Keamanan Air

Strategi Keamanan Air 2023–2026 CAF – Menjawab Tantangan Air di Amerika Latin dan Karibia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 24 Juni 2025


Air adalah fondasi tak tergantikan bagi kesehatan, ekonomi, dan keberlanjutan lingkungan. Namun, kawasan Amerika Latin dan Karibia (LAC) menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan air, mulai dari distribusi yang tidak merata, krisis sanitasi, polusi, hingga ancaman perubahan iklim. Paper “2023–2026 Water Security Strategy” yang disusun oleh CAF (Banco de Desarrollo de América Latina y el Caribe) menjadi dokumen strategis yang membedah tantangan, peluang, dan inovasi dalam pengelolaan air di kawasan ini, sekaligus menegaskan komitmen CAF sebagai “Green Bank” dan mitra utama pembangunan berkelanjutan di LAC1.

Konteks Global dan Regional: Air sebagai Penghubung Agenda Dunia

Air dan Agenda Global

Strategi CAF menempatkan air sebagai penghubung utama berbagai agenda global: Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), Perjanjian Paris tentang perubahan iklim, hingga Sendai Framework untuk pengurangan risiko bencana. Air tidak hanya terkait dengan SDG 6 (air bersih dan sanitasi), tetapi juga mendukung SDG tentang kesehatan, pendidikan, kesetaraan gender, pertumbuhan ekonomi, penanggulangan kemiskinan, dan aksi iklim. Dengan demikian, pengelolaan air yang efektif menjadi prasyarat mutlak untuk mencapai pembangunan inklusif dan resilien1.

Tantangan Khusus di LAC

Meski LAC memiliki hampir 30% cadangan air tawar dunia, distribusinya sangat timpang. Beberapa negara seperti Guyana dan Suriname memiliki lebih dari 100.000 m³ air per kapita per tahun, sementara lebih dari sepuluh negara lain—termasuk Haiti dan Saint Lucia—mengalami stres air kronis dengan ketersediaan kurang dari 3.000 m³ per kapita per tahun. Ketimpangan ini diperparah oleh urbanisasi pesat, pertumbuhan penduduk, perubahan iklim, dan lemahnya tata kelola sektor air1.

Tantangan Utama: Data, Studi Kasus, dan Fakta Lapangan

1. Fragmentasi Tata Kelola dan Lambatnya IWRM

Integrated Water Resources Management (IWRM) adalah kunci efisiensi dan ketahanan air. Namun, kemajuan IWRM di LAC sangat lambat akibat fragmentasi kelembagaan, lemahnya koordinasi lintas sektor dan level pemerintahan, serta minimnya kapasitas teknis dan pendanaan. Hanya sedikit negara yang memiliki organisasi pengelola DAS yang efektif, sementara banyak wilayah masih mengandalkan institusi yang tumpang-tindih dan tidak terkoordinasi1.

2. Meningkatnya Permintaan dan Penurunan Ketersediaan

Permintaan air di LAC meningkat pesat, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi dan populasi. Sektor pertanian menyerap 69% air, konsumsi domestik 21%, dan industri 10%. Namun, penurunan permukaan air tawar, hilangnya 183.000 km² salju dan gletser, serta polusi memperburuk krisis. Pada 2019, 150 juta orang di wilayah ini hidup di bawah tekanan air ekstrem (23% populasi LAC)1.

3. Ancaman Kekeringan dan Banjir

Frekuensi kekeringan di LAC naik 28% antara 1980–1999 dan 2000–2019, memengaruhi 1,43 miliar orang. Contoh nyata: kekeringan di São Paulo (2014) menyebabkan 71% warga mengalami pemutusan air; di La Paz (2016), 340.000 orang terdampak selama 15 hari. Sementara itu, banjir meningkat 85% dalam periode yang sama, dari rata-rata 14,9 kejadian/tahun menjadi 27,6 kejadian/tahun, menimbulkan kerugian ekonomi gabungan kekeringan dan banjir sebesar USD 63 miliar dalam 20 tahun terakhir1.

4. Ketimpangan Akses Air dan Sanitasi

LAC adalah kawasan paling urban di dunia berkembang (81% populasi tinggal di kota), namun 106 juta penduduk kota tidak memiliki akses air aman. Di pedesaan, 47% penduduk tidak memiliki akses air layak, dan hanya 10% rumah tangga memiliki sanitasi aman. Kesenjangan ini memperburuk kemiskinan, ketimpangan gender, dan peluang pendidikan, terutama bagi perempuan dan anak-anak1.

5. Krisis Polusi dan Limbah

Hanya 36% limbah domestik di LAC yang diolah, dengan cakupan 42% di perkotaan dan 10% di pedesaan. Sebagian besar limbah cair dan padat dibuang sembarangan, mencemari sungai, danau, dan laut. Industri daur ulang masih didominasi sektor informal, dengan tingkat daur ulang rata-rata hanya 4%. Sementara itu, 145.000 ton limbah padat per hari dibuang di tempat terbuka tanpa perlindungan lingkungan atau kesehatan1.

6. Potensi dan Tantangan Irigasi Pertanian

LAC memiliki potensi 96 juta hektare lahan irigasi, namun baru 28 juta hektare yang terkelola. Irigasi penting untuk ketahanan pangan, produktivitas, dan adaptasi perubahan iklim. Namun, investasi, teknologi, dan pelatihan petani kecil masih sangat terbatas. Di Bolivia, misalnya, hanya 11% dari 3,3 juta hektare lahan pertanian yang memiliki irigasi, sebagian besar dengan infrastruktur sederhana dan rentan terhadap kekeringan1.

Studi Kasus: Inovasi dan Implementasi di Lapangan

A. Kota Santo André, Brasil: Penanggulangan Banjir dan Pengelolaan Sampah

Santo André, bagian dari kawasan industri São Paulo, kerap dilanda banjir akibat urbanisasi dan permukaan kedap air. Program SANEAR Santo André yang didanai CAF sejak 2019 berhasil mengurangi risiko banjir melalui pembangunan kolam retensi (215.000 m³), kanal sepanjang 1,7 km, dan sistem pemantauan dini. Selain mengatasi banjir, proyek ini meningkatkan mobilitas, mempercepat waktu tempuh hingga 50%, dan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal berkat peningkatan aktivitas komersial dan rekreasi di ruang publik yang lebih aman dan nyaman1.

B. Sobral, Brasil: Solusi Berbasis Alam untuk Drainase

Di Sobral, instalasi taman filtrasi di anak sungai Acaraú menjadi contoh solusi berbasis alam (nature-based solutions/NbS) yang berhasil menurunkan polusi air, meningkatkan kualitas ruang publik, dan memperkaya keanekaragaman hayati. Taman ini menggunakan tanaman air, batu, dan pasir untuk menyaring limbah tanpa bahan kimia. Proyek ini juga meningkatkan rekreasi dan kesehatan masyarakat, serta menjadi habitat baru bagi satwa liar1.

C. Pengelolaan Lumpur di Panama City

Program Sanitasi Panama yang didukung CAF (investasi USD 700 juta) mencakup pembangunan WWTP Juan Diaz berkapasitas 5,5 m³/detik untuk 700.000 penduduk. Teknologi thermal hydrolysis yang digunakan mampu mengurangi volume lumpur, meningkatkan produksi biogas, dan menghasilkan pupuk steril. Model ekonomi sirkular ini menghemat energi 3–5 kali lipat, mengurangi polusi, dan membuka peluang penggunaan limbah sebagai sumber energi dan pupuk1.

D. Irigasi Keluarga Berbasis Teknologi di Bolivia

Program MI RIEGO I dan II di Bolivia memperluas akses irigasi keluarga, meningkatkan pendapatan petani kecil, dan memperkuat ketahanan pangan. Dengan dukungan CAF, efisiensi irigasi meningkat, konflik air berkurang, dan kapasitas kelembagaan petani diperkuat. Program ini juga menonjolkan pelatihan gender dan perlindungan mikro-DAS, serta mendorong pertukaran pengetahuan lintas negara1.

Strategi CAF 2023–2026: Pilar, Target, dan Inovasi

Empat Pilar Strategis

  1. Penguatan IWRM dan Tata Kelola
    • Membentuk dan memperkuat organisasi DAS, memperbaiki koordinasi lintas sektor, dan mendorong kebijakan berbasis data.
    • Mendukung pengelolaan air lintas negara, termasuk perjanjian di DAS Amazon, La Plata, Titicaca, dan Merín Lagoon.
  2. Akses Aman Air dan Sanitasi
    • Meningkatkan investasi dan perencanaan, memperluas cakupan ke daerah peri-urban dan pedesaan.
    • Mendorong digitalisasi operator air, efisiensi energi, dan penguatan kelembagaan.
  3. Pengurangan Polusi dan Ekonomi Sirkular
    • Meningkatkan cakupan pengolahan limbah, mendorong daur ulang, dan memperkuat regulasi serta partisipasi swasta.
    • Mengembangkan teknologi pengolahan limbah yang hemat energi dan ramah lingkungan.
  4. Pengembangan Irigasi untuk Ketahanan Pangan
    • Memperluas dan merehabilitasi irigasi keluarga dan intensif, dengan prinsip keberlanjutan dan adaptasi iklim.
    • Mendorong inovasi teknologi (sprinkler, drip, deficit irrigation), pelatihan petani, dan pembiayaan inklusif.

Target dan Komitmen Finansial

  • CAF menargetkan 40% portofolio pembiayaan pada 2026 adalah proyek “hijau”.
  • Komitmen investasi USD 4 miliar untuk air pada 2023–2026, naik 67% dari rata-rata dekade sebelumnya.
  • Total aset CAF hingga 2022 mencapai USD 49 miliar, dengan tambahan modal USD 7 miliar untuk mendukung ekspansi portofolio hijau1.

Pendekatan Holistik dan Inklusif

CAF menekankan pendekatan DAS (watershed-based), integrasi lintas sektor (kesehatan, pendidikan, gender, ekonomi kreatif), serta pelibatan masyarakat lokal dan kelompok rentan (perempuan, masyarakat adat, Afro-descendant). Strategi ini juga mendorong tata kelola multi-level, digitalisasi, dan inovasi pendanaan (PPP, blended finance, climate funds)1.

Kritik, Opini, dan Perbandingan

Nilai Tambah dan Inovasi

  • CAF mengadopsi pendekatan holistik dan berbasis ekosistem, mengintegrasikan air dengan agenda iklim, ekonomi, dan sosial.
  • Studi kasus nyata dan target investasi konkret memperkuat kredibilitas strategi.
  • Penekanan pada solusi berbasis alam dan ekonomi sirkular selaras dengan tren global green growth.

Kritik dan Tantangan

  • Fragmentasi kelembagaan dan lemahnya kapasitas daerah masih menjadi hambatan utama implementasi.
  • Ketimpangan data dan minimnya pelaporan di negara-negara kecil dan miskin memperlambat perencanaan berbasis bukti.
  • Tantangan pembiayaan dan keberlanjutan operasional masih besar, terutama di sektor sanitasi dan pengelolaan limbah.

Perbandingan dengan Studi Lain

  • Sejalan dengan laporan World Bank, UN Water, dan OECD, CAF menegaskan pentingnya investasi infrastruktur, tata kelola adaptif, dan inovasi teknologi.
  • Namun, CAF lebih progresif dalam target “green financing” dan integrasi lintas agenda pembangunan.

Relevansi Industri dan Masa Depan

Tren dan Peluang

  • Urbanisasi dan perubahan iklim akan meningkatkan kebutuhan inovasi pengelolaan air di kota-kota besar.
  • Industri air dan sanitasi di LAC akan menjadi pasar utama untuk investasi hijau, teknologi digital, dan ekonomi sirkular.
  • Kolaborasi lintas negara dan sektor (hydro-diplomacy, PPP, blended finance) kian penting untuk mengatasi krisis air lintas batas dan mempercepat pencapaian SDG 6.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Strategi Keamanan Air CAF 2023–2026 adalah peta jalan ambisius dan komprehensif untuk menjawab tantangan air di Amerika Latin dan Karibia. Dengan pilar IWRM, akses air dan sanitasi, pengurangan polusi, dan pengembangan irigasi, CAF menempatkan air sebagai penggerak utama pembangunan berkelanjutan, ketahanan pangan, dan adaptasi iklim. Implementasi strategi ini membutuhkan komitmen politik, inovasi pembiayaan, penguatan kelembagaan, dan pelibatan masyarakat secara inklusif.

Rekomendasi utama:

  • Percepat reformasi kelembagaan dan digitalisasi tata kelola air.
  • Tingkatkan investasi pada solusi berbasis alam dan infrastruktur hijau.
  • Perkuat kolaborasi lintas negara dan sektor, khususnya di DAS lintas batas.
  • Fokus pada inklusi sosial, gender, dan penguatan kapasitas daerah.
  • Kembangkan model pendanaan inovatif untuk memperluas dampak dan keberlanjutan.

Dengan strategi ini, LAC berpeluang menjadi pionir pengelolaan air yang adil, inklusif, dan berkelanjutan di era perubahan iklim.

Sumber Artikel Asli

Franz Rojas Ortuste, Carlos Orellana, Agustín Alonso, dkk. “2023–2026 Water Security Strategy.” CAF – Banco de Desarrollo de América Latina y el Caribe, 2023.

Selengkapnya
Strategi Keamanan Air 2023–2026 CAF – Menjawab Tantangan Air di Amerika Latin dan Karibia

Krisis Air

Krisis Air Tawar dalam Pertanian – Ancaman Terbesar bagi Ketahanan Pangan Global

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 24 Juni 2025


Air tawar adalah sumber daya abiotik yang tak tergantikan bagi kehidupan manusia, ekosistem, dan proses produksi pangan. Namun, dengan pertumbuhan penduduk, urbanisasi, perubahan pola konsumsi, dan ekspansi pertanian irigasi, tekanan terhadap ketersediaan air tawar meningkat drastis. Paper “Water Scarcity in Agriculture: The Greatest Threat to Global Food Security” karya Tom Tabler dan Joseph Chibanga (2024) membedah secara komprehensif keterkaitan antara kelangkaan air, produksi pangan, dan ancaman terhadap ketahanan pangan dunia. Artikel ini sangat relevan di tengah krisis iklim, inflasi pangan, dan meningkatnya persaingan antar sektor ekonomi dalam memperebutkan air.

Skala Krisis Air Global: Data dan Tren Utama

Pertumbuhan Permintaan dan Penurunan Ketersediaan

  • Penarikan air tahunan dunia telah melampaui 4 triliun m³, didorong oleh pertumbuhan penduduk, peningkatan standar hidup, dan ekspansi pertanian irigasi.
  • Pertanian menyerap sekitar 70% dari total penarikan air tawar global, jauh di atas sektor industri (22%) dan domestik (8%).
  • Permintaan air untuk produksi pangan, pakan ternak, dan kebutuhan industri terus meningkat, menyebabkan overdraft air tanah di seluruh dunia, terutama di wilayah yang kekurangan air permukaan.

Angka-angka Kunci Krisis Air

  • 2,4 miliar orang hidup di negara-negara dengan tekanan air tinggi.
  • Lebih dari 25% populasi dunia dan 40% produksi pertanian global sangat bergantung pada ekstraksi air tanah yang tidak berkelanjutan.
  • Persediaan air tawar per kapita turun 20% dalam dua dekade terakhir.
  • Hanya 0,5% air dunia yang benar-benar dapat dimanfaatkan manusia, sisanya terperangkap di es, atmosfer, atau terlalu dalam di bawah permukaan bumi.

Studi Kasus: Dampak Krisis Air di Berbagai Wilayah

Amerika Serikat

  • Pada 2015, sektor pertanian AS berkontribusi US$136,7 miliar ke ekonomi nasional dan menyediakan 2,6 miliar lapangan kerja.
  • Namun, kekeringan dan kelangkaan air menyebabkan penurunan produksi, kerusakan properti, hingga kematian ternak.
  • Drought menjadi bencana lingkungan ketiga termahal di AS sejak 1980, setelah topan dan badai hebat.

Deplesi Akuifer

  • Akuifer Ogallala di Great Plains dan Mississippi River Valley Alluvial Aquifer di AS mengalami penurunan muka air akibat ekstraksi berlebih yang melebihi tingkat pengisian alami.
  • Secara global, akuifer menyediakan sepertiga dari total air yang digunakan dan setengah dari kebutuhan irigasi, namun banyak yang mengalami eksploitasi berlebihan.

Sub-Sahara Afrika

  • Wilayah ini menghadapi kelangkaan air ekonomi, bukan hanya fisik. Kurangnya infrastruktur dan investasi dalam irigasi menyebabkan rendahnya produktivitas pertanian dan tingginya tingkat kemiskinan.
  • Pemerintah kerap gagal memelihara sistem irigasi, sehingga kinerja menurun dan perlu rehabilitasi besar-besaran.

Dampak Krisis Air terhadap Ketahanan Pangan

Ketergantungan Produksi Pangan pada Air

  • Tanpa air, tidak ada pangan; tanpa pangan, tidak ada manusia.
  • Food security didefinisikan sebagai ketersediaan, akses, pemanfaatan, dan stabilitas pangan yang cukup, aman, dan bergizi bagi semua orang setiap saat.
  • Kelangkaan air tidak hanya memengaruhi kuantitas, tapi juga kualitas, keragaman, dan ketersediaan musiman pangan.

Data Ketahanan Pangan Global

  • Pada 2022, 1,3 miliar orang diperkirakan mengalami kerawanan pangan, naik 118,7 juta dari tahun sebelumnya.
  • Sub-Sahara Afrika menjadi wilayah paling rentan, dengan 51% penduduknya mengalami kerawanan pangan akibat inflasi harga pangan dan kelangkaan air.

Dampak pada Produksi dan Konsumsi

  • Krisis air menyebabkan penurunan produksi, perubahan pola tanam, dan pergeseran konsumsi ke pangan yang lebih sedikit membutuhkan air, namun seringkali kurang bergizi.
  • Bencana kekeringan di negara produsen biji-bijian utama dapat memicu kekurangan pangan global dan lonjakan harga.

Jejak Air dalam Produksi Pangan: Studi Kasus Komoditas

Water Footprint Berbagai Produk

  • Daging sapi: 15.415 liter air/kg
  • Daging ayam: 4.325 liter air/kg
  • Telur: 3.265 liter air/kg
  • Padi-padian: 1.644 liter air/kg
  • Sayuran: 322 liter air/kg

Poultry (ayam) memiliki jejak air terendah di antara daging merah, menjadikannya sumber protein hewani yang relatif efisien dalam penggunaan air.

Poultry Industry: Efisiensi dan Tantangan

  • Industri unggas global menyumbang 35% dari produksi protein hewani dunia.
  • Produksi ayam broiler dan telur sangat efisien dalam penggunaan air, baik untuk pakan (jagung, kedelai), minum, pendinginan, maupun pemrosesan.
  • Sebuah pabrik pengolahan ayam berkapasitas 250.000 ekor/hari dapat mengonsumsi 3,8–7,6 juta liter air per hari.

Inovasi Penghematan Air di Industri Unggas

  • Sprinkler cooling system: Menghemat 60–70% air dibanding sistem pendingin konvensional, tanpa menurunkan performa ayam.
  • Penggunaan ulang air: Air dari proses scalding dan chilling dapat digunakan kembali untuk membersihkan limbah dan peralatan.
  • Teknologi stunning kering/gas: Mengurangi kebutuhan air pada proses pemingsanan dan pemrosesan.

Dampak Perubahan Iklim terhadap Produksi Pangan

Simulasi Produksi Tanaman di AS (2040–2080)

  • Proyeksi penurunan hasil panen akibat perubahan iklim:
    • Jagung: -8,7% (2040) hingga -16,2% (2080)
    • Kedelai: -8,8% hingga -14,3%
    • Padi: -2,5% hingga -6,8%
    • Gandum: justru naik 1,3% hingga 11,6% (karena toleransi terhadap suhu tinggi)
  • Variabilitas curah hujan, suhu ekstrem, dan kekeringan akan memperburuk ketidakpastian produksi pangan, terutama di wilayah irigasi.

Dampak pada Peternakan

  • Stres panas menurunkan produktivitas unggas dan ternak, meningkatkan kebutuhan air untuk pendinginan kandang.
  • Perubahan pola konsumsi air pada ayam broiler: 140,33 liter/1.000 ekor (1991) menjadi 190,48 liter/1.000 ekor (2010–2011) seiring peningkatan performa dan suhu lingkungan.

Food Waste dan Jejak Air

Skala dan Penyebab Food Waste

  • 30–50% pangan dunia hilang atau terbuang sia-sia.
  • Air yang digunakan untuk memproduksi pangan yang terbuang mencapai 24% dari total air yang digunakan untuk produksi pangan global.
  • Di negara berpenghasilan rendah, food waste terjadi di tingkat produksi dan distribusi; di negara maju, lebih banyak di tingkat konsumen (retail, rumah tangga).

Dampak Food Waste terhadap Krisis Air

  • Setiap kilogram daging atau sayuran yang terbuang berarti ribuan liter air juga terbuang sia-sia.
  • Mengurangi food waste adalah strategi penting untuk menghemat air dan memperbaiki ketahanan pangan global.

Persaingan Antar Sektor dan Solusi Tata Kelola

Kompetisi Air: Pertanian vs. Sektor Lain

  • Diperkirakan 25–40% air harus dialokasikan ulang dari pertanian ke sektor dengan produktivitas ekonomi lebih tinggi, terutama di wilayah kekurangan air.
  • Namun, pengurangan air untuk pertanian berisiko menurunkan produksi pangan dan memperburuk kerawanan pangan.

Water Markets dan Efisiensi

  • Pasar air (water markets) dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air di pertanian, memungkinkan transfer air ke pengguna yang lebih produktif.
  • Namun, implementasi pasar air memerlukan regulasi yang adil agar tidak merugikan petani kecil dan kelompok rentan.

Pentingnya Tata Kelola dan Inovasi

  • Negara-negara yang berhasil mengelola air pertanian umumnya memiliki infrastruktur irigasi yang baik, sistem pengelolaan terpadu, dan investasi dalam teknologi hemat air.
  • Institusi yang lemah, regulasi yang buruk, dan kurangnya partisipasi masyarakat menyebabkan kegagalan pengelolaan air, terutama di negara berkembang.

Opini, Kritik, dan Perbandingan dengan Studi Lain

Nilai Tambah Artikel

  • Artikel ini menyoroti secara tajam hubungan antara krisis air, produksi pangan, dan ketahanan pangan global, dengan dukungan data dan studi kasus nyata.
  • Penekanan pada efisiensi industri unggas sebagai solusi pragmatis untuk penyediaan protein di tengah krisis air sangat relevan dengan tren konsumsi global.

Kritik dan Keterbatasan

  • Paper ini kurang membahas solusi berbasis ekosistem (nature-based solutions) seperti konservasi lahan basah, agroforestry, dan pengelolaan DAS.
  • Isu keadilan akses air dan dampak sosial dari alokasi ulang air belum dieksplorasi secara mendalam.
  • Peran teknologi digital (IoT, big data) dalam manajemen air pertanian masih minim dibahas, padahal potensial untuk meningkatkan efisiensi.

Perbandingan dengan Penelitian Lain

  • Mekonnen dan Hoekstra (2012) juga menyoroti besarnya jejak air produk hewani, namun artikel ini menambahkan perspektif industri unggas sebagai solusi efisien.
  • Laporan FAO (2020) dan World Bank (2022) menegaskan urgensi investasi infrastruktur air dan inovasi teknologi untuk mengatasi krisis air dan pangan.

Relevansi Industri dan Tren Masa Depan

Tren Industri

  • Dekarbonisasi dan Efisiensi Air: Industri pangan dan peternakan semakin terdorong untuk mengadopsi teknologi hemat air dan mengurangi jejak karbon.
  • Diversifikasi Sumber Protein: Konsumsi protein hewani beralih ke unggas dan telur yang lebih efisien dalam penggunaan air.
  • Blended Finance dan Investasi Infrastruktur: Kolaborasi pemerintah, swasta, dan donor internasional untuk membiayai infrastruktur air dan irigasi.

Peluang dan Tantangan

  • Peluang: Inovasi teknologi, pengelolaan air terpadu, dan pengurangan food waste dapat memperkuat ketahanan pangan.
  • Tantangan: Kesenjangan kapasitas, pendanaan, dan tata kelola di negara berkembang menjadi hambatan utama.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Air tawar adalah fondasi ketahanan pangan global. Krisis air yang semakin parah akibat pertumbuhan penduduk, perubahan iklim, dan tata kelola yang lemah mengancam produksi pangan dunia, terutama di sektor pertanian yang paling boros air. Industri unggas, dengan efisiensi penggunaan airnya, dapat menjadi bagian solusi, namun hanya jika didukung inovasi, investasi, dan tata kelola yang adil.

Rekomendasi utama:

  • Investasi besar dalam infrastruktur irigasi, teknologi hemat air, dan inovasi pengelolaan air.
  • Pengurangan food waste di seluruh rantai pasok pangan.
  • Penguatan tata kelola dan regulasi air berbasis keadilan dan keberlanjutan.
  • Diversifikasi sumber protein ke produk yang lebih efisien dalam penggunaan air.
  • Kolaborasi lintas sektor dan negara untuk mengatasi krisis air dan pangan secara terpadu.

Tanpa aksi nyata, krisis air akan menjadi penghambat utama tercapainya ketahanan pangan global di masa depan.

Sumber Artikel 

Tom Tabler, Joseph Chibanga. “Water Scarcity in Agriculture: The Greatest Threat to Global Food Security.” University of Tennessee, W 1252, 2024.

Selengkapnya
Krisis Air Tawar dalam Pertanian – Ancaman Terbesar bagi Ketahanan Pangan Global

Krisis Air

Laporan Pembangunan Air Dunia PBB 2023 – Kemitraan dan Kerja Sama untuk Air

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 24 Juni 2025


Air, SDG 6, dan Krisis Global

Air adalah sumber kehidupan yang menopang kesehatan, ketahanan, dan kemakmuran manusia serta planet. Namun, dunia saat ini menghadapi krisis air yang semakin mendalam akibat konsumsi berlebihan, polusi, perubahan iklim, dan tata kelola yang lemah. Laporan “The United Nations World Water Development Report 2023: Partnerships and Cooperation for Water” yang diterbitkan UNESCO atas nama UN-Water, menjadi dokumen kunci dalam memahami tantangan dan peluang mempercepat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 6: air bersih dan sanitasi untuk semua.

Laporan ini menyoroti bahwa kemitraan dan kerja sama lintas sektor, wilayah, dan aktor adalah kunci untuk mengatasi tantangan air dunia. Dengan pendekatan yang inklusif, laporan ini menampilkan studi kasus, data global, dan strategi inovatif yang relevan dengan tren industri, kebijakan, dan kebutuhan masyarakat saat ini.

Gambaran Global: Permintaan, Ketersediaan, dan Kualitas Air

Pertumbuhan Permintaan dan Ketimpangan Regional

Selama 40 tahun terakhir, penggunaan air global meningkat sekitar 1% per tahun dan diprediksi akan terus tumbuh hingga 2050, didorong pertumbuhan penduduk, perkembangan ekonomi, dan perubahan pola konsumsi. Mayoritas peningkatan terjadi di negara berpendapatan menengah dan rendah, khususnya di ekonomi berkembang. Sektor pertanian masih menjadi pengguna terbesar (72% dari total penarikan air), diikuti oleh industri dan domestik. Namun, tren regional sangat bervariasi: di Eropa, industri menyerap 45% air, sementara di Asia Selatan, pertanian mencapai 91%1.

Ketersediaan Air dan Stres Air

Ketersediaan air per kapita menurun di semua wilayah dunia akibat pertumbuhan penduduk. Antara tahun 2000–2018, penurunan terbesar terjadi di Afrika Sub-Sahara (41%), Asia Tengah (30%), dan Asia Barat (29%). Stres air fisik—rasio penggunaan terhadap ketersediaan—menjadi endemik di banyak wilayah. Pada 2018, 18,4% sumber air tawar global telah diambil, namun angka ini menutupi masalah lokal: Asia Tengah dan Selatan serta Afrika Utara mengalami tingkat stres air di atas 25%, bahkan mencapai kategori kritis di beberapa negara1.

Kualitas Air dan Tantangan Polusi

Kualitas air menurun akibat limbah domestik yang tidak terolah, limpasan pertanian, dan limbah industri. Pada 2020, sekitar 44% limbah domestik dunia tidak diolah dengan aman sebelum dibuang ke lingkungan. Hanya sekitar 60% badan air yang dilaporkan memiliki kualitas baik, dengan data global sangat bias ke negara berpendapatan tinggi. Negara-negara miskin sangat kurang terwakili dalam pelaporan kualitas air, sehingga risiko polusi dan penyakit tetap tinggi1.

Ekosistem Air dan Bencana

Sekitar 80% lahan rawa alami hilang sejak era pra-industri, dan 85% permukaan lahan telah berubah akibat aktivitas manusia. Banjir dan kekeringan menjadi bencana paling mematikan dan merugikan secara ekonomi: antara 2000–2019, banjir menyebabkan kerugian US$650 miliar dan menewaskan lebih dari 100.000 orang, sementara kekeringan memengaruhi 1,43 miliar orang dengan kerugian US$130 miliar1.

Kemajuan Menuju SDG 6: Realitas dan Tantangan

Capaian dan Kesenjangan

  • Akses Air Minum Aman: Pada 2020, 2 miliar orang (26% populasi dunia) belum memiliki akses air minum yang dikelola dengan aman.
  • Sanitasi: 3,6 miliar orang (46%) belum memiliki akses sanitasi yang layak, dan 494 juta masih melakukan buang air besar sembarangan.
  • Higiene: 2,3 miliar orang (29%) kekurangan fasilitas cuci tangan dasar.
  • Pengelolaan Limbah: 44% limbah domestik tidak diolah dengan aman.
  • Efisiensi Penggunaan Air: Efisiensi meningkat 9% antara 2015–2018, terutama di sektor industri (15%), namun pertanian masih rendah (0,60 US$/m³).
  • Stres Air: 10% populasi dunia hidup di negara dengan stres air tinggi atau kritis.
  • Kerja Sama Transboundary: Hanya 58% wilayah cekungan lintas batas yang memiliki pengaturan kerja sama operasional1.

Stagnasi dan Perluasan Gap

Laju pencapaian SDG 6 sangat lambat. Untuk mencapai target 2030, laju peningkatan akses air dan sanitasi harus dikalikan empat. Negara-negara termiskin dan wilayah konflik menghadapi tantangan paling berat, terutama dalam memperluas layanan ke daerah pedesaan dan populasi rentan1.

Kemitraan dan Kerja Sama: Kunci Percepatan SDG 6

Jenis Kemitraan

  1. Kemitraan Tujuan Bersama: Misal, penyediaan air dan sanitasi untuk komunitas lokal melalui asosiasi pengguna air atau pengelolaan sistem irigasi bersama.
  2. Kemitraan Tujuan Berbeda: Misal, negosiasi antara pemerintah kota dan petani dalam alokasi air, atau skema pembayaran jasa lingkungan.
  3. Kemitraan Lintas Sektor: Kolaborasi dengan sektor kesehatan, pendidikan, atau perubahan iklim di mana air menjadi faktor penentu, meski bukan tujuan utama1.

Studi Kasus dan Praktik Terbaik

  • Water User Associations (WUAs): Di banyak negara, WUA efektif jika berskala kecil, demokratis, dan didukung LSM lokal. Namun, kegagalan terjadi jika peran tidak jelas, partisipasi perempuan rendah, atau terlalu banyak campur tangan pemerintah pusat.
  • Realokasi Air dari Pertanian ke Kota: Di kota-kota besar, realokasi air dari pertanian menjadi strategi umum. Namun, petani sering mengalami penurunan pendapatan dan ketahanan pangan, kecuali ada kompensasi atau skema benefit-sharing.
  • Water Funds: Di Amerika Latin, water funds mengumpulkan dana dari kota, bisnis, dan utilitas untuk investasi perlindungan hulu sungai, meningkatkan kualitas dan kuantitas air bagi pengguna hilir.
  • Water Operators’ Partnerships (WOPs): Kolaborasi antara utilitas air mapan dan yang kurang berkembang terbukti meningkatkan kapasitas dan akses pembiayaan untuk infrastruktur, misalnya di Ghana dan Guatemala.
  • Kolaborasi Industri: Perusahaan besar membentuk koalisi seperti Water Resilience Coalition untuk menurunkan jejak air dan polusi, termasuk inisiatif Google dalam prediksi banjir.
  • WASH dan Kesehatan: Kemitraan antara sektor kesehatan dan air, seperti dalam program eradikasi polio, memanfaatkan data limbah untuk pemantauan penyakit1.

Tantangan Regional: Perspektif Global

Afrika Sub-Sahara

Kekurangan infrastruktur, data, dan kapasitas memperberat tantangan air. Kemitraan komunitas-publik (CPPs) antara utilitas dan komunitas berhasil meningkatkan layanan dan berbagi pengetahuan. Namun, kerja sama lintas negara di cekungan sungai dan akuifer tetap lemah dan perlu diperkuat1.

Asia dan Pasifik

Pertumbuhan ekonomi dan urbanisasi meningkatkan permintaan air, namun ketimpangan akses sangat nyata, terutama bagi perempuan yang sering terpinggirkan dalam pengambilan keputusan. Kerja sama lintas batas dan pengelolaan polusi menjadi tantangan utama1.

Eropa dan Amerika Utara

Kerja sama lintas batas sudah mapan, seperti Komisi Bersama Internasional (IJC) antara Kanada-AS. Partisipasi pemangku kepentingan dan transparansi menjadi prioritas, meski tantangan tetap ada dalam harmonisasi kebijakan dan pelibatan masyarakat1.

Amerika Latin dan Karibia

Kemitraan lokal fokus pada penyediaan air minum dan sanitasi di pedesaan serta kelompok produsen pertanian. Organisasi pengelola DAS sudah lama berdiri, namun sering terkendala kapasitas teknis dan pendanaan1.

Kawasan Arab

Keterbatasan air permukaan, ketergantungan pada sumber lintas batas, dan tekanan pertanian menuntut kerja sama regional. Meskipun ada hambatan politik dan finansial, beberapa inisiatif kolaboratif telah berhasil membangun kepercayaan dan berbagi data1.

Akselerator SDG 6: Pendidikan, Data, Inovasi, Pendanaan, dan Tata Kelola

Pendidikan dan Pengembangan Kapasitas

Kemitraan dalam pendidikan dan pelatihan—termasuk komunitas praktik, citizen science, dan pembelajaran seumur hidup—menjadi kunci adopsi praktik pengelolaan air yang lebih berkelanjutan dan inklusif. Proyek citizen science meningkatkan kesadaran publik dan transparansi, misal dalam pemantauan polusi lokal1.

Data dan Informasi

Kekurangan data menjadi penghambat utama. Kemitraan antara pemerintah, akademisi, dan sektor swasta diperlukan untuk menghasilkan, membagi, dan mengelola data air yang relevan. Monitoring bersama sumber air lintas batas memperkuat pemahaman sistem dan membangun kepercayaan1.

Inovasi

Kolaborasi antara universitas, inkubator bisnis, dan perusahaan teknologi mempercepat adopsi teknologi baru dalam pengolahan, distribusi, dan pemantauan air. Namun, inovasi harus inklusif agar tidak memperlebar kesenjangan digital dan sosial1.

Pendanaan

Diperlukan peningkatan investasi tiga kali lipat untuk mencapai akses air minum aman pada 2030. Skema blended finance dan water funds mendorong kolaborasi multi-pihak, memperluas sumber pendanaan, dan membagi risiko investasi1.

Tata Kelola: Pendekatan Whole-of-Society

Tata kelola air yang baik menuntut partisipasi inklusif, transparansi, dan integrasi lintas sektor. Kemitraan publik-swasta (PPP) sukses jika didukung kerangka hukum yang jelas dan stabil. Mengatasi korupsi dan membangun kepercayaan menjadi fondasi utama keberhasilan tata kelola air1.

Kritik, Opini, dan Perbandingan dengan Studi Lain

Nilai Tambah Laporan

Laporan ini sangat komprehensif, menampilkan data lintas sektor, studi kasus nyata, dan solusi inovatif. Penekanannya pada kemitraan lintas sektor dan wilayah sangat relevan dengan kompleksitas tantangan air saat ini. Laporan ini juga menyoroti pentingnya pelibatan masyarakat, gender, dan kelompok rentan dalam tata kelola air.

Kritik dan Keterbatasan

  • Keterbatasan Data: Banyak negara miskin kurang terwakili dalam data global, sehingga tantangan mereka kurang terekspos.
  • Implementasi di Lapangan: Meski banyak contoh kemitraan sukses, adopsi praktik terbaik masih terbatas oleh kapasitas, pendanaan, dan hambatan politik.
  • Keterlibatan Sektor Swasta: Peran sektor swasta dalam tata kelola air masih kontroversial, terutama terkait hak atas air dan keadilan akses.

Perbandingan dengan Studi Lain

Temuan laporan ini sejalan dengan riset Bank Dunia dan WHO yang menyoroti perlunya investasi besar, inovasi tata kelola, dan kemitraan lintas sektor untuk mengatasi krisis air global. Namun, laporan ini lebih menekankan pada peran kemitraan sebagai katalis perubahan, bukan sekadar pelengkap kebijakan1.

Relevansi Industri dan Tren Masa Depan

Tren Industri

  • Water Stewardship: Perusahaan global semakin sadar akan risiko air dan membangun kemitraan untuk mengurangi jejak air dan polusi.
  • Smart Water Management: Adopsi teknologi digital untuk pemantauan air, prediksi banjir, dan efisiensi distribusi semakin meluas.
  • Blended Finance: Model pendanaan baru yang melibatkan pemerintah, swasta, dan donor internasional menjadi tren utama.

Peluang dan Tantangan

  • Peluang: Kemitraan lintas sektor membuka jalan bagi inovasi, efisiensi, dan pembiayaan baru.
  • Tantangan: Kesenjangan kapasitas, data, dan pendanaan tetap menjadi hambatan utama, terutama di negara berkembang.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Laporan ini menegaskan bahwa tanpa kemitraan dan kerja sama yang kuat, dunia tidak akan mampu mencapai SDG 6 dan tujuan pembangunan lainnya. Setiap pihak—pemerintah, swasta, masyarakat sipil, akademisi, dan komunitas lokal—memiliki peran penting dalam membangun tata kelola air yang adil, inklusif, dan berkelanjutan.

Rekomendasi utama:

  • Perkuat kemitraan lintas sektor dan wilayah, khususnya di daerah rawan air.
  • Tingkatkan investasi di pendidikan, data, inovasi, dan infrastruktur air.
  • Dorong tata kelola yang inklusif, transparan, dan berbasis hak asasi manusia.
  • Libatkan komunitas lokal dan kelompok rentan dalam pengambilan keputusan.
  • Kembangkan model pendanaan inovatif untuk mempercepat pencapaian SDG 6.

Dengan kolaborasi nyata, inovasi, dan komitmen politik, air dapat menjadi sumber perdamaian, kesejahteraan, dan keberlanjutan bagi generasi mendatang.

Sumber Artikel 

United Nations, The United Nations World Water Development Report 2023: Partnerships and Cooperation for Water. UNESCO, Paris.

Selengkapnya
Laporan Pembangunan Air Dunia PBB 2023 – Kemitraan dan Kerja Sama untuk Air

Logistik Cerdas

Persepsi Pelanggan terhadap Kualitas Layanan Logistik Last-Mile: Implikasi untuk Kepuasan dan Loyalitas

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 24 Juni 2025


Pendahuluan

Tesis master berjudul "Last-Mile Delivery: Logistics Service Quality, Perceived Value, Satisfaction, and Loyalty" oleh Trinh Ngoc Anh dari Lund University (2019) membahas tentang persepsi pelanggan terhadap kualitas layanan logistik last-mile dan dampaknya pada perceived value, kepuasan pelanggan, dan loyalitas. Tesis ini bertujuan untuk menguji hubungan antara kualitas layanan logistik, perceived value, kepuasan pelanggan, dan loyalitas dalam konteks pengiriman last-mile, yang semakin penting dalam era e-commerce.

Latar Belakang dan Motivasi

Pertumbuhan e-commerce telah meningkatkan jumlah pengiriman langsung ke pelanggan, membuat last-mile delivery menjadi bagian yang paling mahal, tidak efisien, dan mencemari dari rantai pasok. Penelitian ini menyoroti pentingnya memahami perspektif pelanggan dalam mengevaluasi kinerja layanan last-mile. Kualitas layanan telah lama menjadi isu penting untuk kesuksesan bisnis, terutama dengan munculnya e-commerce. Berbagai model kualitas layanan telah dikembangkan, dan industri ritel global telah mengalami revolusi dalam rantai pasok, dari order fulfillment hingga last-mile, untuk memberikan layanan terbaik kepada pelanggan.

Tujuan Penelitian

Tujuan utama dari tesis ini adalah:

  1. Menguji pengaruh kualitas layanan logistik terhadap perceived value dalam konteks last-mile delivery.
  2. Menganalisis pengaruh monetary dan non-monetary sacrifices terhadap perceived value.
  3. Menyelidiki peran kepuasan pelanggan sebagai mediator antara perceived value dan loyalitas pelanggan.

Metodologi Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan melakukan survei online dan mengumpulkan 210 respons valid dari dua platform online yang berbeda. Data dianalisis menggunakan teknik Partial Least Squares Structural Equation Modeling (PLS-SEM).

Kerangka Teoretis

Tesis ini membahas beberapa konsep kunci, termasuk:

  • Last-Mile Delivery: Tahap terakhir dari proses pengiriman, dari pusat distribusi ke tangan pelanggan.
  • Logistics Service Quality (LSQ): Kualitas layanan logistik yang mencakup dimensi seperti ketepatan waktu (timeliness), kondisi barang (condition), dan kemudahan (convenience).
  • Perceived Value: Persepsi pelanggan tentang nilai yang mereka terima dari suatu layanan, diukur sebagai trade-off antara manfaat (benefits) dan pengorbanan (sacrifices).
  • Customer Satisfaction: Tingkat kepuasan pelanggan terhadap layanan yang mereka terima.
  • Customer Loyalty: Kecenderungan pelanggan untuk terus menggunakan layanan tersebut di masa depan.

Hasil dan Diskusi

Temuan Utama

  • Kualitas layanan logistik terbukti menjadi pendorong utama bagi perceived value, dengan ketepatan waktu (timeliness) memiliki pengaruh terkuat.
  • Sacrifices (monetary dan non-monetary) tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap perceived value dalam konteks layanan last-mile delivery.
  • Kepuasan pelanggan berperan sebagai mediator parsial komplementer dalam hubungan antara perceived value dan loyalitas.

Studi Kasus dan Angka

Meskipun tesis ini tidak menyajikan studi kasus spesifik, ia merujuk pada penelitian sebelumnya yang menyoroti pentingnya kualitas layanan dalam e-commerce. Misalnya, pangsa pasar e-commerce terus berkembang di seluruh dunia, dan pengecer bersaing semakin ketat dengan menerapkan berbagai strategi operasional untuk melayani permintaan pelanggan yang meningkat.

Implikasi Praktis

  • Manajer logistik dapat menggunakan hasil penelitian ini untuk memahami aspek mana yang paling dihargai pelanggan dalam layanan mereka.
  • Tidak hanya atribut layanan yang perlu ditingkatkan, tetapi kepuasan pelanggan juga harus dipertimbangkan untuk mempertahankan loyalitas pelanggan.

Kesimpulan

Tesis ini menyimpulkan bahwa kualitas layanan logistik, terutama ketepatan waktu, adalah faktor kunci dalam membentuk perceived value dalam konteks last-mile delivery. Kepuasan pelanggan memainkan peran penting dalam memediasi hubungan antara perceived value dan loyalitas.

Keterbatasan dan Penelitian Masa Depan

Tesis ini mengakui beberapa keterbatasan, termasuk fokus pada persepsi pelanggan dan kurangnya data empiris tentang biaya dan efisiensi operasional. Penelitian masa depan dapat fokus pada:

  • Membandingkan dampak dari berbagai strategi last-mile delivery (misalnya, pengiriman ke rumah vs. collection point) pada perceived value dan loyalitas.
  • Menyelidiki peran faktor situasional (misalnya, jenis produk, urgensi pengiriman) dalam memoderasi hubungan antara kualitas layanan logistik dan perceived value.
  • Mengkaji dampak keberlanjutan (sustainability) dari praktik last-mile delivery pada perceived value dan loyalitas pelanggan.

Sumber : Trinh Ngoc Anh. (2019). Last-Mile Delivery: Logistics Service Quality, Perceived Value, Satisfaction, and Loyalty. Master’s Thesis, Lund University.

 

Selengkapnya
Persepsi Pelanggan terhadap Kualitas Layanan Logistik Last-Mile: Implikasi untuk Kepuasan dan Loyalitas

Air Lintas Negara

Mendukung Pelibatan Masyarakat Adat dalam Kerjasama Air Lintas Batas

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 24 Juni 2025


Mengapa Suara Masyarakat Adat Penting dalam Diplomasi Air Lintas Batas?

Transboundary Water Cooperation (TWC) atau kerjasama air lintas batas menjadi isu strategis di dunia yang semakin terfragmentasi oleh perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, dan eksploitasi sumber daya. Namun, satu aktor kunci sering terpinggirkan: masyarakat adat. Paper SIWI (2024) ini menyoroti urgensi, tantangan, dan peluang memasukkan perspektif masyarakat adat dalam pengelolaan air lintas negara—bukan hanya sebagai “stakeholder”, melainkan sebagai pemilik hak, penentu kebijakan, dan penjaga ekosistem. Resensi ini mengulas secara kritis isi paper, memperkaya dengan studi kasus, angka-angka penting, serta membandingkan dengan tren global dan literatur mutakhir.

Transboundary Water Cooperation: Realitas dan Tantangan

Air lintas batas menyumbang 60% aliran air tawar dunia, melintasi 47% permukaan bumi, dan melibatkan lebih dari 150 negara serta 286 basin sungai danau serta 592 akuifer lintas negara. Namun, dua pertiga sungai lintas batas dunia belum memiliki kerangka kerjasama formal—padahal tekanan akibat perubahan iklim, polusi, dan perubahan tata guna lahan terus meningkat. Dalam konteks ini, masyarakat adat menghadapi tantangan ganda: mereka sangat tergantung pada ekosistem air, namun hak dan pengetahuannya sering diabaikan dalam perundingan lintas negara12.

Masyarakat Adat: Fakta, Peran, dan Hak

Masyarakat adat berjumlah sekitar 476,6 juta jiwa (6% populasi dunia), tersebar di 90 negara, berbicara lebih dari 4.000 bahasa, dan mengelola 38 juta km² wilayah tradisional (22% daratan dunia)12. Wilayah-wilayah ini mencakup sumber air penting, lahan basah, akuifer, serta “water towers” yang menopang siklus hidrologi global. Ironisnya, hanya 10% wilayah tradisional masyarakat adat yang diakui secara hukum, sementara 25% wilayah mereka berada di bawah tekanan industri ekstraktif, pertanian komersial, dan urbanisasi12.

Mengapa Inklusi Masyarakat Adat dalam TWC Penting?

1. Pengetahuan dan Tata Kelola Tradisional

Penelitian menunjukkan bahwa wilayah yang dikelola masyarakat adat memiliki tingkat biodiversitas dan kualitas ekosistem lebih tinggi dibanding wilayah sekitarnya. Di Amazon, misalnya, 80% biodiversitas dunia berada di tanah adat, meski mereka hanya 6% populasi global. Pengetahuan lokal tentang tata air, pemulihan ekosistem, dan keadilan restoratif menjadi aset penting dalam menghadapi krisis air dan lingkungan12.

2. Hak dan Keadilan

Deklarasi PBB tentang Hak Masyarakat Adat (UNDRIP, 2007) dan Konvensi ILO 169 menegaskan hak masyarakat adat atas tanah, air, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Namun, implementasi di tingkat nasional dan internasional masih lemah. Banyak proyek lintas negara—bendungan, irigasi, pertambangan—mengabaikan hak masyarakat adat, memicu konflik, dan memperparah ketidakadilan12.

3. Keragaman Nilai dan Tujuan

Masyarakat adat memandang air bukan sekadar komoditas ekonomi, melainkan bagian dari identitas, spiritualitas, dan relasi sosial. Jika nilai-nilai ini tidak diakui, kebijakan air akan bias pada kepentingan negara atau korporasi, mengorbankan keberlanjutan dan keadilan12.

Studi Kasus: Praktik, Tantangan, dan Peluang

1. Isleta Pueblo dan Sungai Rio Grande (AS-Meksiko)

Komunitas Isleta Pueblo di New Mexico menjadi suku pertama yang menetapkan standar air sendiri di bawah Clean Water Act AS, mengatur kualitas air dan limbah di Rio Grande. Hak ini diperkuat oleh putusan Mahkamah Agung AS (Winters v. United States, 1908) yang mengakui hak prioritas air bagi masyarakat adat. Namun, meski secara hukum diakui, partisipasi Isleta Pueblo dalam perjanjian lintas negara Rio Grande tetap terbatas. Mereka berhasil mengamankan hak atas kualitas air, tetapi belum menjadi aktor utama dalam pengambilan keputusan lintas batas12.

2. Mackenzie River Basin (Kanada)

Basin Mackenzie (1,8 juta km²) adalah ekosistem utuh terbesar di Amerika Utara, dihuni oleh sekitar 300.000 orang, 10% di antaranya masyarakat adat First Nations, Métis, dan Inuvialuit. Dewan Basin Mackenzie (MRBB) didirikan pada 1997, melibatkan pemerintah federal, provinsi, teritori, dan pemerintah adat. MRBB mengadopsi pendekatan “braided knowledge”—menggabungkan pengetahuan adat dan sains dalam monitoring dan evaluasi. Namun, partisipasi masyarakat adat masih terbatas: hanya satu perwakilan per yurisdiksi, dan pengambilan keputusan tetap didominasi pemerintah. Meski sudah ada kemajuan, fragmentasi tata kelola dan ketidakseimbangan kekuasaan masih menjadi tantangan utama12.

3. Amazon Basin (Amerika Selatan)

Basin Amazon (7,5 juta km², 8 negara, lebih dari 400 kelompok adat) adalah contoh penting peran masyarakat adat dalam menjaga ekosistem air global. Organisasi Perjanjian Kerjasama Amazon (OTCA) dan protokol strategisnya mengakui peran masyarakat adat sebagai penentu, bukan sekadar penerima manfaat. Namun, pelaksanaan di lapangan masih minim. Hanya sebagian kecil kelompok adat yang benar-benar terlibat dalam pengambilan keputusan. Pelanggaran hak, pembunuhan pembela lingkungan (358 kasus di 35 negara pada 2021, sepertiga di antaranya masyarakat adat), serta eksploitasi sumber daya terus terjadi. Amazon menjadi laboratorium penting: ketika masyarakat adat diberi ruang, ekosistem lebih terjaga; ketika diabaikan, kerusakan dan konflik meningkat12.

Angka-Angka Kunci dan Fakta Lapangan

  • 60% air tawar dunia lintas batas negara, namun dua pertiga basin belum punya kerangka kerjasama formal.
  • 476,6 juta masyarakat adat mengelola 38 juta km² wilayah tradisional, namun hanya 10% yang diakui hukum.
  • 80% biodiversitas global berada di tanah adat, padahal mereka hanya 6% populasi dunia.
  • 25% wilayah adat di bawah tekanan industri; 54% proyek energi transisi berada di atau dekat tanah adat.
  • Pada 2021, 358 pembela lingkungan tewas, sepertiga di antaranya masyarakat adat12.

Dimensi Kritis: Mengapa Inklusi Sering Gagal?

1. Asimetri Kekuasaan dan Hukum

Sistem hukum internasional masih berorientasi pada kedaulatan negara (Westphalian system), sehingga hak masyarakat adat di lintas negara sering diabaikan. Bahkan di negara yang mengakui UNDRIP, partisipasi masyarakat adat dalam TWC masih minim, terutama dalam proyek besar lintas batas yang berdampak lintas negara12.

2. Kurangnya Sumber Daya dan Kapasitas

Partisipasi bermakna butuh sumber daya: pengetahuan hukum, keahlian teknis, dana, dan kepemimpinan. Banyak masyarakat adat kekurangan akses ke sumber daya ini, sementara negara dan korporasi punya keunggulan besar dalam negosiasi12.

3. Nilai dan Tujuan yang Berbeda

Kebijakan air sering bias pada nilai ekonomi (kuantitas, efisiensi, harga), mengabaikan nilai relasional, spiritual, dan sosial masyarakat adat. Akibatnya, solusi yang dihasilkan cenderung tidak berkelanjutan dan tidak adil12.

Rekomendasi Kebijakan: Jalan Menuju Inklusi yang Bermakna

Paper ini menawarkan empat rekomendasi utama untuk memperkuat inklusi masyarakat adat dalam TWC132:

  1. Pengakuan Hak dan Kewajiban Inheren
    Negara dan lembaga internasional harus mengakui hak masyarakat adat atas air dan wilayah tradisional, berdasarkan relasi historis dan budaya.
  2. Pengakuan Sistem Nilai yang Berbeda
    Tata kelola air harus mengakomodasi keragaman tujuan, nilai, dan prioritas—tidak hanya nilai ekonomi, tetapi juga relasional, spiritual, dan budaya.
  3. Refleksi Perbedaan Tujuan dan Nilai dalam Tata Kelola
    Proses pengambilan keputusan harus transparan, inklusif, dan mampu menampung perbedaan tujuan antara negara, masyarakat adat, dan aktor lain.
  4. Peningkatan Sumber Daya dan Kapasitas
    Negara dan lembaga donor harus mendukung penguatan kapasitas masyarakat adat: pendidikan hukum, keahlian teknis, pendanaan, dan kepemimpinan.

Analisis Kritis dan Perbandingan Global

Kekuatan Paper

  • Pendekatan holistik: Mengintegrasikan aspek hukum, sosial, ekologi, dan budaya.
  • Studi kasus nyata: Menampilkan keberhasilan dan tantangan di Amerika Utara dan Selatan.
  • Rekomendasi aplikatif: Fokus pada perubahan sistemik, bukan hanya simbolik.

Kritik dan Tantangan

  • Implementasi masih lemah: Banyak rekomendasi sudah ada di dokumen internasional, tapi pelaksanaan di lapangan sering tertunda oleh birokrasi, politik, dan resistensi negara.
  • Peran sektor swasta: Paper kurang membahas peran dan tanggung jawab korporasi dalam proyek lintas negara yang berdampak pada masyarakat adat.
  • Keterbatasan data: Banyak kasus pelanggaran hak dan keberhasilan partisipasi tidak terdokumentasi dengan baik, menyulitkan evaluasi dampak jangka panjang.

Relevansi dengan Tren Industri dan Kebijakan

  • SDGs dan Paris Agreement: Inklusi masyarakat adat kini menjadi indikator kunci dalam SDG 6 (air bersih dan sanitasi) serta agenda iklim global.
  • Inovasi tata kelola: Pendekatan “braided knowledge” (gabungan sains dan pengetahuan adat) mulai diadopsi di Kanada, Australia, dan Amerika Latin.
  • Keterlibatan LSM dan donor: Dukungan internasional terhadap organisasi masyarakat adat dan jaringan basin semakin penting untuk memperkuat posisi mereka dalam TWC.

Rekomendasi Praktis untuk Pengambil Kebijakan dan Industri

  1. Libatkan masyarakat adat sejak awal dalam perencanaan, bukan hanya konsultasi formal.
  2. Alokasikan dana khusus untuk penguatan kapasitas masyarakat adat dalam negosiasi lintas batas.
  3. Adopsi indikator keberhasilan yang mengukur dampak sosial, budaya, dan ekologi, bukan hanya output fisik atau ekonomi.
  4. Dorong penelitian dan dokumentasi pengalaman lokal untuk memperkuat advokasi di tingkat nasional dan internasional.
  5. Bangun mekanisme resolusi konflik yang mengakui hak adat dan nilai relasional air.

Menuju Diplomasi Air yang Adil dan Berkelanjutan

Paper SIWI (2024) menegaskan bahwa inklusi masyarakat adat dalam kerjasama air lintas batas bukan sekadar tuntutan moral, tetapi prasyarat keberlanjutan dan keadilan. Tanpa pengakuan hak, nilai, dan kapasitas masyarakat adat, kebijakan air akan terus bias, rentan konflik, dan gagal menjaga ekosistem. Inklusi yang bermakna, dukungan sumber daya, dan pengakuan nilai relasional air adalah kunci menuju masa depan air yang adil dan berkelanjutan.

Sumber Artikel Asli

Goldie-Ryder. K., Hebart-Coleman. D., and Martinez-Cruz, T.E., 2024. Working Paper: Supporting the Inclusion of Indigenous Peoples in Transboundary Water Cooperation, Stockholm: International Centre for Water Cooperation, Water Governance Facility, Stockholm International Water Institute.

Selengkapnya
Mendukung Pelibatan Masyarakat Adat dalam Kerjasama Air Lintas Batas

Kualitas Air

Menuju Tata Kelola Kualitas Air yang Lebih Efektif

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 24 Juni 2025


Mengapa Tata Kelola Kualitas Air Butuh Pendekatan Baru?

Kualitas air adalah fondasi bagi kesehatan manusia, ekosistem, dan pembangunan ekonomi. Namun, di seluruh dunia, upaya memperbaiki kualitas air sering kali gagal mencapai target ambisius, baik di negara maju maupun berkembang. Disertasi Susanne Wuijts (2020) membedah akar masalah ini melalui lensa multidisipliner: bagaimana menyelaraskan perspektif sosial-ekonomi, hukum, dan ekologi agar tata kelola kualitas air benar-benar efektif di lapangan. Dengan fokus pada pengalaman Eropa (khususnya Belanda) dan kerangka hukum Uni Eropa, karya ini menawarkan wawasan segar yang sangat relevan bagi pembuat kebijakan, praktisi, dan akademisi.

Latar Belakang: Tekanan Multidimensi pada Kualitas Air

Air digunakan untuk minum, pertanian, industri, rekreasi, dan pelestarian alam. Setiap penggunaan menuntut standar kualitas berbeda dan sering kali saling bertentangan. Pertumbuhan penduduk, urbanisasi, pertumbuhan ekonomi, dan perubahan iklim memperberat tekanan pada sistem air. Dampaknya, dua pertiga sistem air tawar dunia kini terancam sedang hingga berat oleh aktivitas manusia—mulai dari pertanian intensif, polusi industri, hingga modifikasi morfologi sungai.

Di Eropa, kerangka hukum seperti Water Framework Directive (WFD), Groundwater Directive, dan Bathing Water Directive menjadi tulang punggung regulasi kualitas air. Namun, hingga 2015, hanya 38% badan air permukaan dan 74% air tanah yang mencapai status ekologi dan kimiawi “baik”. Artinya, mayoritas negara anggota Uni Eropa gagal memenuhi target WFD, meski sudah ada instrumen hukum dan investasi besar-besaran.

Kerangka Konseptual: Tiga Perspektif dan Interaksinya

Wuijts mengidentifikasi tiga perspektif utama dalam tata kelola kualitas air:

  1. Ekologi: Fokus pada kondisi ekosistem air agar spesies asli dapat berkembang. Ini mencakup parameter seperti nutrien, zat toksik, morfologi, dan aliran air.
    Tantangan: Respons biologis terhadap intervensi sering lambat dan tidak pasti; banyak variabel lokal yang memengaruhi hasil.
  2. Hukum: Efektivitas diukur dari tercapainya tujuan hukum—misal, standar kualitas, hak akses, dan perlindungan warga.
    Tantangan: Implementasi hukum sering berbeda antar negara, dan adaptasi terhadap kondisi lokal terbatas. Dalam kasus lintas batas, koordinasi makin rumit.
  3. Sosial-ekonomi: Menekankan legitimasi, efisiensi, dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan.
    Tantangan: Keterlibatan pemangku kepentingan sering bersifat normatif, belum tentu berdampak nyata pada perbaikan kualitas air. Ada juga “problem of fit”—tidak semua aktor mampu berpartisipasi di semua skala.

Wuijts menyoroti bahwa ketidaksinkronan antara tiga perspektif ini menjadi penyebab utama kegagalan tata kelola kualitas air. Misalnya, standar hukum yang ketat tanpa dukungan sosial atau pemahaman ekologi yang mendalam sering tidak efektif di lapangan.

Studi Kasus: Implementasi di Belanda dan Eropa

1. Sumber Air Minum

Kasus di Belanda menunjukkan bahwa standar kualitas air minum diatur ketat oleh Drinking Water Directive dan hukum nasional. Namun, pencemaran oleh pestisida dan nutrien dari pertanian tetap sulit dikendalikan. Di beberapa wilayah, target regional untuk nutrien empat kali lebih ketat dari standar nasional, namun realisasinya sangat tergantung pada kebijakan lokal dan insentif sukarela.

2. Ekosistem Air Tawar

Restorasi sungai dan danau di Eropa banyak dilakukan melalui rekayasa morfologi (misal, pembuatan tebing ramah lingkungan). Meski ada perbaikan, dampak ekologisnya tidak selalu langsung terlihat. Di Belanda, misalnya, meski investasi besar pada rekayasa sungai, hanya sebagian kecil badan air yang mencapai status ekologi “baik”.

3. Air Rekreasi Perkotaan

Studi di Amsterdam dan Rotterdam menunjukkan bahwa upaya membuka lokasi mandi air tawar di kota menghadapi tantangan ganda: polusi mikrobiologis dan kimia, serta keamanan fisik. Wawancara dengan 19 pemangku kepentingan menunjukkan bahwa keberhasilan sangat bergantung pada koordinasi antarinstansi, keterlibatan masyarakat, dan kejelasan pembagian tanggung jawab.

Angka-Angka Kunci dan Temuan Empiris

  • Di Eropa, hanya 38% badan air permukaan dan 74% air tanah yang mencapai status “baik” pada 2015.
  • Di Belanda, target nutrien di beberapa wilayah empat kali lebih ketat dari standar nasional, namun pencapaian target sangat bervariasi.
  • Dalam studi literatur, dari 122 artikel, hanya 8 yang secara sistemik mengkaji interaksi ketiga perspektif (ekologi, hukum, sosial-ekonomi) secara bersamaan.
  • Wawancara mendalam di Belanda mengungkapkan bahwa keberhasilan tata kelola sangat dipengaruhi oleh “connectivity”—yakni sejauh mana aktor, isu, dan sektor terhubung lintas skala dan institusi.

Analisis Kritis: Apa yang Menghambat Efektivitas?

1. Data dan Monitoring

Kurangnya data yang dapat dibandingkan antarwilayah menjadi kendala besar. Monitoring sering tidak memadai untuk mengidentifikasi sumber polusi secara spesifik, sehingga intervensi cenderung generik dan tidak tepat sasaran.

2. Ambiguitas Peran dan Tanggung Jawab

Banyak kasus menunjukkan tumpang tindih atau kekosongan tanggung jawab antarinstansi. Misalnya, dalam pengelolaan air rekreasi, siapa yang bertanggung jawab atas keamanan dan kualitas air sering tidak jelas, terutama ketika melibatkan pemerintah lokal, otoritas air regional, dan swasta.

3. Keterbatasan Hukum dan Politik

Implementasi WFD sangat dipengaruhi oleh politik nasional. Di Belanda, misalnya, ada keputusan politik untuk tidak membebani sektor pertanian dengan biaya tambahan untuk memenuhi WFD, meski secara hukum seharusnya ada prinsip “polluter pays”.

4. Partisipasi Stakeholder: Antara Legitimasi dan Efektivitas

Partisipasi masyarakat dan stakeholder sering dianggap “baik secara normatif”, namun tidak selalu efektif. Banyak proses partisipatif berakhir pada kompromi yang menurunkan ambisi ekologi demi kepentingan ekonomi atau politik.

Pelajaran dari Studi Kasus dan Literatur

  • Konektivitas dan Koordinasi: Keberhasilan tata kelola sangat ditentukan oleh kemampuan menghubungkan aktor, isu, dan sektor di berbagai skala. Contoh: keberhasilan restorasi sungai di Jerman dan Inggris terjadi ketika pemerintah, LSM, dan masyarakat lokal terlibat sejak awal.
  • Fleksibilitas Hukum: Kerangka hukum harus cukup adaptif untuk mengakomodasi kondisi lokal tanpa mengorbankan standar minimum.
  • Pentingnya Data dan Pengetahuan Lokal: Intervensi berbasis data dan pengetahuan lokal lebih efektif daripada pendekatan top-down.
  • Peran Insentif Ekonomi: Insentif ekonomi (misal, subsidi atau pajak) efektif jika dirancang dengan memperhatikan konteks sosial dan ekologi.

Rekomendasi Kebijakan dan Praktik

  1. Perkuat Monitoring dan Data Sharing:
    Investasi pada sistem monitoring yang terintegrasi dan berbagi data lintas sektor sangat penting untuk diagnosis masalah dan evaluasi kebijakan.
  2. Tingkatkan Konektivitas Antaraktor dan Sektor:
    Bangun mekanisme koordinasi antara pemerintah pusat, daerah, otoritas air, masyarakat, dan swasta. Konektivitas ini harus lintas skala dan fungsi.
  3. Desain Kebijakan Fleksibel dan Kontekstual:
    Standar hukum harus adaptif terhadap kondisi lokal, tetapi tetap menjaga prinsip dasar seperti “polluter pays” dan perlindungan ekosistem.
  4. Dorong Partisipasi Bermakna:
    Keterlibatan stakeholder harus diarahkan untuk menghasilkan solusi inovatif, bukan sekadar formalitas. Proses deliberatif yang inklusif dapat meningkatkan legitimasi dan efektivitas.
  5. Integrasikan Perspektif Multidisipliner dalam Setiap Tahap:
    Setiap intervensi harus mempertimbangkan aspek ekologi, hukum, dan sosial-ekonomi secara seimbang.

Kritik dan Nilai Tambah

Disertasi Wuijts menonjol dalam mengidentifikasi bahwa tidak ada “one size fits all” dalam tata kelola kualitas air. Pendekatan multidisipliner dan analisis interaksi antar-perspektif menjadi kekuatan utama karya ini. Namun, tantangan utama tetap pada implementasi di lapangan: bagaimana mengubah temuan akademik menjadi kebijakan konkret di tengah keterbatasan politik, ekonomi, dan kapasitas institusi.

Dibandingkan dengan literatur lain, Wuijts lebih menekankan pentingnya fase realisasi (bukan hanya perencanaan), serta perlunya evaluasi berkelanjutan dan adaptasi kebijakan. Ini sejalan dengan tren global yang menuntut tata kelola air yang lebih responsif, adaptif, dan kolaboratif.

Relevansi Global dan Tren Industri

  • SDG 6 dan Agenda Hijau Eropa: Temuan Wuijts sangat relevan untuk pencapaian SDG 6 (air bersih dan sanitasi) dan Green Deal Eropa yang menargetkan restorasi ekosistem air.
  • Smart Water Management: Industri air kini bergerak ke arah digitalisasi, monitoring real-time, dan solusi berbasis data, sejalan dengan rekomendasi peningkatan monitoring dan data sharing.
  • Kolaborasi Publik-Swasta: Keterlibatan sektor swasta dalam pengelolaan air semakin penting, terutama untuk investasi infrastruktur dan inovasi teknologi.

Menuju Tata Kelola Kualitas Air yang Efektif dan Berkelanjutan

Disertasi ini menegaskan bahwa efektivitas tata kelola kualitas air hanya bisa dicapai jika perspektif ekologi, hukum, dan sosial-ekonomi diselaraskan secara sistemik. Konektivitas antaraktor, fleksibilitas hukum, monitoring berbasis data, dan partisipasi bermakna adalah kunci keberhasilan. Tanpa perbaikan mendasar pada aspek-aspek ini, target ambisius seperti WFD dan SDG 6 akan sulit tercapai. Studi Wuijts menjadi referensi penting bagi siapa pun yang ingin memahami dan memperbaiki tata kelola kualitas air di era kompleksitas dan ketidakpastian.

Sumber Artikel Asli

Susanne Wuijts, 2020. Towards more effective water quality governance: Improving the alignment of social-economic, legal and ecological perspectives to achieve water quality ambitions in practice. Proefschrift Universiteit Utrecht.

Selengkapnya
Menuju Tata Kelola Kualitas Air yang Lebih Efektif
« First Previous page 41 of 1.119 Next Last »