Korupsi Konstruksi

Demokrasi Langsung dan Stabilitas Politik Swiss: Antara Kemandirian Nasional dan Tantangan Global

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pendahuluan

Swiss dikenal sebagai model stabilitas demokrasi dengan sistem pemerintahan langsung dan partisipatif yang dikagumi dunia. Dalam laporan Sustainable Governance Indicators (SGI) 2024, disebutkan bahwa Swiss adalah negara dengan realisasi demokrasi langsung terbaik, memberikan ruang luas bagi warga untuk terlibat dalam keputusan politik. Sistem ini menghasilkan legitimasi politik yang tinggi, baik secara input (partisipasi) maupun output (kebijakan efektif), dan berkontribusi pada kehidupan politik yang stabil dalam masyarakat yang beragam.

Namun, di balik stabilitas dan kemakmuran ekonomi, laporan ini juga mengungkap berbagai tantangan besar: hubungan dengan Uni Eropa yang macet, stagnasi reformasi iklim, ketimpangan sosial, serta reformasi pensiun yang lambat dan kontroversial.

Demokrasi Swiss: Kekuatan dan Struktur Fundamental

Swiss mencatat:

  • Tingkat PDB per kapita tertinggi di OECD
  • Kualitas hidup dan kepuasan warga sangat tinggi
  • Tingkat pengangguran rendah, termasuk untuk pemuda dan pengangguran jangka panjang
  • Sistem pendidikan dan transportasi publik efisien

Sistem demokrasi Swiss ditopang oleh:

  • Konsensus demokrasi (Konkordanz)
  • Demokrasi langsung melalui referendum dan inisiatif populer
  • Neokorporatisme: integrasi erat antara pemerintah, dunia usaha, dan pekerja

Namun, pendekatan konsensus ini kini terancam oleh polarisasi politik, terutama antara partai populis kanan seperti SVP dan partai hijau-sosial liberal.

Tantangan Utama Demokrasi Swiss Saat Ini

1. Hubungan yang Buntu dengan Uni Eropa

Swiss sangat bergantung pada UE dari sisi ekonomi, mobilitas tenaga kerja, dan penelitian. Namun, sejak gagalnya kesepakatan kelembagaan bilateral pada 2021, hubungan kedua pihak stagnan. UE mendesak:

  • Pemutakhiran otomatis perjanjian bilateral
  • Mekanisme penyelesaian sengketa yang efisien

Swiss kesulitan menerima tuntutan ini tanpa mengorbankan kedaulatan nasional. Kompromi perlu disahkan lewat referendum, yang berisiko ditolak publik.

2. Reformasi Iklim yang Lambat

  • Target net-zero CO2 tahun 2050 disetujui rakyat pada 2023.
  • Namun, undang-undang CO2 sebelumnya ditolak pada 2021.
  • Versi revisinya yang lebih lemah akhirnya lolos pada akhir 2023, tanpa pungutan baru terhadap emisi.

Hal ini mencerminkan kecenderungan reform-averse dalam sistem referendum Swiss, di mana oposisi mudah dimobilisasi.

3. Sistem Pensiun: Antara Keadilan Antar-Generasi dan Ketimpangan

  • Reformasi besar ditolak di masa lalu, hanya reformasi terbatas lolos pada 2022.
  • Dua konflik utama:
    • Pilar pertama (redistributif) vs. pilar kedua (berbasis kontribusi)
    • Usia pensiun dan beban kontribusi antar generasi

Salah satu proposal baru akan dibawa ke referendum tahun 2024, berisiko kembali gagal karena resistensi dari partai tengah dan sektor keuangan.

4. Ketimpangan Sosial dan Integrasi Warga Asing

  • 25% penduduk Swiss adalah warga asing, menyumbang seperempat PDB.
  • Namun, partisipasi politik mereka sangat terbatas.
  • Anak dari keluarga miskin sulit naik kelas sosial, dan perempuan menghadapi kurangnya layanan penitipan anak yang terjangkau.

Masalah ini diperparah oleh rasisme struktural dan diskriminasi institusional, terutama dalam akses pekerjaan, perumahan, dan proses naturalisasi.

5. Sistem Kesehatan Kurang Berkelanjutan

  • Biaya perawatan terus meningkat, premi asuransi naik pesat.
  • Kesenjangan akses layanan kesehatan makin melebar antara pendapatan rendah dan tinggi.
  • Sistem asuransi berbasis premi per kapita dinilai tidak adil dan tak efisien.

6. Kemandekan Reformasi karena Polarisasi Politik

  • Polarisasi antara SVP populis kanan dan partai hijau-sosialis membuat banyak kebijakan strategis gagal lolos.
  • Bahkan reformasi mendesak seperti pensiun dan iklim pun tertunda.

7. Demokrasi Langsung: Partisipatif tapi Reform-Averse

  • Sistem ini sukses meningkatkan legitimasi publik.
  • Namun, banyak inisiatif populer disahkan tapi sulit diterapkan, karena bertentangan dengan hukum internasional atau ketentuan ekonomi.
  • Contoh:
    • Larangan pembangunan menara masjid (2009)
    • Inisiatif anti-imigrasi massal (2014)
    • Pelaksanaan deportasi otomatis bagi pelaku kejahatan asing

Krisis Responsif: Ketika Sistem Lambat Menanggapi Tantangan

Swiss menghadapi tantangan utama: ketidakmampuan merespons cepat terhadap perubahan. Contoh konkret:

  • Penundaan reformasi CO2
  • Hubungan yang mandek dengan UE
  • Lambannya reformasi sistem pensiun

Tiga penghambat utama:

  1. Demokrasi langsung yang cenderung menolak perubahan
  2. Federalisme kompleks dengan banyak variasi kantonal
  3. Corporatism yang mulai kehilangan daya koordinasi

Meskipun lambat, solusi yang dihasilkan sering kali berkualitas tinggi. Tapi, dalam konteks perubahan iklim dan globalisasi yang cepat, kelambanan ini menjadi risiko serius.

Imigrasi: Antara Kontribusi Ekonomi dan Ketegangan Identitas

  • Imigran menyumbang besar terhadap pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan pensiun
  • Namun, ada kekhawatiran publik tentang identitas nasional, harga rumah, dan infrastruktur

Partai Swiss People's Party (SVP) berhasil memanfaatkan isu ini untuk menggerakkan inisiatif populis yang berbasis identitas, meski tingkat xenophobia relatif rendah.

Solusi dan Refleksi: Menuju Pemerintahan yang Lebih Tangguh

Swiss menghadapi dilema klasik: bagaimana menjaga kedaulatan nasional sambil tetap mendapatkan manfaat dari integrasi internasional?

Laporan menyarankan:

  • Pemerintah perlu secara jujur mengkomunikasikan keterbatasan demokrasi langsung, bahwa Swiss sejatinya adalah negara semi-berdaulat seperti banyak negara maju lainnya.
  • Meningkatkan literasi politik masyarakat, termasuk batasan konstitusional dan hukum internasional
  • Mereformasi sistem referendum agar lebih responsif dan realistis

Meskipun begitu, sistem Swiss tetap memiliki keunggulan pragmatisme: banyak kebijakan ekstrem dari hasil referendum dijinakkan dalam tahap implementasi, menghindari dampak buruk langsung.

Kesimpulan

Swiss adalah bukti hidup bahwa demokrasi langsung bisa stabil dan efektif, tetapi hanya jika ditopang oleh partisipasi luas, administrasi efisien, dan budaya kompromi. Namun, di tengah perubahan global yang makin cepat, sistem yang lambat merespons bisa menjadi hambatan.

Tantangan terbesar Swiss ke depan adalah bagaimana menjaga legitimasi partisipatif sambil meningkatkan efisiensi pengambilan keputusan dalam isu-isu mendesak seperti iklim, kesehatan, dan integrasi internasional.

Sumber asli: Armingeon, K., Sager, F., Mavrot, C., & Zohlnhöfer, R. (Eds.). (2024). Sustainable Governance Indicators: Switzerland Report. SGI – Bertelsmann Stiftung.

Selengkapnya
Demokrasi Langsung dan Stabilitas Politik Swiss: Antara Kemandirian Nasional dan Tantangan Global

Korupsi Konstruksi

Menelusuri Akar Korupsi di Industri Konstruksi: Kolusi, Suap, dan Politik Uang

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pendahuluan

Industri konstruksi dikenal sebagai sektor yang padat modal, kompleks, dan penuh ketergantungan antarpihak. Sayangnya, karakteristik ini juga menjadikannya ladang subur bagi korupsi dan infiltrasi kejahatan terorganisir. Dalam studi komprehensif berjudul A Review of Corruption and Organized Crime in the Construction Industry oleh Lars Flysjö (2020), ditelusuri secara mendalam bagaimana kelompok kriminal terorganisir memanfaatkan sektor ini untuk memperluas pengaruh, kekuasaan, dan profit mereka, baik di negara maju seperti Swedia maupun dalam konteks mafia Italia, Jepang, Kanada, hingga India.

Studi ini merupakan telaah literatur terhadap 15 artikel ilmiah dengan pendekatan kualitatif, dan berfokus pada fungsi korupsi dalam penyusupan kelompok kriminal ke industri konstruksi.

Fungsi Utama Korupsi dalam Infiltrasi Organisasi Kriminal

1. Penegakan Kartel

Kartel dalam industri konstruksi merujuk pada kolusi antar perusahaan untuk mengatur harga, memenangkan tender, dan menyingkirkan kompetitor. Dalam praktiknya:

  • Di Palermo, mafia menjadi mediator tender publik dengan “biaya koordinasi” sebesar 10% dari nilai kontrak (Savona, 1995).
  • Di Naples, Camorra mendapatkan 3–5% dari kontrak sebagai imbalan atas penyediaan tenaga kerja dan logistik (Vine, 2012).
  • Di Montreal, perusahaan yang tidak bergabung dengan kartel diintimidasi atau dipaksa keluar oleh mafia lokal (Jaspers, 2019).
  • Kartel di Belanda bahkan tidak memerlukan kehadiran mafia karena telah menjadi praktik industri yang “dinormalisasi”.

Penegakan kartel melalui korupsi terhadap pejabat publik memungkinkan mafia atau OCG (Organized Crime Groups) mendapatkan jaminan “keamanan pasar” dalam jangka panjang.

2. Organisasi Tenaga Kerja Gelap

Salah satu strategi utama kejahatan terorganisir adalah mengoperasikan jaringan tenaga kerja ilegal. Studi van Duyne (1993) menunjukkan jaringan kriminal Inggris mengorganisasi 200–300 pekerja di proyek-proyek Eropa Barat menggunakan perusahaan fiktif dan faktur palsu.

Untuk menjalankan skema ini, diperlukan korupsi terhadap pejabat imigrasi, pajak, dan pengawas proyek agar operasi berjalan tanpa hambatan.

3. Korupsi terhadap Serikat Pekerja

Di New York, mafia memperoleh kekuasaan besar melalui kendali atas serikat buruh seperti Teamsters Union, dan mengatur arus dana miliaran dolar dalam bentuk dana pensiun dan kontrak (Block & Griffin, 1997). Salah satu kasus paling mencolok adalah John Giura, yang mengatur aliran >USD 1 miliar ke broker tertentu dengan imbalan kickback.

Laporan investigasi tahun 1987 menunjukkan korupsi yang sangat luas di sektor konstruksi publik New York, tapi rekomendasinya tidak diterapkan karena resistensi dari pengembang dan serikat (Woodiwiss, 2015).

4. Korupsi terhadap Politisi dan Proses Perencanaan Kota

Korupsi politik adalah aspek kunci. Dalam banyak kasus, mafia:

  • Mengatur izin mendirikan bangunan
  • Mempengaruhi alokasi proyek publik
  • Mengatur zona pemukiman dan rencana kota

Contoh paling gamblang adalah:

  • Kota Desio di Italia Utara, di mana ‘Ndrangheta mengendalikan pejabat, pengembang, dan agen real estate untuk merancang rencana tata kota demi keuntungan sendiri (Chiodelli, 2019).
  • Di Mumbai, kelompok kriminal bertransformasi dari penyelundup menjadi pengembang properti kelas atas, bekerja sama dengan politisi dan birokrat (Weinstein, 2008).

Faktor-Faktor Kritis yang Memungkinkan Infiltrasi

1. Regulasi (dan Deregulasi)

Menariknya, baik keberadaan regulasi maupun ketiadaannya sama-sama bisa dieksploitasi. Contoh:

  • Deregulasi di era pasca-Perang Dunia II di Italia menciptakan celah bagi mafia untuk menguasai pasar kontruksi (Savona, 1995).
  • Regulasi yang rumit dan birokrasi yang lambat membuat proses perizinan menjadi peluang untuk suap dan jual beli keputusan.

2. Insentif Struktural dan Budaya

Industri konstruksi memiliki struktur unik:

  • Proyek bersifat temporer
  • Banyak subkontraktor kecil
  • Keterlibatan langsung pemerintah (sebagai pemberi kerja, regulator, dan pengembang)

Hal ini menciptakan ekosistem yang rentan terhadap kolusi. Ditambah lagi, dalam banyak budaya, praktik seperti hadiah atau balas jasa masih dianggap normal, memperkuat toleransi terhadap korupsi.

3. Ekonomi Transisi

Ekonomi yang sedang bertransisi (pasca-konflik, liberalisasi pasar) sangat rawan:

  • Di Italia selatan, 1.708 perusahaan milik mafia disita pada 2011, dan sepertiganya adalah perusahaan konstruksi (Scognamiglio, 2018).
  • Di Swedia, pergeseran dari masyarakat egaliter ke arah ketimpangan ekonomi juga memicu pertumbuhan jaringan kriminal dan eksploitasi di sektor konstruksi (Therborn, 2020).

4. Kekuatan Diskresioner

Kewenangan mutlak tanpa akuntabilitas adalah pemicu utama korupsi. Studi menunjukkan bahwa pejabat publik seringkali menggunakan diskresi dalam:

  • Memberikan izin proyek
  • Menentukan pemenang tender
  • Mengabaikan pelanggaran dengan imbalan suap

Kasus besar seperti operasi “Clean Hands” di Italia membuktikan bahwa diskresi yang tidak terkontrol bisa menjadi sistem korupsi yang mapan.

Relevansi dan Potensi Ancaman di Swedia

Swedia, meski dianggap sebagai negara dengan tingkat korupsi rendah, mulai menunjukkan tanda-tanda bahaya:

  • Jaringan kriminal seperti Hells Angels mulai terlibat dalam proyek konstruksi besar (SVT, 2019).
  • Tidak adanya kerangka hukum untuk mencegah perusahaan milik geng kriminal memenangkan tender publik menjadi celah serius (Savona et al., 2015).
  • Penelitian menunjukkan bahwa “pasar gelap tenaga kerja” di sektor konstruksi menghasilkan lebih dari €10 juta setiap tahun (Heber, 2009).

Kesimpulan dan Rekomendasi

Korupsi adalah pintu masuk utama bagi kejahatan terorganisir ke dalam industri konstruksi. Mereka memanfaatkan celah dalam regulasi, budaya toleransi, diskresi pejabat, dan struktur proyek yang kompleks.

Studi ini menyarankan bahwa untuk mencegah hal ini:

  • Transparansi tender publik harus diperkuat
  • Sistem blacklist global dan nasional perlu diterapkan
  • Pengawasan independen dan whistleblowing system wajib dibentuk
  • Pemerintah harus mengurangi kewenangan diskresioner tanpa pengawasan

Sebagaimana ditekankan Flysjö (2020), tantangan masa depan bukan hanya pada pemberantasan, tetapi mengenali pola awal infiltrasi sebelum kejahatan terorganisir berkembang menjadi bagian dari sistem.

Sumber asli:
Flysjö, L. (2020). A Review of Corruption and Organized Crime in the Construction Industry. Malmö University: Faculty of Health and Society, Department of Criminology.

Selengkapnya
Menelusuri Akar Korupsi di Industri Konstruksi: Kolusi, Suap, dan Politik Uang

Korupsi Konstruksi

Tragedi Konstruksi di Jos: Penyebab, Studi Kasus, dan Solusi Cegah Bangunan Ambruk di Nigeria

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pendahuluan

Ambruknya bangunan bukan hanya bencana struktural, tapi tragedi kemanusiaan. Di Nigeria, terutama kota Jos, insiden ini merenggut nyawa, meluluhlantakkan properti, dan memperparah kemiskinan. Meskipun kota besar seperti Lagos dan Abuja mendapat sorotan media, kota-kota kecil seperti Jos kerap luput dari perhatian.

Artikel ilmiah oleh Ketkukah et al. (2023) menyoroti lima kasus keruntuhan bangunan di Jos antara 2016–2022, dengan pendekatan studi lapangan langsung dan data sekunder. Artikel ini tidak hanya mengulas sebab teknis, tetapi juga menekankan pentingnya peran profesional, regulasi yang ketat, dan edukasi masyarakat.

Latar Belakang: Mengapa Bangunan di Jos Banyak Ambruk?

Masalah keruntuhan bangunan bukanlah hal baru di Nigeria. Namun, tidak adanya pengawasan ketat, minimnya keterlibatan profesional bersertifikasi, dan penggunaan material substandar menjadi penyebab utama bencana yang terus terulang.

Berdasarkan laporan lapangan, tidak satu pun dari lima bangunan yang runtuh memiliki izin resmi dari Jos Metropolitan Development Board (JMDB). Bahkan dalam beberapa kasus, desain struktur tidak pernah melibatkan insinyur struktur, dan pembangunan dijalankan oleh tukang atau arsitek tanpa lisensi profesional.

Studi Kasus 1: Sekolah Dasar Abu Ni’ima Islamic School (2015)

Bangunan ini runtuh di Bukuru, Jos South pada 6 September 2015. Korban jiwa: 6 siswa meninggal, 12 luka-luka.

Penyebab teknis utama:

  • Beton berkualitas buruk
  • Jumlah tulangan baja tidak mencukupi
  • Tidak ada bonding efektif antara baja dan beton

Menurut laporan NBRRI No. 36, tidak ada profesional yang terlibat dalam pembangunan sekolah ini. Pihak yang membangun adalah tukang yang tidak memahami prinsip rekayasa struktur. Runtuhnya struktur terjadi akibat kegagalan penulangan dan pengecoran yang tidak memenuhi standar.

Studi Kasus 2: Kantor Asosiasi Medis Nigeria (NMA) (2018)

Bangunan kantor dan aula ini runtuh pada 6 September 2018. Tidak ada korban jiwa, tetapi kerugian materi sangat besar.

Masalah utama:

  • Desain oleh tenaga non-profesional
  • Supervisi konstruksi oleh arsitek tanpa lisensi
  • Balok dan kolom tidak sesuai ukuran pada gambar teknis

Kasus ini menggarisbawahi bahaya ketika proyek besar dikelola oleh pekerja tanpa latar belakang struktural. Anggaran organisasi yang dihimpun bertahun-tahun musnah dalam sekejap.

Studi Kasus 3: Bangunan Tiga Lantai di Butcher Lane, Dilimi (2019)

Bangunan ini runtuh pada 12 Juli 2019 dan menyebabkan 14 korban jiwa, termasuk pemilik bangunan dan keluarganya.

Faktor penyebab utama:

  • Tambahan lantai dilakukan tanpa perhitungan ulang struktur
  • Septic tank dibangun di dalam perimeter bangunan
  • Tanpa gambar teknik & perencanaan profesional

Bangunan ini awalnya hanya satu lantai, lalu diubah menjadi tiga lantai tanpa memperhitungkan fondasi. Akibatnya, beban berlebih membuat struktur gagal total.

Studi Kasus 4: Gymnasium Universitas Jos (2022)

Pada 23 April 2022, angin kencang menerbangkan atap Gym Taekwondo di Universitas Jos.

Temuan utama:

  • Desain struktur atap tidak memperhitungkan uplift oleh angin
  • Kolom tidak tegak lurus, bentuk tidak seragam
  • Bukti minimnya pengawasan saat pembangunan

Ini menunjukkan pentingnya pengujian desain terhadap kondisi cuaca lokal, serta pentingnya keterlibatan profesional sejak awal proyek.

Studi Kasus 5: Bangunan Toko di Bukuru Mini Stadium (2022)

Bangunan ini memiliki toko di lantai dasar dan kantor di atasnya. Runtuh tanpa korban jiwa, tapi kerugian materi besar.

Penyebab runtuh:

  • Bangunan awalnya untuk tempat tinggal, lalu dijadikan multipurpose tanpa desain ulang
  • Kolom tambahan ditambahkan secara ilegal
  • Tidak ada keterlibatan profesional atau izin pembangunan

Ini adalah contoh nyata penyalahgunaan fungsi bangunan tanpa rekalkulasi desain.

Akar Masalah: Ketiadaan Profesional dan Lemahnya Regulasi

Lima studi kasus menunjukkan pola berulang:

  1. Tidak ada izin bangunan resmi
  2. Ketiadaan insinyur struktur dalam desain
  3. Pekerjaan diawasi oleh tukang atau arsitek tanpa lisensi
  4. Kualitas beton dan baja di bawah standar
  5. Tambahan lantai ilegal tanpa desain ulang fondasi

Menurut COREN dan CORBON, kegagalan sistem pengawasan lapangan, serta rendahnya kesadaran hukum masyarakat, turut memperparah krisis ini.

Perbandingan dengan Kota Lain

Di kota besar seperti Lagos, penyebab keruntuhan mirip: penggunaan tukang non-berlisensi, desain buruk, serta lemahnya pengawasan (Oseghale et al., 2015). Namun, perbedaannya terletak pada intensitas pelaporan dan penindakan hukum. Jos masih jauh tertinggal dalam hal itu.

Rekomendasi Penulis (dan Tambahan Analisis)

Dari Paper:

  • Laporan struktur dan uji tanah wajib sebelum izin bangunan disetujui
  • COREN, ARCON, dan lembaga profesional lainnya harus gencar melakukan edukasi dan inspeksi
  • Pemerintah daerah perlu menerapkan penegakan hukum lebih tegas
  • Tenaga profesional yang melanggar harus disanksi tegas

Tambahan:

  • Penggunaan e-government untuk sistem izin bangunan bisa meminimalkan pemalsuan dokumen
  • Kolaborasi dengan perguruan tinggi untuk riset dan edukasi masyarakat
  • Audit teknis berkala di semua proyek konstruksi >2 lantai

Penutup

Kasus runtuhnya bangunan di Jos seharusnya menjadi peringatan keras bagi seluruh stakeholder konstruksi di Nigeria dan negara berkembang lainnya. Keterlibatan profesional tidak bisa ditawar, dan pengawasan yang lemah hanya akan memperbesar tragedi. Dengan edukasi, regulasi, dan komitmen profesional, kita bisa mencegah korban berikutnya.

Sumber : Ketkukah, T. S., Sule, E., Mije, F. G., & Badamasi, A. (2023). Assessment of Building Collapses in Jos Town, Plateau State Nigeria (2016–2022). OIDA International Journal of Sustainable Development, 16(05).

Selengkapnya
Tragedi Konstruksi di Jos: Penyebab, Studi Kasus, dan Solusi Cegah Bangunan Ambruk di Nigeria

Korupsi Konstruksi

Korupsi dalam Proyek Perdamaian Pasca-Konflik: Pelajaran dari UNPBF di Sierra Leone

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pendahuluan

Korupsi dan upaya perdamaian sering menjadi dua hal yang bertolak belakang, tetapi dalam praktiknya, keduanya kerap bersinggungan. Dalam konteks negara pasca-konflik seperti Sierra Leone, praktik korupsi justru menyusupi proyek-proyek yang bertujuan membangun perdamaian berkelanjutan. Studi yang dilakukan oleh Hajaratu Sama (2021) ini memfokuskan pada United Nations Peacebuilding Fund (UNPBF), yang sejak 2007 telah menggelontorkan lebih dari $57 juta untuk berbagai proyek rekonstruksi dan penguatan kapasitas institusional di negara tersebut.

Dengan menganalisis dua proyek utama UNPBF, penelitian ini membongkar bagaimana korupsi terjadi di tingkat formal dan informal, melibatkan aparat hukum, pejabat lokal, dan bahkan tokoh masyarakat seperti chiefs dan mammy queens. Penelitian ini tidak hanya menjadi cermin realitas Sierra Leone, tetapi juga membuka diskusi lebih luas tentang rapuhnya pendekatan liberal peacebuilding jika tidak dibarengi dengan sistem pengawasan yang kuat.

Latar Belakang dan Konteks Penelitian

Sierra Leone mengalami konflik sipil selama lebih dari satu dekade (1991–2002) yang mengakibatkan lebih dari 200.000 kematian dan kehancuran masif. Salah satu penyebab utamanya adalah korupsi sistemik, kolusi politik, dan ketimpangan distribusi sumber daya (Lucey & Kumalo, 2018). Pasca-konflik, negara ini menjadi salah satu penerima dana UNPBF terbesar di Afrika.

Proyek yang dianalisis dalam studi ini:

  1. Moyamba dan Pujehun Districts
    Fokus: Mitigasi konflik berbasis sumber daya lokal dan peningkatan ketahanan masyarakat.
  2. Tonkolili dan Kenema Districts
    Fokus: Pemberdayaan pemuda berisiko dalam konteks kekerasan dan gang.

Kerangka Teoritis: Korupsi dalam Perspektif Pasca-Konflik

Korupsi dalam situasi pasca-konflik didefinisikan sebagai kombinasi antara:

  • Korupsi konvensional: suap, nepotisme, penggelapan
  • Korupsi institusional: penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik
  • Korupsi sistemik: normalisasi korupsi sebagai bagian dari praktik sosial

Dalam konteks liberal peacebuilding, proyek seperti UNPBF yang menitikberatkan pada demokrasi, hak asasi manusia, dan pasar bebas sering kali gagal menangkal praktik korupsi karena:

  • Ketergantungan pada aktor lokal yang tidak akuntabel
  • Minimnya pengawasan dan evaluasi independen
  • Lemahnya institusi penegakan hukum di tingkat nasional

Temuan Utama: Pola dan Mekanisme Korupsi dalam Proyek UNPBF

1. Korupsi dalam Rekrutmen dan Registrasi Penerima Manfaat

  • Pemalsuan data dan penggantian nama penerima bantuan dengan keluarga atau kerabat pejabat lokal.
  • Di Tonkolili, ditemukan bahwa mayoritas dari 30 nama yang diajukan tidak memenuhi kriteria, bahkan ada yang sudah memiliki pekerjaan tetap.
  • Seorang responden menyebutkan, "Yang daftar bukan pemuda pengangguran, tapi anak-anak aparat yang sudah kerja tetap" (R3, 2021).

2. Bribery dan Perlindungan dari Hukum

  • Praktik suap ke polisi agar pelaku korupsi tidak ditindak. Petugas hukum justru menjadi pelindung, bukan penegak keadilan.
  • "Kami tahu siapa yang makan uang proyek. Tapi mereka kasih 'uang damai' ke polisi jadi aman-aman saja," (R4, 2021).

3. Korupsi dalam Lembaga Yudisial

  • Proses hukum lambat dan tidak transparan. Kasus-kasus korupsi UNPBF yang dilaporkan ke pengadilan tidak diproses atau mandek bertahun-tahun.
  • Seorang pejabat proyek mengatakan, "Kami sudah lapor ke pengadilan sejak tahun lalu, sampai sekarang tidak ada kabar" (R9, 2021).

4. Nepotisme dan Favouritism

  • Para chiefs dan mammy queens secara aktif mencantumkan keluarga mereka sebagai penerima manfaat tanpa seleksi yang sah.
  • "Mereka isi daftar dengan anak-anak sendiri, lalu bilang itu 'korban perang'," ungkap salah satu informan lokal (R2, 2021).

5. Duplikasi Penerima Bantuan

  • Terjadi pendaftaran ganda di dua lokasi berbeda. Hal ini membuat anggaran tidak cukup untuk semua calon penerima.
  • “Ada yang daftar di dua tempat dan terima dua kali, sedangkan kami yang benar-benar butuh tidak dapat apa-apa,” (R3, 2021).

Normalisasi dan Denial: Hambatan Utama Penanganan Korupsi

Penelitian ini menunjukkan bahwa korupsi dalam proyek UNPBF bukan sekadar deviasi personal, melainkan telah terinstitusionalisasi dan dinormalisasi dalam masyarakat. Ironisnya, banyak pejabat lokal dan pelaksana proyek justru menyangkal keberadaan korupsi atau menganggapnya tidak signifikan.

Salah satu mammy queen bahkan mengatakan, "Saya tidak melihat adanya penyimpangan. Semua sesuai prosedur" (R13, 2021). Sikap denial ini memperlihatkan pentingnya intervensi yang tidak hanya struktural, tetapi juga kultural.

Studi Banding dan Konteks Global

Temuan dari Sierra Leone sejalan dengan kondisi di negara pasca-konflik lainnya:

  • Guatemala: sistem yudisial pasca-perang sangat korup, menghambat implementasi program perdamaian (Rose-Ackerman, 2008).
  • Sudan Selatan: aparat hukum menjadi bagian dari korupsi struktural, memungut suap untuk setiap layanan (The Sentry, 2015).
  • Nepal: patronase digunakan untuk menyatukan faksi politik, walau berdampak buruk jangka panjang (Jarvis, 2020).

Rekomendasi Strategis: Reformasi di Semua Tingkat

1. Penguatan Penegakan Hukum

  • Pelatihan etika dan profesionalisme untuk polisi dan hakim.
  • Sanksi tegas terhadap aparat yang menerima suap.

2. Reformasi Tata Kelola Proyek

  • Digitalisasi sistem registrasi dan verifikasi penerima manfaat.
  • Audit independen dan publikasi hasil audit secara transparan.

3. Perubahan Budaya Sosial

  • Edukasi anti-korupsi berbasis masyarakat.
  • Keterlibatan pemuda dan LSM dalam pengawasan sosial.

4. Reformasi Struktural dalam UNPBF

  • Pembentukan unit antikorupsi internal dengan wewenang penuh.
  • Peninjauan ulang pendekatan top-down dalam peacebuilding, menggantinya dengan partisipasi lokal inklusif.

Kesimpulan

Korupsi dalam proyek perdamaian bukan hanya merusak proses pembangunan, tetapi juga memperpanjang potensi konflik dan ketidakstabilan sosial. Studi kasus UNPBF di Sierra Leone memperlihatkan bahwa alokasi dana yang besar tanpa sistem pengawasan yang kuat hanya akan menciptakan bentuk baru dari penindasan dan ketidakadilan.

Jika tidak ada transformasi mendasar dalam pendekatan liberal peacebuilding, proyek-proyek serupa akan terus melestarikan korupsi atas nama pembangunan. Oleh karena itu, solusi bukan hanya bersifat teknokratis, tetapi juga politis dan kultural: mendorong akuntabilitas, menumbuhkan partisipasi lokal yang kritis, dan memutus mata rantai patronase.

Sumber asli:
Sama, H. (2021). Post-Conflict Corruption and Peacebuilding: The Case of the UN Peacebuilding Fund in Sierra Leone. International Institute of Social Studies, The Hague.

Selengkapnya
Korupsi dalam Proyek Perdamaian Pasca-Konflik: Pelajaran dari UNPBF di Sierra Leone

Korupsi Konstruksi

Faktor Penentu Kepercayaan Publik terhadap Upaya Antikorupsi: Studi Empiris Administrasi Publik di Vietnam

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pendahuluan

Korupsi adalah momok serius dalam administrasi publik, bukan hanya karena dampaknya terhadap ekonomi, tapi juga karena menurunkan legitimasi pemerintah di mata publik. Studi terbaru oleh Nguyen Thi Thu Hoa dan Nguyen Nghi Thanh (2023) dari Vietnam menyajikan pendekatan kuantitatif untuk mengevaluasi faktor-faktor yang memengaruhi kepercayaan publik terhadap efektivitas pengendalian korupsi di administrasi publik negara tersebut.

Penelitian ini menggunakan model regresi linier multivariat terhadap 200 responden di Hanoi untuk menguji pengaruh lima dimensi utama: institusional, budaya, politik, ekonomi, dan individu. Temuan studi ini memperkuat pentingnya membangun kerangka kerja tata kelola yang kuat, khususnya dalam konteks negara berkembang yang menghadapi tantangan sistemik dalam pemberantasan korupsi.

Latar Belakang: Kenapa Vietnam?

Meskipun Vietnam mencatat pertumbuhan ekonomi pesat, korupsi tetap menjadi penghambat utama. Fenomena ini:

  • Mengurangi kepercayaan publik
  • Mengganggu stabilitas politik
  • Meningkatkan biaya bisnis
  • Menurunkan investasi asing

Pemerintah Vietnam telah mengambil berbagai langkah seperti UU Antikorupsi (2005) dan Strategi Nasional Antikorupsi (2020), namun hasilnya belum maksimal. Oleh karena itu, studi berbasis persepsi publik menjadi penting untuk merancang strategi berbasis bukti.

Metodologi: Analisis Statistik untuk Memahami Persepsi

Studi ini menggunakan:

  • 200 responden dari kalangan warga dan pelaku usaha di Hanoi
  • Kuesioner 18 item untuk mengukur persepsi terhadap lima variabel utama
  • Uji validitas dan reliabilitas menggunakan Cronbach's alpha (> 0.7 untuk semua variabel)
  • Uji regresi linier multivariat, dengan nilai R² = 0.404, menunjukkan kekuatan model dalam menjelaskan variasi persepsi

Semua variabel—institusional (β=0.114), budaya (β=0.122), politik (β=0.229), ekonomi (β=0.177), dan individu (β=0.216)—berpengaruh positif dan signifikan secara statistik terhadap kepercayaan publik terhadap pengendalian korupsi.

Hasil dan Analisis Faktor

1. Faktor Institusional

Institusi yang efektif berperan sebagai benteng utama pengendalian korupsi. Penelitian ini menunjukkan bahwa:

  • Reformasi hukum dan tata kelola meningkatkan kepercayaan publik
  • Penegakan hukum yang kuat dan akuntabilitas institusi seperti badan antikorupsi, lembaga audit, dan pengadilan sangat krusial
  • Penguatan partisipasi sipil dan kebebasan media turut memperbesar daya cegah terhadap praktik korup

Implikasi: Pemerintah perlu membangun kerangka hukum yang lebih transparan dan memperkuat fungsi pengawasan lintas sektor.

2. Faktor Budaya

Nilai-nilai sosial, norma etika, dan tingkat toleransi terhadap korupsi sangat berpengaruh. Di Vietnam:

  • Norma informal seperti memberi hadiah bisa dianggap wajar, tapi rawan konflik kepentingan
  • Rendahnya budaya whistleblowing menurunkan efektivitas pelaporan

Solusi: Edukasi publik, kampanye etika, dan promosi nilai-nilai integritas perlu digalakkan dari level pendidikan dasar.

3. Faktor Politik

Faktor ini memiliki pengaruh paling signifikan (β=0.229) terhadap persepsi publik. Stabilitas politik, integritas pemimpin, dan komitmen pemerintah terhadap antikorupsi terbukti sangat memengaruhi kepercayaan.

Contoh konkret: Konsistensi kampanye antikorupsi oleh Partai Komunis Vietnam meningkatkan persepsi, tetapi disertai kekhawatiran akan efek “pembungkaman” terhadap oposisi.

Rekomendasi: Upaya antikorupsi harus dibebaskan dari politisasi, dengan memastikan independensi lembaga pengawas.

4. Faktor Ekonomi

Ketimpangan ekonomi dan lemahnya sistem manajemen keuangan negara dapat menciptakan insentif tinggi untuk korupsi. Studi ini mencatat:

  • Distribusi pendapatan yang timpang memicu penyalahgunaan kekuasaan
  • Ketidakefisienan dalam pengelolaan anggaran membuka celah penyimpangan

Kebijakan strategis: Penguatan sistem pengadaan barang/jasa, pelaporan belanja negara berbasis digital, dan penguatan peran auditor negara.

5. Faktor Individu

Nilai-nilai pribadi seperti integritas, tingkat pendidikan, dan kesadaran moral berperan penting. Studi ini menunjukkan:

  • Pendidikan tinggi berkorelasi positif terhadap persepsi antikorupsi
  • Etika pribadi dan motivasi internal adalah filter pertama terhadap korupsi

Kritik penting: Regulasi tidak cukup tanpa budaya antikorupsi yang ditanamkan dalam individu sejak dini melalui pendidikan formal dan informal.

Kritik & Batasan Studi

  • Ukuran sampel terbatas (200 responden) mengurangi generalisasi hasil
  • Metode purposive sampling rentan bias karena tidak acak
  • Fokus hanya pada satu kota (Hanoi) tidak mencerminkan keragaman kondisi nasional

Namun demikian, studi ini berhasil memberikan gambaran empiris awal yang relevan, mengisi celah dalam literatur yang selama ini terlalu kualitatif.

Rekomendasi Strategis

Berdasarkan hasil penelitian, berikut langkah-langkah konkret yang bisa diterapkan untuk meningkatkan kepercayaan publik:

  1. Reformasi institusi:
    • Penguatan independensi lembaga antikorupsi
    • Digitalisasi prosedur pemerintahan untuk meningkatkan transparansi
  2. Intervensi budaya:
    • Integrasi pendidikan antikorupsi di sekolah dan universitas
    • Kampanye publik tentang etika pelayanan publik
  3. Konsolidasi politik:
    • Penunjukan pejabat publik berdasarkan merit, bukan afiliasi politik
    • Komitmen politik lintas partai terhadap agenda antikorupsi
  4. Transformasi ekonomi:
    • Tata kelola anggaran berbasis kinerja
    • Insentif untuk pelaporan korupsi melalui platform digital aman
  5. Pemberdayaan individu:
    • Pendidikan karakter bagi ASN
    • Program pelatihan etika dan integritas secara berkala

Kesimpulan

Kepercayaan publik terhadap pengendalian korupsi adalah fondasi utama bagi tata kelola yang sehat. Studi ini menunjukkan bahwa keberhasilan pengendalian korupsi tidak cukup hanya dengan hukum, tetapi juga memerlukan pendekatan sistemik yang mencakup aspek institusi, budaya, politik, ekonomi, dan individu.

Dengan memperkuat seluruh pilar tersebut secara simultan, negara-negara seperti Vietnam dapat memperkuat integritas sistem administrasi publik, mengurangi ketimpangan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Sumber asli:
Hoa, N. T. T., & Thanh, N. N. (2023). Factors Affecting Corruption Control in Public Administration: Evidence from Vietnam. Journal of Law and Sustainable Development, 11(12), 1–32.

Selengkapnya
Faktor Penentu Kepercayaan Publik terhadap Upaya Antikorupsi: Studi Empiris Administrasi Publik di Vietnam

Korupsi Konstruksi

Membongkar Korupsi dan Kejahatan Terorganisir dalam Industri Konstruksi Global: Pelajaran dari Mafia hingga Kartel

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025


Pendahuluan

Industri konstruksi dikenal sebagai sektor yang padat modal, kompleks, dan penuh ketergantungan antarpihak. Sayangnya, karakteristik ini juga menjadikannya ladang subur bagi korupsi dan infiltrasi kejahatan terorganisir. Dalam studi komprehensif berjudul A Review of Corruption and Organized Crime in the Construction Industry oleh Lars Flysjö (2020), ditelusuri secara mendalam bagaimana kelompok kriminal terorganisir memanfaatkan sektor ini untuk memperluas pengaruh, kekuasaan, dan profit mereka, baik di negara maju seperti Swedia maupun dalam konteks mafia Italia, Jepang, Kanada, hingga India.

Studi ini merupakan telaah literatur terhadap 15 artikel ilmiah dengan pendekatan kualitatif, dan berfokus pada fungsi korupsi dalam penyusupan kelompok kriminal ke industri konstruksi.

Fungsi Utama Korupsi dalam Infiltrasi Organisasi Kriminal

1. Penegakan Kartel

Kartel dalam industri konstruksi merujuk pada kolusi antar perusahaan untuk mengatur harga, memenangkan tender, dan menyingkirkan kompetitor. Dalam praktiknya:

  • Di Palermo, mafia menjadi mediator tender publik dengan “biaya koordinasi” sebesar 10% dari nilai kontrak (Savona, 1995).
  • Di Naples, Camorra mendapatkan 3–5% dari kontrak sebagai imbalan atas penyediaan tenaga kerja dan logistik (Vine, 2012).
  • Di Montreal, perusahaan yang tidak bergabung dengan kartel diintimidasi atau dipaksa keluar oleh mafia lokal (Jaspers, 2019).
  • Kartel di Belanda bahkan tidak memerlukan kehadiran mafia karena telah menjadi praktik industri yang “dinormalisasi”.

Penegakan kartel melalui korupsi terhadap pejabat publik memungkinkan mafia atau OCG (Organized Crime Groups) mendapatkan jaminan “keamanan pasar” dalam jangka panjang.

2. Organisasi Tenaga Kerja Gelap

Salah satu strategi utama kejahatan terorganisir adalah mengoperasikan jaringan tenaga kerja ilegal. Studi van Duyne (1993) menunjukkan jaringan kriminal Inggris mengorganisasi 200–300 pekerja di proyek-proyek Eropa Barat menggunakan perusahaan fiktif dan faktur palsu.

Untuk menjalankan skema ini, diperlukan korupsi terhadap pejabat imigrasi, pajak, dan pengawas proyek agar operasi berjalan tanpa hambatan.

3. Korupsi terhadap Serikat Pekerja

Di New York, mafia memperoleh kekuasaan besar melalui kendali atas serikat buruh seperti Teamsters Union, dan mengatur arus dana miliaran dolar dalam bentuk dana pensiun dan kontrak (Block & Griffin, 1997). Salah satu kasus paling mencolok adalah John Giura, yang mengatur aliran >USD 1 miliar ke broker tertentu dengan imbalan kickback.

Laporan investigasi tahun 1987 menunjukkan korupsi yang sangat luas di sektor konstruksi publik New York, tapi rekomendasinya tidak diterapkan karena resistensi dari pengembang dan serikat (Woodiwiss, 2015).

4. Korupsi terhadap Politisi dan Proses Perencanaan Kota

Korupsi politik adalah aspek kunci. Dalam banyak kasus, mafia:

  • Mengatur izin mendirikan bangunan
  • Mempengaruhi alokasi proyek publik
  • Mengatur zona pemukiman dan rencana kota

Contoh paling gamblang adalah:

  • Kota Desio di Italia Utara, di mana ‘Ndrangheta mengendalikan pejabat, pengembang, dan agen real estate untuk merancang rencana tata kota demi keuntungan sendiri (Chiodelli, 2019).
  • Di Mumbai, kelompok kriminal bertransformasi dari penyelundup menjadi pengembang properti kelas atas, bekerja sama dengan politisi dan birokrat (Weinstein, 2008).

Faktor-Faktor Kritis yang Memungkinkan Infiltrasi

1. Regulasi (dan Deregulasi)

Menariknya, baik keberadaan regulasi maupun ketiadaannya sama-sama bisa dieksploitasi. Contoh:

  • Deregulasi di era pasca-Perang Dunia II di Italia menciptakan celah bagi mafia untuk menguasai pasar kontruksi (Savona, 1995).
  • Regulasi yang rumit dan birokrasi yang lambat membuat proses perizinan menjadi peluang untuk suap dan jual beli keputusan.

2. Insentif Struktural dan Budaya

Industri konstruksi memiliki struktur unik:

  • Proyek bersifat temporer
  • Banyak subkontraktor kecil
  • Keterlibatan langsung pemerintah (sebagai pemberi kerja, regulator, dan pengembang)

Hal ini menciptakan ekosistem yang rentan terhadap kolusi. Ditambah lagi, dalam banyak budaya, praktik seperti hadiah atau balas jasa masih dianggap normal, memperkuat toleransi terhadap korupsi.

3. Ekonomi Transisi

Ekonomi yang sedang bertransisi (pasca-konflik, liberalisasi pasar) sangat rawan:

  • Di Italia selatan, 1.708 perusahaan milik mafia disita pada 2011, dan sepertiganya adalah perusahaan konstruksi (Scognamiglio, 2018).
  • Di Swedia, pergeseran dari masyarakat egaliter ke arah ketimpangan ekonomi juga memicu pertumbuhan jaringan kriminal dan eksploitasi di sektor konstruksi (Therborn, 2020).

4. Kekuatan Diskresioner

Kewenangan mutlak tanpa akuntabilitas adalah pemicu utama korupsi. Studi menunjukkan bahwa pejabat publik seringkali menggunakan diskresi dalam:

  • Memberikan izin proyek
  • Menentukan pemenang tender
  • Mengabaikan pelanggaran dengan imbalan suap

Kasus besar seperti operasi “Clean Hands” di Italia membuktikan bahwa diskresi yang tidak terkontrol bisa menjadi sistem korupsi yang mapan.

Relevansi dan Potensi Ancaman di Swedia

Swedia, meski dianggap sebagai negara dengan tingkat korupsi rendah, mulai menunjukkan tanda-tanda bahaya:

  • Jaringan kriminal seperti Hells Angels mulai terlibat dalam proyek konstruksi besar (SVT, 2019).
  • Tidak adanya kerangka hukum untuk mencegah perusahaan milik geng kriminal memenangkan tender publik menjadi celah serius (Savona et al., 2015).
  • Penelitian menunjukkan bahwa “pasar gelap tenaga kerja” di sektor konstruksi menghasilkan lebih dari €10 juta setiap tahun (Heber, 2009).

Kesimpulan dan Rekomendasi

Korupsi adalah pintu masuk utama bagi kejahatan terorganisir ke dalam industri konstruksi. Mereka memanfaatkan celah dalam regulasi, budaya toleransi, diskresi pejabat, dan struktur proyek yang kompleks.

Studi ini menyarankan bahwa untuk mencegah hal ini:

  • Transparansi tender publik harus diperkuat
  • Sistem blacklist global dan nasional perlu diterapkan
  • Pengawasan independen dan whistleblowing system wajib dibentuk
  • Pemerintah harus mengurangi kewenangan diskresioner tanpa pengawasan

Sebagaimana ditekankan Flysjö (2020), tantangan masa depan bukan hanya pada pemberantasan, tetapi mengenali pola awal infiltrasi sebelum kejahatan terorganisir berkembang menjadi bagian dari sistem.

Sumber asli:
Flysjö, L. (2020). A Review of Corruption and Organized Crime in the Construction Industry. Malmö University: Faculty of Health and Society, Department of Criminology.

Selengkapnya
Membongkar Korupsi dan Kejahatan Terorganisir dalam Industri Konstruksi Global: Pelajaran dari Mafia hingga Kartel
« First Previous page 54 of 1.105 Next Last »