Teknologi

Studi Ini Mengubah Cara Saya Melihat Keselamatan di Jalan Raya

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 10 November 2025


Jujur saja, saya seorang penggila keselamatan mobil. Selama bertahun-tahun, saya terobsesi dengan crash test rating, jumlah airbag, dan bagaimana chassis baja dapat menyerap benturan. Saya selalu berpikir bahwa "keselamatan jalan" berarti membuat mobil—kotak-kotak baja yang kita kendarai—menjadi benteng yang tidak bisa ditembus. Saat saya mengemudi, dikelilingi oleh sensor, lane-keeping assist, dan blind-spot monitoring, saya merasa aman dalam "gelembung" teknologi saya.

Saya pikir kita telah memecahkan masalah keselamatan. Ternyata, saya salah besar.

Minggu lalu, saya menemukan sebuah paper penelitian dari Swedia yang benar-benar menjungkirbalikkan asumsi saya. Judulnya teknis, "Characteristics of future crashes in Sweden," tapi temuannya adalah sesuatu yang harus dibaca oleh setiap perencana kota, insinyur teknologi, dan, terus terang, siapa pun yang berjalan kaki atau bersepeda.   

Para peneliti ini melakukan sesuatu yang brilian. Mereka pada dasarnya bertindak sebagai peramal, tetapi menggunakan data. Mereka ingin memprediksi seperti apa kecelakaan dan cedera di masa depan (spesifiknya tahun 2020 dan 2030).   

Bayangkan begini: Mereka mengambil data dasar semua cedera kecelakaan di Swedia dari tahun 2014. Kemudian, mereka secara sistematis "mengurangi" jumlah cedera tersebut berdasarkan semua intervensi keselamatan yang direncanakan. Ini termasuk infrastruktur baru seperti pembatas median jalan, dan yang lebih penting, semua teknologi kendaraan canggih yang sedang kita kembangkan—pikirkan Autonomous Emergency Braking (AEB) yang bisa mendeteksi pejalan kaki, Lane Keeping Assist (LKA) yang canggih, dan Electronic Stability Control (ESC) yang lebih baik.   

Logikanya, dengan semua teknologi hebat ini, jumlah cedera di masa depan seharusnya anjlok di semua kategori, bukan?

Nah, di sinilah letak masalahnya.

Paradoks Hebat: Mengapa Teknologi Mobil Terbaik Gagal Melindungi Kita

Temuan inti dari paper ini mengungkap apa yang saya sebut sebagai "Kesenjangan Intervensi" yang masif. Ini adalah sebuah paradoks yang seharusnya membuat kita semua berhenti sejenak.   

Bayangkan Anda adalah seorang raja yang membangun kastil di Abad Pertengahan. Anda menghabiskan 90% anggaran pertahanan untuk membangun tembok benteng yang lebih tinggi, lebih tebal, dan anti-meriam. Dan Anda berhasil! Benteng Anda (yaitu, mobil penumpang) menjadi luar biasa aman. Tidak ada yang bisa menembusnya.

Tapi kemudian Anda menyadari bahwa 80% dari populasi Anda sebenarnya adalah petani dan pedagang yang tinggal di gubuk-gubuk kayu tipis di luar tembok benteng. Dan semua meriam musuh sekarang hanya mengarah ke mereka.

Itulah yang terjadi di jalan raya kita.

  • Di Dalam Benteng (Penumpang Mobil): Untuk orang-orang di dalam mobil, beritanya fantastis. Paper tersebut mengonfirmasi bahwa intervensi yang ada—terutama ESC dan pembatas median jalan—telah sukses luar biasa dalam mengurangi kecelakaan fatal. Studi ini memproyeksikan tren positif ini akan berlanjut. Berkat teknologi yang lebih baik, jumlah cedera serius (PMI1%+) untuk penumpang mobil diperkirakan turun sebesar 28% antara 2014 dan 2030. Kita benar-benar berhasil membuat "benteng" kita lebih aman.   

  • Di Luar Benteng (VRU): Tapi bagaimana dengan semua orang di luar benteng? Para peneliti menyebut mereka VRU (Vulnerable Road Users)—Pengguna Jalan yang Rentan. Ini adalah pengendara sepeda, pejalan kaki, dan pengendara motor. Dan untuk mereka, paper itu memberikan kesimpulan yang brutal: tindakan yang direncanakan "diperkirakan tidak memadai untuk pengguna jalan yang rentan".   

Mengapa kita begitu hebat dalam melindungi satu kelompok tetapi gagal total pada kelompok lain? Jawabannya, ternyata, terletak pada apa yang kita putuskan untuk dihitung.

Berhenti Menghitung Kematian, Mulai Menghitung "Kehidupan yang Berubah"

Ini adalah bagian dari paper yang membuat saya terdiam. Selama beberapa dekade, cara kita mengukur "keselamatan jalan" pada dasarnya salah.

Kita secara historis terfokus pada fatalitas—jumlah orang yang meninggal. Data ini biasanya berasal dari laporan polisi. Dan tebak di mana sebagian besar fatalitas terjadi? Di jalan pedesaan, dalam tabrakan berkecepatan tinggi, yang melibatkan... Anda bisa menebaknya... penumpang mobil. Jadi, secara logis, kita menghabiskan semua uang dan R&D kita untuk memecahkan masalah itu (ESC, pembatas median, airbag).   

Tetapi para peneliti Swedia ini berkata, "Tunggu dulu." Alih-alih hanya menggunakan data polisi tentang kematian, mari kita gunakan data rumah sakit tentang cedera. Dan alih-alih hanya menghitung setiap cedera sebagai "satu", mari kita ukur konsekuensi jangka panjangnya.   

Mereka menggunakan metrik yang mengubah permainan yang disebut RPMIRisk for Permanent Medical Impairment (Risiko Cacat Medis Permanen).   

Dalam bahasa manusiawi, RPMI tidak hanya bertanya, "Apakah Anda terluka?" RPMI bertanya, "Apakah cedera ini akan mengubah hidup Anda selamanya?"

Metrik ini menghitung risiko seseorang menderita cacat permanen 1% atau lebih, yang didefinisikan sebagai "hilangnya fungsi, rasa sakit, dan/atau disfungsi mental". Ini adalah perbedaan antara pergelangan tangan yang terkilir yang sembuh dalam enam minggu, dan pergelangan tangan yang tidak akan pernah bisa Anda gunakan untuk mengangkat cangkir kopi atau menggendong anak Anda lagi.   

Saat Anda mengubah metrik dari kematian menjadi kecacatan permanen, seluruh lanskap masalah berubah total.

Masalah terbesar bukan lagi tabrakan di jalan tol. Masalah terbesarnya adalah kecelakaan yang tampaknya "ringan" di perkotaan yang menghancurkan hidup. Dan siapa yang paling menderita akibat ini? Pengguna Jalan Rentan.   

Apa yang Paling Bikin Saya Terkejut (Ada Dua Hal)

Di sinilah data menjadi benar-benar menakutkan. Ketika para peneliti memproyeksikan data RPMI ini ke tahun 2030 (setelah menerapkan semua teknologi canggih kita), dua kelompok muncul sebagai tantangan keselamatan terbesar di masa depan.

Dan keduanya adalah kelompok yang hampir sepenuhnya diabaikan oleh revolusi teknologi mobil kita.

Musuh Terbesar Pengendara Sepeda... Bukanlah Mobil

Saya selalu berasumsi bahwa bahaya terbesar bagi pengendara sepeda adalah ditabrak mobil. Jadi, saya pikir, teknologi AEB baru yang dapat mendeteksi pengendara sepeda akan menjadi penyelamat.

Saya salah.

Lihatlah data proyeksi 2030 (Gambar 3 di paper). Cedera penumpang mobil anjlok (penurunan 28%). Cedera pengendara sepeda? Jumlahnya nyaris tidak bergerak. Perkiraan penurunannya hanya 4%.   

Empat persen!

Faktanya, pada tahun 2030, pengendara sepeda diproyeksikan menjadi kelompok pengguna jalan dengan cedera serius paling banyak dalam lalu lintas, melampaui penumpang mobil.   

Bagaimana ini bisa terjadi? Bukankah AEB akan menyelamatkan mereka? Nah, inilah twist-nya. Paper tersebut memang memperhitungkan AEB. Dan teknologi itu berhasil! Kecelakaan antara sepeda dan kendaraan bermotor diperkirakan turun 37%.   

Lalu mengapa total cederanya tidak berkurang?

Inilah bomnya, yang tersembunyi di Gambar 6 dari paper tersebut: 79% dari semua cedera sepeda yang parah adalah KECELAKAAN TUNGGAL.   

Baca lagi. Tujuh puluh sembilan persen.

Ini bukan mobil yang menabrak sepeda. Ini adalah orang-orang yang jatuh sendiri. Mereka jatuh karena jalan berlubang, kerikil yang tidak dibersihkan, tambalan aspal yang buruk, trotoar yang retak, atau lapisan es tipis di pagi hari.

Mobil Tesla Anda yang seharga 1 miliar rupiah, dengan semua sensor Lidar dan AI-nya, sama sekali tidak berdaya untuk mencegah 79% dari masalah cedera sepeda yang paling serius. Kita telah dibutakan oleh teknologi. Kita pikir masalahnya adalah "mobil vs sepeda", padahal masalah utamanya adalah "pengendara sepeda vs aspal".

Ancaman Tak Terlihat yang Ditertawakan oleh Industri Keselamatan

Jika Anda pikir data sepeda itu mengejutkan, data pejalan kaki akan membuat Anda marah.

Dalam sebuah langkah radikal, para peneliti ini memasukkan data untuk "pejalan kaki yang jatuh di sistem transportasi jalan tanpa keterlibatan kendaraan".   

Pikirkan tentang ini: nenek Anda terpeleset di trotoar yang membeku saat berjalan ke halte bus. Secara tradisional, kita tidak menyebut ini sebagai "masalah keselamatan lalu lintas". Kita menyebutnya "nasib buruk".

Para peneliti ini menyebutnya sebagai krisis data.

Lihatlah angka-angka baseline tahun 2014 (Tabel I).   

  • Cedera penumpang mobil (MAIS1+): 3.996

  • Cedera pengendara sepeda: 10.736

  • Cedera pejalan kaki jatuh: 11.641

Kelompok "pejalan kaki jatuh" ini sudah menjadi yang terbesar. Itu bahkan sebelum kita berbicara tentang populasi yang menua.   

Dan sekarang, inilah bagian terburuknya. Inilah proyeksi untuk tahun 2030. Ketika para peneliti melihat daftar panjang intervensi keselamatan yang direncanakan—ESC, AEB, LKA, Pembatas Median, dll. (Tabel III) —mereka mencari satu intervensi yang ditujukan untuk mencegah pejalan kaki jatuh.   

Dan mereka tidak menemukan apa-apa.

Saya akan mengutip langsung dari paper karena ini sangat penting: "Karena tidak ada asumsi intervensi keselamatan jalan yang terencana yang menargetkan kelompok ini, tidak ada pengurangan untuk kelompok ini yang diperkirakan".   

NOL.

Tidak ada satu pun dari teknologi miliaran dolar kita yang ditujukan untuk masalah cedera terbesar di sistem transportasi kita.

Lihat saja Gambar 7 di paper. Ini adalah grafik batang yang menunjukkan jumlah cedera pada tahun 2030. Batang untuk "Pejalan Kaki Jatuh" menjulang tinggi di atas segalanya, membuat batang "penumpang mobil" terlihat seperti kesalahan pembulatan statistik.   

Pelajaran yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini

Membaca paper ini seperti disiram air es. Ini mengubah cara saya berpikir tentang data, teknologi, dan apa arti "aman".

Inilah yang saya bawa pulang:

  • 🚀 Hasilnya luar biasa: Teknologi di dalam mobil (seperti ESC dan desain crashworthiness) benar-benar berfungsi. Mereka telah dan akan terus menyelamatkan penumpang mobil dari cedera parah. Penurunan 28% itu nyata dan harus dirayakan.   

  • 🧠 Inovasinya: Inovasi terbesar dalam paper ini bukanlah teknologi; itu adalah metodologi. Keberanian untuk mengubah metrik dari 'fatalitas' (data polisi) menjadi 'RPMI' (cacat permanen dari data rumah sakit) adalah tindakan jenius. Ini adalah contoh sempurna tentang bagaimana data, jika dilihat dengan cara yang benar, dapat mengungkap kebenaran yang tersembunyi.   

  • 💡 Pelajaran: Kita terjebak dalam pola pikir 'melindungi mobil'. Masa depan keselamatan adalah merancang sistem holistik untuk semua orang. Seperti yang disimpulkan paper ini, kita perlu "mendefinisikan sistem keselamatan untuk pengguna jalan yang rentan".   

Opini Pribadi & Kritik Halus Saya

Meskipun temuan ini mengubah paradigma, metode analisisnya sendiri memiliki beberapa kelemahan, yang secara jujur diakui oleh penulis di bagian "Diskusi".   

Pertama, model mereka adalah "metode deterministik," bukan "prediksi statistik sejati". Dalam bahasa manusiawi, ini lebih merupakan perhitungan "bagaimana-jika" raksasa daripada ramalan yang pasti. Keakuratannya sepenuhnya bergantung pada asumsi yang mereka buat tentang seberapa efektif teknologi masa depan (misalnya, AEB akan mengurangi tabrakan X sebesar 50%) dan seberapa cepat teknologi itu akan diadopsi oleh masyarakat.   

Kedua, mereka mengakui bahwa ini adalah skenario "bisnis seperti biasa" (business-as-usual). Model ini tidak memperhitungkan guncangan tak terduga. Ini ditulis pada tahun 2016. Model ini tidak tahu tentang pandemi COVID-19 yang mengubah pola lalu lintas, atau ledakan e-scooter yang tiba-tiba, yang menciptakan kategori VRU baru yang sangat berbahaya. Hal ini membuat proyeksi 2030 mereka terasa agak rapuh dan terlalu abstrak, meskipun saya yakin arah umumnya 100% benar.   

Menghubungkan ke Keterampilan

Wawasan seperti ini—menemukan bahwa 79% cedera sepeda adalah kecelakaan tunggal—tidak muncul begitu saja. Itu datang dari kemampuan untuk menggali data mentah dan menantang asumsi yang ada. Ini adalah inti dari apa yang dilakukan oleh analisis data.   

Kemampuan untuk tidak hanya melaporkan angka ("cedera sepeda tidak turun") tetapi juga menggali mengapa ("karena itu kecelakaan tunggal, bukan tabrakan mobil") adalah yang membedakan seorang analis sejati. Jika Anda tertarik untuk belajar bagaimana menemukan cerita tersembunyi di balik angka-angka di bidang Anda sendiri, kursus seperti(https://diklatkerja.com/course/big-data-analytics-data-visualization-and-data-science/) adalah tempat yang luar biasa untuk memulai.   

Kesimpulan: Kita Ingin Kota yang Sehat, Tapi Apakah Kita Siap Membayar Harga Keselamatannya?

Inilah ironi terakhir yang diangkat oleh paper ini, yang paling melekat pada saya.

Para penulis mencatat bahwa Swedia, seperti kebanyakan negara maju, secara aktif mendorong warganya untuk beralih ke "moda transportasi yang lebih ramah lingkungan dan mempromosikan kesehatan" seperti bersepeda.   

Pikirkan tentang paradoks kebijakan ini sejenak.

Kita, sebagai masyarakat, secara aktif mendorong orang untuk keluar dari lingkungan yang relatif aman (mobil, dengan penurunan risiko cedera 28%) dan masuk ke lingkungan yang jauh lebih berbahaya (sepeda, dengan penurunan risiko cedera hanya 4%).   

Para penulis memberikan peringatan keras: "sangat penting untuk tidak menukar manfaat dan kerugian satu sama lain". Kita tidak bisa mempromosikan bersepeda untuk kesehatan jangka panjang jika itu berarti kita mengabaikan epidemi cedera traumatis jangka pendek.   

Kita membutuhkan pendekatan holistik.   

Masa depan keselamatan jalan raya tidak akan ditemukan di dalam chip silikon mobil otonom. Itu akan ditemukan dalam hal-hal yang membosankan namun sangat penting: kualitas aspal di jalur sepeda. Pembersihan salju dan es di trotoar. Desain trotoar yang lebih baik yang tidak membuat orang tersandung. Pencahayaan kota yang lebih baik.

Kita telah menghabiskan 50 tahun terakhir untuk membangun benteng yang luar biasa bagi mobil. Sekarang saatnya untuk akhirnya mulai melindungi orang-orang yang tinggal di luarnya.

Ini baru permukaan. Kalau kamu tertarik dengan data mentah dan ingin melihat analisis lengkapnya—terutama Tabel III yang merinci setiap intervensi dan asumsi efektivitasnya—coba baca paper aslinya.

(http://www.ircobi.org/wordpress/downloads/irc16/pdf-files/15.pdf)

Selengkapnya
Studi Ini Mengubah Cara Saya Melihat Keselamatan di Jalan Raya

Teknologi AI

Menyatukan Baja dan Algoritma: Strategi Fusi Industri di Era AI

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 08 November 2025


Dalam dua dekade terakhir, dunia industri mengalami pergeseran mendasar: dari ketergantungan pada efisiensi mekanik menuju integrasi kecerdasan digital. Artikel “Heavy Machinery Meets AI” karya Vijay Govindarajan dan Venkat Venkatraman menggambarkan transformasi ini dengan tajam—bahwa keunggulan masa depan tidak lagi ditentukan oleh kepemilikan aset fisik, melainkan oleh kemampuan menggabungkan steel and silicon, antara mesin analog dan kecerdasan buatan.

Perusahaan seperti Deere & Company, produsen alat pertanian berusia hampir dua abad, menunjukkan bagaimana fusi ini mengubah cara nilai diciptakan. Dari traktor otonom hingga sistem penyemprot cerdas See & Spray, Deere bukan sekadar menjual mesin, melainkan membangun ekosistem data yang memantau jutaan hektar lahan pertanian secara real time. Data tersebut menjadi bahan bakar bagi algoritma pembelajaran mesin yang meningkatkan efisiensi, mengurangi penggunaan pestisida, dan mengoptimalkan hasil panen.

Kisah seperti ini menandai babak baru industri berat: era fusi antara produk fisik dan kecerdasan digital. Bagi Indonesia—dengan basis industri manufaktur, pertambangan, dan alat berat yang kuat—paradigma ini membuka peluang sekaligus tantangan besar.

Dari Internet of Things ke Strategi Fusi

Banyak pelaku industri menganggap digitalisasi sekadar pemasangan sensor atau sistem pemantauan daring, mirip dengan konsep Internet of Things (IoT). Namun, strategi fusi jauh melampaui itu. IoT berfokus pada pengumpulan data, sementara strategi fusi menekankan penggunaan data secara aktif untuk menciptakan nilai baru dan meningkatkan kinerja produk di lapangan.

Dalam strategi fusi, tanggung jawab tidak lagi terbatas pada departemen operasional, tetapi menjadi kolaborasi lintas fungsi antara teknologi, desain, layanan pelanggan, dan kepemimpinan strategis. Tujuannya adalah menciptakan siklus inovasi berkelanjutan: produk menghasilkan data, data memberi wawasan, dan wawasan memperbarui produk.

Bagi industri manufaktur Indonesia, ini berarti perubahan besar dalam cara berpikir. Digitalisasi bukan hanya proyek TI, tetapi strategi bisnis utama. Integrasi sensor, kecerdasan buatan, dan analitik prediktif harus diarahkan untuk memberikan nilai nyata bagi pengguna akhir, seperti produktivitas, keamanan, dan efisiensi biaya.

Empat Pilar Strategi Fusi

Govindarajan dan Venkatraman mengidentifikasi empat bentuk strategi fusi yang menjadi fondasi bagi industri modern:

  1. Fusion Products
    Produk dirancang dari awal untuk memanfaatkan data dan AI. Contohnya, Tesla menciptakan “komputer di atas roda” dengan kemampuan memantau performa kendaraan dan melakukan pembaruan perangkat lunak secara langsung.
    Di Indonesia, pendekatan ini bisa diterapkan pada sektor otomotif, alat berat, dan pertanian cerdas (smart farming). Misalnya, traktor produksi dalam negeri yang dilengkapi sensor tanah dan cuaca dapat memberikan rekomendasi otomatis bagi petani kecil.

  2. Fusion Services
    Layanan berbasis AI menggantikan layanan manual. Rolls-Royce menggunakan AI untuk menganalisis data mesin pesawat dan menghemat biaya operasional hingga ratusan juta dolar.
    BUMN seperti PT Dirgantara Indonesia atau PT INKA dapat mengadopsi model serupa untuk layanan purna jual dan perawatan prediktif.

  3. Fusion Systems
    Sistem yang menghubungkan berbagai mesin dan perangkat dari banyak produsen. Contoh ekstremnya adalah integrasi sistem fasilitas Burj Khalifa oleh Honeywell yang menurunkan waktu perawatan hingga 40%.
    Untuk konteks nasional, pendekatan sistemik seperti ini dapat diterapkan dalam proyek infrastruktur besar—bandara, pelabuhan, atau kawasan industri—dengan mengintegrasikan sensor, energi, dan data operasional.

  4. Fusion Solutions
    Merupakan puncak dari strategi fusi—menggabungkan produk, layanan, dan sistem menjadi solusi holistik yang memecahkan masalah pelanggan secara menyeluruh. Di sektor agrikultur, Deere berkolaborasi dengan perusahaan analitik seperti Granular untuk membantu petani merencanakan panen, biaya, dan profit. Indonesia bisa meniru model ini untuk membangun ecosystem solution antara produsen alat, lembaga riset, dan startup agritech.

Implikasi untuk Industri Indonesia

Indonesia memiliki fondasi kuat untuk menerapkan strategi fusi, terutama melalui program Making Indonesia 4.0.
Namun, masih ada tantangan besar:

  • Kesenjangan digitalisasi antar industri. Banyak pabrik masih beroperasi secara manual tanpa sistem data terintegrasi.

  • Kurangnya tenaga ahli AI industri. SDM teknik belum terbiasa dengan kolaborasi data dan algoritma.

  • Model bisnis tradisional. Fokus masih pada penjualan produk, bukan pada layanan berbasis data.

Untuk mengatasinya, Indonesia perlu mendorong kolaborasi lintas sektor: industri, universitas, dan pemerintah.
Strategi fusi menuntut pendekatan ekosistem, bukan individual. Misalnya, integrasi antara produsen alat berat (seperti Pindad atau Komatsu Indonesia) dengan penyedia cloud lokal dan startup AI dapat menciptakan fusion ecosystem yang memajukan daya saing global.

Selain itu, kebijakan nasional perlu mengakomodasi keamanan data industri, interoperabilitas sistem, dan insentif bagi perusahaan yang berinvestasi dalam R&D berbasis AI.

Kesimpulan

Strategi fusi bukan hanya tren digital, melainkan fondasi baru bagi keunggulan industri abad ke-21. Dengan menggabungkan kecanggihan mesin fisik dan kecerdasan buatan, perusahaan tidak lagi menjual alat, tetapi menjual kemampuan untuk belajar dan beradaptasi.

Bagi Indonesia, menerapkan strategi ini berarti memperkuat posisi dalam rantai nilai global, mempercepat transformasi manufaktur, dan membangun industri yang berdaya tahan terhadap disrupsi teknologi. Masa depan industri berat bukan lagi soal logam yang kuat, tetapi tentang seberapa cerdas logam itu memahami dunia di sekitarnya.

 

Daftar Pustaka

Govindarajan, V., & Venkatraman, V. (2024). Heavy machinery meets AI. Harvard Business Review, 102(3), 256–273.

Ministry of Industry of the Republic of Indonesia. (2023). Making Indonesia 4.0 roadmap: Accelerating industrial transformation. Jakarta: Kementerian Perindustrian RI.

World Economic Forum. (2024). Industrial transformation with AI and digital twins. Geneva: WEF.

OECD. (2023). AI and productivity in manufacturing: Policy approaches for inclusive digitalization. Paris: OECD Publishing.

Kominfo. (2023). Laporan tahunan transformasi digital sektor industri 2023. Jakarta: Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia.

International Federation of Robotics. (2024). World robotics report 2024: Industrial automation and AI convergence. Frankfurt: IFR.

Selengkapnya
Menyatukan Baja dan Algoritma: Strategi Fusi Industri di Era AI

Analisis Data

Data sebagai Produk: Strategi Baru bagi Organisasi Indonesia dalam Menciptakan Nilai Digital

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 08 November 2025


Banyak organisasi di Indonesia telah berinvestasi besar dalam sistem data—mulai dari data lake, sensor IoT, hingga analitik berbasis AI. Namun, hasilnya sering kali belum sepadan dengan besarnya investasi. Seperti diuraikan oleh Veeral Desai dan koleganya dalam Harvard Business Review, permasalahan utama bukan terletak pada kurangnya data, melainkan pada cara organisasi memperlakukannya. Alih-alih menjadikan data sebagai aset yang siap digunakan, banyak organisasi masih memperlakukannya sebagai “produk sampingan” dari operasional.

Dalam praktik terbaik dunia, pendekatan baru muncul: memperlakukan data sebagai produk (data as a product). Konsep ini memandang data sebagai entitas bernilai yang memiliki siklus hidup, pengguna, dan ukuran kinerja tersendiri. Pendekatan ini membantu organisasi menghasilkan nilai jangka pendek sekaligus membangun fondasi pemanfaatan data berkelanjutan.

 

Data sebagai Produk: Mengubah Paradigma Lama

Pendekatan tradisional sering terjebak dalam dua ekstrem: proyek besar terpusat yang lambat (big bang approach) atau proyek kecil yang terfragmentasi antar tim. Keduanya gagal menciptakan nilai yang konsisten. Sebaliknya, memperlakukan data sebagai produk berarti mengembangkan set data yang siap pakai, terstandar, dan dapat digunakan lintas aplikasi—mirip dengan produk komersial yang memiliki pengguna dan pembaruan berkala.

Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini bisa diadaptasi oleh BUMN dan lembaga publik yang mengelola data lintas sektor.
Misalnya, data pelanggan di sektor energi atau transportasi dapat dikemas menjadi data product yang dapat digunakan oleh divisi pemasaran, perencanaan, dan layanan pelanggan tanpa perlu membangun ulang sistem data masing-masing.
Hal ini tidak hanya menghemat biaya, tetapi juga mempercepat inovasi internal.

 

Lima Pola Konsumsi Data dalam Organisasi

Desai dan koleganya mengidentifikasi lima pola utama (consumption archetypes) yang menjelaskan bagaimana data digunakan di dalam organisasi:

  1. Aplikasi Digital – memerlukan data real-time untuk mendukung operasi, misalnya sistem pelacakan logistik atau aplikasi pelanggan.

  2. Analitik Lanjutan (AI/ML) – membutuhkan data yang bersih dan terstruktur agar algoritma dapat berjalan efektif.

  3. Pelaporan dan Kepatuhan – memerlukan data yang diaudit, lengkap, dan akurat untuk laporan internal maupun regulator.

  4. Sandbox Penemuan – area eksperimen bagi tim data untuk menjajaki pola baru dan peluang inovasi.

  5. Berbagi Data Eksternal – berbasis kolaborasi antar organisasi, seperti berbagi data fraud antar bank atau rantai pasok antara produsen dan pemasok.

Kelima pola ini dapat ditemukan di banyak organisasi Indonesia, dari perbankan hingga manufaktur. Tantangannya adalah menyatukan arsitektur data agar mendukung semua pola tersebut secara efisien dan aman.

 

Mengelola Data Produk dan Pusat Keunggulan

Untuk menjalankan konsep ini, setiap data product harus dikelola oleh manajer produk data (data product manager)—peran baru yang memadukan keahlian teknis dan pemahaman bisnis. Mereka bertanggung jawab memastikan data memiliki kualitas, konsistensi, dan kemudahan akses. Selain itu, organisasi perlu memiliki pusat keunggulan data (data excellence center) yang berfungsi menetapkan standar, desain arsitektur, serta praktik terbaik dalam dokumentasi, audit, dan tata kelola.

Contoh sukses dapat dilihat dari sebuah perusahaan telekomunikasi global yang menerapkan sistem ini. Dengan mengelola data jaringan sebagai produk, perusahaan mampu mendukung lebih dari 150 kasus penggunaan dalam tiga tahun, menghasilkan miliaran dolar efisiensi dan pendapatan baru.
Pendekatan serupa bisa diterapkan di sektor telekomunikasi Indonesia untuk mempercepat transformasi digital yang berkelanjutan.

 

Tantangan dan Arah Implementasi di Indonesia

Implementasi data as a product di Indonesia menghadapi sejumlah kendala khas:

  • Kualitas dan fragmentasi data akibat sistem lama yang belum terintegrasi.

  • Kurangnya tenaga ahli data engineering dan product ownership.

  • Budaya organisasi yang belum terbiasa dengan pendekatan lintas fungsi.

  • Ketidakjelasan metrik nilai data, yang membuat proyek data sulit diukur dampaknya.

Untuk mengatasinya, organisasi perlu mengadopsi pendekatan bertahap:

  1. Mulai dari unit bisnis dengan kesiapan data tinggi.

  2. Pilih kasus penggunaan dengan potensi nilai cepat (misalnya penghematan biaya operasional).

  3. Bentuk tim lintas fungsi dengan peran teknis dan bisnis yang seimbang.

  4. Ukur dampak setiap data product agar dapat menjustifikasi pengembangan berikutnya.

 

Penutup

Mengelola data seperti produk adalah langkah penting untuk menjadikan data sebagai motor pertumbuhan dan inovasi. Dengan pendekatan ini, organisasi tidak hanya menghemat biaya pengelolaan data hingga 30%, tetapi juga mempercepat waktu penerapan hingga 90%.

Bagi Indonesia, terutama bagi BUMN dan sektor publik, ini berarti membangun tata kelola data yang tangguh, memperkuat kepercayaan terhadap data nasional, dan mempercepat visi transformasi digital yang berkelanjutan.
Data bukan lagi sekadar aset teknis — ia adalah produk strategis yang menentukan keunggulan kompetitif masa depan.

 

Daftar Pustaka

Desai, V., Fountaine, T., & Rowshankish, K. (2022). A better way to put your data to work. Harvard Business Review, 100(4), 239–255.

World Bank. (2023). Data governance for development: Unlocking public value through responsible data use. Washington, DC: World Bank.

OECD. (2022). Data-driven public sector: Enabling the digital transformation of government. Paris: OECD Publishing.

Kementerian Kominfo RI. (2023). Panduan tata kelola data sektor publik dan interoperabilitas nasional. Jakarta: Kominfo.

Selengkapnya
Data sebagai Produk: Strategi Baru bagi Organisasi Indonesia dalam Menciptakan Nilai Digital

Ekonomi

Kembang Api PDB atau Akar Ekonomi? Pilihan Jangka Panjang Indonesia

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 08 November 2025


Penulis: cakHP (Heru Prabowo)


Setiap kali Badan Pusat Statistik mengumumkan pertumbuhan PDB, headline media langsung ramai: ekonomi tumbuh 5%, inflasi terkendali, atau surplus perdagangan berlanjut. Kita bersorak seolah semua masalah selesai. Tapi benarkah demikian? Pertumbuhan sesaat bisa membuat kita bangga, tetapi apakah ia cukup untuk membawa Indonesia keluar dari middle income trap?

Pertanyaan mendasar muncul: apakah kita puas dengan pertumbuhan jangka pendek, atau berani melakukan restrukturisasi ekonomi jangka panjang?

📌
Mesin Pertumbuhan Jangka Pendek

Kerangka GDP = C + I + G + (X – M) menjelaskan empat mesin utama penggerak ekonomi.

Konsumsi (C):

- Konsumsi rumah tangga menyumbang 53–55% PDB Indonesia.

Artinya, lebih dari separuh pertumbuhan kita ditopang oleh belanja masyarakat.

Tapi apakah aman bergantung pada konsumsi semata? Pada 2022, inflasi pangan sempat menembus 5,5%, memukul daya beli masyarakat berpendapatan rendah. Optimisme konsumen bisa cepat hilang jika harga beras dan energi naik.

Investasi (I) :

- Porsinya sekitar 30–33% PDB.

- Realisasi Penanaman Modal Asing (PMA) pada 2023 mencapai Rp 744 triliun, naik dari tahun sebelumnya.

Namun, investasi jangka panjang butuh kepastian hukum. Bagaimana mungkin investor global mau menanam modal puluhan tahun jika regulasi bisa berubah dalam hitungan bulan?

Belanja Pemerintah (G) :

- Menyumbang 8–10% PDB.

- Pada 2020, saat pandemi, APBN berperan besar: defisit fiskal melebar ke 6,1% PDB demi menyelamatkan ekonomi.

Namun setiap tahun kita mendengar keluhan sama: serapan anggaran lambat, proyek produktif kalah dari belanja rutin. Apakah kita hanya pandai mengalokasikan, tapi tidak mampu merealisasikan?

Ekspor Neto (X – M):

- Tahun 2022, Indonesia menikmati surplus perdagangan terbesar sepanjang sejarah: USD 54,5 miliar—berkat harga batu bara, CPO, dan nikel yang melambung.

- Tetapi pada 2023, surplus turun jadi USD 36,9 miliar seiring turunnya harga komoditas. Bukankah ini bukti bahwa kita masih seperti penumpang roller coaster harga global?

📌
Fondasi Struktural: Jalan yang Lebih Sulit

Pertumbuhan jangka pendek ibarat kembang api — indah, tapi cepat padam. Fondasi struktural adalah akar pohon — tak terlihat, tapi menentukan apakah kita sanggup bertahan menghadapi badai.

Produktivitas Tenaga Kerja:

- Produktivitas pekerja Indonesia hanya sekitar USD 25.000 per pekerja per tahun (data ILO, 2022), jauh di bawah Korea Selatan (USD 80.000) atau Malaysia (USD 55.000).

Bonus demografi bisa menjadi berkah, tapi tanpa skill dan kesehatan memadai, ia berubah jadi bom waktu pengangguran.

Transformasi Industri:

- Kontribusi manufaktur terhadap PDB Indonesia stagnan di kisaran 19–20% sejak awal 2000-an.

- Bandingkan dengan Vietnam: sektor manufakturnya melonjak dari 17% (2005) ke 25% (2022), menjadikan negara itu basis ekspor elektronik dunia.

Pertanyaannya: maukah kita tetap menjual CPO mentah dan batu bara, sementara tetangga menjual semikonduktor dan smartphone?

Inovasi & Teknologi:

- Belanja riset Indonesia hanya 0,23% PDB (UNESCO, 2021). Korea Selatan? 4,8%. China? 2,4%.

Selama kita hanya mengimpor teknologi, kapan kita akan menjadi pencipta, bukan sekadar pengguna?

Kepastian Politik & Hukum:

- Indeks Persepsi Korupsi Indonesia masih 34/100 (2023, Transparency International)—tergolong rendah.

Padahal, tanpa kepastian hukum, investasi strategis jangka panjang sulit bertahan. Bukankah fondasi ekonomi kuat tidak mungkin tumbuh di atas tanah hukum yang rapuh?

📌
Studi Kasus: Belajar dari Dunia

🔖1. Korea Selatan

1960-an: PDB per kapita hanya USD 158—lebih rendah dari Ghana saat itu.

Kini: USD 33.000 (2022).

Rahasianya? Industrialisasi agresif, investasi pendidikan, dan konsistensi lintas rezim. Mereka memilih jalan restrukturisasi, bukan sekadar angka pertumbuhan.

🔖 2. Brasil

Awal 2000-an: dipuji sebagai raksasa baru berkat booming komoditas.

2015–2016: ekonomi jatuh ke resesi terdalam, kontraksi -3,5%, karena gagal diversifikasi industri.

Pelajaran: bergantung pada komoditas ibarat mengikat masa depan pada harga global yang tak bisa kita kendalikan.

🔖 3. China

Sejak 1978, rata-rata pertumbuhan 9–10% per tahun.

Tapi mereka tidak berhenti di situ: lewat Made in China 2025, China menargetkan dominasi di AI, kendaraan listrik, dan semikonduktor.

Mereka membuktikan: pertumbuhan jangka pendek bisa dijalankan bersamaan dengan restrukturisasi jangka panjang.

🔖 4. Indonesia Sendiri

1970-an: ekonomi tumbuh pesat berkat booming minyak.

1980-an: harga minyak jatuh, APBN terguncang, utang menumpuk.

Reformasi 1998 melahirkan stabilitas makro, tapi sejak 2000-an, industri manufaktur stagnan.

Sementara itu, Vietnam melesat, ekspor manufakturnya menembus USD 371 miliar (2022), hampir dua kali lipat Indonesia (USD 223 miliar).

📌
Dilema Indonesia

Pertanyaannya sederhana tapi tajam: apakah kita puas menyalakan kembang api pertumbuhan PDB tiap kuartal, atau kita berani menanam pohon ekonomi yang akarnya kuat?

Pertumbuhan jangka pendek memberi stabilitas politik, tapi restrukturisasi memberi daya tahan lintas generasi. Kita tidak bisa selamanya bersembunyi di balik surplus komoditas, apalagi membiarkan bonus demografi lewat begitu saja.

✍️
Penutup

Mengejar angka PDB jangka pendek penting —bia menjaga stabilitas, membangun optimisme, dan memberi ruang fiskal. Tetapi tanpa restrukturisasi, semua itu rapuh. Indonesia perlu keberanian politik untuk menyeimbangkan keduanya: menjaga mesin pertumbuhan tetap hidup, sambil menanam fondasi produktivitas, inovasi, dan industrialisasi.

Karena pada akhirnya, pertumbuhan sejati bukanlah soal seberapa cepat kita berlari, melainkan seberapa kokoh tanah yang kita pijak.

Selengkapnya
Kembang Api PDB atau Akar Ekonomi? Pilihan Jangka Panjang Indonesia

Ekonomi

Dari 6 ke 8 % : Target Ambisius Menkeu Purbaya Menggenjot Pertumbuhan Ekonomi

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 08 November 2025


Penulis: cakHP

Dari 6 ke 8 % : Target Ambisius Menkeu Purbaya Menggenjot Pertumbuhan Ekonomi

Beberapa hari setelah dilantik, Menteri Keuangan Purbaya langsung meluncurkan kebijakan yang memicu perdebatan: memindahkan dana mengendap pemerintah sebesar Rp200 triliun dari Bank Indonesia ke bank-bank pelat merah. Langkah ini dianggap berani — bahkan nekad oleh sebagian kalangan — karena menyentuh langsung jantung sistem keuangan. Tujuannya jelas: agar uang negara tidak lagi “tidur” di rekening BI, tetapi bergerak ke sektor riil, memicu kredit, dan mendongkrak pertumbuhan.

Purbaya membawa target ambisius. Tahun ini ia ingin pertumbuhan ekonomi kembali menembus di atas 6%, level yang pernah kita nikmati pada era Presiden SBY. Selanjutnya, ia berkomitmen mewujudkan janji Presiden Prabowo: membawa Indonesia menuju pertumbuhan 8% dalam beberapa tahun ke depan. Mungkinkah?

📌

Belajar dari Masa Lalu

Kilas balik ke periode 2007–2011, Indonesia memang sempat menikmati pertumbuhan di kisaran 6–6,5%. Kombinasi harga komoditas yang melambung, stabilitas makro, dan reformasi fiskal memberi ruang gerak besar bagi pemerintah kala itu. Namun konteks saat ini berbeda. Dunia sedang menghadapi perlambatan ekonomi global, suku bunga tinggi, serta ketidakpastian geopolitik. Singkatnya, kita tak bisa lagi mengandalkan keberuntungan siklus komoditas.

Maka, strategi Purbaya harus berbeda: bertumpu pada inovasi fiskal, penyaluran kredit produktif, dan transformasi struktural yang nyata.

📌

Senjata Baru: Dana Rp200 Triliun

Poin kuncinya adalah bagaimana mengelola dana Rp200 triliun yang selama ini mengendap di BI. Sri Mulyani sebelumnya enggan memindahkannya, karena alasan kehati-hatian fiskal dan stabilitas moneter. Purbaya memilih jalan berbeda: dana ini diparkir di bank BUMN dengan mandat menyalurkan ke sektor produktif.

Risikonya tentu ada. Jika bank hanya menggunakan dana ini untuk membeli surat utang atau ditempatkan kembali ke instrumen aman, maka tak ada bedanya dengan dibiarkan tidur di BI. Namun jika diarahkan dengan presisi, dana ini bisa menjadi “bensin” bagi mesin ekonomi.

5️⃣🚩

Lima Sektor Prioritas

Pemerintah menetapkan lima sektor prioritas sebagai tujuan penyaluran kredit produktif. Pilihan ini bukan kebetulan, karena kelimanya dianggap punya multiplier effect tinggi dan menyerap banyak tenaga kerja:

1. UMKM dan koperasi: Tulang punggung perekonomian, menyerap lebih dari 97% tenaga kerja. Tambahan kredit akan langsung mengalir ke konsumsi rumah tangga dan memperkuat daya beli.

2. Industri manufaktur & hilirisasi: Mesin industrialisasi, kunci substitusi impor dan peningkatan nilai tambah dalam negeri.

3. Pertanian, perikanan, dan pangan: Penopang ketahanan pangan, sekaligus faktor penentu stabilitas inflasi.

4. Energi terbarukan & infrastruktur hijau: Investasi jangka panjang untuk meningkatkan produktivitas dan mempersiapkan transisi energi.

5. Digital & teknologi: Pendorong transformasi struktural, membuat UMKM naik kelas dan meningkatkan daya saing global.

🚩📊

Simulasi / Skenario Dampak

Dengan baseline pertumbuhan Indonesia di sekitar 5,2%, seberapa besar tambahan yang bisa dihasilkan? Beberapa simulasi konservatif menunjukkan bahwa dengan dana Rp200 triliun, leverage kredit 1,5–2 kali lipat, dan multiplier sektoral, tambahan pertumbuhan yang mungkin tercipta adalah sekitar 1,5–2 poin persentase.

Artinya, pertumbuhan bisa terdongkrak dari baseline 5,2% menjadi 6,6–7,2% hanya dalam tahun pertama, asalkan penyaluran dilakukan cepat dan tepat sasaran.

Untuk jangka menengah, jika proyek manufaktur dan infrastruktur hijau sudah rampung, dampaknya bisa lebih besar. Pada tahun kedua dan ketiga, pertumbuhan berpotensi mendekati 8%, terutama jika dibarengi reformasi struktural dan dukungan investasi swasta.

📌

Syarat Keberhasilan

Tentu saja, target ini tidak bisa dicapai hanya dengan menaruh dana di bank. Ada sejumlah syarat penting yang menentukan apakah strategi ini sukses atau justru berisiko gagal:

1. Leverage efektif: Dana pemerintah harus mampu menarik dana tambahan dari sektor swasta, lembaga pembiayaan internasional, hingga green bonds. Tanpa leverage, dampaknya akan terbatas.

2. Pengendalian risiko kredit: Pemerintah perlu berbagi risiko dengan bank melalui penjaminan selektif, agar bank berani menyalurkan kredit ke sektor produktif yang dianggap berisiko tinggi.

3. Larangan parkir ulang: Bank tidak boleh sekadar memarkir dana ini kembali ke surat utang negara. Harus ada aturan ketat bahwa dana benar-benar mengalir ke sektor riil.

4. Pipeline proyek siap dibiayai: Proyek manufaktur, pangan, hingga energi terbarukan harus sudah siap secara perizinan dan studi kelayakan, sehingga dana bisa langsung terserap.

5. Monitoring dan transparansi: Publik perlu tahu realisasi penyaluran, sektor yang mendapat pembiayaan, jumlah tenaga kerja tercipta, hingga dampak ke emisi karbon.

📌📊

Strategi Jangka Pendek dan Jangka Panjang

Untuk target jangka pendek menembus 6% pertumbuhan tahun ini, strategi yang paling masuk akal adalah fokus pada UMKM, koperasi, dan sektor pangan. Kedua sektor ini punya efek cepat karena sifatnya padat karya dan langsung menyentuh konsumsi masyarakat.

Sementara untuk target jangka menengah mencapai 8%, strategi harus bergeser ke manufaktur dan infrastruktur hijau. Keduanya memang butuh waktu lebih lama karena proses konstruksi dan industrialisasi tidak bisa instan, tetapi begitu beroperasi, kontribusinya besar terhadap PDB.

📌

Risiko yang Harus Dijaga

Setiap kebijakan besar pasti membawa risiko. Pertama, risiko moral hazard jika bank atau debitur menggunakan dana tidak sesuai tujuan. Kedua, risiko inflasi jika penyaluran terlalu cepat ke konsumsi tanpa diimbangi produksi. Ketiga, risiko stabilitas moneter, karena dana yang keluar dari BI membuat kontrol likuiditas lebih menantang.

Namun risiko bisa diminimalkan dengan tata kelola yang ketat, transparansi, dan koordinasi erat dengan BI dan OJK.

✍️

Penutup: Antara Realisme dan Harapan

Target pertumbuhan 6% lebih pada tahun ini mungkin bisa dicapai dengan kombinasi kebijakan fiskal ekspansif dan penyaluran kredit produktif. Target 8% jelas lebih menantang, tapi bukan mustahil jika industrialisasi, hilirisasi, dan transisi energi benar-benar dijalankan.

Menteri Keuangan Purbaya sudah menyalakan mesin. Kini pertanyaannya bukan lagi apakah dana Rp200 triliun bisa menggerakkan ekonomi, melainkan apakah kita mampu mengarahkan energi ini ke jalur yang benar. Jika berhasil, Indonesia akan mengulang bahkan melampaui capaian era keemasan SBY, kali ini dengan fondasi ekonomi yang lebih berkelanjutan dan inklusif.

.

Selengkapnya
Dari 6 ke 8 % : Target Ambisius Menkeu Purbaya Menggenjot Pertumbuhan Ekonomi

Ekonomi

Dar-Der-Dor Likuiditas: Membongkar Filsafat Ekonomi di Balik Jurus Purbaya

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 08 November 2025


Penulis: cakHP (Heru Prabowo)

 

☕  Teori besar ekonomi dibedah dengan bahasa warung kopi supaya rakyat ikut paham dan bisa menagih kebijakan yang adil.

🍃

Pembuka: Dari Warung Kopi ke Ruang Rapat

Purbaya Yudi Sadewa, Menteri Keuangan yang belakangan sering viral, punya cara unik menjelaskan ekonomi: bukan dengan grafik rumit, melainkan logika warung kopi. Baginya, ekonomi itu seperti irigasi. Air harus mengalir sampai ke sawah. Kalau airnya berhenti di bendungan, padi tak tumbuh, dapur pun sepi. Begitu pula ekonomi: kalau uang negara menumpuk di Bank Indonesia (BI) dan bank lebih suka menaruh dana di BI, arus ke rakyat dan pengusaha mengecil. Maka sawah (usaha) mengering, pendapatan seret, dan harga-harga terasa menekan.

Esai ini mencoba membedah jurus dar-der-dor Purbaya dengan alur yang rapi: (Dar) masalahnya apa, (Der) solusinya bagaimana, (Dor) risikonya apa dan bagaimana diantisipasi. Sepanjang jalan, kita kaitkan dengan teori ekonomi — tanpa membuat dahi berkerut.

.

🎯🏇

Dar — Masalah: Likuiditas Tersumbat dan Mesin Ganda yang Tak Sinkron

Inti masalah: uang beredar (likuiditas) tidak mengalir sampai ke sektor riil karena dua simpul:

1. Fiskal: Pemerintah menarik pajak, tetapi sebagian dana “parkir” di BI—aliran ke proyek, gaji, dan belanja barang/jasa tertunda;

2. Moneter: BI memberi imbal hasil menarik bagi simpanan bank (aman, tanpa risiko), sehingga bank cenderung menaruh dana di BI daripada menyalurkan kredit.

Dalam bahasa irigasi : pintu air di hulu dibuka setengah, pintu di hilir ditutup rapat. Sawah di tengah kekeringan.

Landasan teoritis yang nyambung:

▪️ Keynesian: saat permintaan lemah, pemerintah harus mendorong belanja agar produksi dan kerja bangkit.

▪️ Endogenous money: uang “lahir” ketika bank memberi kredit; jika insentif bank buruk, kelahiran uang terhambat.

Kait ke Purbaya: Ia menyimpulkan, jika kita ingin dagang laku, gaji naik, dan usaha hidup, maka sumbatan itu harus dibuka. Bukan dengan pidato, tapi dengan mengubah arus uang.

.

🎯🏇

Der — Solusi: Memindahkan Dana Pemerintah ke Perbankan (Bagaimana Cara Kerjanya?)

Apa yang dilakukan: Purbaya memindahkan sebagian dana pemerintah dari rekening di BI ke bank-bank umum. Ini bukan mencetak uang baru atau menambah utang, melainkan merelokasi kas yang sudah ada agar bisa diakses sistem perbankan. Begitu dana masuk bank, biaya dana (cost of fund/CoF) turun, likuiditas longgar, dan bank lebih berani menyalurkan kredit.

Gambarannya :

- Sebelum: Bendungan penuh air di hulu (BI), sawah kering di hilir (usaha/rumah tangga).

- Sesudah: Pintu air dibuka, air mengalir ke jaringan parit (bank), lalu ke petak-petak sawah (UMKM, industri, rumah tangga) melalui kredit dan pembayaran pemerintah.

Mengapa ini masuk akal secara teori?

Financial accelerator: ketika likuiditas mengalir, neraca perusahaan menguat, bunga efektif turun, investasi menjadi layak, lalu muncul putaran balik—produksi dan kerja bertambah.

Contoh konkret (skenario realistis):

▪️ UMKM: bengkel motor yang tertahan membeli kompresor baru karena bunga menurun 1–2 poin; kapasitas servis naik, menyerap dua karyawan tambahan.

▪️ Konstruksi kecil: kontraktor lokal mendapat pembayaran proyek pemerintah lebih cepat, sehingga tidak perlu berutang jangka pendek mahal; proyek terselesaikan tepat waktu, upah buruh terbayar.

*Catatan teoritis MMT* 

Mazhab MMT mengingatkan: negara berdaulat tak kehabisan uang dalam mata uangnya sendiri; yang penting kapasitas riil dan kontrol inflasi. Purbaya tidak sedang menjalankan MMT, tetapi efeknya mirip di permukaan: ia memastikan uang bekerja di ekonomi, bukan tidur di brankas. Batasnya jelas: ia tetap memakai bank dan anggaran yang ada — bukan belanja defisit tanpa rem.

.

🎯🏇

Dor — Risiko: Dari Pesta Kredit ke Pusing Kepala (dan Antisipasinya)

Risiko utama: Kalau arus air terlalu deras tanpa pagar, sawah bisa tergenang dan tanaman busuk. Dalam ekonomi, ini berarti utang tumbuh cepat di sektor yang salah — properti spekulatif, kredit konsumtif berlebih, atau pinjaman yang ditopang euforia.

Peringatan teoritis: Minsky mengingatkan, stabilitas panjang memupuk rasa aman palsu: standar kredit longgar, leverage (tingkat penggunaan utang) naik, lalu satu guncangan kecil bisa memicu krisis.

Skenario sederhana:

- Bunga global naik; rupiah melemah; biaya impor bahan baku naik.

- Debitur yang marginnya tipis mulai goyah; bank menaikkan provisi (cadangan kerugian penurunan nilai/CKPN) ; kredit baru melambat.

- Jika kredit sebelumnya menumpuk di properti konsumtif, harga bisa stagnan/anjlok; NPL (kredit macet) merayap.

Antisipasi (yang harus jalan beriringan):

- Rem makroprudensial: batas LTV/DTI dinamis (loan-to-value/debt-to-income: rasio pinjaman terhadap nilai agunan/rasio utang terhadap pendapatan), buffer permodalan siklikal (countercyclical capital buffer/CCyB), uji ketahanan sektor properti & konsumsi.

- Arahkan kredit: insentif bagi kredit produktif (mesin, logistik, energi bersih), bukan hanya kredit konsumsi.

- Transparansi kas negara: aturan jelas porsi kas di BI vs bank untuk menghindari kesan “fiscal dominance” dan menjaga kredibilitas moneter.

.

👉

Contoh Kasus Imajinatif: Tiga Bulan Mengalir

▪️Bulan Pertama: Pemerintah memindahkan sebagian dana ke bank umum. Bank mulai punya ruang longgar untuk kredit baru. Beberapa pengusaha kecil mendapat pinjaman modal kerja lebih cepat, tanpa harus menunggu tender baru.

▪️Bulan Kedua: Arus dana terasa di lapangan. Proyek infrastruktur mulai jalan lebih lancar karena pembayaran lebih cepat. Permintaan bahan bangunan meningkat, toko material lokal kembali sibuk.

▪️Bulan Ketiga: Konsumsi meningkat. Warung makan di sekitar proyek ikut ramai, pendapatan sopir truk naik, dan belanja rumah tangga mulai pulih. Ekonomi kecil-kecilan menggeliat. Dari kas negara ke bank, dari bank ke pelaku usaha, dan akhirnya ke dapur rakyat.

Skenario ini tentu sederhana, tapi membantu membayangkan bagaimana “uang mengalir” itu sebenarnya terjadi — tidak seperti keajaiban, tapi seperti air yang sabar mencari jalannya sendiri.

.

✍️

Checklist Pembaca: Sudahkah Arus Ekonomi Sampai ke Tempatmu?

1. Warung di sekitar tempatmu ramai lagi? Kalau iya, itu tanda arus likuiditas mulai terasa.

2. Pinjaman bank lebih mudah atau bunga lebih rendah? Artinya, uang pemerintah di bank sudah mulai bekerja.

3. Proyek pemerintah di daerahmu cepat selesai dan bayarannya lancar? Itu tanda sistem fiskal lebih cair.

Kalau tiga pertanyaan ini dijawab “ya”, berarti kebijakan dar-der-dor tidak berhenti di headline. Tapi kalau belum, ya tugas publik adalah menagih: jangan sampai air ekonomi berhenti di tengah jalan.

.

🇮🇩

Konteks Indonesia: Kenapa Arus Sampai Hilir Itu Krusial?

Indonesia hidup dari jutaan UMKM dan usaha keluarga. Mereka peka terhadap arus kas harian. Satu perubahan kecil pada bunga pinjaman atau kecepatan pembayaran pemerintah bisa membedakan antara tutup warung dan tambah karyawan. Karena itu, kebijakan yang memperlancar arus sampai hilir lebih terasa ketimbang kebijakan yang berhenti di hulu.

Di sisi lain, Indonesia juga rentan terhadap guncangan eksternal (harga komoditas, arus modal, suku bunga global). Maka jurus Purbaya harus ditemani pagar risiko — bukan untuk mematikan aliran, melainkan mengarahkannya ke lahan yang tepat.

.

✍️

Pandangan Alternatif: Biar Diskusinya Seimbang

🔹Monetarist /Neo-Wicksellian: yang penting bukan seberapa banyak air, tapi ketinggian permukaan (suku bunga kebijakan relatif terhadap r*). Jika r* tinggi (karena risiko/inflasi), sekadar mengalirkan air tidak menjamin panen.

🔹MMT/Post-Keynesian: masalah bukan airnya saja, tapi jaringan irigasi (kapasitas riil). Kalau saluran pecah (logistik jelek, hukum jaminan lemah), air terbuang percuma.

🔹Public choice: awasi agar kebijakan tak jadi rejeki nomplok untuk yang dekat kekuasaan. Transparansi penting supaya air tidak dialihkan ke “kolam pribadi”.

.

📌

Rekomendasi Praktis (Supaya “Cuan Bersama” Bukan Slogan)

1. Kunci di Hilir: percepat pembayaran pemerintah, sederhanakan K/L/D (Kementerian/Lembaga/Daerah) pemesanan barang/jasa, dan pastikan kredit UMKM produktif mengalir (mesin, inventori, digitalisasi).

2. Pasang Pagar: tetapkan batas LTV/DTI siklikal, buffer modal bank antarsiklus, dan lakukan stress test (uji ketahanan) sektor padat kredit (properti, konsumsi).

3. Aturan Kas yang Jelas: publikasikan koridor kas pemerintah—berapa porsi minimal di BI dan di bank—agar pasar paham ini rule-based, bukan sekadar manuver.

4. Ukur yang Penting: selain pertumbuhan kredit, pantau produktivitas, kenaikan pekerjaan formal, dan sebaran geografis kredit—indikator kualitas, bukan hanya kuantitas.

5. Keadilan Akses: perluas penjaminan kredit untuk usaha kecil yang layak namun kekurangan agunan; perkuat sistem informasi debitur agar bank berani menilai risiko UMKM.

.

✍️

Penutup: Ekonomi yang Mengalir Sampai Dapur

Pada akhirnya, filosofi Purbaya bisa disebut Keynesianisme praktis: buka sumbatan, biarkan arus uang mengalir sampai hilir, dan jaga agar aliran itu tidak berubah menjadi banjir. Teori boleh rumit, tetapi kita pegang ukurannya yang sederhana: apakah air (uang) betul-betul sampai ke sawah (rakyat)?

Ekonomi boleh tumbuh, tetapi kalau warung kecil belum ramai dan pekerja belum merasakan gaji yang naik, kebijakan belum tuntas. Bila arusnya sampai, kita tidak hanya merayakan angka di layar — kita merayakan dapur yang kembali mengepul.

.

🛜

Endnotes

[1] Keynes, J.M. The General Theory of Employment, Interest and Money (1936).

[2] Moore, B. Horizontalists and Verticalists: The Macroeconomics of Credit Money (1988).

[3] Bernanke, B., Gertler, M., Gilchrist, S. The Financial Accelerator in a Quantitative Business Cycle Framework (1999).

[4] Wray, L. Randall. Modern Money Theory (2015).

[5] Minsky, H. Stabilizing an Unstable Economy (1986).

.

📖

Glosarium Sederhana

Likuiditas — Air dalam irigasi ekonomi: harus mengalir, bukan menggenang.

Fiskal — Cara pemerintah mengelola dompet: pajak dan belanja.

Moneter — Cara bank sentral mengatur bunga dan uang beredar.

Endogenous money — Uang “lahir” ketika bank memberi kredit.

Financial accelerator — Efek penguat: saat likuiditas mengalir, investasi dan kerja ikut naik.

Minsky moment — Saat pesta utang mendadak berubah jadi pusing krisis.

Fiscal dominance — Saat kebijakan fiskal “mendikte” bank sentral.

r* — Tingkat bunga alamiah; patokan kasar apakah bunga sekarang terlalu tinggi/terlalu rendah.

LTV/DTI — Loan-to-Value/Debt-to-Income: rasio pinjaman terhadap nilai agunan/rasio utang terhadap pendapatan; dipakai otoritas untuk mengendalikan ekspansi kredit.

K/L/D — Kementerian/Lembaga/Daerah; singkatan untuk entitas pemerintah pusat–daerah.

NPL — Non-Performing Loan atau kredit macet: cicilan tertunggak melewati batas tertentu.

CoF (Cost of Fund) — Biaya dana perbankan; makin rendah, makin mudah bank menurunkan bunga kredit.

CCyB — Countercyclical Capital Buffer: penyangga modal tambahan bank pada masa ekspansi agar tahan banting saat siklus berbalik.

Stress test — Uji ketahanan bank/sektor terhadap skenario buruk (bunga naik, rupiah melemah, harga aset turun).

Leverage — Tingkat penggunaan utang dibanding modal/pendapatan; makin tinggi, makin rentan terhadap guncangan.

Public choice — Perspektif ekonomi-politik yang menelaah bagaimana kepentingan birokrasi/politik bisa memengaruhi kebijakan.

.

📚

Pustaka Belajar

Keynes, J.M. (1936). The General Theory of Employment, Interest and Money.

Bernanke, B., Gertler, M., Gilchrist, S. (1999). The Financial Accelerator in a Quantitative Business Cycle Framework.

Minsky, H. (1986). Stabilizing an Unstable Economy.

Wray, L. Randall. (2015). Modern Money Theory.

Moore, B. (1988). Horizontalists and Verticalists: The Macroeconomics of Credit Money.

Borio, C. (2014). The Financial Cycle and Macroeconomics: What Have We Learnt?

Selengkapnya
Dar-Der-Dor Likuiditas: Membongkar Filsafat Ekonomi di Balik Jurus Purbaya
« First Previous page 66 of 1.345 Next Last »