Farmasi

9 Perusahaan Farmasi Indonesia yang Terdaftar Di BEI, Apa Saja?

Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja pada 17 April 2024


Bernas.id – Sebagian masyarakat pasti sudah tidak asing lagi dengan istilah farmasi, apalagi bagi masyarakat yang bekerja di bidang kesehatan. Perusahaan farmasi adalah suatu perusahaan yang  memproduksi obat-obatan yang berguna untuk kesehatan tubuh. 

Perusahaan bidang farmasi ini ternyata sebagian terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dan tentunya dapat dijadikan pilihan untuk berinvestasi. Apalagi saat ini industri farmasi sedang naik daun sejak adanya pandemi Covid-19 yang tidak kunjung reda dan membutuhkan kontribusi perusahaan farmasi.

Lantas, apa sajakah perusahan farmasi yang ada di Indonesia serta terdaftar di BEI? Berikut ulasannya akan dibahas secara lengkap.

Daftar Perusahaan Farmasi Indonesia yang Terdaftar di BEI
Bagi investor, mencari rekomendasi perusahaan dengan kinerja baik dan menghasilkan return menjanjikan menjadi pilihan investasi terbaik. Di tengah berkembangannya industri kesehatan saat ini, berikut ini adalah daftar perusahaan farmasi di Indonesia yang terdaftar di dalam BEI :

1. PT Merck Indonesia Tbk
Perusahaan farmasi ini memiliki kinerja yang baik dengan laporan keuangan tahunannya yang baik. Arus keluar masuk uangnya pun terpantau dengan baik dan lancar. 

2. PT Kalbe Farma Tbk
Perusahaan farmasi yang satu ini telah memproduksi obat-obatan sejak tahun 1990. Selain itu, nilai saham perusahaan ini pun cukup tinggi sehingga mampu menarik minat investor untuk berinvestasi.

Baca juga: India Siap Pasok Industri Farmasi ke Indonesia Asal Peraturan BPOM Disederhanakan

3. PT Tempo Scan Pacific Tbk
Industri yang bergerak dibidang farmasi ini sudah mampu menghasilkan keuntungan bersih dalam jumlah yang banyak. Hal ini dikarenakan kinerja yang dilakukan selama kegiatan operasi dinilai sangat baik.

4. PT Darya Varia Laboratoria Tbk
Perusahan farmasi ini juga terdaftar ke dalam jajaran emiten farmasi di BEI dan dapat dijadikan salah satu pilihan yang tepat untuk berinvestasi dengan nilai yang standar. 

5. PT Indofarma (Persero) Tbk
Perusahaan yang bergerak dibidang farmasi sejak tahun 2001 ini memiliki nilai saham yang rendah di awal. Akan tetapi, saat ini nilai sahamnya terus mengalami peningkatan dengan baik.

6. PT Kimia Farma (Perseroan) Tbk
Perusahaan farmasi yang satu ini cukup terkenal dikalangan masyarakat. Berdiri sejak tahun 2001, perusahaan ini memiliki peminat investor yang tinggi walaupun harganya cukup berkelas. 

7. PT Pyridam Farma Tbk
Perusahaan farmasi ini juga bisa menjadi pilihan yang tepat untuk berinvestasi saham dengan baik dan tepat.

8. PT Muncul Tbk
Perusahaan farmasi yang memproduksi obat-obatan ini sudah terkenal hingga mancanegara. Oleh karena itu, nilai sahamnya pun sudah tidak perlu diragukan lagi serta sudah pasti memperoleh keuntungan yang tinggi.

9. PT Pharos Tbk
Perusahaan yang bergerak dibidang farmasi ini menjadi salah satu pilihan yang tepat untuk berinvestasi saham. Tak hanya itu, perusahaan ini juga memproduksi obat-obatan yang nantinya akan sangat dibutuhkan di masa mendatang.

Perbedaan Perusahaan Farmasi Swasta dan Milik Negara
Perusahaan farmasi ternyata ada yang tergolong sebagai milik pemerintah. Lalu, apa saja yang membedakan antara yang terdaftar di BEI dan milik pemerintah? Berikut penjelasannya.

1. Kinerja Keuangan
Kinerja keuangan perusahaan farmasi yang ada terdaftar di BEI bersifat transparan. Hal ini dikarenakan kinerjanya sudah sesuai dengan kebijakan yang dibuat. Sedangkan perusahaan yang milik negara kinerjanya transparan, namun terbatas karena ada beberapa hal yang menjadi dokumen penting dan bersifat rahasia.

2. Penawaran 
Perusahaan yang terdaftar di BEI lebih terbuka alias go public dalam penawarannya. Sedangkan miliki negara ini bersifar terbatas.

3. Tingkat Harga Saham
Perusahaan farmasi yang terdaftar di BEI terbilang sedikit lebih tinggi di harga sahamnya. Sedangkan yang milik negara sedikit lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai yang ada di BEI.

4. Nilai Perusahaan
Nilai perusahaan farmasi yng terdaftar di BEI bisa mendapatkan nilai keuntungan yang tinggi jika diimbangi dengan kinerja yang baik. Sedangkan perusahaan farmasi milik negara tetap menghasilkan keuntungan yang sama sesuai standar walaupun kinerjanya lebih baik.

Kesimpulan
Tidak semua perusahaan farmasi yang ada di Indonesia terdaftar di BEI. Di samping itu, ada pula perusahaan yang masuk dalam daftar milik negara. Keduanya pun memiliki standar nilai masing-masing, termasuk dalam kategori investasi saham. Perusahaan farmasi yang ada di Indonesia ini diharapkan dapat tetap memberikan hasil produksi terbaiknya terkait obat-obatan serta menghasilkan keuntungan yang dapat memajukan perekonomian Indonesia.

Sumber: www.bernas.id
 

Selengkapnya
9 Perusahaan Farmasi Indonesia yang Terdaftar Di BEI, Apa Saja?

Farmasi

Apakah Benar Industri Farmasi Indonesia Sulit Berkembang? Inilah Penjelasannya

Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja pada 17 April 2024


Bisnis.com, JAKARTA — Indonesia dinilai perlu mengevaluasi kebijakan sektor farmasi untuk lebih mendorong inovasi yang menjadi kunci perkembangan sektor ini. Apalagi saat ini pengendalian pandemi dibutuhkan utamanya dengan penelitian dan pengembangan vaksin Covid-19, yang saat ini sepenuhnya masih impor. 

Associate Researcher Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Andree Surianta mengatakan industri farmasi di Indonesia adalah suatu contoh di mana berbagai kebijakan lokalisasi tidak kunjung berhasil membangkitkan investasi maupun inovasi. Andree menyebut dimulai dengan Daftar Negatif Investasi [DNI] 2007 yang membatasi kepemilikan asing maksimal 75 persen di sektor ini. Tak lama setelah itu muncul Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1010/2008 yang mewajibkan semua obat yang terdaftar di Indonesia diproduksi secara lokal.

Kemudian di 2016 sempat terjadi sedikit relaksasi, di mana kepemilikan asing diijinkan 100 persen untuk manufaktur bahan baku obat dan 85 persen untuk produksi obat-obatan jadi. "Namun, regulasi ini segera diikuti Instruksi Presiden 6/2016 kepada 12 kementerian dan lembaga untuk mengembangkan industri farmasi melalui berbagai kebijakan lokalisasi, misalnya dengan mengatur kandungan lokal, memprioritaskan produk lokal dan mematok harga," katanya dalam publikasi CIPS, Sabtu (31/7/2021).

Andree mengemukakan lasan di balik berbagai kebijakan ini biasanya adalah mendorong transfer teknologi dan meningkatkan kapasitas produksi lokal. Sayangnya realisasi investasi asing maupun dalam negeri biasanya malah menurun segera setelah kebijakan lokalisasi dikeluarkan.  Kebijakan lokalisasi 2007-2008 dikuti realisasi investasi yang rendah sepanjang 2009-2014.  Investasi naik mulai 2015 setelah pasar baru dibuka dengan diluncurkannya JKN.  "Ini pun kembali seret pasca 2016 karena regulasi yang tumpang tindih,” ujarnya.

Meskipun sekarang ini Perpres 10/2021 mengenai investasi yang mengimplementasikan UU Cipta Kerja tidak lagi membatasi kepemilikan asing di pabrik farmasi, tetapi semangat lokalisasi Inpres 6/2016 masih menyebabkan munculnya berbagai Peraturan Menteri yang restriktif. Misalnya saja peraturan mengenai cara perhitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) obat-obatan. Kebijakan ini dituangkan dalam Peraturan Menteri Perindustrian 16/2020 yang malah dikeluarkan di tengah-tengah pandemi. 

Memang sejauh ini sertifikasi TKDN belum diwajibkan, tetapi jika diimplementasikan harus diperhatikan agar jangan sampai membuat obat menjadi langka karena industri farmasi lokal sesungguhnya masih sangat bergantung pada bahan baku impor.  “Dibutuhkan ratusan bahan dasar dalam memformulasikan sebuah obat, termasuk vaksin. Sementara tidak semua bahan tersebut dibuat di Indonesia. 

Penerapan TKDN bisa mempersulit produsen bahkan lokal sekalipun untuk mengembangkan kapasitas. Alih-alih proteksionis, pemerintah idealnya membuka jalur impor untuk bahan baku obat-obatan,” jelas Andree. Pemerintah umumnya meyakini bahwa kebijakan yang restriktif tidak akan mengurangi daya tarik populasi yang besar.  Namun sesungguhnya nilai pasar farmasi Indonesia tergolong kecil, hanya sekitar 1 persen dari dua pasar terbesar dunia, yaitu Amerika Serikat dan China.  

Aljasil, adanya regulasi yang memaksa perusahaan untuk membangun pabrik baru di Indonesia mungkin malah akan mengurangi efisiensi dari pabrik yang sudah dibangun di pasar lain yang jauh lebih besar. Bagi perusahaan farmasi multinasional di Indonesia, kombinasi antara biaya yang lebih tinggi dan pasar yang lebih kecil membawa konsekuensi berupa laba atas investasi yang lebih rendah. Pasar yang menawarkan tingkat pengembalian yang lebih rendah dan jangka waktu pemulihan investasi yang lebih panjang secara alami tidak menarik bagi investor. Keharusan untuk menggandeng mitra lokal disebut Andree juga sedikit banyak menghalangi inovasi di sektor ini. 

Di satu sisi, perusahaan multinasional farmasi asing ragu-ragu untuk membagikan kekayaan intelektual mereka dengan perusahaan lokal yang bisa menjadi pesaing. Apalagi jika sang calon mitra tidak pernah berkontribusi sama sekali dalam biaya litbang yang tidak kecil. Di sisi lain, peraturan semacam ini membuat perusahaan lokal cenderung menunggu tawaran kemitraan daripada berinvestasi untuk melakukan litbang sendiri. “Efek negatif kebijakan ini terhadap inovasi cukup jelas terlihat dari fokus pabrikan lokal kepada obat generik yang sedikit sekali unsur litbangnya,” imbuh Andree. 

Indonesia sebenarnya memiliki komunitas ilmiah yang siap berinovasi melawan Covid-19. Bahkan sudah ada pengembangan vaksin lokal, yaitu Vaksin Merah Putih. Namun, semua ini masih bergantung sekali kepada pemerintah dan BUMN. Sangat disayangkan bahwa lanskap regulasi saat ini menghalangi bisnis untuk membangun kapasitas inovasi jangka panjang. 

"Ketimbang berfokus pada kebijakan lokalisasi, pemerintah seharusnya fokus pada membangun ekosistem inovasi bisnis dalam negeri. Litbang bisnis lokal yang kuat akan mengurangi ketergantungan inovasi pada anggaran negara dan meningkatkan ketertarikan investor asing untuk bermitra secara sukarela dengan mitra lokal yang memiliki kemampuan yang setara," kata Andree.

Sumber: ekonomi.bisnis.com
 

Selengkapnya
Apakah Benar Industri Farmasi Indonesia Sulit Berkembang? Inilah Penjelasannya

Farmasi

Manjanjikan! Peluang di Industri Farmasi dan Kesehatan Indonesia

Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja pada 17 April 2024


Pandemi, secara tak terduga, telah membuka mata kita akan pentingnya obat-obatan, perangkat medis, dan tenaga kesehatan. Perlombaan untuk mengembangkan vaksin COVID-19 telah mendorong banyak negara berinvestasi lebih besar pada program penelitian kesehatan dan pengadaan vitamin, suplemen, dan obat peningkat kekebalan tubuh.

Di Indonesia, farmasi merupakan sektor yang menjanjikan. Akibat meningkatnya permintaan, Pemerintah telah memasukkan sektor perangkat medis dan farmasi sebagai bagian dari sektor prioritas dalam upaya merealisasikan program Making Indonesia 4.0. Pemerintah Indonesia berupaya meningkatkan daya saing sektor perangkat medis dan farmasi dengan mendorong terselenggaranya transformasi digital berbasis teknologi.

Sebagai contoh, perusahaan induk farmasi milik negara telah memanfaatkan teknologi digital mulai dari proses produksi hingga distribusinya. Perusahaan tersebut menggunakan sistem yang saling terhubung untuk menumbuhkan jaringan; menyelenggarakan proses administratif digital; dan mendorong terwujudnya kinerja yang lebih efektif dan efisien.

Peluang untuk merealisasikan ketahanan

Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menyatakan ada 220 perusahaan di industri farmasi di Indonesia dan 90 persen di antaranya berfokus pada sektor hilir (downstream) dalam produksi obat-obatan. Sementara itu, pemerintah terus mengupayakan pengurangan impor sebesar 35 persen hingga akhir tahun 2022. Pemerintah berharap upaya tersebut dapat mengatasi ketergantungan pada impor bahan baku.

Menurut data dari Kementerian Kesehatan, hingga tahun 2021, ada 241 industri pembuatan obat-obatan, 17 industri bahan baku obat-obatan, 132 industri obat-obatan tradisional, dan 18 industri ekstraksi produk alami.

Pertumbuhan fasilitas produksi peralatan medis juga terus meningkat. Dari tahun 2015 hingga 2021, jumlah perusahaan yang memproduksi perangkat medis meningkat dari 193

menjadi 891 perusahaan. Lebih jauh, dalam lima tahun terakhir, industri perangkat medis dalam negeri mengalami pertumbuhan sebesar 361,66 persen atau kira-kira sejumlah 698 perusahaan.

Indonesia mengekspor produk farmasi dan perangkat medis ke beberapa negara, yaitu Belanda, Inggris, Polandia, Nigeria, Kamboja, Vietnam, Filipina, Myanmar, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat.

Percepatan pemberian izin

Pemerintah telah menyiapkan peta jalan untuk mempercepat pembangunan industri farmasi, termasuk prosedur serta sasaran pengembangan produk dan jangka waktunya. Sasaran peta jalan ini adalah produksi bahan baku berteknologi tinggi. Fokus jangka panjangnya adalah membantu industri farmasi dan perangkat medis menjadi industri mandiri dan dapat memenuhi kebutuhan penduduk sembari menurunkan ketergantungan pada produk impor.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Indonesia Bahlil Lahadalia dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin telah sepakat untuk mempercepat pemberian izin bagi penyedia peralatan medis guna membantu negara menanggulangi pandemi COVID-19. Pemberian izin usaha untuk peralatan medis di Indonesia dapat dipercepat hingga menjadi 1x24 jam (satu hari) hanya dengan mengakses sistem Online Single Submission (OSS) dan Pusat Komando Investasi dan Pengawalan Investasi BKPM.

Penyedia akan menerima Nomor Induk Berusaha (NIB), Izin Usaha Industri, dan Izin Komersial atau Operasional. Nantinya, sistem Kementerian Kesehatan akan memproses permintaan mereka atas Sertifikat Produksi dan Izin Distribusi.

Beberapa produk yang termasuk dalam layanan percepatan ialah masker bedah, Alat Pelindung Diri (APD), dan penyanitasi tangan (hand sanitizer). BKPM memperkirakan bahwa penyedia peralatan medis akan memanfaatkan peluang ini untuk membantu mencegah penyebaran COVID-19.

Pemerintah akan memberikan insentif fiskal dan nonfiskal kepada investor yang hendak berinvestasi di Indonesia. Pengurangan pajak penghasilan badan (tax holiday), pengurangan pajak penghasilan untuk penanaman modal (tax allowance), insentif pengurangan pajak super (super tax deduction), dan bea impor merupakan beberapa insentif yang tersedia.

Pertumbuhan perekonomian yang kuat serta demografi yang signifikan membuat Indonesia menjadi negara yang cocok bagi investor. Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja, sebagai bagian dari reformasi regulasi struktural, juga meningkatkan iklim investasi serta kemudahan berbisnis di Indonesia. Mari jadi bagian dalam pertumbuhan Indonesia.

Sumber: oss.go.id

Selengkapnya
Manjanjikan! Peluang di Industri Farmasi dan Kesehatan Indonesia

Farmasi

Impor BBO Indonesia Capai 95%, PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia Pacu Substitusi Impor Bahan Baku Farmasi

Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja pada 17 April 2024


Pemerintah Indonesia terus berusaha mewujudkan kemandirian sektor farmasi. Bahkan, kemandirian sektor farmasi diharapkan mampu berkontribusi dalam program substitusi impor hingga 35% pada akhir 2022.

Seperti diketahui, sektor farmasi memberikan kontribusi sangat signifikan terhadap porsi impor Indonesia. Berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian (Kemenperin), porsi impor bahan baku obat Indonesia mencapai 95%. Oleh karena itu, industri bahan baku obat menjadi poros paling penting dalam mengurangi ketergantungan impor bahan baku obat Indonesia.

Sebagai pionir industri bahan baku obat di Indonesia, PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia (KFSP) berkomitmen penuh untuk membantu pemerintah dalam mewujudkan kemandirian sektor farmasi, terlebih mengurangi porsi impor bahan baku obat di Indonesia. Bahkan, perusahaan joint venture antara PT Kimia Farma Tbk. dengan perusahaan asal Korea Selatan PT Sungwun Pharmacopia Co Ltd. menargetkan mampu memenuhi 50% kebutuhan bahan baku obat Indonesia dalam 10 tahun mendatang.

Perusahaan yang baru melakukan komersialisasi tahun 2020 ini telah mengembangkan dua lini produksi yaitu, bahan baku obat dan high function chemical (HFC) untuk bahan baku kosmetik. Untuk tahap awal, prouksi bahan baku obat diorientasikan sepenuhnya untuk kebutuhan domestik. Upaya ini dilakukan untuk mengurangi porsi impor bahan baku obat yang angkanya hampir menyentuh 100%.

Sementara produksi HFC untuk bahan baku kosmetik, perusahaan mengorientasikan sepenuhnya untuk kebutuhan ekspor. Hal ini terpaksa dilakukan perseroan, karena demand atau permintaan untuk produk yang diproduksi KFSP masih sangat minim.

Direktur Utama KFSP, Rusdi Rosman mengatakan, saat ini kapasitas produksi KFSP untuk bahan baku obat mencapai 30 metrik ton/tahun. Sedangkan kapasitas produksi HFC untuk bahan baku kosmetik mencapai 75-150 metrik ton/tahun.

Rusdi menilai kapasitas produksi 30 metrik ton/tahun untuk bahan baku obat saat ini masih memadai. Pasalnya, demand dan kebutuhan bahan baku obat di dalam negeri masih relatif kecil. Hinga saat ini, jelas Rusdi, penggunaan obat di Indonesia masih relatif kecil, tidak sampai 0,5% dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 270 juta orang. Jika dibandingkan dengan China, India, bahkan Bangladesh kebutuhan bahan baku obat di dalam negeri masih relatif sangat kecil.

Lebih lanjut, Rusdi mengungkapkan bahwa pihaknya hingga saat ini telah menyelesaikan transfer teknologi untuk 4 item produk antara lain simvastatin, atopastatin, klopidogler, dan entekafir. Dijelaskan Rusdi, keempat item produk tersebut jika dimaksimalkan bisa menurunkan 2% angka impor bhan baku obat Indonesia. “Tahun 2020, kita sudah menyusun tambahan 4 item produk baru yang telah diselesaikan transfer teknologinya, kalau dijumlahkan bisa menurunkan angka impor sebanyak 4%. Sampai 2024, kita berharap bisa menurunkan angka impor sebanyak 24%,” papar Rusdi.

Oleh karena itu, dukungan pemerintah berupa regulasi, peraturan dan kebijakan menjadi kunci utama keberlangsungan hidup industri bahan baku obat di Indonesia. “Kalau kami lihat ada dua hal yang harus berjalan yang pertama regulasi pemerintah harus ada untuk jangka pendek supaya industri ini bisa hidup terlebih dahulu, tetapi industri pun dalam jangka panjang harus menyiapkan daya saingnya, karena regulasi pemerintah itu kan tidak bisa terus menerus sehingga pada saat begitu regulasi dicabut, industri ini bisa memiliki competitivenes dan memiliki daya saing sehingga dalam jangka menengah panjang industri ini bisa bersaing dengan produk-produk yang ada saat ini,” terang Rusdi. Menurut Rusdi, penurunan angka impor bahan baku obat akan optimal apabila industri hilir menggunakan produk-produk industri hulu. “Sepanjang produk kita tidak digunakan industri hilir dalam hal ini industri farmasi produk jadi, perjuangan industri ini untuk memproduksi bahan baku obat menjadi sia-sia dan percuma. Maka dari itu, diperlukan regulasi pemerintah untuk bisa mendorong industri farmasi produk jadi itu tertarik untuk menggunakan bahan baku obat yang diproduksi dalam negeri,” tuturnya.

Sumber: ikft.kemenperin.go.id 
 

 

Selengkapnya
Impor BBO Indonesia Capai 95%, PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia Pacu Substitusi Impor Bahan Baku Farmasi

Farmasi

Kimia Farma Resmikan Pabrik Bahan Baku Obat (BBO), Bisa Kurangi Impor Povidone Iodine Alias Obat Merah

Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja pada 17 April 2024


Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin meresmikan pembangunan pabrik bahan baku obat (BBO) dalam negeri, Kamis (2/6) siang. Pabrik yang dibangun PT Kimia Farma Sungwun Pharmacopia ini akan memproduksi bahan baku Povidone Iodine atau obat merah. 

Bersamaan dengan pembangunan pabrik ini, Kemenkes juga menetapkan kebijakan penggantian sumber bahan baku obat alias change source dari bahan impor ke bahan baku produksi dalam negeri. Budi juga memasang target bahwa 50% dari bahan baku obat dari hulu ke hilir sudah harus bisa diproduksi dalam negeri. Hal ini penting untuk mencapai ketahanan sistem kesehatan pada saat krisis. 

“Siapa yang bikin, terserah. Yang penting, ketika ada pandemi lagi kita nggak sibuk cari dari luar,” kata Budi dalam keterangan tertulis pada Kemenkes, Kamis (2/6).

Budi mengatakan bahwa ketersediaan obat dan alat kesehatan sangatlah penting. Adanya karantina yang diterapkan negara-negara produsen alat kesehatan serta obat sempat menghambat penanganan pandemi beberapa tahun silam.  Direktur Utama Holding BUMN Farmasi Honesti Basyir menjelaskan bahwa kebijakan ini dapat mengurangi ketergantungan Indonesia atas BBO impor yang tergolong tinggi. Tercatat, sekitar 90% BBO masih berasal dari luar negeri dan 34,7% dari produk yang ada di katalog elektronik pun berasal dari luar negeri.

“Kami memiliki komitmen dengan adanya industri yang seperti ini, kita bisa mengurangi sampai 20% ketergantungan BBO impor. Ini sudah kita buat roadmap sampai 2026,” kata Honesti dilansir dari kanal YouTube Kementerian Kesehatan (2/6).

Adapun, roadmap yang sudah ditetapkan ini sesuai dengan Instruksi Presiden nomor 2 tahun 2022 tentang Peningkatan Penggunaan Produk dalam Negeri. Roadmap ini menargetkan sebanyak 24 BBO dapat diproduksi di dalam negeri dan sekarang sudah ada 12 BBO yang tercatat diproduksi di Indonesia. 

Hasil dari kebijakan change source ini diharapkan selesai pada September 2022 untuk dimasukkan ke katalog elektronik dan dapat dimanfaatkan pada layanan kesehatan. Dalam catatan Kemenkes, ada 14 industri farmasi yang menyambut baik perubahan ini dengan berkomitmen mengganti BBO impor ke BBO dalam negeri. 

Keempat belas industri itu adalah PT. Kimia Farma Sungwun Pharmacopia, PT Veron Pharmaceutical, PT Daewoong Infion, PT Kalbio Global Medika, PT Kimia Farma, PT Dexa Medica, PT Kalbe Farma, PT Otto Pharmaceutical, PT Meprofarm, PT Pertiwi Agung, PT Novell Pharmaceutical Laboratories, PT Phapros, PT Lapi Laboratories, dan PT Dipa Pharmalab. 

Sumber: katadata.co.id

 

 

Selengkapnya
Kimia Farma Resmikan Pabrik Bahan Baku Obat (BBO), Bisa Kurangi Impor Povidone Iodine Alias Obat Merah

Farmasi

PT Kimia Farma, Industri Farmasi Pertama Indonesia, dengan Pelayanan Kesehatan yang Terintegrasi dan Tetap Berjaya

Dipublikasikan oleh Jovita Aurelia Sugihardja pada 17 April 2024


Selama ini PT Kimia Farma (Persero) Tbk atau Kimia Farma selalu menjadi pilihan masyarakat Indonesia dalam mencari obat-obatan dan produk kesehatan lainnya. Dengan 46 cabang trading & distribution serta 45.000 gerai apotek yang tersebar di seluruh Indonesia, Kimia Farma menghadirkan fasilitas kesehatan yang lengkap, yakni apotek, klinik, dan laboratorium klinik. Menjadikannya sebagai perusahaan dengan pelayanan kesehatan yang terintegrasi.

Kimia Farma merupakan perusahaan farmasi pertama di Indonesia. Didirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada 1817, mula kemunculannya Kimia Farma bernama NV Chemicalien Handle Rathkamp & Co. Pada 1958, berdasarkan kebijaksanaan nasionalisasi atas eks perusahaan Belanda, Pemerintah Republik Indonesia melakukan peleburan sejumlah perusahaan farmasi menjadi Perusahaan Negara Farmasi (PNF) Bhinneka Kimia Farma. Kemudian pada 16 Agustus 1971, bentuk badan hukum PNF diubah menjadi Perseroan Terbatas, sehingga nama perusahaan berubah menjadi PT Kimia Farma (Persero).

Pada tanggal 4 Juli 2001, Kimia Farma kembali mengubah statusnya menjadi perusahaan publik, PT Kimia Farma (Persero) Tbk. Adanya perubahan tersebut mencatatkan Perseroan pada Bursa Efek Indonesia dengan kode emiten KAEF. Komposisi saham yang ada dibagi menjadi 90,025% milik pemerintah dan 9,975% milik publik. Melalui proses inbreng (penyetoran modal berupa barang atau harta) yang dilaksanakan Pemerintah Republik Indonesia pada 28 Februari 2020, kepemilikan 4.999.999.999 saham seri B dialihkan kepada PT Biofarma.

Pada perkembangannya, Kimia Farma menjadi perusahaan dengan pelayanan kesehatan (healthcare) terintegrasi di Indonesia. Selain apotek dan klinik, bidang usaha healthcare Kimia Farma didukung oleh kegiatan manufaktur farmasi, riset dan pengembangan, pusat perdagangan dan distribusi, pemasaran, serta ritel farmasi.

Industri Farmasi Indonesia Jadi Mandiri

Adanya kebijakan pemerintah untuk melancarkan Program Kemandirian Bahan Baku Obat Nasional yang tertuang dalam roadmap Kementerian Kesehatan serta Paket Kebijakan Ekonomi XI yang dituangkan dalam Instruksi Presiden RI No. 6 Tahun 2016 tentang Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan, Kimia Farma membangun fasilitas produksi yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan akan impor Bahan Baku Obat (BBO).

Terdapat enam fasilitas produksi di berbagai kota di Indonesia yang menjadi tulang punggung dari segmen industri ini, yakni Plant Jakarta, Plant Bandung, Plant Semarang, Plant Sarolangun (Jambi), Plant Watudakon (Jawa Timur), dan Plant Tanjung Morawa (Medan).

Keenam pabrik itu masing-masing memiliki spesialisasi produksi, seperti etikal, obat bebas, generik, narkotika, lisensi dan bahan baku. Pembagian lini ini dilakukan demi memenuhi pasokan obat-obatan dan produk kesehatan yang akan didistribusikan ke seluruh Indonesia. Keberadaan pabrik inilah yang membuat Indonesia mampu berdikari dalam memproduksi BBO.

Tak hanya memasok kebutuhan dalam negeri, Kimia Farma juga telah melakukan ekspansi bisnisnya hingga pasar mancanegara. Produk-produk Kimia Farma yang mencakup produk obat jadi dan sediaan farmasi serta bahan baku obat seperti iodine dan quinine telah memasuki pasar di India, Jepang, Taiwan dan Selandia Baru, serta negara-negara Eropa. Sementara produk jadi dan kosmetik telah didistribusikan ke Yaman, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, Vietnam, Sudan, dan Papua Nugini.

Saat ini produk-produk herbal yang berasal dari bahan alami menjadi target utama korporasi untuk periode mendatang dengan adanya potensi penjualan dan minat kepada negara lain untuk melakukan hubungan bisnis dengan perusahaan. Untuk itu, produk herbal tersebut juga telah dipersiapkan proses registrasinya untuk melantai di market baru, seperti Filipina, Myanmar, Pakistan, Uni Emirat Arab, Oman, Bahrain dan Bangladesh.

Kimia Farma Bersinergi dalam Holding BUMN Farmasi

Pada akhir Januari lalu, ditetapkan holding BUMN farmasi dengan formasi Kimia Farma dan PT Indofarma Tbk menjadi anggota holding, sementara PT Bio Farma (Persero) menjadi kepalanya. Kerja sama ini ditandai dengan keluarnya surat persetujuan dari Menteri BUMN selaku RUPS yang menyetujui pengalihan seluruh saham seri B milik Negara Republik Indonesia pada Kimia Farma maupun Indofarma ke PT Bio Farma.

Tujuan dari holding BUMN Farmasi ini adalah selain untuk memperkuat kemandirian industri farmasi nasional, juga untuk meningkatkan ketersediaan produk, dengan menciptakan inovasi bersama dalam penyediaan produk farmasi untuk mendukung ekosistem farmasi dimasa yang akan datang.

“Diharapkan masing – masing dari perusahaan ini, akan memberikan kontribusi pada ketahanan farmasi nasional, sehingga harga produk farmasi bisa lebih murah, karena adanya penurunan harga API dan masyarakat akan lebih mudah mendapatkan produk farmasi dengan jaringan distribusi yang luas dan merata, bahkan hingga ke mancanegara dan yang terpenting adalah inovasi – inovasi dapat melahirkan produk baru yang dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia,” terang Honesti Basyir, Direktur Utama PT Biofarma.

Sementara Verdi Budidarmo, Direktur Utama Kimia Farma mengharapkan holding ini mampu membuat sinergi bersama atas hilirisasi produk sehingga pasokan produk farmasi dapat didistribusi secara merata di Indonesia.

“Bahwa dengan holding BUMN farmasi ini akan mendukung hilirisasi produk Kimia Farma, Bio Farma dan Indofarma. Mengingat saat ini Kimia Farma memiliki rantai bisnis dari hulu ke hilir (retail farmasi, distribusi, laboratorium diagnostik, dan klinik kesehatan),” tambah Verdi.

Diharapkan, holding BUMN Farmasi hadir untuk negeri dan turut serta menciptakan bangsa Indonesia yang sehat dengan produk – produk bioteknologi, farmasi dan healthcare kelas dunia yang berdaya saing global.

Sumber: bumn.info 

 

Selengkapnya
PT Kimia Farma, Industri Farmasi Pertama Indonesia, dengan Pelayanan Kesehatan yang Terintegrasi dan Tetap Berjaya
« First Previous page 585 of 773 Next Last »