Keselamatan Kerja

Mengapa Pelatihan K3 Sering Gagal? Sebuah Riset dari Makassar Mengungkap 'Dosa Asli' Industri Konstruksi

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 27 Oktober 2025


Di Balik Rompi Oranye, Ada Cerita yang Tak Terucap

Setiap kali saya melewati proyek konstruksi, saya bukan hanya melihat gedung yang sedang dibangun. Saya melihat puluhan manusia berhelm kuning dan rompi oranye, bekerja di bawah terik matahari atau guyuran hujan. Di balik setiap ayunan palu dan deru mesin, ada risiko yang sering kita lupakan. Kita melihat progresi sebuah bangunan, tapi jarang sekali memikirkan progresi keselamatan orang-orang yang membangunnya.

Pikiran itu membawa saya pada sebuah disertasi tebal karya Dr. Ika Triwati dari Universitas Negeri Makassar. Dan angka-angka di halaman pertamanya membuat saya terdiam. Menurut data yang dirilis BPJS Ketenagakerjaan, kasus kecelakaan kerja di industri konstruksi melonjak drastis hanya dalam beberapa tahun—dari 182.835 kasus pada 2019 menjadi 360.635 kasus hanya dalam periode Januari hingga November 2023.1 Angka ini hampir dua kali lipat. Ini bukan sekadar statistik; ini adalah cerita tentang ratusan ribu nyawa, keluarga, dan masa depan yang terancam.

Data global dari International Labour Organization (ILO) bahkan lebih mencengangkan: setiap 15 detik, ada 160 pekerja yang mengalami kecelakaan terkait pekerjaan.1 Angka-angka ini memaksa kita bertanya: Jika aturan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) sudah ada dan pelatihan sudah sering dilakukan, mengapa grafik kecelakaan ini terus merangkak naik? Disertasi ini tidak hanya bertanya, tapi juga memberikan jawaban yang fundamental dan, terus terang, mengejutkan.

Jebakan 'Ruang Kelas' dan Mengapa Teori Saja Membahayakan

Disertasi Dr. Ika Triwati membuka mata saya pada sebuah ironi besar dalam dunia pelatihan K3. Selama ini, kita terjebak dalam sebuah pendekatan yang ternyata keliru.

Belajar Berenang dengan Membaca Buku

Bayangkan kamu ingin belajar berenang. Instruktur memberimu buku setebal 500 halaman tentang hidrodinamika, teknik gaya bebas, dan cara mengatur napas. Kamu mempelajarinya dengan tekun di ruang kelas yang nyaman dan ber-AC. Kamu bahkan lulus ujian tertulis dengan nilai sempurna. Apakah setelah itu kamu bisa langsung terjun ke laut dan berenang dengan selamat? Tentu tidak. Kamu mungkin malah tenggelam.

Inilah gambaran kasar dari banyak pelatihan K3 yang ada saat ini. Riset ini menyoroti bahwa banyak model pelatihan yang ada bersifat sangat teoritis, berpusat pada instruktur, dan seringkali gagal menjangkau audiens yang paling penting: para pekerja tukang yang berada di garis depan risiko.1 Pelatihan seringkali ditujukan untuk level supervisor atau manajer, sementara para pekerja di lapangan—yang setiap hari berhadapan dengan paku, besi, dan ketinggian—hanya mendapatkan instruksi seadanya. Mereka diajari apa aturannya, tapi tidak pernah benar-benar merasakan mengapa aturan itu penting dalam konteks pekerjaan mereka sehari-hari.

Hasilnya? Riset ini menyajikan data lapangan yang brutal. Di salah satu perusahaan konstruksi yang diteliti, ditemukan bahwa 72% pekerja tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) dengan benar.1 Ketika ditanya lebih dalam, alasannya sangat manusiawi: helm terasa berat dan panas, sepatu safety kaku dan tidak nyaman, atau sekadar karena kebiasaan dan merasa "tidak apa-apa".1 Ini adalah masalah yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan presentasi PowerPoint atau ancaman sanksi.

Ini membawa kita pada sebuah pemahaman yang lebih dalam. Ketidakpatuhan pekerja terhadap prosedur K3 bukanlah murni masalah kedisiplinan individu. Ini adalah gejala dari kegagalan desain sistem pelatihan. Ketika sebuah pelatihan gagal membuat risiko terasa nyata dan relevan dengan pekerjaan sehari-hari, maka bagi seorang pekerja, ketidaknyamanan jangka pendek (memakai helm panas) akan selalu terasa lebih mendesak daripada risiko jangka panjang yang abstrak (kemungkinan tertimpa sesuatu). Perilaku "tidak disiplin" bukanlah akar masalahnya, melainkan buah dari sistem edukasi yang gagal menghubungkan teori dengan praktik di lapangan.

Sebuah Terobosan dari Makassar: Belajar K3 Langsung di 'Medan Perang'

Di tengah masalah sistemik ini, disertasi Dr. Ika Triwati tidak hanya berhenti pada kritik. Ia menawarkan sebuah solusi konkret: Model Diklat K3 Berbasis Lingkungan Kerja. Idenya sederhana namun revolusioner: ubah lokasi proyek konstruksi dari sekadar tempat bekerja menjadi laboratorium belajar raksasa.

Model ini tidak lagi menempatkan pekerja di ruang kelas yang steril, melainkan membawa proses belajar langsung ke "medan perang" mereka. Tujuannya adalah mengubah aturan K3 dari sekadar teks di buku panduan menjadi sebuah kebiasaan yang terinternalisasi.

Empat Langkah yang Mengubah Aturan Menjadi Kebiasaan

Model ini memiliki empat tahapan (sintaks) yang dirancang secara sistematis untuk membangun pemahaman dari dasar hingga menjadi tindakan nyata.1

Tahap 1: Internalisasi (Momen 'Kenapa')

Bayangkan jika sesi pelatihanmu dimulai bukan dengan daftar panjang "dilarang ini, wajib itu". Sebaliknya, kamu dan rekan-rekanmu diajak berkumpul di pinggir area galian. Instruktur tidak berceramah, tapi bertanya, "Menurut kalian, apa yang paling berbahaya di area ini? Apa yang membuat kalian khawatir saat bekerja di sini?"

Ini adalah tahap Internalisasi. Tujuannya bukan menghafal, tapi memancing kesadaran dari dalam diri sendiri. Dengan mendiskusikan risiko nyata yang mereka lihat setiap hari, para pekerja mulai menghubungkan aturan K3 dengan keselamatan pribadi mereka. Ini adalah momen untuk memahami 'kenapa' di balik setiap prosedur.

Tahap 2: K3 Training (Praktik Langsung)

Setelah semua orang sadar akan risikonya, pelatihan dilanjutkan ke tahap praktik. Kamu tidak lagi melihat gambar cara memakai safety harness di layar proyektor. Sebaliknya, kamu diajari langsung cara memasang dan mengaitkannya dengan benar, sambil berdiri di dekat perancah. Kamu merasakan sendiri bagaimana alat itu mengunci, bagaimana rasanya bergantung padanya. Ini adalah K3 Training yang relevan dan kontekstual. Teori bertemu dengan realitas fisik.

Tahap 3: Assesment (Menjadi 'Detektif Keselamatan')

Di tahap ini, peran dibalik. Kamu dan timmu tidak lagi menjadi audiens pasif. Kalian diberi tugas untuk berjalan di sekitar lokasi proyek dan secara aktif mengidentifikasi potensi bahaya yang mungkin terlewatkan: kabel yang terkelupas, tumpukan material yang tidak stabil, atau area licin yang belum diberi tanda. Kalian menjadi "detektif keselamatan". Ini adalah Assesment aktif yang melatih mata untuk peka terhadap risiko, bukan sekadar ujian pilihan ganda yang menguji hafalan.

Tahap 4: Aktualisasi (Menjadi Kebiasaan)

Ini adalah tahap penutup yang krusial. Di akhir sesi, kamu tidak hanya diberi nilai, tapi diajak berdiskusi dan merefleksikan: "Setelah pelatihan ini, apa satu hal yang akan kamu lakukan secara berbeda besok pagi?" Mungkin jawabannya adalah "Saya akan selalu memeriksa perancah sebelum naik," atau "Saya akan mengingatkan teman saya jika dia lupa memakai sarung tangan."

Keselamatan tidak lagi menjadi topik pelatihan yang selesai dalam satu hari, tapi menjadi bagian integral dari cara bekerja. Inilah tahap Aktualisasi, di mana pengetahuan diubah menjadi perilaku dan, pada akhirnya, menjadi budaya.

Angka-Angka Berbicara: Seberapa Ampuh Model Baru Ini?

Ide yang bagus di atas kertas seringkali gagal saat diuji di dunia nyata. Tapi, model ini berbeda. Disertasi ini tidak hanya menawarkan konsep, tetapi juga mengujinya secara ketat di lapangan dengan metodologi penelitian dan pengembangan (R&D). Hasilnya? Sangat meyakinkan.

Saya akan merangkum temuan utamanya untuk Anda:

  • 🚀 Hasilnya Luar Biasa: Efektivitas model ini diukur menggunakan metode N-Gain Score yang membandingkan peningkatan pengetahuan sebelum dan sesudah pelatihan. Kelompok pekerja yang menggunakan model baru ini menunjukkan peningkatan pengetahuan sebesar 61%. Bandingkan dengan kelompok kontrol yang menggunakan metode pelatihan konvensional, yang peningkatannya hanya 3%.1 Ini bukan sekadar perbaikan, ini adalah sebuah lompatan kuantum dalam efektivitas pelatihan.

  • 🧠 Inovasinya Terbukti Valid: Sebelum diuji coba, model ini divalidasi oleh tiga orang pakar di bidang K3, industri konstruksi, dan desain pelatihan. Hasilnya? Model ini mendapatkan skor validitas rata-rata $3,36$ dari skala $4,00$ (kategori "Sangat Valid").1 Ini membuktikan bahwa model ini tidak hanya kreatif, tetapi juga kokoh secara akademis dan teoretis.

  • 💡 Pelajaran Penting: Mudah Diterapkan! Mungkin temuan yang paling penting bagi para praktisi adalah kepraktisannya. Para instruktur yang menjalankan model ini di lapangan memberikannya skor kepraktisan rata-rata $3,46$ dari $4,00$ (kategori "Sangat Praktis").1 Ini adalah bukti bahwa model ini bukanlah konsep rumit yang hanya bisa ada di atas kertas, tapi sebuah kerangka kerja yang bisa langsung diadopsi dan diterapkan oleh tim di berbagai proyek.

Opini Pribadi Saya: Permata Tersembunyi di Tumpukan Jurnal

Membaca disertasi Dr. Ika Triwati ini seperti menemukan sebuah peta harta karun di tengah tumpukan jurnal akademis yang padat. Di dalamnya ada solusi nyata, teruji, dan aplikatif untuk masalah yang sangat serius dan seringkali diabaikan. Metodologi R&D yang ketat, analisis data yang cermat, dan hasilnya yang luar biasa membuatnya menjadi sebuah karya yang solid dan berdampak.

Namun, ada satu hal yang membuat saya sedikit gemas. Meskipun temuannya hebat, cara penyajiannya dalam format disertasi yang kaku dan penuh istilah teknis—seperti The Solomon Fourth Group Design atau analysis of covariance—membuatnya sulit diakses oleh orang-orang yang paling membutuhkannya: para manajer proyek, kepala HRD, dan praktisi K3 di lapangan.

Inilah mengapa tulisan seperti ini penting. Ada begitu banyak permata riset seperti ini yang tersembunyi di perpustakaan universitas. Tugas kita bersama adalah mengambilnya, memolesnya, dan membawanya ke 'medan perang' yang sesungguhnya—ke lokasi proyek, ke ruang rapat, dan ke dalam modul-modul pelatihan di seluruh Indonesia.

Langkah Anda Berikutnya: Dari Pengetahuan Menjadi Tindakan

Pada akhirnya, disertasi ini mengajarkan kita satu hal fundamental: helm kuning dan rompi oranye adalah pelindung fisik, tetapi pelindung terbaik adalah pengetahuan yang kontekstual dan kebiasaan yang terbentuk dari praktik nyata. Keselamatan bukanlah soal menghafal aturan, tapi soal memahami dunia di sekitar kita dan bertindak berdasarkan pemahaman itu.

Model yang dikembangkan di Makassar ini adalah bukti bahwa kita bisa melakukannya dengan lebih baik. Kita bisa mengubah pelatihan dari sebuah kewajiban yang membosankan menjadi sebuah pengalaman belajar yang memberdayakan.

Jika Anda seorang profesional yang ingin mendalami lebih jauh tentang pelatihan kerja yang efektif dan bersertifikat untuk meningkatkan kompetensi Anda dan tim, platform seperti(https://diklatkerja.com) bisa menjadi langkah awal yang sangat baik.

Selengkapnya
Mengapa Pelatihan K3 Sering Gagal? Sebuah Riset dari Makassar Mengungkap 'Dosa Asli' Industri Konstruksi

Manajemen Risiko

Peta Jalan Ketahanan Perkotaan Masa Depan: Integrasi Manajemen Aset, Risiko Bencana, dan Kecerdasan Spasial untuk Kota Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Raihan pada 27 Oktober 2025


Latar Belakang dan Alur Logis Temuan

Tinjauan literatur sistematis ini membahas kebutuhan mendesak untuk meningkatkan Ketahanan Perkotaan (Urban Resilience/UR), yang didefinisikan sebagai kemampuan kota dan komunitas untuk bertahan optimal dari disrupsi dan pulih ke kondisi prapadisrupsi. Latar belakangnya adalah peningkatan pesat populasi perkotaan, yang diproyeksikan melebihi 60% populasi dunia pada tahun 2030, di mana kota-kota ini menghasilkan lebih dari 75% PDB global dan menyumbang 70% emisi gas rumah kaca. Ironisnya, 90% wilayah metropolitan berada di pesisir, sangat rentan terhadap risiko bencana dari perubahan iklim. Disrupsi mengancam fungsi infrastruktur kritikal seperti jalan, rel kereta api, air, energi, dan telekomunikasi.

Penelitian ini menganalisis 68 makalah jurnal yang terindeks Scopus, diterbitkan antara tahun 2011 dan 2022, mencakup tinjauan literatur, model konseptual, dan model analitis. Alur temuan logis dalam penelitian ini berfokus pada integrasi dari tiga komponen utama untuk memaksimalkan dan melindungi nilai aset konstruksi di tengah risiko bencana:

  1. Manajemen Aset dan Risiko Bencana: Manajemen aset (berdasarkan standar ISO 55000) bertujuan memaksimalkan nilai dari aset dengan menyeimbangkan risiko, biaya, peluang, dan kinerja di seluruh siklus hidupnya. Risiko (berdasarkan ISO 31000) didefinisikan sebagai "efek ketidakpastian pada tujuan". Penelitian menegaskan bahwa pendekatan manajemen aset sangat penting untuk pencegahan dan kesiapan aset di tengah peristiwa yang tidak menguntungkan. Ketahanan melengkapi manajemen risiko dengan mempercepat pemulihan sistem, terutama ketika langkah-langkah manajemen risiko konvensional gagal memitigasi disrupsi.
  2. Sistem Informasi Geografis (GIS) dan Alat Pendukung Keputusan: Implementasi konsep UR yang efisien memerlukan pendekatan multidisiplin. GIS, sebagai kemampuan digital untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menampilkan data lokasi, terbukti penting karena memberikan konteks spasial untuk data, yang membantu pengambil keputusan memahami masalah dan mengevaluasi alternatif secara komprehensif. GIS juga dapat digunakan untuk membuat peta bahaya dan kerentanan. Kombinasi GIS dengan metode Multicriteria Decision Making (MCDM), seperti Analytic Hierarchy Process (AHP), memungkinkan pengambil keputusan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang masalah dan mengevaluasi alternatif dengan cara yang lebih komprehensif.
  3. Area Diskusi Utama: Tinjauan tersebut mengidentifikasi tujuh area diskusi utama dalam publikasi UR: perubahan iklim, penilaian dan manajemen risiko bencana, Sistem Informasi Geografis (GIS), infrastruktur perkotaan dan transportasi, pengambilan keputusan dan manajemen bencana, ketahanan komunitas dan bencana, dan infrastruktur hijau dan pembangunan berkelanjutan.

Analisis pemrosesan bahasa alami (NLP) menunjukkan bahwa perubahan iklim adalah istilah yang paling sering muncul (30 kali, dengan relevansi 0.998). Fenomena bencana yang paling banyak disinggung adalah banjir/genangan (74 kali, relevansi 0.285).

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi utama dari tinjauan ini adalah menyajikan analisis bibliometrik dan NLP untuk secara empiris memetakan tren saat ini dalam riset UR, yang mendukung gagasan UR sebagai topik penting dengan minat akademis yang meluas. Lebih dari 75% dari 67 makalah yang dipilih dipublikasikan antara tahun 2017 dan 2021, dengan peningkatan signifikan pada tahun 2021. Secara disipliner, riset UR didominasi oleh Ilmu Lingkungan (24%), Ilmu Sosial (19%), dan Teknik (17%)—total 60% dari hasil yang tidak disaring, menunjukkan bahwa proyek riset UR wajib mengintegrasikan ketiga disiplin ini secara setara.

Secara substantif, kontribusi terpentingnya adalah usulan bahwa celah-celah riset yang teridentifikasi dapat diatasi dengan bantuan metode manajemen aset dan risiko bencana yang dikombinasikan dengan alat bantu keputusan berbasis GIS untuk meningkatkan UR secara signifikan. Penelitian ini menawarkan kerangka konseptual yang diperkaya yang secara eksplisit menghubungkan aset perkotaan dan risiko bencana dengan upaya untuk mencapai keberlanjutan dan ketahanan perkotaan, didukung oleh alat ilmu keputusan.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Tinjauan ini menyoroti sejumlah keterbatasan krusial dalam literatur UR saat ini, yang juga menjadi celah riset utama:

  • Kurangnya Definisi Ketahanan yang Sama dan Analisis Multidisiplin: Ada kurangnya definisi umum tentang ketahanan dan analisis multidisiplin yang memadai. Heterogenitas konsep menghambat perbandingan dan adopsi model secara luas.
  • Kebutuhan akan Model UR yang Terpadu, Skalabel, dan Dapat Diadopsi: Model multidimensi yang ada perlu dibangun ulang setiap kali disesuaikan dengan kebutuhan kota dan bencana yang spesifik, sehingga menuntut model yang lebih canggih, skalabel, dan adaptif.
  • Ruang untuk Peningkatan Aplikasi Alat Multidimensi Berbasis GIS: Ada kebutuhan untuk mengubah semua data menjadi data berlabel-geo yang dapat ditransfer ke lingkungan cloud-based untuk analisis yang lebih baik oleh sistem pendukung keputusan.
  • Analisis Stokastik Kota Virtual: Mengingat akuisisi data yang mahal dan memakan waktu, ada kebutuhan untuk memperluas data yang ada menggunakan analisis stokastik pada kota virtual untuk memberikan wawasan awal sebelum pengambilan keputusan akhir.
  • Simulasi Skenario untuk Mendukung Proses Pengambilan Keputusan: Kota-kota membutuhkan kerangka kerja yang komprehensif dan inklusif untuk secara proaktif mempersiapkan masa depan perkotaan yang lebih baik, terutama melalui mekanisme pengambilan keputusan berbasis skenario.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Berikut adalah lima rekomendasi riset lanjutan yang ditujukan kepada komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah, dengan fokus pada jalur riset untuk mengatasi celah yang diidentifikasi oleh tinjauan ini:

1. Pengembangan Kerangka Kerja Metrik Konsensus UR Multidisiplin

Justifikasi Ilmiah: Tinjauan ini secara eksplisit menyoroti "kurangnya definisi ketahanan yang sama dan analisis multidisiplin". Heterogenitas konsep menghambat perbandingan dan adopsi model secara luas. Riset perlu menyelaraskan pendekatan dari Ilmu Lingkungan, Ilmu Sosial, dan Teknik, yang bersama-sama menyumbang 60% dari literatur yang ditinjau.

Arah Riset: Penelitian harus menggunakan metode kualitatif ekstensif seperti survei Delphi global multi-putaran yang melibatkan ahli untuk mencapai konsensus tentang metrik dan indikator inti yang dapat diukur secara kuantitatif dalam berbagai konteks geografis. Metrik harus mencakup dimensi adaptif, redundancy, dan pemulihan, bukan hanya resistensi.

2. Perancangan Model UR Terpadu yang Parametrik dan Cloud-Based

Justifikasi Ilmiah: Kebutuhan utama adalah "model UR yang terpadu, skalabel, dan dapat diadopsi". Model yang ada saat ini tidak dapat beradaptasi dan harus dibangun ulang untuk setiap kota atau bencana yang spesifik.

Arah Riset: Riset teknik harus berfokus pada pengembangan Sistem Pendukung Keputusan (DSS) berbasis cloud yang berfungsi sebagai Model UR Parametrik Terbuka. Model ini harus dirancang untuk menerima input dari metrik konsensus dan dapat menyesuaikan pembobotan kriteria menggunakan metode MCDM seperti Fuzzy AHP atau TOPSIS. Model ini harus dapat beroperasi di lingkungan berbasis cloud untuk memfasilitasi integrasi "alat multidimensi berbasis GIS" dan data berlabel-geo (geo-tagged) dari berbagai sumber untuk analisis spasial waktu nyata.

3. Investigasi Efek Berjenjang (Cascading Effects) melalui Analisis Stokastik Kota Virtual

Justifikasi Ilmiah: Tinjauan ini secara eksplisit menyerukan "analisis stokastik kota virtual" untuk mengatasi biaya dan waktu akuisisi data nyata yang membatasi. Penelitian juga perlu mempertimbangkan efek berjenjang (cascading effects) dari kegagalan infrastruktur.

Arah Riset: Penelitian harus menggunakan simulasi kota virtual yang detail, mereplikasi interdependensi infrastruktur kritikal (listrik, air, transportasi). Variabel harus mencakup parameter stokastik (misalnya, simulasi kerusakan acak menggunakan inverse distribution atau reverse sampling dari data kerusakan terbatas) untuk memodelkan kegagalan sistematis yang diakibatkan oleh bencana. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi "sinyal peringatan dini" dari komponen sistem yang rusak, menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru.

4. Kuantifikasi Nilai Non-Moneter Aset dan Risiko Menggunakan Pendekatan RIDM

Justifikasi Ilmiah: Proses pengambilan keputusan dalam manajemen aset kompleks harus mengintegrasikan hasil kuantitatif dengan faktor tidak berwujud dan sulit dikuantifikasi. Faktor-faktor ini, seperti bias, ketidakpastian, dan persepsi, sangat penting untuk keputusan aset yang efektif.

Arah Riset: Fokus harus pada penerapan Risk-Informed Decision-Making (RIDM), sebuah metodologi yang ada, untuk mengintegrasikan nilai non-moneter aset (misalnya, nilai ekologis infrastruktur hijau atau nilai sosial) ke dalam proses manajemen risiko. Variabel baru yang harus diuji adalah bagaimana MCDM dapat memberi bobot pada variabel ketahanan sosial (social resilience), seperti pengetahuan warga dan kesadaran atau tingkat keterlibatan publik, dalam konteks keputusan investasi infrastruktur.

5. Pengembangan Mekanisme Pengambilan Keputusan Berbasis Skenario Adaptif

Justifikasi Ilmiah: Kota-kota membutuhkan kerangka kerja yang sama sekali baru untuk "secara proaktif mempersiapkan" masa depan perkotaan yang lebih baik, terutama melalui "mekanisme pengambilan keputusan berbasis skenario".

Arah Riset: Riset harus mengembangkan kerangka kerja simulasi untuk Scenario-Based Decision Making (SBDM) yang menggunakan model UR yang dapat diadopsi (seperti yang diusulkan dalam Rekomendasi 2) sebagai mesin inti. Mekanisme ini harus memungkinkan para pembuat kebijakan untuk menjalankan serangkaian skenario bencana yang beragam (baik bencana alam maupun buatan manusia) dan secara adaptif menyesuaikan rencana tata ruang, termasuk kode bangunan dan zonasi, untuk mengurangi bahaya. SBDM harus menekankan strategi adaptif (adaptation strategies) di atas strategi resistensi murni.

Penelitian ini secara jelas menggarisbawahi bahwa masa depan Ketahanan Perkotaan tidak terletak pada model tunggal, tetapi pada integrasi sinergis antara manajemen aset, penilaian risiko, dan alat ilmu keputusan spasial. Celah riset yang teridentifikasi menuntut transisi dari analisis deskriptif ke model preskriptif, prediktif, dan adaptif yang mampu mengatasi interdependensi sistem yang kompleks dan sifat bencana yang stokastik.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi teknik (untuk pemodelan aset dan infrastruktur), ilmu lingkungan/perencanaan kota (untuk konteks GIS dan sosial), dan ilmu politik/ekonomi (untuk keputusan dan pendanaan) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.

Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Peta Jalan Ketahanan Perkotaan Masa Depan: Integrasi Manajemen Aset, Risiko Bencana, dan Kecerdasan Spasial untuk Kota Berkelanjutan

Teknik Transportasi

NZ$1,9 Juta Setahun: Mengurai Risiko Bencana dan Dampak Ekonomi Penutupan Jalan Raya Utama di Selandia Baru

Dipublikasikan oleh Raihan pada 27 Oktober 2025


Mengurai Risiko dan Dampak Bencana pada Jaringan Transportasi: Studi Kasus Desert Road

Riset oleh Erica Dalziell dan Alan Nicholson, yang diterbitkan dalam Journal of Transportation Engineering (2001), menyajikan kerangka kerja komprehensif untuk mengevaluasi risiko dan dampak ekonomi dari penutupan jalan akibat bahaya alam dan kecelakaan pada jaringan jalan raya. Studi ini berfokus pada seksi Desert Road dari Jalan Raya Utama utara-selatan Selandia Baru, State Highway 1 (SH 1), jalur penting yang menghubungkan Wellington dan Auckland. Pendekatan ini merupakan respons terhadap perhatian yang berkembang mengenai kerentanan sistem lifeline dan secara krusial menggeser fokus rekayasa lifeline dari hanya biaya perbaikan infrastruktur ke biaya pengguna dan biaya sosial yang timbul selama periode gangguan. Para penulis mencatat bahwa biaya tersebut, seperti biaya pekerjaan sementara dan peningkatan biaya pengguna, cenderung lebih besar daripada biaya perbaikan langsung.

Penelitian ini mengadopsi teknik analisis risiko (identifikasi bahaya, penilaian risiko, evaluasi risiko) dan manajemen risiko. Empat bahaya utama diidentifikasi yang berpotensi menutup Desert Road: salju dan es, letusan gunung berapi dan lahar, gempa bumi, dan kecelakaan lalu lintas. Pengujian dilakukan dengan memodelkan frekuensi kejadian dan durasi penutupan jalan untuk setiap bahaya, kemudian menilai dampaknya pada pola aliran lalu lintas menggunakan model penugasan lalu lintas SATURN.

Paradigma Baru Penilaian Biaya Penutupan Jalan

Dalam melakukan penilaian risiko, para penulis menekankan bahwa biaya penutupan tidak hanya bergantung pada durasi, tetapi juga pada ketersediaan rute alternatif dan korelasi antar-rute. Korelasi ini sangat penting, terutama pada peristiwa bencana besar yang efeknya dapat meluas dan menutup rute alternatif secara simultan, seperti letusan gunung berapi. Model ini mempertimbangkan 22 skenario penutupan, termasuk kombinasi penutupan Desert Road dengan rute alternatif terdekat (seperti SH 4, SH 47, dan SH 49).

Secara kuantitatif, penutupan Desert Road saja diperkirakan merugikan perekonomian Selandia Baru hampir NZ$8.000 per jam. Namun, ketika rute alternatif utama utara-selatan terdekat, State Highway 4 (SH 4), juga ditutup secara simultan, biaya penutupan melonjak hingga hampir NZ$23.000 per jam. Temuan ini menunjukkan bahwa dampak penutupan sangat bergantung pada karakteristik jaringan jalan dan keberadaan rute alternatif yang resilien.

Secara metodologis, studi ini secara eksplisit mengintegrasikan konsep elastisitas permintaan perjalanan () ke dalam model lalu lintas. Integrasi ini sangat penting karena memperhitungkan kecenderungan pelancong untuk membatalkan atau menunda perjalanan ketika biaya perjalanan meningkat, yang mencerminkan hilangnya manfaat pengguna (lost user benefit). Dengan mengabaikan elastisitas (), total perjalanan diprediksi meningkat sekitar dan total biaya meningkat di seluruh jaringan. Namun, ketika elastisitas diperhitungkan (menggunakan , yang memberikan kesesuaian yang baik dengan aliran yang diamati selama penutupan 9 hari ), jumlah total perjalanan diprediksi menurun sebesar , total perjalanan menurun , dan total biaya menurun .

Perubahan kecil ini (hanya beberapa persen) sangat penting, karena model menunjukkan bahwa hanya setelah hilangnya manfaat perjalanan diperhitungkan, kerugian ekonomi akibat penutupan jalan dapat diperoleh. Koefisien elastisitas tinggi yang diamati () juga dikaitkan dengan faktor eksternalitas, seperti cuaca dingin yang membuat perjalanan rekreasi tidak menarik, sehingga menyebabkan pembatalan perjalanan.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian ini memberikan kontribusi yang kuat dalam dua aspek utama:

  1. Kerangka Penilaian Risiko Probabilistik: Penggunaan simulasi Monte Carlo untuk menghasilkan distribusi probabilitas (bukan hanya estimasi titik tunggal) untuk biaya penutupan tahunan dan rasio manfaat-biaya opsi mitigasi. Pendekatan ini secara efektif mengakomodasi ketidakpastian yang melekat dalam frekuensi dan konsekuensi bahaya.
  2. Identifikasi Bahaya Paling Signifikan: Analisis risiko sistemik mengungkapkan bahwa salju dan es adalah bahaya yang paling signifikan dalam hal biaya tahunan rata-rata, diperkirakan mencapai sekitar **NZ\approx$ NZ\approx$ NZ\approx$ NZ$200.000).
  3. Analisis Mitigasi Berbasis Risiko Total: Penilaian kelayakan opsi mitigasi didasarkan pada pengurangan risiko total (probabilitas dikalikan konsekuensi). Analisis menunjukkan bahwa semua opsi mitigasi yang dipertimbangkan secara ekonomi menarik, dengan semua opsi diharapkan memberikan manfaat terukur setidaknya empat kali lipat biaya implementasi dan pemeliharaan. Sebagai contoh, penggunaan garam menunjukkan rasio manfaat-biaya yang sangat tinggi (rata-rata 35), namun dibatalkan karena dampak ekologis yang merugikan di Taman Nasional Tongariro. Sebaliknya, penggunaan Road Weather Information System (RWIS) dalam kombinasi dengan Calcium Magnesium Acetate (CMA) meningkatkan rasio manfaat-biaya secara substansial dengan mengurangi tingkat aplikasi (menghemat biaya CMA) dan mengurangi dampak ekologis.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun model ini kuat, beberapa keterbatasan memerlukan investigasi akademis lebih lanjut:

  • Asumsi Pengetahuan Sempurna: Model lalu lintas mengasumsikan pelancong memiliki pengetahuan sempurna tentang penutupan jalan saat memulai perjalanan, yang berpotensi menyebabkan perkiraan biaya penutupan yang kurang akurat (lebih rendah) untuk insiden jangka pendek, di mana pengemudi mungkin sudah berada di jaringan saat penutupan terjadi.
  • Biaya Non-Moneter: Dampak sosial ekonomi dan ekologis (misalnya, isolasi komunitas, pergeseran pendapatan bisnis, dampak lingkungan) tidak dikuantifikasi dalam biaya total, meskipun diakui sebagai biaya yang penting.
  • Waktu Pemulihan Bencana Besar: Perkiraan biaya gempa bumi didasarkan pada penutupan total hingga perbaikan jembatan selesai (160 hari untuk MMI 9). Para penulis mengakui bahwa jalan pintas sementara (seperti Jembatan Bailey atau ford) kemungkinan besar akan digunakan, yang berarti biaya tahunan aktual akibat gempa kemungkinan lebih rendah dari yang diestimasi.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Bagi komunitas akademik dan penerima hibah, temuan ini membuka beberapa jalur riset kritis untuk memperkuat ketahanan sistem transportasi:

  1. Pemodelan Penugasan Lalu Lintas Dinamis (DTA) dengan Informasi Tidak Sempurna
    • Basis Temuan: Model saat ini mengasumsikan pengetahuan sempurna, yang dapat meremehkan biaya penutupan jangka pendek.
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Mengembangkan model Dynamic Traffic Assignment (DTA) yang memasukkan variabel tingkat diseminasi informasi (misalnya, penggunaan variable message signs atau media sosial) dan waktu reaksi pengemudi (misalnya, waktu yang dibutuhkan pengemudi untuk mengubah rute setelah menyadari penutupan).
    • Perlunya Penelitian Lanjutan: Riset ini harus mengukur perbedaan biaya per jam antara asumsi pengetahuan sempurna dan respons pengguna yang tertunda, yang sangat penting untuk insiden yang sering terjadi, seperti kecelakaan lalu lintas dan penutupan akibat es.
  2. Kuantifikasi Moneter Eksternalitas Lingkungan dalam Analisis Benefit-Cost (BCA)
    • Basis Temuan: Opsi mitigasi dengan BCA tertinggi (garam) ditolak karena dampak ekologis, tetapi dampak ini tidak dikuantifikasi secara moneter.
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Menerapkan metode penilaian moneter (valuation) seperti Contingent Valuation atau Choice Experiment untuk mengkuantifikasi biaya bayangan (shadow cost) yang dihindari dengan menggunakan alternatif yang lebih ramah lingkungan (CMA) daripada bahan kimia tradisional (garam) di kawasan taman nasional.
    • Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan memberikan rasio BCA yang disesuaikan secara holistik, memungkinkan pembuat kebijakan untuk membandingkan secara langsung opsi mitigasi berdasarkan manfaat ekonomi dan nilai lingkungan yang dilindungi.
  3. Memperluas Model Keterkaitan Multi-Hazard Sistemik
    • Basis Temuan: Interdependensi one-way ditemukan (misalnya, es meningkatkan kecelakaan). Namun, studi ini tidak sepenuhnya mengeksplorasi sinergi multi-hazard yang kompleks.
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Membangun matriks risiko multi-hazard yang menyelidiki bagaimana kerusakan parsial dari satu bahaya (misalnya, retak jembatan dari gempa MMI 5-6 ) meningkatkan kerentanan sistem terhadap bahaya lain (misalnya, keruntuhan akibat lahar berikutnya atau banjir).
    • Perlunya Penelitian Lanjutan: Penelitian ini akan memperluas pemahaman dari interaksi searah ke keterkaitan sistemik (domino effect), yang sangat relevan untuk rekayasa lifeline di zona seismik dan vulkanik.
  4. Segmentasi Elastisitas Permintaan Berdasarkan Tujuan Perjalanan
    • Basis Temuan: Elastisitas permintaan perjalanan yang tinggi () dikaitkan dengan pembatalan perjalanan rekreasi.
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Melakukan analisis regresi untuk memisahkan koefisien elastisitas berdasarkan kategori perjalanan yang berbeda (bisnis/komersial vs. rekreasi) dan waktu hari (siang vs. malam, mengingat es terbentuk di malam hari ).
    • Perlunya Penelitian Lanjutan: Segmentasi ini akan memungkinkan operator jaringan untuk memprediksi secara lebih tepat dampak biaya ekonomi dari pembatalan perjalanan komersial versus rekreasi, sehingga mengoptimalkan prioritas pemulihan dan pengalihan rute untuk lalu lintas yang paling sensitif terhadap waktu.
  5. Analisis Biaya Seumur Hidup (LCA) Mitigasi Temporer vs. Permanen
    • Basis Temuan: Biaya gempa bumi sangat tinggi karena waktu penutupan yang lama, tetapi opsi mitigasi temporer (jembatan Bailey) dapat mengurangi durasi secara drastis.
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Mengembangkan model Life Cycle Assessment (LCA) yang secara eksplisit membandingkan Net Present Value antara mitigasi jangka panjang (retrofitting seismik jembatan ) dan biaya kesiapan untuk mitigasi jangka pendek/sementara (pre-positioning jembatan Bailey).
    • Perlunya Penelitian Lanjutan: Ini akan memberikan justifikasi investasi yang kuat bagi penerima hibah untuk mengalokasikan dana antara biaya modal awal yang tinggi untuk penguatan dan biaya yang lebih rendah untuk rencana kontinjensi siap pakai, terutama untuk bahaya yang jarang terjadi tetapi berdampak tinggi (ekor panjang distribusi probabilitas).

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi antara universitas teknik dan perencanaan regional, badan operasi jalan raya nasional (Transit New Zealand), dan lembaga geologi dan vulkanologi untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil.

Sertakan tautan DOI resmi sebagai acuan utama: Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
NZ$1,9 Juta Setahun: Mengurai Risiko Bencana dan Dampak Ekonomi Penutupan Jalan Raya Utama di Selandia Baru

Manajemen Bencana

Memperkuat Garis Depan ASEAN: Peta Jalan Riset untuk Sistem Peringatan Dini Bencana Multi-Bahaya

Dipublikasikan oleh Raihan pada 27 Oktober 2025


Resensi Riset: Sistem Peringatan Dini Multi-Bahaya ASEAN (EWS) dan Arah Riset ke Depan

Laporan berjudul "Strengthening ASEAN Multi-Hazard End to End Early Warning System for Natural Disasters: An Assessment of Current Capacity" yang diterbitkan pada Februari 2024 merupakan tonggak penting bagi komunitas akademik dan praktisi dalam bidang Pengurangan Risiko Bencana (DRR). Sebagai upaya kolektif yang dipandu oleh ASEAN Committee on Disaster Management Working Group on Prevention and Mitigation (ACDM WG P&M), laporan ini menyajikan penilaian mendalam dan sistematis terhadap status terkini dan tantangan yang dihadapi oleh Sistem Peringatan Dini End-to-End (E2E-EWS) di sepuluh Negara Anggota ASEAN.

Jalur Logis Temuan dan Potensi Jangka Panjang

Penilaian ini didasarkan pada kerangka EWS yang terdiri dari empat elemen krusial: Pengetahuan Risiko Bencana; Kapasitas Deteksi, Pemantauan, Analisis, dan Peramalan Bahaya; Penyebaran dan Komunikasi Peringatan; serta Kesiapsiagaan dan Kapabilitas Respons. Logika penelitian ini bergerak dari pengakuan akan kemajuan regional yang substansial, terutama yang didorong oleh ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response (AADMER), menuju identifikasi titik-titik lemah spesifik yang menghambat realisasi ketahanan kolektif.

Secara inheren, kawasan ASEAN adalah wilayah yang sangat rentan. Data kuantitatif dari temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara kerentanan geografis dan ancaman hidrometeorologi. Secara deskriptif, temuan ini menunjukkan bahwa Banjir menjadi ancaman bencana yang paling dominan di kawasan ini, menyumbang 2.068 (77,6%) dari total bencana yang tercatat antara tahun 2021 hingga 2022. Angka ini—sekitar tiga perempat dari seluruh kejadian bencana—menunjukkan potensi kuat untuk penelitian baru yang berfokus pada dinamika air dan prediksi bencana turunan. Lebih lanjut, penilaian kapasitas nasional mengungkapkan ketidakseimbangan yang signifikan: misalnya, dalam elemen Pengetahuan Risiko Bencana di beberapa negara, kapasitas untuk mengidentifikasi bahaya utama dinilai tinggi (skor studi awal 5.0 dari 5.0), namun skor untuk sub-elemen yang lebih kompleks—seperti penilaian dan kuantifikasi penuh terhadap eksposur, kerentanan, dan kapasitas—turun drastis (skor akhir 2.0), menunjukkan kesenjangan antara pengenalan bahaya dan kematangan analisis risiko terintegrasi. Kesenjangan ini mengindikasikan bahwa kerangka legislatif yang mapan belum sepenuhnya terinstitusionalisasi dalam praktik operasional dan pengambilan keputusan sehari-hari.

Jalur logis temuan berlanjut pada identifikasi benang merah masalah utama: keterbatasan interkoneksi antara empat elemen EWS di antara Negara Anggota ASEAN. Keterputusan ini menghasilkan peluang pembangunan kapasitas yang hilang, perencanaan yang tidak didukung data yang optimal, dan duplikasi upaya. Berangkat dari analisis kesenjangan ini, laporan tersebut secara eksplisit menyusun empat area programatik (Peningkatan Kebijakan, Penguatan Institusional, Pengembangan Kapasitas, dan Bantuan Teknis) untuk memajukan sistem peringatan dini di kawasan ini.

Dengan demikian, laporan ini tidak hanya berfungsi sebagai inventarisasi kapasitas saat ini tetapi juga sebagai peta jalan yang menghubungkan kelemahan sistem saat ini (misalnya, data siloed dan kesenjangan peringatan last-mile) dengan potensi jangka panjang berupa sistem EWS regional yang harmonis dan tangguh.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Laporan ini memberikan kontribusi yang tak ternilai bagi bidang Manajemen Bencana Regional, terutama di ASEAN, dengan empat poin utama:

  1. Pendefinisian Kapasitas EWS Regional: Laporan ini secara definitif memetakan kapasitas EWS ASEAN di bawah empat pilar yang diakui secara internasional. Hal ini memberikan titik data dasar yang dapat diulang dan digunakan oleh peneliti untuk mengukur kemajuan di masa depan.
  2. Identifikasi Kesenjangan Sistemik: Kontribusi paling signifikan adalah penyorotan secara eksplisit mengenai keterbatasan interkoneksi dan duplikasi upaya sebagai masalah sistemik inti di kawasan. Ini mengalihkan fokus dari masalah teknis nasional yang terisolasi ke kebutuhan untuk kohesi regional, suatu wawasan penting bagi penerima hibah riset yang berupaya untuk dampak lintas batas.
  3. Pengakuan Kerangka Legislatif yang Matang: Laporan ini menggarisbawahi adanya kerangka legislatif dan kebijakan yang relatif matang di sebagian besar negara anggota dalam elemen Kesiapsiagaan dan Respons. Kontribusi ini menegaskan bahwa langkah riset selanjutnya harus bergeser dari pengembangan kerangka kerja ke arah institusionalisasi dan pengujian operasional dari kerangka tersebut.
  4. Peta Jalan Programatik yang Jelas: Laporan ini mengakhiri dengan kerangka rekomendasi yang terbagi menjadi Peningkatan Kebijakan, Penguatan Institusional, Pengembangan Kapasitas, dan Bantuan Teknis. Struktur ini menyediakan kerangka kerja yang jelas bagi peneliti untuk merancang proposal riset yang secara langsung mendukung tujuan strategis ASEAN.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun laporan ini komprehensif, ia secara jujur mengakui adanya keterbatasan, terutama yang disebabkan oleh ketersediaan informasi yang terbatas dan keterlibatan pemangku kepentingan dalam beberapa kasus. Keterbatasan ini memunculkan serangkaian pertanyaan terbuka krusial untuk riset akademik lanjutan.

Keterbatasan sistemik utama yang teridentifikasi adalah kesenjangan dalam Penyebaran dan Komunikasi Peringatan. Penilaian menyoroti kelemahan dalam saluran komunikasi yang dapat menjangkau komunitas terpencil, terutama dalam hal ketiadaan panduan yang jelas dan dapat ditindaklanjuti dalam pesan peringatan. Pertanyaan terbuka untuk peneliti adalah: Bagaimana mekanisme umpan balik yang tangguh dapat diterapkan di tingkat lokal untuk memverifikasi penerimaan dan pemahaman peringatan di komunitas terpencil? Selain itu, kurang optimalnya pemanfaatan Penilaian Risiko dan Kerentanan (RVA) di banyak proses EWS nasional memunculkan pertanyaan riset mendasar: Model institusional dan teknis apa yang paling efektif dalam mengubah data RVA (yang seringkali berbentuk laporan statis) menjadi input dinamis dan terintegrasi yang secara langsung memengaruhi pesan peringatan dan rencana respons?

Keterbatasan yang paling luas dampaknya adalah harmonisasi yang terbatas antar komponen sistem peringatan dini dan data yang siloed (terisolasi) di tingkat regional. Hal ini langsung mengarah pada pertanyaan riset yang berfokus pada interoperabilitas teknologi: Bagaimana ASEAN dapat mencapai implementasi penuh Common Alerting Protocol (CAP) yang konsisten di seluruh lembaga penerbit peringatan nasional (NMS/NDMO) untuk mengatasi kesenjangan kapasitas dalam berbagi pesan peringatan regional? Penelitian masa depan harus mengatasi keterbatasan ini dengan mengembangkan model yang tidak hanya mengidentifikasi kesenjangan, tetapi juga mengusulkan solusi teknis dan kelembagaan yang terukur.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Berdasarkan temuan utama mengenai kurangnya interkoneksi, pemanfaatan RVA yang tidak optimal, dan kesenjangan komunikasi last-mile, lima arah riset ke depan berikut ini direkomendasikan secara eksplisit untuk komunitas akademik dan penerima hibah:

  1. Riset 1: Pengembangan Kerangka Interoperabilitas Semantik Data RVA Lintas Batas.
    • Basis Temuan: Laporan menyoroti tantangan "data siloed" dan perlunya penguatan proses dan perjanjian untuk berbagi data RVA.
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian harus berfokus pada perancangan model semantik regional yang dapat menstandarkan meta-data dari berbagai produk RVA nasional (peta bahaya, skor kerentanan demografis). Variabel riset adalah koefisien normalisasi data yang mengukur seberapa efektif data RVA dari satu Negara Anggota ASEAN (misalnya, Indonesia) dapat secara otomatis diserap dan diproses oleh Sistem Pemantauan dan Respons Bencana (DMRS) regional atau sistem negara tetangga. Hal ini memerlukan studi perbandingan sistem geospasial yang ada (seperti BIG di Indonesia) untuk merumuskan protokol pertukaran.
    • Justifikasi Ilmiah: Untuk mengoptimalkan pemanfaatan penilaian risiko di tingkat regional, komunitas ilmiah harus menyediakan mekanisme teknis untuk menginstitusionalisasi pertukaran data, mengatasi hambatan teknis yang saat ini mencegah interkoneksi empat elemen EWS.
  2. Riset 2: Analisis Etnografi dan Pengujian Pesan Peringatan 'Last-Mile' yang Dilokalisasi.
    • Basis Temuan: Terdapat kesenjangan signifikan dalam Penyebaran dan Komunikasi Peringatan, termasuk kurangnya panduan yang jelas dan dapat ditindaklanjuti serta kelemahan dalam menjangkau komunitas terpencil dan kelompok rentan.
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Menggunakan riset aksi kolaboratif dengan komunitas pedesaan/pesisir. Variabel utama adalah Koefisien Efektivitas Respon (CER), yang mengukur rasio antara penerimaan pesan peringatan dan tindakan perlindungan yang tepat waktu (respon yang benar) untuk bahaya spesifik (misalnya, banjir 77,6% ). Penelitian harus menguji pesan peringatan yang diformulasikan berdasarkan rekomendasi laporan untuk dilokalisasi (bahasa lokal, media komunikasi non-digital) terhadap pesan peringatan standar.
    • Justifikasi Ilmiah: Meningkatkan last-mile alerting sangat penting untuk menyelamatkan nyawa. Riset ini menyediakan bukti berbasis ilmiah mengenai delivery dan reception efficacy dari pesan peringatan, mendukung rekomendasi laporan untuk penyesuaian program edukasi publik.
  3. Riset 3: Pemodelan Simulasi Dampak Multi-Bahaya Berbasis Kapasitas Cloud.
    • Basis Temuan: EWS regional harus diperkuat untuk multi-bahaya dan laporan merekomendasikan penggunaan teknologi cloud untuk ketersediaan tinggi dan peringatan yang berkelanjutan.
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Pengembangan platform pemodelan simulasi bencana berbasis cloud (misalnya, menggunakan arsitektur high availability yang direkomendasikan) yang dapat memproses data real-time dari berbagai sumber (misalnya, data prediksi Flash Flood Guidance ). Variabel riset adalah koefisien kecepatan pemrosesan bahaya turunan (cascading hazard) (misalnya, dari Gempa ke Tsunami atau Siklon ke Banjir Bandang). Fokus pada bagaimana beban komputasi dapat didistribusikan secara efisien di antara mitra regional.
    • Justifikasi Ilmiah: Ancaman multi-bahaya (seperti yang diindikasikan oleh data bencana regional ) memerlukan alat peramalan yang lebih canggih, dan teknologi cloud adalah solusi yang diusulkan oleh laporan untuk mengatasi masalah kapasitas regional.
  4. Riset 4: Analisis Regulasi dan Teknis Implementasi Penuh Common Alerting Protocol (CAP).
    • Basis Temuan: Laporan ini secara eksplisit merekomendasikan adopsi standar internasional seperti CAP untuk meningkatkan interoperabilitas EWS.
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian perbandingan regulasi (policy analysis) antar negara yang membandingkan hambatan legislatif (undang-undang pembagian peran) dan teknis (sistem perangkat lunak yang tidak kompatibel) yang menghambat implementasi CAP. Variabel kunci adalah Waktu Tunda Peringatan Lintas Batas (WTP-LB), yaitu metrik yang mengukur keterlambatan waktu antara penerbitan peringatan nasional dan validasi/diseminasi peringatan ke negara tetangga.
    • Justifikasi Ilmiah: Hambatan teknis dan kelembagaan dalam berbagi pesan peringatan regional (yang saat ini dianggap sebagai kesenjangan kapasitas ) dapat diatasi melalui standardisasi yang didukung oleh CAP. Riset ini memberikan dasar berbasis bukti untuk Penguatan Institusional.
  5. Riset 5: Studi Evaluasi Efektivitas Program Edukasi Publik yang Ditargetkan.
    • Basis Temuan: Laporan ini merekomendasikan penyesuaian program edukasi publik dan mencatat keterbatasan dalam menangani kebutuhan kelompok rentan.
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Perancangan dan pengujian Community Preparedness Index (CPI) sebagai variabel terukur. Penelitian akan membandingkan peningkatan CPI (mengukur pengetahuan, sikap, dan praktik) di antara kelompok rentan (misalnya, penyandang disabilitas, lansia) yang menerima program edukasi yang dirancang khusus, dengan kelompok yang menerima program umum.
    • Justifikasi Ilmiah: Peningkatan kebijakan yang didukung laporan harus didasarkan pada data yang menunjukkan bahwa upaya mitigasi dan kesiapsiagaan (preparedness) benar-benar efektif dan inklusif. Riset ini mendukung pembenaran ilmiah untuk Peningkatan Kebijakan.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi ASEAN Secretariat/ACDM, AHA Centre, dan Pacific Disaster Center (PDC) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, menerjemahkan rekomendasi akademik menjadi kebijakan operasional regional yang dapat diukur.

Baca paper aslinya di sini: Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Memperkuat Garis Depan ASEAN: Peta Jalan Riset untuk Sistem Peringatan Dini Bencana Multi-Bahaya

Manajemen Bencana

Membedah Arsitektur: Tinjauan Kritis Model Manajemen Bencana dan Arah Riset ke Depan.

Dipublikasikan oleh Raihan pada 27 Oktober 2025


 Resensi Riset: Tinjauan Struktural Model Manajemen Bencana dan Kontribusinya

Penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Alrehaili et al. ini bertujuan untuk melakukan pemeriksaan kritis terhadap model-model manajemen bencana melalui analisis tematik guna menentukan kontribusi mereka, serta mengidentifikasi kendala atau tantangan signifikan yang dapat membatasi kemampuan model-model tersebut dalam melaksanakan tindakan pengurangan risiko bencana (DRR) yang tepat. Dengan mengadopsi pendekatan kualitatif, studi ini menginvestigasi literatur yang ada untuk mengevaluasi peran model dalam manajemen bencana. Kesimpulan utama yang muncul adalah bahwa model-model ini sangat diperlukan karena mereka menyederhanakan dan meningkatkan manajemen bencana , bertindak sebagai alat pendukung pengambilan keputusan yang berharga bagi perencana, manajer, dan praktisi.

Model dalam konteks ini didefinisikan sebagai "sistem fungsi dan kondisi yang menghasilkan hasil formal". Penelitian ini berargumen bahwa, meskipun ada banyak model yang tersedia, bencana masih sering dikelola secara tidak efisien, menunjukkan adanya kebutuhan untuk terus memperbaiki model agar manajemen bencana tetap menjadi disiplin profesional dan ilmiah. Studi ini menggarisbawahi pentingnya model untuk menyederhanakan situasi yang rumit (terutama dengan batasan waktu yang ketat), membantu pemahaman melalui perbandingan kondisi nyata dengan model teoretis, menyediakan alat yang efektif untuk mengukur aktivitas bencana, dan mendukung pembentukan pemahaman bersama di antara semua pihak yang berkepentingan.

Jalur Logis Perjalanan Temuan

Metodologi penelitian ini melibatkan kajian literatur diikuti oleh analisis konten, dengan menggunakan basis data ilmiah utama seperti Google Scholar dan Scopus. Proses pengumpulan dan klasifikasi model dilakukan melalui metodologi tiga tahap: pengumpulan model, analisis dan klasifikasi, dan diskusi model.

Temuan utama dari tinjauan ini mengarah pada klasifikasi model manajemen bencana ke dalam lima kategori utama, yang memperluas kategorisasi empat jenis model sebelumnya (logis, kausal, terintegrasi, dan tidak terkategorikan) dengan menambahkan kelompok kelima, yaitu model kombinatorial. Model kombinatorial ini diusulkan karena beberapa model tidak cocok untuk dimasukkan ke dalam kelompok yang sudah ada, dan model baru ini terdiri dari campuran model logis, kausal, dan terintegrasi.

  1. Model Logis: Didefinisikan sebagai desain sederhana dari fase-fase utama manajemen bencana yang menekankan prosedur penting. Contoh populer adalah Model Tradisional (1998), yang membagi siklus manajemen bencana menjadi tiga fase: sebelum, selama, dan setelah bencana.
  2. Model Kausal: Fokus utama model-model ini adalah memahami akar penyebab bencana. Contohnya adalah Model Penyebab Krisis (Crunch Cause Model) (2000), yang menawarkan kerangka kerja berdasarkan prinsip bahwa kerentanan bencana dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti yang dijelaskan dalam persamaan: Bahaya + Kerentanan = Risiko Bencana.
  3. Model Terintegrasi: Mengatur tugas yang diperlukan untuk menjamin kinerja yang efektif dan efisien, dengan empat komponen: penilaian risiko, manajemen bahaya, mitigasi, dan kesiapsiagaan. Model Kesehatan Manitoba (2002) adalah salah satu yang paling umum, yang terdiri dari enam bagian utama.
  4. Model Kombinatorial: Menggabungkan model logis, kausal, dan terintegrasi untuk mengembangkan model baru. Contohnya adalah Model Komprehensif Cuny (1998), yang menggabungkan keunggulan ketiga kelompok model tersebut.
  5. Model Tidak Terkategorikan: Model yang desain dan formatnya tidak termasuk dalam kriteria empat kelompok sebelumnya. Model Ibrahim et al. (2003), yang berfokus pada bencana teknologi, adalah contohnya.

Temuan penting lainnya adalah bahwa mayoritas model didasarkan pada empat fase utama manajemen bencana: mitigasi, kesiapsiagaan, respons, dan pemulihan , meskipun setiap model memiliki keunggulan yang membedakannya. Meskipun demikian, model-model tersebut tidak secara umum diterapkan dan tidak dapat digunakan dalam semua jenis bencana. Model Tradisional (1998) adalah yang paling disukai dan paling umum di antara para praktisi, bersama dengan model expand and contract (1998), Crunch cause (2000), dan Kimberly (2003).

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi utama studi ini bagi bidang manajemen bencana adalah penyediaan kerangka klasifikasi model yang diperbarui (lima kelompok) dan konfirmasi empiris mengenai nilai model sebagai alat pendukung keputusan yang penting. Secara deskriptif, temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara penggunaan model yang tepat dan peningkatan tanggapan pemerintah dan komunitas terhadap bahaya dan risiko bencana—menunjukkan potensi kuat bagi objek penelitian baru untuk mengukur dampak kombinasi model. Selain itu, studi ini membenarkan bahwa model berfungsi untuk menyederhanakan dan mengklarifikasi manajemen bencana dan sangat berharga dalam menghadapi bencana besar seperti badai, gempa bumi, dan serangan teroris.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun model bermanfaat, penelitian ini menyoroti keterbatasan dan kekhawatiran yang terkait dengannya. Kekhawatiran tersebut meliputi ketidakpastian bencana di masa depan, sifat preskriptif model (langkah demi langkah) yang mengabaikan sifat bencana yang kompleks dan seringkali kacau, dan dampaknya terhadap bisnis. Kritik lain yang ditawarkan oleh Alexander (1997, 2002) adalah bahwa model tidak mengalami kemajuan signifikan karena korban tewas akibat bencana belum cukup berkurang, dan ada masalah seperti kurangnya transfer teknologi skala besar dan bantuan bencana yang tidak memadai.

Keterbatasan kunci yang diidentifikasi meliputi:

  • Fokus yang Terbatas: Mayoritas model didasarkan pada empat fase bencana (mitigasi, kesiapsiagaan, respons, pemulihan), dan beberapa tidak mencakup semua aspek manajemen bencana, seperti manajemen risiko dan penilaian risiko.
  • Pendekatan 'Satu Ukuran untuk Semua': Model cenderung mengabaikan variabel spesifik setiap bencana, termasuk variasi budaya, pemerintah, dan sumber daya, dalam upaya untuk menjadi kompatibel secara universal.
  • Kurangnya Pemahaman dan Implementasi: Beberapa perencana, manajer, dan praktisi memiliki pemahaman terbatas tentang penggunaan model, dan model seringkali tidak diterapkan secara memadai, membuat model yang baik sekalipun menjadi tidak efektif.

Pertanyaan terbuka yang diajukan oleh temuan ini adalah: Bagaimana mekanisme kombinasi model yang efektif dapat distandarisasi untuk bencana yang sangat kompleks, sehingga memaksimalkan kekuatan satu model (misalnya, Logis-Tradisional) untuk mengimbangi kelemahan model lain (misalnya, Kimberly yang memerlukan pendanaan besar)?. Studi ini secara eksplisit menemukan bahwa model tidak dapat diaplikasikan secara umum untuk semua jenis bencana karena sifat bencana yang unik dan tidak terduga.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan untuk Komunitas Akademik

Berdasarkan temuan studi ini mengenai keterbatasan model, sifat preskriptif, dan kurangnya pemahaman tentang implementasi, lima rekomendasi berikut diusulkan untuk riset ke depan, yang berfokus pada jalur logis dari temuan saat ini dan potensi jangka panjang:

  1. Riset Empiris Multinasional tentang Penerapan Model Kombinatorial:
    • Justifikasi Ilmiah: Studi ini mengidentifikasi kelompok Model Kombinatorial (misalnya, Cuny Comprehensive Model) yang menggabungkan model Logis, Kausal, dan Terintegrasi untuk mengatasi kelemahan model tunggal.
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Penelitian harus menggunakan studi kasus mixed-method untuk secara kuantitatif mengukur efektivitas (variabel: tingkat korban, kecepatan pemulihan infrastruktur) dari model kombinatorial di berbagai konteks budaya dan ekonomi (variabel baru: variasi budaya dan ketersediaan sumber daya). Perlu untuk membandingkan keberhasilan model Wheel-shape disaster management model (gabungan Logis dan Terintegrasi) di negara maju dan negara berkembang.
    • Kebutuhan Lanjutan: Hal ini akan menghasilkan pedoman yang lebih fleksibel dan berbasis bukti untuk kustomisasi model dibandingkan pendekatan 'satu ukuran untuk semua' yang saat ini dikritik.
  2. Pengembangan dan Pengujian Model 'Anti-Preskriptif' Berbasis Ketidakpastian (Non-Linearitas):
    • Justifikasi Ilmiah: Ditemukan bahwa sifat bencana yang kompleks, tidak linear, dan seringkali kacau tidak ditangani secara memadai oleh desain model yang preskriptif dan langkah demi langkah.
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Perlu mengembangkan Model Bencana Non-Linear (MBNL) baru berdasarkan Teori Kekacauan (Chaos Theory) atau dinamika sistem kompleks. Penelitian harus menggunakan simulasi prediktif dan pemodelan skenario (metode baru) untuk menguji MBNL terhadap ketidakpastian bencana di masa depan (variabel: tingkat ketidakpastian). MBNL harus berfokus pada pengambilan keputusan real-time (fase respons) di bawah kondisi waktu yang sangat ketat.
    • Kebutuhan Lanjutan: Ini akan mengatasi kekhawatiran tentang sifat preskriptif dan kurangnya kesiapan menghadapi peristiwa tak terduga.
  3. Kajian Kualitatif Komprehensif tentang Integrasi Risiko dan Penilaian Risiko ke dalam Model Utama:
    • Justifikasi Ilmiah: Studi ini mencatat bahwa beberapa model tidak secara eksplisit mencakup semua aspek manajemen bencana, seperti manajemen risiko dan penilaian risiko. Model Terintegrasi hanya memiliki empat komponen utama, sementara Model Kausal berfokus pada pemahaman penyebab.
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Lakukan analisis kualitatif konten tingkat lanjut (metode baru) pada model yang paling disukai (Model Tradisional, Crunch Cause) untuk menentukan bagaimana aspek-aspek manajemen risiko secara implisit atau eksplisit dimasukkan. Variabelnya adalah tingkat integrasi manajemen risiko (TIRM) dalam deskripsi model. Riset harus menghasilkan kerangka kerja modular (Model Terintegrasi Generasi Kedua) yang memastikan TIRM tinggi.
    • Kebutuhan Lanjutan: Hal ini penting untuk memastikan bahwa model berfungsi sebagai "peta jalan" yang komprehensif, mencakup semua aspek dan mengatasi kelemahan.
  4. Penelitian tentang Hambatan dan Pengurangan Gap Pengetahuan untuk Praktisi di Negara Berkembang:
    • Justifikasi Ilmiah: Ada temuan bahwa perencana dan praktisi memiliki pemahaman terbatas tentang penggunaan dan implementasi model , dan model tertentu (misalnya, Kimberly) mungkin tidak cocok untuk negara berkembang karena membutuhkan pendanaan dan pengetahuan yang besar.
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Lakukan survei dan wawancara kualitatif (metode baru) di kawasan yang rentan bencana (konteks: Asia Tenggara atau Afrika) untuk mengukur tingkat literasi model dan skeptisisme terhadap kontribusi model (variabel). Riset harus mengidentifikasi strategi pelatihan yang paling efektif untuk mentransfer pemahaman model, terutama dalam pengelolaan bencana yang disebabkan oleh manusia (man-made disasters).
    • Kebutuhan Lanjutan: Untuk meningkatkan kegunaan dan penerapan model di lapangan dan memastikan bahwa bencana dikelola secara efektif.
  5. Analisis Longitudinal tentang Dampak Model pada Keberlanjutan Pembangunan:
    • Justifikasi Ilmiah: Model manajemen bencana didasarkan pada prinsip bahwa bencana mengganggu pembangunan, dan tujuannya adalah memulihkan pembangunan. Namun, studi ini tidak secara kuantitatif mengukur korelasi jangka panjang antara adopsi model dan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan.
    • Metode, Variabel, atau Konteks Baru: Lakukan analisis data sekunder longitudinal (metode baru) untuk membandingkan tren pembangunan (variabel: PDB regional, infrastruktur yang diperbaiki) di wilayah yang secara konsisten menerapkan model bencana tertentu (misalnya, Model Pressure and Release (PAR) yang digunakan di Arab Saudi) selama lebih dari sepuluh tahun. Riset harus mengukur variabel baru, yaitu indeks pemulihan pembangunan (IPB).
    • Kebutuhan Lanjutan: Untuk memberikan justifikasi ekonomi dan sosial yang kuat kepada pemerintah bahwa model merupakan alat yang tak terhindarkan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi seperti Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) (sebagai koordinator global dan penerima hibah), Bank Dunia (sebagai sumber pendanaan dan data pembangunan), dan Pusat Kesiapsiagaan Bencana Asia (ADPC) (sebagai pengembang Model Tradisional dan Crunch Cause yang populer) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, terutama dalam konteks global yang kompleks.

Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Membedah Arsitektur: Tinjauan Kritis Model Manajemen Bencana dan Arah Riset ke Depan.

Manajemen Risiko

Pandemi dan Bencana Alam Bertabrakan: Mengapa Risiko ASEAN Meningkat 33%

Dipublikasikan oleh Raihan pada 27 Oktober 2025


Resensi Riset Mendalam: Menuju Ketahanan Bencana Berkelanjutan di Era Compound Risks ASEAN (Instruksi 6–12)

Kawasan Asia Tenggara telah lama diakui sebagai salah satu wilayah yang paling rawan bencana di dunia. Publikasi ASEAN Risk Monitor and Disaster Management Review (ARMOR) Edisi ke-3 ini secara komprehensif membedah tantangan multidimensi ketika krisis kesehatan publik global —khususnya Pandemi COVID-19— berbenturan dengan siklus bencana alam yang terjadi secara rutin di kawasan ini. Tujuan utama riset ini adalah untuk mengukur secara kuantitatif dampak COVID-19 terhadap lanskap risiko bencana ASEAN (disaster riskscape) dan untuk mengeksplorasi secara kualitatif bagaimana organisasi penanggulangan bencana nasional (NDMO) dan AHA Centre beradaptasi. Studi ini tidak hanya penting untuk para pembuat kebijakan, tetapi juga menjadi fondasi krusial bagi komunitas akademik dan penerima hibah dalam merumuskan agenda riset ke depan.

Parafrase Isi Paper dan Jalur Logis Temuan

Jalur logis penelitian dimulai dengan penegasan bahwa periode pandemi (antara 11 Maret 2020 dan 30 November 2021) merupakan masa yang sangat rentan, di mana 48% dari total 3.503 kejadian bencana yang tercatat oleh ADINet sejak 2012 terjadi selama pandemi COVID-19. Peristiwa ini menggarisbawahi realitas risiko berjenjang (cascading risk) yang harus dihadapi kawasan ASEAN.

Untuk mengukur dampak ini, para peneliti memperkenalkan ASEAN Risk Index for Situational Knowledge (ASEAN RISK). ASEAN RISK menggunakan pendekatan model-of-models, yang menyinergikan indeks risiko terkemuka seperti INFORM (Index for Risk Management) dan ASEAN RVA (Risk and Vulnerability Assessment). Model komposit ini mengukur risiko berdasarkan tiga komponen utama: Multi-Hazard Exposure (Paparan Berbagai Bahaya), Vulnerability (Kerentanan), dan Coping Capacity (Kapasitas Penanggulangan). Dengan menggunakan data resolusi spasial tertinggi (30m x 30m) untuk mengukur paparan bahaya alam seperti gempa bumi, siklon tropis, dan banjir, model ini memberikan penilaian yang seimbang mengenai magnitud dan kepentingan paparan di setiap Negara Anggota ASEAN (AMS).

Secara konsisten dengan edisi ARMOR sebelumnya, temuan kuantitatif menunjukkan bahwa Myanmar, Filipina, dan Indonesia tetap menjadi tiga AMS yang paling berisiko terhadap bencana. Namun, analisis yang lebih kritis mengungkapkan bahwa risiko bencana di seluruh kawasan telah meningkat sejak ARMOR edisi pertama pada tahun 2019. Pendorong utama di balik peningkatan risiko ini adalah peningkatan kerentanan dan penurunan kapasitas penanggulangan.

Temuan ini menunjukkan hubungan kuat antara bencana alam dan pandemi, di mana Paparan COVID-19 (berdasarkan total kasus, kematian, dan populasi yang tidak divaksinasi) digabungkan dengan risiko bahaya alam untuk menghasilkan nilai akhir yang menunjukkan beban aditif (additive burden). Dampak gabungan ini menghasilkan temuan yang sangat penting: Pandemi COVID-19 memperburuk risiko bencana di kawasan ASEAN rata-rata 33% —menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru tentang compound risk dan sistem kesehatan publik yang terintegrasi dengan manajemen bencana. Secara spesifik, negara seperti Malaysia, Filipina, dan Indonesia mencatat persentase perubahan risiko tertinggi setelah dimasukkannya paparan COVID-19.

Di sisi respons dan operasi, survei kualitatif terhadap NDMO dan AHA Centre mengungkapkan tantangan operasional yang signifikan. Tantangan utama yang dihadapi adalah Logistik (akibat pembatasan pergerakan domestik dan internasional yang melambatkan pengiriman bantuan) dan Sumber Daya Manusia (staf NDMO harus mengemban peran ganda dalam respons kesehatan dan bencana, menyebabkan ketegangan pada sumber daya). Namun, pandemi juga mendorong praktik baik seperti digitalisasi dan virtualisasi operasional (koordinasi daring), serta desentralisasi respons ke otoritas lokal (localisation), terutama di mana ketersediaan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) dinilai paling tidak menantang oleh responden.

Kontribusi Utama, Keterbatasan, dan Arah Riset ke Depan

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Riset ini memberikan kontribusi mendasar terhadap ilmu manajemen bencana, terutama dalam konteks risiko berjenjang:

  1. Penciptaan Metodologi ASEAN RISK: Pengenalan ASEAN RISK sebagai model-of-models yang menggabungkan dua indeks risiko terkemuka menjadi metrik komposit regional yang kuat, meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan.
  2. Kuantifikasi Dampak Krisis Kesehatan: Untuk pertama kalinya, penelitian ini secara eksplisit mengukur beban aditif dari krisis kesehatan terhadap risiko bencana alam. Temuan bahwa COVID-19 memperburuk risiko bencana rata-rata 33% memberikan bukti empiris yang tak terbantahkan tentang perlunya perencanaan terpadu.
  3. Dokumentasi Penyesuaian Operasional: Melalui kuesioner, penelitian ini mendokumentasikan penyesuaian prosedur, tantangan (logistik dan SDM), dan praktik baik (virtualisasi dan lokalisasi) yang dipelajari NDMO dan AHA Centre selama bencana yang tumpang tindih dengan pandemi.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun berkontribusi signifikan, studi ini memiliki keterbatasan yang membuka peluang riset lanjutan. Keterbatasan utama terletak pada sifat paparan aditif COVID-19 yang diukur. Pemodelan risiko hanya mengagregasikan paparan kesehatan ke dalam model bahaya alam , yang mungkin tidak sepenuhnya menangkap interaksi non-linear atau efek bergulir (cascading effects) yang kompleks antara bencana biologi dan bencana alam.

Secara regional, penelitian ini menyoroti kesenjangan besar dalam Resiliensi: Singapura dan Brunei Darussalam memiliki skor Kapasitas Penanggulangan (Coping Capacity) yang jauh lebih tinggi daripada skor Kerentanan dan Paparan Bahaya mereka. Kesenjangan ini menunjukkan adanya 'kelebihan kapasitas ketahanan' (resilience surplus) di beberapa AMS, namun mekanismenya belum sepenuhnya dipahami atau dimanfaatkan untuk dibagi kepada AMS lain, yang merupakan pertanyaan terbuka krusial.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Berikut adalah lima arah riset eksplisit, terstruktur, dan berbasis temuan yang ditujukan untuk komunitas akademik, peneliti, dan penerima hibah:

  1. Riset Mendalam tentang Penggerak Inti Kerentanan Regional
    • Justifikasi Ilmiah: Temuan menunjukkan peningkatan risiko kawasan didorong oleh peningkatan Vulnerability dan penurunan Coping Capacities sejak 2019.
    • Arah Riset: Penelitian harus berfokus pada dekomposisi indikator-indikator di bawah Vulnerability dan Coping Capacity dari ASEAN RISK untuk mengidentifikasi variabel-variabel sosio-ekonomi spesifik (misalnya, Indeks Pembangunan Manusia di tingkat sub-nasional, tata kelola pemerintahan lokal) yang paling memengaruhi penurunan kapasitas penanggulangan di AMS yang paling berisiko. Riset lanjutan ini akan memerlukan analisis regresi data panel multi-tahun untuk memastikan intervensi kebijakan yang lebih terarah dan efektif, sesuai dengan rekomendasi agar metodologi pengurangan risiko fokus pada penggerak risiko.
  2. Pengembangan Model Risiko Berjenjang (Cascading Risk) Non-Linear
    • Justifikasi Ilmiah: Pandemi meningkatkan risiko bencana rata-rata 33% melalui paparan aditif. Realitas operasional menunjukkan tantangan logistik yang tumpang tindih antara respons bencana alam dan pandemi.
    • Arah Riset: Akademisi harus bergeser dari model paparan aditif menuju pemodelan risiko berjenjang non-linear yang menguji bagaimana krisis (seperti bencana alam) di tengah ketegangan krisis lain (seperti pandemi) mengalikan dampak dan bukan hanya menjumlahkannya. Penelitian harus menggunakan simulasi berbasis agen (agent-based modeling) untuk memprediksi kegagalan rantai pasok logistik atau kelebihan kapasitas sistem kesehatan ketika bahaya ganda terjadi serentak, merumuskan protokol tanggap darurat yang resilient terhadap krisis simultan.
  3. Kajian Formulasi Kerangka Berbagi Kelebihan Kapasitas Resiliensi Regional
    • Justifikasi Ilmiah: Singapura dan Brunei Darussalam menunjukkan 'kelebihan kapasitas ketahanan' yang tinggi (Coping Capacity jauh di atas Vulnerability). Penelitian merekomendasikan eksplorasi cara berbagi resiliensi surplus ini di seluruh kawasan.
    • Arah Riset: Penelitian kebijakan harus mengkaji kerangka kerja yang layak dan berkelanjutan untuk mentransfer Coping Capacity—bukan hanya bantuan fisik. Ini termasuk analisis governance dan legal (seperti pemanfaatan ASEAN Single Window untuk memfasilitasi logistik ), transfer pengetahuan (knowledge management), dan berbagi sumber daya teknis (misalnya, sistem peringatan dini atau teknologi ICT) dari AMS yang memiliki kapasitas tinggi ke AMS yang berisiko tinggi. Studi ini harus merancang proof-of-concept operasional regional untuk menguji kelayakan model berbagi kapasitas.
  4. Integrasi AI dan Sistem Pendukung Keputusan (DSS) ke dalam Protokol Lokal
    • Justifikasi Ilmiah: Pandemi membatasi mobilitas, meningkatkan kebutuhan akan informasi real-time yang akurat. Teknologi seperti program FloodAI UNOSAT terbukti dapat memproses citra satelit dan menghasilkan peta banjir dalam waktu yang jauh lebih singkat. Namun, perlu adanya sistem yang lebih mudah diakses oleh pengambil keputusan di tingkat lokal.
    • Arah Riset: Penelitian harus menyelidiki desain dan implementasi Sistem Pendukung Keputusan (DSS) berbasis machine learning yang ramah pengguna untuk pengambil keputusan di tingkat nasional dan sub-nasional. Fokusnya harus pada integrasi teknologi ini ke dalam Standard Operating Procedure (SOP) respons bencana yang ada. Tujuan jangka panjang adalah untuk mengkatalisasi kapasitas lokal dan nasional dalam identifikasi dan pemantauan risiko.
  5. Analisis Jangka Panjang Dampak Ganda Krisis terhadap Sumber Daya Manusia NDMO
    • Justifikasi Ilmiah: Sejumlah besar NDMO melaporkan ketegangan pada sumber daya manusia dan tuntutan workload ganda akibat peran ganda dalam respons COVID-19 dan bencana.
    • Arah Riset: Penelitian psikososial dan manajemen organisasi harus dilakukan untuk mengukur dampak jangka panjang stres dan burnout pada staf manajemen bencana. Riset ini harus merumuskan model Rencana Kelangsungan Bisnis (Business Continuity Plan/BCP) untuk Sumber Daya Manusia NDMO yang berkelanjutan, termasuk kebijakan rotasi tugas, peningkatan keterampilan lintas-sektoral, dan sistem dukungan kesehatan mental. Tujuannya adalah memastikan kesiapan operasional yang terjamin dalam skenario protracted crisis di masa depan.

Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif

Studi ARMOR edisi ke-3 ini telah secara tegas memposisikan masa depan manajemen bencana ASEAN sebagai tantangan compound risks. Peningkatan risiko rata-rata 33% yang terkuantifikasi menunjukkan bahwa strategi Disaster Risk Reduction (DRR) tidak boleh lagi beroperasi dalam silo. Perspektif jangka panjang menunjukkan bahwa krisis seperti COVID-19 bukanlah yang terakhir, menuntut pendekatan yang lebih terlembagakan dan efektif dalam mengatasi risiko.

Untuk mewujudkan Visi ASEAN 2025 menjadi pemimpin global dalam manajemen bencana, penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi antar-institusi strategis. Ini harus melibatkan institusi ASEAN University Network (AUN) untuk riset akademik mendalam, lembaga pendanaan regional dan internasional (seperti Uni Eropa dan ADB) untuk hibah riset berorientasi solusi, dan satuan tugas operasional regional (seperti ASEAN-ERAT) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, dan terutama melibatkan NDMO di setiap AMS untuk menjamin relevansi data dan kebijakan.

Baca paper aslinya di sini

Selengkapnya
Pandemi dan Bencana Alam Bertabrakan: Mengapa Risiko ASEAN Meningkat 33%
« First Previous page 19 of 1.274 Next Last »