Desentralisasi di Papua: Studi Kasus Pelayanan Publik dan Demokratisasi di Wilayah Terpencil Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

13 Juni 2025, 13.32

pixabay.com

Desentralisasi sebagai Jawaban atas Ketimpangan dan Konflik

Tesis ini mengkaji implementasi desentralisasi di Indonesia, khususnya di Papua dan Papua Barat, dua provinsi dengan tantangan geografis, sosial, dan politik yang unik. Desentralisasi yang dimaksud adalah pemindahan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk memperbaiki pelayanan publik dan memperkuat demokratisasi. Namun, meski sudah berjalan hampir dua dekade, hasilnya belum optimal, terutama dalam penyediaan layanan dasar dan akuntabilitas demokratis.

Metodologi dan Studi Kasus

Penelitian menggunakan pendekatan studi kasus kualitatif dan kuantitatif di empat wilayah: Jayawijaya (pendidikan), Asmat (akses layanan kesehatan), Manokwari (tata kelola air minum), dan analisis sistem pemilihan lokal “noken” di Papua. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, analisis dokumen, dan data spasial menggunakan GIS.

Temuan Utama dan Analisis

1. Pendidikan di Jayawijaya: Uniformitas Kebijakan dan Kegagalan Insentif

  • Angka kunci: Rata-rata lama sekolah hanya 6,3 tahun (2017), jauh di bawah target nasional 8,8 tahun.
  • Masalah utama: Kebijakan nasional yang seragam tidak mengakomodasi kondisi geografis dan sosial lokal yang sulit dijangkau.
  • Insentif guru tidak efektif: Tingginya ketidakhadiran guru terutama guru PNS yang sulit dipantau karena jarak dan kurangnya koordinasi.
  • Monitoring lemah: Struktur pemerintahan yang terfragmentasi dan jarak geografis menyebabkan pengawasan guru dan sekolah tidak optimal.
  • Kurikulum nasional sulit diterapkan: Buku pelajaran nasional kurang relevan dengan konteks lokal, menyebabkan rendahnya pemahaman siswa.

2. Akses Layanan Kesehatan di Asmat: Ketimpangan Spasial

  • Wilayah rawa dan terpencil menyebabkan distribusi fasilitas kesehatan tidak merata.
  • Banyak desa sulit dijangkau, sehingga akses masyarakat terhadap pelayanan dasar sangat terbatas.
  • Krisis gizi dan wabah penyakit seperti campak menyebabkan kematian anak yang tinggi (lebih dari 65 anak meninggal pada 2018).
  • Rekomendasi: Perencanaan spasial yang lebih adil dan peningkatan fasilitas di daerah terpencil.

3. Tata Kelola Air Minum di Manokwari: Desain Institusional yang Tidak Sinkron

  • Meskipun Manokwari sebagai ibu kota provinsi berkembang, cakupan air bersih masih rendah (hanya 25% penduduk terlayani).
  • Kelembagaan tata kelola air terfragmentasi antara tingkat makro (nasional), meso (kabupaten), dan mikro (desa).
  • Kebijakan dan struktur organisasi yang tidak sinkron menyebabkan tumpang tindih tugas dan lemahnya koordinasi.
  • Dampak: Layanan air minum tidak efektif dan sulit menjangkau seluruh masyarakat.

4. Sistem Pemilihan “Noken” dan Demokratisasi Lokal

  • Sistem pemilihan tradisional menggunakan “noken” (tas anyaman) sebagai kotak suara, di mana kepala suku memilih atas nama komunitas.
  • Sistem ini bertentangan dengan prinsip demokrasi liberal “satu orang satu suara” dan sering memicu konflik serta kekerasan saat pemilu.
  • Namun, sistem ini diakui secara konstitusional untuk melindungi adat dan mencegah konflik sosial.
  • Analisis menunjukkan bahwa masalah utama bukan hanya budaya, tapi juga kegagalan tata kelola dan pengawasan pemilu.

Analisis Teoritis: Desentralisasi sebagai Hubungan Principal-Agent dan Dimensi Geografis

  • Desentralisasi dipandang sebagai hubungan principal-agent, di mana pemerintah pusat (principal) mendelegasikan kewenangan kepada pemerintah daerah (agent).
  • Masalah muncul ketika agent memiliki informasi lebih baik dan kepentingan berbeda, sehingga sulit dikontrol oleh principal.
  • Geografi memperparah masalah ini: jarak dan kondisi wilayah Papua yang sulit menyebabkan lemahnya pengawasan dan koordinasi.
  • Struktur pemerintahan yang vertikal dan horizontal tidak selalu sinkron, menimbulkan konflik fungsi dan kewenangan.

Opini dan Kritik

  • Studi ini sangat komprehensif dan mendalam, menggabungkan data empiris dan teori untuk menjelaskan kompleksitas desentralisasi di daerah terpencil.
  • Penekanan pada konteks lokal dan tantangan geografis menjadi kekuatan utama, karena sering diabaikan dalam studi desentralisasi umum.
  • Namun, fokus pada Papua dan Papua Barat membuat hasil kurang generalisasi untuk daerah lain di Indonesia.
  • Studi ini juga membuka peluang riset lanjutan tentang solusi inovatif untuk mengatasi masalah monitoring dan insentif di daerah terpencil.

Rekomendasi Kebijakan

  • Kebijakan nasional harus lebih fleksibel dan responsif terhadap konteks lokal, menghindari pendekatan “one-size-fits-all”.
  • Perkuat kapasitas monitoring dan evaluasi dengan melibatkan pemerintah desa dan teknologi informasi.
  • Reformasi sistem insentif guru dan tenaga pendidik agar sesuai kebutuhan dan kondisi lokal.
  • Tingkatkan koordinasi antar lembaga dan tingkat pemerintahan untuk sinkronisasi fungsi.
  • Evaluasi dan reformasi sistem pemilihan tradisional agar demokrasi lokal lebih inklusif dan damai.

Tantangan dan Harapan Desentralisasi di Papua

Tesis ini menegaskan bahwa desentralisasi di Papua dan Papua Barat menghadapi tantangan besar yang bersifat struktural, geografis, dan kultural. Meskipun desentralisasi memberikan peluang untuk demokratisasi dan peningkatan pelayanan publik, tanpa penyesuaian kebijakan dan penguatan kapasitas lokal, hasilnya tetap jauh dari harapan. Pendekatan yang mengintegrasikan konteks lokal, perbaikan insentif, dan penguatan monitoring menjadi kunci untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif dan demokratis di wilayah ini.

Sumber Artikel

Efriandi, Tri. (2021). Decentralization and the challenges of local governance in Indonesia: Four case studies on public service provision and democratization in Papua and West Papua. University of Groningen.