Industri Farmasi
Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 14 Mei 2024
Meskipun telah melakukan berbagai upaya, Indonesia masih menghadapi tantangan dalam hal ketersediaan produk farmasi, terutama obat-obatan inovatif, yang sebagian besar masih diimpor. Salah satu penyebabnya adalah terbatasnya industri farmasi yang memproduksi obat berbasis riset, meskipun pemerintah telah melakukan intervensi dalam bentuk regulasi.
"Industri farmasi di Indonesia lebih banyak berfokus pada formulasi dan pengemasan obat daripada memproduksi obat berbasis riset," jelas guru besar farmakologi dan toksikologi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Arief Nurrochmad.
Hal ini ia sampaikan dalam pidato pengukuhannya yang berjudul "Peran Farmakologi dan Toksikologi dalam Pengembangan Obat Baru: Perspektif Baru Penggunaan Big Data dan Jejaring Farmakologi," pada Selasa (6/2) di Balai Senat UGM.
Profesor Nurrochmad menekankan perlunya produksi obat berbasis riset untuk menjamin ketersediaan obat. Namun, ia mencatat bahwa pengembangan obat baru merupakan proses yang panjang dan mahal.
"Pengembangan obat baru, mulai dari ide awal hingga peluncuran produk, merupakan proses yang kompleks, memakan waktu 12-15 tahun dan biaya lebih dari 1 miliar USD," katanya.
Awalnya, target obat terapeutik harus diidentifikasi dengan menggunakan metode eksperimental tradisional. Kemudian, ahli biologi struktural muncul untuk menjelaskan struktur tiga dimensi (3D) dan karakteristik pengikatan ligan untuk mengungkapkan apakah ini layak sebagai target obat baru.
Selanjutnya, ahli kimia obat dan farmakolog menggunakan skrining dengan hasil tinggi untuk menemukan beberapa senyawa timbal yang sangat efektif untuk penilaian keamanan lebih lanjut dan uji klinis.
Secara keseluruhan, lanjutnya, prosedur ini mahal dan membosankan. Pada tahun 2018, sebuah studi yang dilakukan oleh Moore dkk., 2008 menemukan bahwa biaya rata-rata pengujian efikasi untuk 59 obat baru yang disetujui oleh FDA selama tahun 2015-2016 adalah sebesar 19 juta USD.
Oleh karena itu, diperlukan metode untuk mengatasi keterbatasan prosedur penemuan obat konvensional dengan memperkenalkan metode yang lebih efisien, murah, dan berbasis komputasi.
"Dibandingkan dengan metode penemuan obat tradisional, desain obat yang rasional dengan menggunakan metode desain obat berbantuan komputer terbukti lebih efisien dan ekonomis," ujarnya.
Desain obat yang rasional mengintegrasikan docking molekuler ke dalam kantong pengikatan ligan dari target terapeutik yang menjanjikan, dengan menghitung energi pengikatan setiap senyawa molekul kecil. Selain itu, metode ini juga memilih kandidat terbaik untuk memasuki tahap prosedur eksperimental selanjutnya.
Penelitian oleh Ferreira dkk., 2015 mencatat bahwa lebih dari 100.000 struktur protein 3D saat ini disimpan di Protein Data Bank (PDB) untuk penambatan molekuler. Tidak seperti metode tradisional, desain obat yang rasional telah meningkatkan tingkat penyaringan hit lebih dari 100 kali lipat.
Profesor Nurrochmad menekankan pentingnya memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama dalam farmakologi dan toksikologi, untuk mempercepat penemuan dan pengembangan obat. Desain kandidat obat yang lebih baik selama fase eksperimental mengurangi kemungkinan kegagalan pada tahap selanjutnya, terutama dalam uji klinis yang memakan banyak biaya.
Sehubungan dengan pandemi COVID-19, Profesor Nurrochmad menggarisbawahi pentingnya mengeksplorasi metode penemuan obat yang baru, efektif, dan terjangkau. Dia menyoroti potensi Artificial Intelligence (AI) dan data besar untuk merevolusi penemuan target obat dengan menganalisis data dalam jumlah besar dengan cepat.
"Evolusi yang cepat dari big data dan AI menawarkan peluang yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk mempercepat penemuan target obat," pungkasnya.
Disadur dari: ugm.ac.id
Industri Farmasi
Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 14 Mei 2024
Industri farmasi merupakan salah satu poin penting yang berperan dalam faktor kesehatan masyarakat. Semakin canggihnya ilmu pengetahuan di bidang farmasi, maka semakin mudah pula untuk mengidentifikasi gangguan atau gejala kesehatan.
Disadari atau tidak, sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia bahkan dunia, semakin banyak jenis gangguan kesehatan yang ditemukan. Seperti adanya variasi baru dari virus corona, evaluasi untuk implementasi vaksin Covid-19 mulai dari dosis 1 hingga booster.
Menyusul terbentuknya varian baru tersebut, perusahaan farmasi terus mengembangkan inovasi terbaru demi kesehatan masyarakat. Pada kesempatan kali ini, kami akan menjabarkan proporsi dan tantangan industri farmasi di Indonesia. Baca selengkapnya!
Memahami Potensi Industri Farmasi di Indonesia
Industri Farmasi adalah badan usaha yang memiliki izin dari Kementerian Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat. Pembuatan obat adalah semua tahapan dan proses dalam memproduksi obat.
Mulai dari pengadaan bahan pembuatan obat, produksi, pengemasan, dan pengawasan mutu hingga jaminan mutu hingga distribusi. Industri farmasi berkaitan dengan pembuatan obat, bahan obat, pendidikan, pelatihan, penelitian, dan pengembangan.
Kesehatan merupakan kebutuhan utama setiap makhluk hidup, terutama manusia, yang kehidupannya akan selalu berhubungan dengan obat-obatan, praktik perawatan kesehatan, dan sejenisnya.
Pandemi Covid-19 yang hingga saat ini masih melingkupi seluruh negeri, meski manusia kini berusaha beradaptasi dengan kebiasaan baru, juga telah membuka kesadaran masyarakat luas akan pentingnya obat-obatan, selain peran alat kesehatan dan tenaga kesehatan.
Banyak negara berinvestasi besar-besaran dalam program penelitian kesehatan untuk mengatasi masalah kesehatan ini.
Industri farmasi di Indonesia merupakan sektor yang menjanjikan. Sebagai hasil dari peningkatan permintaan, Pemerintah telah memasukkan sektor alat kesehatan dan farmasi sebagai sektor prioritas untuk mewujudkan program Making Indonesia 4.0.
Tantangan Industri Farmasi di Indonesia
Potensi yang menjanjikan di bidang farmasi tidak serta merta membuka jalan mulus bagi setiap penggiat industri ini. Beberapa tantangan perlu menjadi perhatian baik bagi pelaku usaha maupun pemerintah, dan berikut adalah beberapa di antaranya.
1. Bahan baku
Sebanyak 95% bahan baku farmasi masih diperoleh dengan cara impor. Tentu saja hal ini menambah beban biaya atau ongkos produksi. Kondisi tersebut diperparah dengan kenaikan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang saat ini sudah lebih dari Rp15.000 per USD.
Ketergantungan industri farmasi terhadap barang impor membuat harga jual obat paten semakin tinggi. Dibandingkan dengan daya beli masyarakat, hal ini tidak sinkron. Meski produksinya besar, banyak masyarakat yang memilih obat generik.
Mengatasi tantangan ini, pemerintah berkomitmen untuk mengurangi impor sebesar 35% pada akhir 2022. Hal ini dilakukan dengan menambah fasilitas produksi alat kesehatan setiap tahunnya mulai dari tahun 2015.
2. Percepatan perizinan
Tantangan berikutnya adalah masalah perizinan. Jika belum mendapatkan izin dari instansi terkait seperti Kementerian Kesehatan, BPOM, dan sebagainya, produk farmasi tidak diperbolehkan beredar.
Sementara itu, kebutuhan masyarakat meningkat dalam waktu yang singkat bahkan terkadang tidak dapat diprediksi. Kecepatan perizinan dengan proses produksi dan permintaan konsumen berbeda.
Dalam hal ini, Pemerintah telah menyiapkan peta jalan untuk mempercepat pengembangan industri farmasi. Hal ini mencakup prosedur serta target dan jangka waktu pengembangan produk.
Beberapa produk yang telah mendapatkan percepatan izin antara lain masker bedah, alat pelindung diri (APD), dan gel hand sanitizer. Tentu saja, hal ini akan diikuti oleh berbagai obat-obatan, vitamin, suplemen, alat kesehatan, dll.
Pertumbuhan ekonomi dan demografi yang signifikan telah menjadikan Indonesia ideal untuk pasar perawatan kesehatan. Ini adalah celah bisnis yang potensial untuk dieksplorasi serta berinovasi dalam bisnis di sektor kesehatan.
Disadur dari: skha.co.id
Industri Farmasi
Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 14 Mei 2024
JAKARTA, KOMPAS.com - Gaji pokok pada industri kimia di Indonesia 25 persen lebih tinggi dibandingkan industri lain pada umumnya. Demikian disampaikan perusahaan konsultan global bidang SDM dan organisasi, Korn Ferry, dalam laporan yang berjudul Reward in Asia Pacific Chemical Sector 2019. Chairman & Managing Director, Korn Ferry Indonesia, Satya Radjasa mengatakan, tingginya gaji di industri kimia Indonesia tersebut karena masih kurangnya tenaga ahli di bidang itu.
“Industri kimia di Indonesia yang sedang berkembang menghadapi tantangan terkait permintaan tenaga kerja dengan keahlian yang tepat. Kebutuhannya tidak hanya sebatas profesional saja, melainkan para profesional dengan keahlian industri yang tepat," kata dia dalam siaran pernya Rabu (21/08/2019).
Dia menyebutkan, studi terbaru Korn Ferry mengenai sumber daya manusia dalam industri kimia di wilayah Asia Pasifik menunjukkan bahwa lebih dari setengah perusahaan kimia di Asia Pasifik saat ini mengalami kekurangan insinyur dan tenaga ahli bidang quality assurance. Sementara itu lebih dari 40 persen perusahaan kesulitan merekrut tenaga ahli bidang Research & Development (R&D) dan bidang produksi.
"Khusus untuk Indonesia, hal ini menyebabkan proyeksi gaji pokok pada industri kimia di Indonesia meningkat sebesar 8,3 persen pada tahun 2019 dibandingkan dengan industri pada umumnya. Angka ini juga merupakan yang tertinggi kedua di kawasan Asia Pasifik setelah India yang diproyeksikan sebesar 9,8 persen,” ucap dia.
Menurut Cefic Chemdata International 2018, penjualan bahan kimia Indonesia pada 2017 mencapai 43 miliar euro (Rp 693 triliun). Jumlah ini kurang dari 2 persen dari penjualan bahan kimia global yang mencapai 3.475 miliar euro.
Kementerian Perindustrian Indonesia sendiri telah mengidentifikasi sektor kimia sebagai salah satu dari lima sektor prioritas dalam road map "Making Indonesia 4.0".
Industri kimia di Indonesia merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia dan mendukung kegiatan manufaktur utama dalam industri makanan & minuman, otomotif, tekstil, farmasi, dan elektronik. Industri kimia juga merupakan penyedia solusi yang penting untuk berbagai tantangan global seperti perubahan iklim, pertumbuhan populasi dan degradasi lingkungan.
Sumber: money.kompas.com
Industri Farmasi
Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 14 Mei 2024
Ho Chi Minh City, 3 Agustus 2023 - Sepuluh perusahaan farmasi dan alat kesehatan dari Indonesia berpartisipasi dalam pameran industri medis terbesar di Vietnam, The 21st International Medical, Hospital and Pharmaceutical Exhibition (Medi-Pharm Expo), yang diselenggarakan di Ho Chi Minh City (HCMC), 3-5 Agustus 2023.
PT Sugih Intrumendo Abadi, PT Dexa Medica, PT Graha Tekno Medika, PT Oneject Indonesia, PT Prodia Diagnostic Line, PT Meditech Indonesia, PT Likuid Farmalab Indonesia, PT Kalbe International, PT Brightgene Biomedical Indonesia, dan CV Bartec Indonesia turut serta dalam pameran ini untuk memperluas pasar di Vietnam.
Medipharm diselenggarakan dua kali dalam setahun di Vietnam (Agustus di HCMC dan Desember di Hanoi). Sektor farmasi di Vietnam memiliki pertumbuhan tertinggi di kawasan ini karena peningkatan pendapatan per kapita, jumlah penduduk Vietnam yang terus meningkat, pengembangan infrastruktur medis, dan kebijakan pemerintah yang mendukung pertumbuhan pasar farmasi di Vietnam.
Pasar farmasi Vietnam terus tumbuh mencapai nilai total US$ 6,98 miliar pada tahun 2022 dan diperkirakan akan mencapai US$ 16,1 miliar pada tahun 2026. Sementara itu, pengeluaran layanan medis Vietnam pada tahun 2019 tercatat sebesar US$17 miliar (6,6% dari PDB) dan mencapai US$23 miliar pada tahun 2022 dengan tingkat pertumbuhan CAGR sebesar 10,7%.
Dengan jumlah penduduk yang mencapai 100 juta jiwa tahun ini, dan ekonomi yang terus berkembang, pengeluaran untuk obat-obatan diperkirakan akan tumbuh lebih cepat. Data dari Bank Dunia memperkirakan pendapatan per kapita Vietnam pada tahun 2022 mencapai USD 4.163. Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi Vietnam yang pesat perlu diantisipasi oleh Indonesia. Industri farmasi dan alat kesehatan merupakan salah satu dari beberapa industri strategis yang perlu dikembangkan secara efektif di kawasan ini.
Viet Nam memiliki potensi besar untuk menjadi tujuan ekspor produk farmasi Indonesia, karena perannya sebagai rantai pasok di kawasan ini terutama untuk Kamboja dan Laos. Jumlah penduduk Vietnam yang besar dan peningkatan usia harapan hidup menjadi 76 tahun, telah mendorong pemerintah Vietnam untuk meningkatkan fasilitas kesehatan, baik produk farmasi maupun alat kesehatan yang berkualitas tinggi.
Pertumbuhan industri farmasi Vietnam juga mulai berkembang, di mana 10 perusahaan teratas (lokal dan asing) menguasai 28% pangsa pasar, dibandingkan dengan Indonesia yang telah mencapai 55% pangsa pasar. Industri farmasi Vietnam saat ini sedang berlomba untuk meningkatkan kapasitas mereka untuk memenuhi standar Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) Uni Eropa. Hal ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi upaya Indonesia dalam meningkatkan daya saing produknya.
Medipharm telah memberikan kesempatan untuk mengidentifikasi kompetitor dan produk utama yang dibutuhkan oleh pasar di kawasan ini serta potensi kerja sama di sektor medis yang dapat dikembangkan bersama oleh kedua negara.
Direktur Jenderal Administrasi Obat Viet Nam (DAV), Mr. Vu Tuan Cuong dalam kunjungannya ke Paviliun Indonesia mengapresiasi kualitas produk farmasi dan alat kesehatan Indonesia yang meliputi produk diagnostik in vitro, elektromedis, alat diagnostik, dan produk habis pakai.
Di sela-sela pameran, KBRI Hanoi menyelenggarakan seminar yang mengundang DAV untuk memberikan informasi terkini mengenai kebijakan Vietnam terkait registrasi obat dan alat kesehatan, serta peluang kerja sama dan investasi.
Mewakili KBRI Hanoi dan KJRI Hanoi, Konsul Jenderal RI Hanoi menegaskan potensi besar untuk kerja sama investasi dan akses pasar bagi kedua negara serta mendorong para pelaku usaha untuk saling mengenal dan memahami satu sama lain serta mengunjungi lokasi pabrik untuk menjajaki kerja sama yang lebih konkret.
Seminar ini dilaksanakan secara interaktif dan membahas potensi investasi, pengembangan produk, peningkatan kapasitas produksi, dan transfer teknologi di sektor farmasi dan alat kesehatan.
Pameran ini dihadiri oleh sekitar 400 peserta pameran dari 22 negara dan wilayah dan lebih dari 11.000 pengunjung. Pameran tahun ini menegaskan kembali pentingnya pasar Vietnam sebagai negara dengan populasi terbesar ketiga di ASEAN, yang harus diikuti dengan peningkatan branding produk farmasi dan alat kesehatan Indonesia di wilayah tersebut.
Disadur dari: kemlu.go.id
Industri Farmasi
Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 14 Mei 2024
Jakarta. Indonesia menerapkan strategi pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam upaya mengurangi impor farmasi tanpa perlu khawatir akan digugat di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Indonesia sangat bergantung pada bahan-bahan farmasi dan alat kesehatan yang diimpor. Untuk mengatasi ketergantungan yang berlebihan ini, Jakarta saat ini memiliki kebijakan konten lokal yang mempromosikan input atau sumber daya dalam negeri dalam produksi industri. Peraturan ini berlaku untuk pengadaan barang dan jasa pemerintah yang memungkinkan pemerintah - termasuk rumah sakit milik pemerintah - untuk berbelanja secara online melalui e-katalog. Barang-barang yang memenuhi tingkat kandungan lokal tertentu akan diprioritaskan dalam sistem katalog digital. Dengan cara ini, Indonesia dapat mengembangkan industri dalam negerinya tanpa melanggar aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), menurut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Budi mengenang masa-masa ketika Indonesia bergulat dengan pandemi Covid-19. Indonesia telah memiliki kapasitas untuk memproduksi obat-obatan. Namun, negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara ini harus mengimpor hampir 95 persen dari bahan-bahan farmasi yang dibutuhkan untuk produksinya.
"Sekitar dua tahun 10 bulan telah berlalu sejak saya menjadi menteri kesehatan. Dari 10 bahan farmasi yang paling banyak digunakan di Indonesia, enam di antaranya sudah dapat diproduksi di dalam negeri. Kami [pemerintah] meminta para produsen farmasi untuk membeli bahan-bahan yang diproduksi di dalam negeri. Jika tidak, pemerintah tidak akan membeli produk mereka," ujar Budi dalam acara Investor Daily Roundtable yang diselenggarakan oleh B-Universe di Jakarta, Kamis malam.
"Jadi mengapa kami melakukan strategi pengadaan pemerintah ini untuk mendorong industri farmasi lokal? Karena ini tidak melanggar aturan WTO," ujar Budi pada forum tersebut.
Mantan bankir ini mengatakan bahwa meskipun sistem pengadaan barang masih perlu diperbaiki, namun impor barang di sektor kesehatan telah menurun.
"Kami telah meminta rumah sakit-rumah sakit milik pemerintah untuk membeli produk lokal melalui e-katalog. Sistemnya mungkin belum sempurna. Namun, pengeluaran saya [Kementerian Kesehatan] sekitar Rp 20 triliun [$ 1,3 miliar], tetapi kami telah memangkas barang impor dari 90 persen menjadi hampir 50 persen," kata Budi.
Perjanjian-perjanjian WTO pada umumnya mengadopsi apa yang disebut sebagai prinsip "perlakuan nasional", yang menyerukan agar negara-negara tidak melakukan diskriminasi terhadap barang-barang impor yang mendukung barang-barang yang diproduksi secara lokal. Hal ini termasuk Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan (GATT) di mana Indonesia merupakan salah satu penandatangannya. Namun, GATT menyatakan bahwa pengadaan barang dan jasa pemerintah dikecualikan dari prinsip perlakuan nasional.
Indonesia juga merupakan negara anggota WTO yang menandatangani Perjanjian tentang Tindakan Investasi Terkait Perdagangan (TRIMS), yang mendorong perlakuan yang sama terhadap barang.
Aturan kandungan lokal di Jakarta telah memicu kekhawatiran di antara negara-negara anggota dalam pertemuan-pertemuan Komite TRIMS sebelumnya. Sebagai contoh, Uni Eropa (UE) menganggap kebijakan kandungan lokal mengkhawatirkan karena Indonesia mengimpor lebih dari 95 persen bahan baku aktif farmasi. Uni Eropa mencoba untuk mendorong Indonesia agar berfokus pada kebijakan yang memberikan insentif lebih banyak investasi di industri farmasi lokal daripada memberlakukan kebijakan konten lokal. Meskipun sama seperti GATT, aturan kandungan lokal pada produk yang dibeli untuk keperluan pemerintah tidak akan dianggap sebagai pelanggaran pakta TRIMS.
Tidak masuknya pengadaan barang dan jasa pemerintah dalam perjanjian WTO mendorong sejumlah negara untuk merundingkan peraturan perdagangan mengenai hal tersebut. Dengan demikian, terbentuklah Perjanjian Pengadaan Pemerintah (Government Procurement Agreement/GPA). Perjanjian ini mengharuskan negara-negara untuk tidak memberikan perlakuan khusus kepada produk yang diproduksi di dalam negeri dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Namun, GPA tidak berlaku untuk Indonesia karena Indonesia belum menandatangani perjanjian tersebut. Pihak-pihak yang menandatangani GPA termasuk Uni Eropa dan Amerika Serikat. Namun, Indonesia adalah negara pengamat GPA.
Disadur dari: jakartaglobe.id
Farmasi
Dipublikasikan oleh Cindy Aulia Alfariyani pada 14 Mei 2024
Indonesia, negara kepulauan yang luas di Asia Tenggara, tidak hanya dikenal dengan pemandangan alamnya yang menakjubkan, tetapi juga dengan industri farmasinya yang kuat. Sektor farmasi di negara ini memiliki keragaman, dengan perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam pembuatan, pemasaran, dan distribusi berbagai macam produk farmasi, termasuk obat generik, obat generik bermerek, dan obat bebas. Dalam artikel ini, kami akan membahas perusahaan-perusahaan farmasi terkemuka di Indonesia, menyoroti kontribusi mereka pada sektor kesehatan nasional.
1. Kalbe farma
Perusahaan farmasi teratas di indonesia
Kalbe Farma (KLBF) berdiri tegak sebagai perusahaan farmasi terbesar di Indonesia. Dengan sejarah yang kaya dan komitmen terhadap keunggulan, Kalbe Farma telah menjadi pilar industri kesehatan nasional. Mereka menawarkan beragam produk farmasi yang memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia.
2. Dexa medica
Menyusul di bawahnya adalah Dexa Medica (DPM), perusahaan farmasi terbesar kedua di Indonesia. Dexa Medica telah membuat langkah signifikan dalam memproduksi, memasarkan, dan mendistribusikan produk farmasi. Dedikasi mereka terhadap kualitas telah membuat mereka mendapatkan tempat yang menonjol di pasar.
3. Kimia farma
Kimia Farma (KAEF) adalah perusahaan farmasi milik negara yang memiliki misi untuk melayani kepentingan publik. Kontribusi mereka terhadap sistem kesehatan Indonesia mencakup berbagai macam produk farmasi, memastikan aksesibilitas terhadap obat-obatan esensial.
4. Sido Muncul
Sido Muncul (SIDO) memberikan sentuhan unik pada industri ini dengan mengkhususkan diri pada obat-obatan herbal tradisional. Selain obat herbal, mereka juga memproduksi suplemen makanan dan produk perawatan pribadi, yang melayani mereka yang mencari solusi perawatan kesehatan alternatif.
5. Tempo Scan Pacific
Tempo Scan Pacific (TSPC) telah mendiversifikasi portofolio perawatan kesehatannya, mencakup produk farmasi, peralatan medis, dan peralatan. Fleksibilitas ini menempatkan mereka sebagai pemain kunci dalam ekosistem perawatan kesehatan di Indonesia.
6. Phapros
Phapros (PEHA) berdedikasi untuk menyediakan produk-produk farmasi berkualitas tinggi. Penawaran mereka meliputi obat generik, obat generik bermerek, dan obat bebas, yang menekankan pentingnya solusi perawatan kesehatan yang mudah diakses dan dapat diandalkan.
7. Pyridam Farma
Pyridam Farma (PYFA) bangga dengan perannya di sektor kesehatan. Mereka memproduksi, memasarkan, dan mendistribusikan produk farmasi, memastikan kesejahteraan penduduk Indonesia.
8. Merck Tbk
Merck Tbk (MERK), anak perusahaan dari perusahaan farmasi ternama asal Jerman, Merck KGaA, beroperasi di Indonesia. Mereka membawa keahlian global ke pasar lokal, menawarkan obat resep, vaksin, dan produk kesehatan konsumen.
9. Indofarma
Indofarma (INAF), perusahaan farmasi milik negara lainnya, memainkan peran penting dalam memenuhi kebutuhan kesehatan nasional. Rangkaian produk mereka yang luas mencakup obat generik, obat generik bermerek, dan obat-obatan bebas.
10. Darya-Varia Laboratoria Tbk
Darya-Varia Laboratoria Tbk (DVLA) adalah sebuah perusahaan farmasi yang sedang naik daun. Dedikasi mereka dalam memproduksi, memasarkan, dan mendistribusikan produk farmasi mendorong mereka ke garis depan industri ini.
Ini hanyalah beberapa dari sekian banyak perusahaan farmasi yang beroperasi di Indonesia. Industri ini mengalami pertumbuhan yang pesat, didorong oleh populasi negara yang terus bertambah dan meningkatnya permintaan akan layanan kesehatan yang berkualitas. Seiring dengan kemajuan Indonesia, begitu pula dengan sektor farmasi, yang memastikan bahwa kesehatan bangsa tetap menjadi prioritas utama.
Lanskap farmasi di Indonesia sangat beragam dan dinamis, dengan banyak perusahaan yang berusaha untuk meningkatkan akses dan kualitas layanan kesehatan. Dari perusahaan raksasa milik negara hingga anak perusahaan global, setiap entitas memainkan peran penting dalam memenuhi kebutuhan layanan kesehatan di negara ini. Seiring dengan pertumbuhan populasi Indonesia, begitu pula pentingnya perusahaan-perusahaan farmasi ini dalam memastikan masa depan yang lebih sehat bagi semua.
Disadur dari: investinasia.id