Sosiohidrologi

Mengapa Keadilan Representasi Penting dalam Tata Kelola Air dan Socio-Hydrology

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 22 Oktober 2025


Mengapa Keadilan Representasi Muncul sebagai Agenda Penelitian Baru

Socio-hydrology, sebagai studi tentang interaksi manusia dan air, belum secara komprehensif membahas siapa yang membuat keputusan dalam pengelolaan sumber daya air. Artikel ini menyoroti ketimpangan gender, ras, dan posisi sosial dalam sektor air, terutama di negara maju seperti Amerika Serikat.

Studi ini menyoroti bagaimana kurangnya representasi kelompok yang terpinggirkan menyebabkan dampak langsung pada keputusan tata kelola air, penyusunan kebijakan, dan bahkan prioritas pembangunan infrastruktur air.

Studi Kasus: Survei Tenaga Kerja Sektor Air di AS

Penelitian ini menggunakan survei eksploratif terhadap 496 pekerja sektor air di Amerika Serikat. Hasil utamanya:

  • 57,2% perempuan merasa mengalami diskriminasi berbasis gender
  • Hanya 1,8% laki-laki yang merasa demikian
  • 18,1% perempuan merasa didiskriminasi karena kehamilan/anak
  • Minoritized women (misalnya ras non-kulit putih) lebih sering menyampaikan pengalaman diskriminasi, terutama dalam bentuk mikroagresi dan marginalisasi
  • 100% minoritized women menuliskan tanggapan naratif dalam survei—ini menunjukkan betapa relevannya pengalaman tersebut bagi mereka

Tiga Temuan Kunci

1. Politik dan Kekuasaan Membentuk Komposisi Sektor Air
Ketimpangan bukan sekadar ketidakhadiran perempuan atau kelompok minoritas, tetapi juga mencakup pola promosi, sistem penggajian, hingga penugasan pekerjaan. Contohnya, perempuan dengan kualifikasi setara menerima gaji USD 2 lebih rendah per jam dibanding rekan laki-laki.

2. Data Kualitatif Menggambarkan Realitas Hidup Lebih Baik daripada Statistik
Responden mengungkapkan pelecehan verbal, penghinaan terselubung, penolakan promosi, hingga pengucilan dalam jaringan kerja informal. Seorang perempuan melaporkan tak diikutkan dalam acara minum bersama klien yang merupakan saluran penting untuk membangun jejaring dan promosi.

3. Representasi Melampaui Gender—Peran Interseksionalitas
Perempuan dari kelompok non-kulit putih mengalami kombinasi diskriminasi: bukan hanya karena gender, tetapi juga karena ras, agama, usia, dan status keluarga. Mereka juga mengalami kesulitan mengakses informasi peluang karier, mentoring, dan sering diposisikan sebagai tidak layak untuk peran teknis.

Kerangka Teori: Feminist Political Ecology dan Inequality Regimes

Feminist Political Ecology (FPE) memandang pengelolaan air bukan hanya sebagai isu teknis, tetapi juga sebagai arena politik sosial yang dipengaruhi oleh norma gender dan relasi kekuasaan.
Inequality Regimes menjelaskan bagaimana institusi kerja secara sistematis melestarikan ketimpangan melalui praktik dan budaya organisasional yang tampaknya netral, namun meminggirkan perempuan dan kelompok minoritas.

Ketimpangan dalam Praktek: Cerita Nyata dari Pekerja Sektor Air

Beberapa kutipan nyata dari survei:

  • “Saya punya sertifikasi sama dengan pria, tapi dibayar lebih rendah.”
  • “Saya dipanggil ‘honey’ dan tidak dianggap serius sebagai direktur eksekutif.”
  • “Pekerjaan saya sering dikecilkan karena saya bukan insinyur.”
  • “Saya tidak bisa ikut minum malam hari untuk networking karena harus menjaga anak.”

Dampak Sistemik dari Kurangnya Representasi

Kekurangan representasi bukan hanya isu etis atau moral, tapi juga berimplikasi langsung pada hasil tata kelola air:

  • Keputusan investasi tidak mencerminkan kebutuhan komunitas yang terdampak
  • Data dan indikator model socio-hydrology menjadi bias
  • Terjadi perputaran tenaga kerja tinggi karena marginalisasi
  • Ilmu pengetahuan dan kebijakan menjadi tidak selaras dengan pengalaman hidup publik

Model Alternatif: Representasi Sebagai Titik Awal Penguatan Socio-Hydrology

Penulis mengusulkan kerangka baru: Justice-Based Representation Model, di mana representasi bukan sekadar soal jumlah, tapi soal keterlibatan bermakna dalam keputusan.
Dalam model ini:

  • Data lebih komprehensif dan kontekstual
  • Model lebih mencerminkan kenyataan sosial dan politik
  • Keputusan tata kelola air lebih adil dan berkelanjutan

Analisis Kritis dan Opini

Kekuatan Artikel:

  • Menggabungkan data kuantitatif dan kualitatif secara seimbang
  • Menawarkan kerangka teoritik baru dan aplikatif
  • Relevan dalam konteks global, bahkan di negara maju seperti AS

Kritik Konstruktif:

  • Studi ini fokus di AS, perlu perbandingan dengan negara berkembang
  • Solusi konkret kebijakan atau desain organisasi masih terbuka untuk eksplorasi lanjutan

Relevansi Global dan Industri:

  • Dapat diadopsi oleh perusahaan air, lembaga pemerintah, hingga NGO di berbagai negara
  • Membantu membangun sistem yang inklusif, kolaboratif, dan berbasis keadilan
  • Sangat cocok untuk mendukung pencapaian SDG 6 (Clean Water) dan SDG 5 (Gender Equality)

 

Kesimpulan: Saatnya Socio-Hydrology Memandang Representasi sebagai Prioritas

Keadilan representasi bukan sekadar isu tambahan dalam pengelolaan air, tetapi inti dari solusi jangka panjang untuk mencapai ketahanan air, keadilan sosial, dan efektivitas kebijakan. Representasi bukan hanya soal siapa yang hadir di ruang rapat, tetapi siapa yang diakui, dihormati, dan didengar dalam pengambilan keputusan.

 

Sumber Artikel:
Haeffner, Melissa; Hellman, Dana; Cantor, Alida; Ajibade, Idowu; Oyanedel-Craver, Vinka; Kelly, Maura; Schifman, Laura; Weasel, Lisa. (2021). Representation Justice as a Research Agenda for Socio-Hydrology and Water Governance. Hydrological Sciences Journal, 66(11), 1611–1624.

Selengkapnya
Mengapa Keadilan Representasi Penting dalam Tata Kelola Air dan Socio-Hydrology

Sosiohidrologi

Mengungkap Krisis Danau Inle lewat Analisis DPSIR dan Simulasi Hidrologi

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 22 Oktober 2025


Konteks Global: Danau Sebagai Ekosistem Terancam

Air tawar hanya 0,01% dari total air di dunia, tapi menopang kebutuhan 80% populasi manusia. Danau Inle di Myanmar adalah ekosistem air tawar penting yang mengalami degradasi parah sejak tahun 2000-an akibat urbanisasi, intensifikasi pertanian, dan perubahan iklim.

Tujuan Penelitian dan Pendekatan DPSIR

Penelitian ini menggunakan kerangka DPSIR (Driver–Pressure–State–Impact–Response) untuk mengevaluasi degradasi Danau Inle dari tahun 1990 hingga 2020. Pendekatan ini dikombinasikan dengan:

  • Survei sosial terhadap 148 warga dan 15 turis
  • Pengukuran kualitas air dan sedimen
  • Klasifikasi tutupan lahan
  • Simulasi hidrologi dengan SWAT+

Profil Danau Inle dan Tantangannya

  • Terletak di dataran tinggi Shan, luas air terbuka hanya 38 km² dari total 128 km²
  • Ekonomi lokal tergantung pada pertanian terapung, perikanan, pariwisata, dan kerajinan
  • UNESCO mencatatnya sebagai Cagar Biosfer Dunia sejak 2015

Perubahan lahan 1990–2020:

  • −13% hutan, +13% pertanian, +5% urbanisasi

Simulasi SWAT+: Dampak Perubahan Lahan

Model SWAT+ digunakan untuk membandingkan dua kondisi (1990 dan 2020):

  • Evapotranspirasi menurun 37 mm/tahun
  • Water yield meningkat 43 mm/tahun
  • Sedimentasi meningkat jadi 16,7 ton/ha/tahun

Hasil signifikan terutama di wilayah utara dan barat danau yang mengalami urbanisasi dan deforestasi tinggi.

Kualitas Air: Polusi dari Pertanian dan Aktivitas Manusia

  • 60% warga membuang limbah domestik langsung ke danau
  • 46% petani menggunakan pupuk kimia, hanya 3% gunakan pupuk alami
  • E. coli ditemukan dalam konsentrasi >100 MPN/100 ml
  • Kandungan logam berat tinggi (arsenik dan antimon) terdeteksi di sedimen
  • Zona risiko tertinggi: Stasiun 4 dan 5 di danau

Survei Sosial: Persepsi dan Perilaku Warga

Dari 148 responden:

  • 82% menyadari deforestasi
  • 93% mengakui adanya variabilitas cuaca ekstrem
  • Mayoritas menggunakan air danau atau sumur dangkal untuk keperluan rumah tangga
  • Hanya 1% masih memasak dengan kayu bakar (pergeseran ke listrik)

Dampak Ekonomi dan Sosial

  • Pariwisata meningkat pesat sejak liberalisasi politik Myanmar 2011
  • 52 hotel dibangun, menyerap air untuk kolam dan taman
  • Perubahan tata guna lahan menyebabkan konflik agraria dan eksploitasi lahan
  • Praktik pertanian intensif menyebabkan penurunan umur ladang terapung dari 15 jadi 3 tahun

Model DPSIR: Keterkaitan Sosial dan Lingkungan

  • Driver: Pertumbuhan penduduk, liberalisasi politik, industrialisasi
  • Pressure: Perubahan iklim, konversi lahan, polusi limbah
  • State: Menurunnya kualitas air, sedimentasi, perubahan air tanah
  • Impact: Kehilangan ekosistem, krisis air minum, degradasi mata pencaharian
  • Response: Perlu manajemen jangka panjang dan interdisipliner

Analisis Kritis dan Nilai Tambah

Kekuatan Studi:

  • Metodologi interdisipliner dan berbasis masyarakat
  • Simulasi model SWAT+ valid bahkan di wilayah minim data
  • Mengintegrasikan data lapangan, citra satelit, dan persepsi warga

Kekurangan:

  • Tidak mengeksplorasi strategi kebijakan spesifik
  • Minim data historis untuk validasi model jangka panjang

Nilai Tambah:

  • Studi ini dapat menjadi template analisis DAS lain di wilayah berkembang
  • Relevan untuk kebijakan pengelolaan air, konservasi, dan mitigasi iklim

Kesimpulan: Strategi Berbasis Data untuk Menyelamatkan Danau Inle

Penelitian ini membuktikan bahwa kerangka DPSIR yang dikombinasikan dengan model SWAT+ dan pendekatan sosial mampu:

  • Menunjukkan keterkaitan erat antara aktivitas manusia dan degradasi lingkungan
  • Memberikan dasar ilmiah bagi kebijakan pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan
  • Relevan dalam konteks perubahan iklim dan urbanisasi cepat di negara berkembang

 

Sumber Artikel:


Peters, Kristin; Wagner, Paul D.; Phyo, Ei Wai; Zin, Win Win; Kyi, Cho Cho Thin; Fohrer, Nicola. (2023). Spatial and temporal assessment of human-water interactions at the Inle Lake, Myanmar: a socio-hydrological DPSIR analysis. Environmental Monitoring and Assessment, 195:220.

 

Selengkapnya
Mengungkap Krisis Danau Inle lewat Analisis DPSIR dan Simulasi Hidrologi

Teknologi Infrastruktur

Transformasi Infrastruktur Menuju Pembangunan Ekonomi yang Inklusif

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 22 Oktober 2025


Pendahuluan: Infrastruktur sebagai Pilar Pemerataan Ekonomi

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau dan populasi sekitar 270 juta jiwa, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam membangun kesetaraan sosial dan ekonomi antar wilayah. Di tengah dominasi ekonomi yang selama ini terpusat di Pulau Jawa (menyumbang 58% PDB), pemerintah Indonesia menetapkan arah pembangunan yang lebih Indonesia-sentris melalui agenda Nawacita.

Laporan Infrastructure for Inclusive Economic Development: Lessons Learnt from Indonesia, yang disusun oleh berbagai pakar ekonomi dan lembaga kementerian, menjadi catatan penting atas bagaimana Indonesia mengakselerasi pembangunan infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif, tangguh, dan berkelanjutan.

 

Strategi Pembangunan Infrastruktur: Mobilisasi Semua Sektor

Pembangunan infrastruktur sejak 2016 difokuskan pada konektivitas antarpulau, pemerataan layanan dasar, serta peningkatan daya saing ekonomi daerah. Pemerintah meluncurkan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang pada 2022 mencakup 210 proyek senilai lebih dari Rp5.746 triliun, termasuk jalan tol, bendungan, bandara, pelabuhan, kawasan industri, dan sistem irigasi.

 

Beberapa capaian utama:

  • 153 PSN selesai pada 2016–2022 dengan nilai investasi total Rp1.040 triliun

  • 36 bendungan menghasilkan pasokan air bersih 2,73 miliar m³ dan mengairi 288.000 hektare lahan

  • 1.000+ km jalur rel dibangun di berbagai wilayah
     

Keberhasilan ini tak lepas dari kolaborasi lintas lembaga: Kementerian Keuangan, Bappenas, Kemenko Perekonomian, dan ERIA, dengan dukungan investasi swasta dan skema KPBU (kerja sama pemerintah dan badan usaha).

 

Dampak Langsung: Konektivitas, Investasi, dan Pertumbuhan Daerah

Pembangunan infrastruktur berdampak langsung terhadap ekonomi daerah. Studi dalam buku ini menggunakan pendekatan difference-in-differences terhadap proyek Tol Bakauheni–Terbanggi Besar, yang menunjukkan:

  • Pertumbuhan ekonomi daerah inti meningkat 7,6%

  • Akses ke air bersih dan sanitasi meningkat hingga 13%

  • Penurunan tingkat kemiskinan di wilayah terdampak

Selain itu, proyek SPAM (sistem penyediaan air minum) seperti Umbulan dan Bandar Lampung memperlihatkan penghematan pengeluaran air rumah tangga hingga Rp100.000 per bulan bagi rumah tangga berpendapatan rendah.

 

Analisis Tambahan: Tantangan Riil dan Solusi Inovatif

Meski pembangunan masif dilakukan, tantangan di lapangan masih nyata:

1. Pembebasan Lahan

Kendala ini menjadi penyebab utama molornya proyek. Beberapa proyek seperti pembangunan jalan dan bandara sempat tertunda bertahun-tahun karena negosiasi yang rumit. Pemerintah membentuk LMAN (Lembaga Manajemen Aset Negara) untuk mengelola pembiayaan lahan secara transparan.

2. Keterbatasan Pendanaan

Pasca krisis finansial Asia 1997, belanja infrastruktur Indonesia sempat turun drastis menjadi hanya 2% dari PDB. Kini, melalui penerbitan green sukuk dan skema obligasi berkelanjutan, Indonesia menjadi pelopor pembiayaan hijau di Asia Tenggara.

3. Kesenjangan Regional

Laporan menunjukkan bahwa 67,5% investasi PSN terkonsentrasi di Jawa. Kalimantan, Sulawesi, dan Papua masih menghadapi ketimpangan infrastruktur yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi wilayah.

 

Nilai Tambah: Kritik Konstruktif dan Arah Masa Depan

Perbandingan dengan Negara Lain:

  • Vietnam dan China berhasil menarik lebih banyak investasi asing langsung (FDI) dengan mengintegrasikan pembangunan infrastruktur dan reformasi regulasi bisnis.

  • Indonesia dapat meniru integrasi antara zoning industri, infrastruktur, dan insentif fiskal secara lebih sistemik.
     

Peluang:

  • Digitalisasi infrastruktur menjadi kunci. Layanan digital seperti logistik berbasis aplikasi, pembayaran tol non-tunai, hingga sensor pemantau air memungkinkan efisiensi lebih tinggi.

  • Infrastruktur hijau dan adaptif iklim semakin mendesak di tengah ancaman perubahan iklim. Buku ini mencatat bahwa Indonesia telah menerbitkan Green Sukuk senilai USD 3,2 miliar dalam kurun 2018–2022 untuk mendanai proyek berkelanjutan.
     

 

Kesimpulan: Infrastruktur Bukan Sekadar Beton dan Aspal

Resensi ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur di Indonesia telah berkembang dari sekadar pembangunan fisik menjadi instrumen untuk mencapai pemerataan ekonomi, transformasi digital, dan adaptasi iklim. Indonesia memang belum sepenuhnya setara dengan negara maju, namun langkah strategis melalui PSN menjadi bukti nyata bahwa infrastruktur adalah pendorong inklusivitas.

Untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045, pembangunan infrastruktur harus terus diarahkan untuk:

  • Menutup kesenjangan regional

  • Menjawab tantangan iklim

  • Mendorong peran serta sektor swasta

  • Memastikan manfaat langsung ke masyarakat miskin dan daerah tertinggal
     

 

Sumber Resmi

Disusun oleh Sri Mulyani Indrawati dkk.
Dipublikasikan oleh Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), Oktober 2023.
https://www.eria.org
ISBN: 978-602-5460-51-7

Selengkapnya
Transformasi Infrastruktur Menuju Pembangunan Ekonomi yang Inklusif

Manajemen Bencana

Menyatukan Balkan: Mengapa "Tata Kelola" Adalah Kunci untuk Kerangka Kerja Kesiapsiagaan Bencana Lintas Batas yang Baru

Dipublikasikan oleh Raihan pada 22 Oktober 2025


Menjembatani Kesenjangan Kesiapsiagaan: Arah Riset Masa Depan untuk Manajemen Bencana Lintas Batas di Balkan

Wilayah Balkan menghadapi kerentanan ganda. Secara geografis, kawasan ini sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, dengan peningkatan frekuensi dan tingkat keparahan bencana alam seperti banjir dan cuaca ekstrem. Secara historis dan politik, respons terhadap bencana ini terfragmentasi, terhambat oleh tantangan koordinasi antara berbagai negara dan yurisdiksi. Meskipun bencana tidak mengenal batas negara , kerangka kerja untuk manajemen bencana bersama—terutama dalam fase kesiapsiagaan yang kritis—dianggap sangat langka, bahkan "hampir tidak ada" dalam literatur ilmiah untuk kawasan ini.

Menanggapi kesenjangan kritis ini, sebuah studi baru oleh Kanteler dan Bakouros (2024) yang diterbitkan dalam International Journal of Disaster Risk Reduction menyajikan upaya perintis untuk merancang kerangka kerja manajemen bencana kesiapsiagaan lintas batas (cross-border) yang holistik dan terintegrasi untuk wilayah Balkan. Penelitian ini tidak hanya memetakan tantangan yang ada tetapi juga membangun konsensus di antara para ahli tentang elemen-elemen fundamental yang diperlukan untuk kolaborasi yang efektif.

Perjalanan penelitian ini dimulai dengan analisis kuantitatif yang mengkhawatirkan menggunakan data INFORM Index. Analisis ini memvalidasi urgensi penelitian: proyeksi menunjukkan peningkatan paparan bahaya di tahun-tahun mendatang, dengan negara-negara seperti Albania, Yunani, dan Kroasia menjadi yang paling rentan. Lebih penting lagi, data menunjukkan "kekurangan serius" dalam kapasitas penanggulangan (coping capacity) di sebagian besar wilayah, dengan Bosnia dan Herzegovina diidentifikasi sebagai yang paling tidak beruntung. Temuan ini menggarisbawahi fakta bahwa kolaborasi lintas batas bukanlah sebuah kemewahan, melainkan kebutuhan mendesak untuk kelangsungan hidup regional, karena negara-negara harus bergantung pada tetangga terdekat mereka untuk mendapatkan bantuan segera.

Untuk membangun kerangka kerja, penelitian ini menggunakan metodologi studi Delphi yang kuat, sebuah proses terstruktur untuk mencapai konsensus ahli. Pertama, tinjauan literatur yang sistematis mengidentifikasi sepuluh pilar inti manajemen darurat, yang mencakup: Tata Kelola & Kepemimpinan, Komando & Kontrol, Teknologi & Keamanan Informasi, Pembangunan Kapasitas, Analisis Risiko, Kapasitas Tenaga Kerja, Jaringan Lintas Batas, Keterlibatan Masyarakat, Sumber Daya, dan Layanan Kesehatan .

Panel ahli kemudian dibentuk, mengumpulkan 102 responden di Putaran 1 dan 70 responden di Putaran 2 dari 11 negara Balkan (termasuk Yunani, Albania, Serbia, Kroasia, dan lainnya) ditambah Siprus. Panel ini beragam, mencakup perwakilan dari Otoritas Perlindungan Sipil, Kementerian Dalam Negeri, Brigade Pemadam Kebakaran, Organisasi Kemanusiaan, Kepolisian, dan Lembaga Penelitian.

Temuan inti dari studi Delphi ini sangat mencerahkan. Terungkap sebuah konsensus universal: "Tata Kelola dan Kepemimpinan" diidentifikasi sebagai prioritas utama nomor satu oleh semua kelompok pemangku kepentingan yang berpartisipasi, tanpa kecuali. Prioritas bersama ini menunjukkan bahwa terlepas dari perbedaan operasional, para ahli di seluruh Balkan setuju bahwa fondasi untuk kolaborasi yang sukses bersifat strategis, melibatkan kebijakan yang jelas, kerangka hukum, dan peran serta tanggung jawab yang terdefinisi dengan baik.

Namun, di bawah kesepakatan tingkat atas ini, analisis klaster mengungkapkan perbedaan prioritas yang penting untuk penelitian di masa depan:

  • Klaster 1 (Otoritas Perlindungan Sipil, Kementerian, LSM, Lembaga Penelitian): Memprioritaskan 1) Tata Kelola, 2) Pembangunan Kapasitas (Pelatihan/Latihan), dan 3) Komando & Kontrol.
  • Klaster 2 (Responden Pertama: Brigade Pemadam Kebakaran, Polisi): Juga memprioritaskan 1) Tata Kelola dan 2) Pembangunan Kapasitas, tetapi memilih 3) Kapasitas Tenaga Kerja sebagai prioritas ketiga mereka, menunjukkan fokus pada kesiapan personel di lapangan.
  • Klaster 3 (Layanan Medis Darurat/EMS): Meskipun juga memprioritaskan Tata Kelola, prioritas mereka yang lain sangat berbeda, dengan penekanan yang jauh lebih tinggi pada "Sumber Daya" (17%) dan "Teknologi & Keamanan Informasi" (15%).

Secara signifikan, penelitian ini juga menemukan "kesenjangan konsensus". Klaster 1—kelompok yang mencakup badan-badan pemerintah inti—menunjukkan konsensus 0% pada pilar "Keterlibatan Masyarakat". Ini adalah temuan kuantitatif yang mencolok, menunjukkan bahwa meskipun literatur akademis memuji keterlibatan komunitas dari bawah ke atas, para pembuat kebijakan di Balkan saat ini tidak memprioritaskannya dalam konteks lintas batas.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi penelitian ini bersifat fundamental. Ini adalah studi perintis yang menyediakan kerangka kerja berbasis bukti empiris pertama untuk kesiapsiagaan bencana lintas batas di Balkan. Dengan mencapai konsensus di antara 11 negara dan berbagai lembaga, kerangka kerja ini menciptakan bahasa yang sama dan landasan bersama di wilayah yang secara historis terfragmentasi. Hasilnya adalah satu set elemen dan rekomendasi yang disepakati secara bulat (dirinci dalam Tabel 1-10 dalam paper ) yang dapat diadopsi oleh para pembuat kebijakan untuk menyelaraskan strategi nasional mereka. Selain itu, ini mengisi kesenjangan literatur yang signifikan dan memberikan justifikasi kuantitatif (melalui analisis INFORM dan Delphi) untuk kolaborasi yang lebih erat.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Para penulis bersikap transparan tentang keterbatasan metodologis. Sampel ahli, meskipun kuat, dibatasi oleh ketersediaan kontak dan sumber daya, dan dengan demikian tidak mewakili seluruh pemangku kepentingan di semua negara Balkan. Selain itu, studi Delphi mengalami pengurangan peserta sebesar 30% antara putaran, sebuah tantangan umum untuk metode ini, meskipun penulis berpendapat bahwa 70 tanggapan akhir tetap berkualitas tinggi.

Keterbatasan ini mengarah pada pertanyaan terbuka yang krusial bagi komunitas riset: Kerangka kerja teoretis kini ada, tetapi bagaimana kerangka kerja ini dapat dioperasionalkan? Apa hambatan politik, keuangan, dan hukum yang nyata untuk implementasinya?

Lebih mendesak lagi, mengapa ada pemutusan hubungan yang begitu tajam antara kebutuhan yang diakui akan keterlibatan masyarakat dan prioritas 0% yang diberikan oleh para pembuat kebijakan? Apakah ini cerminan dari budaya manajemen krisis top-down yang mengakar, kurangnya sumber daya, atau anggapan bahwa logistik lintas batas terlalu rumit untuk melibatkan warga sipil? Pertanyaan ini menuntut penyelidikan segera.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan justifikasi ilmiah)

Berdasarkan temuan kuat dan pertanyaan terbuka dari paper ini, kami mengusulkan lima jalur penelitian konkret untuk memajukan bidang ini, yang dirancang khusus untuk peneliti, akademisi, dan badan pemberi hibah.

1. Pengembangan dan Validasi Indikator Kinerja Utama (KPI) dari Kerangka Kerja

  • Basis Temuan: Paper ini berhasil menciptakan kerangka kerja dan serangkaian rekomendasi , tetapi secara eksplisit mencatat bahwa langkah selanjutnya adalah menciptakan "metode pemantauan". Kerangka kerja ini memberi tahu kita apa yang harus dilakukan, tetapi tidak seberapa baik kita melakukannya.
  • Rekomendasi Riset: Melakukan studi Delphi putaran baru atau studi metode campuran yang berfokus secara eksklusif pada penerjemahan 129+ rekomendasi kualitatif kerangka kerja menjadi Indikator Kinerja Utama (KPI) yang kuantitatif dan dapat diukur.
  • Justifikasi Ilmiah: Penelitian ini sangat penting untuk memindahkan kerangka kerja dari dokumen strategis menjadi alat manajemen yang aktif. KPI akan memungkinkan negara-negara untuk mengukur, membandingkan, dan memantau "kualitas kerja sama lintas batas" mereka, memungkinkan pembandingan (benchmarking) dan perbaikan berkelanjutan. Hibah harus difokuskan pada validasi metrik ini untuk keandalan dan kelayakan.

2. Analisis Kesenjangan Implementasi Komparatif di Tingkat Nasional

  • Basis Temuan: Kerangka kerja ini bersifat regional dan kolaboratif , tetapi analisis INFORM menunjukkan perbedaan kapasitas nasional yang drastis. Sebuah kerangka kerja bersama tidak berguna jika beberapa anggota tidak memiliki kapasitas dasar untuk berpartisipasi.
  • Rekomendasi Riset: Melakukan serangkaian studi kasus komparatif di negara-negara partisipan (misalnya, membandingkan negara dengan kapasitas tinggi seperti Yunani dengan negara dengan kapasitas lebih rendah seperti Bosnia dan Herzegovina). Penelitian ini harus menggunakan 10 pilar kerangka kerja sebagai alat audit untuk memetakan kapasitas nasional saat ini (hukum, keuangan, infrastruktur) terhadap standar yang disepakati.
  • Justifikasi Ilmiah: Penelitian ini akan mengidentifikasi hambatan spesifik di tingkat nasional untuk adopsi. Ini akan menjawab: "Di mana letak kesenjangan terbesar antara kerangka kerja ideal dan kenyataan di lapangan?". Temuan ini akan sangat berharga bagi pembuat kebijakan nasional dan UE untuk mengarahkan investasi secara strategis ke titik-titik kelemahan terbesar.

3. Investigasi Kualitatif Mendalam tentang Anomali "Keterlibatan Masyarakat"

  • Basis Temuan: Temuan kuantitatif yang paling provokatif adalah prioritas 0% pada "Keterlibatan Masyarakat" dari Klaster 1 (otoritas pemerintah). Ini bertentangan langsung dengan praktik terbaik manajemen bencana modern.
  • Rekomendasi Riset: Sebuah studi kualitatif yang ditargetkan menggunakan wawancara semi-terstruktur dengan para pembuat keputusan di Otoritas Perlindungan Sipil dan Kementerian Dalam Negeri di seluruh Balkan. Penelitian harus menyelidiki mengapa pilar ini diprioritaskan begitu rendah. Hipotesis yang diuji dapat mencakup (a) kendala sumber daya, (b) budaya kelembagaan top-down, (c) kompleksitas hukum dalam memobilisasi sukarelawan lintas batas, atau (d) ketidakpercayaan historis.
  • Justifikasi Ilmiah: Kesenjangan antara teori akademis dan persepsi praktisi ini sangat penting. Jika pembuat kebijakan tidak melihat nilai dalam keterlibatan masyarakat, kerangka kerja apa pun akan rapuh. Penelitian ini penting untuk memahami hambatan budaya dan kelembagaan terhadap ketahanan masyarakat yang sejati di kawasan ini.

4. Riset Aksi: Merancang dan Menguji Modul Pelatihan Bersama

  • Basis Temuan: "Pembangunan Kapasitas" (termasuk pendidikan, pelatihan, dan latihan simulasi) adalah prioritas 2 teratas untuk hampir semua pemangku kepentingan. Kerangka kerja ini secara eksplisit menyerukan "pendidikan, pelatihan, dan latihan lintas batas bersama".
  • Rekomendasi Riset: Proyek riset aksi (action research) untuk merancang, mengimplementasikan, dan mengevaluasi prototipe modul pelatihan lintas batas. Modul awal harus fokus pada pilar dengan prioritas tertinggi dan konsensus tertinggi: Tata Kelola, Kepemimpinan, dan Komando & Kontrol. Penelitian akan mengukur hasil pembelajaran (peningkatan pengetahuan dan pemahaman bersama) di antara kelompok pemangku kepentingan yang beragam (misalnya, polisi dari Serbia, pemadam kebakaran dari Bulgaria).
  • Justifikasi Ilmiah: Ini akan menjadi tes operasional pertama dari kerangka kerja tersebut. Ini akan memberikan data empiris tentang apakah fondasi bersama yang diciptakan oleh kerangka kerja ini benar-benar dapat meningkatkan interoperabilitas dan koordinasi dalam skenario yang disimulasikan.

5. Pemodelan Efektivitas Kerangka Kerja Melalui Latihan Simulasi (Tabletop Exercise - TTX)

  • Basis Temuan: Seluruh tujuan kerangka kerja adalah untuk meningkatkan kesiapsiagaan terhadap bencana yang semakin parah akibat perubahan iklim.
  • Rekomendasi Riset: Merancang dan memfasilitasi serangkaian tabletop exercises (TTX) berbasis skenario yang ketat. Skenario ini harus kompleks dan lintas batas (misalnya, banjir besar di sepanjang perbatasan Yunani-Bulgaria, atau kegagalan bendungan di Sungai Drina yang mempengaruhi beberapa negara). Panel ahli kemudian harus mengevaluasi dua kondisi: (A) respons menggunakan protokol saat ini yang terfragmentasi, dan (B) respons yang sepenuhnya mengadopsi 10 pilar kerangka kerja baru.
  • Justifikasi Ilmiah: Meskipun bersifat simulasi, penelitian ini akan menghasilkan data kualitatif dan kuantitatif (misalnya, perkiraan waktu respons, perkiraan dampak ekonomi) tentang potensi nilai dan ROI dari penerapan kerangka kerja ini. Ini akan memberikan bukti kuat yang dibutuhkan oleh para pembuat kebijakan untuk membenarkan investasi politik dan keuangan yang diperlukan untuk adopsi skala penuh.

Panggilan untuk Kolaborasi

Penelitian oleh Kanteler dan Bakouros telah memberikan alat yang tak ternilai harganya bagi komunitas manajemen bencana. Mereka telah membangun fondasi bersama. Sekarang, tanggung jawab beralih ke komunitas riset untuk membangun di atas fondasi itu. Tantangannya adalah beralih dari konsensus teoretis ke implementasi praktis dan ketahanan operasional.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi erat antara lembaga akademik, Otoritas Perlindungan Sipil nasional di setiap negara Balkan, organisasi kemanusiaan yang beroperasi di lapangan, dan badan-badan Uni Eropa seperti DG ECHO. Hanya melalui upaya bersama seperti inilah kita dapat memastikan bahwa kerangka kerja yang menjanjikan ini menjadi kenyataan yang menyelamatkan jiwa.

Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Menyatukan Balkan: Mengapa "Tata Kelola" Adalah Kunci untuk Kerangka Kerja Kesiapsiagaan Bencana Lintas Batas yang Baru

Perencanaan Kota

Mengubah Ruang Hijau Kota Menjadi Benteng Anti-Bencana: Studi Kasus Nanjing dan Model Pencocokan Suplai-Permintaan.

Dipublikasikan oleh Raihan pada 22 Oktober 2025


Mengubah Paradigma Perencanaan Ruang Hijau Bencana: Memastikan Kecocokan Suplai dan Permintaan di Metropolis Padat

Urbanisasi yang pesat telah mengubah kota-kota metropolitan padat menjadi simpul kerentanan tinggi terhadap berbagai bencana, termasuk bencana geologi, banjir, dan kebakaran. Konsentrasi tinggi populasi, material, dan infrastruktur memperparah dampak silang bencana, yang menuntut pendekatan perencanaan mitigasi yang lebih cerdas. Ruang Hijau Pencegahan dan Penghindaran Risiko Bencana (DPRAGS) adalah komponen penting dari sistem pencegahan bencana eksternal perkotaan, menyediakan fungsi vital seperti perlindungan, evakuasi, dan penyimpanan material darurat.

Di masa lalu, perencanaan DPRAGS seringkali hanya berfokus pada tata letak yang seimbang (equilibrium) dari sisi suplai, yang bertujuan mendistribusikan ruang hijau secara merata. Namun, pendekatan ini memiliki cacat fundamental: ia cenderung mengabaikan distribusi risiko bencana yang kompleks dan, yang lebih penting, permintaan populasi yang sesungguhnya di lokasi yang paling berisiko. Akibatnya, muncul kesenjangan yang luas antara suplai dan permintaan ruang hijau perlindungan—area yang ditandai dengan suplai yang tidak memadai, aksesibilitas rendah, dan pemanfaatan sumber daya yang tidak efisien, khususnya di saat kritis.

Penelitian ini secara eksplisit mengatasi kekurangan metodologis ini. Studi ini berfokus pada peningkatan efisiensi DPRAGS dari perspektif pencocokan suplai dan permintaan (supply and demand matching), dengan mengambil area perkotaan utama Nanjing, China—sebuah metropolis padat yang representatif—sebagai studi kasus. Dengan memanfaatkan teknologi Sistem Informasi Geografis (GIS) dan model cakupan kapasitas maksimal terbatas (maximum capacity limitation coverage model), penelitian ini membangun jalur logis yang komprehensif untuk perencanaan tata ruang yang jauh lebih rasional dan responsif terhadap kebutuhan manusia.

Jalur Logis Perjalanan Temuan (Parafrase Isi Paper)

Penelitian ini dibangun di atas kerangka kerja empat fase yang logis, yang dirancang untuk menjembatani kesenjangan antara perencanaan DPRAGS berbasis suplai dan realitas kerentanan multi-risiko:

Fase 1: Analisis Kesiapan dan Batas Layanan Infrastruktur

Langkah pertama adalah menetapkan parameter operasional sistem darurat perkotaan. Ini melibatkan penentuan cakupan layanan agensi penyelamat (medis, pemadam kebakaran) dan analisis jaringan jalan darurat. Ditemukan bahwa radius layanan efektif dari kendaraan penyelamat di area studi ditentukan antara 1,750 m hingga 2,500 m. Jangkauan ini, dihitung berdasarkan kecepatan respons yang realistis dalam rentang waktu kritis (misalnya, 3–5 menit), mendefinisikan batas fisik dan kognitif untuk seberapa cepat populasi dapat mengakses DPRAGS. Batas layanan ini berfungsi sebagai dasar untuk menentukan unit tata ruang DPRAGS yang terintegrasi, yang memastikan setiap unit permintaan populasi dapat dijangkau oleh suplai perlindungan dalam batas waktu emas (Golden Hour) respons darurat.

Fase 2: Pemetaan Risiko Multi-Bencana dan Bobot Relatif

Melalui kerangka penilaian risiko yang komprehensif—mencakup Bahaya (Hazard), Paparan (Exposure), dan Kerentanan (Vulnerability)—penelitian ini mengidentifikasi empat jenis bencana utama di Nanjing: gempa bumi, bencana geologi, banjir, dan kebakaran. Dengan menggunakan metode pembobotan (seperti AHP dan penilaian ahli), sebuah sistem indeks risiko multi-bencana dikembangkan. Misalnya, analisis risiko gempa menunjukkan bahwa faktor Bahaya ($B_{1}$) memiliki bobot dominan sebesar 0.56, menekankan peran penting ancaman fisik primer. Dengan menggabungkan bobot ini, penelitian menghasilkan peta risiko multi-bencana terperinci. Peta ini bukan hanya untuk informasi, tetapi menjadi input krusial dalam menentukan permintaan perlindungan, sebab permintaan harus lebih tinggi di wilayah yang memiliki risiko komprehensif yang lebih besar.

Fase 3: Analisis Pencocokan Suplai-Permintaan dengan Kendala Kapasitas

Ini adalah inti inovasi. Suplai DPRAGS efektif dihitung dengan mempertimbangkan bukan hanya area total, tetapi juga kapasitas perlindungan yang sebenarnya. Secara umum, area perlindungan efektif diperkirakan mencapai 60% dari total area ruang hijau, mengasumsikan area terbuka yang benar-benar dapat digunakan untuk penampungan. Pendekatan ini juga menerapkan konsep bersarang (nested), di mana ruang hijau perlindungan yang lebih tinggi (Jangka Panjang/LTRGS) dapat menutupi dan mendukung kebutuhan ruang hijau tingkat yang lebih rendah (Jangka Pendek-Menengah/SMTRGS).

Di sisi permintaan, kebutuhan area perlindungan dihitung untuk setiap unit permintaan (berbasis komunitas) menggunakan koefisien bencana komprehensif. Dalam perhitungan kebutuhan area, temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara Kepadatan Populasi dan kebutuhan perlindungan, dengan koefisien 0.78 (sebagai contoh temuan) — menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru dalam perencanaan yang benar-benar berpusat pada manusia dan risiko. Berdasarkan koefisien ini, kebutuhan area perlindungan per kapita ditetapkan secara tegas: Ruang Hijau Perlindungan Darurat (ERGS) membutuhkan 1.0 $m^{2}/orang$, SMTRGS 2.0 $m^{2}/orang$, dan LTRGS 5.0 $m^{2}/orang$.

Akhirnya, hubungan pencocokan antara suplai dan permintaan diklarifikasi menggunakan model cakupan kapasitas maksimal dengan kendala kapasitas. Model ini secara matematis memaksa area perlindungan yang tersedia untuk tidak melebihi kapasitas yang dibutuhkan, sekaligus memastikan tidak ada unit permintaan yang terlewatkan—sebuah keharusan dalam kota padat yang minim lahan.

Fase 4: Perencanaan Tata Ruang Berbasis Unit dan Strategi Lokasi

Berdasarkan hasil analisis fase 3, unit tata ruang DPRAGS dibagi dan direncanakan. Strategi "tiga langkah" digunakan untuk menentukan batas unit (misalnya, radius layanan, jaringan jalan, dan batas risiko). Perencanaan tata ruang difokuskan pada peningkatan fungsi dan koordinasi spasial DPRAGS yang ada dan memprioritaskan perluasan baru hanya di area yang menunjukkan kesenjangan suplai-permintaan yang signifikan. Hasil studi ini menegaskan bahwa metode perencanaan terunitisasi yang berbasis pencocokan suplai dan permintaan secara signifikan lebih efektif dalam memenuhi persyaratan perlindungan dan meningkatkan rasionalitas tata ruang dibandingkan dengan metode konvensional.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian ini memberikan kontribusi yang transformatif bagi perencanaan kota dan mitigasi bencana:

  • Pergeseran Paradigma ke Pencocokan: Kontribusi utama adalah mengalihkan fokus dari keseimbangan distribusi berbasis suplai ke model yang memaksakan pencocokan antara suplai area perlindungan dengan permintaan populasi yang dipengaruhi oleh risiko multi-bencana.
  • Pengembangan Metodologi Unit Terintegrasi: Studi ini memvalidasi metode perencanaan DPRAGS berbasis unit (unitized planning method) yang menggabungkan struktur jaringan "titik-garis-permukaan" (point-line-surface) dengan analisis risiko. Model maximum capacity limitation coverage secara eksplisit mengatasi masalah alokasi sumber daya yang tidak rasional di tengah kendala lahan.
  • Sistem Indikator Permintaan yang Diperkaya: Penelitian ini memperkaya analisis permintaan dengan membangun sistem indikator yang memasukkan bobot risiko komprehensif (misalnya, Kepadatan Populasi 0.78) dan mengukurnya berdasarkan standar area perlindungan per kapita yang spesifik (1.0 $m^{2}/orang$ untuk darurat, dst.).

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun progresif, penelitian ini meninggalkan beberapa celah riset yang harus dieksplorasi oleh komunitas akademik:

  • Kurangnya Asosiasi Temporal-Spasial yang Dalam: Penelitian ini secara eksplisit mengakui bahwa analisis dan perencanaan DPRAGS masih kurang dalam hal asosiasi temporal dan spasial yang mendalam. Perubahan kebutuhan dan mekanisme evakuasi dari menit pertama (darurat) hingga hari ketiga (jangka panjang) perlu dimodelkan secara lebih dinamis.
  • Keterbatasan Data Populasi Dinamis: Analisis permintaan saat ini hanya didasarkan pada populasi permanen. Metropolis padat memiliki populasi mengambang (floating population) yang besar. Pengabaian dinamika populasi harian (siang/malam) dapat menyebabkan estimasi permintaan yang underestimated (terlalu rendah) di pusat bisnis pada siang hari.
  • Perilaku Pengungsi yang Non-Hierarkis: Paper mengamati bahwa pengungsi seringkali mengabaikan hirarki DPRAGS (ERGS, SMTRGS, LTRGS) dan cenderung memilih ruang yang terdekat, terbesar, atau terlengkap. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang bagaimana mekanisme tata ruang dapat lebih baik mengarahkan pengungsi agar tidak membebani fasilitas yang lebih kecil.
  • Keterkaitan Fungsional dengan Ruang Pencegahan Bencana (DPS) Lain: Penelitian ini masih berfokus pada DPRAGS, namun ruang bawah tanah, sekolah, dan gimnasium juga berfungsi sebagai tempat perlindungan. Terdapat kekurangan kuantifikasi sinergi dan redundansi spasial antara DPRAGS dan fasilitas DPS lainnya.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Berikut adalah lima arahan eksplisit untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah riset:

  1. Integrasi Model Temporal-Spasial yang Berhirarki untuk DPRAGS
    • Justifikasi Ilmiah: Keterbatasan yang diakui dalam paper ini adalah kurangnya analisis temporal. Penelitian harus mengembangkan model alokasi-lokasi multi-objektif yang menggabungkan waktu evakuasi (aspek temporal) dengan hirarki ruang hijau (ERGS, SMTRGS, LTRGS) (aspek spasial). Model ini harus bertujuan untuk meminimalkan waktu tempuh menuju fasilitas yang menyediakan perlindungan 1.0 $m^{2}/orang$ (ERGS) dalam 30 menit pertama sembari memaksimalkan alokasi area perlindungan jangka panjang. Penelitian ini perlu menguji efisiensi evakuasi dengan mengoptimalkan tata letak berdasarkan skenario waktu kritis yang berbeda.
  2. Pemodelan Perilaku Agen (Agent-Based Modeling) untuk Permintaan Dinamis
    • Justifikasi Ilmiah: Permintaan saat ini berbasis populasi statis. Riset selanjutnya harus mengintegrasikan data dinamis populasi (data berbasis lokasi seluler) dan menerapkan Agent-Based Modeling. Hal ini memungkinkan pemodelan perilaku individu saat evakuasi (misalnya, memilih tujuan dalam radius layanan efektif 1,750 m–2,500 m) untuk menyesuaikan koefisien permintaan yang ditemukan (misalnya, 0.78). Dengan demikian, estimasi kebutuhan area perlindungan per kapita akan lebih akurat di berbagai waktu dalam sehari.
  3. Kuantifikasi Redundansi dan Sinergi Spasial DPRAGS dengan DPS Lain
    • Justifikasi Ilmiah: Mengingat kendala lahan di kota padat, sulit untuk memenuhi standar area perlindungan per kapita (misalnya, LTRGS 5.0 $m^{2}/orang$) hanya dengan ruang hijau. Penelitian harus kuantifikasi kontribusi sinergis fasilitas DPS lain (ruang bawah tanah, sekolah) terhadap total suplai area perlindungan. Metodologi harus dikembangkan untuk menilai indeks redundansi spasial—seberapa besar fasilitas non-hijau dapat "menanggung beban" DPRAGS di zona risiko tertentu.
  4. Sensitivitas Bobot Risiko Multi-Bahaya pada Konteks Geografis yang Berbeda
    • Justifikasi Ilmiah: Model yang dikembangkan terbukti rasional untuk Nanjing (dengan dominasi risiko gempa, geologi, banjir, dan kebakaran). Riset berikutnya harus menerapkan metodologi pencocokan suplai-permintaan ini pada konteks kota yang berbeda—misalnya, kota pesisir yang rentan tsunami atau kota dengan risiko erupsi vulkanik. Penelitian ini akan menguji sensitivitas bobot indeks risiko (misalnya, koefisien bahaya 0.56), memvalidasi apakah bobot yang sama dapat digunakan, atau sebaliknya, bagaimana bobot harus disesuaikan untuk ancaman dan lingkungan geografis yang berbeda.
  5. Pengembangan Indeks Kualitas Kesiapsiagaan Internal Ruang Hijau
    • Justifikasi Ilmiah: Paper ini merekomendasikan peningkatan fungsi internal DPRAGS (fasilitas, manajemen). Saat ini, suplai efektif hanya dihitung berdasarkan area terbuka (misalnya, 60%). Riset ke depan harus mengembangkan Indeks Kualitas Kesiapsiagaan Internal yang mengukur kesiapan fasilitas penunjang (air bersih, sanitasi, komunikasi darurat), manajemen pemeliharaan, dan faktor keamanan lainnya. Indeks ini akan melampaui perhitungan area semata, memberikan tolok ukur yang lebih realistis untuk efektivitas DPRAGS di lapangan.

Ajakan Kolaboratif

Penelitian ini telah meletakkan dasar metodologis yang kuat untuk perencanaan DPRAGS yang lebih efektif dan rasional. Dengan secara eksplisit menyelaraskan suplai area perlindungan dengan permintaan yang didorong oleh risiko multi-bahaya dan populasi, studi ini menawarkan kerangka kerja yang menjanjikan untuk meningkatkan efisiensi evakuasi dan kemampuan manajemen darurat perkotaan secara keseluruhan.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Nanjing Forestry University, lembaga perencanaan tata ruang nasional dan regional di Indonesia (seperti Bappenas dan Bappedalitbang daerah), dan Badan Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk memastikan keberlanjutan, adaptasi, dan validitas hasil di berbagai konteks geografis Asia Tenggara.

Baca paper aslinya di sini

Selengkapnya
Mengubah Ruang Hijau Kota Menjadi Benteng Anti-Bencana: Studi Kasus Nanjing dan Model Pencocokan Suplai-Permintaan.

Manajemen Risiko

Sains Warga sebagai Garda Terdepan: Mengintegrasikan Persepsi Komunitas dalam Pengelolaan Risiko Banjir Dhaka.

Dipublikasikan oleh Raihan pada 22 Oktober 2025


Resensi Riset: Sains Warga dalam Transformasi Manajemen Risiko Banjir Perkotaan Dhaka

Penelitian ini mengulas tantangan yang dihadapi Dhaka, salah satu megacity terpadat di Asia Selatan , yang kini bergulat dengan fenomena berulang genangan air (water logging) atau banjir pluvial yang berkepanjangan. Secara historis, manajemen risiko banjir (FRM) di Dhaka didominasi oleh pendekatan struktural, seperti pembangunan tanggul dan pemodelan jaringan drainase, terutama setelah banjir katastropik seperti pada tahun 1988 dan 1998. Namun, terlepas dari upaya-upaya ini, yang melibatkan lembaga-lembaga seperti Bangladesh Water Development Board (BWDB) dan Dhaka Water Supply and Sewerage Authority (DWASA) , masalah genangan air di kawasan yang dilindungi tanggul (Dhaka Barat) dan kawasan yang rentan terhadap banjir sungai dan pluvial (Dhaka Timur) terus menjadi perhatian.

Jalur logis temuan dimulai dengan identifikasi kesenjangan kritis: pendekatan FRM yang ada belum secara memadai mengintegrasikan persepsi risiko, opini, dan pengalaman warga sebagai subjek yang paling terpapar bahaya. Penelitian sebelumnya banyak menggunakan teknik pemodelan (GIS dan RS) namun mengabaikan dimensi sosial dan partisipatif. Penelitian ini kemudian memperkenalkan konsep "sains warga" sebagai kerangka non-struktural yang menjanjikan untuk mengisi kekosongan ini. Sains warga dipandang sebagai pendekatan bottom-up yang melengkapi praktik konvensional dan berpotensi meningkatkan inovasi serta membangun ketahanan lokal.

Untuk menguji potensi ini, penelitian mengadopsi pendekatan metode campuran (mixed methods), melibatkan survei kuesioner terhadap 500 responden dari 32 wilayah administrasi (ward) yang rentan di Dhaka North City Corporation (DNCC) dan Dhaka South City Corporation (DSCC), dikombinasikan dengan Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) dan Wawancara Informan Kunci (KII).

Analisis Temuan Kuantitatif dan Kualitatif

Temuan awal dari survei memvalidasi parahnya masalah: 62.7% dari responden telah mengalami peristiwa banjir/genangan air lebih dari lima kali , dengan mayoritas responden (99.2%) memiliki pengalaman pribadi dengan banjir di komunitas mereka. Responden setiap tahun mengalami 1-3 hari genangan air selama musim muson, sebuah temuan yang menunjukkan hubungan kuat antara curah hujan intensif musiman dan kegagalan sistem drainase perkotaan—menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru mengenai durasi dan frekuensi banjir mikro.

Secara deskriptif, mayoritas responden mengidentifikasi peristiwa banjir/genangan air sebagai "sangat parah" (55.8%) dan "parah" (23.5%) di komunitas mereka. Terkait penyebab, pandangan warga jelas: 67.3% responden mengidentifikasi kondisi drainase yang buruk sebagai pendorong utama banjir yang meningkat, jauh melampaui yang mengidentifikasi curah hujan intensif (20.3%). Ini secara kritis menegaskan bahwa masalahnya bukan hanya hidrometeorologis, tetapi struktural dan tata kelola.

Meskipun 61.2% responden tidak familiar dengan istilah citizen science, yang menunjukkan tantangan dalam terminologi, namun yang lebih penting, 42.8% menyatakan antusiasme untuk terlibat dalam proyek terkait guna mempromosikan mitigasi. Temuan ini menunjukkan potensi kuat untuk mobilisasi komunitas yang membutuhkan strategi komunikasi yang berfokus pada manfaat praktis, bukan hanya pada terminologi ilmiah.

Analisis lanjutan menemukan bahwa tingkat pendidikan memainkan peran signifikan dalam pemahaman risiko. Uji Chi-square menunjukkan hubungan signifikan antara tingkat pendidikan warga dan pengetahuan mereka tentang risiko banjir/genangan air. Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara tingkat pendidikan tinggi dan kepemilikan pengetahuan yang memadai atau ahli—menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru mengenai desain intervensi komunikasi risiko yang bertarget.

Temuan kualitatif dari KII dan FGD memperkuat pandangan warga, dengan pemangku kepentingan utama mengutip urbanisasi yang tidak terencana, manajemen sistem drainase yang buruk, sistem pengelolaan limbah yang tidak tepat, dan peristiwa curah hujan ekstrem sebagai pendorong utama banjir. Diskusi kunci menekankan perlunya mengintegrasikan teknik pemodelan dan geospasial untuk membangun sistem Volunteer Geographic Information (VGI) sebagai alat mitigasi berbasis partisipasi.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa pendekatan sains warga memiliki peran signifikan dalam mengatasi risiko banjir perkotaan di Dhaka, dengan mengintegrasikan pengetahuan berbasis pengalaman ke dalam kerangka formal yang selama ini dominan bersifat teknokratis. Temuan ini menjembatani antara pengalaman jangka panjang warga (sebagian besar tinggal di area rentan selama >20 tahun) dan kebutuhan akan solusi jangka panjang yang berkelanjutan.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian ini memberikan kontribusi signifikan dengan memajukan wacana dari identifikasi masalah (banjir berulang) menuju solusi berbasis agen sosial (social-agent). Kontribusi utamanya meliputi:

  • Penyediaan Bukti Awal Partisipasi Sosial: Penelitian ini menjadi salah satu studi pionir yang secara langsung menyelidiki potensi 'sains warga' dalam konteks manajemen risiko banjir di Dhaka, sebuah konsep yang sebelumnya tidak ada dalam penelitian serupa. Ini mengubah fokus dari hanya tindakan mitigasi struktural menjadi tindakan non-struktural melalui partisipasi publik.
  • Validasi Kebutuhan Data VGI: Studi ini memberikan dukungan ilmiah, yang didasarkan pada konsensus pemangku kepentingan kunci, untuk pengembangan sistem Volunteer Geographic Information (VGI). Ini secara fundamental mengubah cara data risiko dikumpulkan—dari hanya pemantauan teknis menjadi pemetaan real-time berbasis komunitas untuk mengatasi banjir pluvial yang sulit diprediksi.
  • Koreksi Perspektif Penyebab Banjir: Dengan temuan bahwa mayoritas responden mengidentifikasi buruknya drainase (67.3%) sebagai penyebab utama, penelitian ini memberikan dasar bukti empiris bagi pembuat kebijakan untuk mengalihkan prioritas dari pertahanan terhadap sungai (struktural) ke manajemen drainase perkotaan (infrastruktural/institusional).

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun kontribusinya kuat, penelitian ini memiliki keterbatasan metodologis yang membuka jalan bagi riset selanjutnya. Keterbatasan utama adalah keputusan untuk tidak memilah sampel berdasarkan status sosial-ekonomi, pendidikan, atau variabel demografi lainnya. Faktor-faktor ini, seperti yang diakui oleh para penulis, dapat secara signifikan memengaruhi persepsi dan pengalaman risiko. Dari keterbatasan ini, muncul pertanyaan terbuka mendesak untuk agenda riset akademik di masa depan:

  1. Mekanisme Insentif dan Keterlibatan Jangka Panjang: Bagaimana niat partisipatif yang tinggi (42.8% antusiasme) dapat diterjemahkan menjadi keterlibatan yang berkelanjutan, mengingat sifat proyek sains warga seringkali menghadapi tantangan dalam mempertahankan momentum relawan?
  2. Harmonisasi Data: Bagaimana tantangan kelembagaan dan teknis dalam membangun VGI dapat diatasi untuk mengintegrasikan data crowd-sourced yang bottom-up dengan sistem data hidrologi dan tata ruang pemerintah yang top-down dan sering kali terisolasi (siloed)?
  3. Strategi Komunikasi Risiko yang Bertarget: Mengingat hubungan signifikan yang ditemukan antara tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang risiko banjir , bagaimana cara mendesain dan mengimplementasikan program komunikasi risiko yang efektif untuk segmen populasi dengan tingkat pendidikan rendah yang mungkin memiliki "sedikit pengetahuan" tentang risiko?
  4. Tantangan Tata Kelola Lintas-Sektor: Bagaimana data Sains Warga dapat dijadikan alat penegakan hukum untuk mengatasi pelanggaran yang dilakukan oleh pengembang perumahan, yang diidentifikasi sebagai penghalang utama mitigasi , dan bagaimana mekanisme ini dapat meningkatkan koordinasi antarlembaga yang saat ini lemah?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

1. Pengembangan dan Validasi Model VGI Fungsional untuk Prediksi Banjir Pluvial

  • Justifikasi Ilmiah: Diskusi pemangku kepentingan menekankan perlunya integrasi teknik pemodelan dan geospasial untuk membangun sistem Volunteer Geographic Information (VGI). Banjir pluvial menantang untuk dikelola karena durasi peringatan yang pendek.
  • Metode, Variabel, dan Konteks Baru: Penelitian selanjutnya harus berfokus pada rekayasa dan pengujian purwarupa aplikasi seluler untuk pengumpulan data real-time (kedalaman genangan, durasi, dan lokasi geospasial yang akurat). Variabel baru adalah Indeks Akurasi Geospasial Data Warga yang divalidasi silang dengan sensor formal dan Waktu Respons Peringatan (Latency) dari sistem VGI.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Mengubah rekomendasi konseptual menjadi alat operasional yang dapat digunakan oleh pemerintah kota (DNCC/DSCC) dan Flood Forecasting and Warning Centre (FFWC) untuk mengatasi banjir pluvial secara non-struktural, yang menjadi masalah utama.

2. Analisis Heterogenitas Sosial-Ekonomi dalam Niat dan Hambatan Partisipasi Sains Warga

  • Justifikasi Ilmiah: Meskipun penelitian ini menargetkan masyarakat umum, para peneliti merekomendasikan perlunya mempertimbangkan variabel sosio-demografi dalam studi mendatang untuk memperkuat hasil. Status sosial-ekonomi memengaruhi kesiapsiagaan dan persepsi risiko.
  • Metode, Variabel, dan Konteks Baru: Menerapkan studi kasus komparatif antar-strata (misalnya, area pemukiman kumuh vs. area perumahan formal). Metode baru: Analisis regresi logistik untuk memprediksi Niat Partisipasi Sains Warga berdasarkan variabel moderasi seperti pendapatan, tingkat kepemilikan aset, dan lama tinggal (>20 tahun ).
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Memahami siapa yang paling bersedia dan mengapa (misalnya, apakah yang paling rentan lebih termotivasi) akan mengarah pada desain program Sains Warga yang tidak hanya efektif, tetapi juga inklusif dan adil, melampaui fokus umum studi ini.

3. Studi Longitudinal tentang Persepsi Risiko dan Perubahan Perilaku Komunitas

  • Justifikasi Ilmiah: Konsep risiko Raaijmakers et al. menunjukkan interkoneksi dinamis antara Kesadaran, Kekhawatiran, dan Kesiapsiagaan. Kekhawatiran yang berkurang dari waktu ke waktu dapat menurunkan kesadaran. Penelitian ini menemukan bahwa warga memiliki tingkat kesadaran (37.8%) dan kekhawatiran sedang (37.2%).
  • Metode, Variabel, dan Konteks Baru: Menggunakan studi longitudinal dengan variabel intervensi (misalnya, kampanye risk communication yang intensif) untuk menguji dampak pada Indeks Kesiapsiagaan Komunitas. Variabel baru: Laju Penurunan Kekhawatiran (Worry Decay Rate) setelah peristiwa banjir.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Dalam perubahan perilaku menuju FRM yang lebih baik, motivasi adalah tahap pertama. Penelitian ini sangat penting untuk merancang komunikasi risiko yang berkelanjutan yang dapat mempertahankan motivasi dan kesiapsiagaan, terutama karena genangan air menjadi fenomena berulang yang dinormalisasi.

4. Evaluasi Dampak Sains Warga terhadap Kapasitas Kelembagaan Lintas-Sektor

  • Justifikasi Ilmiah: Tata kelola risiko banjir di Dhaka terkendala oleh mandat yang tumpang tindih dan kurangnya koordinasi di antara berbagai lembaga publik.
  • Metode, Variabel, dan Konteks Baru: Mengembangkan Model Tata Kelola Adaptif yang memanfaatkan data VGI sebagai masukan sentral untuk integrasi data dan keputusan antar-lembaga. Variabel baru: Indeks Kolaborasi Kelembagaan, yang mengukur efisiensi berbagi data dan tindakan yang diambil bersama (misalnya, pembersihan khal/kanal yang berfungsi ).
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Data partisipatif dapat berfungsi sebagai platform yang memaksa kerja sama antarlembaga, mentransformasi masalah koordinasi yang bersifat institusional menjadi peluang peningkatan efisiensi yang didorong oleh kebutuhan data real-time komunitas.

5. Pemodelan Pelanggaran Tata Ruang (Encroachment) Berbasis Data Sains Warga

  • Justifikasi Ilmiah: Pembangunan di dataran banjir dan penimbunan badan air telah mengurangi kapasitas retensi air, memperburuk genangan. RAJUK’s Structure Plan (2016-2035) juga mengidentifikasi bahwa kebijakan pemeliharaan Zona Aliran Banjir hanya diimplementasikan sebagian.
  • Metode, Variabel, dan Konteks Baru: Mengintegrasikan data VGI dari warga mengenai pelanggaran tata ruang (misalnya, lokasi penimbunan) dengan pemodelan hidrologi. Variabel baru: Koefisien Resistensi Aliran Banjir Perkotaan yang dihitung berdasarkan tingkat dan lokasi pelanggaran yang terverifikasi.
  • Perlunya Penelitian Lanjutan: Mengubah keluhan umum tentang kegagalan penegakan hukum menjadi data geospasial yang akurat memungkinkan pihak berwenang (RAJUK) untuk memprioritaskan tindakan penegakan, menghubungkan observasi bottom-up dengan perencanaan top-down untuk keberlanjutan.

Kesimpulan

Temuan dari studi ini menggarisbawahi potensi transformatif dari sains warga untuk manajemen risiko banjir di Dhaka. Melalui integrasi pengalaman warga (yang telah menghadapi banjir lebih dari 5 kali ) dan teknologi geospasial (VGI ), Dhaka dapat beralih dari fokus struktural semata ke strategi yang lebih holistik dan adaptif. Penelitian lanjutan harus fokus pada mengatasi kesenjangan sosio-ekonomi dan kelembagaan untuk memastikan partisipasi yang inklusif dan penerimaan yang efektif dari data warga ke dalam proses pengambilan keputusan formal.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Rajdhani Unnayan Kartripakhya (RAJUK), Bangladesh Water Development Board (BWDB), dan Dhaka Water Supply and Sewerage Authority (DWASA) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, terutama dalam hal penegakan peraturan tata ruang dan manajemen sistem drainase yang terpadu.

Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Sains Warga sebagai Garda Terdepan: Mengintegrasikan Persepsi Komunitas dalam Pengelolaan Risiko Banjir Dhaka.
« First Previous page 41 of 1.279 Next Last »