Selatan & Kamboja

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 12 Juni 2025


Ketahanan Air di Era Perubahan Iklim

Ketahanan atau resilience kini menjadi salah satu tema sentral dalam diskusi tata kelola sumber daya air. Di tengah ancaman perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan tekanan pada ekosistem, pengelolaan air yang tahan guncangan dan mampu beradaptasi menjadi kebutuhan mendesak. Artikel “Bringing resilience-thinking into water governance: Two illustrative case studies from South Africa and Cambodia” karya A. Fallon, R.W. Jones, dan M. Keskinen (2022) menawarkan perspektif baru dengan mengintegrasikan pemikiran ketahanan ke dalam tata kelola air, serta mengujinya lewat dua studi kasus nyata: Danau Tonle Sap di Kamboja dan sub-DAS Limpopo di Afrika Selatan.

Artikel ini sangat relevan dengan tren global, di mana isu krisis air dan keadilan akses air semakin sering menjadi sorotan. Dengan mengangkat contoh konkret dari dua benua berbeda, penulis menyoroti bahwa ketahanan bukan sekadar soal bertahan dari bencana, tetapi juga kemampuan sistem sosial-ekologis untuk beradaptasi dan bahkan bertransformasi menuju tata kelola air yang lebih adil dan berkelanjutan.

Menyatukan Sistem Sosial-Ekologis, Ketahanan, dan Tata Kelola

Sistem Sosial-Ekologis (SES): Kompleksitas dan Keterhubungan

Penulis mengawali dengan konsep sistem sosial-ekologis, yaitu sistem yang terdiri dari komponen manusia (sosial) dan lingkungan (ekologis) yang saling terhubung. Dalam konteks air, ini berarti pengelolaan air tidak bisa dilepaskan dari interaksi sosial, ekonomi, budaya, dan politik. Sistem ini bersifat dinamis, adaptif, dan rentan terhadap perubahan mendadak.

Ketahanan: Lebih dari Sekadar Bertahan

Ketahanan dalam artikel ini dipahami sebagai kemampuan sistem untuk:

  • Menyerap gangguan tanpa kehilangan fungsi inti (kapasitas absorptif)
  • Beradaptasi terhadap perubahan (kapasitas adaptif)
  • Bertransformasi menuju sistem yang lebih baik (kapasitas transformatif)

Ketahanan juga dipandang sebagai properti (ciri khas sistem), proses (cara sistem berubah), dan hasil (tingkat keberhasilan bertahan/adaptasi).

Tata Kelola Interaktif: Keadilan dan Dinamika Kekuasaan

Tata kelola air tidak hanya soal aturan formal, tetapi juga soal siapa yang punya suara, siapa yang diuntungkan, dan bagaimana keputusan diambil. Penulis menekankan pentingnya memperhatikan dinamika kekuasaan, keadilan, dan partisipasi dalam tata kelola air.

Kerangka Resilience-Governance

Dari ketiga teori di atas, penulis membangun kerangka “resilience–governance” yang menekankan pentingnya:

  • Tiga kapasitas ketahanan (absorptif, adaptif, transformatif)
  • Tiga cara memandang ketahanan (properti, proses, hasil)
  • Integrasi aspek kekuasaan dan keadilan
  • Analisis lintas-skala (lokal hingga nasional)

Kerangka ini menjadi alat analisis untuk memahami dan memperbaiki tata kelola air di berbagai konteks.

Studi Kasus 1: Danau Tonle Sap, Kamboja

Latar Belakang

Danau Tonle Sap merupakan danau terbesar di Asia Tenggara dengan siklus air unik: air mengalir masuk dan keluar danau mengikuti musim, menyebabkan banjir musiman yang sangat penting bagi ekosistem dan ekonomi lokal. Lebih dari 1,2 juta orang bergantung pada danau ini, terutama dari sektor perikanan dan pertanian.

Tantangan Tata Kelola

Penurunan volume air akibat pembangunan bendungan di hulu, perubahan iklim, dan konversi lahan basah menjadi ancaman utama. Selain itu, persaingan antar pengguna air dan eksploitasi berlebihan memperparah tekanan pada sistem. Tata kelola air di kawasan ini sangat kompleks, melibatkan banyak lembaga dan sering kali tumpang tindih kewenangan.

Analisis Ketahanan

  • Kapasitas absorptif: Komunitas lokal selama bertahun-tahun mampu bertahan dari fluktuasi musiman. Namun, perubahan jangka panjang seperti penurunan debit air mulai menggerus ketahanan ini.
  • Kapasitas adaptif: Masyarakat mulai mencoba diversifikasi mata pencaharian, namun akses terhadap modal, teknologi, dan informasi masih terbatas.
  • Kapasitas transformatif: Upaya reformasi tata kelola, misalnya lewat pembentukan Komite Pengelolaan Tonle Sap, masih menghadapi tantangan politik dan minimnya partisipasi masyarakat.

Data dan Fakta

  • Luas danau: 2.500 km² di musim kering, hingga 15.000 km² di musim hujan.
  • Populasi terdampak: lebih dari 1,2 juta jiwa.
  • Penurunan hasil tangkapan ikan: sekitar 20% dalam 10 tahun terakhir.

Pelajaran dari Tonle Sap

Ketahanan komunitas sangat bergantung pada fleksibilitas sosial dan jaringan informal. Namun, intervensi eksternal seperti pembangunan bendungan di hulu dapat mengganggu keseimbangan sistem dan memperburuk kerentanan masyarakat lokal. Keadilan dalam distribusi manfaat dan beban menjadi isu sentral yang belum terselesaikan.

Studi Kasus 2: Sub-DAS Limpopo, Afrika Selatan

Latar Belakang

Doringlaagte, salah satu sub-catchment di DAS Limpopo, menghadapi masalah penurunan air tanah akibat irigasi intensif dan perubahan iklim. Sistem tata kelola di sini merupakan campuran antara aturan formal yang lemah dan mekanisme informal berbasis komunitas.

Tantangan Tata Kelola

Kekurangan air menjadi masalah utama, dengan penurunan air tanah hingga 2 meter dalam satu dekade terakhir. Konflik antar pengguna air, khususnya antara petani besar dan kecil, makin sering terjadi. Pemerintah daerah kurang efektif, sehingga komunitas mengembangkan mekanisme swakelola.

Analisis Ketahanan

  • Kapasitas absorptif: Komunitas masih mampu bertahan dari kekeringan jangka pendek, namun kapasitas ini terus menurun seiring penurunan cadangan air tanah.
  • Kapasitas adaptif: Sebagian petani mulai mengadopsi teknologi irigasi hemat air, namun adopsinya masih terbatas akibat keterbatasan modal dan pengetahuan.
  • Kapasitas transformatif: Ada potensi transformasi melalui kolaborasi lintas aktor, namun terhambat oleh ketidaksetaraan akses dan kurangnya kepercayaan antar kelompok.

Data dan Fakta

  • Penurunan air tanah: rata-rata 0,2 meter per tahun selama 10 tahun terakhir.
  • Jumlah petani yang bergantung pada air tanah: sekitar 150 keluarga.
  • Proporsi air yang digunakan untuk irigasi: lebih dari 80% dari total pengambilan air.

Pelajaran dari Limpopo

Ketahanan sistem sangat dipengaruhi oleh interaksi antara tata kelola formal dan informal. Ketidaksetaraan dalam akses air memperparah kerentanan kelompok kecil. Transformasi tata kelola membutuhkan perubahan struktur kekuasaan dan insentif yang lebih adil.

Kritik dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Artikel ini memberikan kontribusi penting dengan mengintegrasikan dimensi kekuasaan dan keadilan ke dalam diskusi ketahanan air, aspek yang sering diabaikan dalam penelitian sebelumnya. Banyak studi masih terfokus pada aspek teknis atau ekologi, sementara aspek sosial-politik dan distribusi manfaat/beban kurang diperhatikan.

Dibandingkan pendekatan Integrated Water Resources Management (IWRM) yang lebih normatif dan struktural, kerangka resilience–governance lebih menekankan dinamika proses, pembelajaran, dan kemungkinan transformasi. Namun, tantangan utama tetap pada implementasi: bagaimana memastikan partisipasi yang bermakna, mengatasi ketimpangan kekuasaan, dan mengintegrasikan pengetahuan lokal ke dalam tata kelola formal.

Relevansi dengan Tren Global dan Industri

  • Perubahan iklim: Kedua studi kasus menunjukkan bahwa ketahanan air tidak bisa dipisahkan dari adaptasi terhadap perubahan iklim.
  • SDGs dan keadilan air: Isu distribusi manfaat dan keadilan sangat relevan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya SDG 6 (Air Bersih dan Sanitasi) dan SDG 10 (Mengurangi Ketimpangan).
  • Teknologi dan inovasi sosial: Transformasi tata kelola air membutuhkan kombinasi inovasi teknologi (misal: irigasi hemat air) dan inovasi sosial (misal: mekanisme kolaboratif dan partisipatif).

Opini dan Rekomendasi

Kerangka resilience–governance yang dikembangkan penulis sangat relevan untuk konteks Indonesia, di mana tata kelola air juga menghadapi tantangan kompleks, mulai dari konflik antar pengguna, perubahan iklim, hingga ketimpangan akses. Pendekatan ini dapat diadaptasi untuk memperkuat ketahanan sistem air di DAS kritis seperti Citarum atau Brantas.

Namun, perlu diingat bahwa transformasi tata kelola tidak cukup hanya dengan perubahan struktur formal. Diperlukan upaya membangun kepercayaan, memperkuat kapasitas lokal, dan mengatasi hambatan politik yang seringkali menjadi akar masalah.

Kesimpulan: Menuju Tata Kelola Air yang Tangguh dan Inklusif

Artikel ini berhasil menunjukkan bahwa ketahanan dalam tata kelola air bukan sekadar soal bertahan dari gangguan, tetapi juga tentang kemampuan beradaptasi dan bertransformasi menuju sistem yang lebih adil dan berkelanjutan. Dengan mengintegrasikan teori sistem sosial-ekologis, ketahanan, dan tata kelola interaktif, penulis menawarkan kerangka analisis yang komprehensif dan aplikatif.

Studi kasus dari Kamboja dan Afrika Selatan mempertegas bahwa tantangan utama bukan hanya pada aspek teknis, tetapi juga pada dinamika sosial-politik, keadilan, dan kekuasaan. Transformasi tata kelola air membutuhkan perubahan paradigma, dari pendekatan “command and control” menuju tata kelola yang lebih partisipatif, inklusif, dan adaptif.

Bagi pembuat kebijakan, praktisi, dan peneliti, kerangka resilience–governance ini dapat menjadi referensi penting dalam merancang intervensi yang tidak hanya tahan terhadap gangguan, tetapi juga mampu menciptakan perubahan positif bagi masyarakat dan lingkungan.

Sumber artikel asli:

Fallon, A., Jones, R.W., & Keskinen, M. (2022). Bringing resilience-thinking into water governance: Two illustrative case studies from South Africa and Cambodia. Global Environmental Change, 75, 102542.

Selengkapnya
Membangun Ketahanan Tata Kelola Air: Resensi Kritis dan Studi Kasus Afrika Selatan & Kamboja
« First Previous page 66 of 1.099 Next Last »