Lalu Lintas

Penelitian Universitas Kadiri Mengungkap Cara 'Chip' Murah Mengubah Plat Nomor Jadi Pelacak Digital – Dan Ini Bisa Jadi Solusi Kemacetan dan Jalan Rusak!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 04 November 2025


Jalanan Indonesia sedang terengah-engah. Ini bukan sekadar perasaan yang muncul saat terjebak kemacetan di jam pulang kerja; ini adalah fakta statistik yang terekam dalam data nasional. Antara tahun 2014 dan 2015 saja, jumlah kendaraan bermotor di Indonesia melonjak dari 114,21 juta unit menjadi 121,390 juta unit.1

Ini adalah lompatan sebesar 6,29% hanya dalam satu tahun—setara dengan 7,18 juta kendaraan baru yang tumpah ke jalan. Bayangkan, dalam 12 bulan, kita menambahkan armada kendaraan baru yang jumlahnya setara dengan seluruh populasi Hong Kong.

Saat kita mengurai angka tersebut, masalahnya menjadi semakin jelas. Dari 121 juta kendaraan itu, 98,88 juta unit—atau 81% dari total armada nasional—adalah sepeda motor.1 Dominasi roda dua ini adalah resep utama di balik kemacetan kronis di perkotaan.

Namun, kemacetan hanyalah satu dari dua musuh utama. Musuh kedua, yang seringkali luput dari pandangan namun jauh lebih merusak secara finansial, adalah kerusakan infrastruktur. Ini disebabkan oleh armada yang lebih kecil namun jauh lebih berat: 6,6 juta unit mobil barang (truk) dan 2,4 juta unit bus.1

Kita menghadapi dua krisis yang berbeda: krisis volume yang disebabkan oleh sepeda motor, dan krisis beban yang disebabkan oleh truk. Sistem manajemen lalu lintas yang ada saat ini gagal mengatasi keduanya.

 

Jebakan 'LHR': Menghitung Kendaraan Setelah Jalanan Runtuh

Selama ini, para perencana kota dan insinyur perkerasan jalan bergantung pada satu metode klasik untuk memahami lalu lintas: survei Lalu Lintas Harian Rata-rata (LHR). Metodologi ini melibatkan pengiriman petugas ke lapangan—berdiri di persimpangan atau di ruas jalan tertentu—untuk menghitung kendaraan secara manual.1

Masalahnya, metode ini adalah peninggalan era analog di dunia yang sudah digital. Para peneliti dari Universitas Kadiri menyoroti kelemahan fatalnya: "Permasalahannya survey tidak dapat dilakukan setiap hari".1

Karena keterbatasan biaya dan sumber daya manusia, survei ini jarang dilakukan. Akibatnya, data yang didapat seringkali sudah usang saat tiba di meja para pengambil keputusan. Lebih buruk lagi, survei seringkali baru dilakukan "dimana biasanya kemacetan atau kerusakan jalan sudah sangat parah".1

Ini adalah sebuah kegagalan sistemik yang mengunci kita dalam model kebijakan yang reaktif. Kita tidak memperbaiki jalan berdasarkan prediksi; kita memperbaikinya setelah jalan itu hancur. Ini adalah siklus "gali-lubang-tutup-lubang" yang menghabiskan anggaran secara masif.

Apa yang dibutuhkan, menurut para peneliti, adalah cara agar data selalu tersedia "setiap saat dan dimanapun berada (any time any where)".1 Mereka tidak hanya mengusulkan perbaikan; mereka mengusulkan sebuah revolusi.

 

Ide Brilian dari Universitas Kadiri: Plat Nomor Anda Adalah 'Password' Wi-Fi

Sebuah tim peneliti yang terdiri dari Arthur Daniel Limantara, A. I. Candra, dan S. W. Mudjanarko mengajukan sebuah solusi radikal berbasis Internet of Things (IoT).1

Hal yang paling mengejutkan dari proposal mereka bukanlah kerumitan teknologinya, melainkan kesederhanaan dan kejeniusannya. Alih-alih menggunakan teknologi pelacakan mahal seperti Automatic Number Plate Recognition (ANPR) berbasis kamera atau sistem RFID kustom, mereka memutuskan untuk "membajak" dua teknologi yang sudah ada di mana-mana: plat nomor kendaraan dan sinyal Wi-Fi.

Begini arsitekturnya bekerja dalam proposal mereka:

  1. Otak Digital: Setiap kendaraan—baik motor maupun mobil—ditanami (embedded) sebuah chip mikrokontroler murah yang disebut Wemos D1 Mini. Chip ini sudah dilengkapi modul Wi-Fi bawaan (ESP8266).1
  2. Identitas Digital: Chip ini tidak kosong. Ia diprogram dengan data digital yang relevan dari Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) pemiliknya, termasuk data krusial: berat kosong kendaraan.1
  3. Langkah Jenius (SSID): Inilah inti dari inovasi tersebut. Para peneliti menggunakan Nomor Polisi (Nopol) kendaraan yang unik itu sebagai Service Set Identifier (SSID).1 SSID, dalam bahasa awam, adalah "nama" yang disiarkan oleh sebuah jaringan Wi-Fi.
  4. Siaran Konstan: Hasilnya? Setiap kendaraan di jalan kini secara konstan menyiarkan identitas uniknya sendiri ke sekitarnya. "Halo, saya mobil Xenia AG 1682 AK!" atau "Halo, saya motor AG 4223 IR!" Siaran ini dipancarkan menggunakan frekuensi standar $2.4 GHz$.1

Ini adalah contoh "inovasi hemat" yang brilian. Para peneliti tidak menciptakan protokol identifikasi baru. Mereka menumpang pada protokol Wi-Fi yang ada dan sistem identifikasi legal (plat nomor) yang ada untuk menciptakan solusi berbiaya sangat rendah.

Implikasinya sangat besar. "Pembaca" atau sensornya bukanlah pemindai RFID khusus yang mahal. Pembacanya hanyalah sebuah Access Point (AP) Wi-Fi standar.1 Ini berarti setiap tiang lampu, setiap gerbang tol, setiap persimpangan, bahkan setiap toko di pinggir jalan berpotensi menjadi "titik deteksi" dengan biaya minimal. Skalabilitasnya nyaris tak terbatas.

 

Uji Coba di Gerbang Kampus: "AG 1682 AK" Telah Terdeteksi

Teori adalah satu hal, tetapi pembuktian di lapangan adalah hal lain. Tim peneliti kemudian membawa sistem mereka keluar dari laboratorium dan memasangnya di dunia nyata: area kampus Universitas Kadiri.1

Mereka memasang sebuah Access Point (AP), yang mereka sebut sebagai "Router", di gerbang masuk utama universitas.1 AP ini terhubung ke server database cloud.

Kemudian, mereka mengujinya dengan dua subjek:

  • Sebuah sepeda motor yang telah dipasangi chip dengan SSID (plat nomor) AG 4223 IR.1
  • Sebuah mobil Xenia yang telah dipasangi chip dengan SSID (plat nomor) AG 1682 AK.1

Hasilnya persis seperti yang diharapkan. Saat mobil Xenia AG 1682 AK itu melintasi gerbang, AP di gerbang langsung "menangkap" siaran SSID dari mobil tersebut. Dalam hitungan detik, data itu dikirimkan ke server.1

Di dalam laboratorium, layar monitor yang terhubung ke server langsung menampilkan hasilnya (terlihat dalam tangkapan layar Gambar 18 di paper). Sistem mencatat plat nomor "AG 1682 AK" beserta tanggal dan jam masuk yang presisi. Secara bersamaan, sistem juga mencatatnya dalam database pemilik kendaraan (Gambar 17), menghubungkan plat nomor tersebut dengan data pemilik yang tersimpan.1

Uji coba ini sukses membuktikan bahwa seluruh rantai alur data—dari chip di mobil, siaran SSID, penangkapan oleh AP, pengiriman ke server, hingga pencatatan di database—berfungsi sempurna di lingkungan nyata.1

 

Data yang Jauh Lebih Penting: Mengukur 'Beban Roda' Secara Real-Time

Pelacakan plat nomor secara real-time sudah merupakan sebuah lompatan besar. Namun, itu baru setengah dari cerita. Inovasi sesungguhnya dari penelitian ini terletak pada arsitektur sistem kedua yang dirancang untuk menjawab krisis "jalan rusak".

Sistem ini bukan hanya menghitung volume; sistem ini juga menimbang beban.

Para peneliti merancang sistem terpisah yang ditanam langsung di dalam perkerasan jalan. Sistem ini terdiri dari tiga komponen utama:

  1. Sensor Penimbang: Sebuah "Sensor Load Cell" (pada dasarnya, timbangan digital super kuat) dipasang di permukaan jalan.1
  2. Penerjemah Sinyal: Sinyal mentah dari load cell bersifat analog dan terlalu lemah. Sinyal ini pertama-tama ditangkap oleh "Modul HX711", yang berfungsi memperkuat sinyal dan mengubahnya dari data analog menjadi data digital.1
  3. Pencatat Data: Data digital tersebut kemudian diproses oleh mikrokontroler "Arduino Uno", yang mencatat angka berat beban roda secara presisi.1

Sekarang, bayangkan kedua sistem ini bekerja bersamaan.

Saat mobil Xenia AG 1682 AK itu melintas, dua hal terjadi secara simultan. Di atas, AP di gerbang menangkap identitasnya (via SSID). Di bawah, Load Cell di aspal menangkap beratnya (via Arduino).

Inilah inti dari revolusi data yang diusulkan. Sistem ini adalah yang pertama menggabungkan identitas unik kendaraan (Plat Nomor) dengan data beban roda real-time (berat).

Tanpa load cell, kita hanya tahu "Xenia AG 1682 AK" lewat. Tanpa SSID, kita hanya tahu "sebuah kendaraan seberat 1,5 ton" lewat. Dengan menggabungkan keduanya, server kini tahu: "Xenia AG 1682 AK, yang menurut data STNK di chip-nya memiliki berat kosong 1 ton, baru saja melintas dengan berat aktual 1,5 ton."

Sekarang, terapkan logika yang sama pada kendaraan niaga. Bayangkan sebuah truk tiga sumbu (yang diklasifikasikan sebagai Kode 1.2.2 dalam manual survei lalu lintas 1) melintas. Data di chip-nya mungkin menyebutkan berat kosong 10 ton. Tetapi load cell mencatatnya seberat 25 ton.

Dalam sekejap, kita memiliki bukti pelanggaran Over-Dimension Over-Loading (ODOL) yang tak terbantahkan, tercatat real-time, dan terikat pada identitas spesifik kendaraan tersebut.

 

Mengakhiri Era 'Tebak-Tebak' Perbaikan Jalan dan Menegakkan Hukum Secara Otomatis

Mengapa temuan sederhana dari laboratorium universitas ini begitu penting hari ini? Karena sistem ini berpotensi menjadi fondasi yang hilang untuk menegakkan kebijakan publik yang selama ini tumpul.

Dengan data ganda (identitas + berat), kita dapat beralih dari kebijakan reaktif menjadi penegakan hukum proaktif dan otomatis.

  • Mengakhiri Era Jalan Rusak (ODOL): Ini adalah dampak terbesar. Seperti yang disimpulkan oleh para peneliti, sistem ini memungkinkan kita untuk "memonitor secara langsung pengurangan umur kekuatan perkerasan".1 Ini seperti dokter yang memantau tekanan darah pasien 24/7, bukan hanya setahun sekali setelah pasiennya terkena stroke. Pemerintah dapat secara proaktif memperbaiki ruas jalan yang terdeteksi menerima "stres" berlebih sebelum jalan itu hancur. Atau, yang lebih revolusioner, sistem dapat secara otomatis mengirimkan tagihan denda ke operator truk ODOL yang terdeteksi melanggar batas muatan.
  • Infrastruktur untuk Kebijakan Lalu Lintas Modern: Sistem ini adalah "alat penegak hukum" (enforcement tool) otomatis yang diimpikan oleh para perencana kota.
    • Ganjil-Genap Tanpa Polisi: Lupakan pengerahan petugas di setiap persimpangan. Cukup pasang AP di setiap traffic light. Sistem akan secara otomatis mencatat setiap plat nomor yang melanggar aturan ganjil-genap pada hari dan jam terlarang.1
    • Pembatasan BBM Tepat Sasaran: Ini adalah implikasi besar lainnya.1 Bayangkan sebuah mobil mewah—yang datanya sudah tertanam di chip—berhenti di SPBU. AP yang terpasang di SPBU akan langsung mengenali identitasnya. Sistem kemudian dapat secara otomatis mencegah nozel BBM bersubsidi untuk menyala, memastikan subsidi hanya jatuh ke tangan yang berhak.

 

Opini: Mengapa Sistem Ini Belum Siap untuk Jalan Tol Cipali?

Sebagai sebuah prototipe, konsep ini brilian. Namun, para peneliti sendiri, dalam kesimpulannya, jujur mengakui beberapa keterbatasan signifikan yang membuat sistem ini belum siap untuk implementasi skala nasional.1

Pertama, masalah jangkauan. Sistem ini diuji coba dengan "jangkauan area 10 meter".1 Para peneliti mencatat ini sebagai hal positif "agar tidak terjadi tumpang tindih data antar router".1 Namun, dalam skenario dunia nyata, ini adalah kelemahan besar. Jangkauan 10 meter mungkin cukup untuk gerbang kampus satu lajur. Tetapi di jalan raya delapan lajur (empat lajur per arah), jangkauan ini tidak akan memadai. Ini menyiratkan perlunya infrastruktur AP yang sangat padat—dan mahal—untuk dipasang di setiap lajur jalan tol.

Kedua, masalah format plat nomor. Ini adalah kelemahan fatal dalam perangkat lunak. Para peneliti mengakui sistem "masih dikembangkan untuk mendeteksi satu, dua, atau tiga digit dari nomor polisi tersebut".1 Dengan kata lain, sistem ini tampaknya hanya dirancang untuk membaca format plat nomor regional yang kaku (seperti AG 1682 AK). Sistem ini akan gagal total di Jakarta, di mana plat nomor B 1, B 12, atau B 123 sangat umum. Ini menunjukkan logika parsing SSID di server belum siap untuk variasi data nasional.

Ketiga, masalah pengecualian. Sistem ini "belum dapat mendeteksi plat nomor khusus seperti TNI maupun polisi".1 Ini bukan hanya masalah teknis, tetapi juga masalah politik. Sistem apa pun yang memiliki "titik buta" dan tidak bisa mengidentifikasi (atau secara sengaja mengabaikan) kendaraan aparat penegak hukum tidak akan pernah bisa memberikan data LHR yang akurat 100% atau menegakkan hukum secara adil.

 

Visi ke Depan: Dari Laboratorium Menuju 'Smart City' Nasional

Meskipun ini adalah penelitian skala laboratorium dari tahun 2017, relevansinya hari ini—di tengah dorongan Smart City nasional dan krisis ODOL yang terus berlanjut—justru semakin besar.

Ini adalah prototipe yang brilian. Jika tiga keterbatasan utama—jangkauan sinyal, fleksibilitas format plat, dan penanganan plat khusus—dapat diatasi melalui pengembangan lebih lanjut, temuan dari Universitas Kadiri ini bisa menjadi fondasi untuk sistem transportasi cerdas nasional.

Jika diterapkan, temuan ini bisa mengurangi biaya perawatan jalan akibat truk ODOL hingga miliaran rupiah dan merevolusi penegakan aturan lalu lintas perkotaan dalam waktu lima tahun ke depan.

 

Sumber Artikel:

Limantara, A. D., Candra, A. I., & Mudjanarko, S. W. (2017). Manajemen data lalu lintas kendaraan berbasis sistem internet cerdas: Ujicoba implementasi di laboratorium Universitas Kadiri. Seminar Nasional Sains dan Teknologi 2017.

Selengkapnya
Penelitian Universitas Kadiri Mengungkap Cara 'Chip' Murah Mengubah Plat Nomor Jadi Pelacak Digital – Dan Ini Bisa Jadi Solusi Kemacetan dan Jalan Rusak!

Kecelakaan Lalu Lintas

Penelitian Ini Mengungkap 9 'Dosa' Sistemik ETLE: Mengapa Tilang Elektronik Belum Mampu Hapus Pungli & Knalpot Bising Lolos

Dipublikasikan oleh Hansel pada 04 November 2025


Lalu lintas adalah "urat nadi kehidupan" sekaligus "cermin budaya bangsa".1 Namun, cermin itu seringkali buram oleh kemacetan, pelanggaran, dan yang lebih kronis: praktik penegakan hukum yang sarat masalah. Selama puluhan tahun, publik akrab dengan citra penindakan manual yang membuka ruang Pungutan Liar (Pungli), sebuah praktik yang menggerus profesionalitas dan kepercayaan.1

Di tengah tuntutan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas (Kamseltibcarlantas), Kepolisian Republik Indonesia (Polri) meluncurkan sebuah terobosan ambisius: Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE).1

Ini bukan sekadar penggantian buku tilang dengan kamera. Penelitian ini menegaskan bahwa ETLE adalah salah satu penjabaran dan implementasi utama dari transformasi "Polri Presisi"—sebuah akronim yang mewakili visi Prediktif, Responsibilitas, dan Transparansi Berkeadilan.1

Dengan kata lain, ETLE adalah pertaruhan besar. Ia adalah program flagship yang tidak hanya dirancang untuk mendisiplinkan pengguna jalan, tetapi juga untuk membersihkan institusi dari dalam dengan menutup celah Pungli.1 Sebuah penelitian komprehensif oleh Vita Mayastinasari dan Benyamin Lufpi (2022) dari Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian mencoba mengaudit efektivitas sistem ini.

Apa yang mereka temukan adalah sebuah ironi: di balik ambisi transparansi yang besar, ETLE ternyata masih terjerat dalam sembilan kendala sistemik yang fundamental, membuatnya belum efektif mewujudkan keadilan di jalan raya.

 

Di Balik Ambisi Presisi: Mengapa ETLE Menjadi Mandat Utama?

Untuk memahami mengapa ETLE begitu krusial, kita harus melihat masalah yang coba dipecahkannya. Penelitian ini membedah patologi penindakan manual di lapangan. Petugas lalu lintas dihadapkan pada dilema konstan.1

Saat melihat pelanggaran, mereka harus memilih antara "membiarkan atau memberhentikan".1 Jika mereka memberhentikan setiap pelanggaran, terutama di jam sibuk, tindakan itu justru berpotensi "menimbulkan kemacetan lalu lintas" baru.1

Dilema inilah yang menciptakan "ruang abu-abu". Ketika petugas akhirnya memberhentikan pelanggar, studi ini mengidentifikasi adanya variasi tindakan: "menindak pelanggar atau melakukan negosiasi dengan pelanggar sehingga terjadi pungutan liar".1

ETLE didesain secara spesifik untuk membunuh "ruang negosiasi" ini. Dengan mengganti interaksi manusia dengan teknologi, tujuan utamanya adalah meminimalisasi pemerasan dan meningkatkan kedisiplinan.1

Untuk menguji apakah ambisi ini sesuai dengan kenyataan, para peneliti menggunakan pendekatan mix method (metode campuran) yang menggabungkan data kuantitatif (kuesioner) dengan data kualitatif (wawancara mendalam).1

Penelitian ini tidak dilakukan di ruang hampa. Lokasinya dipilih secara strategis di tiga wilayah Polda krusial: Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten.1

Lebih penting lagi adalah siapa yang mereka wawancarai. Informan penelitian ini bukan hanya internal Polri (Direktorat Lalu Lintas dan Polres). Peneliti juga melibatkan seluruh ekosistem penegakan hukum: personel dari Kejaksaan, Dinas Perhubungan (Dishub), dan pihak Bank (BRI).1 Pemilihan informan ini adalah petunjuk awal bahwa masalah ETLE bukanlah sekadar soal "menangkap" gambar pelanggar, melainkan soal seluruh rantai proses, dari validasi data, putusan denda, hingga mekanisme pembayaran.

 

Tujuh Langkah Senyap 'Mata Elang' Menjerat Pelanggar (Secara Teori)

Secara teori, mekanisme kerja ETLE dirancang untuk menjadi sistem yang mulus, objektif, dan terotomatisasi. Penelitian ini memaparkan tujuh tahapan standar operasionalnya 1:

  1. Penangkapan Pelanggaran: Sensor kamera, yang dilengkapi perangkat lunak intelijen, secara otomatis menangkap gambar atau video pelanggaran lalu lintas.1
  2. Validasi Bukti (ANPR): Sistem melakukan validasi bukti awal. Ini melibatkan pencocokan foto nomor polisi dengan pembacaan perangkat lunak Authomated Number Plate Recognition (ANPR).1
  3. Validasi Data (Regident): Setelah plat nomor teridentifikasi, sistem mencocokkan fisik kendaraan (dari foto dan video) dengan database Registrasi dan Identifikasi (Regident) kendaraan bermotor milik kepolisian.1
  4. Pencetakan Surat Konfirmasi: Jika data cocok, sistem akan mencetak surat konfirmasi pelanggaran.1
  5. Pengiriman Surat: Surat konfirmasi ini kemudian dikirimkan melalui pos ke alamat pemilik kendaraan yang terdaftar dalam database Regident.1
  6. Konfirmasi Pemilik: Pemilik kendaraan yang menerima surat wajib melakukan konfirmasi (baik secara daring maupun luring) untuk memverifikasi apakah benar ia yang melakukan pelanggaran.1
  7. Penyelesaian: Pelanggar dapat menyelesaikan denda dengan menggunakan kode pembayaran yang telah diterima (melalui Bank) atau memilih untuk hadir di sidang (melibatkan Kejaksaan dan Pengadilan).1

Di atas kertas, alur ini terlihat sempurna: nirsentuh, transparan, dan akuntabel. Namun, keberhasilan tujuh langkah ini bergantung pada serangkaian asumsi yang rapuh. Sistem ini mengasumsikan database Regident 100% akurat dan up-to-date. Ia mengasumsikan alamat pemilik kendaraan valid. Ia mengasumsikan ada anggaran operasional untuk membayar biaya pos pengiriman surat tilang. Dan yang paling fatal, ia mengasumsikan ada koneksi data yang sempurna antara sistem Polri, sistem pembayaran Bank, dan sistem putusan Kejaksaan.

Penelitian ini, pada intinya, membuktikan bahwa hampir semua asumsi tersebut keliru di lapangan.

 

Ironi di Tiga Wilayah: Persepsi 'Memadai', Realitas Penuh Tambal Sulam

Saat peneliti menyebar kuesioner kepada personel internal Polri, hasil kuantitatif menunjukkan gambaran yang optimis.1

Di Polda Jawa Tengah, lebih dari 70 persen personel (gabungan 57,76% "memadai" dan 13,09% "sangat memadai") menilai operasionalisasi ETLE berjalan baik.1 Angka di Polda Jawa Timur bahkan lebih tinggi, di mana total 78,12 persen personel (52,05% "memadai" dan 26,07% "sangat memadai") menyatakan hal serupa.1

Yang paling mengejutkan adalah Polda Banten. Wilayah ini mencatatkan tingkat kepuasan tertinggi. Hampir 79 persen personel (gabungan 60,86% "memadai" dan 18,02% "sangat memadai") merasa sistem ini sudah memadai.1

Namun, di sinilah data kualitatif (wawancara) dari para peneliti membongkar sebuah ironi besar.

Di Banten, wilayah dengan persepsi kepuasan tertinggi, peneliti menemukan fakta lapangan yang mencengangkan: Polda Banten "baru terpasang pada dua (2) titik di wilayah kota Serang".1

Mengapa kepuasan tertinggi justru ada di wilayah dengan infrastruktur paling minim? Ini adalah anomali data yang mengungkap kebenaran. Kepuasan itu bukan cerminan efektivitas sistem. Justru sebaliknya. Karena implementasi ETLE di Banten sangat terbatas (hanya 2 kamera), para personel di sana tidak menghadapi kompleksitas sistem, error data, atau keluhan masyarakat dalam skala besar seperti yang terjadi di Jawa Timur atau Jawa Tengah.

Data persepsi yang "memadai" itu ternyata menyesatkan, karena ia tidak mengukur keberhasilan sistem, melainkan minimnya paparan terhadap kegagalan sistem.

 

Saat Daerah Lebih Cepat Berlari: Lahirnya 'KOPEK' dan 'INCAR'

Penelitian ini mengungkap bahwa sistem ETLE yang didistribusikan oleh Korlantas (pusat) ternyata memiliki keterbatasan signifikan, terutama dalam "kuantitas, dan kualitas kamera".1 Kamera stasioner yang mahal hanya terpasang di titik-titik tertentu, membiarkan sebagian besar wilayah tidak termonitor.1

Keterbatasan dari pusat ini memaksa polda-polda di daerah untuk berinovasi secara mandiri.

  • Inovasi Polda Jateng: Untuk mengatasi keterbatasan kamera stasioner, Ditlantas Polda Jateng mengembangkan "KOPEK" (Kamera Portable Penindakan Pelanggaran Kendaraan Bermotor). Ini adalah perangkat elektronik mobile yang bisa dibawa petugas "berjalan" untuk mendeteksi pelanggaran secara otomatis.1
  • Inovasi Polda Jatim: Jawa Timur melangkah lebih jauh dengan mengembangkan "ETLE-INCAR" (Integrated Node Capture Attitude Record). Ini adalah sistem kamera canggih yang dipasang di mobil patroli.1 ETLE-INCAR tidak hanya memindai nomor polisi, tetapi juga didukung Artificial Intelligence (AI) untuk "mendeteksi wajah pelaku pelanggaran lalu lintas".1 Seorang informan bahkan menyatakan INCAR "lebih efektif, dan biayanya lebih murah" daripada ETLE stasioner.1
  • Inovasi Polda Banten: Dengan modal hanya dua kamera, Polda Banten terpaksa mencari solusi kreatif. Mereka "mensiasatinya adalah bekerjasama sama dengan Dishub untuk bisa mengakses kameranya" (CCTV milik Dishub).1

Inovasi ini, meski cemerlang, mengungkap masalah yang lebih besar: fragmentasi. Penelitian ini menemukan fakta bahwa tidak ada "satu ETLE" yang seragam di Indonesia. Yang ada adalah penerapan parsial, tambal sulam, tergantung kreativitas dan anggaran daerah.1

Masalah anggaran ini menjadi fatal. Di beberapa Polres di Jawa Timur (seperti Gresik dan Sidoarjo), kamera ETLE canggih sudah terpasang, namun "belum dapat dioperasionalkan".1 Penyebabnya? "Ketersediaan kamera belum dilengkapi ketersediaan tiang dan jaringan".1

Secara mengejutkan, pembangunan tiang dan jaringan ini ternyata "menunggu ketersediaan anggaran Pemkab (Pemerintah Kabupaten) setempat".1 Ini adalah kelemahan struktural yang luar biasa. Keberhasilan program "Presisi" nasional dari Polri, ternyata bergantung pada alokasi APBD sebuah kabupaten untuk membeli tiang kamera.

 

Kritik Publik Terbesar: ETLE Menilang Pemilik, Bukan Pelanggar

Inilah temuan krusial yang paling banyak dirasakan dan dikeluhkan oleh publik. Sistem ETLE, terutama yang stasioner, ternyata memiliki kelemahan fundamental dalam identifikasi pelaku.1

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa "kamera ETLE lebih terfokus pada plat nomor kendaraan".1 Akibatnya, yang ditindak dan dikirimi surat konfirmasi adalah "pemilik kendaraan" yang namanya tercantum di database Regident.

Masalahnya, "pelaku pelanggaran lalu lintas tidak selalu pemilik kendaraan".1

Temuan ini dikonfirmasi oleh wawancara. Keterbatasan ini "menyebabkan komplain dari beberapa orang yang menyatakan tidak melanggar, mobilnya dipinjam".1 Seorang informan eksternal (masyarakat) bahkan mengeluh, "Wah repot juga ya klo kendaraan dipinjam, lalu yang membawa kendaraan melanggar, dan pemilik kendaraan yag repot, harus bertanggungjawab".1

Mengapa ini terjadi? Bukankah ETLE-INCAR di Jawa Timur sudah memiliki teknologi face detection? Benar, namun para peneliti menemukan fakta pahit di lapangan: "belum terdapat integrasi" antara pemindai wajah pelaku dengan database kependudukan (e-KTP) maupun database kepemilikan SIM.1

Tanpa integrasi data itu, teknologi pengenalan wajah menjadi sia-sia. Sistem ini mungkin transparan (jelas siapa yang ditilang berdasarkan plat nomor), tapi ia gagal memenuhi pilar utama "Presisi", yaitu "Transparansi Berkeadilan". Sistem ini, dalam praktiknya, menagih denda kepada orang yang mungkin tidak bersalah (pemilik mobil) karena keterbatasan teknis.

 

Sembilan 'Dosa' Sistemik yang Menggerogoti Ambisi Presisi

Para peneliti pada akhirnya merangkum semua temuan lapangan ini ke dalam sembilan kendala fundamental yang menjadi "dosa sistemik" ETLE saat ini. Sembilan poin ini, yang tercantum dalam simpulan penelitian, adalah inti dari kegagalan efektivitas ETLE 1:

  • Keterbatasan Kamera: Ketersediaan dan kapasitas kamera ETLE dari Korlantas sangat terbatas.1
  • Disintegrasi Data Perekaman: Data rekaman dari kamera Korlantas (pusat), kamera Polda (seperti INCAR), dan kamera instansi lain (seperti Dishub di Banten) tidak saling terhubung.1 Mereka adalah "mata-mata" yang buta satu sama lain.
  • Inkoneksitas Total (Akar Masalah): Ini adalah kendala paling fatal. Terjadi putus koneksi data (inkoneksitas) antara database inti kepolisian (ERI, RTMC, BPKB, SIM, STNK, e-Tilang, TAR) dengan database eksternal (Dinas Perhubungan, Kejaksaan, Pengadilan, dan Bank).1
  • Variasi Anggaran: Ketersediaan anggaran di tiap Polda berbeda-beda, dan banyak yang bergantung pada Pemda, menciptakan implementasi yang tidak seragam.1
  • Tumpang Tindih Regulasi: Adanya "ketidaksinkronan ketetapan regulasi tentang tilang manual, dan tilang elektronik," baik dari segi mekanisme maupun besaran denda.1
  • Pemahaman Parsial: Petugas di lapangan masih banyak yang salah paham dan menganggap e-Tilang (tilang manual yang di-input) adalah sistem yang berbeda dari ETLE (otomatis).1
  • Pelanggaran yang Lolos: Karena fokus pada ETLE, penegakan hukum konvensional melemah. Padahal infrastruktur ETLE belum memadai, sehingga pelanggaran seperti "knalpot bising, kebut-kebutan, plat nomor palsu" justru sulit ditindak.1
  • Penerapan Parsial: Adanya variasi penerapan ETLE antar Polda dan Polres, menunjukkan tidak adanya standar sistem nasional yang terintegrasi.1
  • Fondasi Rapuh: Program dan pemahaman ETLE dibangun secara parsial, sehingga "integrasi data cenderung kurang digunakan sebagai dasar dalam operasionalisasi ETLE".1

Sederhananya, Polri membangun (menerapkan) "mata" (kamera) di jalanan sebelum membangun "otak" (database terpadu) di back office. Ini adalah kegagalan proyek IT yang klasik: fokus pada perangkat keras (hardware) yang terlihat canggih, namun mengabaikan fondasi data (software dan integrasi) yang krusial.

 

Konsekuensi Tak Terduga: Saat Knalpot Bising dan Balap Liar Justru Lolos

Salah satu temuan paling mengejutkan dari penelitian ini adalah konsekuensi tak terduga dari penekanan berlebih pada ETLE. Karena pimpinan cenderung menitikberatkan ukuran sukses program "Presisi" pada implementasi ETLE, hal ini "secara implisit terdapat kesulitan dalam penegakan hukum konvensional".1

Tilang manual, yang identik dengan citra Pungli, seolah dihindari.

Masalahnya, seperti yang telah diidentifikasi, teknologi ETLE stasioner belum memadai. Ia dirancang untuk pelanggaran visual yang jelas seperti tidak memakai helm, melanggar marka, atau menerobos lampu merah. Ia tidak dirancang untuk pelanggaran audio atau pelanggaran yang membutuhkan pengejaran.1

Hasilnya? Sebuah paradoks fatal. Penelitian ini secara spesifik menyebutkan bahwa pelemahan tilang manual ini "menyebabkan beberapa pelanggaran sulit dilakukan penegakan hukum, misalnya: knalpot bising, kebut-kebutan, plat nomor palsu".1

Dalam upaya menghapus Pungli dengan mengurangi interaksi manual, Polri secara tidak sengaja menciptakan "ruang hampa penegakan hukum" (law enforcement vacuum). Justru pelanggaran-pelanggaran yang paling meresahkan masyarakat—knalpot bising dan balap liar—kini lolos dari jerat ETLE stasioner dan tidak lagi ditindak secara konvensional.

Lebih buruk lagi, efektivitas kamera stasioner itu sendiri dipertanyakan. Peneliti menemukan adanya "penurunan pelanggaran pada titik tersebut karena masyarakat telah paham lokasi pemasangan kamera ETLE, dan hanya patuh pada lokasi tersebut".1 Ini bukanlah perbaikan kesadaran berlalu lintas; ini hanyalah pemindahan pelanggaran ke jalan-jalan lain yang tidak terpantau kamera.

 

Peta Jalan Menuju ETLE Paripurna: Dari Data Tercecer Menuju 'Big Data' AI

Penelitian ini tidak hanya berhenti pada kritik. Ia mendedikasikan bagian akhir untuk menawarkan peta jalan perbaikan yang komprehensif, mengubah ETLE dari sistem parsial menjadi sistem yang paripurna.1

Rekomendasi utamanya adalah pergeseran fokus: dari pengadaan kamera, menjadi integrasi data.

  1. Membangun 'Otak' Sistem: Rekomendasi pertama adalah "melakukan pengembangan ETLE dengan pendekatan kesisteman".1 Ini berarti Polri harus "membangun big data yang valid, dan komprehensif, serta berbasis artificial intelegence, dan internet of think".1
  2. Mengadopsi Teknologi Baru: Untuk mengatasi masalah "mobil dipinjam", sistem harus dikembangkan agar memiliki kapasitas Face Recognition (pengenalan wajah).1
  3. Menyatukan Ekosistem: Ini adalah kunci. Polri harus melakukan "integrasi ETLE, dinas perhubungan, kejaksaan, pengadilan, dan bank".1 Ini penting untuk menghilangkan "gap putusan denda tilang" dan menyetop masalah "kesulitan dalam pengembalian kelebihan pembayaran denda tilang" yang sering dikeluhkan publik.1 Integrasi data pemindai wajah juga harus disambungkan ke data kependudukan (e-KTP) dan data SIM.1
  4. Menyinkronkan Regulasi: Harus ada "sinkronisasi regulasi tentang tilang manual, dan tilang elektronik," serta membuat SOP terintegrasi agar tidak ada lagi kebingungan hukum di lapangan.1

Penelitian ini adalah sebuah cermin jujur. ETLE adalah terobosan visioner yang mutlak diperlukan untuk memberantas Pungli dan mendisiplinkan lalu lintas.1

Namun, implementasinya di lapangan masih parsial, tambal sulam, dan dibangun di atas fondasi data yang rapuh. Teknologi canggih seperti AI dan kamera mobile sudah ada (di Jawa Timur), tetapi tidak dapat berfungsi optimal karena "otak"-nya—database terintegrasi—belum terbangun.

Jika sembilan kendala sistemik ini, terutama "inkoneksitas data," tidak segera diselesaikan, ETLE hanya akan menjadi "macan ompong" digital yang pandai menghitung plat nomor tapi gagal mewujudkan keadilan substansial di jalan raya.

Namun, jika rekomendasi penelitian ini—terutama pembangunan big data dan integrasi penuh ekosistem hukum—diterapkan, ETLE berpotensi merevolusi penegakan hukum lalu lintas. Dalam lima tahun ke depan, ia tidak hanya akan menekan angka kecelakaan, tetapi yang lebih penting, memulihkan kepercayaan publik pada transparansi Polri secara fundamental.

Sumber Artikel:

Mayastinasari, V., & Lufpi, B. (2022). Efektivitas Electronic Traffic Law Enforcement. Jurnal Ilmu Kepolisian, 16(1), 62-70. 1

Keyword untuk Gambar: Integration, Camera

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap 9 'Dosa' Sistemik ETLE: Mengapa Tilang Elektronik Belum Mampu Hapus Pungli & Knalpot Bising Lolos

Transformasi Digital

Kecerdasan Buatan dan Kepemimpinan Adaptif: Menata Ulang Organisasi di Era Transformasi Digital

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 04 November 2025


Gelombang adopsi kecerdasan buatan (AI) yang meluas telah mengubah arah perkembangan dunia bisnis. Dalam beberapa tahun terakhir, AI bukan lagi sekadar alat bantu analisis, tetapi menjadi fondasi baru bagi model kerja, inovasi, dan pengambilan keputusan. Namun, sebagaimana ditegaskan oleh Satya Nadella bersama Thomas H. Davenport dan Marco Iansiti dalam Harvard Business Review (2024), kesuksesan implementasi AI tidak ditentukan oleh seberapa cepat perusahaan mengadopsi teknologi, melainkan oleh bagaimana organisasi membangun kepemimpinan dan budaya yang adaptif terhadap perubahan.

Perusahaan yang berhasil memanfaatkan AI bukan hanya yang memiliki algoritma terbaik, tetapi yang mampu mengintegrasikan kemampuan manusia dengan kecerdasan mesin secara sinergis. Artikel ini membahas bagaimana AI merevolusi struktur organisasi, menata ulang peran kepemimpinan, dan mengubah cara manusia berkolaborasi dalam menciptakan nilai baru di era digital.

 

AI sebagai Pendorong Evolusi Bisnis Modern

AI telah menjadi katalis utama dalam transformasi bisnis global. Teknologi ini memungkinkan perusahaan mengotomatisasi keputusan, memprediksi tren pasar, dan menciptakan model bisnis baru dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, tantangan terbesarnya bukan pada teknologi itu sendiri, melainkan pada bagaimana organisasi menyesuaikan struktur, budaya, dan proses pengambilan keputusan agar mampu memanfaatkan potensi AI secara optimal.

Nadella menekankan bahwa AI seharusnya dipandang sebagai co-pilot, bukan pengganti manusia. Konsep ini menggambarkan hubungan simbiosis antara kecerdasan buatan dan manusia, di mana mesin memperluas kapasitas berpikir manusia, sementara manusia memberikan konteks, empati, dan arah strategis. Pendekatan ini menciptakan bentuk kolaborasi baru yang menuntut keterampilan kepemimpinan berbeda — bukan hanya menguasai teknologi, tetapi memahami dimensi etis, sosial, dan kognitif dari penggunaannya.

Perusahaan seperti Microsoft, GitHub, dan OpenAI menjadi contoh nyata dari paradigma ini. Dengan mengintegrasikan AI copilots ke dalam sistem kerja harian, mereka berhasil meningkatkan produktivitas tanpa menghilangkan peran manusia dalam proses kreatif.
AI membantu menemukan pola dan solusi, sementara keputusan akhir tetap dipegang manusia, memastikan keseimbangan antara presisi dan nilai kemanusiaan.

Membangun Sinergi antara Teknologi dan Manusia

Transformasi AI menuntut organisasi untuk menata ulang hubungan antara manusia dan teknologi. Alih-alih menggantikan pekerjaan manusia, AI memperluas potensi manusia melalui peningkatan kapasitas kognitif dan efisiensi. Namun, untuk mencapai hal itu, perusahaan perlu mengembangkan AI literacy — kemampuan kolektif untuk memahami cara kerja, batas, dan potensi AI dalam konteks bisnis.

AI hanya akan bernilai bila diintegrasikan ke dalam proses kerja yang berbasis kolaborasi dan kepercayaan. Data, algoritma, dan hasil analisis perlu dipahami secara transparan agar setiap anggota tim dapat berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan. Inilah yang disebut Nadella sebagai human-centered AI: pendekatan di mana teknologi dirancang untuk memberdayakan, bukan mendominasi.

Beberapa organisasi global telah menerapkan prinsip ini melalui program pelatihan lintas fungsi. Karyawan tidak hanya belajar menggunakan alat AI, tetapi juga belajar berpikir bersama mesin — mengajukan pertanyaan yang lebih tajam, mengevaluasi hasil dengan skeptisisme sehat, dan memadukan analisis algoritmik dengan intuisi profesional. Keterampilan seperti inilah yang membedakan organisasi cerdas dari sekadar organisasi digital.

 

Kepemimpinan Adaptif di Era AI

Kepemimpinan di era kecerdasan buatan menuntut pergeseran paradigma dari kontrol menuju orkestrasi. Pemimpin tidak lagi berperan sebagai pengendali tunggal, tetapi sebagai pengarah ekosistem yang kompleks antara manusia, data, dan sistem digital.

Thomas H. Davenport menyebut pemimpin semacam ini sebagai AI-driven leader — sosok yang mampu menyeimbangkan tiga peran utama:

  1. Penerjemah teknologi, yang menjembatani bahasa teknis AI dengan strategi bisnis.

  2. Pengembang manusia, yang memastikan tim tidak hanya terampil secara digital, tetapi juga tangguh secara mental.

  3. Arsitek etika, yang menjaga agar pemanfaatan AI tetap berada dalam koridor tanggung jawab sosial.

Pemimpin adaptif memahami bahwa penerapan AI bukan hanya soal inovasi, tetapi juga soal keadilan, kepercayaan, dan inklusivitas.
Keputusan berbasis data yang tampak objektif sekalipun bisa bias jika tidak diawasi oleh kebijaksanaan manusia. Oleh karena itu, kepemimpinan masa depan tidak bisa lagi bersifat teknokratik, melainkan kolaboratif dan reflektif.

 

Implikasi bagi Organisasi di Indonesia

Bagi organisasi di Indonesia, adopsi AI masih berada pada tahap transisi antara euforia teknologi dan penerapan yang berkelanjutan. Banyak perusahaan mulai mengimplementasikan chatbots, sistem rekomendasi, atau otomatisasi data, tetapi belum memiliki strategi komprehensif untuk membangun budaya digital dan etika AI.

Arah yang perlu ditekankan adalah penguatan literasi digital di semua level organisasi. Pemimpin perlu menciptakan ruang belajar di mana karyawan memahami bahwa AI bukan ancaman, melainkan alat bantu untuk memperluas potensi kerja. Universitas dan lembaga pelatihan juga berperan penting dalam mencetak generasi profesional yang mampu berpikir kritis terhadap hasil algoritmik dan memiliki kesadaran etis dalam penggunaannya.

Dalam konteks birokrasi publik, AI dapat meningkatkan efisiensi layanan dan akurasi kebijakan jika diterapkan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Namun tanpa kepemimpinan adaptif dan sistem tata kelola yang kuat, AI justru bisa memperlebar kesenjangan digital antarwilayah.

Kesimpulan

Kecerdasan buatan bukan sekadar alat teknologi, melainkan cermin dari evolusi manusia dalam memanfaatkan informasi. Keberhasilan organisasi di masa depan akan bergantung pada kemampuan menyeimbangkan potensi algoritma dengan kebijaksanaan manusia. AI yang dirancang dengan nilai-nilai kemanusiaan akan memperkuat daya saing dan menciptakan ruang kerja yang lebih kolaboratif, inklusif, dan kreatif.

Sebagaimana ditegaskan Satya Nadella, masa depan bukanlah tentang manusia versus mesin, melainkan manusia bersama mesin, menciptakan dunia kerja yang lebih cerdas dan berempati. Dalam sinergi inilah lahir bentuk baru dari kepemimpinan digital — kepemimpinan yang tidak hanya memimpin perubahan, tetapi juga belajar bersamanya.

 

Daftar Pustaka 

Davenport, T. H., & Iansiti, M. (2024). The new rules of AI leadership. Harvard Business Review, 102(5), 81–138.

Nadella, S. (2024). Reimagining leadership in the age of AI. Harvard Business Review, 102(5), 81–138.

Brynjolfsson, E., & McAfee, A. (2017). Machine, platform, crowd: Harnessing our digital future. W. W. Norton & Company.

Westerman, G., Bonnet, D., & McAfee, A. (2014). Leading digital: Turning technology into business transformation. Harvard Business Review Press.

OECD. (2023). The future of work in the digital economy. Paris: OECD Publishing.

World Economic Forum. (2024). Leadership in the age of artificial intelligence. Geneva: World Economic Forum.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2025). Rencana Induk Produktivitas Nasional 2025–2029. Jakarta: Kementerian PPN/Bappenas.

Selengkapnya
Kecerdasan Buatan dan Kepemimpinan Adaptif: Menata Ulang Organisasi di Era Transformasi Digital

Transformasi Digital

Mengembangkan Digital Mindset: Pondasi Transformasi Organisasi di Era Cerdas

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 04 November 2025


Transformasi digital kini menjadi keniscayaan di hampir semua sektor industri. Namun, penelitian dan praktik lapangan menunjukkan bahwa keberhasilan transformasi digital tidak hanya bergantung pada teknologi, tetapi juga pada pola pikir (mindset) yang mendasari penggunaannya. Sebagaimana diungkapkan oleh Tsedal Neeley dan Paul Leonardi dalam Harvard Business Review, organisasi yang ingin berkembang di era digital perlu mengembangkan digital mindset—suatu cara berpikir dan berperilaku yang memungkinkan individu dan tim melihat peluang melalui data, algoritma, dan kecerdasan buatan.

Kasus perusahaan Atos, Philips, Moderna, dan Unilever menunjukkan bahwa adopsi teknologi tanpa perubahan mindset akan menghasilkan transformasi yang dangkal. Sebaliknya, ketika budaya belajar, integrasi sistem, dan adaptasi manusia berjalan serempak, digitalisasi dapat mengubah bukan hanya proses bisnis, tetapi juga daya tahan dan ketangkasan organisasi.

 

Apa Itu Digital Mindset?

Digital mindset bukan sekadar kemampuan mengoperasikan perangkat lunak atau memahami analitik data.
Ia adalah cara berpikir yang memandang teknologi sebagai peluang strategis untuk menciptakan nilai baru.
Individu dengan digital mindset melihat pola dalam data, memahami potensi algoritma, dan menggunakan AI untuk mempercepat inovasi serta pengambilan keputusan.

Penelitian menunjukkan bahwa karyawan dengan digital mindset cenderung memiliki:

  • Produktivitas dan kepuasan kerja lebih tinggi,

  • Peluang promosi yang lebih besar, serta

  • Kesiapan lebih baik menghadapi disrupsi teknologi.

Sementara bagi organisasi, keberadaan mindset ini menciptakan budaya fleksibel, kolaboratif, dan berbasis pembelajaran berkelanjutan.

 

Belajar dari Atos: Transformasi yang Dimulai dari Pembelajaran

Ketika Thierry Breton memimpin Atos pada 2008, ia menyadari bahwa pertumbuhan perusahaan tidak akan berlanjut tanpa reformasi digital. Ia meluncurkan program Digital Transformation Factory—pelatihan bersertifikat berbasis AI dan data analytics yang bersifat sukarela. Keberhasilan program ini bukan karena sistemnya canggih, melainkan karena motivasi karyawan untuk belajar tumbuh secara organik.

Lebih dari 70.000 karyawan mendapatkan sertifikasi dalam tiga tahun, membuktikan bahwa transformasi sejati terjadi ketika individu menginternalisasi nilai digital, bukan sekadar menjalani pelatihan formal.

 

Membangun Budaya Pembelajaran Berkelanjutan

Contoh lain datang dari Philips, yang beralih dari produsen perangkat kesehatan menjadi penyedia solusi digital. Perusahaan ini menciptakan sistem AI-powered learning platform yang menyesuaikan materi pelatihan dengan kebutuhan dan ritme tiap individu. Pendekatan ini memperkuat pembelajaran sosial (social learning)—di mana karyawan saling berbagi pengetahuan, menciptakan ekosistem belajar yang adaptif dan inklusif.

Transformasi budaya ini menegaskan bahwa teknologi hanya akan efektif jika diimbangi dengan kesiapan manusia untuk terus belajar.

 

Integrasi Sistem dan Proses: Pelajaran dari Moderna dan Unilever

Moderna menjadi contoh ideal bagaimana integrasi sistem digital dapat mempercepat inovasi. Dengan arsitektur berbasis cloud, data yang terbuka, dan algoritma AI untuk R&D, perusahaan ini berhasil mengembangkan lebih dari 20 algoritma baru hanya beberapa bulan setelah pandemi COVID-19 dimulai. Seperti dikatakan CEO Stéphane Bancel, “Digitization only makes sense once the processes are done.” Artinya, digitalisasi harus dimulai dari restrukturisasi proses kerja—bukan sekadar implementasi perangkat lunak.

Sementara itu, Unilever membuktikan bahwa transformasi digital juga dapat diterapkan dalam skala global. Dengan membentuk lebih dari 300 tim agile lintas negara, perusahaan berhasil memadukan data global dan fleksibilitas lokal. Pendekatan ini menunjukkan bahwa organisasi besar sekalipun dapat menjadi gesit bila didukung oleh mindset digital yang terdistribusi di seluruh level.

 

Tantangan: Membangun Kepercayaan dan Kapasitas Belajar

Digital transformation sering menghadapi resistensi.
Menurut Neeley dan Leonardi, tantangan utama terletak pada dua aspek:

  1. Tingkat kepercayaan (buy-in) terhadap manfaat transformasi, dan

  2. Kapasitas belajar (capacity to learn) para karyawan.

Organisasi perlu menilai posisi setiap individu dalam digital adoption matrix: apakah mereka terinspirasi, frustrasi, acuh, atau tertekan.
Manajer berperan penting dalam memindahkan anggota tim menuju kuadran “terinspirasi”—melalui komunikasi, pelatihan, dan pemberian peran bermakna dalam proyek digital

.

Mengelola Perubahan Sebagai Proses Permanen

Era digital tidak memiliki “titik akhir transformasi.” Teknologi, data, dan perilaku pelanggan terus berubah, sehingga organisasi harus melihat perubahan sebagai kondisi permanen. Pemimpin perlu membangun budaya yang mampu beradaptasi terus-menerus, bukan sekadar bereaksi terhadap tren. Dengan kata lain, transformasi digital bukan tujuan akhir, melainkan cara hidup organisasi modern.

 

Kesimpulan

Membangun digital mindset berarti menggeser paradigma dari sekadar menguasai alat menjadi menguasai cara berpikir baru.
Organisasi yang berhasil adalah yang mampu menyatukan teknologi, manusia, dan budaya belajar dalam satu arah perubahan yang berkelanjutan.

Seperti disimpulkan Neeley dan Leonardi, digital transformation bukan sekadar proyek IT, tetapi proyek manusia.
Ketika individu di seluruh level memiliki rasa ingin tahu, keberanian bereksperimen, dan kesiapan untuk terus belajar, maka transformasi digital akan menjadi bagian alami dari evolusi organisasi — bukan sekadar slogan perubahan.

 

Daftar Pustaka 

Neeley, T., & Leonardi, P. (2022). Developing a digital mindset. Harvard Business Review, 100(4), 63–80.

Davenport, T. H., & Westerman, G. (2018). Why so many high-profile digital transformations fail. Harvard Business Review. 

Leonardi, P. M. (2021). The digital mindset: What it really takes to thrive in the age of data, algorithms, and AI. Harvard Business Review Press.

Nadella, S. (2017). Hit refresh: The quest to rediscover Microsoft’s soul and imagine a better future for everyone. Harper Business.

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD). (2023). The digital transformation of SMEs. Paris: OECD Publishing.

Westerman, G., Bonnet, D., & McAfee, A. (2014). Leading digital: Turning technology into business transformation. Harvard Business Review Press.

World Economic Forum. (2024). Future readiness of organizations: Leading in the age of AI. Geneva: WEF.

Selengkapnya
Mengembangkan Digital Mindset: Pondasi Transformasi Organisasi di Era Cerdas

Kehidupan Kota

Penelitian Ini Mengungkap Mengapa Lampu Merah Anda Terasa Tidak Adil – Dan Bagaimana Ponsel Anda Dapat Memperbaikinya

Dipublikasikan oleh Hansel pada 04 November 2025


Di persimpangan jalan mana pun di dunia, sebuah drama yang penuh frustrasi terjadi setiap hari. Puluhan pengemudi mobil, masing-masing sendirian, mendapatkan lampu hijau, sementara sebuah bus yang membawa 60 penumpang—guru, perawat, dan pekerja—terjebak di lampu merah. Sistem yang mengatur pergerakan kita ini pada dasarnya buta. Sistem ini tidak bisa membedakan antara satu unit logam yang membawa satu orang dan satu unit logam yang membawa enam puluh orang.

Bagi banyak dari kita, ini hanyalah keluhan harian. Namun bagi Roozbeh Mohammadi, seorang peneliti di Aalto University, Finlandia, ini adalah kegagalan sistemik yang mendesak untuk dipecahkan.

Latar belakang penelitian Mohammadi, yang diselesaikannya pada tahun 2022, memberikan konteks yang mencengangkan. Dalam kata pengantarnya, ia mencatat bahwa ia menulis disertasi ini saat dunia sedang melewati "pandemi dunia yang mengerikan," "perang di sisi timur Eropa," dan "harga bensin yang tumbuh cepat".1 Ini bukan sekadar catatan pribadi; ini adalah penetapan panggung sosio-ekonomi. Ketika harga bahan bakar melonjak, setiap detik mesin menyala di lampu merah bukan lagi sekadar pemborosan waktu, tetapi menjadi beban ekonomi yang nyata bagi warga.

Lebih mendalam lagi, Mohammadi mendedikasikan karyanya untuk 176 korban tak berdosa dari Ukraine International Airlines Flight 752.1 Terdapat hubungan tematik yang kuat antara tragedi kemanusiaan ini dan inti penelitiannya. Tragedi penerbangan itu adalah kegagalan sistem yang mengorbankan nyawa manusia. Sistem manajemen lalu lintas yang ada saat ini, dengan caranya sendiri, juga merupakan sistem yang gagal menghargai faktor manusia.

Disertasi Mohammadi bukanlah sekadar proposal akademis untuk membuat lalu lintas 10% lebih lancar. Ini adalah argumen fundamental untuk merombak total filosofi di balik lampu lalu lintas kita—mengalihkannya dari sistem 'dingin' yang menghitung aset (mobil) menjadi sistem 'hangat' yang menghargai nyawa (manusia).

 

Masalah Inti: Kebutaan Sistemik di Persimpangan Jalan

Selama puluhan tahun, sistem manajemen lalu lintas perkotaan telah "didominasi oleh kendaraan" (vehicle-dominated).1 Dalam praktiknya, ini berarti bahwa metrik kesuksesan sebuah persimpangan adalah 'vehicular throughput'—berapa banyak unit kendaraan yang berhasil melewatinya dalam satu jam. Sistem ini tidak pernah dirancang untuk mengukur 'user throughput'—berapa banyak orang yang berhasil melewatinya.1

Menurut penelitian tersebut, kondisi ini terjadi karena dua alasan utama. Pertama, adanya "kurangnya perhatian pada pengguna" dalam filosofi desain lalu lintas historis. Kedua, dan ini yang paling penting, keterbatasan teknis yang fundamental: "alat pengumpul data konvensional tidak berdaya (powerless) untuk mengumpulkan data kendaraan individu maupun data pengguna kendaraan".1

Kata 'powerless' adalah kuncinya. Ini bukanlah pilihan kebijakan; ini adalah keterbatasan fisik. Sensor tradisional yang ditanam di bawah aspal (inductive loops) pada dasarnya adalah detektor logam canggih. Mereka dapat dengan andal mendeteksi "satu unit logam besar" telah tiba di garis berhenti. Namun, mereka secara fisik "buta" terhadap apa yang ada di dalamnya. Sensor tersebut tidak memiliki cara untuk membedakan antara sedan yang dikemudikan seorang diri dan bus kota yang penuh sesak.

Akibatnya, sistem ini menciptakan ketidakadilan (inequity) yang sistematis dan terprogram. Sistem yang buta ini akan memperlakukan 50 orang di dalam bus memiliki urgensi yang sama dengan satu orang di dalam mobil. Disertasi ini berargumen bahwa paradigma yang telah berusia puluhan tahun ini salah secara fundamental dan mendesak untuk diubah.

 

Terobosan dari Finlandia: Menggunakan 'Connected Vehicle' sebagai Mata Baru untuk Kota

Solusi yang diajukan untuk mengatasi kebutaan sistemik ini adalah teknologi Connected Vehicles (CV). Dalam konteks ini, CV tidak hanya berarti mobil canggih dari pabrikan; CV bisa berupa bus umum yang dilengkapi pemancar, atau bahkan smartphone yang ada di dalam setiap kendaraan yang menjalankan aplikasi navigasi.1

Intinya adalah kendaraan-kendaraan ini dapat mengumpulkan dan mengirimkan "data kendaraan dan penggunanya secara real-time" ke infrastruktur lampu lalu lintas.1

Kemampuan baru inilah yang, menurut disertasi tersebut, "memfasilitasi pengembangan strategi manajemen lalu lintas berbasis pengguna (user-centred)".1 Untuk pertama kalinya, sistem lampu lalu lintas dapat melihat ke dalam kendaraan.

Namun, penelitian ini memperingatkan agar tidak jatuh ke dalam perangkap yang mudah. Godaannya adalah menggunakan data yang kaya ini hanya untuk membuat sistem 'vehicle-dominated' yang lama menjadi sedikit lebih efisien. Mohammadi menantang asumsi dasar tersebut. Daripada hanya mengoptimalkan aliran kendaraan sedikit lebih baik, data baru ini memungkinkan kita untuk mengubah tujuan dari sistem itu sendiri.

Tujuan barunya: memaksimalkan aliran pengguna.1 Untuk mencapai ini, disertasi tersebut mengusulkan dua strategi utama yang revolusioner.

 

Kontribusi Pertama: Berhenti Menghitung Mobil, Mulai Menghitung Manusia

Kontribusi ilmiah pertama, yang dirinci dalam Publikasi I, disebut User-Based Signal Timing Optimisation (UBSTO) atau Optimasi Waktu Sinyal Berbasis Pengguna.1

Cara kerjanya paling baik dijelaskan melalui narasi kontras:

  • Sistem Lama (Vehicle-Dominated): Lampu lalu lintas mendeteksi 10 unit kendaraan di Jalur A (jalan arteri) dan 5 unit kendaraan di Jalur B (jalan pengumpan). Logikanya sederhana: "10 lebih banyak dari 5. Berikan lampu hijau ke Jalur A."
  • Sistem Baru (UBSTO): Sistem CV 'melihat' data pengguna. Jalur A memiliki 10 mobil, dengan total 12 pengguna (sebagian besar komuter solo). Jalur B memiliki 4 mobil dan 1 bus kota, dengan total 55 pengguna. Logika baru mengambil alih: "55 pengguna jauh lebih banyak dari 12 pengguna. Segera berikan lampu hijau ke Jalur B."

Tujuannya bergeser 180 derajat: dari "memaksimalkan vehicular throughput" (jumlah kendaraan) menjadi "memaksimalkan user throughput" (jumlah total orang).1

Ini lebih dari sekadar efisiensi teknis; ini adalah alat insentif perilaku. Jika sistem lalu lintas kota Anda secara konsisten dan dapat diprediksi memberi prioritas pada kendaraan yang lebih penuh—seperti bus dan carpool—maka pengguna jalan akan belajar. Perilaku ride-sharing dan penggunaan angkutan umum secara langsung dihargai dengan penghematan waktu nyata.1 Algoritma ini, yang tersembunyi di dalam kotak kontrol lalu lintas, secara efektif menjadi alat kebijakan publik yang aktif untuk mendorong mobilitas bersama (shared mobility).

Temuan dari penelitian ini mengkonfirmasi hipotesis tersebut. Strategi UBSTO terbukti "meningkatkan rata-rata total user throughput dan mengurangi rata-rata total user delay" secara signifikan dibandingkan dengan strategi tradisional yang hanya menghitung kendaraan.1

 

Kontribusi Kedua: Prioritas Cerdas untuk Bus (Tidak Semua Bus Diciptakan Sama)

Kontribusi besar kedua (Publikasi II) mengatasi masalah spesifik angkutan umum melalui User-based Transit Signal Priority (TSP) yang cerdas.1

Banyak kota sudah memiliki sistem TSP, tetapi sistem ini seringkali 'bodoh'. Sistem TSP tradisional memberikan prioritas pada setiap bus yang mendekat, tanpa pandang bulu. Ini berarti bus yang kosong atau bus yang datang lebih awal dari jadwal tetap akan memicu lampu hijau paksa. Tindakan ini seringkali memperburuk kemacetan secara tidak proporsional bagi ratusan mobil lain, menciptakan apa yang oleh para peneliti disebut sebagai "eksternalitas negatif".1

Strategi baru yang diusulkan jauh lebih 'pintar'. Sistem ini hanya memberikan prioritas kepada bus yang memenuhi dua kriteria spesifik secara bersamaan:

  1. Bus tersebut "tertinggal dari jadwal (behind the schedule)".1
  2. Bus tersebut memiliki "jumlah penumpang yang lebih tinggi (higher number of passengers)".1

Di sinilah letak kecerdasan adaptif dari sistem ini. Sistem ini secara dinamis menimbang kebutuhan (bus terlambat) versus dampak sosial (bus penuh penumpang).

Hal ini juga memecahkan masalah klasik "permintaan prioritas yang saling bertentangan" (conflicting priority requests).1 Bayangkan dua bus tiba di persimpangan yang sama dari arah yang berlawanan (misalnya, satu ingin lurus, satu ingin belok kiri). Sistem lama mungkin macet atau memilih secara acak. Sistem baru ini dapat membuat keputusan yang adil dan berbasis data: "Bus A terlambat 10 menit dan membawa 40 penumpang. Bus B tepat waktu dan hanya membawa 5 penumpang. Prioritas jelas diberikan kepada Bus A."

Yang terpenting, strategi ini dirancang tidak hanya untuk menguntungkan bus. Sistem ini secara eksplisit "mempertimbangkan pengguna bus serta pengendara mobil lainnya".1 Dengan hanya memberikan prioritas saat benar-benar dibutuhkan, sistem ini berhasil mengurangi penundaan bagi semua orang, bukan hanya memindahkan kemacetan dari jalur bus ke jalur mobil.1

 

Di Balik Penghematan Waktu: Mengukur Pengurangan 'Biaya Sosial Total'

Manfaat dari sistem yang lebih cerdas ini melampaui penghematan waktu. Publikasi II juga mengevaluasi sesuatu yang disebut "total social cost" (biaya sosial total).1

Biaya sosial bukanlah konsep abstrak; ini adalah jumlah kerugian kolektif yang kita semua bayar akibat kemacetan. Penelitian ini mendefinisikannya sebagai gabungan dari beberapa faktor 1:

  • Waktu tunggu (penundaan perjalanan).
  • Konsumsi bahan bakar (bensin atau solar yang terbuang percuma saat idle).
  • Emisi (polusi udara dari knalpot yang menyala tanpa bergerak).

Hubungan antara penundaan dan biaya sosial sangat jelas: Penundaan yang lama sama dengan mesin yang terus menyala (idle). Mesin yang idle berarti bahan bakar terbuar sia-sia. Bahan bakar yang terbakar sia-sia berarti emisi yang dilepaskan tanpa tujuan. Semua ini meningkatkan biaya sosial total.

Dengan mengubah logika prioritas untuk menggerakkan jumlah orang terbanyak secepat mungkin (terutama di dalam bus besar yang efisien), sistem UBSTO dan TSP baru ini secara drastis mengurangi total waktu idle kumulatif di persimpangan. Ini secara langsung mengurangi pembakaran bahan bakar dan emisi polusi. Ini adalah jawaban langsung terhadap konteks awal penelitian: harga bensin yang mahal.1

Hasilnya? Strategi TSP baru yang diusulkan ini terbukti mampu mengurangi total biaya sosial lebih dari 10% dibandingkan dengan skenario baseline.1 Pengurangan 10% ini bukanlah angka dalam spreadsheet akademis; itu adalah dampak nyata di persimpangan dekat rumah Anda. Itu berarti lebih sedikit asap knalpot yang Anda hirup saat menunggu, dan bus Anda tidak lagi membakar bahan bakar secara percuma hanya untuk menunggu giliran.

 

Temuan Mengejutkan: Revolusi Ini Tidak Membutuhkan GPS Mahal (HP Anda Cukup)

Pada titik ini, banyak perencana kota mungkin akan skeptis. Sistem yang canggih seperti ini terdengar sangat mahal. Tentunya sistem ini membutuhkan GPS tingkat militer yang sangat presisi di setiap kendaraan?

Kontribusi ketiga (Publikasi III) menjawab pertanyaan praktis ini, dan jawabannya sangat mengejutkan. Penelitian ini menguji dampak akurasi data pada sistem.1

Temuan utamanya adalah bahwa "data CV, seperti yang dihasilkan oleh GPS seluler (ponsel), cukup akurat untuk digunakan".1

Ini adalah temuan yang sangat penting dan berlawanan dengan intuisi. Logika awam menyarankan bahwa sistem yang lebih canggih (yang melacak individu) pasti membutuhkan data yang lebih akurat. Namun, penelitian ini menemukan sebaliknya. Sistem baru yang melihat data dari setiap individu (disebut disaggregated input controller) ternyata "kurang sensitif terhadap kesalahan data" dibandingkan dengan sistem lama yang mencoba mengestimasi satu angka agregat (seperti total panjang antrian).1

Alasannya kemungkinan besar berkaitan dengan hukum bilangan besar (law of large numbers). Ketika sistem menerima data dari ratusan ponsel, beberapa data mungkin sedikit melenceng ke kiri, dan beberapa sedikit melenceng ke kanan. Kesalahan-kesalahan kecil dan acak ini cenderung saling meniadakan, menghasilkan gambaran rata-rata yang sangat akurat tentang di mana kerumunan itu berada.

Sebaliknya, sistem lama yang bergantung pada satu estimasi agregat (misalnya, sensor tanam yang memperkirakan ada 20 mobil dalam antrian) akan gagal total jika satu estimasi itu salah.

Implikasi dari temuan ini sangat besar. Ini meruntuhkan hambatan biaya dan implementasi. Kota-kota tidak perlu menunggu puluhan tahun bagi produsen mobil untuk memasang sensor mahal di setiap kendaraan baru. Mereka dapat mulai menerapkan revolusi ini dengan memanfaatkan teknologi yang sudah ada di saku sebagian besar warga mereka saat ini.

 

Memecahkan Masalah 'Ayam-dan-Telur': Sistem Ini Bekerja Meski Hanya 15% Mobil yang Terhubun

Ada satu lagi hambatan praktis besar: masalah "ayam-dan-telur" dalam adopsi teknologi. Mengapa sebuah kota harus berinvestasi dalam sistem baru ini jika hanya sebagian kecil mobil yang 'terhubung'? Dan mengapa warga harus membeli teknologi 'terhubung' jika infrastruktur kota belum mendukungnya?

Kontribusi keempat (Publikasi IV) secara brilian mengatasi masalah "tingkat penetrasi rendah" (low penetration rate) ini.1

Solusinya adalah "metode estimasi kendaraan berbasis data" (data-driven vehicle estimation).1 Ini pada dasarnya adalah model machine learning (AI) yang dilatih khusus untuk satu tugas: 'menebak' jumlah kendaraan yang tidak terhubung (mobil 'bodoh') yang berada di antara dua kendaraan yang terhubung (mobil 'pintar').

Jika mobil 'pintar' A melaporkan posisinya di 100 meter sebelum lampu merah, dan mobil 'pintar' B melaporkan posisinya 30 meter di belakang A, AI dilatih untuk memperkirakan berapa banyak mobil 'bodoh' yang kemungkinan besar berada di celah 30 meter di antara mereka, berdasarkan kecepatan, waktu, dan kepadatan lalu lintas.

Temuan kuncinya sangat menjanjikan: metode AI ini terbukti "dapat memberikan estimasi jumlah kendaraan yang akurat, bahkan pada tingkat penetrasi CV yang rendah (serendah 15%)".1

Ini adalah jembatan yang menghubungkan teori akademis dengan praktik dunia nyata. Sebuah kota tidak perlu menunggu hingga tahun 2040 ketika 100% mobil di jalan adalah CV. Mereka dapat meluncurkan sistem ini sekarang. Dengan hanya 15% dari mobil yang mentransmisikan data—atau bahkan hanya data anonim dari aplikasi seperti Google Maps atau Waze yang sudah digunakan orang—model AI ini dapat 'mengisi kekosongan' data dan memperkirakan keseluruhan antrian dengan cukup akurat untuk menjalankan strategi UBSTO dan TSP yang baru.

 

Dampak Nyata: Bagaimana Lampu Merah Anda Bisa Mendorong Anda Berbagi Tumpangan

Bagian "Transferabilitas dan kepraktisan" dari disertasi ini merangkum apa arti semua ini bagi komuter harian.1 Ini adalah inti dari segalanya.

Sistem yang diusulkan ini berfungsi sebagai "insentif untuk mendorong shared mobility" (mobilitas bersama).1 Bagaimana caranya? Sederhana: karena "jumlah pengguna yang tinggi dalam satu kendaraan meningkatkan peluang kendaraan tersebut menerima prioritas" di lampu lalu lintas.1

Hasil akhirnya adalah "pengurangan keterlambatan (reduction in delay)" dan "penghematan waktu (time saving)" yang nyata dan terukur bagi siapa saja yang memilih untuk naik bus, carpool, atau layanan ride-sharing.1

Singkatnya, penelitian ini menguraikan sistem di mana:

  • Jika Anda memutuskan untuk beralih dari mengemudi sendiri ke naik bus, algoritma baru ini secara aktif bekerja untuk membuat perjalanan Anda lebih cepat.
  • Sistem ini menghargai efisiensi sosial (lebih banyak orang per kendaraan) dengan efisiensi pribadi (penghematan waktu Anda).
  • Seiring waktu, ini membuat mobilitas bersama menjadi pilihan yang lebih menarik secara rasional 1, yang berpotensi mengubah seluruh pola komuter perkotaan.

 

Kritik Realistis: Apa yang (Secara Krusial) Hilang dari Penelitian Ini?

Tentu saja, tidak ada penelitian yang sempurna. Disertasi ini jujur tentang batasannya, yang digariskan dalam "Rekomendasi untuk penelitian masa depan".1 Bagian ini juga berfungsi sebagai kritik realistis terhadap penerapan temuan ini di dunia nyata.

Kritik 1: Pengguna Jalan yang Paling Rentan Diabaikan

Batasan terbesar dari penelitian ini adalah bahwa penelitian ini belum memasukkan "pejalan kaki dan pengendara sepeda" ke dalam desain dan evaluasinya.1 Ini adalah kekurangan yang sangat besar untuk sebuah studi yang mengklaim berpusat pada "pengguna" (user-centred) dan "adil" (equitable). Pejalan kaki dan pengendara sepeda adalah pengguna jalan yang paling rentan.

Jika sistem ini diterapkan secara naif, sistem yang mengoptimalkan pergerakan pengguna di dalam kendaraan ini berpotensi memperburuk situasi bagi pejalan kaki. Bayangkan skenario di mana sistem UBSTO memutuskan untuk memberikan waktu hijau 30 detik ekstra untuk jalur yang penuh dengan bus. Waktu hijau ekstra itu harus diambil dari suatu tempat—dan kemungkinan besar dicuri dari waktu 'BERJALAN' bagi pejalan kaki di penyeberangan. Ini menciptakan eksternalitas negatif baru yang harus dipecahkan oleh penelitian selanjutnya.

Kritik 2: Efek Jaringan yang Belum Terbukti

Batasan kedua adalah skala. Penelitian ini, seperti banyak studi perintis lainnya, diuji pada "satu persimpangan atau jaringan yang lebih kecil".1 Lalu lintas kota adalah jaringan yang sangat kompleks dan saling terhubung. Mengoptimalkan satu persimpangan secara brilian dapat secara tidak sengaja menyebabkan kemacetan parah di persimpangan berikutnya (dikenal sebagai "efek limpahan" atau spillover effect 1).

Keefektifan sistem ini di seluruh jaringan kota yang kompleks—seperti Jakarta, London, atau Helsinki—masih perlu dibuktikan dalam implementasi skala besar.

 

Kesimpulan: Visi Lima Tahun untuk Kota Anda

Disertasi Roozbeh Mohammadi lebih dari sekadar penyesuaian algoritma; ini adalah cetak biru untuk mengubah infrastruktur lalu lintas kita dari sistem manajemen 'aset' (mobil) menjadi sistem manajemen 'manusia' (pengguna).

Penelitian ini secara elegan memecahkan hambatan terbesar yang selama ini menghalangi kemajuan:

  1. Hambatan Data: Membuktikan bahwa GPS ponsel yang ada saat ini sudah cukup akurat.1
  2. Hambatan Adopsi: Menunjukkan bahwa sistem dapat bekerja efektif hanya dengan 15% kendaraan yang terhubung.1
  3. Hambatan Kebijakan: Menyediakan mekanisme insentif berbasis pasar yang menghargai mobilitas bersama.1

Jika diterapkan secara bertahap, temuan ini dapat secara fundamental mengubah kalkulus komuter harian. Dalam lima tahun ke depan, kota-kota yang cukup berani untuk mengadopsi logika "berpusat pada pengguna" ini tidak hanya akan melihat pengurangan emisi dan penghematan bahan bakar yang nyata di persimpangan mereka.1 Mereka juga akan menyaksikan pergeseran perilaku yang nyata dari warganya.

Ketika bus dan carpool secara konsisten dan dapat diprediksi mengalahkan mobil berisi satu orang, warga akan merespons. Sistem lalu lintas akan berhenti menjadi sumber frustrasi kolektif dan mulai menjadi alat aktif yang mendorong kita semua menuju masa depan yang lebih efisien, lebih hemat bahan bakar, dan, yang terpenting, lebih adil.

 

Sumber Artikel:

http://urn.fi/URN:ISBN:978-952-64-0858-3

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Mengapa Lampu Merah Anda Terasa Tidak Adil – Dan Bagaimana Ponsel Anda Dapat Memperbaikinya

Masalah Perkotaan

Penelitian Ini Mengungkap Cetak Biru ‘Otak Digital’ untuk Mengurai Kemacetan Kota Besar – Ini Cara Kerjanya!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 04 November 2025


Di balik deru klakson, kepulan asap knalpot, dan lautan lampu rem yang tak berujung di kota-kota besar, terdapat sebuah krisis sistemik. Kemacetan bukan lagi sekadar ketidaknyamanan harian; ia telah bermetastasis menjadi penyakit kronis perkotaan yang membakar miliaran rupiah bahan bakar, merampas waktu produktif, dan secara signifikan menurunkan kualitas hidup.1

Akar masalahnya, seperti yang diidentifikasi dalam berbagai studi, adalah ketidakseimbangan yang fundamental. Pertumbuhan ekonomi dan laju urbanisasi yang pesat telah memicu ledakan jumlah kendaraan bermotor di jalanan.1 Sayangnya, kapasitas infrastruktur jalan tidak mampu mengimbangi laju pertumbuhan tersebut. Kita tidak bisa terus-menerus membangun jalan baru. Solusinya, tampaknya, bukanlah melebarkan aspal, melainkan membuat aspal yang ada menjadi jauh lebih cerdas.

Sebuah makalah ilmiah baru yang diterbitkan oleh David dari Universitas Komputer Indonesia menyajikan sebuah cetak biru konseptual yang ambisius untuk mengatasi kebuntuan ini.1 Proposal ini menguraikan arsitektur sistem pengelolaan lalu lintas generasi baru, yang bertumpu pada dua pilar teknologi transformatif.

Pilar pertama adalah Internet of Things (IoT), yang diusulkan berfungsi sebagai "sistem saraf" digital. Ini adalah jaringan sensor, kamera, dan perangkat terhubung yang ditanam di sepanjang arteri kota untuk merasakan denyut nadi lalu lintas secara real-time.1 Pilar kedua adalah Komputasi Awan (Cloud Computing), yang berperan sebagai "otak" pusat—sebuah infrastruktur masif yang mampu menyimpan, memproses, dan menganalisis volume data yang tak terbayangkan yang dikirim oleh sistem saraf IoT.1

Tujuannya jelas: menciptakan sebuah sistem yang tidak hanya merespons kemacetan, tetapi juga memprediksi dan mencegahnya, seraya mengoptimalkan seluruh arus kendaraan di kota. Ini adalah langkah konkret menuju visi smart city (kota pintar) yang lebih efisien, terhubung, dan berkelanjutan.1

 

Pertanyaan Kritis: Apakah Teknologi Benar-Benar Mampu Mengatasinya?

Sebelum kita terhanyut dalam janji teknologi, makalah ini melakukan sesuatu yang mengejutkan dan membangun kredibilitas: ia berhenti sejenak dan mengajukan pertanyaan skeptis terhadap dirinya sendiri. Di bagian "Rumusan Masalah", penulis secara jujur menantang premisnya sendiri.1

Makalah tersebut menyatakan, "Meskipun Penggunaan komputasi awan dan IoT terlihat sangat efisien, kita juga perlu berfikir untuk menambahkan poin-poin penting masalah lain...".1 Pertanyaan intinya dirumuskan dengan tajam: Apakah penerapan metode canggih ini benar-benar dapat mengurangi kemacetan? Apakah ia mampu meningkatkan efisiensi transportasi secara keseluruhan? Dan yang paling penting, apakah ia menjamin peningkatan keselamatan bagi pengguna jalan?.1

Ini bukanlah sebuah makalah yang mengklaim telah menemukan peluru perak. Ini adalah sebuah proposal akademis yang matang, yang menetapkan tolok ukur kesuksesannya sendiri. Penulis tidak mengasumsikan bahwa teknologi secara otomatis setara dengan solusi. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa tiga pilar kesuksesan—pengurangan kemacetan, peningkatan efisiensi, dan peningkatan keselamatan—adalah hipotesis yang harus divalidasi dan dibuktikan melalui implementasi nyata.1

Untuk menjawab tantangan yang ditetapkannya sendiri, makalah ini kemudian menguraikan pendekatan penyelesaian masalah dalam tujuh langkah komprehensif. Ini adalah cetak biru operasional yang dirancang untuk mengubah teori menjadi kenyataan.1

 

Arsitektur Sistem: Membangun 'Sistem Saraf' Digital untuk Kota

Inti dari proposal ini adalah penciptaan ekosistem digital yang hidup, yang meniru cara kerja sistem saraf biologis. Ia harus mampu merasakan, memproses, dan bereaksi. Makalah ini membedah arsitektur tersebut langkah demi langkah.

Mata dan Telinga di Jalanan (Pengumpulan Data IoT)

Langkah pertama dan paling fundamental adalah "Pengumpulan Data Lalu Lintas Secara Real-Time".1 Tanpa data yang baik, "otak" sistem tidak dapat berfungsi.

Begini cara kerjanya: Jaringan sensor nirkabel IoT akan dipasang di berbagai titik strategis di seluruh kota. Lokasi-lokasi ini mencakup persimpangan jalan yang kritis, jalur utama yang padat, dan area yang teridentifikasi sebagai rawan kemacetan.1

Sensor-sensor ini bukan sekadar penghitung mobil. Mereka adalah "mata dan telinga" canggih yang mengukur berbagai parameter penting secara bersamaan 1, termasuk:

  • Volume kendaraan: Berapa banyak mobil, motor, dan truk yang lewat.
  • Kecepatan rata-rata: Seberapa lancar atau padat arusnya.
  • Kondisi cuaca: Apakah hujan, yang dapat mempengaruhi kecepatan.
  • Kualitas udara: Tingkat polusi di lokasi tertentu.

Semua data mentah ini, menurut arsitektur sistem, kemudian ditangkap oleh perangkat elektronik yang disebut "Data Logger". Dari sana, data logger mentransfer informasi yang terkumpul ke pusat data melalui koneksi internet, yang pada dasarnya mengalirkan denyut nadi kota ke komputasi awan.1

'Otak' Mulai Bekerja (Analisis Pola di Cloud)

Setelah data mentah dari ribuan sensor membanjiri sistem, langkah kedua dimulai: "Analisis Pola Lalu Lintas".1 Di sinilah peran komputasi awan menjadi sangat vital.

Mengapa cloud? Karena infrastruktur cloud bersifat fleksibel, terdistribusi, dan yang terpenting, scalable (terukur).1 Otoritas lalu lintas kota tidak perlu membangun pusat data fisik yang masif dan mahal, yang mungkin akan langsung kewalahan oleh besarnya data (Big Data). Sebaliknya, mereka dapat memanfaatkan kapasitas pemrosesan cloud yang nyaris tak terbatas untuk memproses data dalam jumlah besar dan kompleks dengan kecepatan tinggi.1

Di dalam lingkungan cloud inilah algoritma canggih dan teknik Machine Learning (ML) atau pembelajaran mesin mulai bekerja.1 Algoritma ini dirancang untuk menyisir data dan mengidentifikasi tren serta pola yang tidak terlihat oleh mata manusia 1, seperti:

  • Mengidentifikasi waktu-waktu puncak kemacetan yang sebenarnya.
  • Memetakan jalur-jalur spesifik yang sering mengalami penumpukan.
  • Menganalisis faktor-faktor kausalitas—misalnya, apakah kemacetan di rute X selalu berkorelasi dengan kondisi cuaca tertentu atau kecelakaan di rute Y.1

Di sinilah letak salah satu poin paling cerdas dari proposal ini. Dengan memasukkan data "kualitas udara" 1 ke dalam analisis, sistem ini melampaui manajemen lalu lintas tradisional. Ini membuka kemungkinan untuk "manajemen kesehatan perkotaan".

Bayangkan sebuah skenario di mana algoritma mendeteksi tingkat polusi berbahaya di dekat zona sekolah. Sistem tidak hanya berfokus pada "rute tercepat", tetapi juga "rute tersehat". Ia dapat secara otomatis memprioritaskan pengalihan rute kendaraan berat atau truk diesel menjauh dari area sensitif tersebut, sejalan dengan visi kota yang berkelanjutan.1

 

Dari Reaktif Menjadi Prediktif: Mesin Waktu Digital di Balik Kemudi

Sistem manajemen lalu lintas tradisional bersifat reaktif—mereka merespons kemacetan yang sudah terjadi. Inovasi sesungguhnya dalam cetak biru ini terletak pada pergeseran paradigma menjadi proaktif dan prediktif.1

Langkah ketiga dalam proposal ini adalah "Pengembangan Algoritma Prediktif".1

Algoritma ini dirancang untuk berfungsi sebagai semacam mesin waktu digital. Mereka tidak hanya melihat apa yang terjadi sekarang, tetapi juga memproyeksikan apa yang akan terjadi di masa depan.1 Untuk melakukan ini, model prediksi memanfaatkan dua aliran data secara bersamaan: data historis (pola kemacetan dari masa lalu) dan data real-time (kondisi yang masuk dari sensor IoT saat ini).1

Model-model ini memproyeksikan berbagai skenario lalu lintas di masa depan dengan mempertimbangkan variabel-variabel kunci 1, seperti:

  • Waktu dalam sehari dan hari dalam seminggu.
  • Kondisi cuaca saat ini dan yang diperkirakan.
  • Kejadian khusus, seperti pertandingan sepak bola, konser besar, atau kecelakaan yang baru saja dilaporkan.1

Untuk mempermudah pemahaman, bayangkan perbedaannya seperti ini: Analisis lalu lintas tradisional ibarat melihat foto kemacetan yang terjadi kemarin. Anda tahu itu terjadi, tetapi Anda tidak bisa berbuat apa-apa. Sistem prediktif ini, di sisi lain, lebih mirip aplikasi prakiraan cuaca canggih. Ia dapat memberi Anda peringatan, "Akan ada badai kemacetan di rute Anda dalam 30 menit ke depan, berdasarkan peningkatan volume saat ini dan data historis."

Kemampuan untuk "memperkirakan kemungkinan terjadinya kemacetan" 1 inilah yang mengubah permainan. Sistem kini dapat memberikan peringatan dini kepada pengendara atau, yang lebih penting, mengambil tindakan otomatis untuk mencegah kemacetan itu terjadi.1

 

Dari Prediksi Menjadi Aksi: Sang Dirigen Orkestra di Persimpangan

Jika data adalah musik dan cloud adalah kesadaran sang dirigen, maka langkah-langkah berikutnya adalah momen ketika dirigen mengangkat tongkatnya. Di sinilah prediksi diubah menjadi aksi nyata di jalanan.

Optimalisasi Sinyal Lalu Lintas Dinamis

Langkah keempat adalah "Optimalisasi Pengaturan Sinyal Lalu Lintas".1 Ini adalah salah satu aplikasi praktis yang paling berdampak. Sensor IoT yang terpasang di persimpangan 1 terus-menerus melaporkan jumlah kendaraan dan kecepatan rata-rata ke cloud. Di cloud, algoritma optimasi yang kompleks berjalan tanpa henti.1

Hasilnya? Sistem secara dinamis "menentukan pengaturan sinyal lalu lintas yang paling efisien untuk setiap persimpangan" pada saat itu juga.1 Ini adalah kontrol sinyal lalu lintas yang adaptif.

Kita dapat menggunakan analogi untuk menjelaskan lompatan ini. Lampu lalu lintas tradisional berfungsi seperti metronom yang kaku. Ia mungkin diatur untuk menyala merah setiap 60 detik, tidak peduli apakah jalanan di depannya padat atau benar-benar sepi di jalur persimpangan. Ini sangat tidak efisien.

Sistem yang diusulkan dalam makalah ini mengubah lampu lalu lintas menjadi dirigen orkestra yang hidup dan cerdas. Ia "mendengarkan" (melalui sensor IoT) kepadatan dan ritme "musik" (arus kendaraan) secara real-time.1 Jika jalur utara-selatan padat sementara jalur timur-barat kosong, ia tidak akan membuang waktu berharga memberikan lampu hijau ke jalan yang kosong. Ia akan secara dinamis menyesuaikan tempo (durasi lampu) untuk mengurangi penumpukan, melancarkan arus, dan mencegah "disonansi" (kemacetan total)

Rekomendasi Rute Alternatif Cerdas

Secara bersamaan, langkah kelima adalah "Pemberian Rekomendasi Rute Alternatif".1 Kecerdasan prediktif yang sama digunakan untuk memberikan rekomendasi rute terbaik bagi pengendara individu melalui aplikasi seluler atau sistem navigasi di dalam kendaraan.1

Ini menciptakan sebuah ekosistem lalu lintas yang terkoordinasi. Sistem tidak hanya mengendalikan infrastruktur (lampu lalu lintas), tetapi juga memandu perilaku pengguna (rekomendasi rute). Ketika sistem memprediksi potensi kemacetan 1, ia dapat secara proaktif "memecah" arus lalu lintas sebelum menumpuk dengan menyarankan rute alternatif kepada ribuan pengemudi secara bersamaan.

 

Sistem yang Belajar: Mengapa Uji Coba Sangat Krusial

Sebuah cetak biru, secanggih apa pun, pada akhirnya hanyalah teori di atas kertas. Makalah ini secara realistis mengakui bahwa sistem harus diuji dan divalidasi di dunia nyata yang kacau.

Karena itu, dua langkah terakhir dari pendekatan tujuh langkah sangat penting 1:

  • Langkah 6: Pengujian dan Validasi Sistem. Ini melibatkan pelaksanaan uji coba sistem dalam berbagai skenario untuk mengukur efektivitasnya secara kuantitatif dalam mengurangi kemacetan dan meningkatkan keselamatan.1
  • Langkah 7: Evaluasi Dampak dan Penyesuaian Sistem. Setelah diterapkan, sistem harus terus dikaji dampaknya. Berdasarkan feedback (umpan balik) dan data terbaru, penyesuaian harus dilakukan.1

Kedua langkah ini menegaskan bahwa sistem yang diusulkan bukanlah sistem "pasang dan lupakan". Langkah 1 hingga 5 adalah operasi harian sistem. Langkah 6 dan 7 adalah evolusi sistem.

Ini adalah inti dari machine learning dalam arti sebenarnya. Dengan terus-menerus mengevaluasi (Langkah 7) apakah prediksi (Langkah 3) dan aksinya (Langkah 4) benar-benar mengurangi kemacetan (Langkah 6), sistem belajar dari keberhasilan dan kegagalannya. Algoritma prediktif menjadi lebih pintar, lebih akurat, dan lebih efisien seiring berjalannya waktu. Ini adalah sistem yang benar-benar adaptif.1

 

Dampak Sebenarnya: Siapa yang Diuntungkan dari Jalanan yang Lebih Cerdas?

Jadi, mengapa semua ini penting? Siapa yang pada akhirnya diuntungkan jika cetak biru ini diimplementasikan? Bagian kesimpulan dari makalah ini menguraikan dampak luasnya bagi berbagai pemangku kepentingan.1

1. Masyarakat dan Pengguna Jalan

Penerima manfaat utama adalah warga kota. Dengan mengurangi waktu tunggu dan kemacetan serta meningkatkan keselamatan, visi utamanya adalah menciptakan sistem transportasi yang "lebih cerdas, terhubung, dan berkelanjutan". Pada akhirnya, tujuannya adalah "meningkatkan kualitas hidup warganya".1

2. Transportasi Umum

Makalah ini secara khusus menyoroti dampaknya bagi angkutan publik. Diharapkan sistem ini dapat "membantu masyarakat yang menggunakan transportasi umum untuk memudahkan sopir angkutan dalam memilih [rute]".1 Jika sopir angkutan umum mendapatkan data rute prioritas yang memungkinkan mereka menghindari kemacetan, transportasi publik akan menjadi lebih cepat dan lebih dapat diandalkan. Ini, pada gilirannya, dapat mendorong lebih banyak orang beralih dari kendaraan pribadi, menciptakan lingkaran umpan balik positif (positive feedback loop) yang semakin mengurangi kemacetan.

3. Dunia Bisnis dan Perekonomian

Bagi dunia bisnis, terutama sektor logistik dan pengiriman, dampaknya langsung terasa. Rute yang dapat diprediksi dan waktu tempuh yang lebih singkat berarti operasi yang lebih efisien dan biaya bahan bakar yang lebih rendah.

Namun, makalah ini menyoroti keuntungan finansial yang lebih dalam: model cloud computing itu sendiri.1 Tujuan dari arsitektur cloud adalah untuk "meningkatkan kehandalan, fleksibilitas, dan skalabilitas sistem tanpa meningkatkan biaya komputasi secara signifikan".1

Ini adalah poin krusial. Pemerintah kota tidak perlu "mengurangi investasi pada infrastruktur fisik" yang masif, seperti membangun pusat data yang mahal.1 Mereka dapat "menyewa" kekuatan komputasi sesuai kebutuhan. Ini membebaskan sumber daya untuk "fokus pada pengembangan inovasi serta layanan yang lebih baik bagi pelanggan".1 Dengan kata lain, cetak biru ini bukan hanya cetak biru teknis, tetapi juga cetak biru finansial untuk implementasi smart city yang hemat biaya.

 

Visi Masa Depan dan Pernyataan Dampak Nyata

Pada intinya, implementasi sistem pengelolaan lalu lintas berbasis IoT dan komputasi awan menawarkan solusi yang lebih efisien, terukur (scalable), dan fleksibel untuk menghadapi tantangan transportasi perkotaan yang semakin kompleks.1

Namun, penting untuk menggarisbawahi realisme yang diusung oleh makalah ini. Ini adalah sebuah proposal.1 Seperti yang dipertanyakan oleh penulisnya sendiri di awal, efektivitasnya dalam mengurangi kemacetan dan meningkatkan keselamatan 1 masih harus divalidasi secara ketat melalui pengujian skenario di dunia nyata.1

Jika cetak biru konseptual ini diterapkan dan divalidasi secara penuh, dampaknya akan melampaui sekadar mengurangi waktu tunggu di lampu merah. Kita berbicara tentang sebuah sistem yang dapat secara proaktif mencegah kemacetan sebelum terjadi, mengurangi emisi karbon dengan mengoptimalkan rute (berdasarkan data kualitas udara 1), dan menghemat miliaran rupiah dalam biaya bahan bakar yang terbuang.

Dalam lima tahun penerapan, sistem adaptif yang terus belajar ini dapat menjadi fondasi operasional untuk smart city yang benar-benar cerdas dan berkelanjutan, mengubah arteri kota yang tersumbat menjadi sistem peredaran darah yang mengalir lancar.1

 

Sumber Artikel:

https://doi.org/10.13140/RG.2.2.20028.86402

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Cetak Biru ‘Otak Digital’ untuk Mengurai Kemacetan Kota Besar – Ini Cara Kerjanya!
« First Previous page 66 of 1.336 Next Last »