Ilmu dan Teknologi Hayati
Dipublikasikan oleh Anisa pada 27 Februari 2025
Fungi, atau yang lebih dikenal sebagai jamur atau kapang, memegang peran yang tak kalah penting dalam kehidupan di Bumi. Mereka termasuk dalam kelompok besar makhluk hidup eukariotik heterotrof yang mencerna makanannya di luar tubuh dan menyerap nutrisi ke dalam sel-selnya. Meskipun istilah "jamur" sering digunakan secara umum untuk merujuk pada fungi, sebenarnya fungi mencakup beragam spesies dengan penampilan dan karakteristik yang berbeda.
Studi tentang fungi, yang dikenal sebagai mikologi, telah memberikan wawasan mendalam tentang keanekaragaman dan peran vital mereka dalam ekosistem. Fungi memiliki kemampuan untuk berkembang biak baik secara seksual maupun aseksual. Perbanyakan seksual melibatkan peleburan dua hifa dari jamur yang berbeda, sementara perbanyakan aseksual melibatkan pembentukan spora, tunas, atau fragmentasi hifa. Struktur reproduksi fungi, seperti sporangium, merupakan tempat terbentuknya spora yang dapat tumbuh menjadi individu baru.
Sebelum metode analisis filogenetik molekuler ditemukan, fungi sering dikelompokkan bersama tumbuhan karena beberapa kemiripan, seperti struktur morfologi dan tempat hidup. Namun, sekarang fungi dianggap sebagai kerajaan tersendiri, terpisah dari tumbuhan dan hewan sekitar satu miliar tahun yang lalu. Mereka memiliki ciri unik, termasuk dinding sel yang terbuat dari glukan dan kitin, serta kemampuan untuk tumbuh sebagai hifa berbentuk filamen.
Peran fungi dalam ekosistem sangatlah penting. Mereka membantu dalam siklus nutrisi, seperti pengikatan nitrogen dari atmosfer dan dekomposisi materi organik. Fungi juga berperan dalam simbiosis dengan berbagai organisme, termasuk tumbuhan dan hewan. Meskipun sebagian besar fungi tidak berbahaya, beberapa spesies bersifat patogenik dan dapat menyebabkan penyakit serius pada manusia dan hewan.
Di dunia industri, fungi memiliki berbagai aplikasi yang luas. Mereka digunakan dalam produksi makanan melalui proses fermentasi, seperti pembuatan roti, keju, dan bir. Selain itu, fungi juga digunakan dalam pengolahan limbah, karena kemampuannya untuk menguraikan materi organik. Studi tentang fungi terus berkembang, membuka potensi baru untuk pemanfaatan dan pemahaman yang lebih baik tentang peran mereka dalam menjaga keseimbangan alam dan kesehatan manusia.
Dengan demikian, fungi menjadi subjek yang sangat penting dalam penelitian ilmiah modern dan upaya pemeliharaan lingkungan yang berkelanjutan. Pemahaman yang lebih dalam tentang fungi tidak hanya memungkinkan kita untuk menghargai keanekaragaman hayati di Bumi, tetapi juga membantu kita dalam memanfaatkan potensi besar yang dimiliki fungi untuk kesejahteraan manusia dan kelangsungan hidup lingkungan.
Sumber:
Ilmu dan Teknologi Hayati
Dipublikasikan oleh Anisa pada 27 Februari 2025
Hutan lindung (protected forest) adalah wilayah hutan yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau kelompok masyarakat tertentu untuk dilindungi agar fungsi ekologisnya, terutama yang berkaitan dengan tata air dan kesuburan tanah, tetap dapat dilaksanakan dan dinikmati oleh masyarakat di sekitarnya. Menurut Undang-undang RI no. 41/1999 tentang Kehutanan, ada beberapa poin yang disebutkan di bawah ini:
"Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.“
Dari pengertian di atas, tersirat bahwa hutan lindung dapat ditetapkan sebagai wilayah tangkapan hujan (catchment area) di wilayah hulu sungai (termasuk pegunungan di sekitarnya), di sepanjang aliran sungai jika diperlukan, di tepi pantai (misalnya di hutan bakau), dan di tempat lain sesuai dengan fungsi yang diharapkan.
Dalam hal ini, undang-undang tersebut juga menjelaskan bahwa, dalam definisi di atas, kawasan hutan adalah:
"...wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.“
Terkadang, istilah "hutan lindung" digunakan untuk menggambarkan kawasan konservasi dan kawasan lindung. Kawasan konservasi, juga dikenal sebagai kawasan yang dilindungi (protected areas), biasanya merujuk pada area yang dimaksudkan untuk melindungi kekayaan hayati, seperti halnya kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5/1990. Oleh karena itu, tujuan mereka jelas berbeda dengan tujuan hutan lindung.
Namun, kawasan lindung adalah istilah yang lebih luas yang mencakup hutan lindung. Keppres nomor 32/1990 yang mengatur pengelolaan kawasan lindung menyatakan:
"Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan."
di mana mencakup (kawasan) hutan lindung sebagai:
"... kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah.“
Kesimpulannya, hutan lindung memegang peranan yang sangat penting dalam menjaga keberlanjutan lingkungan hidup dan kesejahteraan manusia. Melalui peraturan dan kebijakan yang telah ditetapkan, hutan lindung dianggap sebagai benteng pertahanan terhadap berbagai ancaman terhadap ekosistem, seperti erosi, banjir, dan intrusi air laut. Definisi dan tujuan hutan lindung yang jelas memberikan landasan yang kuat bagi upaya pelestariannya.
Penting untuk diingat bahwa istilah "hutan lindung" dapat digunakan secara bergantian dengan istilah "kawasan konservasi" atau "kawasan lindung", meskipun ada perbedaan signifikan dalam fokus dan tujuan konservasi masing-masing. Kawasan lindung, termasuk hutan lindung, memiliki peran yang lebih luas dalam melindungi kelestarian lingkungan hidup, sumber daya alam, dan warisan budaya bagi kepentingan pembangunan berkelanjutan.
Oleh karena itu, upaya untuk memahami, memelihara, dan mengelola hutan lindung harus terus didorong sebagai bagian dari komitmen kita untuk menjaga keanekaragaman hayati, mengatasi perubahan iklim, dan mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Hanya dengan menjaga hutan lindung, kita dapat memastikan bahwa fungsi ekologisnya tetap terjaga untuk dinikmati oleh generasi mendatang.
Sumber:
Teori Belajar
Dipublikasikan oleh Anisa pada 27 Februari 2025
Ilmu kognitif adalah studi ilmiah interdisipliner tentang pikiran dan prosesnya dengan masukan dari linguistik, psikologi, ilmu saraf, filsafat, ilmu komputer/kecerdasan buatan, dan antropologi. Artikel ini akan mebahas secara singkat sifat, tugas, dan fungsi kognisi (dalam arti luas). Ilmuwan kognitif mempelajari kecerdasan dan perilaku, dengan fokus pada bagaimana sistem saraf mewakili, memproses, dan mengubah informasi. Kemampuan mental yang menjadi perhatian para ilmuwan kognitif meliputi bahasa, persepsi, memori, perhatian, penalaran, dan emosi; untuk memahami fakultas-fakultas ini, ilmuwan kognitif meminjam dari bidang-bidang seperti linguistik, psikologi, kecerdasan buatan, filsafat, ilmu saraf, dan antropologi.
Analisis khas ilmu kognitif mencakup banyak tingkatan organisasi, mulai dari pembelajaran dan pengambilan keputusan hingga logika dan perencanaan; dari sirkuit saraf hingga organisasi otak modular. Salah satu konsep dasar ilmu kognitif adalah bahwa "berpikir paling baik dipahami dalam kaitannya dengan struktur representasi dalam pikiran dan prosedur komputasi yang beroperasi pada struktur tersebut."
Tujuan ilmu kognitif adalah untuk memahami dan merumuskan prinsip-prinsip kecerdasan dengan harapan dapat menghasilkan pemahaman yang lebih baik tentang pikiran dan pembelajaran. Ilmu kognitif dimulai sebagai sebuah gerakan intelektual pada tahun 1950-an yang sering disebut sebagai revolusi kognitif.
Ilmu kognitif dimulai sebagai sebuah gerakan intelektual pada tahun 1950an, yang disebut revolusi kognitif. Ilmu kognitif memiliki prasejarah yang dapat ditelusuri kembali ke teks filsafat Yunani kuno (lihat Meno karya Plato dan De Anima karya Aristoteles); Para filsuf modern seperti Descartes, David Hume, Immanuel Kant, Benedict de Spinoza, Nicolas Malebranche, Pierre Cabanis, Leibniz dan John Locke, menolak skolastisisme sementara sebagian besar belum pernah membaca Aristoteles, dan mereka bekerja dengan seperangkat alat dan konsep inti yang sama sekali berbeda. dibandingkan dengan ilmuwan kognitif.
Budaya ilmu kognitif modern dapat ditelusuri kembali ke para ahli sibernetika awal pada tahun 1930an dan 1940an, seperti Warren McCulloch dan Walter Pitts, yang berupaya memahami prinsip pengorganisasian pikiran. McCulloch dan Pitts mengembangkan varian pertama dari apa yang sekarang dikenal sebagai jaringan saraf tiruan, model komputasi yang terinspirasi oleh struktur jaringan saraf biologis. Pendahulu lainnya adalah perkembangan awal teori komputasi dan komputer digital pada tahun 1940an dan 1950an. Kurt Gödel, Gereja Alonzo, Alan Turing, dan John von Neumann berperan penting dalam perkembangan ini. Komputer modern, atau mesin Von Neumann, akan memainkan peran sentral dalam ilmu kognitif, baik sebagai metafora pikiran, maupun sebagai alat penyelidikan.
Pada tahun 1970an dan awal 1980an, seiring dengan meningkatnya akses terhadap komputer, penelitian kecerdasan buatan pun meluas. Peneliti seperti Marvin Minsky akan menulis program komputer dalam bahasa seperti LISP untuk mencoba mengkarakterisasi secara formal langkah-langkah yang dilalui manusia, misalnya, dalam membuat keputusan dan memecahkan masalah, dengan harapan dapat memahami pemikiran manusia dengan lebih baik, dan juga dalam harapan untuk menciptakan pikiran buatan. Pendekatan ini dikenal sebagai “AI simbolik”.
Pada akhirnya, batasan program penelitian AI simbolik menjadi jelas. Misalnya, tampaknya tidak realistis untuk membuat daftar pengetahuan manusia secara komprehensif dalam bentuk yang dapat digunakan oleh program komputer simbolik. Akhir tahun 80an dan 90an menyaksikan kebangkitan jaringan saraf dan koneksionisme sebagai paradigma penelitian. Berdasarkan sudut pandang ini, yang sering dikaitkan dengan James McClelland dan David Rumelhart, pikiran dapat dicirikan sebagai sekumpulan asosiasi kompleks, yang direpresentasikan sebagai jaringan berlapis.
Kritikus berpendapat bahwa ada beberapa fenomena yang lebih baik ditangkap oleh model simbolik, dan model koneksionis sering kali begitu rumit sehingga tidak mempunyai kekuatan untuk menjelaskan. Baru-baru ini model simbolik dan koneksionis telah digabungkan, sehingga memungkinkan untuk memanfaatkan kedua bentuk penjelasan tersebut. Meskipun pendekatan koneksionisme dan simbolik telah terbukti berguna untuk menguji berbagai hipotesis dan mengeksplorasi pendekatan untuk memahami aspek kognisi dan fungsi otak tingkat rendah, keduanya tidak realistis secara biologis dan oleh karena itu, keduanya kurang masuk akal secara ilmiah.
Koneksionisme telah terbukti berguna untuk mengeksplorasi secara komputasi bagaimana kognisi muncul dalam perkembangan dan terjadi di otak manusia, dan telah memberikan alternatif terhadap pendekatan khusus domain/domain umum. Misalnya, ilmuwan seperti Jeff Elman, Liz Bates, dan Annette Karmiloff-Smith mengemukakan bahwa jaringan di otak muncul dari interaksi dinamis antara jaringan tersebut dan masukan dari lingkungan.
Disadur dari:
Teori Belajar
Dipublikasikan oleh Anisa pada 27 Februari 2025
Penemuan masalah merupakan aspek penting dalam proses kreatif yang melibatkan identifikasi, pemahaman, dan pembentukan masalah. Ini tidak hanya mencakup pengenalan masalah yang terjadi, tetapi juga melibatkan pembentukan perspektif baru terhadap situasi yang ada. Pencarian masalah membutuhkan kemampuan untuk melihat lebih dalam dan lebih luas, menemukan aspek-aspek yang mungkin terlewatkan atau terabaikan oleh orang lain.
Proses penemuan masalah seringkali dimulai dengan penemuan bawah sadar di mana gagasan atau kesadaran tentang masalah muncul dalam pikiran seseorang. Ini bisa timbul dari pengalaman pribadi, observasi lingkungan sekitar, atau bahkan inspirasi tiba-tiba. Selanjutnya, formulasi masalah terjadi ketika seseorang mulai mengartikan atau menetapkan tujuan tertentu sebagai masalah yang perlu dipecahkan.
Konstruksi masalah merupakan langkah berikutnya dalam proses penemuan masalah. Ini melibatkan modifikasi atau transformasi masalah yang dikenal menjadi masalah yang baru atau berbeda. Seseorang mungkin melihat hubungan antara masalah-masalah yang tampaknya terpisah atau mengidentifikasi pola-pola yang belum terlihat sebelumnya. Identifikasi masalah adalah proses yang memungkinkan seseorang menyadari adanya masalah yang mungkin ada, tetapi belum teridentifikasi dengan jelas.
Selama proses penemuan masalah, penting untuk memahami bahwa tidak ada satu pendekatan yang benar. Setiap individu mungkin melewati tahapan-tahapan tersebut dengan cara yang berbeda-beda tergantung pada konteksnya. Namun, pemahaman yang mendalam tentang konsep ini dapat membantu dalam mengembangkan strategi yang lebih efektif dalam menghadapi tantangan dan menciptakan solusi yang inovatif. Dengan demikian, penemuan masalah bukanlah hanya tentang menemukan kesulitan, tetapi juga tentang membuka pintu bagi kemungkinan-kemungkinan baru dan pemahaman yang lebih dalam tentang dunia sekitar kita.
Terlepas dari kemungkinan-kemungkinan yang ada, penemuan masalah juga dapat dipengaruhi oleh keterampilan individu dalam merumuskan masalah secara jelas dan tepat. Hal ini memungkinkan identifikasi masalah yang mungkin terabaikan pada pandangan pertama. Selain itu, fleksibilitas berpikir dan kemampuan untuk melihat situasi dari berbagai sudut pandang dapat memperluas cakupan pemecahan masalah yang dihasilkan.
Dalam konteks ilmu pengetahuan dan teknologi, penemuan masalah dapat mengarah pada inovasi yang signifikan. Ketika seseorang mampu melihat masalah yang tersembunyi atau belum terpecahkan dalam bidang tertentu, ini dapat memicu pengembangan solusi baru, penemuan produk baru, atau bahkan perubahan paradigma dalam suatu industri atau disiplin ilmu. Oleh karena itu, penemuan masalah merupakan langkah awal yang penting dalam perjalanan menuju pencapaian inovasi yang berkelanjutan.
Sumber:
Manajemen Sumber Daya Manusia dan Organisasi
Dipublikasikan oleh Anisa pada 27 Februari 2025
Remunerasi, atau pemberian insentif finansial, bukanlah sekadar tentang memberikan gaji kepada karyawan. Ini merupakan strategi penting dalam manajemen sumber daya manusia yang bertujuan untuk menggerakkan semangat, mempertahankan bakat, dan meningkatkan kesejahteraan para pekerja. Dengan menerapkan sistem remunerasi yang efektif, perusahaan dapat menciptakan lingkungan kerja yang dinamis dan produktif.
Pentingnya remunerasi yang efektif tergambar dalam dampak positifnya terhadap semangat dan motivasi karyawan. Ketika karyawan merasa dihargai dan diberi pengakuan atas kontribusi mereka melalui gaji yang kompetitif dan program insentif yang menarik, mereka cenderung lebih termotivasi untuk mencapai tujuan perusahaan. Hal ini tidak hanya meningkatkan produktivitas, tetapi juga menciptakan atmosfer kerja yang positif dan berorientasi pada prestasi.
Selain itu, sistem remunerasi yang adil juga membantu perusahaan dalam mempertahankan bakat terbaiknya. Dalam pasar kerja yang kompetitif, penawaran gaji dan insentif yang kompetitif dapat menjadi faktor penting dalam mempertahankan karyawan yang berkinerja tinggi. Dengan demikian, remunerasi yang tepat dapat menjadi alat yang efektif dalam menjaga loyalitas karyawan dan memastikan kontribusi yang berkelanjutan terhadap kesuksesan perusahaan.
Dalam merancang sistem remunerasi yang efektif, beberapa prinsip utama harus diperhatikan. Pertama, keadilan internal dan eksternal dalam penentuan gaji dan insentif harus dijaga agar tidak ada ketidakpuasan di antara karyawan. Kedua, transparansi dalam sistem remunerasi sangat penting untuk memastikan bahwa kebijakan dan prosedur yang digunakan dapat dipahami dengan jelas oleh semua pihak yang terlibat. Selain itu, fleksibilitas dalam sistem memungkinkan perusahaan untuk menyesuaikan remunerasi sesuai dengan kebutuhan dan kondisi pasar yang berubah.
Pembaruan berkala dalam sistem remunerasi juga diperlukan untuk menanggapi perubahan dalam lingkungan bisnis dan pasar kerja. Dengan memperbarui dan menyesuaikan kebijakan remunerasi secara berkala, perusahaan dapat tetap relevan dan kompetitif dalam mempertahankan bakat terbaiknya. Terakhir, melibatkan karyawan dalam proses perancangan sistem remunerasi dapat meningkatkan transparansi dan akseptabilitas kebijakan yang diterapkan.
Dengan begitu, remunerasi yang efektif bukan hanya tentang memberikan gaji kepada karyawan, tetapi juga merupakan investasi strategis dalam produktivitas, kepuasan karyawan, dan kesuksesan jangka panjang perusahaan. Dengan merancang sistem remunerasi yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang tepat, perusahaan dapat menciptakan lingkungan kerja yang memotivasi, merawat bakat, dan mengarahkan menuju pencapaian tujuan bisnis yang berkelanjutan.
Sumber:
Logistik Cerdas dan Pengiriman Last Mile
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 27 Februari 2025
Pendahuluan
Last mile delivery memainkan peran krusial dalam e-commerce, tetapi juga berkontribusi pada kemacetan, emisi karbon, dan biaya logistik tinggi. Paper ini mengeksplorasi berbagai solusi green logistics seperti kendaraan listrik (EV), drone, pusat distribusi perkotaan (UCC), dan smart grids untuk menciptakan sistem pengiriman yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
Tantangan Last Mile Delivery
Solusi Logistik Hijau dalam Last Mile Delivery
1. Kendaraan Listrik (EV) & Pengurangan Emisi
2. Urban Consolidation Centers (UCCs) untuk Efisiensi Distribusi
3. Drone Delivery: Masa Depan Logistik Cepat & Ramah Lingkungan
4. Smart Grids & Pengisian EV Berbasis Energi Terbarukan
Kesimpulan & Rekomendasi
Paper ini membuktikan bahwa logistik hijau dalam last mile delivery dapat mengurangi emisi, meningkatkan efisiensi, dan mengoptimalkan biaya.
Rekomendasi untuk E-commerce & Perusahaan Logistik
✅ Adopsi kendaraan listrik & AI untuk optimasi rute pengiriman.
✅ Pengembangan pusat distribusi perkotaan (UCCs) untuk mengurangi kemacetan.
✅ Investasi dalam smart grids & energi terbarukan untuk mendukung keberlanjutan logistik.
✅ Kolaborasi dengan regulator untuk mempercepat adopsi drone dan kendaraan otonom.
Dengan strategi yang tepat, last mile delivery dapat menjadi lebih cepat, efisien, dan berkelanjutan.
Sumber Artikel:
Saleh, M. (2017). Green Logistics in Last Mile Delivery (B2C E-Commerce). Politecnico di Milano.