Pembangunan Daerah
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 21 Mei 2025
Pendahuluan
Ketahanan pangan telah menjadi isu strategis dan multidimensi dalam pembangunan nasional, terlebih di era globalisasi dan perubahan iklim yang tidak menentu. Dalam konteks Provinsi Banten, isu ini menjadi semakin penting karena wilayah tersebut merupakan penyangga ibukota negara dan berperan sebagai pintu gerbang Jawa-Sumatera. Paper yang ditulis oleh Yeni Budiawati dan Ronnie S. Natawidjaja berjudul “Situasi dan Gambaran Ketahanan Pangan di Provinsi Banten Berdasarkan Peta FSVA dan Indikator Ketahanan Pangan” yang diterbitkan dalam Jurnal Agribisnis Terpadu Vol. 13 No. 2, 2020, memberikan potret komprehensif atas ketahanan pangan wilayah ini dengan membandingkan dua pendekatan metodologis: Peta FSVA tahun 2018 dan studi Deby Eryani Setiawan et al. (2017).
Artikel ini akan menguraikan secara analitis bagaimana indikator-indikator tersebut membentuk pemetaan kerawanan pangan, menjelaskan urgensi tiap indikator, serta menyoroti kesenjangan spasial yang terjadi antardaerah dalam Provinsi Banten.
Latar Belakang
Isu ketahanan pangan bukan sekadar soal ketersediaan beras atau kecukupan kalori, melainkan menyangkut hak fundamental setiap warga untuk memperoleh akses terhadap pangan yang bergizi, aman, dan terjangkau secara berkelanjutan. Di tengah kompleksitas tantangan global seperti perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, konversi lahan pertanian, hingga pandemi, ketahanan pangan menjadi indikator utama kesejahteraan dan stabilitas sosial suatu wilayah.
Provinsi Banten sebagai daerah strategis dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan urbanisasi yang cepat menghadapi tantangan tersendiri dalam menjaga ketahanan pangan. Wilayah ini memiliki profil geografis yang beragam—dari kawasan pesisir, pegunungan, hingga urban-industrial. Kondisi ini menciptakan ketimpangan akses dan pemanfaatan pangan antarwilayah, yang berimplikasi pada meningkatnya angka stunting, rendahnya pendidikan gizi, serta ketergantungan pada distribusi pangan dari luar daerah.
Untuk itu, penting adanya pemetaan dan analisis berbasis data spasial guna memahami situasi riil ketahanan pangan di setiap kabupaten/kota di Provinsi Banten. Paper yang ditulis oleh Yeni Budiawati dan Ronnie S. Natawidjaja ini hadir untuk menjawab kebutuhan tersebut, dengan membandingkan dua sumber utama data indikator ketahanan pangan: FSVA (Food Security and Vulnerability Atlas) tahun 2018 dan penelitian oleh Setiawan et al. (2017). Penelitian ini tidak hanya mengukur level kerawanan pangan, tetapi juga memetakan wilayah prioritas intervensi dan menyusun dasar kebijakan berbasis bukti yang lebih kontekstual.
Kerangka Analisis Ketahanan Pangan
Apa Itu Ketahanan Pangan?
Merujuk pada UU No. 18 Tahun 2012, ketahanan pangan tidak hanya berarti tersedianya pangan dalam jumlah dan mutu yang cukup, tetapi juga menekankan pada aksesibilitas individu terhadap pangan yang aman, bergizi, dan terjangkau. Berdasarkan Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) dan konsep dari World Food Programme (WFP), ketahanan pangan ditentukan oleh tiga pilar utama:
Ketersediaan pangan (food availability),
Akses pangan (food access), dan
Pemanfaatan pangan (food utilization).
FSVA memperluasnya dengan memasukkan kerentanan terhadap pangan transien, seperti bencana alam, deforestasi, hingga fluktuasi curah hujan.
Metodologi dan Pendekatan Perbandingan
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-komparatif dengan membandingkan Peta FSVA tahun 2018 yang mencakup 9 indikator dengan penelitian Deby Eryani Setiawan et al. yang menggunakan 6 indikator. Fokus utama adalah menganalisis persebaran ketahanan pangan serta indikator-indikator kritis yang memengaruhi ketahanan tersebut pada level kabupaten/kota di Banten.
Temuan Utama dan Analisis Mendalam
1. Rasio Konsumsi vs Ketersediaan Pangan
Menurut FSVA, wilayah Banten terbagi menjadi tiga zona:
Surplus tinggi (barat),
Surplus sedang (timur),
Surplus rendah (utara).
Analisis:
Meski secara keseluruhan surplus, pola ini mengindikasikan ketimpangan distribusi. Surplus tidak otomatis menjamin keamanan pangan di level rumah tangga karena keterbatasan akses dan distribusi logistik.
2. Stunting dan Gizi Buruk
Stunting mencapai 30-39% (FSVA), bahkan >40% (Setiawan et al.). Gizi buruk juga signifikan di beberapa kecamatan.
Analisis:
Ini adalah indikator paling mengkhawatirkan. Tingginya angka stunting dan gizi buruk menunjukkan permasalahan sistemik dalam pemanfaatan pangan dan akses gizi berkualitas. Wilayah seperti Kabupaten Pandeglang mencatat angka stunting sebesar 37,8%—salah satu yang tertinggi di Indonesia.
3. Akses terhadap Air Bersih dan Listrik
Sebagian besar rumah tangga di wilayah selatan tidak memiliki akses air bersih (60–70%).
Akses listrik membaik, tetapi masih ada wilayah tanpa sambungan (Level <10%).
Analisis:
Ketiadaan air bersih memperparah masalah gizi dan kesehatan. Listrik berpengaruh pada penyimpanan makanan dan akses terhadap informasi pangan.
4. Lama Sekolah Perempuan
Sebagian besar perempuan di atas usia 15 tahun hanya menempuh pendidikan 6–8,5 tahun. Hal ini tergolong rendah dan menjadi indikator penting dalam pemanfaatan pangan.
Analisis:
Edukasi perempuan sangat penting dalam pola konsumsi rumah tangga, pemilihan makanan sehat, dan pengasuhan anak. Daerah dengan tingkat pendidikan rendah lebih berisiko mengalami kerentanan pangan.
5. Proporsi Pengeluaran untuk Pangan
Sebagian besar rumah tangga menghabiskan 30–40% pendapatannya untuk makanan. Angka ini cukup tinggi dan menunjukkan keterbatasan ekonomi masyarakat.
Analisis:
Semakin besar proporsi pengeluaran untuk makanan, semakin sedikit dana untuk pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan penting lainnya. Ini memperkuat lingkaran setan kemiskinan dan rawan pangan.
6. Angka Harapan Hidup dan Rasio Tenaga Kesehatan
Angka harapan hidup 64–70 tahun.
Rasio tenaga kesehatan <5 per wilayah (baik).
Analisis:
Indikator ini tergolong positif dan mencerminkan perkembangan layanan dasar. Namun, tidak boleh mengaburkan fakta bahwa aspek lain seperti stunting masih menjadi masalah besar.
Ketimpangan Wilayah: Kota vs Kabupaten
Indeks Ketahanan Pangan (IKP) menunjukkan disparitas antarwilayah:
Kota Serang memiliki skor IKP terendah: 59,16 (kategori rawan pangan).
Kota Tangerang Selatan memiliki skor tertinggi: 83,33 (kategori sangat tahan pangan).
Analisis:
Kota besar umumnya memiliki infrastruktur dan akses pasar yang lebih baik, sedangkan daerah seperti Serang dan Pandeglang masih tertinggal secara struktural dan sosial. Hal ini membutuhkan pendekatan yang lebih kontekstual dan kebijakan yang tidak seragam (tailored policy).
Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi
Fokus pada Intervensi Gizi Anak
Prioritaskan pemberantasan stunting dan gizi buruk melalui program pangan bergizi di sekolah dan posyandu.
Pembangunan Infrastruktur Dasar
Perluasan jaringan air bersih dan listrik ke wilayah perdesaan harus menjadi prioritas.
Edukasi dan Pemberdayaan Perempuan
Program literasi dan pelatihan gizi untuk ibu rumah tangga bisa berdampak signifikan pada ketahanan pangan keluarga.
Distribusi Pangan Berkeadilan
Sistem distribusi pangan perlu ditata ulang agar surplus pangan di satu wilayah dapat menutupi kekurangan di wilayah lain secara efisien.
Pemanfaatan Data Spasial
Data FSVA dan pemetaan spasial bisa digunakan secara aktif oleh pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan berbasis bukti.
Kritik dan Perbandingan dengan Studi Lain
Dibandingkan dengan studi serupa di Sulawesi Utara (Purwantini et al., 2002), ditemukan pola serupa: surplus pangan di level regional tidak menjamin keamanan pangan di level rumah tangga. Hal ini menunjukkan pentingnya memperhatikan akses dan pemanfaatan, bukan hanya produksi.
Kesimpulan
Studi ini memberikan wawasan kritis bahwa meskipun Provinsi Banten secara umum masuk dalam kategori "tahan pangan" berdasarkan peta FSVA, namun masih terdapat disparitas signifikan antarwilayah dan indikator. Ketahanan pangan harus dilihat secara menyeluruh: dari ketersediaan, akses, hingga pemanfaatan. Fokus intervensi tidak hanya pada kuantitas produksi tetapi juga kualitas konsumsi dan distribusi yang merata.
Sumber
Yeni Budiawati dan Ronnie S. Natawidjaja. Situasi dan Gambaran Ketahanan Pangan di Provinsi Banten Berdasarkan Peta FSVA dan Indikator Ketahanan Pangan. Jurnal Agribisnis Terpadu, Vol. 13 No. 2, Desember 2020. ISSN 1979-4991.
Arsitektur Berbasis Kearifan Lokal
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 21 Mei 2025
Pendahuluan
Ketika industri pariwisata berkembang pesat, muncul kebutuhan mendesak untuk mengintegrasikan nilai-nilai lokal dalam perencanaan kawasan wisata. Artikel karya Michella Elizabeth Reifiana ini mengambil langkah strategis dengan menghadirkan pendekatan arsitektur tradisional Sunda dalam perencanaan Tanjung Lesung Eco Resort di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Pendekatan ini tidak hanya menawarkan diferensiasi estetika, tetapi juga membangun identitas kultural yang otentik.
Resensi ini bertujuan untuk menelaah kontribusi paper secara menyeluruh, mengupas pendekatan desain yang digunakan, relevansinya terhadap isu lingkungan dan budaya, serta menilai efektivitas konsep dalam menjawab kebutuhan wisata berkelanjutan masa kini.
Latar Belakang: Konteks Lokal dan Arsitektur Tradisional
Tanjung Lesung telah ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) pariwisata berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2012. Wilayah ini memiliki kekayaan ekosistem pesisir, potensi budaya, dan lokasi strategis di Selat Sunda. Namun, pengembangan wisata di kawasan ini masih menghadapi tantangan seperti belum optimalnya infrastruktur, kurangnya konsep berbasis lokal, serta kebutuhan akan pariwisata berkelanjutan.
Dalam konteks ini, pendekatan arsitektur tradisional Sunda menjadi jawaban kreatif terhadap kebutuhan fungsional, ekologis, sekaligus pelestarian nilai-nilai lokal. Paper ini memperlihatkan bahwa tradisi bukan sekadar warisan, melainkan sumber inspirasi desain yang hidup.
Tujuan dan Metodologi Perancangan
Tujuan utama penelitian ini adalah merancang kawasan eco resort yang harmonis dengan lingkungan dan budaya lokal. Penulis menggunakan pendekatan arsitektural yang responsif terhadap alam (ekologis), sosial (budaya), dan ekonomi (daya tarik wisata).
Metode perancangan dilakukan dengan beberapa tahapan:
Studi literatur arsitektur Sunda
Analisis tapak dan potensi lahan
Pengumpulan data primer dan sekunder
Perancangan makro dan mikro ruang
Penyesuaian bentuk dan material bangunan
Rancangan yang dihasilkan adalah sebuah eco resort dengan karakter lokal kuat, namun tetap memenuhi kenyamanan dan standar internasional.
Analisis Tapak dan Konsep Zonasi
Penulis menyajikan peta analisis tapak yang komprehensif, mempertimbangkan aspek:
Arah angin dan cahaya matahari
Kontur tanah dan potensi banjir
Vegetasi lokal dan konservasi
Aksesibilitas dan konektivitas jalan
Dari hasil analisis, kawasan dibagi menjadi beberapa zona:
Zona Penginapan (Villa dan Bungalow): Mengadopsi bentuk rumah panggung dan material kayu lokal.
Zona Publik (Restoran, Galeri, Pusat Kebudayaan): Menonjolkan atap pelana dan elemen terbuka khas Sunda.
Zona Konservasi dan Edukasi: Untuk mendukung wisata alam dan pelestarian lingkungan.
Zona Komersial dan Servis: Dirancang seminimal mungkin untuk menjaga harmoni kawasan.
Konsep zonasi ini mencerminkan prinsip-prinsip keberlanjutan (sustainable development) dan keharmonisan spasial yang menjadi fondasi arsitektur Nusantara.
Arsitektur Sunda: Implementasi Konsep Lokal
Paper ini tidak hanya menampilkan elemen arsitektur Sunda secara visual, tapi juga menyerap nilai-nilai filosofisnya, seperti:
Tri Tangtu di Buana: Konsep pembagian ruang menjadi buana nyungcung (atas), buana tengah, dan buana larang (bawah).
Tatali Paranti Karuhun: Prinsip menghormati leluhur yang diterjemahkan dalam struktur dan ornamen bangunan.
Material alami: Pemanfaatan bambu, kayu, ijuk, dan batu lokal sebagai bahan utama.
Dalam penggambaran denah dan tampak bangunan, penggunaan atap tinggi, ventilasi silang, dan ruang terbuka menunjukkan kesadaran ekologis dalam desain.
Keberlanjutan dan Efisiensi Energi
Salah satu kekuatan utama dari perancangan ini adalah komitmen terhadap prinsip ramah lingkungan:
Desain pasif untuk penghematan energi (ventilasi alami, pencahayaan maksimal).
Pengelolaan air limbah dengan sistem biopori dan daur ulang air.
Konservasi vegetasi asli di sekitar bangunan tanpa eksploitasi berlebihan.
Konsep bangunan modular yang mempermudah perluasan tanpa merusak lingkungan.
Langkah-langkah ini memperlihatkan bahwa pembangunan wisata tidak harus merusak alam, justru bisa menjadi bagian dari pelestariannya.
Studi Banding: Praktik Serupa di Destinasi Lain
Sebagai perbandingan, konsep serupa juga diterapkan di beberapa destinasi unggulan seperti:
Ubud, Bali dengan villa bernuansa tradisional Bali dan sistem irigasi subak.
Desa Wisata Nglanggeran, Yogyakarta yang berbasis komunitas dan konservasi alam.
Green Village Bali yang sepenuhnya menggunakan bambu sebagai material utama.
Namun, perbedaan mencolok dari perancangan Tanjung Lesung adalah fokus kuat pada identitas Sunda, yang relatif jarang diangkat dalam industri pariwisata arsitektural nasional.
Kelebihan dan Kritik
Kelebihan:
Kuatnya narasi lokalitas dalam desain, bukan sekadar dekoratif.
Keseimbangan antara estetika dan fungsi dalam penataan ruang.
Pendekatan ekologis yang konkret, bukan sekadar jargon.
Potensi edukatif terhadap pengunjung mengenai budaya Sunda.
Kritik:
Belum cukup penekanan pada keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaan.
Perlu kajian keberlanjutan finansial jangka panjang jika ingin direalisasikan secara nyata.
Kurang dibahas potensi mitigasi terhadap bencana alam seperti tsunami atau gempa yang menjadi risiko kawasan pesisir Banten.
Dampak dan Implikasi Nyata
Jika direalisasikan, rancangan ini tidak hanya menjadi destinasi wisata, tetapi juga bisa berfungsi sebagai:
Model desain arsitektur lokal kontemporer yang bisa direplikasi.
Sarana pelestarian budaya Sunda dalam wujud fisik dan pengalaman wisata.
Simbol pariwisata hijau yang bisa mendorong daya saing KEK Tanjung Lesung secara global.
Dalam jangka panjang, pendekatan semacam ini juga berpotensi mendukung green investment dan memperluas peluang kerja masyarakat sekitar.
Kesimpulan
Paper karya Michella Elizabeth Reifiana ini berhasil membuktikan bahwa pendekatan arsitektur tradisional Sunda bukanlah hambatan modernisasi, melainkan solusi autentik untuk pariwisata berkelanjutan. Melalui riset tapak yang cermat, desain ruang yang kontekstual, serta komitmen pada pelestarian budaya dan lingkungan, rancangan Tanjung Lesung Eco Resort memberikan blueprint konkret untuk pengembangan wisata lokal yang berkelas dunia.
Penelitian ini memperkaya wacana arsitektur Indonesia kontemporer dan menginspirasi pendekatan serupa di wilayah lain. Kelemahan minor yang ada tidak menutupi kualitas metodologis dan inovatif dari studi ini.
Sumber
Reifiana, Michella Elizabeth. Perencanaan dan Perancangan Tanjung Lesung Eco Resort Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten dengan Pendekatan Arsitektur Tradisional Sunda.
Indeks Sosial Daerah
Dipublikasikan oleh pada 20 Mei 2025
Pendahuluan
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) telah menjadi salah satu tolok ukur utama untuk menilai keberhasilan pembangunan suatu wilayah. Paper karya Muhammad Firza Ibnu Hartono dan Laelatul Khikmah dari Institut Teknologi Statistika dan Bisnis Muhammadiyah Semarang ini mencoba menggali lebih dalam faktor-faktor yang memengaruhi IPM di Provinsi Jawa Timur tahun 2021. Penelitian ini menggunakan pendekatan statistik canggih, yakni regresi logistik ordinal, untuk melihat pengaruh berbagai indikator sosial-ekonomi terhadap kategori IPM kabupaten/kota.
Latar Belakang
Paradigma pembangunan saat ini tidak hanya mengacu pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menekankan pembangunan manusia sebagai fondasi utama. Oleh karena itu, IPM yang mengukur dimensi pendidikan, kesehatan, dan daya beli menjadi alat penting dalam menilai kesejahteraan daerah.
Meski Jawa Timur merupakan provinsi berpenduduk besar dan memiliki sumber daya ekonomi melimpah, posisinya dalam peringkat IPM nasional belum optimal, hanya menempati urutan ke-17 dari 34 provinsi. Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar: faktor apa saja yang memengaruhi capaian IPM di Jawa Timur?
Metodologi
Penelitian ini menggunakan data sekunder dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 untuk 38 kabupaten/kota di Jawa Timur. Model analisis yang digunakan adalah regresi logistik ordinal, mengingat IPM dikategorikan ke dalam tiga level:
Sedang (60 < IPM < 70)
Tinggi (70 < IPM < 80)
Sangat tinggi (IPM ≥ 80)
Variabel yang digunakan:
Y (Variabel dependen): IPM kategori ordinal
X1: Tingkat pengangguran terbuka (TPT)
X2: Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK)
X3: Tingkat kemiskinan
X4: Harapan lama sekolah
X5: Rata-rata lama sekolah
X6: Usia harapan hidup
X7: Pengeluaran per kapita
Langkah Analisis:
Analisis deskriptif menggunakan peta tematik sebaran IPM.
Uji serentak dengan likelihood ratio test.
Uji parsial dengan uji Wald untuk tiap variabel.
Uji kesesuaian model regresi.
Hasil Penelitian
Gambaran Umum:
Kota dengan IPM sangat tinggi: Surabaya (82.31), Malang, Madiun, dan Sidoarjo.
Sebagian besar kabupaten lain hanya berada di kategori tinggi atau bahkan sedang.
Temuan Statistik:
Uji serentak menghasilkan nilai p-value = 0,000, berarti secara kolektif ada pengaruh signifikan antara variabel bebas dan IPM.
Namun secara parsial (Uji Wald), tidak ada satu pun variabel yang berpengaruh signifikan secara statistik terhadap IPM.
Ini menunjukkan adanya multikollinearitas atau variabel luar yang belum ditangkap oleh model.
Analisis Tambahan & Opini
Penafsiran:
Temuan ini menarik karena bertolak belakang dengan literatur umum yang menyatakan bahwa pendidikan dan kesehatan sangat menentukan IPM. Kemungkinan besar:
Ketimpangan antarwilayah mempengaruhi kestabilan model.
Ada variabel penting lain seperti infrastruktur, kualitas layanan publik, atau kinerja pemerintah daerah yang belum dimasukkan.
Kategori ordinal terlalu sempit untuk menangkap variabilitas riil antar daerah.
Kritik terhadap Penelitian:
Rentang variabel dependen (IPM) mungkin terlalu luas untuk dibatasi dalam tiga kategori saja.
Tidak dilakukan transformasi data atau normalisasi, yang mungkin dibutuhkan untuk meningkatkan keakuratan model.
Tidak diuji kemungkinan interaksi antar variabel.
Implikasi Kebijakan
Pemerintah perlu menyusun kebijakan pembangunan manusia yang terintegrasi, tidak hanya mengejar angka pendidikan atau kesehatan secara nominal.
Perlu pengumpulan data yang lebih luas, termasuk data kualitas hidup dan partisipasi sosial.
Untuk analisis ke depan, disarankan menggunakan model yang lebih fleksibel seperti regresi multinomial atau analisis spasial.
Perbandingan dengan Studi Lain
Studi ini memperkuat kritik terhadap pendekatan yang terlalu kuantitatif dalam analisis pembangunan manusia.
Berbeda dengan penelitian Melliana & Zain (2013) yang menggunakan regresi panel dan menemukan pengaruh signifikan dari fasilitas kesehatan dan akses air bersih terhadap IPM Jawa Timur.
Sementara itu, Farida et al. (2022) menggunakan pendekatan regresi ordinal namun dengan transformasi data dan berhasil menemukan signifikansi pendidikan dan pengeluaran.
Kesimpulan
Penelitian ini memberikan insight penting tentang keterbatasan model statistik dalam menjelaskan capaian pembangunan manusia jika tidak dilengkapi data yang komprehensif. Meski tidak menemukan pengaruh parsial yang signifikan, studi ini membuka ruang diskusi tentang kompleksitas IPM dan perlunya pendekatan multidimensi dan lintas disiplin.
Saran
Gunakan pendekatan mixed-methods yang menggabungkan data kuantitatif dan wawancara lapangan.
Tambahkan variabel kualitatif seperti persepsi publik, akses pelayanan, dan infrastruktur wilayah.
Gunakan skala IPM kontinu atau indeks komposit agar hasil analisis lebih akurat dan aplikatif.
Sumber
Hartono, M. F. I., & Khikmah, L. (2024). Analisis Faktor yang Mempengaruhi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jawa Timur 2021 Menggunakan Metode Regresi Logistik Ordinal. Jurnal El Mal, 5(9), 3989–3995. https://journal-laaroiba.com/ojs/index.php/elmal/3932
Ekonomi Ketenagakerjaan
Dipublikasikan oleh pada 20 Mei 2025
Pendahuluan
Perubahan sosial dan ekonomi di Indonesia telah memperluas peran perempuan dalam dunia kerja. Namun, tingkat partisipasi angkatan kerja wanita (TPAK-W) masih menunjukkan disparitas yang signifikan antar wilayah. Dalam skripsi berjudul "Pengaruh Kemiskinan, Pendidikan, dan Upah terhadap Partisipasi Angkatan Kerja Wanita di Provinsi Jawa Timur Tahun 2015–2019", Anisa Arwiaty dari Universitas Tidar mengupas dinamika kontribusi perempuan terhadap pasar kerja dan pengaruh variabel sosial-ekonomi terhadap keputusan mereka untuk bekerja.
Studi ini penting dalam konteks pemberdayaan ekonomi perempuan dan perumusan kebijakan ketenagakerjaan yang inklusif di tingkat provinsi.
Latar Belakang
Provinsi Jawa Timur merupakan salah satu daerah dengan populasi penduduk besar dan struktur sosial ekonomi yang kompleks. Meskipun jumlah perempuan usia produktif terus meningkat, keterlibatan mereka dalam pasar kerja tidak selalu berjalan seiring dengan pertumbuhan ekonomi daerah.
Banyak perempuan menghadapi hambatan struktural seperti:
Kewajiban rumah tangga
Tingkat pendidikan rendah
Upah yang tidak kompetitif
Kondisi kemiskinan keluarga
Penelitian ini mencoba menguji apakah ketiga faktor tersebut—kemiskinan, pendidikan, dan upah minimum—berpengaruh terhadap keputusan wanita untuk ikut serta dalam angkatan kerja.
Metodologi
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif dengan data panel dari 38 kabupaten/kota di Jawa Timur selama 5 tahun (2015–2019). Data diambil dari BPS dan sumber resmi lainnya.
Variabel yang Digunakan:
Variabel Dependen: TPAK-W (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Wanita)
Variabel Independen:
Tingkat kemiskinan (% jumlah penduduk miskin)
Rata-rata lama sekolah perempuan (tahun)
Upah minimum kabupaten/kota (rupiah)
Model yang digunakan adalah Fixed Effect Model (FEM) berdasarkan hasil uji Chow dan Hausman. Analisis dilakukan menggunakan software Eviews.
Hasil Penelitian
Temuan Utama:
Kemiskinan: Berpengaruh positif dan signifikan terhadap partisipasi kerja wanita. Artinya, semakin miskin suatu wilayah, semakin besar tekanan ekonomi yang mendorong perempuan untuk bekerja.
Pendidikan: Berpengaruh negatif dan signifikan, yang mengejutkan. Perempuan dengan pendidikan tinggi cenderung memilih tidak bekerja, kemungkinan karena selektivitas kerja dan peran domestik.
Upah Minimum: Tidak berpengaruh signifikan terhadap partisipasi kerja wanita secara statistik, meskipun secara ekonomi diasumsikan berpengaruh.
Studi Kasus:
Di daerah seperti Bojonegoro dan Lamongan, yang memiliki tingkat kemiskinan tinggi, partisipasi kerja wanita mencapai lebih dari 55%.
Sebaliknya, di kota seperti Surabaya dan Malang, yang memiliki kualitas pendidikan perempuan lebih tinggi, TPAK-W justru lebih rendah.
Analisis Tambahan & Opini
Penafsiran:
Kemiskinan sebagai pendorong partisipasi wanita dalam kerja menunjukkan bahwa banyak perempuan bekerja bukan karena pilihan, melainkan karena keterpaksaan ekonomi. Ini menjadi sorotan penting dalam kajian ekonomi kesejahteraan.
Temuan negatif dari pendidikan menunjukkan bahwa perempuan berpendidikan tinggi lebih selektif terhadap jenis pekerjaan. Mereka cenderung menunggu pekerjaan yang sesuai dengan bidang dan ekspektasi mereka, atau memilih aktivitas non-ekonomi seperti mengurus keluarga atau studi lanjut.
Kritik terhadap Penelitian:
Upah minimum sebagai indikator terlalu agregatif dan tidak mencerminkan ketimpangan upah berdasarkan sektor atau jenis kelamin.
Tidak mempertimbangkan variabel budaya, jumlah tanggungan, atau status perkawinan yang bisa memengaruhi keputusan wanita untuk bekerja.
Implikasi Kebijakan
Pemerintah daerah harus menciptakan program pelatihan kerja yang sesuai dengan keterampilan dan harapan perempuan berpendidikan.
Pemberdayaan ekonomi perempuan di wilayah miskin perlu dikembangkan melalui skema dukungan informal seperti UMKM berbasis rumah tangga.
Perlu pengembangan regulasi ketenagakerjaan yang mendukung fleksibilitas jam kerja dan cuti untuk perempuan.
Perbandingan dengan Studi Lain
Studi ini memperkuat temuan Afifah (2018) yang menyebutkan bahwa tekanan ekonomi mendorong partisipasi kerja wanita. Namun, berbeda dengan Indrawati (2016) yang menyatakan pendidikan berbanding lurus dengan partisipasi kerja perempuan secara nasional.
Kesimpulan
Penelitian Anisa Arwiaty memberikan wawasan penting tentang kompleksitas partisipasi angkatan kerja wanita di Jawa Timur. Kemiskinan mendorong perempuan untuk bekerja, sementara pendidikan tinggi justru membuat mereka lebih selektif. Hasil ini membuka ruang kebijakan yang lebih kontekstual, responsif gender, dan berbasis data wilayah.
Saran
Perluasan studi dengan memasukkan dimensi budaya dan keluarga.
Rekomendasi kebijakan harus mempertimbangkan pendekatan lintas sektor: pendidikan, ketenagakerjaan, dan pemberdayaan sosial.
Sumber
Arwiaty, A. (2021). Pengaruh Kemiskinan, Pendidikan, dan Upah terhadap Partisipasi Angkatan Kerja Wanita di Provinsi Jawa Timur Tahun 2015–2019. Universitas Tidar.
Kebijakan Publik & Data
Dipublikasikan oleh pada 20 Mei 2025
Pendahuluan
Dalam konteks pembangunan daerah, pertumbuhan ekonomi tidak bisa dilepaskan dari fondasi sosial seperti kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan. Paper karya Arya Darmawan dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri Malang berjudul "Pengaruh Kemiskinan, Pendidikan, dan Kesehatan terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Timur" menyajikan analisis kuantitatif mendalam terhadap 38 kabupaten/kota di Jawa Timur dengan menggunakan data panel tahun 2017–2021.
Penelitian ini tidak hanya penting untuk menilai efektivitas kebijakan pembangunan, tetapi juga untuk memahami bagaimana sinergi antara ketiga aspek sosial dapat mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.
Latar Belakang
Meskipun Jawa Timur dikenal sebagai salah satu provinsi dengan kontribusi PDRB tertinggi di Indonesia, ketimpangan sosial masih menjadi tantangan nyata. Tingginya tingkat kemiskinan di beberapa daerah, rendahnya akses pendidikan, serta kualitas layanan kesehatan yang belum merata memunculkan pertanyaan besar: apakah ketiganya berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi?
Arya Darmawan mencoba menjawab pertanyaan ini dengan merinci data 38 kabupaten/kota di Jawa Timur, menyusun model ekonometrika panel, dan menguji hubungan antara variabel-variabel sosial tersebut dengan laju pertumbuhan ekonomi daerah.
Metodologi
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan data panel (cross-section dan time series) selama 5 tahun (2017–2021). Variabel yang digunakan adalah:
Variabel dependen: Pertumbuhan ekonomi (dilihat dari laju pertumbuhan PDRB ADHK)
Variabel independen:
Tingkat kemiskinan (% penduduk miskin)
Tingkat pendidikan (Rata-rata lama sekolah)
Kesehatan (Angka harapan hidup)
Model yang digunakan adalah Fixed Effect Model (FEM) setelah melalui pengujian Chow dan Hausman. Pengolahan data dilakukan menggunakan Eviews.
Hasil Penelitian
Temuan Utama:
Kemiskinan: Berpengaruh negatif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Artinya, semakin tinggi tingkat kemiskinan, semakin lambat pertumbuhan ekonomi suatu daerah.
Pendidikan: Tidak berpengaruh secara signifikan. Ini menunjukkan bahwa peningkatan rata-rata lama sekolah belum tentu langsung berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
Kesehatan: Berpengaruh positif dan signifikan. Angka harapan hidup yang tinggi di suatu daerah cenderung berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik.
Studi Kasus:
Surabaya dan Sidoarjo yang memiliki angka harapan hidup tinggi dan kemiskinan rendah menunjukkan laju pertumbuhan ekonomi yang konsisten.
Sebaliknya, Bondowoso dan Bangkalan yang masih memiliki kemiskinan tinggi dan layanan kesehatan terbatas mencatat pertumbuhan ekonomi yang relatif stagnan.
Analisis Tambahan dan Opini
Penafsiran Temuan:
Fakta bahwa pendidikan tidak signifikan secara statistik membuka diskusi baru: apakah sistem pendidikan saat ini sudah relevan dengan kebutuhan pasar tenaga kerja lokal? Atau mungkinkah ada lag time antara investasi pendidikan dan dampaknya terhadap ekonomi?
Sementara itu, korelasi positif antara kesehatan dan pertumbuhan ekonomi menunjukkan bahwa produktivitas tenaga kerja sangat dipengaruhi oleh kualitas kesehatan. Kesehatan yang baik berarti lebih sedikit hari sakit, tenaga kerja lebih produktif, dan pengeluaran negara untuk sektor kuratif bisa dialihkan ke produktif.
Implikasi Kebijakan:
Pemerintah daerah perlu memprioritaskan program pengentasan kemiskinan berbasis kewilayahan.
Investasi kesehatan primer seperti puskesmas dan promotif-preventif harus diperluas.
Reformasi pendidikan diperlukan agar lulusannya relevan secara ekonomi, tidak hanya kuantitatif secara tahun belajar.
Kritik terhadap Penelitian
Variabel pendidikan mungkin terlalu sempit jika hanya menggunakan indikator "lama sekolah." Bisa dipertimbangkan variabel lain seperti partisipasi sekolah lanjutan, angka buta huruf, atau kualitas guru.
Faktor lain seperti infrastruktur, iklim investasi, dan pengeluaran pemerintah daerah belum dimasukkan dalam model, padahal bisa memberi pengaruh signifikan.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian ini sejalan dengan Todaro (2011) dan temuan Bappenas yang menyebut bahwa kemiskinan berbanding terbalik dengan pertumbuhan ekonomi. Namun, tidak semua hasilnya sesuai: studi oleh Hariyadi (2019) justru menemukan bahwa pendidikan berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di tingkat nasional, meskipun dalam konteks Jawa Timur hal itu tidak terjadi.
Kesimpulan
Penelitian Arya Darmawan memberikan kontribusi penting dalam literatur ekonomi pembangunan daerah. Temuannya menunjukkan bahwa pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesehatan adalah dua kunci penting untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi di Jawa Timur. Namun, pendidikan masih membutuhkan reformasi struktural agar dampaknya lebih terasa.
Saran
Penelitian lanjutan perlu memasukkan variabel tambahan seperti pengangguran terbuka dan investasi daerah.
Pemerintah daerah harus membuat perencanaan pembangunan sosial yang lebih holistik dan terukur.
Sumber
Darmawan, A. (2023). Pengaruh Kemiskinan, Pendidikan, dan Kesehatan terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Jawa Timur Tahun 2017–2021. Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Negeri Malang.
Pemerataan Layanan Kesehatan
Dipublikasikan oleh pada 20 Mei 2025
Pendahuluan
Angka Kematian Ibu (AKI) masih menjadi isu strategis dalam pembangunan kesehatan di Indonesia. Di tengah berbagai capaian pembangunan, kematian ibu tetap tinggi dan menjadi indikator sensitif dalam menilai kualitas layanan kesehatan masyarakat. Dalam paper ilmiah berjudul "Pemetaan AKI Menggunakan GeoDa di Provinsi Jawa Timur" karya Ayuc Shinta Indah Sari dkk., yang diterbitkan dalam jurnal Preventif tahun 2022, dilakukan analisis spasial terhadap AKI di 38 kabupaten/kota di Jawa Timur menggunakan software GeoDa.
Latar Belakang
Target global Sustainable Development Goals (SDGs) menetapkan bahwa AKI harus turun menjadi 70 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2030. Pada tahun 2019, AKI di Jawa Timur tercatat sebesar 89,81 per 100.000 kelahiran hidup, menurun dari 91,45 di tahun sebelumnya, dan sudah melampaui target nasional (Renstra). Namun, disparitas antarwilayah masih tinggi. Misalnya, Kabupaten Situbondo, Jember, dan Bojonegoro tercatat memiliki AKI tertinggi, sedangkan Sidoarjo, Surabaya, dan Malang termasuk dalam kategori rendah.
Metodologi
Penelitian ini menggunakan data sekunder dari Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2019. Pemetaan dilakukan dengan perangkat lunak GeoDa, yang dikembangkan oleh Luc Anselin. GeoDa mampu menampilkan visualisasi spasial dalam bentuk Natural Breaks Map, membagi wilayah ke dalam tiga kategori: AKI tinggi, sedang, dan rendah.
Langkah Pemrosesan Data:
Data AKI tiap kabupaten/kota diinput ke dalam file .shp dari portal geospasial nasional.
Proses klasifikasi menggunakan metode Natural Breaks.
Warna peta digunakan untuk mengidentifikasi kategori AKI: gelap (tinggi), sedang (menengah), terang (rendah).
Hasil Temuan
Pemetaan menunjukkan:
7 daerah dengan AKI tinggi: Situbondo, Banyuwangi, Jember, Bondowoso, Pacitan, Bojonegoro, dan Madiun.
16 daerah AKI sedang: antara lain Lumajang, Pasuruan, Probolinggo, Tuban, Ngawi, dan Mojokerto.
15 daerah AKI rendah: Surabaya, Sidoarjo, Malang, Kediri, Tulungagung, Lamongan, dan Kota Batu.
Studi Kasus & Data Tambahan
Di Kabupaten Situbondo, penyebab utama kematian ibu adalah preeklampsia dan eklampsia. Di Bojonegoro, penyebabnya termasuk pendarahan dan hipertensi, sementara di Madiun ditemukan kasus kanker hati pada ibu hamil. Program lokal seperti Gerakan Sayang Ibu (GSI) di Gresik menjadi contoh upaya berbasis komunitas dalam menekan AKI.
Analisis & Nilai Tambah
Faktor Penyebab Kunci:
Penyakit penyerta kehamilan (preeklampsia, kanker, infeksi).
Perencanaan kehamilan yang kurang matang.
Minimnya akses pelayanan kesehatan di daerah terpencil.
Implikasi Kebijakan:
Visualisasi spasial sangat membantu dalam menetapkan prioritas intervensi.
Intervensi multisektor sangat diperlukan, termasuk peran aktif Dinkes, rumah sakit, Puskesmas, dan organisasi profesi (POGI, IDAI, IBI).
Kritik terhadap Studi:
Studi belum menguji secara statistik hubungan spasial (misal: autokorelasi atau spatial lag).
Tidak ada analisis regresi spasial atau pengaruh variabel non-kesehatan seperti kemiskinan, pendidikan, dan akses transportasi.
Perbandingan dengan Studi Lain
Studi ini memperkuat hasil penelitian Pangestu (2018) dan Yasril (2020) yang menyebutkan bahwa komplikasi kebidanan dan tingkat kemiskinan berperan penting dalam AKI. Namun studi ini lebih unggul dari sisi visualisasi spasial dan pemanfaatan teknologi pemetaan yang jarang digunakan dalam penelitian lokal.
Kesimpulan
Pemetaan spasial AKI dengan GeoDa membuka cakrawala baru dalam melihat distribusi risiko kesehatan maternal. Hasilnya sangat bermanfaat bagi pemerintah daerah untuk menyusun strategi intervensi yang tepat sasaran, baik dalam bentuk fasilitas layanan kesehatan, edukasi masyarakat, maupun regulasi pelindung ibu hamil.
Saran
Tambahkan analisis spasial lanjut seperti LISA dan Moran’s I untuk melihat pola klaster.
Perlu integrasi data sosial-ekonomi dalam pemodelan.
Perkuat kolaborasi lintas sektor dalam implementasi kebijakan pengurangan AKI.
Sumber
Sari, A.S.I., Iriyanti, Y.N., Prayogi, A.R.Y., & Prayoga, D. (2022). Pemetaan AKI Menggunakan GeoDa di Provinsi Jawa Timur. Preventif: Jurnal Kesehatan Masyarakat, 13(2), 206–215. https://jurnal.fkm.untad.ac.id/index.php/preventif/article/view/2171