Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan
Swiss dikenal sebagai model stabilitas demokrasi dengan sistem pemerintahan langsung dan partisipatif yang dikagumi dunia. Dalam laporan Sustainable Governance Indicators (SGI) 2024, disebutkan bahwa Swiss adalah negara dengan realisasi demokrasi langsung terbaik, memberikan ruang luas bagi warga untuk terlibat dalam keputusan politik. Sistem ini menghasilkan legitimasi politik yang tinggi, baik secara input (partisipasi) maupun output (kebijakan efektif), dan berkontribusi pada kehidupan politik yang stabil dalam masyarakat yang beragam.
Namun, di balik stabilitas dan kemakmuran ekonomi, laporan ini juga mengungkap berbagai tantangan besar: hubungan dengan Uni Eropa yang macet, stagnasi reformasi iklim, ketimpangan sosial, serta reformasi pensiun yang lambat dan kontroversial.
Demokrasi Swiss: Kekuatan dan Struktur Fundamental
Swiss mencatat:
Sistem demokrasi Swiss ditopang oleh:
Namun, pendekatan konsensus ini kini terancam oleh polarisasi politik, terutama antara partai populis kanan seperti SVP dan partai hijau-sosial liberal.
Tantangan Utama Demokrasi Swiss Saat Ini
1. Hubungan yang Buntu dengan Uni Eropa
Swiss sangat bergantung pada UE dari sisi ekonomi, mobilitas tenaga kerja, dan penelitian. Namun, sejak gagalnya kesepakatan kelembagaan bilateral pada 2021, hubungan kedua pihak stagnan. UE mendesak:
Swiss kesulitan menerima tuntutan ini tanpa mengorbankan kedaulatan nasional. Kompromi perlu disahkan lewat referendum, yang berisiko ditolak publik.
2. Reformasi Iklim yang Lambat
Hal ini mencerminkan kecenderungan reform-averse dalam sistem referendum Swiss, di mana oposisi mudah dimobilisasi.
3. Sistem Pensiun: Antara Keadilan Antar-Generasi dan Ketimpangan
Salah satu proposal baru akan dibawa ke referendum tahun 2024, berisiko kembali gagal karena resistensi dari partai tengah dan sektor keuangan.
4. Ketimpangan Sosial dan Integrasi Warga Asing
Masalah ini diperparah oleh rasisme struktural dan diskriminasi institusional, terutama dalam akses pekerjaan, perumahan, dan proses naturalisasi.
5. Sistem Kesehatan Kurang Berkelanjutan
6. Kemandekan Reformasi karena Polarisasi Politik
7. Demokrasi Langsung: Partisipatif tapi Reform-Averse
Krisis Responsif: Ketika Sistem Lambat Menanggapi Tantangan
Swiss menghadapi tantangan utama: ketidakmampuan merespons cepat terhadap perubahan. Contoh konkret:
Tiga penghambat utama:
Meskipun lambat, solusi yang dihasilkan sering kali berkualitas tinggi. Tapi, dalam konteks perubahan iklim dan globalisasi yang cepat, kelambanan ini menjadi risiko serius.
Imigrasi: Antara Kontribusi Ekonomi dan Ketegangan Identitas
Partai Swiss People's Party (SVP) berhasil memanfaatkan isu ini untuk menggerakkan inisiatif populis yang berbasis identitas, meski tingkat xenophobia relatif rendah.
Solusi dan Refleksi: Menuju Pemerintahan yang Lebih Tangguh
Swiss menghadapi dilema klasik: bagaimana menjaga kedaulatan nasional sambil tetap mendapatkan manfaat dari integrasi internasional?
Laporan menyarankan:
Meskipun begitu, sistem Swiss tetap memiliki keunggulan pragmatisme: banyak kebijakan ekstrem dari hasil referendum dijinakkan dalam tahap implementasi, menghindari dampak buruk langsung.
Kesimpulan
Swiss adalah bukti hidup bahwa demokrasi langsung bisa stabil dan efektif, tetapi hanya jika ditopang oleh partisipasi luas, administrasi efisien, dan budaya kompromi. Namun, di tengah perubahan global yang makin cepat, sistem yang lambat merespons bisa menjadi hambatan.
Tantangan terbesar Swiss ke depan adalah bagaimana menjaga legitimasi partisipatif sambil meningkatkan efisiensi pengambilan keputusan dalam isu-isu mendesak seperti iklim, kesehatan, dan integrasi internasional.
Sumber asli: Armingeon, K., Sager, F., Mavrot, C., & Zohlnhöfer, R. (Eds.). (2024). Sustainable Governance Indicators: Switzerland Report. SGI – Bertelsmann Stiftung.
Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan
Industri konstruksi dikenal sebagai sektor yang padat modal, kompleks, dan penuh ketergantungan antarpihak. Sayangnya, karakteristik ini juga menjadikannya ladang subur bagi korupsi dan infiltrasi kejahatan terorganisir. Dalam studi komprehensif berjudul A Review of Corruption and Organized Crime in the Construction Industry oleh Lars Flysjö (2020), ditelusuri secara mendalam bagaimana kelompok kriminal terorganisir memanfaatkan sektor ini untuk memperluas pengaruh, kekuasaan, dan profit mereka, baik di negara maju seperti Swedia maupun dalam konteks mafia Italia, Jepang, Kanada, hingga India.
Studi ini merupakan telaah literatur terhadap 15 artikel ilmiah dengan pendekatan kualitatif, dan berfokus pada fungsi korupsi dalam penyusupan kelompok kriminal ke industri konstruksi.
Fungsi Utama Korupsi dalam Infiltrasi Organisasi Kriminal
1. Penegakan Kartel
Kartel dalam industri konstruksi merujuk pada kolusi antar perusahaan untuk mengatur harga, memenangkan tender, dan menyingkirkan kompetitor. Dalam praktiknya:
Penegakan kartel melalui korupsi terhadap pejabat publik memungkinkan mafia atau OCG (Organized Crime Groups) mendapatkan jaminan “keamanan pasar” dalam jangka panjang.
2. Organisasi Tenaga Kerja Gelap
Salah satu strategi utama kejahatan terorganisir adalah mengoperasikan jaringan tenaga kerja ilegal. Studi van Duyne (1993) menunjukkan jaringan kriminal Inggris mengorganisasi 200–300 pekerja di proyek-proyek Eropa Barat menggunakan perusahaan fiktif dan faktur palsu.
Untuk menjalankan skema ini, diperlukan korupsi terhadap pejabat imigrasi, pajak, dan pengawas proyek agar operasi berjalan tanpa hambatan.
3. Korupsi terhadap Serikat Pekerja
Di New York, mafia memperoleh kekuasaan besar melalui kendali atas serikat buruh seperti Teamsters Union, dan mengatur arus dana miliaran dolar dalam bentuk dana pensiun dan kontrak (Block & Griffin, 1997). Salah satu kasus paling mencolok adalah John Giura, yang mengatur aliran >USD 1 miliar ke broker tertentu dengan imbalan kickback.
Laporan investigasi tahun 1987 menunjukkan korupsi yang sangat luas di sektor konstruksi publik New York, tapi rekomendasinya tidak diterapkan karena resistensi dari pengembang dan serikat (Woodiwiss, 2015).
4. Korupsi terhadap Politisi dan Proses Perencanaan Kota
Korupsi politik adalah aspek kunci. Dalam banyak kasus, mafia:
Contoh paling gamblang adalah:
Faktor-Faktor Kritis yang Memungkinkan Infiltrasi
1. Regulasi (dan Deregulasi)
Menariknya, baik keberadaan regulasi maupun ketiadaannya sama-sama bisa dieksploitasi. Contoh:
2. Insentif Struktural dan Budaya
Industri konstruksi memiliki struktur unik:
Hal ini menciptakan ekosistem yang rentan terhadap kolusi. Ditambah lagi, dalam banyak budaya, praktik seperti hadiah atau balas jasa masih dianggap normal, memperkuat toleransi terhadap korupsi.
3. Ekonomi Transisi
Ekonomi yang sedang bertransisi (pasca-konflik, liberalisasi pasar) sangat rawan:
4. Kekuatan Diskresioner
Kewenangan mutlak tanpa akuntabilitas adalah pemicu utama korupsi. Studi menunjukkan bahwa pejabat publik seringkali menggunakan diskresi dalam:
Kasus besar seperti operasi “Clean Hands” di Italia membuktikan bahwa diskresi yang tidak terkontrol bisa menjadi sistem korupsi yang mapan.
Relevansi dan Potensi Ancaman di Swedia
Swedia, meski dianggap sebagai negara dengan tingkat korupsi rendah, mulai menunjukkan tanda-tanda bahaya:
Kesimpulan dan Rekomendasi
Korupsi adalah pintu masuk utama bagi kejahatan terorganisir ke dalam industri konstruksi. Mereka memanfaatkan celah dalam regulasi, budaya toleransi, diskresi pejabat, dan struktur proyek yang kompleks.
Studi ini menyarankan bahwa untuk mencegah hal ini:
Sebagaimana ditekankan Flysjö (2020), tantangan masa depan bukan hanya pada pemberantasan, tetapi mengenali pola awal infiltrasi sebelum kejahatan terorganisir berkembang menjadi bagian dari sistem.
Sumber asli:
Flysjö, L. (2020). A Review of Corruption and Organized Crime in the Construction Industry. Malmö University: Faculty of Health and Society, Department of Criminology.
Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan
Ambruknya bangunan bukan hanya bencana struktural, tapi tragedi kemanusiaan. Di Nigeria, terutama kota Jos, insiden ini merenggut nyawa, meluluhlantakkan properti, dan memperparah kemiskinan. Meskipun kota besar seperti Lagos dan Abuja mendapat sorotan media, kota-kota kecil seperti Jos kerap luput dari perhatian.
Artikel ilmiah oleh Ketkukah et al. (2023) menyoroti lima kasus keruntuhan bangunan di Jos antara 2016–2022, dengan pendekatan studi lapangan langsung dan data sekunder. Artikel ini tidak hanya mengulas sebab teknis, tetapi juga menekankan pentingnya peran profesional, regulasi yang ketat, dan edukasi masyarakat.
Latar Belakang: Mengapa Bangunan di Jos Banyak Ambruk?
Masalah keruntuhan bangunan bukanlah hal baru di Nigeria. Namun, tidak adanya pengawasan ketat, minimnya keterlibatan profesional bersertifikasi, dan penggunaan material substandar menjadi penyebab utama bencana yang terus terulang.
Berdasarkan laporan lapangan, tidak satu pun dari lima bangunan yang runtuh memiliki izin resmi dari Jos Metropolitan Development Board (JMDB). Bahkan dalam beberapa kasus, desain struktur tidak pernah melibatkan insinyur struktur, dan pembangunan dijalankan oleh tukang atau arsitek tanpa lisensi profesional.
Studi Kasus 1: Sekolah Dasar Abu Ni’ima Islamic School (2015)
Bangunan ini runtuh di Bukuru, Jos South pada 6 September 2015. Korban jiwa: 6 siswa meninggal, 12 luka-luka.
Penyebab teknis utama:
Menurut laporan NBRRI No. 36, tidak ada profesional yang terlibat dalam pembangunan sekolah ini. Pihak yang membangun adalah tukang yang tidak memahami prinsip rekayasa struktur. Runtuhnya struktur terjadi akibat kegagalan penulangan dan pengecoran yang tidak memenuhi standar.
Studi Kasus 2: Kantor Asosiasi Medis Nigeria (NMA) (2018)
Bangunan kantor dan aula ini runtuh pada 6 September 2018. Tidak ada korban jiwa, tetapi kerugian materi sangat besar.
Masalah utama:
Kasus ini menggarisbawahi bahaya ketika proyek besar dikelola oleh pekerja tanpa latar belakang struktural. Anggaran organisasi yang dihimpun bertahun-tahun musnah dalam sekejap.
Studi Kasus 3: Bangunan Tiga Lantai di Butcher Lane, Dilimi (2019)
Bangunan ini runtuh pada 12 Juli 2019 dan menyebabkan 14 korban jiwa, termasuk pemilik bangunan dan keluarganya.
Faktor penyebab utama:
Bangunan ini awalnya hanya satu lantai, lalu diubah menjadi tiga lantai tanpa memperhitungkan fondasi. Akibatnya, beban berlebih membuat struktur gagal total.
Studi Kasus 4: Gymnasium Universitas Jos (2022)
Pada 23 April 2022, angin kencang menerbangkan atap Gym Taekwondo di Universitas Jos.
Temuan utama:
Ini menunjukkan pentingnya pengujian desain terhadap kondisi cuaca lokal, serta pentingnya keterlibatan profesional sejak awal proyek.
Studi Kasus 5: Bangunan Toko di Bukuru Mini Stadium (2022)
Bangunan ini memiliki toko di lantai dasar dan kantor di atasnya. Runtuh tanpa korban jiwa, tapi kerugian materi besar.
Penyebab runtuh:
Ini adalah contoh nyata penyalahgunaan fungsi bangunan tanpa rekalkulasi desain.
Akar Masalah: Ketiadaan Profesional dan Lemahnya Regulasi
Lima studi kasus menunjukkan pola berulang:
Menurut COREN dan CORBON, kegagalan sistem pengawasan lapangan, serta rendahnya kesadaran hukum masyarakat, turut memperparah krisis ini.
Perbandingan dengan Kota Lain
Di kota besar seperti Lagos, penyebab keruntuhan mirip: penggunaan tukang non-berlisensi, desain buruk, serta lemahnya pengawasan (Oseghale et al., 2015). Namun, perbedaannya terletak pada intensitas pelaporan dan penindakan hukum. Jos masih jauh tertinggal dalam hal itu.
Rekomendasi Penulis (dan Tambahan Analisis)
Dari Paper:
Tambahan:
Penutup
Kasus runtuhnya bangunan di Jos seharusnya menjadi peringatan keras bagi seluruh stakeholder konstruksi di Nigeria dan negara berkembang lainnya. Keterlibatan profesional tidak bisa ditawar, dan pengawasan yang lemah hanya akan memperbesar tragedi. Dengan edukasi, regulasi, dan komitmen profesional, kita bisa mencegah korban berikutnya.
Sumber : Ketkukah, T. S., Sule, E., Mije, F. G., & Badamasi, A. (2023). Assessment of Building Collapses in Jos Town, Plateau State Nigeria (2016–2022). OIDA International Journal of Sustainable Development, 16(05).
Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan
Korupsi dan upaya perdamaian sering menjadi dua hal yang bertolak belakang, tetapi dalam praktiknya, keduanya kerap bersinggungan. Dalam konteks negara pasca-konflik seperti Sierra Leone, praktik korupsi justru menyusupi proyek-proyek yang bertujuan membangun perdamaian berkelanjutan. Studi yang dilakukan oleh Hajaratu Sama (2021) ini memfokuskan pada United Nations Peacebuilding Fund (UNPBF), yang sejak 2007 telah menggelontorkan lebih dari $57 juta untuk berbagai proyek rekonstruksi dan penguatan kapasitas institusional di negara tersebut.
Dengan menganalisis dua proyek utama UNPBF, penelitian ini membongkar bagaimana korupsi terjadi di tingkat formal dan informal, melibatkan aparat hukum, pejabat lokal, dan bahkan tokoh masyarakat seperti chiefs dan mammy queens. Penelitian ini tidak hanya menjadi cermin realitas Sierra Leone, tetapi juga membuka diskusi lebih luas tentang rapuhnya pendekatan liberal peacebuilding jika tidak dibarengi dengan sistem pengawasan yang kuat.
Latar Belakang dan Konteks Penelitian
Sierra Leone mengalami konflik sipil selama lebih dari satu dekade (1991–2002) yang mengakibatkan lebih dari 200.000 kematian dan kehancuran masif. Salah satu penyebab utamanya adalah korupsi sistemik, kolusi politik, dan ketimpangan distribusi sumber daya (Lucey & Kumalo, 2018). Pasca-konflik, negara ini menjadi salah satu penerima dana UNPBF terbesar di Afrika.
Proyek yang dianalisis dalam studi ini:
Kerangka Teoritis: Korupsi dalam Perspektif Pasca-Konflik
Korupsi dalam situasi pasca-konflik didefinisikan sebagai kombinasi antara:
Dalam konteks liberal peacebuilding, proyek seperti UNPBF yang menitikberatkan pada demokrasi, hak asasi manusia, dan pasar bebas sering kali gagal menangkal praktik korupsi karena:
Temuan Utama: Pola dan Mekanisme Korupsi dalam Proyek UNPBF
1. Korupsi dalam Rekrutmen dan Registrasi Penerima Manfaat
2. Bribery dan Perlindungan dari Hukum
3. Korupsi dalam Lembaga Yudisial
4. Nepotisme dan Favouritism
5. Duplikasi Penerima Bantuan
Normalisasi dan Denial: Hambatan Utama Penanganan Korupsi
Penelitian ini menunjukkan bahwa korupsi dalam proyek UNPBF bukan sekadar deviasi personal, melainkan telah terinstitusionalisasi dan dinormalisasi dalam masyarakat. Ironisnya, banyak pejabat lokal dan pelaksana proyek justru menyangkal keberadaan korupsi atau menganggapnya tidak signifikan.
Salah satu mammy queen bahkan mengatakan, "Saya tidak melihat adanya penyimpangan. Semua sesuai prosedur" (R13, 2021). Sikap denial ini memperlihatkan pentingnya intervensi yang tidak hanya struktural, tetapi juga kultural.
Studi Banding dan Konteks Global
Temuan dari Sierra Leone sejalan dengan kondisi di negara pasca-konflik lainnya:
Rekomendasi Strategis: Reformasi di Semua Tingkat
1. Penguatan Penegakan Hukum
2. Reformasi Tata Kelola Proyek
3. Perubahan Budaya Sosial
4. Reformasi Struktural dalam UNPBF
Kesimpulan
Korupsi dalam proyek perdamaian bukan hanya merusak proses pembangunan, tetapi juga memperpanjang potensi konflik dan ketidakstabilan sosial. Studi kasus UNPBF di Sierra Leone memperlihatkan bahwa alokasi dana yang besar tanpa sistem pengawasan yang kuat hanya akan menciptakan bentuk baru dari penindasan dan ketidakadilan.
Jika tidak ada transformasi mendasar dalam pendekatan liberal peacebuilding, proyek-proyek serupa akan terus melestarikan korupsi atas nama pembangunan. Oleh karena itu, solusi bukan hanya bersifat teknokratis, tetapi juga politis dan kultural: mendorong akuntabilitas, menumbuhkan partisipasi lokal yang kritis, dan memutus mata rantai patronase.
Sumber asli:
Sama, H. (2021). Post-Conflict Corruption and Peacebuilding: The Case of the UN Peacebuilding Fund in Sierra Leone. International Institute of Social Studies, The Hague.
Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan
Korupsi adalah momok serius dalam administrasi publik, bukan hanya karena dampaknya terhadap ekonomi, tapi juga karena menurunkan legitimasi pemerintah di mata publik. Studi terbaru oleh Nguyen Thi Thu Hoa dan Nguyen Nghi Thanh (2023) dari Vietnam menyajikan pendekatan kuantitatif untuk mengevaluasi faktor-faktor yang memengaruhi kepercayaan publik terhadap efektivitas pengendalian korupsi di administrasi publik negara tersebut.
Penelitian ini menggunakan model regresi linier multivariat terhadap 200 responden di Hanoi untuk menguji pengaruh lima dimensi utama: institusional, budaya, politik, ekonomi, dan individu. Temuan studi ini memperkuat pentingnya membangun kerangka kerja tata kelola yang kuat, khususnya dalam konteks negara berkembang yang menghadapi tantangan sistemik dalam pemberantasan korupsi.
Latar Belakang: Kenapa Vietnam?
Meskipun Vietnam mencatat pertumbuhan ekonomi pesat, korupsi tetap menjadi penghambat utama. Fenomena ini:
Pemerintah Vietnam telah mengambil berbagai langkah seperti UU Antikorupsi (2005) dan Strategi Nasional Antikorupsi (2020), namun hasilnya belum maksimal. Oleh karena itu, studi berbasis persepsi publik menjadi penting untuk merancang strategi berbasis bukti.
Metodologi: Analisis Statistik untuk Memahami Persepsi
Studi ini menggunakan:
Semua variabel—institusional (β=0.114), budaya (β=0.122), politik (β=0.229), ekonomi (β=0.177), dan individu (β=0.216)—berpengaruh positif dan signifikan secara statistik terhadap kepercayaan publik terhadap pengendalian korupsi.
Hasil dan Analisis Faktor
1. Faktor Institusional
Institusi yang efektif berperan sebagai benteng utama pengendalian korupsi. Penelitian ini menunjukkan bahwa:
Implikasi: Pemerintah perlu membangun kerangka hukum yang lebih transparan dan memperkuat fungsi pengawasan lintas sektor.
2. Faktor Budaya
Nilai-nilai sosial, norma etika, dan tingkat toleransi terhadap korupsi sangat berpengaruh. Di Vietnam:
Solusi: Edukasi publik, kampanye etika, dan promosi nilai-nilai integritas perlu digalakkan dari level pendidikan dasar.
3. Faktor Politik
Faktor ini memiliki pengaruh paling signifikan (β=0.229) terhadap persepsi publik. Stabilitas politik, integritas pemimpin, dan komitmen pemerintah terhadap antikorupsi terbukti sangat memengaruhi kepercayaan.
Contoh konkret: Konsistensi kampanye antikorupsi oleh Partai Komunis Vietnam meningkatkan persepsi, tetapi disertai kekhawatiran akan efek “pembungkaman” terhadap oposisi.
Rekomendasi: Upaya antikorupsi harus dibebaskan dari politisasi, dengan memastikan independensi lembaga pengawas.
4. Faktor Ekonomi
Ketimpangan ekonomi dan lemahnya sistem manajemen keuangan negara dapat menciptakan insentif tinggi untuk korupsi. Studi ini mencatat:
Kebijakan strategis: Penguatan sistem pengadaan barang/jasa, pelaporan belanja negara berbasis digital, dan penguatan peran auditor negara.
5. Faktor Individu
Nilai-nilai pribadi seperti integritas, tingkat pendidikan, dan kesadaran moral berperan penting. Studi ini menunjukkan:
Kritik penting: Regulasi tidak cukup tanpa budaya antikorupsi yang ditanamkan dalam individu sejak dini melalui pendidikan formal dan informal.
Kritik & Batasan Studi
Namun demikian, studi ini berhasil memberikan gambaran empiris awal yang relevan, mengisi celah dalam literatur yang selama ini terlalu kualitatif.
Rekomendasi Strategis
Berdasarkan hasil penelitian, berikut langkah-langkah konkret yang bisa diterapkan untuk meningkatkan kepercayaan publik:
Kesimpulan
Kepercayaan publik terhadap pengendalian korupsi adalah fondasi utama bagi tata kelola yang sehat. Studi ini menunjukkan bahwa keberhasilan pengendalian korupsi tidak cukup hanya dengan hukum, tetapi juga memerlukan pendekatan sistemik yang mencakup aspek institusi, budaya, politik, ekonomi, dan individu.
Dengan memperkuat seluruh pilar tersebut secara simultan, negara-negara seperti Vietnam dapat memperkuat integritas sistem administrasi publik, mengurangi ketimpangan, dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Sumber asli:
Hoa, N. T. T., & Thanh, N. N. (2023). Factors Affecting Corruption Control in Public Administration: Evidence from Vietnam. Journal of Law and Sustainable Development, 11(12), 1–32.
Korupsi Konstruksi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 18 Juni 2025
Pendahuluan
Industri konstruksi dikenal sebagai sektor yang padat modal, kompleks, dan penuh ketergantungan antarpihak. Sayangnya, karakteristik ini juga menjadikannya ladang subur bagi korupsi dan infiltrasi kejahatan terorganisir. Dalam studi komprehensif berjudul A Review of Corruption and Organized Crime in the Construction Industry oleh Lars Flysjö (2020), ditelusuri secara mendalam bagaimana kelompok kriminal terorganisir memanfaatkan sektor ini untuk memperluas pengaruh, kekuasaan, dan profit mereka, baik di negara maju seperti Swedia maupun dalam konteks mafia Italia, Jepang, Kanada, hingga India.
Studi ini merupakan telaah literatur terhadap 15 artikel ilmiah dengan pendekatan kualitatif, dan berfokus pada fungsi korupsi dalam penyusupan kelompok kriminal ke industri konstruksi.
Fungsi Utama Korupsi dalam Infiltrasi Organisasi Kriminal
1. Penegakan Kartel
Kartel dalam industri konstruksi merujuk pada kolusi antar perusahaan untuk mengatur harga, memenangkan tender, dan menyingkirkan kompetitor. Dalam praktiknya:
Penegakan kartel melalui korupsi terhadap pejabat publik memungkinkan mafia atau OCG (Organized Crime Groups) mendapatkan jaminan “keamanan pasar” dalam jangka panjang.
2. Organisasi Tenaga Kerja Gelap
Salah satu strategi utama kejahatan terorganisir adalah mengoperasikan jaringan tenaga kerja ilegal. Studi van Duyne (1993) menunjukkan jaringan kriminal Inggris mengorganisasi 200–300 pekerja di proyek-proyek Eropa Barat menggunakan perusahaan fiktif dan faktur palsu.
Untuk menjalankan skema ini, diperlukan korupsi terhadap pejabat imigrasi, pajak, dan pengawas proyek agar operasi berjalan tanpa hambatan.
3. Korupsi terhadap Serikat Pekerja
Di New York, mafia memperoleh kekuasaan besar melalui kendali atas serikat buruh seperti Teamsters Union, dan mengatur arus dana miliaran dolar dalam bentuk dana pensiun dan kontrak (Block & Griffin, 1997). Salah satu kasus paling mencolok adalah John Giura, yang mengatur aliran >USD 1 miliar ke broker tertentu dengan imbalan kickback.
Laporan investigasi tahun 1987 menunjukkan korupsi yang sangat luas di sektor konstruksi publik New York, tapi rekomendasinya tidak diterapkan karena resistensi dari pengembang dan serikat (Woodiwiss, 2015).
4. Korupsi terhadap Politisi dan Proses Perencanaan Kota
Korupsi politik adalah aspek kunci. Dalam banyak kasus, mafia:
Contoh paling gamblang adalah:
Faktor-Faktor Kritis yang Memungkinkan Infiltrasi
1. Regulasi (dan Deregulasi)
Menariknya, baik keberadaan regulasi maupun ketiadaannya sama-sama bisa dieksploitasi. Contoh:
2. Insentif Struktural dan Budaya
Industri konstruksi memiliki struktur unik:
Hal ini menciptakan ekosistem yang rentan terhadap kolusi. Ditambah lagi, dalam banyak budaya, praktik seperti hadiah atau balas jasa masih dianggap normal, memperkuat toleransi terhadap korupsi.
3. Ekonomi Transisi
Ekonomi yang sedang bertransisi (pasca-konflik, liberalisasi pasar) sangat rawan:
4. Kekuatan Diskresioner
Kewenangan mutlak tanpa akuntabilitas adalah pemicu utama korupsi. Studi menunjukkan bahwa pejabat publik seringkali menggunakan diskresi dalam:
Kasus besar seperti operasi “Clean Hands” di Italia membuktikan bahwa diskresi yang tidak terkontrol bisa menjadi sistem korupsi yang mapan.
Relevansi dan Potensi Ancaman di Swedia
Swedia, meski dianggap sebagai negara dengan tingkat korupsi rendah, mulai menunjukkan tanda-tanda bahaya:
Kesimpulan dan Rekomendasi
Korupsi adalah pintu masuk utama bagi kejahatan terorganisir ke dalam industri konstruksi. Mereka memanfaatkan celah dalam regulasi, budaya toleransi, diskresi pejabat, dan struktur proyek yang kompleks.
Studi ini menyarankan bahwa untuk mencegah hal ini:
Sebagaimana ditekankan Flysjö (2020), tantangan masa depan bukan hanya pada pemberantasan, tetapi mengenali pola awal infiltrasi sebelum kejahatan terorganisir berkembang menjadi bagian dari sistem.
Sumber asli:
Flysjö, L. (2020). A Review of Corruption and Organized Crime in the Construction Industry. Malmö University: Faculty of Health and Society, Department of Criminology.