Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Dipublikasikan oleh Muhammad Armando Mahendra pada 21 Februari 2025
Latar Belakang Perlunya Pengembangan Public Housing di Indonesia
Indonesia menempati urutan ke-4 sebagai negara yang memiliki penduduk perkotaan tertinggi di dunia. Saat ini, lebih dari separuh (55 persen) penduduk Indonesia bertempat tinggal di perkotaan dan diperkirakan akan terus meningkat menjadi sekitar 67,1 persen pada tahun 2045. Fakta tersebut memberikan implikasi pada urgensi pe rlunya sistem penyediaan perumahan yang terjangkau oleh masyarakat agar dapat bertempat tinggal yang layak di perkotaan. Akan tetapi, kondisi saat ini menunjukan hal yang berlawasanan. Pertama, saat ini hampir 40% rumah tangga perkotaan masih menempati rumah yang tidak layak huni. Kedua, harga rumah juga semakin tidak terjangkau, tidak sebanding dengan kenaikan pendapatan masyarakat sehingga menyebabkan masyarakat harus tinggal di pinggiran kota tanpa terlayani akses transportasi publik yang memadai.
Akibatnya, banyak orang yang harus rela menempuh commuting time lebih dari 1 jam ke tempat kerja dan mengalami kemacetan lalu lintas. Ketiga, rumah sewa memiliki pasar yang cukup besar namun rumah sewa di perkotaan dengan harga terjangkau sulit diperoleh. Kenyataan di atas seakan memaksa masyarakat untuk melakukan trade off untuk memiliki rumah sendiri namun perlu menanggung transportation cost yang cukup besar. Pada sisi yang lain, untuk tinggal di lokasi yang dekat dengan pekerjaan di kota harus dihadapkan dengan besarnya harga jual/sewa rumah yang harus dibayar. Lebih jauh lagi, sebagian yang lain memilih untuk menempati permukiman padat dan kumuh namun lebih dekat ke lokasi pekerjaan dengan biaya sewa yang murah. Pemerintah Indonesia kemudian dalam RPJMN 2020-2024 mendorong berkembangnya penyediaan hunian vertikal di perkotaan terutama metropolitan sebagai major project bidang perumahan yang dikenal dengan Program Satu Juta Rumah Susun dalam Kerangka Public Housing.
Pemerintah mendorong penyedian 500 ribu rumah susun sewa dan 500 ribu rumah susun milik selama kurun waktu lima tahun ke depan. Inisiatif tersebut perlu disambut karena masyarakat perkotaan akan diberikan pilihan berdasarkan sistem karir perumahan yang akan dilalui sesuai perkembangan ukuran keluarga dan maturity lainnya seperti besarnya penghasilan. Sebagai contoh, bagi mereka yang baru lulus kuliah, belum menikah dan mulai bekerja di kota tentunya pada tahap awal lebih memerlukan hunian sewa dengan ukuran kecil. Namun, seiring berjalannya waktu maka kebutuhan akan hunian lebih besar serta upaya untuk memiliki rumah sendiri menjadi cita-cita masyarakat.
Sejarah pengembangan di Asia
Praktek penyediaan public housing bukan merupakan hal baru. Dilatarbelakangi oleh pemenuhan perumahan pasca Perang Dunia II, negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris sudah memulai pembangunan public housing sejak tahun 1940 dan Jepang memulainya sejak tahun 1950. Dahulu public housing di negara-negara tersebut dibangun bagi para tentara yang baru kembali dari medan perang atau orang-orang yang kehilangan rumahnya pasca perang dunia. Semakin lama, tujuan tersebut bertranformasi untuk memenuhi kebutuhan keluarga menengah ke bawah yang tidak mampu menjangkau rumah layak.
Hongkong
Sejak kisaran tahun 1930, Hong Kong menghadapi migrasi pengungsi besar-besaran dari Mainland China dan menyebabkan kekurangan supply rumah yang sangat besar. Dampaknya, permukiman kumuh tumbuh dengan cepat. Pemerintah Hong Kong di tahun 1935 sudah berencana membangun rumah murah secara masif untuk memenuhi kebutuhan rumah tersebut, namun dikarenakan adanya guncangan ekonomi, rencana tersebut tidak terlaksana. Akan tetapi, momentum perubahan datang saat terjadinya kebakaran besar di kawasan permukiman padat Shep Kip Mei tahun 1953 dan menyebabkan 50.000 keluarga mendadak kehilangan rumah. Pemerintah Hong Kong menangkap hal tersebut sebagai kesempatan untuk melakukan penataan dengan memperkenalkan konsep “rumah bertingkat” yang kemudian dikenal sebagai istilah Public Housing. Tahun 1954, public housing pertama di kawasan Shep Kip Mei selesai dibangun dan siap dihuni. Sejak saat itu, pembangunan public housing di Hong Kong kemudian terus berkembang dengan pesat.
Public Housing Shep Kip Mei Beberapa Tahun setelah Pembangunan (1956)
Sumber: www.nawasis.org
Kin Ming Estate Tahun 2003 yang Menampung 22.000 Jiwa
Sumber: www.nawasis.org
Singapura
Singapura mulai gencar membangun public housing di tahun 1960 dengan diawali oleh pembentukan Housing Development Board (HDB), sebuah statutory board di bawah Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Singapura dengan fokus menyediakan hunian terjangkau berupa public housing. Empat tahun setelah HDB berdiri, Singapura berhasil membangun 31.317 basic functional unit public housing bagi warganya sehingga kemudian mendorong pemerintah Singapura untuk mengkombinasikan penyediaan public housing tersebut dengan berbagai skema pembiayaan perumahan seperti Home Ownership Scheme. Bahkan kemudian di tahun 1968, Pemerintah Singapura kemudian mengizinkan pemanfaatan Central Provident Fund (CPF) untuk pembayaran uang muka dan cicilan rumah selain untuk tabungan pensiun dan kesehatan. Pada akhirnya, dengan berbagai skema dan fasilitas pembiayaan yang ditawarkan, membuat saat ini public housing menjadi rumah bagi 80% warga Singapura, dimana 90% diantaranya berstatus pemilik.
Berkembangnya pasar public housing di Singapura juga menjadikan bunga cicilan kepemilikan public housing juga sangat terjangkau, yaitu hanya sebesar 2,6% dan akhirnya memicu kompetisi pasar rumah murah dimana commercial banks juga berlomba-lomba untuk menyediakan produk cicilan rumah dengan bunga setara HDB. Berkembangnya pasar public housing di Singapura menjadikannya sebagai alat kontrol politik, ekonomi, dan sosial yang besar oleh pemerintah.
Komplek Public Housing di Singapore
Sumber: www.nawasis.org
Korea Selatan
Korea Selatan memulai mengembangkan public housing di tahun 1988, bertepatan dengan persiapan olimpiade di Seoul. Pada saat itu, pembangunan public housing dilaksanakan sebagai bagian dari penanganan permukiman kumuh yang dianggap dapat mencoreng wajah Korea Selatan di mata dunia. Pada awalnya, pemerintah juga membangun di atas lahan-lahan milik pemerintah. Untuk mengatasi keterbatasan lahan dan pendanaan serta permintaan yang semakin besar, pada tahun 1990 pemerintah melalui Korea Housing Authority kemudian mendorong penyediaan public housing melalui pihak swasta dengan memberikan berbagi insentif. Selain itu, pemerintah juga membeli apartemen-apartemen tua dan melakukan renovasi untuk kemudian disewakan/dijual kepada masyarakat berpendapatan rendah. Model pembangunan tersebut berlangsung hingga saat ini.
Kawasan Public Housing di Area Yeouido-dong, Seoul
Sumber: www.nawasis.org
Perjalanan Pengembangan Public Housing di Indonesia
Di Indonesia, sSejak tahun 1981, Pemerintah telah memulai pembangunan Rumah Susun pertama di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Pembangunan tersebut ditujukan untuk mengurai kepadatan penduduk di DKI Jakarta yang semakin bertambah dari tahun ke tahun. Upaya tersebut terus berlanjut sampai puncaknya pada tahun 2006 dimana pemerintah mengagas program pembangunan hunian vertikal secara besar-besaran melalui Program Seribu Tower. Untuk mendukung program tersebut, pemerintah menetapkan Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 22 Tahun 2006 tentang Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Rumah Susun di Kawasan Perkotaan. Pada saat itu dikenalkan konsep Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami) secara masif dengan pilot project di 10 kota metropolitan.
Berbeda dengan negara di Asia lainnya seperti Korea dan Singapura, pembangunan rumah susun di Indonesia tidak berkembang pesat seperti yang diharapkan. Program Seribu Tower tersebut nyatanya tidak berjalan sejak tahun 2013 akibat berbagai faktor, seperti tidak berjalannya berbagai insentif yang diperlukan oleh pengembang (misal: percepatan perizinan, PSU, keringanan BPHTB, penyediaan kredit konstruksi, dll), tingginya harga lahan di lokasi strategis sedangkan lahan yang disediakan pemerintah sebagian besar tidak berstatus clean and clear, dll, sedangkan harga jual dibatasi oleh pemerintah. Hal tersebut pada akhirnya membuat pengembang menaikan harga jual serta konsep Rusunami berubah perlahan dan berganti menjadi Apartemen Sederhana Milik (Anami).
Seperti halnya dengan Rusunami, program Rusunawa juga tidak berkembang pesat. Data menunjukan bahwa stok Rusunawa saat ini hanya sekitar 27.965 unit atau hanya memenuhi kurang lebih 5,2% kebutuhan di Kawasan Metropolitan. Angka tersebut belum memperhitungkan kebutuhan rumah sewa untuk rumah tangga yang saat ini menumpang, yang terdampak relokasi, dan peningkatan kebutuhan akan rumah sewa per tahun.
Prinsip Pengembangan Public Housing
Merujuk pada pengalaman dari negara lain, dapat disimpulkan bahwa keberhasilan pengembangan public housing didasari oleh prinsip sebagai berikut:
Konsep Public Housing yang Akan Dikembangkan
Dengan demikian, salah satu yang perlu dikembangkan ke depan adalah konsep apartemen transit (sewa) yang terhubung dengan sistem penyediaan hunian milik serta terlayani sistem transportasi publik. Konsep transit diimplementasikan agar masyarakat menghuni rumah susun/apartemen sewa yang tersedia sambil menyiapkan diri untuk dapat membeli hunian milik sendiri ke depan. Setelah sekitar 5 tahun menghuni apartemen transit, masyarakat kemudian dapat mengakses fasilitas pembiayaan perumahan seperti Kredit Pemilikan Rumah (KPR).
Untuk mendukung sistem pengelolaan yang optimal, Pemerintah akan mendorong pembentukan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) sebagai titik awal mewujudkan pengelolaan yang lebih profesional. BLUD akan mendukung pencapaian output yang optimum tanpa mencari keuntungan serta meningkatkan layanan dan produkfitas dalam keterbatasan dana dengan meningkatkan kewirausahaan pemerintah.
Ilustrasi Konsep Apartemen Transit untuk Mendukung Housing Career System
Sumber: www.nawasis.org
Peluang Pendanaan Public Housing
Sumber: www.nawasis.org
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Dipublikasikan oleh Muhammad Armando Mahendra pada 21 Februari 2025
Negara-negara Anggota Komunitas Pembangunan Afrika Selatan (SADC) mencakup negara-negara besar dengan perekonomian besar, perekonomian kecil dan terisolasi serta negara-negara kepulauan, serta gabungan negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Pembangunan infrastruktur regional menciptakan pasar yang lebih besar dan peluang ekonomi yang lebih besar, dan pembangunan infrastruktur sangat penting untuk mendorong dan mempertahankan pembangunan ekonomi regional, perdagangan dan investasi, dan akan berkontribusi pada pengentasan kemiskinan dan perbaikan kondisi sosial.
SADC telah mencapai kemajuan signifikan dalam pembangunan infrastruktur regional. Infrastruktur mencakup sistem transportasi dan komunikasi regional, yang merupakan hal mendasar bagi kerja sama di kawasan SADC. Energi, air dan sanitasi, serta meteorologi juga merupakan komponen penting infrastruktur regional. Namun, kawasan SADC menghadapi sejumlah tantangan, termasuk:
Pasokan energi tidak mencukupi untuk melayani peningkatan produksi dan memperluas akses.
Layanan transportasi dan logistik yang mahal dan tidak dapat diprediksi, terutama bagi negara-negara yang tidak memiliki daratan.
Kurangnya akses berbiaya rendah terhadap teknologi informasi dan komunikasi.
Layanan meteorologi yang tidak memadai untuk perencanaan dan pengelolaan sumber daya air, produksi energi, layanan transportasi dan sektor sensitif iklim lainnya yang efektif dan efisien.
Tingginya jumlah penduduk yang tidak memiliki akses terhadap air minum yang aman, sanitasi yang memadai, dan air untuk irigasi guna meningkatkan sistem produksi pertanian yang akan berkontribusi terhadap ketahanan pangan.
Lambatnya respons terhadap tren dan peluang pariwisata baru.
Investasi di bidang Infrastruktur
Bank Dunia memperkirakan bahwa perbaikan infrastruktur mendorong pertumbuhan SADC sebesar 1,2 % per kapita per tahun selama tahun 1995-2005, terutama dari akses terhadap telepon seluler. Peningkatan jaringan jalan hanya memberikan kontribusi pertumbuhan yang kecil, sementara kurangnya sektor ketenagalistrikan memberikan dampak negatif. Perbaikan infrastruktur yang sejalan dengan apa yang dilakukan Mauritius, pemimpin regionalnya, dapat meningkatkan kinerja pertumbuhan regional sebesar 3 poin persentase. Kebutuhan infrastruktur regional di seluruh sektor infrastruktur mewakili 1 persen PDB regional.
Upaya terus dilakukan untuk mendorong partisipasi sektor swasta dalam penyediaan infrastruktur dengan cara yang ramah lingkungan. Dalam hal ini, fungsi utama Direktorat Prasarana dan Pelayanan serta badan afiliasinya adalah:
Pembangunan Infrastruktur Wilayah
Ditandatangani pada KTT SADC pada bulan Agustus 2012, Rencana Induk Pembangunan Infrastruktur Regional memandu pembangunan infrastruktur utama seperti jalan raya, kereta api dan pelabuhan, dan juga bertindak sebagai kerangka kerja perencanaan dan kerja sama dengan mitra pembangunan dan sektor swasta. Infrastruktur juga merupakan komponen kunci dari Rencana Pembangunan Strategis Indikatif Regional.
Rencana induk ini akan dilaksanakan dalam tiga interval lima tahun – jangka pendek (2012-2017), jangka menengah (2017-2022) dan jangka panjang (2022-2027). Hal ini sejalan dengan Visi SADC 2027, yaitu jangka waktu implementasi selama 15 tahun untuk memperkirakan kebutuhan infrastruktur di wilayah tersebut. Hal ini juga sejalan dengan Program Pembangunan Infrastruktur di Afrika (PIDA) Uni Afrika dan akan menjadi masukan penting dalam Rencana Induk Infrastruktur Antar-Regional dan usulan Kawasan Perdagangan Bebas tripartit SADC, Pasar Bersama untuk Afrika Timur dan Selatan ( COMESA) dan Komunitas Afrika Timur (EAC).
Rencana Induk Pembangunan Infrastruktur Regional berisi target-target yang ambisius, namun wilayah SADC memulai tugas mendasar untuk menciptakan lingkungan yang mendukung dengan memenuhi kebutuhan infrastruktur pada tahun 2027 untuk memfasilitasi realisasi pembangunan sosio-ekonomi regional yang berkelanjutan dan integrasi dalam kerangka Visi Infrastruktur SADC 2027.
Disadur dari: www.sadc.int
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Dipublikasikan oleh Muhammad Armando Mahendra pada 21 Februari 2025
Jebakan pembangunan infrastruktur
Banyak yang telah menulis bahwa pembangunan infrastruktur besar-besaran diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Dalam konteks pencapaian visi Indonesia Emas 2045, keputusan untuk membangun ditetapkan untuk meningkatkan konektivitas. Hipotesisnya adalah bahwa konektivitas adalah fondasi pemerataan dan peningkatan kinerja pertumbuhan.
Oleh karena itu, investasi besar-besaran dikucurkan untuk mendukung agenda pembangunan infrastruktur. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, total dana yang dibutuhkan untuk membangun infrastruktur mencapai sekitar Rp4,7 ribu triliun. Sementara itu, pada RPJMN 2020-2024, totalnya mencapai sekitar Rp6,4 ribu triliun.
Di tengah kesenjangan investasi, pendanaan dari luar negeri diperlukan untuk menutup kesenjangan tersebut. Kerjasama dengan negara lain untuk membangun infrastruktur dilakukan secara masif. Insentif dan kemudahan regulasi telah ditawarkan, terutama untuk menarik investor asing masuk ke sektor-sektor yang secara finansial kurang menarik.
Titik awal jebakan
Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong pembangunan infrastruktur secara masif. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ditugaskan untuk mendukung agenda tersebut. Langkah awal yang dilakukan adalah dengan mengalihkan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Lebih dari Rp200 triliun anggaran subsidi BBM dialihkan pada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo. Jadi, pada periode awal, anggaran infrastruktur meningkat secara signifikan dari Rp256 triliun pada tahun 2015 menjadi Rp381 triliun pada tahun 2017.
Peningkatan anggaran infrastruktur pada periode awal telah menguntungkan BUMN konstruksi secara ekonomi. Kontrak yang diberikan kepada BUMN konstruksi meningkat. Sebagai contoh, nilai kontrak baru Waskita Karya meningkat secara signifikan dari Rp22 triliun di tahun 2014 menjadi Rp55 triliun di tahun 2017. BUMN konstruksi juga secara agresif menyediakan pembiayaan dengan melakukan pinjaman korporasi. Rasio utang terhadap ekuitas yang berada di dua digit menjadi hal yang normal bagi BUMN konstruksi.
Setelah tahun 2019, pembangunan infrastruktur masih dilakukan secara masif meskipun kapasitas fiskal sudah mulai turun. Anggaran infrastruktur pemerintah tumbuh stagnan. Lebih jauh lagi, pandemi Covid-19 membuat infrastruktur terlempar dari daftar prioritas.
Oleh karena itu, rejeki nomplok untuk BUMN konstruksi mulai menurun. Pertumbuhan ekuitas tidak sebanding dengan peningkatan utang. Rasio utang terhadap ekuitas berada pada level yang mengkhawatirkan. Sebagai contoh, rasio Waskita Karya mencapai 200%. Artinya, laba perusahaan sangat rendah, tapi beban bunga mereka sangat tinggi. Perusahaan yang berada di tingkat rasio ini lebih rentan terhadap gagal bayar dan kebangkrutan.
Jebakan pendanaan
Ambisi pembangunan infrastruktur, kesenjangan pendanaan, dan kesalahan pengelolaan risiko adalah tiga serangkai jebakan pendanaan. Beberapa jebakan yang dapat muncul terkait dengan risiko penggunaan dana publik untuk membiayai proyek-proyek yang tidak layak secara finansial. Sehingga, APBN diperlukan untuk memulihkan keuangan BUMN yang tidak sehat. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan dana publik untuk memberikan penyertaan modal negara (PMN) bagi BUMN yang tidak sehat. Sebagai contoh, Hutama Karya telah diberikan PMN lebih dari Rp100 triliun sejak tahun 2017 hingga 2023.
Penggunaan dana publik di luar mekanisme APBN juga dapat dilakukan melalui penawaran umum terbatas (rights issue). Pada praktiknya, perusahaan dengan gearing ratio yang tinggi akan melakukan rights issue untuk mendilusi nilai utangnya. Hal inilah yang mendasari Waskita Karya gencar melakukan rights issue dalam beberapa tahun terakhir.
Beban pemerintah terkait APBN akan bertambah jika rights issue tidak diserap oleh pasar, tetapi diserap oleh pemerintah melalui PMN. Kondisi ini berarti dua hal, pertama, saham publik terdilusi sehingga struktur kepemilikan negara akan meningkat. Kemudian, kepemilikan negara pada perusahaan yang keuangannya tidak sehat akan menambah beban negara. Artinya, kerugian BUMN yang semakin besar akan menambah beban pemerintah. Pada titik ini, risiko yang awalnya di luar beban APBN akan langsung menjadi beban APBN.
Jebakan lainnya adalah tekanan geopolitik dan jebakan utang. Jebakan ini muncul karena terbatasnya dana publik yang harus digunakan untuk memenuhi kebutuhan investasi. Di sisi lain, terdapat kesenjangan investasi antara sektor-sektor yang layak secara ekonomi dan sektor-sektor yang tidak layak. Di tengah keterbatasan dana publik, proyek-proyek seperti proyek perumahan kelas atas, energi, dan telekomunikasi lebih menarik bagi investor karena menawarkan imbal hasil yang lebih baik. Berbeda dengan infrastruktur, proyek-proyek berbasis rel kereta api, jalan raya (termasuk jalan tol, terutama yang berada di wilayah dengan mobilitas rendah), dan jembatan kurang diminati oleh investor.
Di sinilah tekanan geopolitik terjadi. Di satu sisi, kebutuhan investasi proyek-proyek dengan imbal hasil yang rendah mendorong pemerintah untuk mencari sumber pembiayaan dari negara lain. Di sisi lain, terdapat persaingan dalam pembiayaan infrastruktur untuk meningkatkan akses pasar, sumber daya, dan dominasi politik di negara berkembang.
Namun, persaingan geopolitik dan ekonomi sering kali digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang memiliki kelayakan finansial yang kurang menguntungkan. Terlebih lagi, jika proyek-proyek infrastruktur tersebut diinisiasi karena kepentingan politik negara investor dengan uji teknis, lingkungan, dan sosial. Kondisi ini akan menghasilkan utang fiskal yang rawan gagal bayar. Pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung merupakan salah satu contoh jebakan pendanaan.
Pembiayaan untuk pembangunannya akan menggunakan obligasi konsorsium atau pinjaman korporasi. Akan tetapi, PMN akhirnya digunakan. Alih-alih proyek berjalan dengan cepat, proyek ini justru terbelit oleh birokrasi dan kepentingan politik negara investor (China). Selain itu, terjadi pembengkakan biaya. Besarnya beban yang dipikul oleh BUMN untuk menanggung proyek ini juga akan menambah risiko keuangan negara.
Pembangunan infrastruktur sangat penting untuk meningkatkan konektivitas dan menopang pertumbuhan. Hal ini diperlukan untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Namun, risiko fiskal tidak bisa dikesampingkan. Jebakan pembiayaan memiliki risiko. Ruang fiskal cukup sempit untuk menanggung pembiayaan infrastruktur yang tidak berkelanjutan. Selain itu, utang juga dapat menekan alokasi anggaran untuk pembangunan sumber daya manusia. Pemerintah perlu menghitung ulang arah pembangunan infrastruktur ke depan.
Disadur dari: www.pwc.com
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Dipublikasikan oleh Muhammad Armando Mahendra pada 21 Februari 2025
Latar Belakang dan Pentingnya Pembangunan Infrastruktur
Latar belakang pembangunan infrastruktur di Indonesia adalah kondisi geografis Indonesia itu sendiri. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat luas. Untuk mendukung mobilisasi dan meningkatkan perekonomian, diperlukan pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan.
Seberapa pentingkah pembangunan infrastruktur di Indonesia? Jawabannya adalah sangat penting. Hal ini dikarenakan pembangunan infrastruktur mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Pembangunan di berbagai sektor memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan daerah. Selain itu, pembangunan yang dilakukan dapat memberikan nilai tambah bagi industri dan menciptakan lapangan pekerjaan baru.
Presiden Jokowi sendiri mengatakan bahwa daya saing produk Indonesia akan sulit bersaing dengan negara lain jika infrastruktur Indonesia tidak baik. Salah satu infrastruktur yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi adalah dari segi transportasi seperti jalan tol. Sudah lebih dari 40 tahun pembangunan jalan tol dimulai. Sayangnya, ruas jalan tol yang dibangun tidak bertambah secara signifikan.
Tujuan Pembangunan Infrastruktur di Indonesia
Setelah Anda mengetahui betapa pentingnya pembangunan infrastruktur di Indonesia, ada baiknya Anda mengetahui apa saja tujuan pembangunan infrastruktur. Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai pemerintah dengan menggalakkan pembangunan infrastruktur, seperti meningkatkan konektivitas, dan menstimulasi pertumbuhan ekonomi di berbagai daerah di Indonesia.
Tidak hanya itu, pembangunan infrastruktur yang sedang berlangsung merupakan bentuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jadi, pembangunan yang sedang digalakkan oleh pemerintah tidak hanya di Pulau Jawa saja, melainkan merata ke seluruh wilayah di Indonesia. Dengan adanya infrastruktur yang baik, maka mobilitas barang dapat lebih mudah dan membuat harga-harga produk atau barang kebutuhan pokok menjadi lebih terjangkau.
Peran Pembangunan Infrastruktur dalam Kemajuan Indonesia
Pembangunan infrastruktur di Indonesia mampu mendorong kemajuan Indonesia ke arah yang lebih baik. Bahkan pembangunan infrastruktur menjadi prioritas bagi suatu negara. Dengan pembangunan infrastruktur yang baik, maka dapat meningkatkan produktivitas dan daya saing negara.
Pembangunan infrastruktur yang baik dan merata dapat menghemat biaya pendirian pabrik. Biasanya lokasi industri sudah disediakan oleh pemerintah, hal ini memungkinkan perusahaan mendapatkan tempat beroperasi dengan harga yang lebih murah, dan pembangunan pabrik dapat berjalan lebih efisien. Infrastruktur yang baik pun juga mampu meningkatkan efisiensi operasional perusahaan.
Infrastruktur yang baik juga mampu memperlancar distribusi dan mobilitas barang. Baik itu operasional saat mengangkut bahan baku maupun barang jadi. Waktu yang lebih singkat dan efisien membuat harga produk menjadi kompetitif dan tidak terlalu mahal. Bisa dibayangkan infrastruktur yang buruk tentu akan membuat operasional tidak berjalan dengan lancar. Hal ini membuat harga produk menjadi mahal dan tidak kompetitif.
Meningkatnya infrastruktur transportasi di suatu daerah juga membuat perbaikan sarana dan prasarana menjadi lebih merata. Ketika pemerataan berjalan dengan baik, maka tidak ada lagi yang namanya daerah tertinggal, dan kemiskinan di suatu daerah menjadi lebih teratasi. Selain transportasi, infrastruktur komunikasi juga perlu ditingkatkan. Dengan meningkatkan pembangunan di bidang transportasi dan komunikasi, maka ketimpangan tidak akan terjadi.
Selain itu, infrastruktur tidak hanya mencakup dari sisi suplai saja. Namun juga dilihat dari pelayanan yang diberikan. Jika dilihat secara garis besar infrastruktur ini dapat dikategorikan menjadi fisik, sosial, dan finansial. Untuk kemajuan negara Indonesia, maka harus bisa menyeimbangkan ketiga infrastruktur tersebut. Simak pengertian dari masing-masing infrastruktur tersebut di bawah ini!
Peran PT SMI (Sarana Multi Infrastruktur) sebagai Katalisator Pembangunan Infrastruktur
Membahas pembangunan infrastruktur memori dan pikiran langsung tertuju pada PT SMI. Apa itu? PT SMI adalah Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur yang kredibel dan terbaik di Indonesia. Banyak proyek infrastruktur di Indonesia yang telah dibiayai oleh PT SMI. Dengan pembiayaan yang diberikan, pembangunan infrastruktur bisa lebih cepat sehingga pertumbuhan ekonomi juga lebih cepat.
Dalam pembangunan infrastruktur nasional, PT SMI memiliki berbagai peran yang luar biasa, yaitu menciptakan produk untuk mengisi kekosongan pasar dan menjadi katalisator pembiayaan infrastruktur, municipal financing, yaitu pembiayaan kepada pemerintah daerah untuk mempercepat pembangunan daerah.
Peran PT SMI selanjutnya adalah mempromosikan investasi melalui penyediaan jasa konsultasi, pengembangan proyek KPBU dan pengembangan kapasitas. Kemudian melakukan penyertaan modal dari proyek-proyek infrastruktur atau equity financing.
Tidak cukup sampai di situ, PT SMI juga menerbitkan green bond korporasi pertama di Indonesia untuk tujuan pembiayaan hijau. Berikutnya adalah SDG Indonesia One, yang merupakan platform terintegrasi yang digunakan untuk mendanai proyek-proyek dengan orientasi SDG yang terdiri dari pengembangan proyek, derisking, pembiayaan, dan investasi.
Peran terakhir adalah mendukung program PEN, Penelitian dan pengetahuan produk. PT SMI mendukung pelaksanaan investasi pemerintah untuk menyelamatkan BUMN dalam rangka PEN dan menyalurkan pinjaman ke daerah yang terdampak Covid-19. PT SMI juga menghasilkan produk ekonomi yang berkualitas untuk mendukung pembiayaan.
Terdapat beberapa penyiapan proyek KPBU yang didalamnya terdapat peran PT SMI seperti SPAM Umbulan, SPAM Lampung, SPAM Semarang Barat. PT SMI juga berperan dalam proyek telekomunikasi seperti Palapa Ring Paket Barat, Palapa Ring Paket Tengah dan terakhir Palapa Ring Paket Timur.
Butuh Dana Infrastruktur? Pilih saja PT SMI!
Salah satu kendala yang membuat infrastruktur tidak berjalan maksimal adalah terbatasnya sumber pembiayaan yang hanya mengandalkan APBN dan APBD. Terlebih lagi, pembangunan infrastruktur di daerah belum merata. Oleh karena itu, untuk mempercepat pembangunan infrastruktur daerah dan nasional, Anda bisa mengajukan pembiayaan ke PT SMI.
Ada banyak produk dan layanan yang bisa Anda dapatkan dan manfaatkan. Layanan tersebut bisa disesuaikan dengan kebutuhan Anda. Layanan yang bisa Anda dapatkan adalah pembiayaan dan investasi, jasa konsultasi dan terakhir adalah pengembangan proyek. Ketiga layanan ini juga merupakan pilar bisnis dari PT SMI (Sarana Multi Infrastruktur).
Disadur dari: ptsmi.co.id
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Dipublikasikan oleh Muhammad Armando Mahendra pada 21 Februari 2025
Keterjangkauan perumahan dengan cepat menjadi krisis di sebagian besar wilayah metropolitan di dunia. Orang-orang di negara maju seperti Kanada dan Amerika Serikat telah merasakan beban kenaikan harga rumah. Hal ini mempengaruhi semua orang dari berbagai latar belakang ekonomi, termasuk kelas menengah ke atas. Kisahnya tidak berbeda di negara dengan populasi terbesar keempat di dunia ini. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa 28 dari 62 responden yang diambil secara acak, atau 45%, melaporkan bahwa mereka terbebani oleh biaya perumahan seperti cicilan rumah dan utilitas. Perumahan yang terjangkau sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi negara.
Pendapatan dan Beban Biaya. Tafridj, 2021
Sumber: theconversation.com
Perumahan di Jakarta sangat mahal sehingga 80% dari responden tinggal di rumah sewa jangka pendek.
Lokasi Perumahan dan Status Kepemilikan. Tafridj, 2021
Sumber: theconversation.com
Perumahan yang terjangkau sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi bangsa. Laporan Bank Dunia tahun 2020 menunjukkan bahwa kelas menengah di Indonesia menyumbang 50% dari total konsumsi nasional. Rata-rata setiap orang menghabiskan Rp 1,2-6 juta (US$85 hingga US$424) per bulan - termasuk untuk perumahan. Meningkatnya biaya terkait perumahan dapat melukai daya beli kelas menengah, yang dapat membahayakan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Oleh karena itu, saya menyarankan tiga perubahan kebijakan untuk mengatasi krisis perumahan kelas menengah yang akan datang.
Pertama, memperkuat peran pemerintah secara kolektif untuk mengatur penawaran dan permintaan perumahan.
Tata kelola kolektif Jabodetabek, yang terdiri dari kota Bogor, Depok, Bekasi di Jawa Barat dan Tangerang di Banten, sebagai sebuah konurbasi atau penggabungan beberapa wilayah perkotaan yang saling berdekatan sangatlah penting. Wilayah Bogor, Depok dan Tangerang telah berperan sebagai pendukung kegiatan ekonomi Jakarta, namun konsolidasi perencanaan pemukiman perkotaan belum menjadi salah satu program prioritas. Pemerintah daerah di wilayah Jabodetabek harus memahami bahwa kepentingan pembangunan perkotaan masing-masing daerah terlalu bergantung satu sama lain untuk diatur secara independen. Daerah-daerah lain harus memikul sebagian beban backlog perumahan di Jakarta.
Meskipun peran pengembang swasta sangat penting, pemerintah daerah harus membuat kebijakan yang lebih baik untuk memastikan pembangunan yang berkelanjutan. Kebijakan-kebijakan ini dapat mencakup pengawasan yang lebih ketat terhadap pembangunan perumahan sosial dan perencanaan penggunaan lahan. Di London, pemerintah kotanya memperkuat sistem perencanaan dengan menciptakan perumahan yang lebih terjangkau dan mendorong skema bangun-sewa sehingga separuh rumah di London dapat dijangkau oleh semua kalangan. Selain itu, kita belum memiliki diskusi yang cukup tentang perencanaan jangka panjang untuk kota. Solusi untuk krisis perumahan harus dimulai dari sana.
Seorang pekerja menyelesaikan pembangunan proyek perumahan di Jakarta Utara
Sumber: theconversation.com
Kedua, Jakarta harus mempertimbangkan untuk melegitimasi skema perumahan sewa pribadi.
Fakta bahwa 80% dari responden yang tinggal di Jakarta merupakan penghuni rumah sewa jangka pendek seharusnya menjadi indikasi perlunya pemerintah menyusun kebijakan mengenai rumah sewa. Saat ini, meskipun ada peraturan untuk rumah sewa publik atau pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah Jakarta tidak memiliki kebijakan tentang rumah sewa pribadi. Selain belum adanya peraturan mengenai rumah sewa, masih ada stigma yang tersebar luas bahwa menyewa rumah adalah membuang-buang uang. Inilah sebabnya mengapa orang lebih memilih untuk tinggal 40-50 km dari tempat kerja mereka, menghabiskan uang, waktu dan energi untuk perjalanan pulang pergi, daripada menyewa rumah yang lebih dekat dengan tempat kerja. Meski sulit untuk mengubah stigma ini, setidaknya yang dapat dilakukan pemerintah adalah membuat kebijakan yang akan melembagakan dan memformalkan rumah sewa. Hal ini berhasil di Singapura, yang mewajibkan registrasi pemilik dan penyewa dan memiliki peraturan terpisah untuk hunian tapak dan non-tapak.
Peraturan ini memastikan keamanan hukum bagi penyewa dan menempatkan sewa sebagai pilihan hunian yang layak. Kebijakan sewa rumah jangka panjang bukanlah hal yang langka di banyak kota besar di seluruh dunia. Pusat-pusat metropolitan seperti London, New York, Amsterdam dan Singapura menghadapi masalah kelebihan penduduk dan terbatasnya pilihan hunian permanen, sehingga mereka menerapkan kebijakan dan peraturan untuk memastikan legitimasi dan keamanan skema sewa. Di Jakarta, kamar kos dan rumah sewa berdiri begitu saja tanpa izin dan peraturan yang memadai. Hal ini membuat para penyewa dan penghuni kos berada dalam bahaya eksploitasi oleh pelaku usaha yang beritikad buruk. Kondisi ini juga memperburuk stigma bahwa rumah sewa bersifat sementara dan tidak diminati.
Pemandangan udara dari sebuah kompleks perumahan di Jakarta Utara.
Sumber: theconversation.com
Ketiga, pemerintah harus menyediakan lebih banyak pasokan perumahan berbiaya menengah melalui kemitraan pemerintah-swasta dan menciptakan skema pembiayaan yang ditargetkan untuk kelas menengah.
Pemerintah harus mengambil kendali yang lebih baik atas harga pasar perumahan dengan membangun lebih banyak unit rumah berbiaya menengah dan memperluas batas harga untuk mencakup calon pembeli berpenghasilan menengah. Program subsidi perumahan dan perumahan publik saat ini didedikasikan untuk mereka yang memiliki gaji bulanan tidak lebih dari Rp 8 juta (US$567), sehingga tidak termasuk masyarakat kelas menengah Indonesia. Meroketnya harga rumah disebabkan oleh tingginya permintaan dan sangat rendahnya suplai perumahan yang terjangkau di area-area yang diinginkan. Inflasi harga rumah di Jakarta telah menyebar ke daerah-daerah lain. Dalam waktu dekat, tinggal di Tangerang atau Bogor tidak akan lagi terjangkau bagi banyak orang, kecuali jika pemerintah mengambil kendali atas kebijakan pembangunan perumahan dan peraturan penggunaan lahan.
Disadur dari: theconversation.com
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
Dipublikasikan oleh Muhammad Armando Mahendra pada 21 Februari 2025
Ke mana investasi ini akan mengalir dan bagaimana para pemain infrastruktur internasional akan berpartisipasi?
Presiden Joko Widodo memahami hubungan antara investasi infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi. Ketika pertama kali terpilih empat tahun lalu, ia mengumumkan rencana infrastruktur senilai US$350 miliar yang menjanjikan untuk menghilangkan kemacetan yang ada dan meningkatkan akses ke infrastruktur di luar pulau Jawa.
Tahun ini, pemerintahannya mengumumkan rencana yang lebih ambisius untuk tahun 2020 hingga 2024. Lebih dari US$400 miliar akan dibelanjakan untuk ratusan proyek. Dua puluh lima bandara baru sedang dalam proses pembangunan, begitu juga dengan pembangkit listrik, fasilitas pengolahan sampah menjadi energi, dan berbagai proyek transportasi massal. Rencana tersebut juga mencakup pengembangan dasar untuk ibu kota baru.
Meningkatkan nilai yang sudah ada
Tidak semua hal yang dilakukan merupakan hal yang besar. Faktanya, sebagian besar rencana infrastruktur berfokus pada peningkatan nilai aset yang telah dibangun pada investasi tahap pertama.
"Keberhasilan kami dalam melaksanakan proyek-proyek infrastruktur tulang punggung selama beberapa tahun terakhir akan memberikan dampak ekonomi yang sangat besar bagi Indonesia di masa mendatang," ujar Dr. Wahyu Utomo, Deputi Menteri Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. "Sekarang kita harus mulai fokus pada peningkatan infrastruktur pendukung yang diperlukan untuk membuka nilai dari investasi-investasi tulang punggung tersebut."
Sekitar 60 persen dari investasi yang direncanakan diperuntukkan bagi proyek-proyek transportasi.1 Seperti yang dicatat oleh Dr. Utomo, banyak daerah perkotaan di Indonesia mengalami kemacetan dan tantangan konektivitas yang semakin meningkat. Sebagian besar investasi akan digunakan untuk menciptakan pilihan angkutan massal baru dan meningkatkan efisiensi layanan yang ada.
Peran yang lebih besar untuk pemain swasta
Rencana awal mengantisipasi bahwa sekitar 40 persen dari pendanaan akan berasal langsung dari pemerintah sementara sekitar seperempatnya akan berasal dari berbagai badan usaha milik negara. Pemerintah berharap dapat mendorong sektor swasta untuk menginvestasikan 35 persen sisanya.
"Sektor swasta telah sangat terlibat dalam pasar infrastruktur di Indonesia dan kami berharap dapat mendorong partisipasi tersebut untuk terus berlanjut dan berkembang," kata Dr. "Kami juga berharap dapat memperluas partisipasi sektor swasta di luar infrastruktur ekonomi dengan memasukkan aset dan layanan sosial seperti pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial."
Energi untuk berkembang
Proyek-proyek energi diperkirakan akan menerima bagian terbesar kedua dari anggaran yang direncanakan. Beberapa di antaranya akan digunakan untuk meningkatkan kapasitas energi negara secara keseluruhan dan mendiversifikasi bauran energinya.
"Kami mampu mengembangkan pasar listrik yang sangat kuat dalam waktu yang sangat singkat," kata Dr. "Sekarang kita perlu melakukan hal yang sama untuk sektor minyak dan gas. Pemerintah menyadari bahwa investasi di bidang energi tidak hanya mendorong investasi asing langsung dan menciptakan potensi ekspor. Investasi ini juga memungkinkan negara untuk mencapai ketahanan energi dan mendiversifikasi sumber energi."
Proyek-proyek baru untuk mengolah sampah menjadi energi juga ada dalam rencana. "Tujuannya adalah untuk mengurangi sampah dengan cara yang ramah lingkungan dan meningkatkan pasokan energi," tambah Dr. Utomo
Membuat investasi lebih mudah
Tidak hanya mengumumkan program-program investasi yang masif, pemerintah Indonesia juga bekerja keras untuk menciptakan lingkungan yang tepat untuk menarik investasi. Mengurangi regulasi telah menjadi prioritas utama pemerintah ini.
"Kecepatan pelayanan, kecepatan memberikan izin, adalah kunci reformasi birokrasi," kata Presiden Jokowi dalam sebuah rapat umum baru-baru ini untuk menguraikan visinya untuk negara ini. "Ketika saya melihat ada ketidakefisienan atau kurangnya efektivitas, saya akan menghapusnya. "
Awal tahun ini, Presiden mencatat bahwa pemerintahnya telah mengurangi jumlah izin yang diperlukan untuk berinvestasi di pembangkit listrik hingga lebih dari 75 persen (dari 259 izin beberapa tahun yang lalu). Peraturan-peraturan baru yang penting juga telah disahkan untuk mendukung investasi swasta di sektor-sektor lain dan untuk membantu meningkatkan proses pembebasan lahan.
Meningkatkan kapasitas dan menciptakan rekam jejak
Pada saat yang sama, pemerintah juga berfokus pada peningkatan kualitas proyek-proyek yang dibawa ke pasar. Sejumlah dana telah disisihkan untuk meningkatkan kualitas persiapan proyek. Sebuah tim baru telah dibentuk untuk membantu mengidentifikasi dan mengatasi hambatan-hambatan dalam proses pengembangan dan implementasi.
Utomo juga mencatat bahwa peningkatan kapasitas akan diperlukan di tingkat lokal dan regional, terutama di pasar-pasar yang sedang berkembang. Sebagai contoh, beberapa dari 12 Kawasan Ekonomi Khusus di Indonesia dioperasikan oleh pemerintah daerah dan perusahaan swasta. Para pemain ini seringkali membutuhkan dukungan tambahan untuk memenuhi kebutuhan investor internasional.
"Kita perlu lebih meningkatkan rekam jejak kita dalam membawa proyek-proyek ke pasar dengan sukses," tambah Dr. "Hal ini, pada gilirannya, akan membantu meningkatkan minat sektor swasta terhadap proyek-proyek infrastruktur di masa depan di Indonesia."
Melihat hasil
Banyak indikator utama yang menunjukkan bahwa Indonesia membuat kemajuan besar dalam mencapai tujuan dan visi yang didorong oleh infrastruktur. Peringkat utang Indonesia telah ditingkatkan menjadi layak investasi. Peringkat internasional untuk kemudahan berbisnis dan daya saing nasional juga menunjukkan peningkatan yang luar biasa dalam lingkungan bisnis dan investasi di Indonesia.
"Kami masih memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan, tetapi percakapan saya dengan para investor internasional menunjukkan bahwa kami berada di jalur yang benar untuk menciptakan iklim investasi yang sangat ramah bagi investor asing," tambah Dr. "Kami sedang membangun kapasitas, menyederhanakan proses, mengeluarkan peraturan yang mendukung, dan merancang insentif yang inovatif untuk membantu menarik investor ke dalam pipeline kami." Rencana Indonesia mungkin berani. Namun, pemerintah mengambil langkah yang tepat untuk mewujudkannya.
Disadur dari: kpmg.com