Manajemen Bencana
Dipublikasikan oleh Raihan pada 27 Oktober 2025
Resensi Riset: Tinjauan Struktural Model Manajemen Bencana dan Kontribusinya
Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Alrehaili et al. ini bertujuan untuk melakukan pemeriksaan kritis terhadap model-model manajemen bencana melalui analisis tematik guna menentukan kontribusi mereka, serta mengidentifikasi kendala atau tantangan signifikan yang dapat membatasi kemampuan model-model tersebut dalam melaksanakan tindakan pengurangan risiko bencana (DRR) yang tepat. Dengan mengadopsi pendekatan kualitatif, studi ini menginvestigasi literatur yang ada untuk mengevaluasi peran model dalam manajemen bencana. Kesimpulan utama yang muncul adalah bahwa model-model ini sangat diperlukan karena mereka menyederhanakan dan meningkatkan manajemen bencana , bertindak sebagai alat pendukung pengambilan keputusan yang berharga bagi perencana, manajer, dan praktisi.
Model dalam konteks ini didefinisikan sebagai "sistem fungsi dan kondisi yang menghasilkan hasil formal". Penelitian ini berargumen bahwa, meskipun ada banyak model yang tersedia, bencana masih sering dikelola secara tidak efisien, menunjukkan adanya kebutuhan untuk terus memperbaiki model agar manajemen bencana tetap menjadi disiplin profesional dan ilmiah. Studi ini menggarisbawahi pentingnya model untuk menyederhanakan situasi yang rumit (terutama dengan batasan waktu yang ketat), membantu pemahaman melalui perbandingan kondisi nyata dengan model teoretis, menyediakan alat yang efektif untuk mengukur aktivitas bencana, dan mendukung pembentukan pemahaman bersama di antara semua pihak yang berkepentingan.
Jalur Logis Perjalanan Temuan
Metodologi penelitian ini melibatkan kajian literatur diikuti oleh analisis konten, dengan menggunakan basis data ilmiah utama seperti Google Scholar dan Scopus. Proses pengumpulan dan klasifikasi model dilakukan melalui metodologi tiga tahap: pengumpulan model, analisis dan klasifikasi, dan diskusi model.
Temuan utama dari tinjauan ini mengarah pada klasifikasi model manajemen bencana ke dalam lima kategori utama, yang memperluas kategorisasi empat jenis model sebelumnya (logis, kausal, terintegrasi, dan tidak terkategorikan) dengan menambahkan kelompok kelima, yaitu model kombinatorial. Model kombinatorial ini diusulkan karena beberapa model tidak cocok untuk dimasukkan ke dalam kelompok yang sudah ada, dan model baru ini terdiri dari campuran model logis, kausal, dan terintegrasi.
Temuan penting lainnya adalah bahwa mayoritas model didasarkan pada empat fase utama manajemen bencana: mitigasi, kesiapsiagaan, respons, dan pemulihan , meskipun setiap model memiliki keunggulan yang membedakannya. Meskipun demikian, model-model tersebut tidak secara umum diterapkan dan tidak dapat digunakan dalam semua jenis bencana. Model Tradisional (1998) adalah yang paling disukai dan paling umum di antara para praktisi, bersama dengan model expand and contract (1998), Crunch cause (2000), dan Kimberly (2003).
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi utama studi ini bagi bidang manajemen bencana adalah penyediaan kerangka klasifikasi model yang diperbarui (lima kelompok) dan konfirmasi empiris mengenai nilai model sebagai alat pendukung keputusan yang penting. Secara deskriptif, temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara penggunaan model yang tepat dan peningkatan tanggapan pemerintah dan komunitas terhadap bahaya dan risiko bencana—menunjukkan potensi kuat bagi objek penelitian baru untuk mengukur dampak kombinasi model. Selain itu, studi ini membenarkan bahwa model berfungsi untuk menyederhanakan dan mengklarifikasi manajemen bencana dan sangat berharga dalam menghadapi bencana besar seperti badai, gempa bumi, dan serangan teroris.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun model bermanfaat, penelitian ini menyoroti keterbatasan dan kekhawatiran yang terkait dengannya. Kekhawatiran tersebut meliputi ketidakpastian bencana di masa depan, sifat preskriptif model (langkah demi langkah) yang mengabaikan sifat bencana yang kompleks dan seringkali kacau, dan dampaknya terhadap bisnis. Kritik lain yang ditawarkan oleh Alexander (1997, 2002) adalah bahwa model tidak mengalami kemajuan signifikan karena korban tewas akibat bencana belum cukup berkurang, dan ada masalah seperti kurangnya transfer teknologi skala besar dan bantuan bencana yang tidak memadai.
Keterbatasan kunci yang diidentifikasi meliputi:
Pertanyaan terbuka yang diajukan oleh temuan ini adalah: Bagaimana mekanisme kombinasi model yang efektif dapat distandarisasi untuk bencana yang sangat kompleks, sehingga memaksimalkan kekuatan satu model (misalnya, Logis-Tradisional) untuk mengimbangi kelemahan model lain (misalnya, Kimberly yang memerlukan pendanaan besar)?. Studi ini secara eksplisit menemukan bahwa model tidak dapat diaplikasikan secara umum untuk semua jenis bencana karena sifat bencana yang unik dan tidak terduga.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan untuk Komunitas Akademik
Berdasarkan temuan studi ini mengenai keterbatasan model, sifat preskriptif, dan kurangnya pemahaman tentang implementasi, lima rekomendasi berikut diusulkan untuk riset ke depan, yang berfokus pada jalur logis dari temuan saat ini dan potensi jangka panjang:
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi seperti Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) (sebagai koordinator global dan penerima hibah), Bank Dunia (sebagai sumber pendanaan dan data pembangunan), dan Pusat Kesiapsiagaan Bencana Asia (ADPC) (sebagai pengembang Model Tradisional dan Crunch Cause yang populer) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, terutama dalam konteks global yang kompleks.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Raihan pada 27 Oktober 2025
Resensi Riset Mendalam: Menuju Ketahanan Bencana Berkelanjutan di Era Compound Risks ASEAN (Instruksi 6–12)
Kawasan Asia Tenggara telah lama diakui sebagai salah satu wilayah yang paling rawan bencana di dunia. Publikasi ASEAN Risk Monitor and Disaster Management Review (ARMOR) Edisi ke-3 ini secara komprehensif membedah tantangan multidimensi ketika krisis kesehatan publik global —khususnya Pandemi COVID-19— berbenturan dengan siklus bencana alam yang terjadi secara rutin di kawasan ini. Tujuan utama riset ini adalah untuk mengukur secara kuantitatif dampak COVID-19 terhadap lanskap risiko bencana ASEAN (disaster riskscape) dan untuk mengeksplorasi secara kualitatif bagaimana organisasi penanggulangan bencana nasional (NDMO) dan AHA Centre beradaptasi. Studi ini tidak hanya penting untuk para pembuat kebijakan, tetapi juga menjadi fondasi krusial bagi komunitas akademik dan penerima hibah dalam merumuskan agenda riset ke depan.
Parafrase Isi Paper dan Jalur Logis Temuan
Jalur logis penelitian dimulai dengan penegasan bahwa periode pandemi (antara 11 Maret 2020 dan 30 November 2021) merupakan masa yang sangat rentan, di mana 48% dari total 3.503 kejadian bencana yang tercatat oleh ADINet sejak 2012 terjadi selama pandemi COVID-19. Peristiwa ini menggarisbawahi realitas risiko berjenjang (cascading risk) yang harus dihadapi kawasan ASEAN.
Untuk mengukur dampak ini, para peneliti memperkenalkan ASEAN Risk Index for Situational Knowledge (ASEAN RISK). ASEAN RISK menggunakan pendekatan model-of-models, yang menyinergikan indeks risiko terkemuka seperti INFORM (Index for Risk Management) dan ASEAN RVA (Risk and Vulnerability Assessment). Model komposit ini mengukur risiko berdasarkan tiga komponen utama: Multi-Hazard Exposure (Paparan Berbagai Bahaya), Vulnerability (Kerentanan), dan Coping Capacity (Kapasitas Penanggulangan). Dengan menggunakan data resolusi spasial tertinggi (30m x 30m) untuk mengukur paparan bahaya alam seperti gempa bumi, siklon tropis, dan banjir, model ini memberikan penilaian yang seimbang mengenai magnitud dan kepentingan paparan di setiap Negara Anggota ASEAN (AMS).
Secara konsisten dengan edisi ARMOR sebelumnya, temuan kuantitatif menunjukkan bahwa Myanmar, Filipina, dan Indonesia tetap menjadi tiga AMS yang paling berisiko terhadap bencana. Namun, analisis yang lebih kritis mengungkapkan bahwa risiko bencana di seluruh kawasan telah meningkat sejak ARMOR edisi pertama pada tahun 2019. Pendorong utama di balik peningkatan risiko ini adalah peningkatan kerentanan dan penurunan kapasitas penanggulangan.
Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara bencana alam dan pandemi, di mana Paparan COVID-19 (berdasarkan total kasus, kematian, dan populasi yang tidak divaksinasi) digabungkan dengan risiko bahaya alam untuk menghasilkan nilai akhir yang menunjukkan beban aditif (additive burden). Dampak gabungan ini menghasilkan temuan yang sangat penting: Pandemi COVID-19 memperburuk risiko bencana di kawasan ASEAN rata-rata 33% —menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru tentang compound risk dan sistem kesehatan publik yang terintegrasi dengan manajemen bencana. Secara spesifik, negara seperti Malaysia, Filipina, dan Indonesia mencatat persentase perubahan risiko tertinggi setelah dimasukkannya paparan COVID-19.
Di sisi respons dan operasi, survei kualitatif terhadap NDMO dan AHA Centre mengungkapkan tantangan operasional yang signifikan. Tantangan utama yang dihadapi adalah Logistik (akibat pembatasan pergerakan domestik dan internasional yang melambatkan pengiriman bantuan) dan Sumber Daya Manusia (staf NDMO harus mengemban peran ganda dalam respons kesehatan dan bencana, menyebabkan ketegangan pada sumber daya). Namun, pandemi juga mendorong praktik baik seperti digitalisasi dan virtualisasi operasional (koordinasi daring), serta desentralisasi respons ke otoritas lokal (localisation), terutama di mana ketersediaan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) dinilai paling tidak menantang oleh responden.
Kontribusi Utama, Keterbatasan, dan Arah Riset ke Depan
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Riset ini memberikan kontribusi mendasar terhadap ilmu manajemen bencana, terutama dalam konteks risiko berjenjang:
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun berkontribusi signifikan, studi ini memiliki keterbatasan yang membuka peluang riset lanjutan. Keterbatasan utama terletak pada sifat paparan aditif COVID-19 yang diukur. Pemodelan risiko hanya mengagregasikan paparan kesehatan ke dalam model bahaya alam , yang mungkin tidak sepenuhnya menangkap interaksi non-linear atau efek bergulir (cascading effects) yang kompleks antara bencana biologi dan bencana alam.
Secara regional, penelitian ini menyoroti kesenjangan besar dalam Resiliensi: Singapura dan Brunei Darussalam memiliki skor Kapasitas Penanggulangan (Coping Capacity) yang jauh lebih tinggi daripada skor Kerentanan dan Paparan Bahaya mereka. Kesenjangan ini menunjukkan adanya 'kelebihan kapasitas ketahanan' (resilience surplus) di beberapa AMS, namun mekanismenya belum sepenuhnya dipahami atau dimanfaatkan untuk dibagi kepada AMS lain, yang merupakan pertanyaan terbuka krusial.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Berikut adalah lima arah riset eksplisit, terstruktur, dan berbasis temuan yang ditujukan untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah:
Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif
Studi ARMOR edisi ke-3 ini telah secara tegas memposisikan masa depan manajemen bencana ASEAN sebagai tantangan compound risks. Peningkatan risiko rata-rata 33% yang terkuantifikasi menunjukkan bahwa strategi Disaster Risk Reduction (DRR) tidak boleh lagi beroperasi dalam silo. Perspektif jangka panjang menunjukkan bahwa krisis seperti COVID-19 bukanlah yang terakhir, menuntut pendekatan yang lebih terlembagakan dan efektif dalam mengatasi risiko.
Untuk mewujudkan Visi ASEAN 2025 menjadi pemimpin global dalam manajemen bencana, penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi antar-institusi strategis. Ini harus melibatkan institusi ASEAN University Network (AUN) untuk riset akademik mendalam, lembaga pendanaan regional dan internasional (seperti Uni Eropa dan ADB) untuk hibah riset berorientasi solusi, dan satuan tugas operasional regional (seperti ASEAN-ERAT) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, dan terutama melibatkan NDMO di setiap AMS untuk menjamin relevansi data dan kebijakan.
Teknik Transportasi
Dipublikasikan oleh Raihan pada 27 Oktober 2025
Analisis Mendalam: Mengukur Ketahanan Jaringan Jalan Terhadap Sistem Transportasi Tangguh Banjir
Latar Belakang dan Tujuan Penelitian
Di tengah peningkatan tajam dalam tingkat keparahan dan frekuensi bencana alam yang dipicu oleh perubahan iklim, membangun ketahanan infrastruktur kritis—khususnya sistem transportasi—telah menjadi isu kebijakan global yang mendesak. Banjir, sebagai salah satu bencana alam yang paling sering terjadi, memiliki dampak langsung dan tidak langsung yang signifikan terhadap kesejahteraan manusia, fungsi ekosistem, dan pertumbuhan ekonomi akibat terhambatnya perdagangan logistik dan operasional rantai pasokan bantuan kemanusiaan. Meskipun penting, belum ada cara langsung yang terstandardisasi untuk mengukur ketangguhan (robustness) transportasi, yang didefinisikan sebagai dimensi proaktif dari kemampuan sistem untuk menahan bencana alam.
Penelitian ini bertujuan untuk menjembatani kesenjangan tersebut dengan secara kuantitatif mengukur ketangguhan infrastruktur transportasi terhadap bencana banjir. Tujuan ini dicapai melalui implementasi empiris kerangka kerja analitis empat tahap, berfokus pada sistem jaringan jalan dan risiko banjir di Chiang Mai, Thailand.
Jalur Logis Perjalanan Temuan
Riset ini mengikuti kerangka kerja empat tahap yang dimodifikasi dari Mens et al., memetakan respons sistem terhadap gangguan banjir:
Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara tingkat air banjir dan gangguan jaringan transportasi yang terukur—menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru dalam pemodelan dampak.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi utama penelitian ini adalah dalam menyediakan metodologi kuantitatif baru untuk mengevaluasi ketahanan transportasi selama banjir. Secara khusus, penggunaan model sentralitas Edge- dan Node-Betweenness diaplikasikan untuk:
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun memberikan kontribusi yang signifikan, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan dan meninggalkan pertanyaan terbuka:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Rekomendasi ini diformulasikan untuk mendorong penelitian akademik yang lebih mendalam, divalidasi, dan komprehensif, memanfaatkan dasar-dasar yang telah ditetapkan oleh studi ini.
Justifikasi Ilmiah: Penelitian ini terfokus pada banjir lokal di Chiang Mai. Namun, banjir bandang diketahui sebagai jenis banjir yang paling parah. Penelitian lanjutan harus menerapkan kerangka kerja empat tahap ke banjir bandang di wilayah dengan topografi pegunungan curam untuk melihat apakah respons sistem (Tahap 2) menunjukkan kurva yang lebih curam (tingkat kerusakan yang lebih tinggi dalam rentang gangguan yang lebih sempit). Metode/Variabel Baru: Menggunakan data curah hujan dan limpasan hulu yang lebih terperinci dan mengintegrasikan model hidrodinamik dengan Sentralitas Betweenness pada jaringan transportasi selain jalan (misalnya, jaringan kereta api atau jalur air).
Justifikasi Ilmiah: Studi saat ini berfokus hanya pada dimensi teknis (ketangguhan). Untuk mencapai pemahaman yang lebih holistik tentang ketahanan transportasi, dimensi organisasi—seperti leadership, readiness, dan cost-effectiveness—juga harus dipertimbangkan. Metode/Variabel Baru: Membuat Indeks Ketangguhan Gabungan (CRI). Ini akan menggabungkan hasil Sentralitas Betweenness (variabel teknis) dengan data survei atau wawancara yang mengukur variabel organisasi, seperti waktu pemulihan rata-rata dan rasio biaya-efektivitas tindakan mitigasi.
Justifikasi Ilmiah: Ambang batas pemulihan 6,33% area yang terdampak di Chiang Mai diusulkan sebagai titik kritis. Diperlukan validasi ilmiah yang ketat untuk memastikan bahwa kriteria ini berlaku secara universal. Metode/Variabel Baru: Melakukan analisis sensitivitas di mana ambang batas pemulihan diuji pada berbagai tingkat gangguan di sistem yang berbeda (misalnya, kota dengan kepadatan populasi atau nilai ekonomi yang jauh berbeda) untuk melihat bagaimana titik tanpa pemulihan bergeser. Variabel baru yang fokus pada kehilangan nilai tambah dalam bisnis (kerugian tidak langsung) dapat digunakan untuk mengkuantifikasi ambang batas ekonomi secara lebih akurat.
Justifikasi Ilmiah: Model Sentralitas Betweenness telah berhasil digunakan untuk mengukur bobot setiap bagian jalan dalam mendukung restorasi pasca-bencana. Penggunaan Sentralitas Betweenness untuk mengukur jumlah mobil terdampak juga dapat memecahkan masalah penugasan lalu lintas pasca-banjir. Metode/Variabel Baru: Mengembangkan model optimasi alokasi sumber daya restorasi dinamis yang menggunakan Sentralitas Betweenness yang dihitung secara real-time atau near-real-time saat banjir meningkat (Level 1 hingga 7) untuk mengidentifikasi tautan paling kritis yang harus dibuka terlebih dahulu guna meminimalkan PCU terdampak.
Justifikasi Ilmiah: Penelitian ini menggarisbawahi bagaimana jaringan jalan yang rusak menghambat logistik kemanusiaan. Edge-Betweenness mengukur kepentingan relatif ruas jalan. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk secara eksplisit menghubungkan data Sentralitas Betweenness dengan kebutuhan spesifik logistik. Metode/Variabel Baru: Menggunakan Sentralitas Edge-Betweenness untuk mengidentifikasi "jalan kehidupan" yang paling penting (jalur terpendek ke rumah sakit seperti McCormick Hospital) dan menentukan peningkatan waktu tempuh akibat kerusakan. Hasilnya dapat berfungsi sebagai indikator yang dapat dikuantifikasi untuk pengurangan penderitaan manusia dan potensi kematian.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi seperti Pusat Keunggulan dalam Teknologi Infrastruktur dan Teknik Transportasi (ExCITE), Departemen Pekerjaan Umum dan Tata Ruang Kota Thailand, dan Universitas Internasional untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil di berbagai konteks global.
Budaya Kerja
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 27 Oktober 2025
Kecemasan Tak Terucap di Balik Kerucut Oranye
Saya yakin kamu pernah merasakannya. Momen ketika kamu terjebak di tengah proyek konstruksi jalan raya yang masif. Jalur menyempit, rambu-rambu membingungkan, dan debu beterbangan di udara. Ada semacam stres tingkat rendah yang merayap, campuran antara frustrasi karena macet dan sedikit kecemasan saat mobilmu hanya berjarak beberapa sentimeter dari pembatas beton. Kita melihat para pekerja dengan rompi hijau terang itu, bergerak di antara alat berat dan lalu lintas yang menderu, dan pikiran pertama kita sering kali egois: “Aduh, ini merepotkan sekali buat saya.”
Tapi, coba kita jeda sejenak dan putar pertanyaannya. Bagaimana rasanya menjadi mereka? Bagaimana rasanya menghabiskan delapan hingga sepuluh jam sehari di dalam kekacauan yang terkendali itu? Apakah aman? Dan yang lebih penting, apakah mereka merasa aman?
Pertanyaan inilah yang membawa saya pada sebuah makalah penelitian yang luar biasa oleh Lina Shbeeb. Ini bukan dokumen akademis yang kering dan membosankan. Sebaliknya, ini adalah sebuah jendela langka yang membuka pandangan kita ke dunia tersembunyi para pekerja konstruksi. Dengan mengambil studi kasus proyek raksasa Bus Rapid Transit (BRT) di Amman, Yordania—sebuah proyek yang memakan waktu satu dekade—penelitian ini melakukan sesuatu yang radikal: ia bertanya langsung kepada para pekerjanya. Dan percayalah, temuan-temuannya akan mengubah caramu memandang barisan kerucut oranye itu selamanya. Temuan ini mengungkap sesuatu yang fundamental tentang cara manusia memandang risiko dan realitas di tempat kerja.
Ini Bukan Sekadar Aturan, Ini soal “Atmosfer”—Membongkar Iklim Keselamatan di Lapangan
Inti dari penelitian ini adalah sebuah konsep yang disebut “Iklim Keselamatan” atau Safety Climate. Sebelum kamu mengernyitkan dahi, izinkan saya menjelaskannya dengan sebuah analogi.
Bayangkan ada dua dapur restoran. Dapur A bersih karena besok akan ada inspeksi dari dinas kesehatan. Dapur B bersih kinclong setiap saat karena sang koki terobsesi dengan kualitas, kebersihan, dan rasa hormat terhadap bahan makanan serta stafnya. Dapur A beroperasi berdasarkan kepatuhan. Dapur B beroperasi berdasarkan budaya. Nah, “iklim keselamatan” adalah atmosfer atau “vibe” di Dapur B itu—persepsi bersama yang tak terucap di antara para karyawan tentang apa yang benar-benar dihargai oleh manajemen.
Atmosfer inilah yang coba diukur oleh studi ini. Penelitian ini tidak sekadar menghitung jumlah kecelakaan setelah terjadi—sebuah pendekatan yang disebut “reaktif”. Sebaliknya, ia mencoba mengukur indikator-indikator utama (leading indicators)—yaitu persepsi dan perasaan para pekerja—yang dapat memprediksi dan mencegah kecelakaan tersebut. Ini adalah lompatan dari sekadar metrik sederhana ke jantung psikologi organisasi.
Untuk mengukur iklim ini, peneliti membagi responden menjadi dua kelompok cerdas:
“Orang Dalam” (Kelompok Berbasis Proyek atau PB): 75 orang yang bekerja langsung di proyek BRT Amman. Mereka diwawancarai tatap muka, di tengah debu dan bisingnya proyek.
“Orang Luar” (Kelompok Berbasis Umum atau GB): 43 profesional dari industri konstruksi Yordania yang lebih luas. Mereka mengisi formulir online berdasarkan pengalaman umum mereka di berbagai proyek.
Pengaturan ini—membandingkan pandangan orang dalam dengan pandangan orang luar—menjadi kunci yang membuka temuan paling mengejutkan dari penelitian ini.
Kejutan Terbesar: Mengapa Orang Dalam dan Orang Luar Melihat Keselamatan Secara Berbeda
Inilah temuan utamanya, yang saya sampaikan di awal agar dampaknya maksimal: orang-orang yang berada di garis depan proyek BRT raksasa (Orang Dalam) secara konsisten merasa bahwa langkah-langkah keselamatan kurang diterapkan dan dipatuhi dibandingkan dengan apa yang diyakini oleh para profesional industri pada umumnya (Orang Luar).
Ini bukan sekadar perbedaan pendapat. Ini adalah bukti adanya potensi “distorsi realitas” di tingkat industri. Persepsi kelompok GB (Orang Luar) mewakili kondisi “ideal” atau “sesuai buku teks”—apa yang diyakini semua orang sedang terjadi. Sementara itu, persepsi kelompok PB (Orang Dalam) adalah cerminan realitas di lapangan yang berantakan, penuh kompromi, dan berada di bawah tekanan proyek yang kompleks. Jurang di antara keduanya adalah tempat di mana bahaya bersembunyi.
Mari kita telusuri logikanya. Data menunjukkan adanya kesenjangan yang konsisten: responden GB melaporkan tingkat penerapan keselamatan yang lebih tinggi di semua lini dibandingkan responden PB. Misalnya, untuk tugas di dalam lokasi proyek, GB melaporkan tingkat kepatuhan 75%, sementara PB hanya 60.7%. Mengapa ini bisa terjadi? Kelompok GB menjawab berdasarkan pengetahuan umum dan pengalaman mereka di berbagai proyek yang mungkin lebih kecil atau tidak sekompleks BRT. Pandangan mereka adalah rata-rata dari standar industri. Di sisi lain, kelompok PB menjalani realitas sehari-hari dari satu proyek spesifik yang masif dan berlangsung selama satu dekade. Tekanan, tenggat waktu, dan kerumitan unik dari proyek ini kemungkinan besar mengikis praktik keselamatan standar.
Artinya, kesenjangan ini bukan hanya tentang satu proyek. Ini menyiratkan bahwa proyek-proyek skala besar mungkin secara sistematis memiliki kinerja keselamatan yang lebih rendah dibandingkan dengan persepsi industri itu sendiri. “Pengetahuan umum” industri tentang standar keselamatannya sendiri mungkin terlalu optimis dan berbahaya.
Kisah Dua Realitas: Data Tak Pernah Bohong
Mari kita pecah perbedaan ini dengan beberapa poin data yang paling mencolok, agar kamu bisa melihat betapa lebarnya jurang pemisah itu.
🚀 Bongkar Muat—Kesenjangan Terbesar: Kelompok GB (Orang Luar) melaporkan tingkat kepatuhan protokol keselamatan bongkar muat yang mengesankan, yaitu 80.9%. Kelompok PB (Orang Dalam)? Angkanya anjlok 20.7 poin persentase lebih rendah. Ini adalah perbedaan paling signifikan yang ditemukan dalam studi ini. Bayangkan, aktivitas yang sangat berisiko ini ternyata menjadi titik buta terbesar.
🤔 Manajemen Harian yang Tergelincir: Orang Dalam merasa bahwa “pemeliharaan dan manajemen” protokol keselamatan adalah salah satu area terlemah, dengan hanya 51.4% yang mengonfirmasi kepatuhan. Namun, Orang Luar memandang area ini jauh lebih positif, di angka 64.1%. Ini menunjukkan kegagalan bukan pada aturannya, tetapi pada penegakan dan pemeliharaan yang konsisten dari hari ke hari.
🧠 Tahu Aturan vs. Melaksanakannya: Menariknya, kedua kelompok menilai area seperti “pelatihan staf” dengan cukup baik. Masalahnya bukan kurangnya pengetahuan. Masalahnya adalah kesenjangan antara mengetahui aturan dan mengikutinya di bawah tekanan.
💡 Pelajaran yang Menyadarkan: Data ini melukiskan gambaran yang jelas: ada jurang berbahaya antara citra budaya keselamatan industri dan pengalaman nyata di sebuah proyek berisiko tinggi. Bergantung pada standar industri saja tidak cukup.
Pandangan dari Sudut yang Berbeda: Bagaimana Jabatanmu Mengubah Realitasmu
Jika temuan tadi belum cukup mengejutkan, studi ini menggali lebih dalam dan menemukan bahwa bahkan di dalam proyek itu sendiri, tidak ada satu realitas tunggal. Peran, pengalaman, dan pendidikan seseorang menciptakan dunia yang sama sekali berbeda di atas sebidang tanah yang sama.
Studi ini menemukan tren yang jelas dan signifikan secara statistik: para pekerja lapangan secara konsisten memberikan peringkat terendah untuk kelayakan penerapan keselamatan, sementara para insinyur penghubung (liaison engineers) dan direktur proyek memberikan peringkat tertinggi.
Ini seperti bertanya tentang kualitas makanan di sebuah restoran. Pemiliknya, yang merancang menu, akan mengatakan makanannya fantastis. Pelayan, yang mendengar keluhan pelanggan, akan memiliki pandangan yang lebih beragam. Sementara itu, petugas cuci piring, yang melihat sisa makanan yang dibuang, akan memiliki perspektif yang paling jujur dan brutal. Mereka semua bekerja di gedung yang sama, tetapi mereka mengalami realitas yang berbeda.
Data ini menunjukkan bahwa semakin jauh seseorang dari risiko fisik secara langsung, semakin tinggi persepsi mereka tentang keselamatan. Ini adalah bias kognitif yang mendalam dan berbahaya dalam manajemen. Seorang direktur proyek di kantor ber-AC yang meninjau laporan keselamatan melihat sebuah sistem yang berfungsi di atas kertas. Seorang pekerja yang menghindari alat berat melihat sebuah sistem dengan celah-celah berbahaya. Kesenjangan ini bukan tentang niat jahat; ini tentang perbedaan mendasar dalam pengalaman hidup.
Peringkat keselamatan yang positif dari manajemen mungkin tidak mencerminkan realitas, melainkan keberhasilan sistem pelaporan mereka. Mereka melihat kepatuhan formal, bukan insiden nyaris celaka atau jalan pintas yang diambil pekerja untuk memenuhi tenggat waktu. Ini menciptakan lingkaran umpan balik di mana manajemen, karena percaya semua aman, mungkin tidak menyelidiki lebih lanjut, membiarkan risiko yang mendasarinya tidak teratasi.
Lalu ada “paradoks pengalaman”. Studi ini menemukan sesuatu yang berlawanan dengan intuisi. Pekerja paling berpengalaman (lebih dari 15 tahun) menilai keselamatan dengan tinggi, tetapi kelompok karir menengah (7–10 tahun) menilainya paling rendah. Ini sangat menarik. Mungkin ada semacam “kurva sinisme”. Pekerja baru (1–3 tahun) mungkin masih optimis. Kelompok karir menengah telah melihat cukup banyak untuk mengetahui risiko dan jalan pintas, tetapi belum berada di posisi untuk mengubah keadaan. Kelompok paling berpengalaman sering kali telah beralih ke peran senior, mengadopsi pandangan sistemik yang lebih jauh, sehingga menilai keselamatan lebih tinggi lagi.
Kesenjangan persepsi yang dramatis antara seorang pekerja dan seorang direktur proyek ini menyoroti titik kegagalan kritis di banyak organisasi: kurangnya bahasa dan pemahaman risiko yang sama. Hal ini menggarisbawahi mengapa pelatihan standar dan berkualitas tinggi di semua tingkatan organisasi bukanlah sebuah kemewahan, melainkan sebuah keharusan. Untuk menjembatani kesenjangan ini, semua orang dari karyawan baru hingga manajer senior harus berada di halaman yang sama, yang merupakan tujuan dari program pengembangan profesional komprehensif seperti yang ditawarkan oleh (https://diklatkerja.com/).
Pandangan Saya: Sebuah Studi Hebat dengan Sedikit Catatan Jujur
Sejujurnya, saya sangat mengapresiasi penelitian ini. Saya memuji metodologinya yang berani melihat elemen manusia. Riset semacam ini sangat penting karena menggeser percakapan dari “perbanyak aturan” menjadi “perbaiki budaya”. Ia memperlakukan pekerja bukan sebagai roda penggerak mesin, tetapi sebagai individu kompleks yang persepsinya adalah data keselamatan paling berharga yang bisa kita dapatkan.
Namun, ada satu hal yang ingin saya soroti, yang justru menunjukkan kekuatan dan kejujuran dari penelitian ini. Peneliti menggunakan teknik statistik yang sangat canggih bernama Confirmatory Factor Analysis (CFA) untuk menguji apakah data yang mereka kumpulkan cocok dengan model teoretis mereka tentang iklim keselamatan.
Dengan sangat transparan, penulis mengakui bahwa “beberapa kriteria kesesuaian model masih belum terpenuhi”. Indeks kesesuaian modelnya berada di bawah ambang batas ideal, yang menunjukkan bahwa data dari dunia nyata sedikit lebih “berantakan” daripada yang bisa ditangkap dengan sempurna oleh model teoretis.
Bagi non-statistikawan, ini mungkin terdengar seperti kelemahan. Saya melihatnya sebagai kebalikannya. Ini adalah tanda penelitian yang jujur. Dunia manusia di lokasi konstruksi itu rumit dan penuh nuansa. Fakta bahwa ia tidak pas dengan sempurna ke dalam kotak statistik bukanlah kegagalan model; itu adalah bukti kompleksitas masalahnya. Ini justru memperkuat pesan inti dari studi ini: persepsi manusia itu bernuansa dan tidak dapat diprediksi dengan sempurna, dan itulah mengapa kita harus lebih sering mendengarkannya.
Kesimpulan: Membangun Realitas yang Lebih Aman, Bukan Sekadar Buku Aturan yang Lebih Tebal
Perjalanan kita melintasi kerucut oranye ini membawa kita pada sebuah kesimpulan yang kuat. Keselamatan sejati tidak ditemukan dalam buku aturan yang lebih tebal atau poster baru di dinding. Keselamatan sejati dibangun di ruang antara manusia—dalam kepercayaan antara pekerja dan pengawas, dalam pemahaman bersama bahwa mengambil jalan pintas tidak akan pernah sepadan, dan dalam komitmen tulus dari pimpinan untuk mendengarkan suara-suara dari “ujung tombak”.
Lain kali kamu terjebak dalam kemacetan karena proyek konstruksi, cobalah melihatnya secara berbeda. Bukan sebagai ketidaknyamanan, tetapi sebagai ekosistem manusia yang kompleks di mana alat keselamatan terpenting bukanlah helm, melainkan realitas yang dipahami bersama. Proyek yang sesungguhnya bukanlah sekadar membangun jalan; ini tentang membangun budaya keselamatan, satu percakapan dan satu pengamatan jujur pada satu waktu.
Tulisan ini hanya menggores permukaan dari sebuah studi yang kaya dan mendetail. Jika penjelajahan sisi manusiawi dari keselamatan ini telah memicu minatmu dan kamu siap untuk menyelam lebih dalam ke data dan model statistiknya, saya sangat menganjurkanmu untuk membaca penelitian aslinya.
Keselamatan Konstruksi (K3)
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 27 Oktober 2025
Sebelum kita menyelami data yang mengejutkan, mari kita pahami konteksnya. Industri konstruksi di Irak, seperti di banyak negara berkembang lainnya, menghadapi tantangan besar. Paper ini menyoroti bahwa mereka masih sangat bergantung pada metode manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (K3) tradisional. Akibatnya, angka cedera dan kematian di lokasi proyek masih tinggi. Peran teknologi modern sering kali hanya sebatas bertukar email atau pesan teks.
Untuk memahami mengapa hal ini terjadi, para peneliti tidak mewawancarai CEO perusahaan raksasa. Sebaliknya, mereka melakukan sesuatu yang jauh lebih cerdas: mereka menyebarkan kuesioner kepada 98 manajer proyek dari perusahaan skala kecil dan menengah.
Ini adalah poin yang sangat penting. Sering kali, kisah sukses adopsi teknologi datang dari perusahaan besar dengan anggaran riset dan pengembangan tak terbatas. Namun, tulang punggung industri konstruksi global adalah perusahaan kecil dan menengah ini. Mereka adalah cerminan realitas sehari-hari bagi sebagian besar pekerja. Dengan berfokus pada mereka, studi ini tidak hanya memberikan gambaran, tetapi juga potret jujur dari tantangan di lapangan yang sebenarnya. Ini bukan tentang apa yang mungkin terjadi di dunia yang ideal; ini tentang apa yang benar-benar terjadi di parit perjuangan.
Data yang Membuat Saya Terdiam dan Berpikir Ulang
Ketika saya mulai membaca bagian hasil, saya mengharapkan adanya nuansa abu-abu—beberapa teknologi diadopsi dengan baik, yang lain tidak. Apa yang saya temukan justru sebuah gambaran yang hitam-putih dan sangat jelas.
Kasus Aneh dari Kotak Perkakas yang Kosong
Bayangkan seorang mekanik ahli dengan garasi yang dipenuhi peralatan canggih—kunci torsi digital, pemindai diagnostik, lift hidrolik—tetapi untuk setiap pekerjaan, ia hanya menggunakan satu kunci pas yang sudah usang. Aneh, bukan? Itulah gambaran yang dilukiskan oleh data adopsi teknologi di Irak.
Para peneliti menyajikan daftar 15 teknologi modern kepada para manajer, mulai dari Building Information Modelling (BIM) hingga Unmanned Aerial Vehicles (UAVs) atau drone. Hasilnya mencengangkan:
🚀 Hasilnya mengejutkan: Teknologi yang paling banyak digunakan—BIM dan Wearable Sensing Devices (WSDs)—hanya diadopsi oleh sekitar 25% responden. Artinya, tiga dari empat manajer bahkan tidak menggunakan alat yang paling populer sekalipun.
🧠 Inovasi terabaikan: Teknologi yang lebih canggih seperti Artificial Intelligence (AI), Virtual Reality (VR), dan drone hanya digunakan oleh sekitar 10-11% manajer. Alat-alat ini bukan lagi fiksi ilmiah; mereka adalah alat yang tersedia di pasar, namun di lapangan, mereka hampir tidak ada.
💡 Pelajaran penting: Data ini menunjukkan adanya jurang pemisah yang besar antara apa yang mungkin dilakukan dengan teknologi dan apa yang sebenarnya dilakukan di lokasi proyek.
Awalnya, reaksi pertama saya adalah, "Mungkin mereka tidak tahu manfaatnya." Tapi kemudian saya sampai ke tabel berikutnya, dan narasi itu berubah total.
Mimpi yang Ternyata Mereka Miliki Bersama
Para peneliti kemudian bertanya, "Terlepas dari apakah Anda menggunakannya atau tidak, apa manfaat terbesar dari teknologi ini?" Di sinilah ceritanya menjadi sangat menarik. Para manajer ini ternyata sangat sadar akan potensi teknologi tersebut.
Bayangkan jika Anda bisa memimpin tim Anda berjalan-jalan di dalam gedung secara virtual, menemukan bahwa pipa air akan bertabrakan dengan saluran listrik, dan memperbaikinya dengan beberapa klik—semua itu dilakukan sebelum fondasi digali. Itulah kekuatan BIM. Dan ternyata, para manajer di Irak ini memahaminya dengan sangat baik.
Lebih dari 75% dari mereka setuju bahwa dua manfaat terbesar dari teknologi K3 adalah "menghilangkan bahaya selama fase desain" dan "membantu memvisualisasikan bahaya". Mereka juga sangat setuju bahwa teknologi dapat "meningkatkan pelaporan nyaris celaka" (71%) dan "meningkatkan kesadaran pekerja akan bahaya" (66%).
Di sinilah paradoks utamanya muncul. Jika tiga dari empat manajer memahami dengan jelas bahwa teknologi ini dapat menyelamatkan nyawa dengan mencegah masalah sejak awal, mengapa hanya satu dari empat yang benar-benar menggunakannya? Ini bukan masalah kurangnya pengetahuan atau kesadaran. Ini adalah masalah yang lebih dalam. Para manajer ini tahu apa yang harus dilakukan, tetapi ada sesuatu yang menghalangi mereka.
Mengungkap Sang Penjahat Sebenarnya: Bukan Manusia, Melainkan Kertas dan Label Harga
Bagian inilah yang benar-benar mengubah cara saya memandang masalah adopsi teknologi. Studi ini menyajikan daftar 10 potensi hambatan dan meminta para manajer untuk memilih mana yang paling signifikan. Hasilnya seperti lampu sorot yang menyoroti dua pelaku utama.
Penghalang nomor satu, yang dikutip oleh 86,7% manajer, adalah "biaya tambahan yang terkait dengan teknologi". Penghalang nomor dua, yang dikutip oleh 80,6% manajer, adalah "sedikit atau tidak adanya peraturan pemerintah untuk penggunaan".
Sangat mudah untuk melihat angka-angka ini dan berpikir, "Ah, ini masalah negara berkembang." Tapi itu adalah kesimpulan yang malas dan keliru. Paper ini sendiri merujuk pada sebuah studi di AS di mana biaya juga menjadi penghalang utama, meskipun dengan persentase yang lebih rendah yaitu 47%. Biaya adalah bahasa universal.
Namun, berita utama yang sesungguhnya, wawasan yang melampaui batas negara, adalah angka 81% untuk regulasi. Ini bukan cerita tentang pekerja yang menolak perubahan atau manajer yang tidak mau belajar. Ini adalah cerita tentang sebuah sistem yang gagal menciptakan kondisi agar perubahan dapat berhasil.
Kedua penghalang teratas ini—biaya dan kurangnya regulasi—bukanlah dua masalah yang terpisah. Mereka saling terkait erat. Ketiadaan regulasi secara langsung memperbesar persepsi biaya teknologi, mengubah pengeluaran bisnis yang dapat dikelola menjadi rintangan yang tidak dapat diatasi. Begini cara kerjanya:
Di industri yang diatur dengan ketat, kepatuhan terhadap standar keselamatan adalah biaya yang tidak bisa ditawar. Perusahaan harus menganggarkannya.
Di lingkungan tanpa regulasi yang jelas, teknologi keselamatan bukanlah biaya kepatuhan, melainkan investasi diskresioner. Ia harus bersaing dengan investasi lain yang memiliki laba atas investasi (ROI) yang lebih jelas, seperti membeli truk baru.
Oleh karena itu, ketiadaan mandat peraturan membuat "biaya tambahan" dari teknologi keselamatan terasa jauh lebih besar dan kurang perlu daripada di pasar yang diatur. Kurangnya aturan pemerintah membuat label harga menjadi tidak dapat diterima secara politis dan finansial bagi perusahaan kecil dan menengah.
Dan ada satu lagi data krusial yang terkubur di bagian bawah daftar hambatan. Faktor "tenaga kerja yang menua resisten terhadap perubahan" berada di peringkat paling buncit, hanya dikutip oleh 15,3% manajer sebagai batasan. Ini adalah temuan yang luar biasa. Ini secara telak membantah mitos umum bahwa pekerja yang lebih tua dan kurang melek teknologi adalah penghalang utama inovasi. Masalahnya bukan pada manusianya; masalahnya ada pada sistem dan ekonomi. Ini mengalihkan fokus dari individu ke struktur, memberikan diagnosis yang jauh lebih akurat tentang akar masalahnya.
Cetak Biru untuk Masa Depan yang Lebih Cerdas dan Aman (Bagi Semua Orang)
Meskipun studi ini berbasis di Irak, pelajarannya bersifat universal. Ini memberikan cetak biru tentang cara mengatasi hambatan sistemik terhadap teknologi yang dapat menyelamatkan nyawa, di industri apa pun dan di negara mana pun.
🚀 Inovasi Sebenarnya Bukan pada Teknologi, tapi pada Sistem: Studi ini menunjukkan bahwa memiliki teknologi saja tidak cukup. Terobosan nyata datang dari penciptaan lingkungan ekonomi dan peraturan di mana adopsi teknologi tersebut tidak hanya mungkin, tetapi juga logis dan perlu.
🧠 Dengarkan Mereka yang di Garis Depan: Ke-98 manajer ini tidak bodoh terhadap solusi; mereka sangat sadar akan hambatannya. Setiap strategi implementasi teknologi yang sukses harus dimulai dengan mengatasi masalah utama penggunanya—dalam hal ini, biaya dan kurangnya standar yang jelas.
💡 Rencanakan Secara Proaktif, Bukan Reaktif: Manfaat yang paling dihargai adalah menghilangkan bahaya selama fase desain. Ini menyoroti pergeseran strategis besar dari keselamatan reaktif (misalnya, memakai helm untuk melindungi kepala dari benda jatuh) ke keselamatan proaktif (misalnya, mendesain proses kerja sehingga tidak ada risiko benda jatuh sama sekali). Di sinilah letak transformasi sejati.
Para manajer dalam studi ini secara luar biasa menunjuk pada desain proaktif sebagai manfaat utama teknologi. Alat seperti Building Information Modelling (BIM) adalah pusat dari pergeseran ini, memungkinkan tim untuk membangun dan mengurangi risiko proyek secara virtual sebelum terjun ke lapangan. Bagi para profesional yang ingin memimpin perubahan ini, menguasai alat-alat ini bukan lagi sebuah kemewahan. Kursus gambaran umum seperti (https://diklatkerja.com/course/building-information-modeling-for-structure-design/) menyediakan pola pikir dasar yang diperlukan untuk mengubah cetak biru menjadi kenyataan yang lebih aman.
Giliran Anda Membangun Rencana yang Lebih Baik
Pada akhirnya, teknologi hanyalah sebuah alat. Keberhasilan atau kegagalannya ditentukan oleh sistem yang kita bangun di sekitarnya. Studi dari Irak ini adalah pengingat yang kuat bahwa untuk memecahkan tantangan keselamatan terbesar kita, kita perlu melihat lebih dari sekadar perangkat lunak dan fokus pada struktur—finansial dan hukum—yang memungkinkan penggunaannya.
Lain kali Anda melihat proyek konstruksi, jangan hanya melihat derek dan kerangka baja. Pikirkan tentang jaringan tak terlihat dari keputusan ekonomi, tekanan peraturan (atau ketiadaannya), dan pilihan manusiawi yang menentukan apakah setiap pekerja di sana akan pulang dengan selamat di penghujung hari.
Jika ulasan mendalam tentang data ini telah memicu rasa ingin tahu Anda, saya sangat menyarankan Anda untuk membaca paper aslinya. Ini adalah pandangan yang ringkas namun kuat tentang isu kritis yang memengaruhi kita semua.
Keselamatan Kerja
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 27 Oktober 2025
Bagian 1: Sebuah Kisah Mengusik yang Saya Temukan dalam Cetak Biru Konstruksi Kuwait
Pernahkah kamu merasa seperti itu? Tahu persis apa yang seharusnya dilakukan—makan lebih sehat, lebih sering berolahraga, tidur lebih awal—tapi entah kenapa, tanganmu tetap meraih camilan di tengah malam. Kesenjangan antara tahu dan melakukan ini adalah salah satu cerita paling manusiawi. Biasanya, ini hanya berdampak pada lingkar pinggang kita. Tapi baru-baru ini, saya menemukan sebuah studi akademis yang menunjukkan bahwa di dunia konstruksi Kuwait yang bernilai triliunan dolar, kesenjangan yang sama ini bisa berarti hidup atau mati.
Industri konstruksi di kawasan Teluk (GCC) adalah mesin ekonomi raksasa, dengan nilai pasar mencapai US$3,2 triliun. Kuwait adalah pemain kunci di dalamnya, dengan proyek-proyek mega yang menjulang ke langit. Namun, di balik fasad kemajuan yang gemerlap, ada kenyataan yang suram. Industri konstruksi secara resmi dianggap sebagai industri paling berbahaya di negara itu.
Angka-angkanya sangat mengejutkan. Sektor ini bertanggung jawab atas sebagian besar dari semua cedera di tempat kerja yang dilaporkan di Kuwait: 29% pada tahun 2014, 28% pada tahun 2015, dan 34% pada tahun 2016. Ini bukan masalah kecil; ini adalah krisis kesehatan masyarakat yang tersembunyi di depan mata. Ketika sebuah industri yang mempekerjakan sekitar 9,9% dari total tenaga kerja nasional menyumbang sepertiga dari semua cedera, kita tahu masalahnya bukan lagi soal insiden acak. Masalahnya bersifat sistemik, terpatri dalam cara kerja industri itu sendiri.
Di tengah krisis inilah sebuah ide elegan muncul, sebuah konsep yang begitu kuat hingga berpotensi merevolusi segalanya: Design for Safety (DfS), atau Desain untuk Keselamatan.
Apa itu DfS? Paper penelitian mendefinisikannya sebagai, "Mencegah dan mengendalikan cedera, penyakit, dan kematian akibat kerja dengan cara menghilangkan bahaya dan paparan berbahaya dari tempat kerja sejak tahap desain".
Bayangkan mencoba mencegah kecelakaan mobil. Kamu bisa memberi pengemudi lebih banyak pelatihan (yang penting), atau kamu bisa mendesain bundaran yang secara fisik memaksa lalu lintas melambat, membuat tabrakan parah hampir mustahil terjadi. DfS adalah bundaran untuk konstruksi. Ini bukan tentang menyalahkan pekerja karena melakukan kesalahan, tetapi tentang menciptakan lingkungan di mana kesalahan itu sulit atau bahkan mustahil terjadi.
Konsep ini didukung oleh ide kuat yang disebut "Kurva Pengaruh Waktu-Keselamatan". Kurva ini menunjukkan bahwa kemampuan untuk memengaruhi keselamatan berada pada titik tertinggi di awal proyek—tahap desain—dan menurun drastis seiring berjalannya waktu. Keputusan yang dibuat oleh seorang arsitek atau insinyur di depan komputer mereka memiliki dampak yang jauh lebih besar pada keselamatan daripada seratus helm atau rompi keselamatan di lokasi proyek setahun kemudian.
Ini adalah ide yang indah, proaktif, dan menyelamatkan nyawa. Dan di Kuwait, para profesional desain mengetahuinya. Mereka memahaminya. Mereka bahkan ingin melakukannya. Tapi di sinilah ceritanya menjadi aneh.
Bagian 2: Paradoks yang Mengejutkan—Niat Baik yang Terjebak di Atas Kertas
Ketika para peneliti dari The University of Manchester dan institusi lainnya mensurvei 73 arsitek dan insinyur di Kuwait, mereka menemukan sesuatu yang pada awalnya tampak seperti kabar baik yang luar biasa. Sentimen terhadap DfS sangat positif, bahkan hampir universal.
Data dari studi tersebut melukiskan gambaran para profesional yang tercerahkan dan bermotivasi tinggi:
🧠 Kesadaran Sangat Tinggi: Sebanyak 82,2% desainer mengaku sadar akan konsep DfS. Mereka tahu itu ada dan apa tujuannya.
👍 Sikap Sangat Positif: Sejumlah 92% responden menganggap implementasi DfS "penting" atau "sangat penting". Mereka percaya pada nilainya.
🙋 Kemauan Hampir Universal: Yang paling menakjubkan, 95,9% menyatakan mereka bersedia menerapkan DfS dalam desain mereka. Mereka ingin melakukannya.
Melihat data ini, kamu mungkin berpikir, "Luar biasa! Masalahnya sudah terpecahkan." Dengan tingkat kesadaran dan kemauan seperti ini, lokasi konstruksi di Kuwait seharusnya menjadi salah satu yang teraman di dunia, bukan?
Di sinilah paradoks itu muncul.
Meskipun semua niat baik ini, studi tersebut menemukan bahwa frekuensi aktual implementasi praktik DfS di dunia nyata hanya "moderat". Bukan "tinggi" atau "sangat tinggi", melainkan moderat. Rata-rata. Biasa saja.
Ini adalah jurang yang menganga antara niat dan tindakan. Ini adalah sebuah misteri. Jika hampir semua orang tahu tentang DfS, percaya pada pentingnya, dan ingin melakukannya, mengapa itu tidak terjadi? Kekuatan tak terlihat apa yang menahan para profesional yang cerdas dan bermaksud baik ini?
Masalah di industri konstruksi Kuwait bukanlah defisit pengetahuan atau niat buruk. Ini adalah krisis implementasi. Ini menggeser fokus kita dari menyalahkan individu dan memaksa kita untuk memeriksa sistem, budaya, dan insentif yang mengatur pekerjaan mereka. Sesuatu dalam sistem itu sendiri menghalangi niat baik untuk menjadi tindakan yang menyelamatkan nyawa.
Bagian 3: Sehari dalam Kehidupan: Rapor tentang Apa yang Sebenarnya Dilakukan (dan Tidak Dilakukan) oleh Desainer
Untuk memecahkan paradoks ini, kita perlu beralih dari yang umum ke yang spesifik. Studi ini tidak hanya bertanya tentang perasaan para desainer; studi ini juga menanyakan apa yang sebenarnya mereka lakukan, dengan mengukur frekuensi keterlibatan mereka dalam 15 praktik DfS yang konkret. Hasilnya seperti rapor sekolah—ada beberapa nilai bagus, tetapi juga ada beberapa nilai merah yang sangat mengkhawatirkan di mata pelajaran yang paling penting.
Kemenangan (Di Mana Mereka Berhasil)
Ada beberapa area di mana para desainer di Kuwait menunjukkan kinerja yang baik. Praktik-praktik ini cenderung merupakan "buah yang mudah dipetik" dalam hal keselamatan.
Menghilangkan Risiko Kebakaran: Sebanyak 82,2% desainer secara teratur menghilangkan material yang dapat menimbulkan risiko kebakaran signifikan selama konstruksi. Ini adalah tindakan pencegahan dasar yang masuk akal, seperti seorang koki yang tidak menempatkan bahan yang mudah terbakar di dekat api terbuka.
Memilih Material Tahan Lama: Sebanyak 79,5% secara konsisten memilih material yang membutuhkan perawatan atau penggantian yang lebih jarang. Ini adalah pemikiran jangka panjang yang cerdas. Dengan memilih material yang kuat, mereka tidak hanya membangun struktur yang lebih aman bagi pekerja saat ini, tetapi juga mengurangi frekuensi pekerja pemeliharaan di masa depan harus menghadapi risiko.
Kegagalan Kritis (Di Mana Mereka Gagal Total)
Namun, kemenangan kecil ini dibayangi oleh kegagalan besar di area-area yang memiliki dampak paling langsung dan mematikan pada keselamatan pekerja.
KEGAGALAN KRITIS #1: Mengabaikan Prefabrikasi
Hanya 28,8% desainer yang merancang elemen bangunan (seperti dinding atau lantai) untuk dapat dibuat di luar lokasi (prefabrikasi). Mengapa ini penting? Prefabrikasi memindahkan pekerjaan konstruksi yang rumit dari lokasi proyek yang kacau, tidak dapat diprediksi, dan terpapar cuaca, ke lingkungan pabrik yang terkontrol dan aman. Ini secara drastis mengurangi risiko di lokasi.
Ini seperti memilih untuk merakit perabot yang rumit di tengah jalan tol yang sibuk saat hujan badai, padahal kamu memiliki bengkel yang terang dan lengkap. Kegagalan untuk merangkul prefabrikasi adalah pilihan sadar untuk bekerja di lingkungan yang lebih berbahaya.
KEGAGALAN KRITIS #2: Merancang Pekerjaan Berbahaya di Ketinggian
Ini adalah temuan yang paling memberatkan. Hanya 26% desainer yang secara aktif merancang untuk meminimalkan atau menghilangkan kebutuhan untuk bekerja di ketinggian.
Mari kita biarkan fakta ini meresap. Data eksternal menunjukkan bahwa jatuh dari ketinggian adalah penyebab tunggal terbesar kecelakaan konstruksi di Kuwait, menyumbang 33,2% dari total insiden.
Ada garis lurus yang tak terbantahkan antara keputusan di cetak biru dan potensi kematian di lokasi proyek. Penyebab kematian nomor satu di lokasi konstruksi Kuwait adalah jatuh. Dan hal nomor satu yang gagal dilakukan oleh para desainer adalah merancang cara agar orang tetap bisa bekerja di darat. Mereka bisa saja merancang dinding parapet permanen alih-alih hanya mengandalkan pagar sementara, atau merancang sistem pemeliharaan bangunan yang dapat diakses dari permukaan tanah. Namun, mayoritas tidak melakukannya.
Bagian 4: Akar Masalah: Membongkar Peran Pendidikan, Pelatihan, dan Budaya Menunggu
Jadi, mengapa? Mengapa para profesional yang berpendidikan ini gagal dalam mata pelajaran yang paling penting? Studi ini menunjuk pada beberapa penyebab sistemik yang dalam.
Pipa Pengetahuan yang Bocor
Masalahnya dimulai jauh sebelum seorang arsitek atau insinyur menginjakkan kaki di lokasi proyek. Masalahnya dimulai di ruang kelas. Hanya 50,7% responden yang diajari DfS sebagai bagian dari pendidikan formal mereka.
Ini adalah sebuah kegagalan mendasar. Keselamatan tidak diperlakukan sebagai prinsip inti teknik dan arsitektur sejak hari pertama. Keselamatan diperlakukan sebagai tambahan opsional, yang berarti separuh dari profesional yang memasuki dunia kerja sudah tertinggal. Mereka tidak memiliki "naluri" keselamatan yang tertanam dalam DNA profesional mereka.
Kasus Aneh Pelatihan yang Tak Diikuti
Kesenjangan pendidikan ini menciptakan kebutuhan mendesak akan pelatihan di tempat kerja. Dan para desainer sangat menginginkannya. Sebanyak 93,2% menyatakan minat untuk berpartisipasi dalam pelatihan DfS. Namun, inilah yang aneh: hanya 47,9% yang pernah benar-benar mengikutinya.
Ini adalah padanan profesional dari sebuah kota di mana semua orang haus dan meminta air, tetapi sumur-sumurnya kering atau tidak dapat diakses. Masalahnya bukan kurangnya permintaan; ini adalah kegagalan pasokan yang katastrofik. Studi ini secara statistik membuktikan bahwa para desainer yang memiliki pendidikan dan pelatihan formal lebih sering menerapkan praktik DfS. Jadi, kita tahu solusinya berhasil; kita hanya tidak menyediakannya.
Mentalitas "Itu Masalah Orang Lain"
Kurangnya bekal pendidikan dan pelatihan ini tampaknya menumbuhkan rasa ketidakberdayaan. Ketika ditanya faktor apa yang paling berpengaruh untuk mendorong implementasi DfS, jawaban para desainer sangat mengungkap. Faktor-faktor teratas semuanya bersifat eksternal: Peraturan, Panduan Industri, Pendidikan Formal, dan Pelatihan.
Sementara itu, faktor-faktor yang lebih bersifat internal atau spesifik proyek, seperti "pengaruh klien" atau "ketersediaan perangkat lunak komputer," berada di peringkat bawah.
Meskipun temuan studi ini sangat kuat, mereka mengisyaratkan pertanyaan yang lebih dalam dan tidak ditanyakan tentang tekanan komersial. Apakah para desainer secara implisit atau eksplisit tidak dianjurkan untuk menerapkan DfS karena dianggap menambah waktu atau biaya pada tahap desain awal? Data menunjukkan adanya budaya reaktif yang menunggu mandat dari atas ke bawah, daripada profesi proaktif yang mengambil kepemilikan atas tanggung jawab etisnya untuk melindungi nyawa. Sikap pasif ini mungkin merupakan temuan yang paling berbahaya dari semuanya.
Ini menciptakan lingkaran setan: sistem yang tidak mendidik para profesionalnya menciptakan tenaga kerja yang tidak dapat menerapkan praktik terbaik, yang pada gilirannya menyebabkan catatan keselamatan yang buruk. Catatan buruk ini kemudian memicu seruan untuk regulasi. Industri ini terperangkap dalam siklus reaktif kegagalan yang diikuti oleh regulasi, alih-alih siklus proaktif pendidikan yang mengarah pada pencegahan.
Bagian 5: Pelajaran untuk Semua Orang: Cara Menjembatani Kesenjangan Sebelum Terlambat
Analisis ini mungkin berfokus pada Kuwait, tetapi pelajarannya bersifat universal. Kesenjangan antara kesadaran dan tindakan ada di setiap industri. Kabar baiknya adalah, studi ini tidak hanya mengidentifikasi masalah; studi ini juga menunjukkan jalan ke depan.
Kebutuhan akan perubahan ini sangat mendesak. Kuwait akan memulai ledakan pembangunan bersejarah, dengan proyek-proyek seperti kota futuristik Madinat Al Hareer (Kota Sutra) dan perluasan besar-besaran Bandara Internasional Kuwait. Jika paradoks keselamatan ini tidak diselesaikan sekarang, korban jiwa akan sangat besar.
Berikut adalah beberapa pelajaran yang bisa kita ambil:
💡 Pelajaran 1: Kesadaran Bukanlah Tindakan. Niat baik tidak ada artinya tanpa sistem, insentif, dan alat untuk menerjemahkannya ke dalam praktik.
💡 Pelajaran 2: Keselamatan Harus Diajarkan, Bukan Sekadar Diharapkan. DfS harus menjadi komponen inti dan wajib dari setiap kurikulum teknik dan arsitektur. Ini tidak bisa menjadi renungan.
💡 Pelajaran 3: Jangan Menunggu Hukum untuk Melakukan Hal yang Benar. Budaya keselamatan proaktif, yang didorong oleh etika profesional dan kepemimpinan industri, lebih cepat dan lebih efektif daripada menunggu mandat pemerintah.
Berdasarkan kesimpulan paper, berikut adalah seruan untuk bertindak bagi para pemangku kepentingan:
Untuk Pemerintah & Badan Profesional: Penuhi permintaan. Ciptakan dan subsidi program pelatihan DfS yang dapat diakses. Kembangkan panduan industri yang jelas dan praktis.
Untuk Universitas: Integrasikan DfS ke dalam kurikulum inti. Jadikan sama mendasarnya dengan fisika atau ilmu material.
Untuk Profesional Desain: Mulailah sekarang. Pilih satu praktik berdampak tinggi dengan implementasi rendah dari "rapor" di atas (seperti merancang untuk prefabrikasi atau mengurangi kerja di ketinggian) dan perjuangkan di proyek Anda berikutnya.
Bagi para profesional yang siap mengambil langkah berikutnya dan memperdalam keahlian mereka, jalur pembelajaran yang terstruktur sangat penting.(https://diklatkerja.com/) berkualitas tinggi menawarkan cara praktis untuk memperoleh keterampilan yang dibutuhkan untuk menjembatani kesenjangan antara mengetahui dan melakukan, mengubah niat baik menjadi desain yang menyelamatkan nyawa.
Bagian 6: Pikiran Akhir dan Ajakan untuk Bertindak
Kisah yang diceritakan oleh data dari Kuwait adalah kisah tentang sebuah paradoks—bahwa di salah satu pusat konstruksi paling ambisius di dunia, kesenjangan antara mengetahui cara aman dan bertindak berdasarkan pengetahuan itu sangat besar. Ini bukan hanya masalah Kuwait; ini adalah tantangan universal bagi manusia dan organisasi.
Saya telah membagikan cerita yang diceritakan oleh data, tetapi sekarang saya ingin mendengar dari Anda. Pernahkah Anda melihat "kesenjangan kesadaran-tindakan" serupa di industri Anda sendiri? Menurut Anda, apa hambatan terbesar yang menghalangi orang-orang cerdas dan bermaksud baik untuk melakukan hal yang benar?
Seluruh analisis ini dipicu oleh satu paper akademis yang menarik. Jika Anda seorang penggila data seperti saya atau ingin melihat metodologi lengkapnya, saya sangat merekomendasikannya. Ini adalah sebuah mahakarya dalam mengungkap kebenaran yang tersembunyi.