Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 30 April 2025
Pendahuluan: Kompetensi sebagai Pilar Kualitas Proyek Konstruksi
Di tengah masifnya pembangunan infrastruktur di Indonesia, kualitas hasil konstruksi tidak hanya bergantung pada desain dan material, tetapi juga pada faktor yang kerap terabaikan: kompetensi tenaga kerja. Artikel ilmiah oleh Asril dan rekan-rekannya yang diterbitkan di Shell Civil Engineering Journal (SCEJ) Volume 9 No. 1 (2024), menyuguhkan kajian yang sangat relevan terhadap hal ini. Mereka mengevaluasi penerapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) terhadap tukang batu pada proyek pembangunan Kantor Camat Pasarwajo, Buton, tahun 2020.
Berangkat dari realitas bahwa mayoritas tenaga kerja di sektor konstruksi Indonesia berasal dari latar belakang pendidikan rendah dan memperoleh keahlian melalui pengalaman langsung, penelitian ini menyoroti tiga komponen utama kompetensi menurut SKKNI:
Kemampuan dalam tugas
Kemampuan mengatasi masalah
Kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja
Metode Penelitian: Kualitatif Deskriptif yang Kontekstual
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif, yang memungkinkan pemahaman holistik terhadap fenomena di lapangan. Responden terdiri dari tujuh tukang batu yang terlibat langsung dalam pembangunan pondasi dan plasteran. Meskipun jumlah responden terbatas, kedalaman data cukup terakomodasi melalui wawancara, observasi, dan kuesioner terstruktur berdasarkan indikator SKKNI.
Karakteristik penting dari responden:
100% berjenis kelamin laki-laki
75% berusia antara 36–60 tahun
50% hanya tamatan SD
75% memiliki pengalaman kerja 7–10 tahun
Statistik ini menggambarkan tipikal tenaga kerja konstruksi di daerah: berpengalaman, namun minim pendidikan formal atau pelatihan teknis yang terstruktur.
Hasil dan Analisis: Potret Kompetensi di Lapangan
🔹 1. Kemampuan dalam Tugas
Kompetensi teknis para tukang batu dinilai relatif baik. Sebanyak 85% responden mengaku memahami teori pekerjaan mereka. Lebih penting lagi, 100% merasa mampu bekerja dengan alat seadanya dan memiliki keahlian walau tidak bersertifikat. Ini menegaskan pentingnya pengalaman lapangan sebagai bentuk “pendidikan informal.”
Namun, hanya 60% yang mampu menyelesaikan pondasi dua meter dalam 30 menit. Artinya, masih ada ruang perbaikan dalam efisiensi teknis.
Analisis tambahan:
Masalah krusial muncul pada aspek ketelitian. Beberapa kerusakan pondasi, meski minor, berpotensi menimbulkan efek domino jika tidak diatasi.
Dalam konteks industri, rework akibat kesalahan manusia bisa menghabiskan hingga 5% dari total biaya proyek (menurut McGraw-Hill Construction, 2019).
🔹 2. Kemampuan Mengatasi Masalah
Sebanyak 75% responden menyatakan mampu menyelesaikan masalah pekerjaan secara cepat, seperti menangani kerusakan pondasi dan situasi darurat seperti kecelakaan kerja.
Namun, kemampuan dalam pengambilan keputusan masih lemah, di mana hanya 25% responden merasa percaya diri. Ini adalah kelemahan mendasar yang bisa menghambat kelancaran pekerjaan.
Nilai tambah dan kritik:
Dalam proyek konstruksi modern, respon cepat terhadap kendala teknis merupakan kunci. Penerapan lean construction menuntut pekerja untuk terlibat dalam problem solving aktif. Oleh karena itu, pelatihan keterampilan kognitif harus ditingkatkan.
Penulis tidak menyertakan perbandingan dengan proyek lain—misalnya proyek bersertifikasi ISO yang menuntut lebih tinggi aspek dokumentasi dan pengambilan keputusan.
🔹 3. Kemampuan Menyesuaikan Diri
Seluruh responden mampu bekerja di lingkungan bising, dan 70% merasa mampu berkomunikasi dengan baik. Namun, partisipasi lintas fungsi masih kurang. Hanya 55% yang sangat setuju bahwa mereka aktif dalam kerja tim.
Studi tambahan:
Berdasarkan studi oleh Ogunseiju (2023), proyek konstruksi di Asia Tenggara mengalami efisiensi 20% lebih tinggi ketika tenaga kerja dilatih dalam interpersonal skill.
Budaya kerja kolaboratif akan makin dibutuhkan seiring berkembangnya proyek berskala besar berbasis teknologi (misalnya BIM atau modular construction).
Pembahasan Lanjutan: Faktor yang Mempengaruhi Kompetensi
Penelitian ini juga mengidentifikasi faktor eksternal yang memengaruhi penerapan kompetensi:
Kesadaran perusahaan untuk menerapkan SKKNI
Latar belakang pendidikan pekerja
Pengawasan proyek
Sikap dan usia pekerja
Menariknya, usia tua tidak selalu menjadi hambatan. Justru kombinasi pekerja senior dan junior dapat menciptakan transfer knowledge yang ideal, asalkan didukung budaya mentoring yang sehat.
Relevansi industri:
Dunia konstruksi sedang mengalami gelombang digitalisasi. Tenaga kerja adaptif menjadi tuntutan utama, bukan hanya terampil secara manual.
Sayangnya, penelitian belum mengkaji bagaimana kesiapan pekerja terhadap teknologi baru seperti drone site monitoring atau augmented reality (AR) dalam pelatihan.
Studi Banding: Bagaimana Negara Lain Mengelola Kompetensi?
Sebagai perbandingan, negara-negara seperti Malaysia dan Singapura telah menerapkan sistem sertifikasi tenaga kerja berbasis modul dengan asesmen kompetensi setiap 2 tahun (Zabidin et al., 2021). Di Indonesia, sistem sertifikasi seperti SKTK masih bersifat opsional dan tidak merata.
Rekomendasi:
Pemerintah dan asosiasi kontraktor perlu membuat sertifikasi wajib dan berkala untuk semua pekerja.
Perlu integrasi antara sistem pelatihan informal di lapangan dengan sertifikasi kompetensi resmi, agar pengalaman bisa divalidasi secara legal.
Implikasi Praktis dan Rekomendasi Kebijakan
Penelitian ini menyimpulkan bahwa meskipun kompetensi pekerja sudah mencukupi, tetap diperlukan:
Pelatihan formal dan informal yang berkelanjutan
Peningkatan pengawasan kualitas kerja
Sertifikasi massal bagi pekerja berpengalaman
Peningkatan komunikasi dan kerja tim
Dampak praktis:
Penerapan standar kompetensi tidak hanya meningkatkan kualitas bangunan, tetapi juga mengurangi biaya rework dan meningkatkan keselamatan kerja.
Proyek yang menggunakan tenaga kerja tersertifikasi akan lebih dipercaya oleh investor dan pemilik proyek.
Kesimpulan Resensi: Antara Kompeten dan Tersertifikasi
Artikel ini merupakan kontribusi penting dalam mendorong penguatan kapasitas SDM di sektor konstruksi. Evaluasi terhadap kompetensi tukang batu bukan hanya soal keterampilan teknis, tetapi juga mencerminkan kesiapan Indonesia dalam bersaing secara global di sektor infrastruktur.
Namun, untuk benar-benar melompat ke level berikutnya, perlu reformasi menyeluruh dalam sistem pelatihan dan sertifikasi tenaga kerja konstruksi di Indonesia. Masa depan konstruksi bukan hanya soal membangun gedung, tetapi juga membangun manusia yang membangunnya.
Referensi Sumber Asli
Penelitian ini diterbitkan dalam:
Asril, M. Chaiddir Hajia, M. Abdu, H. Kundrad SR. (2024). Evaluasi Kompetensi Pekerja pada Proyek Pembangunan Kantor Camat Pasarwajo Tahun 2020. Shell Civil Engineering Journal, Vol. 9 No. 1, hlm. 27–34.
Akses resmi: https://doi.org/10.35326/scej.v9i1.6142
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 30 April 2025
Pendahuluan: Tantangan SDM di Industri Konstruksi
Industri konstruksi adalah salah satu sektor paling dinamis dan menantang dalam perekonomian global. Di balik gemerlap gedung pencakar langit dan proyek infrastruktur megah, terdapat tantangan serius terkait sumber daya manusia (SDM), terutama dalam merekrut dan mempertahankan tenaga kerja profesional. Dalam konteks inilah, tesis Jennifer Dawn Moore memberikan kontribusi penting: menelaah nilai kerja dan ekspektasi karier mahasiswa jurusan manajemen konstruksi yang akan memasuki dunia kerja.
Studi ini tidak hanya relevan untuk kalangan akademik, tetapi juga bagi perusahaan yang ingin menyesuaikan strategi HR mereka agar sesuai dengan nilai dan harapan generasi baru. Dengan pendekatan kuantitatif berbasis survei dan interpretasi mendalam, penelitian ini menguak dimensi psikologis dan sosiologis dari calon profesional konstruksi masa depan.
Metodologi dan Kerangka Teoretis
Moore menggunakan pendekatan non-eksperimental dan survei deskriptif terhadap mahasiswa tingkat akhir program sarjana Manajemen Konstruksi di universitas terbesar yang diakreditasi oleh American Council for Construction Education (ACCE). Peneliti mengidentifikasi korelasi antara karakteristik pribadi seperti gender, usia, latar belakang ekonomi keluarga, hingga afiliasi politik, dengan nilai kehidupan, perilaku, dan nilai kerja.
Secara teoretis, penelitian ini bertumpu pada model nilai yang dikembangkan oleh Milton Rokeach dan teori pembangunan karier dari Brown (2002), yang menekankan bahwa nilai—baik nilai hidup maupun kerja—merupakan kompas utama dalam pengambilan keputusan karier seseorang.
Temuan Utama: Potret Nilai dan Harapan Generasi Muda
1. Nilai Hidup dan Perilaku: Lebih Individualis, Kurang Sosial
Penelitian menemukan bahwa nilai yang bersifat self-centered seperti ambisi pribadi, pengakuan, dan prestasi menempati peringkat tertinggi. Sementara nilai social-centered seperti pelayanan publik dan keterlibatan sosial justru mendapat peringkat rendah. Ini mengindikasikan pergeseran nilai generasi baru yang lebih fokus pada pencapaian pribadi daripada kontribusi sosial.
Data ini diperkuat oleh tabel peringkat nilai terminal dan instrumental yang menunjukkan kecenderungan peserta menilai tinggi nilai-nilai kompetensi dan moral, namun tetap menempatkan kenyamanan pribadi dan status di atas nilai sosial.
2. Nilai Kerja: Status dan Independensi Lebih Dihargai
Dalam dimensi nilai kerja, aspek seperti status dan kemandirian (contohnya: posisi manajerial, fleksibilitas kerja, dan kontrol terhadap pekerjaan) dinilai lebih penting dibandingkan dengan aspek seperti pertumbuhan kompetensi atau keamanan kerja. Ini menunjukkan bahwa generasi baru mendambakan kontrol atas karier mereka, serta posisi yang memberi mereka pengaruh dan fleksibilitas.
Studi Kasus & Data Pendukung
Statistik Penting:
Studi Kasus Nyata:
Beberapa kutipan dari studi oleh Dainty et al. (2000) memperkuat temuan Moore—banyak karyawan muda di industri konstruksi merasa tidak memiliki jalur karier yang jelas, kurang mendapatkan pelatihan, dan sering dipindahkan proyek tanpa pertimbangan kondisi keluarga atau preferensi pribadi.
Analisis Tambahan: Perbandingan dengan Penelitian Sejenis
Penelitian Moore senada dengan temuan Judge & Bretz (1992) yang menyatakan bahwa individu cenderung memilih pekerjaan yang sejalan dengan nilai pribadi mereka. Namun, Moore memperluas cakupan dengan menyertakan variabel demografis yang jarang disentuh dalam penelitian nilai kerja, seperti afiliasi politik dan ukuran kota asal.
Selain itu, Moore membedakan antara nilai terminal (tujuan akhir hidup) dan instrumental (cara atau perilaku untuk mencapai tujuan tersebut), yang memperkaya analisis karier dibanding studi nilai kerja konvensional.
Implikasi Praktis: Apa yang Harus Dilakukan Industri?
1. Perubahan Strategi HR
Industri konstruksi harus bergeser dari pendekatan HR tradisional yang reaktif menjadi Strategic Human Resource Management (SHRM) yang proaktif dan personal. Ini meliputi:
Penyusunan jalur karier yang jelas dan terstruktur.
Pelatihan berkelanjutan berbasis minat karyawan.
Sistem evaluasi kinerja yang transparan dan objektif.
2. Employer Branding yang Lebih Modern
Perusahaan konstruksi perlu memodernisasi citra mereka agar menarik bagi Generasi Z dan milenial. Ini termasuk menekankan aspek teknologi, inovasi hijau, dan dampak sosial positif dari proyek-proyek yang dikerjakan.
3. Fleksibilitas dan Keseimbangan Kerja-Hidup
Penempatan proyek dan sistem kerja harus lebih adaptif terhadap kebutuhan personal, termasuk pekerjaan jarak jauh (remote site management), sistem rotasi proyek yang terencana, dan pertimbangan situasi keluarga.
Kritik & Refleksi
Salah satu keterbatasan penelitian ini adalah cakupan geografis yang terbatas (hanya satu universitas besar di AS). Ini mungkin membatasi generalisasi temuan ke seluruh populasi calon profesional konstruksi global. Namun, pendekatan metodologis yang kuat dan kerangka teoretis yang jelas memberikan keandalan dalam konteks Amerika Utara.
Sisi lain, pendekatan Moore yang menggabungkan faktor-faktor seperti spiritualitas, status ekonomi masa kecil, dan orientasi politik dalam menganalisis nilai kerja menunjukkan keberanian metodologis dan wawasan yang mendalam.
Kesimpulan: Menyongsong Masa Depan Konstruksi dengan Memahami Manusia
Dalam dunia yang terus berubah, kunci keberhasilan perusahaan bukan hanya teknologi atau modal, melainkan manusia. Tesis Moore mengingatkan kita bahwa untuk merekrut dan mempertahankan talenta terbaik, perusahaan harus memahami apa yang mereka hargai, apa yang mereka cari dalam karier, dan bagaimana perusahaan bisa menjadi tempat bertumbuh, bukan sekadar bekerja.
Studi ini adalah panggilan bagi industri konstruksi untuk merombak pendekatan HR-nya dan menyambut generasi baru pekerja dengan strategi yang lebih manusiawi, fleksibel, dan strategis.
Sumber Asli:
Jennifer Dawn Moore (2011). Entering Construction Professionals: Survey of Work Values and Career Expectations. Colorado State University.
Manajemen Konstruksi
Dipublikasikan oleh Anisa pada 30 April 2025
Pendahuluan: Jalan sebagai Tulang Punggung Mobilitas Nasional
Jalan bukan sekadar infrastruktur—ia adalah nadi konektivitas sebuah bangsa. Dalam konteks Indonesia, jaringan jalan nasional memainkan peran vital dalam distribusi logistik, konektivitas wilayah, dan penggerak ekonomi lokal hingga nasional. Namun sayangnya, performa pelayanan jalan nasional terus menunjukkan gejala degradasi yang serius.
Laporan dari Kementerian PUPR menyebutkan bahwa meskipun panjang jalan nasional hanya sekitar 8% dari total jaringan jalan Indonesia (sekitar 47.017 km), proporsi kondisi mantapnya jauh lebih tinggi dibandingkan jalan daerah. Jalan provinsi dan kabupaten masih banyak yang rusak ringan hingga berat.
Ironisnya, penurunan kualitas pelayanan ini tidak hanya terjadi karena umur teknis jalan semata, tetapi dipicu oleh kesalahan sistemik yang berlapis: mulai dari perencanaan yang tidak berbasis data, lemahnya manajemen konstruksi, hingga ketidaktegasan hukum terhadap pelanggaran.
Akar Masalah Penurunan Kualitas Jalan Nasional
1. Kelemahan dalam Tahap Perencanaan dan DED
Perencanaan jalan seharusnya menjadi fondasi keberhasilan proyek. Namun dalam banyak kasus, tahapan ini dilakukan dengan basis data yang lemah. Akibatnya, banyak proyek mengalami "addendum kontrak" berulang, di mana rincian desain (DED) harus direvisi karena tidak akurat mencerminkan kondisi lapangan.
Menurut penelitian Rosenfeld (2014), dokumen tender yang belum matang adalah salah satu penyebab utama terjadinya pembengkakan biaya (cost overrun). Hal ini diperparah oleh kecenderungan pemenang tender yang menawar terlalu rendah untuk menang kompetisi, bukan karena efisiensi.
2. Masalah Pelaksanaan Konstruksi
Proses konstruksi jalan seringkali tidak berjalan sesuai rencana karena berbagai kendala:
Material: kualitas buruk, pengiriman terlambat, dan biaya tinggi.
Peralatan: minim perawatan, suku cadang tidak tersedia, operator tidak terlatih.
SDM: kompetensi rendah, tidak berorientasi pada standar mutu.
Pengawasan: lemahnya sistem kontrol mutu dan birokrasi pengujian yang berbelit.
Dari hasil penelitian lapangan yang dikutip dalam paper ini, kontribusi keterlambatan proyek paling besar berasal dari kondisi keuangan kontraktor (57%), disusul oleh masalah tenaga kerja (45%) dan material (37%).
3. Pengoperasian Jalan yang Tidak Terkendali
Pasal 307 UU No. 22 Tahun 2009 secara tegas mengatur batas beban kendaraan, namun implementasinya di lapangan masih lemah. Hampir tidak ada pengawasan terhadap kendaraan over dimension dan overload (ODOL), yang mempercepat kerusakan struktural jalan.
Lebih dari 80% logistik di Indonesia diangkut menggunakan moda jalan, menyebabkan "loading time" tinggi dan menurunkan usia pakai jalan secara signifikan. Drainase yang buruk dan tidak terintegrasi juga mempercepat kerusakan karena banjir lokal.
4. Lemahnya Sistem Pemeliharaan Jalan
Pemeliharaan jalan seharusnya bersifat preventif dan berkelanjutan. Sayangnya, anggaran pemeliharaan rutin masih di bawah 4% dari total alokasi belanja jalan nasional. Rehabilitasi sering kali bersifat reaktif dan tidak berdasarkan riset komprehensif akar masalah kerusakan jalan.
Pemeliharaan juga gagal menyentuh aspek struktural karena rendahnya pemahaman penyedia jasa terhadap standar mutu. Pemanfaatan teknologi seperti Building Information Modelling (BIM) dan IRMS belum sepenuhnya diadopsi oleh seluruh pelaksana.
Konsep SIDLACOM: Solusi atau Sekadar Retorika?
SIDLACOM (Survey, Investigation, Design, Land Acquisition, Construction, Operation, Maintenance) merupakan konsep penyelenggaraan jalan berbasis siklus hidup infrastruktur. Konsep ini diatur dalam Permen PU No. 603/2005 dan telah diterapkan oleh Ditjen Bina Marga sebagai bagian dari transformasi digital (Big Data dan Industri 4.0).
Beberapa aplikasi pendukungnya antara lain:
IRMS (Indonesia Road Management System): Perencanaan berbasis data real-time.
SHMS (Structural Health Monitoring System): Pemantauan struktur jembatan.
WIM-Bridge: Pemantauan kendaraan ODOL secara otomatis.
Invi-J: Inspeksi jembatan berbasis digital.
Namun efektivitas SIDLACOM belum maksimal. Salah satu kritik utama adalah lemahnya kompetensi SDM di tiap tahap siklus proyek. Tanpa manajemen konstruksi yang kuat, konsep ideal seperti SIDLACOM hanya akan menjadi wacana tanpa implementasi nyata.
Studi Kasus dan Pembelajaran dari Lapangan
Studi Kasus 1: Ruas Jalan Tol Cisumdawu
Dalam studi oleh Priyambodo (2019), keterlambatan pembangunan Tol Cisumdawu disebabkan oleh rendahnya kompetensi konsultan pengawas, pengukuran volume pekerjaan yang keliru, serta lemahnya pengendalian biaya dan waktu. Padahal proyek ini merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional.
Studi Kasus 2: Jalan Flobamora dan W. J. Lalamentik
Udiana et al. (2014) mengidentifikasi penyebab kerusakan jalan di NTT sebagai akibat dari sistem drainase yang buruk, kualitas material rendah, dan perencanaan lapis perkerasan yang tidak sesuai dengan kondisi tanah. Solusinya adalah sinkronisasi perencanaan dengan kondisi mikro lokal.
Studi Kasus 3: Proyek Jalan di Asia
Herrera et al. (2020) menyatakan bahwa mayoritas proyek jalan di Asia mengalami pembengkakan biaya karena kegagalan pada tahap desain dan perencanaan. Ini menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi Indonesia juga merupakan isu global.
Rekomendasi Strategis
1. Penguatan Manajemen Konstruksi Berbasis 5M
Faktor Man, Money, Material, Machine, dan Method harus dikelola secara sinergis. Monitoring dan evaluasi harus dilakukan pada setiap tahapan proyek.
2. Adopsi Big Data dan Teknologi 4.0
Sensor real-time untuk pemantauan kondisi jalan.
Penggunaan BIM untuk visualisasi proyek secara akurat.
Platform digital terpadu agar data lintas lembaga bisa digunakan secara efisien.
3. Reformasi Regulasi dan Penegakan Hukum
Pemerintah harus tegas dalam menindak pelanggaran ODOL dan tata ruang jalan. Penegakan Pasal 307 UU 22/2009 harus diaktifkan kembali dengan perangkat monitoring otomatis.
4. Investasi pada SDM Infrastruktur
Peningkatan kompetensi SDM menjadi kunci implementasi SIDLACOM. Diperlukan kurikulum pelatihan teknis, manajerial, dan berbasis teknologi terbaru.
Kesimpulan
Penurunan kualitas jalan nasional di Indonesia bukan sekadar masalah teknis, tetapi sistemik dan multidimensional. Meski konsep SIDLACOM telah diperkenalkan sebagai solusi, tantangan implementasi masih besar, terutama pada kompetensi SDM, koordinasi lintas lembaga, dan kepastian hukum.
Dengan perencanaan berbasis data, pengawasan ketat terhadap pelaksanaan konstruksi, serta transformasi digital di sektor infrastruktur, maka Indonesia dapat mencapai visium “99% jalan mantap” pada 2030 secara realistis dan berkelanjutan.
Sumber Artikel:
Sugiyartanto. (2021). Tinjauan Terhadap Penurunan Kualitas Pelayanan Jalan Nasional di Indonesia. Kementerian PUPR. [Diakses dari Jurnal Resmi PUPR]
DOI dan tautan asli belum tersedia secara digital, namun artikel dapat dirujuk dari publikasi Kementerian PUPR atau menghubungi penulis melalui: sugiyartanto@pu.go.id
Perbaikan Tanah dan Stabilitas Tanah
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 30 April 2025
Dalam dunia konstruksi dan rekayasa sipil, salah satu tantangan terbesar adalah membangun struktur di atas tanah lunak atau ekspansif. Tanah jenis ini memiliki karakteristik yang tidak stabil dan sering menyebabkan masalah serius pada bangunan, mulai dari retakan hingga kegagalan struktural total. Penelitian yang dilakukan oleh Bright Worlu dan Ify L. Nwaogazie dari Universitas Port Harcourt, Nigeria, menawarkan solusi inovatif melalui penggunaan stabilisator kimia polimer untuk perbaikan tanah.
Studi berjudul "Reliability Based Analysis of Ground Improvement Using a Polymeric Chemical Stabilizer" ini meneliti efektivitas penggunaan polivinil alkohol (PVA) yang dikombinasikan dengan asam 1,2,3,4 Butana-tetrakarboksilat (BTCA) untuk meningkatkan kualitas tanah lunak. Penelitian ini sangat relevan mengingat tantangan yang ditimbulkan oleh karakteristik tanah ekspansif terhadap stabilitas struktural, yang terkadang mengharuskan perbaikan tanah sebelum struktur dapat dibangun di atasnya.
Latar Belakang dan Pentingnya Perbaikan Tanah
Perbaikan tanah telah menjadi salah satu bidang utama dalam teknik geoteknik. Sebelum melakukan pembangunan atau konstruksi untuk struktur sipil atau kegiatan pertambangan, sangat penting untuk mengetahui jenis tanah setempat, penggunaan lahan saat ini dan masa depan, kekuatan yang diperlukan untuk menahan beban struktural, dan perkiraan biaya proyek.
Ketika tanah di lokasi yang dipilih tidak memiliki sifat struktural yang diinginkan, seperti kohesi yang tepat, sudut gesekan internal, daya dukung, faktor pengembangan, dan sebagainya, menjadi perlu untuk meningkatkan sifat-sifat ini menggunakan cara eksternal. Efek dari ketidakstabilan tanah dapat beragam, termasuk likuifaksi, penggelembungan, dan deformasi plastis. Dampak dari tanah yang tidak stabil juga dapat bersifat katastrofik, mulai dari kegagalan lereng dan penurunan pondasi hingga keruntuhan total terowongan dan timbunan tambang, bangunan, dan struktur lainnya.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan berbasis reliabilitas untuk menganalisis penggunaan PVA dalam kombinasi dengan BTCA untuk perbaikan tanah. Desain kisi simplex digunakan untuk membangun desain eksperimen sebelum investigasi eksperimental dilakukan pada tanah lunak yang dirawat dengan PVA-BTCA.
Indeks reliabilitas dihitung berdasarkan kekuatan tekan bebas (UCS) pada hari ke-28 dari tanah yang dirawat. Model indeks reliabilitas dikembangkan menggunakan teknik Scheffe dan dioptimalkan menggunakan excel solver.
Sampel tanah lunak yang digunakan dalam penelitian ini memiliki karakteristik berikut:
Untuk campuran PVA-BTCA, PVA dibatasi pada 0,1%-2% dari berat tanah kering dan BTCA dibatasi pada 0,1%-0,5% dari berat tanah kering. Kadar air divariasikan dalam rentang 10%-20% dari berat campuran stabilisator-tanah untuk semua proses stabilisasi.
Teknik Optimasi Scheffe
Dalam mengestimasi dan memprediksi reliabilitas penggunaan PVA-BTCA dalam perbaikan tanah, teknik optimasi Scheffe digunakan. Menurut teori Simplex Scheffe, simplex didefinisikan sebagai representasi struktural (bentuk) garis atau bidang yang menghubungkan titik-titik yang diasumsikan dari bahan konstituen campuran, yang mana titik-titik tersebut berjarak sama satu sama lain.
Untuk campuran (q,m), dengan q adalah jumlah faktor dan m adalah derajat polinomial yang diasumsikan, sistem koordinat simplex dan jumlah titik ruang desain dalam kisi simplex didefinisikan oleh persamaan matematika tertentu. Metode ini mengandalkan kondisi bahwa jumlah dari semua rasio campuran pseudo pada titik manapun harus sama dengan 1.
Hasil dan Pembahasan
Dari hasil penelitian, nilai UCS untuk campuran percobaan PVA-BTCA bervariasi dari 261,48 kPa hingga 699,29 kPa, dengan nilai tertinggi diperoleh pada campuran dengan komponen aktual: 98,267% tanah, 1,3665% PVA, 0,3665% BTCA, dan 16,65% air.
Model indeks reliabilitas yang dikembangkan untuk tanah yang distabilkan dengan PVA-BTCA terbukti memadai pada tingkat signifikansi 5% dari analisis validasi yang dilakukan. Proporsi optimal komponen tanah PVA-BTCA adalah 98,4256% untuk tanah, 1,2352% untuk PVA, 0,3392% untuk BTCA, dan 15,9934% untuk air.
Hasil ini memberikan nilai indeks reliabilitas rata-rata (β) sebesar 3,17. Menggunakan tabel distribusi normal standar, nilai indeks reliabilitas ini diterjemahkan menjadi reliabilitas 0,99936 (99,936%). Ini menunjukkan bahwa kombinasi PVA-BTCA memiliki potensial reliabilitas atau probabilitas keberhasilan yang sangat tinggi dalam meningkatkan kualitas tanah lunak.
Keunggulan PVA Sebagai Stabilisator
Polivinil alkohol (PVA) adalah rantai polimer biodegradable yang larut dalam air terbesar yang memiliki sifat pembentuk film dan perekat yang sangat baik. PVA juga tahan terhadap gemuk, minyak, dan pelarut. PVA sangat hidrofilik dan larutan PVA dapat disiapkan dengan mudah dengan melarutkan PVA dalam air.
Dalam penelitian ini, PVA digunakan sebagai aditif stabilisasi utama bersama dengan asam 1,2,3,4-Butana-tetrakarboksilat (BTCA) sebagai agen pengikat silang. Kombinasi ini memberikan hasil yang sangat menjanjikan dalam meningkatkan kekuatan tekan tanah lunak dan reliabilitas keseluruhan perbaikan tanah.
Metode Reliabilitas Hasofer-Lind
Metode Hasofer-Lind, yang juga disebut metode reliabilitas orde pertama, digunakan untuk analisis reliabilitas dalam penelitian ini. Insinyur geoteknik berurusan dengan material di mana beban dan resistansi dikombinasikan dan yang distribusi dan sifatnya tidak diketahui dengan baik, sehingga menimbulkan ketidakpastian dalam desain.
Ketidakpastian dalam material geoteknik dapat ditangani dengan metode observasional yang secara luas diterima dan berhasil. Metode reliabilitas ini mengusulkan definisi baru untuk indeks reliabilitas menggunakan interpretasi geometris. Parameter statistik yang biasanya dijelaskan dengan mean, varians, dan kovarians harus mencakup sifat-sifat material geoteknik serta hubungannya.
Penentuan momen statistik dari fungsi kinerja pada dasarnya adalah perhitungan mean dan varians, sedangkan penentuan probabilitas kegagalan bisa kurang teliti jika fungsi kinerja memiliki deskripsi probabilistik yang terdefinisi dengan baik seperti distribusi normal.
Optimasi Komponen untuk Reliabilitas Tertinggi
Microsoft Excel Solver digunakan untuk mengoptimalkan atau menggabungkan komponen untuk menghasilkan hasil yang paling andal. Dalam optimasi, harus ada fungsi objektif yang tunduk pada serangkaian kendala. Dengan menggunakan kendala yang ditentukan, proporsi pseudo komponen tanah PVA-BTCA diperoleh sebagai: X₁ = 0; X₂ = 0,207831; X₃ = 0,792169, X₄ = 0; dengan Max(β) = 3,17.
Setelah menerapkan persamaan transformasi, komponen aktual atau nyata diperoleh sebagai: 98,4256% untuk tanah, 1,2352% untuk PVA, 0,3392% untuk BTCA, dan 15,9934% untuk air, memberikan nilai indeks reliabilitas 3,17. Menggunakan tabel distribusi normal, nilai indeks reliabilitas ini diterjemahkan menjadi reliabilitas 0,99936 (99,936%).
Kesimpulan dan Rekomendasi
Model indeks reliabilitas yang dikembangkan untuk tanah yang distabilkan dengan PVA-BTCA terbukti memadai pada tingkat signifikansi 5%. Proporsi optimal komponen tanah PVA-BTCA adalah 98,4256% untuk tanah, 1,2352% untuk PVA, 0,3392% untuk BTCA, dan 15,9934% untuk air, memberikan indeks reliabilitas 3,17 yang setara dengan reliabilitas 99,936%.
Peneliti merekomendasikan agar implikasi finansial penggunaan PVA-BTCA untuk stabilisasi dibandingkan dengan metode konvensional, untuk membandingkan rasio kinerja-biaya mereka. Ini penting untuk menentukan apakah solusi PVA-BTCA, meskipun sangat andal, juga layak secara ekonomi dibandingkan dengan metode perbaikan tanah konvensional.
Implikasi Praktis
Penelitian ini memiliki implikasi penting bagi industri konstruksi dan rekayasa sipil. Dengan reliabilitas 99,936%, penggunaan PVA-BTCA untuk perbaikan tanah menawarkan solusi yang sangat andal untuk masalah yang ditimbulkan oleh tanah lunak atau ekspansif. Ini dapat mengurangi risiko kerusakan struktural dan kegagalan, serta meningkatkan umur layanan struktur yang dibangun di atas tanah yang dirawat.
Selain itu, karena PVA adalah polimer biodegradable yang larut dalam air, penggunaannya sebagai stabilisator tanah juga menawarkan solusi yang lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan beberapa metode perbaikan tanah konvensional.
Penting juga untuk dicatat bahwa penelitian ini hanya mengevaluasi kinerja PVA-BTCA berdasarkan UCS pada hari ke-28. Penelitian lebih lanjut mungkin diperlukan untuk mengevaluasi kinerja jangka panjang dan stabilitas stabilisator kimia polimer ini.
Penggunaan teknik optimasi Scheffe dalam penelitian ini juga menunjukkan potensi aplikasi metode matematika canggih dalam optimasi desain campuran untuk aplikasi rekayasa geoteknik. Ini dapat menjadi pendekatan berharga untuk pengembangan solusi perbaikan tanah yang disesuaikan untuk berbagai jenis tanah dan kondisi.
Secara keseluruhan, penelitian Worlu dan Nwaogazie memberikan kontribusi berharga bagi literatur tentang perbaikan tanah dan stabilisasi, menawarkan wawasan baru tentang penggunaan stabilisator kimia polimer dan pendekatan berbasis reliabilitas untuk analisis kinerja mereka.
Sumber: Worlu, B., & Nwaogazie, I. L. (2023). Reliability Based Analysis of Ground Improvement Using a Polymeric Chemical Stabilizer. Open Journal of Civil Engineering, 13, 127-138.
Perbaikan Tanah dan Stabilitas Tanah
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 30 April 2025
Pendahuluan
Metode pencampuran dalam (Deep Mixing Method/DMM) adalah pilihan ideal untuk mengatasi masalah yang timbul akibat keberadaan tanah lempung lunak sebagai dasar untuk membangun struktur tertentu. Tanah lempung lunak mencakup area yang luas di beberapa negara di seluruh dunia, sehingga menyulitkan untuk menemukan tempat yang cocok untuk konstruksi.
Tanah lempung lunak, yang memiliki kadar air tinggi sehingga memiliki resistansi geser kecil dan kemampuan penurunan tinggi, tidak cocok sebagai lapisan pendukung di bawah fondasi fasilitas. Oleh karena itu, timbul kebutuhan untuk menggunakan jenis fondasi tertentu, seperti fondasi dalam yang lebih rumit dibandingkan dengan opsi kedua, atau menggunakan teknik perawatan khusus untuk meningkatkan sifat-sifat tanah lempung lunak dan membuatnya cocok untuk konstruksi dengan menggunakan jenis fondasi tertentu selain fondasi dalam.
Salah satu teknik perawatan yang paling cocok untuk tanah lempung lunak dalam hal tujuan struktural, biaya, dan waktu adalah proses pencampuran dalam. Pencampuran tanah dalam adalah proses yang kompleks dalam hal faktor-faktor yang memengaruhi kualitas tanah yang ditingkatkan dan proses yang menyebabkan peningkatan tersebut. Proses ini telah dibahas dalam banyak buku dan penelitian yang diterbitkan dalam banyak aspeknya, tetapi ada beberapa hal yang berkaitan dengan proses ini yang belum disorot secara signifikan, seperti permanensi tanah yang ditingkatkan seiring waktu, yang menyebabkan pemahaman yang buruk tentang perilaku tanah yang ditingkatkan setelah proses peningkatan.
Tinjauan Singkat tentang Mineral Lempung
Secara umum, mineral adalah senyawa anorganik alami yang memiliki sifat fisik, kimia, dan kristal tertentu. Mineral-mineral ini dapat diklasifikasikan menjadi primer dan sekunder, kristalin dan non-kristalin, silikat dan non-silikat. Ketika batuan terpapar faktor erosi (fisik, kimia, biologi), mineral primer yang menyusunnya akan mengalami perubahan struktural dan kimiawi. Juga, faktor-faktor ini menyebabkan redistribusi mineral utama dan minor di dalam profil tanah.
Mineral tanah dapat diklasifikasikan di bawah dua judul utama, mineral primer (tidak mengalami perubahan kimiawi) dan mineral sekunder (mengalami perubahan kimiawi). Mineral tanah primer adalah mineral yang belum mengalami transformasi struktural atau kimiawi sejak kristalisasinya di dalam batuan yang membentuknya, baik batuan beku, metamorf, atau sedimen, dan ditemukan di tanah berpasir dan berlanau kasar. Mineral tanah primer yang paling umum adalah silikat, oksida besi (Fe), zirkon (Zr), titanium (Ti) dan fosfat (P). Mineral sekunder adalah mineral yang terbentuk oleh pemecahan atau/dan transformasi mineral primer dalam kondisi tertentu dan ditemukan di tanah lempung dan lanau halus. Mineral sekunder yang ada di dalam tanah meliputi alumino-silikat, oksida dan hidroksida, karbonat, sulfat, dan mineral amorf1.
Silikat adalah mineral utama untuk sebagian besar jenis tanah, mereka adalah produk dari proses pelapukan pada mineral primer, itulah sebabnya mineral lempung disebut silikat sekunder. Mineral tanah utama lainnya adalah sulfida, oksida, hidroksida, halida, sulfat, karbonat, dan fosfat. Mineral lempung hadir dalam ukuran yang sangat kecil (<0,002 mm) dibandingkan dengan ukuran komponen tanah lainnya; mineral ini sangat efektif secara elektromekanis karena memiliki muatan negatif di tepinya dan muatan positif di permukaannya, dan inilah yang membedakannya dari komponen tanah lainnya (kerikil, pasir, dan lanau).
Mineral lempung terbentuk dari dua struktur utama, yang pertama adalah silika oksigen dan dihasilkan dari ikatan ion silikon dengan atom oksigen dari empat sisi (tetrahedral). Sedangkan yang kedua, dihasilkan dari ikatan ion aluminium dan magnesium dari delapan sisi dengan oksigen dan ion hidroksida (oktahedral). Semua mineral lempung terdiri dari tetrahedron dan lempeng oktahedral dengan jenis kation tertentu yang terikat satu sama lain oleh sistem tertentu, setiap perubahan dalam struktur lembaran tetrahedral dan oktahedral menghasilkan mineral lempung yang berbeda,.
Kelompok mineral lempung yang paling umum meliputi kaolinit, illit, dan smektit (montmorillonit). Kaolinit, terdiri dari lembaran alumina dan silika, yang dihubungkan oleh ikatan yang sangat kuat dan inilah yang membuat jenis lempung ini sangat stabil, gambar (1a). Illit, terdiri dari tiga lempeng, dua lempeng silika dan satu lempeng alumina, ia memiliki ion kalium di antara setiap dua lempeng dan inilah yang membuatnya lebih kuat daripada montmorillonit, gambar (1b). Montmorillonit, jenis ini mirip dalam hal komposisi dengan illit, karena terdiri dari dua lempeng silika dan satu alumina, dan karena ikatan yang lemah antara lempeng-lempeng ini, sejumlah besar air dapat dengan mudah masuk ke dalam struktur jenis ini, menyebabkan fenomena pembengkakan, gambar (1c).
Bagaimana Mineral Lempung Memengaruhi Perilaku Tanah
Banyak fitur lempung sangat memengaruhi sifat-sifat tanah yang mengandungnya dan mengatur perilakunya sebagian besar - bahkan jika persentasenya kurang dari komponen tanah lainnya - seperti kekuatan, penurunan, pembengkakan, dan konduksi hidraulik. Fitur-fitur ini mencakup substitusi isomorf dan kapasitas pertukaran anion dan kation permukaan. Dapat dikatakan bahwa fitur-fitur ini mengontrol kemampuan tanah untuk berinterferensi dengan air (kemampuan untuk menyerap dan menahan air atau mengeluarkan air di luar badan tanah); detail ini, khususnya, memberikan lempung dominasinya atas perilaku tanah.
Kehadiran air adalah penyebab banyak masalah yang dihadapi dalam praktik rekayasa geoteknik dan inilah yang diungkapkan oleh Karl Terzaghi pada tahun 1939, “…Dalam praktik rekayasa, kesulitan dengan tanah hampir secara eksklusif disebabkan bukan oleh tanah itu sendiri tetapi air yang terkandung dalam rongganya. Di planet tanpa air, tidak akan ada kebutuhan akan Mekanika Tanah.” tetapi efek ini tetap bergantung pada kondisi iklim, topografi wilayah, dan lingkungan untuk genesis tanah.
Komposisi struktural mineral lempung yang menyusun tanah lempung mengambil bentuk dan wujud tertentu dan memiliki tingkat stabilitas elektromekanis tertentu. Setiap perubahan dalam struktur ini seperti mengubah lokasi tetrahedral dan oktahedral dengan atom lain yang secara alami hadir di lingkungan tanah menyebabkan ketidakstabilan muatan listrik partikel mineral ini, yang menyebabkan afinitas yang besar terhadap air, dan itu pada tingkat molekuler dan atom tanah. Sementara pada tingkat badan tanah secara keseluruhan, proses-proses ini menyebabkan peningkatan plastisitas tanah, yang pada gilirannya memengaruhi sifat-sifat struktural tanah, dan dengan demikian perilaku fisik tanah sangat bergantung pada perilaku kimiawi partikel mineral lempung individu. Komposisi tanah, secara fisik dan kimiawi, dapat diperiksa secara akurat melalui beberapa pengujian, yang paling penting di antaranya adalah difraktometer sinar-X (XRD) dan mikroskop elektron pemindai (SEM)..
Metode untuk Memperbaiki Tanah Lunak
Dari sudut pandang rekayasa, istilah tanah lemah mencakup beberapa jenis tanah, yaitu tanah lempung lunak - tanah yang menahan sejumlah besar air di dalam strukturnya -, tanah yang mengandung sejumlah besar partikel halus seperti tanah berlanau, tanah organik (gambut), dan tanah berpasir lepas di dekat atau di bawah permukaan air. Untuk tanah lempung lunak, kelembutannya dievaluasi dengan kekuatan geser tak terdrainase Su atau kekuatan tekan tak terbatas q, dan uji spt digunakan untuk mengevaluasi konsistensi dan kepadatannya.
Untuk meningkatkan dan memperkuat sifat-sifat rekayasa jenis tanah ini untuk mempersiapkannya untuk tujuan konstruksi, banyak metode telah dikembangkan selama beberapa dekade dan banyak penelitian dan buku telah diterbitkan tentang topik ini. Teknik perbaikan tanah bertujuan untuk meningkatkan beberapa sifat yang membuat tanah lemah dan tidak cocok untuk konstruksi. Oleh karena itu, sehubungan dengan tanah lempung, tujuan perbaikan adalah untuk meningkatkan kekuatan geser, mengurangi atau menghilangkan penurunan, dan mengurangi permeabilitas. (Kamon dan Bergado 1991) menyajikan Tabel-1 untuk membantu dalam memilih metode yang tepat untuk merawat tanah lunak sesuai dengan jenis tanah dan durasi yang diperlukan untuk menyelesaikan proses perbaikan dan perubahan yang disebabkan oleh metode perbaikan pada kondisi tanah.
Menurut apa yang ditunjukkan dan dapat disimpulkan dari Tabel 1, teknik perbaikan tanah dapat diklasifikasikan menjadi dua kelas utama yang mencakup sebagian besar teknik yang tersedia yang saat ini digunakan untuk perbaikan. Kelas pertama mencakup teknik yang terutama berhubungan dengan tanah tanpa tambahan apa pun, seperti pengeringan dan pemadatan. Sedangkan untuk kelas kedua, ini mencakup teknik yang bergantung pada penambahan beberapa bahan (bahan kimia dan fisik) ke tanah untuk memperbaikinya.
Secara umum, untuk tanah kohesif lunak di lapisan dalam, beberapa metode dapat diterapkan untuk tujuan perbaikan, yang pertama adalah perkuatan (yaitu tiang kolom batu), yang kedua adalah campuran (yaitu Metode pencampuran dalam), dan yang ketiga adalah pengeringan (yaitu drainase vertikal), Sedangkan untuk tanah berpasir lepas, banyak metode pemadatan dalam yang tersedia seperti pemadatan dinamis dan resonansi dan vibroflotasi. Untuk tanah lunak dan lepas di lapisan Superfisial, beberapa metode perawatan tersedia, yang paling penting di antaranya adalah perkuatan tanah atau (MSE) tanah yang distabilkan secara mekanis dan penggunaan bahan sintetis ringan. Gambar 2 dan 3 mengilustrasikan cara yang baik dan bagus untuk memilih metode yang tepat untuk meningkatkan tanah lempung lunak untuk fondasi dangkal dan dalam masing-masing tergantung pada menjawab beberapa pertanyaan mengenai kondisi tanah lokasi konstruksi, waktu yang tersedia untuk proses perbaikan, biaya, dan pendekatan perbaikan yang disukai.
Kesimpulan
Metode pencampuran dalam adalah teknik yang efektif untuk meningkatkan sifat-sifat tanah lempung lunak. Proses ini melibatkan pencampuran bahan pengikat ke dalam tanah untuk meningkatkan kekuatan geser, mengurangi penurunan, dan mengurangi permeabilitas. Metode ini cocok untuk berbagai aplikasi dan dapat disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan spesifik proyek.
Sumber: Mohammed Khalil Alhamdi and Bushra Suhale Albusoda. A Review on Deep mixing method for soil improvement. IOP Conf. Ser.: Mater. Sci. Eng. 1105 012110, 2021.
Perbaikan Tanah dan Stabilitas Tanah
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 29 April 2025
Pendahuluan
Perilaku tanah mengembang tak jenuh akibat perubahan kadar air telah menjadi fokus penelitian intensif sejak tahun 1950-an. Berbagai formula dan teknik telah diusulkan untuk mengklasifikasikan, menggambarkan, dan memprediksi perilaku serta parameter tanah jenis ini. Di sisi lain, banyak teknik digunakan untuk memungkinkan struktur dibangun di atas tanah mengembang tanpa mengalami kerusakan akibat pengangkatan tanah.
Mengganti tanah mengembang dengan campuran granular adalah salah satu teknik yang paling terkenal dan termurah, terutama untuk struktur ringan di lapisan tanah mengembang yang dangkal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan formula sederhana untuk memperkirakan pengangkatan tanah mengembang dengan mempertimbangkan efek lapisan pengganti. Formula yang dikembangkan digunakan untuk memperkirakan kedalaman penggantian yang diperlukan untuk menghindari kerusakan akibat pengangkatan yang berlebihan.
Perilaku Tanah Lempung Mengembang
Hubungan antara kadar air lempung dan kemampuannya untuk mengembang sangat nonlinier seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1 dalam paper. Secara umum, peningkatan kadar air sampel tanah mengembang menyebabkan peningkatan volume sampel karena reaksi kimia antara air dan mineral lempung aktif dalam sampel. Jumlah pengangkatan sampel bergantung pada kuantitas dan jenis mineral aktif serta derajat saturasi awal dan akhir. Selain itu, tegangan eksternal yang diterapkan pada sampel memiliki efek signifikan pada pengangkatan.
Tegangan tekan eksternal yang diterapkan pada sampel tanah liat tak jenuh menyebabkan konsolidasi dan penurunan volume sampel. Semakin besar tegangan yang diterapkan, semakin besar penurunan volumenya. Tegangan yang diperlukan untuk mengurangi volume sampel yang mengembang ke volume aslinya disebut "Tekanan Mengembang" (Ps). Tekanan mengembang dapat diukur secara eksperimental dari uji odometer seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2 dalam paper. Berdasarkan definisi, jika tegangan eksternal yang diterapkan dari struktur sama dengan atau lebih besar dari tekanan mengembang, maka struktur ini tidak akan mengalami pengangkatan. Bangunan yang lebih berat akan mengalami pengangkatan yang lebih kecil daripada bangunan yang lebih ringan. Efek pengangkatan paling buruk untuk struktur tanpa bobot seperti perkerasan, jalur pipa, rel kereta api, dan menara transmisi.
Identifikasi Tanah Mengembang
Memperkirakan kemampuan tanah untuk mengembang (potensi mengembang) dipelajari secara intensif oleh banyak peneliti. Setiap peneliti menyarankan skala untuk mengklasifikasikan tanah sesuai dengan potensi mengembangnya berdasarkan beberapa pengujian laboratorium dasar. Peneliti sebelumnya menggunakan batas konsistensi sederhana dan pengujian mengembang bebas untuk mengklasifikasikan tanah mengembang. Seiring dengan semakin berkembang dan lengkapnya laboratorium mekanika tanah, pengujian yang lebih canggih digunakan untuk mengklasifikasikan tanah mengembang odometer, mineralogi, dan pengujian pertukaran kation. Sebagian besar penelitian mengklasifikasikan tanah mengembang menurut potensi mengembangnya menjadi empat kategori: rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Beberapa metode klasifikasi yang paling terkenal diringkas dalam Gambar 4 dalam paper.
Metode Awal untuk Memprediksi Heave
Memprediksi jumlah heave adalah salah satu tujuan utama dari mempelajari tanah mengembang. Peneliti sebelumnya menggunakan hasil eksperimen untuk membentuk formula empiris untuk memperkirakan heave berdasarkan parameter tanah dasar seperti batas konsistensi, kadar air, dan kandungan lempung. Beberapa formula empiris yang paling terkenal untuk memprediksi nilai heave adalah formula Vijayvergiya dan Sullivan (1973), formula Schneider dan Poor (1974), formula Johnson (1978), dan formula Weston (1980) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3 dalam paper. Di mana heave sama dengan ketebalan lapisan mengembang dikalikan dengan potensi mengembang. Meskipun formula tersebut mudah diterapkan dan hanya memerlukan sifat tanah dasar, namun memiliki rentang kesalahan yang lebar (sekitar 35%).
Pendekatan ini dikembangkan dengan menggunakan pengujian laboratorium yang lebih canggih untuk meningkatkan akurasi formula empiris. Beberapa contoh formula tersebut adalah Korelasi McKeen dan Lytton (1981), Model McKeen (1992), Model Hafez (1994) seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5 dalam paper. Meskipun formula tersebut lebih akurat, namun tetap merupakan regresi data tanpa dasar ilmiah.
Pendekatan lain untuk memperkirakan nilai heave adalah metode analitik yang bergantung pada prinsip-prinsip mekanika tanah dan menggunakan parameter spesifik yang diukur di laboratorium untuk menghitung heave. Berdasarkan parameter yang diukur, metode tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, metode yang bergantung pada uji odometer volume konstan dan metode yang bergantung pada uji isap tanah (uji odometer isap terkontrol).
Metode yang bergantung pada uji odometer volume konstan, menghitung heave berdasarkan indeks mengembang yang diukur dengan asumsi bahwa kondisi tegangan awal adalah tekanan mengembang yang dikoreksi dan kondisi tegangan akhir adalah tegangan vertikal efektif. Formula dasarnya ditunjukkan pada Gambar 6 dalam paper.
Metode yang bergantung pada uji isap tanah menghitung perkiraan heave berdasarkan indeks mengembang dan kompresibilitas yang diukur menggunakan prinsip-prinsip perilaku tanah liat tak jenuh yang ditunjukkan pada Gambar 7 dalam paper.
Peningkatan kapasitas komputasi komputer memungkinkan penelitian terbaru untuk menggunakan teknik yang lebih canggih seperti model elemen hingga yang digabungkan dan tidak digabungkan untuk memprediksi heave.
Formula yang Diusulkan untuk Memprediksi Heave
Formula yang diusulkan termasuk dalam metode analitik yang bergantung pada uji odometer volume konstan. Untuk menghitung heave dari lapisan tanah liat mengembang yang homogen dan isotropik yang tebalnya tak terhingga dimulai dari permukaan tanah tanpa permukaan air tanah, pertama-tama kedalaman kritis (Hc) (atau kadang-kadang disebut kedalaman aktif) harus ditentukan. Pada kedalaman kritis, tegangan vertikal efektif sama dengan tekanan mengembang. Di bawah kedalaman kritis, tanah tidak akan heave. Kemudian kedalaman kritis dibagi menjadi 20 sub-lapisan tebal yang sama, setiap lapisan mengalami tegangan ke atas sama dengan tekanan mengembang. Heave dari setiap sub-lapisan dihitung berdasarkan formula yang ditunjukkan pada Gambar 6 dalam paper.
Rasio antara total heave pada setiap sub-lapisan (n) pada kedalaman (H) di dalam kedalaman kritis dan total heave pada permukaan tanah dapat dihitung sebagai penjumlahan heave dari sub-lapisan (n) dan ke bawah ke sub-lapisan (1) dibagi dengan total heave pada permukaan tanah, yang dapat disederhanakan dengan regresi logaritmik menjadi 0,25 Ln(Hc/H). Karena penyederhanaan, H dibatasi antara (0,02 Hc hingga 1,0 Hc). Total heave pada setiap kedalaman adalah total heave pada permukaan tanah dikalikan dengan rasio ini.
Untuk tanah liat mengembang dengan ketebalan terbatas dengan permukaan atas pada kedalaman (Ht) dan permukaan bawah pada kedalaman (Hb) dari permukaan tanah, total heave dari lapisan ini (∆h) adalah selisih antara total heave pada kedalaman (Ht) dan (Hb) sebagai berikut:
Jika hasil uji odometer tidak tersedia, Cs sama dengan (1/6 hingga 1/10) Cc (indeks kompresi), dan Cc berkisar antara (0,007 - 0,009).(LL-10) menurut rasio over-konsolidasi tanah liat, di mana LL adalah persentase batas cair (70% hingga 90% untuk sebagian besar tanah liat mengembang). Oleh karena itu, Cc berkisar antara (0,06 hingga 0,13)LL , di mana LL adalah fraktur desimal. Skempton (1953) menyarankan tiga kelas tanah liat: tidak aktif untuk aktivitas kurang dari 0,75; normal untuk aktivitas antara 0,75 dan 1,25; dan aktif untuk aktivitas lebih besar dari 1,25. Nilai khas aktivitas untuk mineral tanah liat yang berbeda adalah seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1 dalam paper.
Selain itu, tekanan mengembang dapat diukur secara eksperimental atau diperkirakan menggunakan formula empiris apa pun yang tercantum dalam Gambar 3 dalam paper.
Verifikasi Formula Heave yang Diusulkan
Heave dari pelat lantai kelas di bangunan industri ringan di Regina utara-tengah, Saskatchewan dipantau dan dianalisis oleh Yoshida et al., (1983) menggunakan metode analitik berdasarkan uji odometer volume konstan, dan dilaporkan serta dianalisis oleh Fredlund dan Hung, (2004) menggunakan model elemen hingga yang tidak digabungkan. Pembangunan gedung dan instrumentasi berlangsung selama Agustus 1961. Instrumentasi yang dipasang di lokasi termasuk patokan dalam, pengukur gerakan vertikal, dan tabung akses meteran kelembaban neutron. Gerakan tanah vertikal dipantau pada kedalaman 0,58, 0,85, dan 2,39 m di bawah permukaan tanah asli.
Pemilik bangunan memperhatikan heave dan retakan pada pelat lantai pada awal Agustus 1962, sekitar setahun setelah pembangunan. Peningkatan tak terduga dalam konsumsi air sekitar 35000L tercatat. Jalur air panas retak di bawah pelat lantai. Analisis laboratorium untuk sampel di lokasi dilakukan. Batas Atterberg, kadar air in-situ, distribusi ukuran butiran, dan tekanan mengembang sampel dievaluasi. Tekanan mengembang dan indeks mengembang diperoleh dengan uji odometer volume konstan untuk tiga sampel. Lokasi retakan, kontur heave, ringkasan batas Atterberg, dan hasil uji odometer ditunjukkan pada Gambar 9 dalam paper. Biaya tambahan adalah berat pelat beton setebal 100mm pada kelas dan pasir setebal 180mm.
Kesimpulan
Formula yang diusulkan memberikan cara yang lebih sederhana dan akurat untuk memperkirakan heave tanah mengembang dan menentukan kedalaman penggantian tanah yang optimal.
Sumber: Dr. Hisham Arafat, Dr. Ahmed M. Ebid. Optimum Replacement Depth to Control Heave of Swelling Clays. International Journal of Engineering and Innovative Technology (IJEIT), 2015.