Mengintegrasikan Gender dan Interseksionalitas dalam Adaptasi Iklim: Studi Kasus, Data, dan Rekomendasi Praktis dari Adaptation Fund

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

13 Juni 2025, 12.44

pixabay.com

Gender, Interseksionalitas, dan Adaptasi Iklim

Isu perubahan iklim dan adaptasi bukan sekadar soal teknis atau ekologi, melainkan juga sangat terkait dengan keadilan sosial, gender, dan kerentanan multidimensi. Studi “Intersectional Approaches to Gender Mainstreaming in Adaptation-Relevant Interventions” yang diterbitkan Adaptation Fund (2022) membedah bagaimana strategi gender mainstreaming dalam program adaptasi iklim harus bertransformasi menjadi lebih interseksional—yaitu, mengakui dan mengatasi tumpang tindih kerentanan dan identitas sosial (gender, usia, etnis, status ekonomi, disabilitas, dll). Artikel ini mengulas isi, data, studi kasus, serta kritik dan rekomendasi praktis dari laporan penting ini.

Konsep Kunci: Dari Gender Mainstreaming Menuju Interseksionalitas

Evolusi Gender Mainstreaming

  • Gender mainstreaming adalah strategi global untuk memastikan semua kebijakan, program, dan intervensi memperhitungkan dampak dan kebutuhan gender secara setara.
  • Namun, pengalaman lapangan menunjukkan bahwa “pria” dan “wanita” bukanlah kelompok homogen. Identitas lain—usia, etnis, status sosial, disabilitas, orientasi seksual—menciptakan lapisan kerentanan dan privilege yang saling bertumpuk.
  • Interseksionalitas (intersectionality) adalah lensa analitik yang menyoroti bagaimana gender berinteraksi dengan faktor lain dalam membentuk pengalaman, kerentanan, dan kapasitas adaptasi seseorang terhadap perubahan iklim.

Mengapa Interseksionalitas Penting dalam Adaptasi Iklim?

  • Kerentanan iklim sangat dipengaruhi tumpang tindih identitas sosial: Misal, perempuan muda dari kelompok etnis minoritas di daerah terpencil menghadapi hambatan berbeda dibanding perempuan tua di kota.
  • Pendekatan interseksional menghasilkan intervensi yang lebih inklusif, adil, dan efektif, serta menghindari solusi “satu ukuran untuk semua”.

Metodologi Studi

  • Desk review: Analisis literatur akademik, dokumen kebijakan, dan studi kasus dari berbagai organisasi internasional (UN Women, USAID, IIED, GEF, dsb).
  • Fokus sektor: Pertanian, ketahanan pangan, kehutanan, pengurangan risiko bencana, air, kesehatan.
  • Studi kasus: Diambil dari Afrika, Asia Selatan, dan negara berkembang lain, dengan penekanan pada praktik nyata dan pembelajaran lapangan.

Temuan Utama: Praktik & Tantangan Interseksionalitas

1. Interseksionalitas dalam Kebijakan dan Program

  • Banyak organisasi mulai mengadopsi interseksionalitas dalam strategi gender, seringkali dengan istilah “Gender Equality and Social Inclusion” (GESI).
  • Contoh IIED: Toolkit “Pamoja Voices” di Tanzania mengidentifikasi prioritas adaptasi berdasarkan gender dan usia, memastikan suara perempuan muda, laki-laki muda, perempuan dewasa, dan laki-laki dewasa terwakili dalam perencanaan adaptasi iklim.
  • Contoh USAID/Feed the Future di Nepal: GESI digunakan untuk mengidentifikasi hambatan akses layanan penyuluhan pertanian, bukan hanya berdasarkan gender, tapi juga kasta, etnis, dan posisi dalam rumah tangga.

2. Studi Kasus: Praktik Interseksional di Lapangan

Tanzania: Toolkit Pamoja Voices

  • Empat kelompok target: laki-laki muda, perempuan muda, laki-laki dewasa, perempuan dewasa.
  • Aktivitas: Diskusi terpisah, pemetaan musim, analisis pengalaman hidup, pemetaan stakeholder, dan penyusunan rute ketahanan.
  • Temuan:
    • Perempuan muda lebih rentan kekerasan saat mencari air di musim kering.
    • Laki-laki muda lebih rentan konflik antarkelompok saat menggembala.
    • Prioritas intervensi berbeda: perempuan menekankan akses air dan keamanan, laki-laki pada pendidikan dan diversifikasi penghidupan.
  • Dampak: Perencanaan adaptasi jadi lebih responsif terhadap kebutuhan spesifik tiap kelompok.

Nepal: GESI dalam Penyuluhan Pertanian

  • Barriers: Kasta, etnis, dan gender saling memperkuat eksklusi akses layanan pertanian.
  • Praktik baik: Kuota partisipasi perempuan, Dalit, dan Janajati; pelatihan GESI untuk staf lapangan; data terpilah gender dan etnis.
  • Kritik: Pendekatan masih sering berhenti di permukaan (misal, hanya kuota tanpa perubahan struktur kekuasaan dalam rumah tangga/komunitas).

Bangladesh: “Double Vulnerabilities” Gender dan Etnisitas

  • Metode: Participatory Vulnerability and Capacity Assessment (PVCA) di 8 komunitas etnis minoritas.
  • Temuan:
    • Perempuan etnis minoritas mengalami diskriminasi ganda: tidak bisa mewarisi tanah, lebih rentan pelecehan, akses air bersih lebih sulit.
    • Ketergantungan pada lingkungan membuat perempuan lebih terdampak bencana (banjir, salinitas, kekeringan).
    • Mobilitas terbatas akibat norma budaya, memperburuk kerentanan saat bencana.
  • Rekomendasi: Prioritaskan pembangunan shelter, layanan kesehatan bergerak, dan infrastruktur air untuk komunitas etnis minoritas, khususnya perempuan.

Analisis Sektor: Interseksionalitas dalam Adaptasi

1. Pertanian & Ketahanan Pangan

  • Perempuan petani kecil di Afrika dan Asia seringkali lebih rentan karena akses lahan, kredit, dan teknologi terbatas—dan kerentanan ini berlipat jika mereka berasal dari kasta/etnis minoritas atau rumah tangga perempuan kepala keluarga.
  • Studi Ghana: Perempuan muda lajang lebih rentan gagal panen daripada perempuan tua atau laki-laki, karena akses sumber daya dan jaringan sosial lebih sempit.

2. Kehutanan

  • Partisipasi perempuan dalam pengelolaan hutan sering dihambat oleh norma gender, usia, dan status sosial.
  • Studi India: Perempuan muda dari kasta rendah hampir tak punya suara dalam komite hutan, sementara perempuan tua dari kasta tinggi lebih berpengaruh.

3. Pengurangan Risiko Bencana

  • Studi Bangladesh: Perempuan etnis minoritas lebih jarang menerima informasi evakuasi dan lebih sulit mengakses shelter.
  • Kebijakan: Perlu shelter ramah gender, layanan kesehatan bergerak, dan pelibatan perempuan/kelompok minoritas dalam perencanaan bencana.

4. Air, Sanitasi, dan Kesehatan

  • WASH (Water, Sanitation and Hygiene): Perempuan muda dan kelompok disabilitas lebih rentan kekerasan saat mencari air atau menggunakan fasilitas umum.
  • Studi India dan Afrika Timur: Fasilitas air yang tidak inklusif memperparah beban perempuan muda dan kelompok rentan.

Tantangan Implementasi: Data, Kapasitas, dan Politik

  • Data terpilah: Masih minim data terpilah gender, usia, etnis, disabilitas, dsb., sehingga sulit mengukur dampak intervensi secara interseksional.
  • Kapasitas SDM: Banyak pelaksana proyek belum terlatih melakukan analisis interseksional, cenderung berhenti di analisis gender biner.
  • Resistensi budaya: Norma patriarki dan eksklusi sosial masih kuat di banyak komunitas, sehingga perubahan membutuhkan waktu dan strategi bertahap.
  • Keterbatasan metodologi: Kebanyakan pendekatan masih “snippet”—hanya satu atau dua aspek interseksional, belum komprehensif.

Nilai Tambah & Rekomendasi Praktis

Nilai Tambah Interseksionalitas

  • Membuka “blind spot” dalam perencanaan dan evaluasi proyek adaptasi.
  • Meningkatkan efektivitas dan keadilan: Intervensi jadi lebih tepat sasaran, mengurangi risiko memperparah ketimpangan.
  • Mendorong perubahan struktural: Dari sekadar “tidak merugikan” menjadi “memperkuat hak dan agen kelompok rentan”.

Rekomendasi

  1. Bangun data terpilah dan monitoring interseksional: Kumpulkan dan analisis data berdasarkan gender, usia, etnis, disabilitas, status sosial, dsb.
  2. Libatkan kelompok rentan dalam seluruh siklus proyek: Dari desain, implementasi, hingga evaluasi.
  3. Pelatihan SDM: Tingkatkan kapasitas pelaksana proyek dalam analisis interseksional dan gender-transformative.
  4. Gunakan indikator kualitatif dan kuantitatif: Gabungkan survei, FGD, dan pemetaan sosial untuk memahami kerentanan dan kebutuhan spesifik.
  5. Dokumentasi dan pembelajaran berkelanjutan: Catat praktik baik, tantangan, dan inovasi untuk perbaikan berkelanjutan.
  6. Advokasi kebijakan: Dorong pemerintah dan donor untuk mengadopsi kebijakan dan pendanaan berbasis interseksionalitas.

Hubungan dengan Tren Global & Industri

  • SDGs (khususnya SDG 5, 10, 13): Interseksionalitas memperkuat prinsip “leave no one behind”.
  • Kebijakan donor besar (AF, GEF, UN, USAID): Semakin menuntut analisis dan pelaporan interseksional.
  • Industri pengembangan internasional: Inovasi digital (big data, mobile survey) dan participatory mapping makin diadopsi untuk mengatasi gap data.

Kritik dan Opini

Kelebihan

  • Studi ini komprehensif: Mengintegrasikan teori, kebijakan, dan praktik lapangan.
  • Studi kasus nyata: Memberi gambaran konkret tantangan dan solusi interseksional.
  • Rekomendasi aplikatif: Bisa diadopsi oleh pemerintah, donor, dan pelaksana proyek.

Kekurangan

  • Belum ada metodologi baku: Implementasi masih sangat tergantung konteks dan kapasitas lokal.
  • Fokus negara berkembang: Studi kasus dari negara maju masih minim, padahal kerentanan juga ada di sana (misal, migran, LGBTQ+).
  • Kurang eksplorasi teknologi digital: Potensi inovasi digital untuk monitoring interseksional belum banyak dibahas.

Kesimpulan: Interseksionalitas, Gender, dan Adaptasi Iklim—Dari Wacana ke Aksi

Studi Adaptation Fund ini menegaskan bahwa tanpa lensa interseksional, upaya adaptasi iklim berisiko memperkuat ketimpangan lama dan menciptakan kerentanan baru. Dengan mengadopsi pendekatan interseksional dalam gender mainstreaming, program adaptasi dapat menjadi lebih inklusif, adil, dan efektif. Kunci suksesnya adalah data terpilah, pelibatan kelompok rentan, inovasi metode, dan komitmen perubahan struktural. Transformasi ini adalah proses bertahap, namun setiap langkah kecil menuju interseksionalitas akan memperkuat ketahanan masyarakat di era krisis iklim.

Sumber Artikel 

Adaptation Fund Board. (2022). A Study on Intersectional Approaches to Gender Mainstreaming in Adaptation-Relevant Interventions. AFB/B.37-38/Inf.1, 17 February 2022.