Jebakan pembangunan infrastruktur
Banyak yang telah menulis bahwa pembangunan infrastruktur besar-besaran diperlukan untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Dalam konteks pencapaian visi Indonesia Emas 2045, keputusan untuk membangun ditetapkan untuk meningkatkan konektivitas. Hipotesisnya adalah bahwa konektivitas adalah fondasi pemerataan dan peningkatan kinerja pertumbuhan.
Oleh karena itu, investasi besar-besaran dikucurkan untuk mendukung agenda pembangunan infrastruktur. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, total dana yang dibutuhkan untuk membangun infrastruktur mencapai sekitar Rp4,7 ribu triliun. Sementara itu, pada RPJMN 2020-2024, totalnya mencapai sekitar Rp6,4 ribu triliun.
Di tengah kesenjangan investasi, pendanaan dari luar negeri diperlukan untuk menutup kesenjangan tersebut. Kerjasama dengan negara lain untuk membangun infrastruktur dilakukan secara masif. Insentif dan kemudahan regulasi telah ditawarkan, terutama untuk menarik investor asing masuk ke sektor-sektor yang secara finansial kurang menarik.
Titik awal jebakan
Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong pembangunan infrastruktur secara masif. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ditugaskan untuk mendukung agenda tersebut. Langkah awal yang dilakukan adalah dengan mengalihkan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Lebih dari Rp200 triliun anggaran subsidi BBM dialihkan pada awal pemerintahan Presiden Joko Widodo. Jadi, pada periode awal, anggaran infrastruktur meningkat secara signifikan dari Rp256 triliun pada tahun 2015 menjadi Rp381 triliun pada tahun 2017.
Peningkatan anggaran infrastruktur pada periode awal telah menguntungkan BUMN konstruksi secara ekonomi. Kontrak yang diberikan kepada BUMN konstruksi meningkat. Sebagai contoh, nilai kontrak baru Waskita Karya meningkat secara signifikan dari Rp22 triliun di tahun 2014 menjadi Rp55 triliun di tahun 2017. BUMN konstruksi juga secara agresif menyediakan pembiayaan dengan melakukan pinjaman korporasi. Rasio utang terhadap ekuitas yang berada di dua digit menjadi hal yang normal bagi BUMN konstruksi.
Setelah tahun 2019, pembangunan infrastruktur masih dilakukan secara masif meskipun kapasitas fiskal sudah mulai turun. Anggaran infrastruktur pemerintah tumbuh stagnan. Lebih jauh lagi, pandemi Covid-19 membuat infrastruktur terlempar dari daftar prioritas.
Oleh karena itu, rejeki nomplok untuk BUMN konstruksi mulai menurun. Pertumbuhan ekuitas tidak sebanding dengan peningkatan utang. Rasio utang terhadap ekuitas berada pada level yang mengkhawatirkan. Sebagai contoh, rasio Waskita Karya mencapai 200%. Artinya, laba perusahaan sangat rendah, tapi beban bunga mereka sangat tinggi. Perusahaan yang berada di tingkat rasio ini lebih rentan terhadap gagal bayar dan kebangkrutan.
Jebakan pendanaan
Ambisi pembangunan infrastruktur, kesenjangan pendanaan, dan kesalahan pengelolaan risiko adalah tiga serangkai jebakan pendanaan. Beberapa jebakan yang dapat muncul terkait dengan risiko penggunaan dana publik untuk membiayai proyek-proyek yang tidak layak secara finansial. Sehingga, APBN diperlukan untuk memulihkan keuangan BUMN yang tidak sehat. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan dana publik untuk memberikan penyertaan modal negara (PMN) bagi BUMN yang tidak sehat. Sebagai contoh, Hutama Karya telah diberikan PMN lebih dari Rp100 triliun sejak tahun 2017 hingga 2023.
Penggunaan dana publik di luar mekanisme APBN juga dapat dilakukan melalui penawaran umum terbatas (rights issue). Pada praktiknya, perusahaan dengan gearing ratio yang tinggi akan melakukan rights issue untuk mendilusi nilai utangnya. Hal inilah yang mendasari Waskita Karya gencar melakukan rights issue dalam beberapa tahun terakhir.
Beban pemerintah terkait APBN akan bertambah jika rights issue tidak diserap oleh pasar, tetapi diserap oleh pemerintah melalui PMN. Kondisi ini berarti dua hal, pertama, saham publik terdilusi sehingga struktur kepemilikan negara akan meningkat. Kemudian, kepemilikan negara pada perusahaan yang keuangannya tidak sehat akan menambah beban negara. Artinya, kerugian BUMN yang semakin besar akan menambah beban pemerintah. Pada titik ini, risiko yang awalnya di luar beban APBN akan langsung menjadi beban APBN.
Jebakan lainnya adalah tekanan geopolitik dan jebakan utang. Jebakan ini muncul karena terbatasnya dana publik yang harus digunakan untuk memenuhi kebutuhan investasi. Di sisi lain, terdapat kesenjangan investasi antara sektor-sektor yang layak secara ekonomi dan sektor-sektor yang tidak layak. Di tengah keterbatasan dana publik, proyek-proyek seperti proyek perumahan kelas atas, energi, dan telekomunikasi lebih menarik bagi investor karena menawarkan imbal hasil yang lebih baik. Berbeda dengan infrastruktur, proyek-proyek berbasis rel kereta api, jalan raya (termasuk jalan tol, terutama yang berada di wilayah dengan mobilitas rendah), dan jembatan kurang diminati oleh investor.
Di sinilah tekanan geopolitik terjadi. Di satu sisi, kebutuhan investasi proyek-proyek dengan imbal hasil yang rendah mendorong pemerintah untuk mencari sumber pembiayaan dari negara lain. Di sisi lain, terdapat persaingan dalam pembiayaan infrastruktur untuk meningkatkan akses pasar, sumber daya, dan dominasi politik di negara berkembang.
Namun, persaingan geopolitik dan ekonomi sering kali digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang memiliki kelayakan finansial yang kurang menguntungkan. Terlebih lagi, jika proyek-proyek infrastruktur tersebut diinisiasi karena kepentingan politik negara investor dengan uji teknis, lingkungan, dan sosial. Kondisi ini akan menghasilkan utang fiskal yang rawan gagal bayar. Pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung merupakan salah satu contoh jebakan pendanaan.
Pembiayaan untuk pembangunannya akan menggunakan obligasi konsorsium atau pinjaman korporasi. Akan tetapi, PMN akhirnya digunakan. Alih-alih proyek berjalan dengan cepat, proyek ini justru terbelit oleh birokrasi dan kepentingan politik negara investor (China). Selain itu, terjadi pembengkakan biaya. Besarnya beban yang dipikul oleh BUMN untuk menanggung proyek ini juga akan menambah risiko keuangan negara.
Pembangunan infrastruktur sangat penting untuk meningkatkan konektivitas dan menopang pertumbuhan. Hal ini diperlukan untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Namun, risiko fiskal tidak bisa dikesampingkan. Jebakan pembiayaan memiliki risiko. Ruang fiskal cukup sempit untuk menanggung pembiayaan infrastruktur yang tidak berkelanjutan. Selain itu, utang juga dapat menekan alokasi anggaran untuk pembangunan sumber daya manusia. Pemerintah perlu menghitung ulang arah pembangunan infrastruktur ke depan.
Disadur dari: www.pwc.com