Pendahuluan:
Mengelola air bukan sekadar urusan teknis atau ekonomi. Di balik setiap keputusan, terdapat nilai budaya dan sosial yang memengaruhi cara kita memaknai, menggunakan, dan melestarikan air. Dalam artikel “Cultural Values in Water Management and Governance: Where Do We Stand?” oleh Danielle H. Heinrichs dan Rodrigo Rojas (2022), dilakukan tinjauan sistematis terhadap teori-teori budaya yang relevan untuk pengelolaan dan tata kelola air, serta bagaimana nilai-nilai ini (termasuk nilai-nilai lokal dan adat) mulai mendapat tempat dalam kebijakan dan praktik.
Pentingnya Nilai Budaya dalam Pengelolaan Air:
Air adalah sumber kehidupan, namun cara manusia mengelolanya berbeda-beda tergantung nilai dan budaya yang dianut. Misalnya, masyarakat adat di Australia melihat sungai sebagai entitas spiritual yang hidup dan diwariskan dari leluhur. Ini sangat berbeda dengan pendekatan teknokratis modern yang berfokus pada efisiensi dan output ekonomi.
Teori Budaya yang Dominan:
Cultural Theory oleh Mary Douglas adalah teori paling sering digunakan dalam kajian tata kelola air. Teori ini membagi pendekatan budaya menjadi empat kategori:
- Egalitarian
- Hierarkis
- Individualis
- Fatalis
Dalam penelitian ini, empat kategori itu menjadi kata paling sering muncul dalam literatur, menunjukkan betapa dominannya kerangka berpikir ini dalam proyek manajemen air secara global.
Nilai Budaya yang Muncul dari Studi Kasus:
Analisis dari 52 studi yang dikaji menunjukkan perbedaan nilai yang signifikan antara pengelolaan dan tata kelola air:
- Manajemen air cenderung bersifat antroposentris, menekankan nilai seperti kesehatan, kehidupan, dan penggunaan (human-centered).
- Tata kelola air lebih menekankan aspek spiritual dan ekologi, seperti hubungan dengan leluhur, tempat, warisan, dan sungai.
Contoh studi kasus:
- Di Murray-Darling Basin, Australia, model berbasis agen (agent-based modeling) digunakan untuk mengukur bagaimana nilai budaya petani memengaruhi keputusan irigasi.
- Di kawasan adat, seperti komunitas First Nations di Australia, nilai seperti country, lore, dan spiritual connection mendominasi cara mereka mengatur dan menghargai air.
Disiplin Ilmu yang Menopang Kajian Nilai Budaya:
Kajian dalam artikel ini berasal dari lintas disiplin:
- Antropologi
- Ilmu lingkungan
- Kajian budaya
- Sosiologi
Namun, dominasi antropologi juga menunjukkan keterbatasan: hanya beberapa pendekatan psikologis atau bisnis seperti teori nilai Schwartz yang masuk, padahal bisa memperkaya pemahaman nilai-nilai masyarakat modern urban maupun tradisional.
Tantangan Implementasi Nilai Budaya:
Meski telah banyak dibahas, implementasi nilai budaya masih minim dalam praktik:
- 57% dari studi yang dianalisis mencakup strategi implementasi nilai, tetapi sebagian besar masih berupa analisis statistik atau pemetaan partisipatif.
- Hanya sedikit studi yang menerapkan teori ini dalam bentuk model dinamis atau alat perencanaan kebijakan air.
Usulan Solusi: Pendekatan Teori Schwartz:
Sebagai alternatif yang lebih inklusif dan operasional, penulis merekomendasikan teori nilai dari Shalom Schwartz, yang mencakup nilai-nilai seperti:
- Kepedulian (benevolence)
- Keamanan
- Tradisi
- Kemandirian (self-direction)
Model ini bersifat lintas budaya dan fleksibel, serta telah divalidasi dalam banyak studi global. Ini menjadikannya tepat untuk modeling keputusan air berbasis budaya, terutama di konteks multinasional dan masyarakat yang heterogen.
Relevansi untuk Masa Depan:
Artikel ini membuka jalan untuk pendekatan tata kelola air yang:
- Lebih peka terhadap konteks lokal dan adat
- Mengintegrasikan nilai spiritual, sosial, dan ekologis
- Mendorong kolaborasi antar disiplin
Dengan pendekatan ini, krisis air bukan hanya dilihat dari sisi teknis, tetapi juga dari sisi kemanusiaan dan keberlanjutan sosial.
Kesimpulan:
Mengelola air secara berkelanjutan berarti menghargai nilai-nilai budaya yang mengiringinya. Baik melalui teori Douglas, kearifan lokal masyarakat adat, maupun pendekatan Schwartz, integrasi nilai budaya dapat menjadi solusi efektif dan adil bagi pengelolaan air masa depan. Penelitian ini memperlihatkan bahwa tanpa memahami budaya, setiap solusi teknis bisa kehilangan relevansi dan keadilan.
Sumber:
Heinrichs, D.H., & Rojas, R. (2022). Cultural Values in Water Management and Governance: Where Do We Stand? Water, 14(803).