Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 22 Oktober 2025
Mengapa Keadilan Representasi Muncul sebagai Agenda Penelitian Baru
Socio-hydrology, sebagai studi tentang interaksi manusia dan air, belum secara komprehensif membahas siapa yang membuat keputusan dalam pengelolaan sumber daya air. Artikel ini menyoroti ketimpangan gender, ras, dan posisi sosial dalam sektor air, terutama di negara maju seperti Amerika Serikat.
Studi ini menyoroti bagaimana kurangnya representasi kelompok yang terpinggirkan menyebabkan dampak langsung pada keputusan tata kelola air, penyusunan kebijakan, dan bahkan prioritas pembangunan infrastruktur air.
Studi Kasus: Survei Tenaga Kerja Sektor Air di AS
Penelitian ini menggunakan survei eksploratif terhadap 496 pekerja sektor air di Amerika Serikat. Hasil utamanya:
Tiga Temuan Kunci
1. Politik dan Kekuasaan Membentuk Komposisi Sektor Air
Ketimpangan bukan sekadar ketidakhadiran perempuan atau kelompok minoritas, tetapi juga mencakup pola promosi, sistem penggajian, hingga penugasan pekerjaan. Contohnya, perempuan dengan kualifikasi setara menerima gaji USD 2 lebih rendah per jam dibanding rekan laki-laki.
2. Data Kualitatif Menggambarkan Realitas Hidup Lebih Baik daripada Statistik
Responden mengungkapkan pelecehan verbal, penghinaan terselubung, penolakan promosi, hingga pengucilan dalam jaringan kerja informal. Seorang perempuan melaporkan tak diikutkan dalam acara minum bersama klien yang merupakan saluran penting untuk membangun jejaring dan promosi.
3. Representasi Melampaui Gender—Peran Interseksionalitas
Perempuan dari kelompok non-kulit putih mengalami kombinasi diskriminasi: bukan hanya karena gender, tetapi juga karena ras, agama, usia, dan status keluarga. Mereka juga mengalami kesulitan mengakses informasi peluang karier, mentoring, dan sering diposisikan sebagai tidak layak untuk peran teknis.
Kerangka Teori: Feminist Political Ecology dan Inequality Regimes
Feminist Political Ecology (FPE) memandang pengelolaan air bukan hanya sebagai isu teknis, tetapi juga sebagai arena politik sosial yang dipengaruhi oleh norma gender dan relasi kekuasaan.
Inequality Regimes menjelaskan bagaimana institusi kerja secara sistematis melestarikan ketimpangan melalui praktik dan budaya organisasional yang tampaknya netral, namun meminggirkan perempuan dan kelompok minoritas.
Ketimpangan dalam Praktek: Cerita Nyata dari Pekerja Sektor Air
Beberapa kutipan nyata dari survei:
Dampak Sistemik dari Kurangnya Representasi
Kekurangan representasi bukan hanya isu etis atau moral, tapi juga berimplikasi langsung pada hasil tata kelola air:
Model Alternatif: Representasi Sebagai Titik Awal Penguatan Socio-Hydrology
Penulis mengusulkan kerangka baru: Justice-Based Representation Model, di mana representasi bukan sekadar soal jumlah, tapi soal keterlibatan bermakna dalam keputusan.
Dalam model ini:
Analisis Kritis dan Opini
Kekuatan Artikel:
Kritik Konstruktif:
Relevansi Global dan Industri:
Kesimpulan: Saatnya Socio-Hydrology Memandang Representasi sebagai Prioritas
Keadilan representasi bukan sekadar isu tambahan dalam pengelolaan air, tetapi inti dari solusi jangka panjang untuk mencapai ketahanan air, keadilan sosial, dan efektivitas kebijakan. Representasi bukan hanya soal siapa yang hadir di ruang rapat, tetapi siapa yang diakui, dihormati, dan didengar dalam pengambilan keputusan.
Sumber Artikel:
Haeffner, Melissa; Hellman, Dana; Cantor, Alida; Ajibade, Idowu; Oyanedel-Craver, Vinka; Kelly, Maura; Schifman, Laura; Weasel, Lisa. (2021). Representation Justice as a Research Agenda for Socio-Hydrology and Water Governance. Hydrological Sciences Journal, 66(11), 1611–1624.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 22 Oktober 2025
Konteks Global: Danau Sebagai Ekosistem Terancam
Air tawar hanya 0,01% dari total air di dunia, tapi menopang kebutuhan 80% populasi manusia. Danau Inle di Myanmar adalah ekosistem air tawar penting yang mengalami degradasi parah sejak tahun 2000-an akibat urbanisasi, intensifikasi pertanian, dan perubahan iklim.
Tujuan Penelitian dan Pendekatan DPSIR
Penelitian ini menggunakan kerangka DPSIR (Driver–Pressure–State–Impact–Response) untuk mengevaluasi degradasi Danau Inle dari tahun 1990 hingga 2020. Pendekatan ini dikombinasikan dengan:
Profil Danau Inle dan Tantangannya
Perubahan lahan 1990–2020:
Simulasi SWAT+: Dampak Perubahan Lahan
Model SWAT+ digunakan untuk membandingkan dua kondisi (1990 dan 2020):
Hasil signifikan terutama di wilayah utara dan barat danau yang mengalami urbanisasi dan deforestasi tinggi.
Kualitas Air: Polusi dari Pertanian dan Aktivitas Manusia
Survei Sosial: Persepsi dan Perilaku Warga
Dari 148 responden:
Dampak Ekonomi dan Sosial
Model DPSIR: Keterkaitan Sosial dan Lingkungan
Analisis Kritis dan Nilai Tambah
Kekuatan Studi:
Kekurangan:
Nilai Tambah:
Kesimpulan: Strategi Berbasis Data untuk Menyelamatkan Danau Inle
Penelitian ini membuktikan bahwa kerangka DPSIR yang dikombinasikan dengan model SWAT+ dan pendekatan sosial mampu:
Sumber Artikel:
Peters, Kristin; Wagner, Paul D.; Phyo, Ei Wai; Zin, Win Win; Kyi, Cho Cho Thin; Fohrer, Nicola. (2023). Spatial and temporal assessment of human-water interactions at the Inle Lake, Myanmar: a socio-hydrological DPSIR analysis. Environmental Monitoring and Assessment, 195:220.
Teknologi Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 22 Oktober 2025
Pendahuluan: Infrastruktur sebagai Pilar Pemerataan Ekonomi
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau dan populasi sekitar 270 juta jiwa, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam membangun kesetaraan sosial dan ekonomi antar wilayah. Di tengah dominasi ekonomi yang selama ini terpusat di Pulau Jawa (menyumbang 58% PDB), pemerintah Indonesia menetapkan arah pembangunan yang lebih Indonesia-sentris melalui agenda Nawacita.
Laporan Infrastructure for Inclusive Economic Development: Lessons Learnt from Indonesia, yang disusun oleh berbagai pakar ekonomi dan lembaga kementerian, menjadi catatan penting atas bagaimana Indonesia mengakselerasi pembangunan infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif, tangguh, dan berkelanjutan.
Strategi Pembangunan Infrastruktur: Mobilisasi Semua Sektor
Pembangunan infrastruktur sejak 2016 difokuskan pada konektivitas antarpulau, pemerataan layanan dasar, serta peningkatan daya saing ekonomi daerah. Pemerintah meluncurkan Proyek Strategis Nasional (PSN) yang pada 2022 mencakup 210 proyek senilai lebih dari Rp5.746 triliun, termasuk jalan tol, bendungan, bandara, pelabuhan, kawasan industri, dan sistem irigasi.
Beberapa capaian utama:
153 PSN selesai pada 2016–2022 dengan nilai investasi total Rp1.040 triliun
36 bendungan menghasilkan pasokan air bersih 2,73 miliar m³ dan mengairi 288.000 hektare lahan
1.000+ km jalur rel dibangun di berbagai wilayah
Keberhasilan ini tak lepas dari kolaborasi lintas lembaga: Kementerian Keuangan, Bappenas, Kemenko Perekonomian, dan ERIA, dengan dukungan investasi swasta dan skema KPBU (kerja sama pemerintah dan badan usaha).
Dampak Langsung: Konektivitas, Investasi, dan Pertumbuhan Daerah
Pembangunan infrastruktur berdampak langsung terhadap ekonomi daerah. Studi dalam buku ini menggunakan pendekatan difference-in-differences terhadap proyek Tol Bakauheni–Terbanggi Besar, yang menunjukkan:
Pertumbuhan ekonomi daerah inti meningkat 7,6%
Akses ke air bersih dan sanitasi meningkat hingga 13%
Penurunan tingkat kemiskinan di wilayah terdampak
Selain itu, proyek SPAM (sistem penyediaan air minum) seperti Umbulan dan Bandar Lampung memperlihatkan penghematan pengeluaran air rumah tangga hingga Rp100.000 per bulan bagi rumah tangga berpendapatan rendah.
Analisis Tambahan: Tantangan Riil dan Solusi Inovatif
Meski pembangunan masif dilakukan, tantangan di lapangan masih nyata:
1. Pembebasan Lahan
Kendala ini menjadi penyebab utama molornya proyek. Beberapa proyek seperti pembangunan jalan dan bandara sempat tertunda bertahun-tahun karena negosiasi yang rumit. Pemerintah membentuk LMAN (Lembaga Manajemen Aset Negara) untuk mengelola pembiayaan lahan secara transparan.
2. Keterbatasan Pendanaan
Pasca krisis finansial Asia 1997, belanja infrastruktur Indonesia sempat turun drastis menjadi hanya 2% dari PDB. Kini, melalui penerbitan green sukuk dan skema obligasi berkelanjutan, Indonesia menjadi pelopor pembiayaan hijau di Asia Tenggara.
3. Kesenjangan Regional
Laporan menunjukkan bahwa 67,5% investasi PSN terkonsentrasi di Jawa. Kalimantan, Sulawesi, dan Papua masih menghadapi ketimpangan infrastruktur yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi wilayah.
Nilai Tambah: Kritik Konstruktif dan Arah Masa Depan
Perbandingan dengan Negara Lain:
Vietnam dan China berhasil menarik lebih banyak investasi asing langsung (FDI) dengan mengintegrasikan pembangunan infrastruktur dan reformasi regulasi bisnis.
Indonesia dapat meniru integrasi antara zoning industri, infrastruktur, dan insentif fiskal secara lebih sistemik.
Peluang:
Digitalisasi infrastruktur menjadi kunci. Layanan digital seperti logistik berbasis aplikasi, pembayaran tol non-tunai, hingga sensor pemantau air memungkinkan efisiensi lebih tinggi.
Infrastruktur hijau dan adaptif iklim semakin mendesak di tengah ancaman perubahan iklim. Buku ini mencatat bahwa Indonesia telah menerbitkan Green Sukuk senilai USD 3,2 miliar dalam kurun 2018–2022 untuk mendanai proyek berkelanjutan.
Kesimpulan: Infrastruktur Bukan Sekadar Beton dan Aspal
Resensi ini menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur di Indonesia telah berkembang dari sekadar pembangunan fisik menjadi instrumen untuk mencapai pemerataan ekonomi, transformasi digital, dan adaptasi iklim. Indonesia memang belum sepenuhnya setara dengan negara maju, namun langkah strategis melalui PSN menjadi bukti nyata bahwa infrastruktur adalah pendorong inklusivitas.
Untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045, pembangunan infrastruktur harus terus diarahkan untuk:
Menutup kesenjangan regional
Menjawab tantangan iklim
Mendorong peran serta sektor swasta
Memastikan manfaat langsung ke masyarakat miskin dan daerah tertinggal
Sumber Resmi
Disusun oleh Sri Mulyani Indrawati dkk.
Dipublikasikan oleh Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA), Oktober 2023.
https://www.eria.org
ISBN: 978-602-5460-51-7
Manajemen Bencana
Dipublikasikan oleh Raihan pada 22 Oktober 2025
Menjembatani Kesenjangan Kesiapsiagaan: Arah Riset Masa Depan untuk Manajemen Bencana Lintas Batas di Balkan
Wilayah Balkan menghadapi kerentanan ganda. Secara geografis, kawasan ini sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, dengan peningkatan frekuensi dan tingkat keparahan bencana alam seperti banjir dan cuaca ekstrem. Secara historis dan politik, respons terhadap bencana ini terfragmentasi, terhambat oleh tantangan koordinasi antara berbagai negara dan yurisdiksi. Meskipun bencana tidak mengenal batas negara , kerangka kerja untuk manajemen bencana bersama—terutama dalam fase kesiapsiagaan yang kritis—dianggap sangat langka, bahkan "hampir tidak ada" dalam literatur ilmiah untuk kawasan ini.
Menanggapi kesenjangan kritis ini, sebuah studi baru oleh Kanteler dan Bakouros (2024) yang diterbitkan dalam International Journal of Disaster Risk Reduction menyajikan upaya perintis untuk merancang kerangka kerja manajemen bencana kesiapsiagaan lintas batas (cross-border) yang holistik dan terintegrasi untuk wilayah Balkan. Penelitian ini tidak hanya memetakan tantangan yang ada tetapi juga membangun konsensus di antara para ahli tentang elemen-elemen fundamental yang diperlukan untuk kolaborasi yang efektif.
Perjalanan penelitian ini dimulai dengan analisis kuantitatif yang mengkhawatirkan menggunakan data INFORM Index. Analisis ini memvalidasi urgensi penelitian: proyeksi menunjukkan peningkatan paparan bahaya di tahun-tahun mendatang, dengan negara-negara seperti Albania, Yunani, dan Kroasia menjadi yang paling rentan. Lebih penting lagi, data menunjukkan "kekurangan serius" dalam kapasitas penanggulangan (coping capacity) di sebagian besar wilayah, dengan Bosnia dan Herzegovina diidentifikasi sebagai yang paling tidak beruntung. Temuan ini menggarisbawahi fakta bahwa kolaborasi lintas batas bukanlah sebuah kemewahan, melainkan kebutuhan mendesak untuk kelangsungan hidup regional, karena negara-negara harus bergantung pada tetangga terdekat mereka untuk mendapatkan bantuan segera.
Untuk membangun kerangka kerja, penelitian ini menggunakan metodologi studi Delphi yang kuat, sebuah proses terstruktur untuk mencapai konsensus ahli. Pertama, tinjauan literatur yang sistematis mengidentifikasi sepuluh pilar inti manajemen darurat, yang mencakup: Tata Kelola & Kepemimpinan, Komando & Kontrol, Teknologi & Keamanan Informasi, Pembangunan Kapasitas, Analisis Risiko, Kapasitas Tenaga Kerja, Jaringan Lintas Batas, Keterlibatan Masyarakat, Sumber Daya, dan Layanan Kesehatan .
Panel ahli kemudian dibentuk, mengumpulkan 102 responden di Putaran 1 dan 70 responden di Putaran 2 dari 11 negara Balkan (termasuk Yunani, Albania, Serbia, Kroasia, dan lainnya) ditambah Siprus. Panel ini beragam, mencakup perwakilan dari Otoritas Perlindungan Sipil, Kementerian Dalam Negeri, Brigade Pemadam Kebakaran, Organisasi Kemanusiaan, Kepolisian, dan Lembaga Penelitian.
Temuan inti dari studi Delphi ini sangat mencerahkan. Terungkap sebuah konsensus universal: "Tata Kelola dan Kepemimpinan" diidentifikasi sebagai prioritas utama nomor satu oleh semua kelompok pemangku kepentingan yang berpartisipasi, tanpa kecuali. Prioritas bersama ini menunjukkan bahwa terlepas dari perbedaan operasional, para ahli di seluruh Balkan setuju bahwa fondasi untuk kolaborasi yang sukses bersifat strategis, melibatkan kebijakan yang jelas, kerangka hukum, dan peran serta tanggung jawab yang terdefinisi dengan baik.
Namun, di bawah kesepakatan tingkat atas ini, analisis klaster mengungkapkan perbedaan prioritas yang penting untuk penelitian di masa depan:
Secara signifikan, penelitian ini juga menemukan "kesenjangan konsensus". Klaster 1—kelompok yang mencakup badan-badan pemerintah inti—menunjukkan konsensus 0% pada pilar "Keterlibatan Masyarakat". Ini adalah temuan kuantitatif yang mencolok, menunjukkan bahwa meskipun literatur akademis memuji keterlibatan komunitas dari bawah ke atas, para pembuat kebijakan di Balkan saat ini tidak memprioritaskannya dalam konteks lintas batas.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Kontribusi penelitian ini bersifat fundamental. Ini adalah studi perintis yang menyediakan kerangka kerja berbasis bukti empiris pertama untuk kesiapsiagaan bencana lintas batas di Balkan. Dengan mencapai konsensus di antara 11 negara dan berbagai lembaga, kerangka kerja ini menciptakan bahasa yang sama dan landasan bersama di wilayah yang secara historis terfragmentasi. Hasilnya adalah satu set elemen dan rekomendasi yang disepakati secara bulat (dirinci dalam Tabel 1-10 dalam paper ) yang dapat diadopsi oleh para pembuat kebijakan untuk menyelaraskan strategi nasional mereka. Selain itu, ini mengisi kesenjangan literatur yang signifikan dan memberikan justifikasi kuantitatif (melalui analisis INFORM dan Delphi) untuk kolaborasi yang lebih erat.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Para penulis bersikap transparan tentang keterbatasan metodologis. Sampel ahli, meskipun kuat, dibatasi oleh ketersediaan kontak dan sumber daya, dan dengan demikian tidak mewakili seluruh pemangku kepentingan di semua negara Balkan. Selain itu, studi Delphi mengalami pengurangan peserta sebesar 30% antara putaran, sebuah tantangan umum untuk metode ini, meskipun penulis berpendapat bahwa 70 tanggapan akhir tetap berkualitas tinggi.
Keterbatasan ini mengarah pada pertanyaan terbuka yang krusial bagi komunitas riset: Kerangka kerja teoretis kini ada, tetapi bagaimana kerangka kerja ini dapat dioperasionalkan? Apa hambatan politik, keuangan, dan hukum yang nyata untuk implementasinya?
Lebih mendesak lagi, mengapa ada pemutusan hubungan yang begitu tajam antara kebutuhan yang diakui akan keterlibatan masyarakat dan prioritas 0% yang diberikan oleh para pembuat kebijakan? Apakah ini cerminan dari budaya manajemen krisis top-down yang mengakar, kurangnya sumber daya, atau anggapan bahwa logistik lintas batas terlalu rumit untuk melibatkan warga sipil? Pertanyaan ini menuntut penyelidikan segera.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan justifikasi ilmiah)
Berdasarkan temuan kuat dan pertanyaan terbuka dari paper ini, kami mengusulkan lima jalur penelitian konkret untuk memajukan bidang ini, yang dirancang khusus untuk peneliti, akademisi, dan badan pemberi hibah.
1. Pengembangan dan Validasi Indikator Kinerja Utama (KPI) dari Kerangka Kerja
2. Analisis Kesenjangan Implementasi Komparatif di Tingkat Nasional
3. Investigasi Kualitatif Mendalam tentang Anomali "Keterlibatan Masyarakat"
4. Riset Aksi: Merancang dan Menguji Modul Pelatihan Bersama
5. Pemodelan Efektivitas Kerangka Kerja Melalui Latihan Simulasi (Tabletop Exercise - TTX)
Panggilan untuk Kolaborasi
Penelitian oleh Kanteler dan Bakouros telah memberikan alat yang tak ternilai harganya bagi komunitas manajemen bencana. Mereka telah membangun fondasi bersama. Sekarang, tanggung jawab beralih ke komunitas riset untuk membangun di atas fondasi itu. Tantangannya adalah beralih dari konsensus teoretis ke implementasi praktis dan ketahanan operasional.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi erat antara lembaga akademik, Otoritas Perlindungan Sipil nasional di setiap negara Balkan, organisasi kemanusiaan yang beroperasi di lapangan, dan badan-badan Uni Eropa seperti DG ECHO. Hanya melalui upaya bersama seperti inilah kita dapat memastikan bahwa kerangka kerja yang menjanjikan ini menjadi kenyataan yang menyelamatkan jiwa.
Perencanaan Kota
Dipublikasikan oleh Raihan pada 22 Oktober 2025
Mengubah Paradigma Perencanaan Ruang Hijau Bencana: Memastikan Kecocokan Suplai dan Permintaan di Metropolis Padat
Urbanisasi yang pesat telah mengubah kota-kota metropolitan padat menjadi simpul kerentanan tinggi terhadap berbagai bencana, termasuk bencana geologi, banjir, dan kebakaran. Konsentrasi tinggi populasi, material, dan infrastruktur memperparah dampak silang bencana, yang menuntut pendekatan perencanaan mitigasi yang lebih cerdas. Ruang Hijau Pencegahan dan Penghindaran Risiko Bencana (DPRAGS) adalah komponen penting dari sistem pencegahan bencana eksternal perkotaan, menyediakan fungsi vital seperti perlindungan, evakuasi, dan penyimpanan material darurat.
Di masa lalu, perencanaan DPRAGS seringkali hanya berfokus pada tata letak yang seimbang (equilibrium) dari sisi suplai, yang bertujuan mendistribusikan ruang hijau secara merata. Namun, pendekatan ini memiliki cacat fundamental: ia cenderung mengabaikan distribusi risiko bencana yang kompleks dan, yang lebih penting, permintaan populasi yang sesungguhnya di lokasi yang paling berisiko. Akibatnya, muncul kesenjangan yang luas antara suplai dan permintaan ruang hijau perlindungan—area yang ditandai dengan suplai yang tidak memadai, aksesibilitas rendah, dan pemanfaatan sumber daya yang tidak efisien, khususnya di saat kritis.
Penelitian ini secara eksplisit mengatasi kekurangan metodologis ini. Studi ini berfokus pada peningkatan efisiensi DPRAGS dari perspektif pencocokan suplai dan permintaan (supply and demand matching), dengan mengambil area perkotaan utama Nanjing, China—sebuah metropolis padat yang representatif—sebagai studi kasus. Dengan memanfaatkan teknologi Sistem Informasi Geografis (GIS) dan model cakupan kapasitas maksimal terbatas (maximum capacity limitation coverage model), penelitian ini membangun jalur logis yang komprehensif untuk perencanaan tata ruang yang jauh lebih rasional dan responsif terhadap kebutuhan manusia.
Jalur Logis Perjalanan Temuan (Parafrase Isi Paper)
Penelitian ini dibangun di atas kerangka kerja empat fase yang logis, yang dirancang untuk menjembatani kesenjangan antara perencanaan DPRAGS berbasis suplai dan realitas kerentanan multi-risiko:
Fase 1: Analisis Kesiapan dan Batas Layanan Infrastruktur
Langkah pertama adalah menetapkan parameter operasional sistem darurat perkotaan. Ini melibatkan penentuan cakupan layanan agensi penyelamat (medis, pemadam kebakaran) dan analisis jaringan jalan darurat. Ditemukan bahwa radius layanan efektif dari kendaraan penyelamat di area studi ditentukan antara 1,750 m hingga 2,500 m. Jangkauan ini, dihitung berdasarkan kecepatan respons yang realistis dalam rentang waktu kritis (misalnya, 3–5 menit), mendefinisikan batas fisik dan kognitif untuk seberapa cepat populasi dapat mengakses DPRAGS. Batas layanan ini berfungsi sebagai dasar untuk menentukan unit tata ruang DPRAGS yang terintegrasi, yang memastikan setiap unit permintaan populasi dapat dijangkau oleh suplai perlindungan dalam batas waktu emas (Golden Hour) respons darurat.
Fase 2: Pemetaan Risiko Multi-Bencana dan Bobot Relatif
Melalui kerangka penilaian risiko yang komprehensif—mencakup Bahaya (Hazard), Paparan (Exposure), dan Kerentanan (Vulnerability)—penelitian ini mengidentifikasi empat jenis bencana utama di Nanjing: gempa bumi, bencana geologi, banjir, dan kebakaran. Dengan menggunakan metode pembobotan (seperti AHP dan penilaian ahli), sebuah sistem indeks risiko multi-bencana dikembangkan. Misalnya, analisis risiko gempa menunjukkan bahwa faktor Bahaya ($B_{1}$) memiliki bobot dominan sebesar 0.56, menekankan peran penting ancaman fisik primer. Dengan menggabungkan bobot ini, penelitian menghasilkan peta risiko multi-bencana terperinci. Peta ini bukan hanya untuk informasi, tetapi menjadi input krusial dalam menentukan permintaan perlindungan, sebab permintaan harus lebih tinggi di wilayah yang memiliki risiko komprehensif yang lebih besar.
Fase 3: Analisis Pencocokan Suplai-Permintaan dengan Kendala Kapasitas
Ini adalah inti inovasi. Suplai DPRAGS efektif dihitung dengan mempertimbangkan bukan hanya area total, tetapi juga kapasitas perlindungan yang sebenarnya. Secara umum, area perlindungan efektif diperkirakan mencapai 60% dari total area ruang hijau, mengasumsikan area terbuka yang benar-benar dapat digunakan untuk penampungan. Pendekatan ini juga menerapkan konsep bersarang (nested), di mana ruang hijau perlindungan yang lebih tinggi (Jangka Panjang/LTRGS) dapat menutupi dan mendukung kebutuhan ruang hijau tingkat yang lebih rendah (Jangka Pendek-Menengah/SMTRGS).
Di sisi permintaan, kebutuhan area perlindungan dihitung untuk setiap unit permintaan (berbasis komunitas) menggunakan koefisien bencana komprehensif. Dalam perhitungan kebutuhan area, temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara Kepadatan Populasi dan kebutuhan perlindungan, dengan koefisien 0.78 (sebagai contoh temuan) — menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru dalam perencanaan yang benar-benar berpusat pada manusia dan risiko. Berdasarkan koefisien ini, kebutuhan area perlindungan per kapita ditetapkan secara tegas: Ruang Hijau Perlindungan Darurat (ERGS) membutuhkan 1.0 $m^{2}/orang$, SMTRGS 2.0 $m^{2}/orang$, dan LTRGS 5.0 $m^{2}/orang$.
Akhirnya, hubungan pencocokan antara suplai dan permintaan diklarifikasi menggunakan model cakupan kapasitas maksimal dengan kendala kapasitas. Model ini secara matematis memaksa area perlindungan yang tersedia untuk tidak melebihi kapasitas yang dibutuhkan, sekaligus memastikan tidak ada unit permintaan yang terlewatkan—sebuah keharusan dalam kota padat yang minim lahan.
Fase 4: Perencanaan Tata Ruang Berbasis Unit dan Strategi Lokasi
Berdasarkan hasil analisis fase 3, unit tata ruang DPRAGS dibagi dan direncanakan. Strategi "tiga langkah" digunakan untuk menentukan batas unit (misalnya, radius layanan, jaringan jalan, dan batas risiko). Perencanaan tata ruang difokuskan pada peningkatan fungsi dan koordinasi spasial DPRAGS yang ada dan memprioritaskan perluasan baru hanya di area yang menunjukkan kesenjangan suplai-permintaan yang signifikan. Hasil studi ini menegaskan bahwa metode perencanaan terunitisasi yang berbasis pencocokan suplai dan permintaan secara signifikan lebih efektif dalam memenuhi persyaratan perlindungan dan meningkatkan rasionalitas tata ruang dibandingkan dengan metode konvensional.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian ini memberikan kontribusi yang transformatif bagi perencanaan kota dan mitigasi bencana:
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun progresif, penelitian ini meninggalkan beberapa celah riset yang harus dieksplorasi oleh komunitas akademik:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
Berikut adalah lima arahan eksplisit untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah riset:
Ajakan Kolaboratif
Penelitian ini telah meletakkan dasar metodologis yang kuat untuk perencanaan DPRAGS yang lebih efektif dan rasional. Dengan secara eksplisit menyelaraskan suplai area perlindungan dengan permintaan yang didorong oleh risiko multi-bahaya dan populasi, studi ini menawarkan kerangka kerja yang menjanjikan untuk meningkatkan efisiensi evakuasi dan kemampuan manajemen darurat perkotaan secara keseluruhan.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Nanjing Forestry University, lembaga perencanaan tata ruang nasional dan regional di Indonesia (seperti Bappenas dan Bappedalitbang daerah), dan Badan Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk memastikan keberlanjutan, adaptasi, dan validitas hasil di berbagai konteks geografis Asia Tenggara.
Manajemen Risiko
Dipublikasikan oleh Raihan pada 22 Oktober 2025
Resensi Riset: Sains Warga dalam Transformasi Manajemen Risiko Banjir Perkotaan Dhaka
Penelitian ini mengulas tantangan yang dihadapi Dhaka, salah satu megacity terpadat di Asia Selatan , yang kini bergulat dengan fenomena berulang genangan air (water logging) atau banjir pluvial yang berkepanjangan. Secara historis, manajemen risiko banjir (FRM) di Dhaka didominasi oleh pendekatan struktural, seperti pembangunan tanggul dan pemodelan jaringan drainase, terutama setelah banjir katastropik seperti pada tahun 1988 dan 1998. Namun, terlepas dari upaya-upaya ini, yang melibatkan lembaga-lembaga seperti Bangladesh Water Development Board (BWDB) dan Dhaka Water Supply and Sewerage Authority (DWASA) , masalah genangan air di kawasan yang dilindungi tanggul (Dhaka Barat) dan kawasan yang rentan terhadap banjir sungai dan pluvial (Dhaka Timur) terus menjadi perhatian.
Jalur logis temuan dimulai dengan identifikasi kesenjangan kritis: pendekatan FRM yang ada belum secara memadai mengintegrasikan persepsi risiko, opini, dan pengalaman warga sebagai subjek yang paling terpapar bahaya. Penelitian sebelumnya banyak menggunakan teknik pemodelan (GIS dan RS) namun mengabaikan dimensi sosial dan partisipatif. Penelitian ini kemudian memperkenalkan konsep "sains warga" sebagai kerangka non-struktural yang menjanjikan untuk mengisi kekosongan ini. Sains warga dipandang sebagai pendekatan bottom-up yang melengkapi praktik konvensional dan berpotensi meningkatkan inovasi serta membangun ketahanan lokal.
Untuk menguji potensi ini, penelitian mengadopsi pendekatan metode campuran (mixed methods), melibatkan survei kuesioner terhadap 500 responden dari 32 wilayah administrasi (ward) yang rentan di Dhaka North City Corporation (DNCC) dan Dhaka South City Corporation (DSCC), dikombinasikan dengan Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) dan Wawancara Informan Kunci (KII).
Analisis Temuan Kuantitatif dan Kualitatif
Temuan awal dari survei memvalidasi parahnya masalah: 62.7% dari responden telah mengalami peristiwa banjir/genangan air lebih dari lima kali , dengan mayoritas responden (99.2%) memiliki pengalaman pribadi dengan banjir di komunitas mereka. Responden setiap tahun mengalami 1-3 hari genangan air selama musim muson, sebuah temuan yang menunjukkan hubungan kuat antara curah hujan intensif musiman dan kegagalan sistem drainase perkotaan—menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru mengenai durasi dan frekuensi banjir mikro.
Secara deskriptif, mayoritas responden mengidentifikasi peristiwa banjir/genangan air sebagai "sangat parah" (55.8%) dan "parah" (23.5%) di komunitas mereka. Terkait penyebab, pandangan warga jelas: 67.3% responden mengidentifikasi kondisi drainase yang buruk sebagai pendorong utama banjir yang meningkat, jauh melampaui yang mengidentifikasi curah hujan intensif (20.3%). Ini secara kritis menegaskan bahwa masalahnya bukan hanya hidrometeorologis, tetapi struktural dan tata kelola.
Meskipun 61.2% responden tidak familiar dengan istilah citizen science, yang menunjukkan tantangan dalam terminologi, namun yang lebih penting, 42.8% menyatakan antusiasme untuk terlibat dalam proyek terkait guna mempromosikan mitigasi. Temuan ini menunjukkan potensi kuat untuk mobilisasi komunitas yang membutuhkan strategi komunikasi yang berfokus pada manfaat praktis, bukan hanya pada terminologi ilmiah.
Analisis lanjutan menemukan bahwa tingkat pendidikan memainkan peran signifikan dalam pemahaman risiko. Uji Chi-square menunjukkan hubungan signifikan antara tingkat pendidikan warga dan pengetahuan mereka tentang risiko banjir/genangan air. Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara tingkat pendidikan tinggi dan kepemilikan pengetahuan yang memadai atau ahli—menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru mengenai desain intervensi komunikasi risiko yang bertarget.
Temuan kualitatif dari KII dan FGD memperkuat pandangan warga, dengan pemangku kepentingan utama mengutip urbanisasi yang tidak terencana, manajemen sistem drainase yang buruk, sistem pengelolaan limbah yang tidak tepat, dan peristiwa curah hujan ekstrem sebagai pendorong utama banjir. Diskusi kunci menekankan perlunya mengintegrasikan teknik pemodelan dan geospasial untuk membangun sistem Volunteer Geographic Information (VGI) sebagai alat mitigasi berbasis partisipasi.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa pendekatan sains warga memiliki peran signifikan dalam mengatasi risiko banjir perkotaan di Dhaka, dengan mengintegrasikan pengetahuan berbasis pengalaman ke dalam kerangka formal yang selama ini dominan bersifat teknokratis. Temuan ini menjembatani antara pengalaman jangka panjang warga (sebagian besar tinggal di area rentan selama >20 tahun) dan kebutuhan akan solusi jangka panjang yang berkelanjutan.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Penelitian ini memberikan kontribusi signifikan dengan memajukan wacana dari identifikasi masalah (banjir berulang) menuju solusi berbasis agen sosial (social-agent). Kontribusi utamanya meliputi:
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun kontribusinya kuat, penelitian ini memiliki keterbatasan metodologis yang membuka jalan bagi riset selanjutnya. Keterbatasan utama adalah keputusan untuk tidak memilah sampel berdasarkan status sosial-ekonomi, pendidikan, atau variabel demografi lainnya. Faktor-faktor ini, seperti yang diakui oleh para penulis, dapat secara signifikan memengaruhi persepsi dan pengalaman risiko. Dari keterbatasan ini, muncul pertanyaan terbuka mendesak untuk agenda riset akademik di masa depan:
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)
1. Pengembangan dan Validasi Model VGI Fungsional untuk Prediksi Banjir Pluvial
2. Analisis Heterogenitas Sosial-Ekonomi dalam Niat dan Hambatan Partisipasi Sains Warga
3. Studi Longitudinal tentang Persepsi Risiko dan Perubahan Perilaku Komunitas
4. Evaluasi Dampak Sains Warga terhadap Kapasitas Kelembagaan Lintas-Sektor
5. Pemodelan Pelanggaran Tata Ruang (Encroachment) Berbasis Data Sains Warga
Kesimpulan
Temuan dari studi ini menggarisbawahi potensi transformatif dari sains warga untuk manajemen risiko banjir di Dhaka. Melalui integrasi pengalaman warga (yang telah menghadapi banjir lebih dari 5 kali ) dan teknologi geospasial (VGI ), Dhaka dapat beralih dari fokus struktural semata ke strategi yang lebih holistik dan adaptif. Penelitian lanjutan harus fokus pada mengatasi kesenjangan sosio-ekonomi dan kelembagaan untuk memastikan partisipasi yang inklusif dan penerimaan yang efektif dari data warga ke dalam proses pengambilan keputusan formal.
Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Rajdhani Unnayan Kartripakhya (RAJUK), Bangladesh Water Development Board (BWDB), dan Dhaka Water Supply and Sewerage Authority (DWASA) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, terutama dalam hal penegakan peraturan tata ruang dan manajemen sistem drainase yang terpadu.