Sumber Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 05 Juni 2025
Air bersih merupakan kebutuhan dasar yang semakin sulit didapatkan di daerah perkotaan yang padat penduduk, termasuk Kota Yogyakarta. Meskipun Indonesia memiliki curah hujan yang cukup tinggi, pemanfaatan air hujan sebagai sumber air bersih masih belum optimal. Artikel berjudul Pendampingan Pemanfaatan Air Hujan Sebagai Sumber Air Bersih di Bantaran Sungai Code Kelurahan Wirogunan yang ditulis oleh Widati dan rekan-rekan (2023) membahas upaya pengabdian masyarakat untuk mengatasi krisis air bersih melalui pemanenan air hujan di wilayah padat penduduk yang sulit mendapatkan air bersih, khususnya di bantaran Sungai Code, Kelurahan Wirogunan, Yogyakarta1.
Latar Belakang dan Permasalahan
Kota Yogyakarta memiliki curah hujan tahunan antara 2000-3000 mm³, dengan kualitas air hujan yang layak konsumsi berdasarkan pH sekitar 7,2-7,4. Namun, di Kelurahan Wirogunan, terutama RT 13 dan RT 14 RW 04 yang merupakan wilayah bantaran Sungai Code, masyarakat menghadapi kesulitan akses air bersih. Wilayah ini padat penduduk (13.289 jiwa/km²), bekas penimbunan sampah, dan sulit untuk membuat sumur karena kondisi tanah yang tidak memungkinkan. Selain itu, biaya langganan PDAM dianggap mahal oleh warga yang mayoritas berprofesi sebagai buruh lepas dengan pendapatan tidak tetap. Sebagian besar warga masih mengandalkan sumur bersama yang kualitas airnya buruk dan tercemar bakteri E-Coli dari sungai1.
Permasalahan utama yang diidentifikasi adalah:
Tujuan dan Metode Pelaksanaan
Tujuan utama kegiatan pengabdian ini adalah meningkatkan pemahaman masyarakat tentang potensi dan manfaat air hujan sebagai sumber air bersih serta mengimplementasikan teknologi sederhana pemanen air hujan yang dapat dikelola secara mandiri oleh masyarakat.
Metode pelaksanaan meliputi:
Hasil dan Diskusi
Pemahaman dan Ketertarikan Masyarakat
Workshop yang diadakan berhasil meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap manfaat pemanfaatan air hujan dengan 78% peserta menyatakan paham dan 22% sangat paham terhadap materi yang disampaikan. Ketertarikan untuk memanfaatkan air hujan dan kebutuhan akan teknologi pemanen air hujan juga tinggi, dengan 61% peserta menyatakan tertarik dan setuju terhadap penerapan teknologi sederhana ini1.
Pemasangan Instalasi dan Partisipasi Gotong Royong
Instalasi pemanen air hujan dipasang di lokasi strategis bekas tumpukan sampah di RT 14, yang juga dapat dimanfaatkan oleh warga RT 13. Pemasangan dilakukan secara gotong royong oleh warga sekitar, menunjukkan antusiasme dan solidaritas komunitas dalam mengatasi krisis air bersih. Alat yang digunakan berupa drum penampung 1.050 liter, pipa, talang air, dan perlengkapan sambungan yang sederhana namun efektif1.
Pengorganisasian dan Keberlanjutan
Pengelolaan air hujan diintegrasikan dalam struktur pengelola air yang sudah ada dengan membentuk divisi khusus air hujan yang bertugas mengatur distribusi dan perawatan alat. Komunikasi dan koordinasi dilakukan melalui grup WhatsApp yang melibatkan perangkat kelurahan, ketua RT/RW, dan tim pengabdian. Monitoring menunjukkan bahwa masyarakat aktif memperbaiki instalasi secara gotong royong jika terjadi kerusakan. Meskipun masyarakat belum berani mengonsumsi air hujan secara langsung, air tersebut sudah digunakan untuk pertanian urban dan perikanan sebagai alternatif pemanfaatan1.
Studi Kasus dan Angka Penting
Nilai Tambah dan Kritik
Artikel ini memberikan kontribusi penting dalam upaya pemecahan masalah krisis air bersih di daerah perkotaan padat penduduk melalui pendekatan partisipatif dan teknologi sederhana. Pendekatan pengabdian masyarakat yang melibatkan sosialisasi, pemasangan alat, dan pengorganisasian komunitas menjadi model yang dapat direplikasi di wilayah lain dengan permasalahan serupa.
Namun, ada beberapa hal yang dapat dikembangkan lebih lanjut:
Hubungan dengan Tren Lebih Luas
Pemanfaatan air hujan sebagai sumber air bersih sejalan dengan tren global dalam pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Krisis air bersih yang diprediksi akan semakin parah di masa depan menuntut inovasi lokal yang dapat mengurangi ketergantungan pada sumber air tanah dan PDAM. Model pengabdian masyarakat ini juga mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) khususnya target penyediaan air bersih dan sanitasi yang layak1.
Kesimpulan
Pemanfaatan air hujan di bantaran Sungai Code, Kelurahan Wirogunan, menunjukkan bahwa dengan pendekatan sosialisasi, teknologi sederhana, dan pengorganisasian komunitas, krisis air bersih di daerah perkotaan padat dapat diatasi secara efektif. Masyarakat menunjukkan antusiasme tinggi dan partisipasi aktif dalam kegiatan ini, meskipun tantangan seperti keamanan konsumsi air hujan dan pendanaan berkelanjutan masih perlu perhatian lebih lanjut.
Program ini menjadi contoh nyata yang dapat diadopsi oleh daerah lain di Indonesia yang menghadapi masalah serupa, dengan dukungan pemerintah dan pihak swasta agar pemanfaatan air hujan menjadi kebiasaan dan solusi jangka panjang dalam penyediaan air bersih.
Sumber Artikel:
Widati, F., Sulistyowati, F., Saptaning Tyas, B. H., & Puspitasari, C. (2023). Pendampingan Pemanfaatan Air Hujan Sebagai Sumber Air Bersih di Bantaran Sungai Code Kelurahan Wirogunan. SHARE: Journal of Service Learning, 9(2), 122-128.
Sumber Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 05 Juni 2025
Ketersediaan air bersih yang memadai merupakan kebutuhan dasar yang sangat penting, terutama di lingkungan sekolah yang menjadi pusat aktivitas belajar dan berinteraksi anak-anak. Namun, di beberapa daerah, seperti Kecamatan Medan Selayang, distribusi air bersih dari PDAM masih terbatas dan hanya tersedia pada waktu tertentu, sehingga kebutuhan air di sekolah sulit terpenuhi secara optimal. Untuk mengatasi masalah ini, pemanfaatan air hujan sebagai sumber alternatif air bersih menjadi solusi yang menjanjikan.
Paper karya Franchitika dan Rahman ini membahas penerapan metode filterisasi sederhana menggunakan sistem gravity-fed filtering system untuk mengolah air hujan di SD Negeri 066656 Padang Bulan. Tujuan utama penelitian adalah menghasilkan air bersih yang layak konsumsi dan aman digunakan oleh siswa dan staf sekolah.
Metode Penelitian: Sistem Gravity-Fed Filtering System
Metode yang digunakan adalah gravity-fed filtering system, yakni sistem penyaringan air yang memanfaatkan gravitasi untuk mengalirkan air melalui beberapa lapisan media penyaring tanpa menggunakan pompa atau energi listrik. Media penyaring yang digunakan terdiri dari pasir, kerikil, karbon aktif, ijuk, dan spons/kain saringan yang disusun secara berlapis.
Sistem ini dirancang untuk menyaring air hujan yang dialirkan dari atap sekolah melalui talang dan pipa ke tangki penampungan berkapasitas 550 liter. Air hujan pertama yang turun selama lima menit dibuang terlebih dahulu untuk menghilangkan kotoran dan debu dari atap.
Studi Kasus di SD Negeri 066656 Padang Bulan
Lokasi penelitian adalah SD Negeri 066656 yang terletak di Kecamatan Medan Selayang, Padang Bulan. Air hujan yang tertangkap dari atap sekolah dialirkan ke sistem filterisasi yang telah dirancang untuk menghasilkan air bersih. Sampel air setelah difilter diuji di Laboratorium Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit.
Hasil Pengujian Kualitas Air
Hasil pengujian menunjukkan bahwa air hujan yang telah melalui filter memenuhi standar kualitas air bersih menurut PERMENKES No. 416 Tahun 1990. Parameter yang diuji meliputi suhu, bau, rasa, total padatan terlarut (TDS), warna, kekeruhan, pH, kadar klorida, kesadahan, kromium valensi 6, sianida, dan total coliform.
Sebagian besar parameter menunjukkan hasil yang sangat baik, misalnya TDS sebesar 38 mg/L jauh di bawah batas maksimal 1500 mg/L, pH 7,6 yang berada dalam rentang aman 6,5-9,0, dan kekeruhan hanya 2,21 NTU. Total coliform sebesar 26 MPN/100 ml masih dalam batas aman untuk air non perpipaan.
Analisis dan Diskusi
Sistem filterisasi sederhana ini terbukti efektif menghilangkan kotoran dan zat kimia berbahaya dari air hujan. Penggunaan media seperti pasir dan karbon aktif sangat membantu dalam meningkatkan kejernihan dan kualitas air. Sistem gravity-fed yang tidak menggunakan pompa menjadikan metode ini hemat energi dan biaya operasional.
Namun, nilai total coliform yang masih ada menunjukkan perlunya pemeliharaan rutin dan pembersihan media filter agar kualitas air tetap terjaga. Selain itu, sistem ini lebih cocok untuk kebutuhan air non konsumsi langsung, seperti mencuci atau toilet, dan perlu pengolahan tambahan jika digunakan untuk air minum.
Nilai Tambah dan Relevansi
Penerapan metode ini sangat relevan untuk daerah dengan keterbatasan pasokan air bersih dan infrastruktur yang belum memadai. Di lingkungan sekolah, sistem ini tidak hanya menyediakan sumber air alternatif yang aman dan bersih, tetapi juga dapat menjadi media edukasi bagi siswa tentang pentingnya konservasi air dan pengelolaan sumber daya alam.
Teknologi sederhana ini juga dapat diterapkan di rumah tangga dan fasilitas umum lainnya, terutama di daerah tropis dengan curah hujan tinggi seperti Indonesia. Dengan biaya rendah dan kemudahan pengoperasian, metode ini berpotensi meningkatkan akses air bersih secara luas.
Kritik dan Saran
Penelitian ini masih memiliki keterbatasan dalam hal pengujian mikrobiologi yang lebih mendalam dan pengujian kualitas air secara berkala. Disarankan agar dilakukan monitoring rutin untuk memastikan keamanan air, terutama jika digunakan untuk konsumsi langsung.
Selain itu, pengembangan sistem filtrasi dengan teknologi yang lebih canggih dan otomatisasi pembersihan filter dapat meningkatkan efektivitas dan kenyamanan penggunaan. Edukasi masyarakat dan pelatihan pengelolaan sistem juga sangat penting untuk menjaga keberlanjutan program.
Kesimpulan
Metode filterisasi sederhana dengan sistem gravity-fed filtering system merupakan solusi efektif dan ekonomis untuk mengolah air hujan menjadi air bersih yang layak digunakan di lingkungan sekolah. Studi kasus di SD Negeri 066656 Padang Bulan menunjukkan bahwa air hujan yang difilter memenuhi standar kesehatan dan dapat menjadi alternatif sumber air bersih yang berkelanjutan.
Dengan pengelolaan yang tepat dan edukasi yang memadai, teknologi ini dapat direplikasi secara luas untuk membantu mengatasi masalah air bersih di berbagai daerah di Indonesia, khususnya di wilayah yang mengalami keterbatasan pasokan air dari PDAM.
Sumber Artikel
Franchitika, Rizky dan Rahman, Raden Aulia. “Metode Filterisasi Sederhana Pada Pemanfaatan Air Hujan Di SD Negeri 066656 Kecamatan Medan Selayang Padang Bulan.” Journal of Civil Engineering, Building and Transportation, Vol. 4 No. 1, Maret 2020, hlm. 11–17. Institut Teknologi Medan.
Sumber Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 05 Juni 2025
Ketersediaan air bersih merupakan kebutuhan dasar manusia yang sangat penting untuk kehidupan dan kesehatan. Namun, di banyak kota besar di Indonesia, pertumbuhan penduduk yang pesat dan konversi lahan menjadi kawasan permukiman dan komersial menyebabkan penurunan debit air tanah dan berkurangnya lahan resapan air hujan. Hal ini memicu kelangkaan air bersih dan meningkatkan risiko banjir akibat limpasan air hujan yang tidak terkelola dengan baik.
Dalam konteks ini, pemanenan air hujan (PAH) muncul sebagai solusi alternatif yang murah, mudah, dan ramah lingkungan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Paper karya Anie Yulistyorini ini mengulas secara komprehensif konsep, manfaat, tantangan, serta komponen sistem pemanenan air hujan yang dapat diterapkan di perkotaan Indonesia.
Konsep dan Manfaat Pemanenan Air Hujan
Pemanenan air hujan adalah metode mengumpulkan air hujan dari permukaan tangkapan, seperti atap bangunan atau permukaan tanah, untuk disimpan dan digunakan sebagai sumber air bersih. Air hujan yang dikumpulkan dapat digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari kebutuhan domestik non-konsumsi (menyiram tanaman, mencuci, flushing toilet) hingga setelah pengolahan lebih lanjut, dapat digunakan sebagai air minum.
Manfaat utama PAH antara lain:
Komponen Sistem Pemanenan Air Hujan
Sistem PAH terdiri dari beberapa komponen utama:
Studi Kasus dan Data Teknis
Paper ini menyajikan ilustrasi sistem PAH sederhana yang diterapkan di Banda Aceh pasca tsunami 2004, yang menggunakan sistem penampungan air hujan dari atap dan permukaan tanah. Sistem ini terbukti efektif menyediakan air bersih bagi masyarakat yang mengalami kesulitan air bersih akibat bencana.
Data teknis penting yang dibahas antara lain:
Volume air hujan=Curah hujan tahunan (mm)×Luas tangkapan (m2)×Koefisien efisiensi\text{Volume air hujan} = \text{Curah hujan tahunan (mm)} \times \text{Luas tangkapan (m}^2) \times \text{Koefisien efisiensi}Volume air hujan=Curah hujan tahunan (mm)×Luas tangkapan (m2)×Koefisien efisiensi
Koefisien efisiensi biasanya 75–90% untuk kebutuhan indoor dan 50% untuk kebutuhan outdoor.
Kualitas Air Hujan dan Pengolahan
Air hujan secara alami relatif bersih, namun saat mengalir di atap dan saluran, air dapat terkontaminasi oleh debu, kotoran, mikroorganisme, dan polutan kimia dari lingkungan perkotaan. Oleh karena itu, pengolahan air hujan penting dilakukan agar air aman digunakan.
Beberapa metode pengolahan sederhana yang direkomendasikan:
Kelebihan dan Tantangan Implementasi di Perkotaan Indonesia
Kelebihan:
Tantangan:
Rekomendasi Kebijakan dan Pengembangan
Hubungan dengan Tren Global dan Studi Lain
Kesimpulan
Pemanenan air hujan adalah solusi efektif dan berkelanjutan untuk mengatasi krisis air bersih di perkotaan Indonesia. Dengan teknologi sederhana dan biaya rendah, PAH dapat mengurangi ketergantungan pada air tanah dan PDAM, mengurangi risiko banjir, serta membantu konservasi sumber daya air. Dukungan regulasi, edukasi, dan inovasi teknologi sangat diperlukan untuk memperluas penerapan PAH demi ketahanan air dan lingkungan yang lebih baik.
Sumber Artikel
Anie Yulistyorini. “Pemanenan Air Hujan sebagai Alternatif Pengelolaan Sumber Daya Air di Perkotaan.” Teknologi dan Kejuruan, Vol. 34, No. 1, Februari 2011, hlm. 90–114. Fakultas Teknik, Universitas Negeri Malang.
Sumber Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 05 Juni 2025
Kebutuhan air bersih yang terus meningkat seiring pertumbuhan populasi manusia menjadi tantangan besar, terutama di daerah dengan keterbatasan sumber air seperti Kecamatan Kokap, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Terlebih lagi, wilayah perbukitan Menoreh ini tidak terlayani jaringan PDAM sehingga masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih terutama saat musim kemarau. Kondisi ini mendorong perlunya solusi alternatif yang efektif dan berkelanjutan, salah satunya adalah pemanenan air hujan menggunakan sistem cistern sebagai penampung air bersih skala rumah tangga.
Penelitian ini bertujuan mengkaji potensi air hujan yang dapat dimanfaatkan, kebutuhan air bersih rumah tangga, serta merancang instalasi penampungan air hujan berupa cistern beton bertulang yang dapat memenuhi kebutuhan air selama musim kemarau.
Metode Penelitian: Deskriptif Kuantitatif dengan Data Curah Hujan dan Neraca Air
Penelitian menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan pengumpulan data primer dan sekunder. Data primer meliputi pengukuran luas atap rumah (228 m²) dan jumlah penghuni rumah (4 orang). Data sekunder berupa curah hujan rata-rata tahunan selama 5 tahun terakhir (2015–2019) dari dua stasiun curah hujan terdekat, yaitu Hargorejo dan Borrow Area.
Analisis dilakukan dengan menghitung kebutuhan air bersih berdasarkan konsumsi 150 liter/orang/hari, menghitung ketersediaan air hujan yang dapat ditampung, dan menyusun neraca air untuk mengetahui keseimbangan antara suplai dan kebutuhan air. Perhitungan volume penampungan cistern menggunakan rumus yang mempertimbangkan jumlah penghuni, lama musim kemarau, dan konsumsi air.
Studi Kasus dan Data Curah Hujan
Curah Hujan dan Ketersediaan Air
Kebutuhan Air Rumah Tangga
Neraca Air dan Ketersediaan Bulanan
Perancangan Sistem Penampungan Air Hujan (Cistern)
Dimensi dan Material
Sistem Talang dan Penyaringan
Analisis Neraca Air
Neraca air menunjukkan bahwa volume penampungan yang dirancang cukup efektif untuk memenuhi kebutuhan air bersih selama musim kemarau. Tabel neraca air memperlihatkan suplai air hujan yang masuk, kebutuhan air yang keluar, dan cadangan air yang tersisa setiap bulan. Hasil analisis menunjukkan bahwa dengan volume cistern 110,4 m³, kebutuhan air rumah tangga dapat terpenuhi dengan baik, terutama saat musim kemarau.
Nilai Tambah dan Implikasi
Kritik dan Saran Pengembangan
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian ini sejalan dengan studi Khoru Ni’mah (2018) di Lampung Selatan yang menunjukkan potensi penghematan air bersih hingga 35% dengan pemanenan air hujan. Selain itu, hasil penelitian Felicia Isfandyari (2018) dan Tri Yayuk Susana (2012) juga menegaskan pentingnya pemanfaatan air hujan sebagai alternatif sumber air di perkotaan dan gedung perkantoran, dengan penghematan signifikan terhadap penggunaan air PDAM.
Kesimpulan
Penelitian ini berhasil mengidentifikasi potensi pemanenan air hujan di Dusun Sungapan 1, Hargotirto, Kokap, Kulon Progo, dengan curah hujan rata-rata 1610,04 mm/tahun dan kebutuhan air rumah tangga sekitar 219 m³/tahun untuk 4 penghuni. Instalasi cistern beton bertulang berkapasitas 110,4 m³ yang dirancang dapat memenuhi kebutuhan air bersih selama musim kemarau. Sistem ini merupakan solusi efektif dan berkelanjutan untuk mengatasi keterbatasan air bersih di daerah perbukitan dan dapat direplikasi di wilayah serupa.
Sumber Artikel
Ikhwan Mustofa. “Analisis Pemanfaatan Potensi Air Hujan dengan Menggunakan Cistern sebagai Sumber Air Bersih Skala Rumah Tangga (Studi Kasus Dusun Sungapan 1, Hargotirto, Kokap, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta).” Tugas Akhir, Program Studi Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Universitas Islam Indonesia, 2020.
Sumber Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 05 Juni 2025
Air hujan merupakan sumber air yang melimpah, khususnya saat musim penghujan. Namun, tanpa pengelolaan yang tepat, air hujan justru dapat menimbulkan bencana seperti banjir dan tanah longsor. Oleh karena itu, pengelolaan air hujan secara optimal menjadi sangat penting, terutama dengan cara menampung air hujan dan meresapkannya kembali ke dalam tanah. Paper karya Haryoto Indriatmoko dan Nugro Rahardjo dari Pusat Teknologi Lingkungan BPPT ini memberikan kajian awal mengenai sistem pemanfaatan air hujan, dengan fokus pada praktik terbaik di beberapa negara Asia dan kondisi di Indonesia.
Studi Kasus dan Perbandingan Internasional
Penulis melakukan studi literatur dan banding terhadap penerapan sistem pemanfaatan air hujan di beberapa negara Asia, yaitu Republik Dominika, Singapura, Jepang, China, dan Thailand. Negara-negara ini telah berhasil mengimplementasikan sistem pemanenan air hujan yang efektif, baik untuk memenuhi kebutuhan air bersih maupun untuk konservasi air tanah.
Contoh Implementasi di Negara-negara Asia
Kondisi dan Regulasi di Indonesia
Indonesia memiliki curah hujan yang tinggi, namun pengelolaan air hujan masih belum optimal. Luapan air hujan sering menyebabkan banjir dan tanah longsor akibat saluran drainase yang tidak memadai dan berkurangnya ruang terbuka hijau. Pemerintah telah mengeluarkan regulasi seperti SK Gubernur DKI Jakarta No. 115 Tahun 2001 dan Perda No. 20 Tahun 2013 yang mewajibkan pembangunan sumur resapan.
Teknologi dan Metode Pengelolaan
Angka dan Data Teknis
Nilai Tambah dan Implikasi Edukasi
Kritik dan Saran Pengembangan
Kesimpulan
Air hujan adalah anugerah alam yang melimpah dan harus dimanfaatkan secara optimal untuk memenuhi kebutuhan air bersih sekaligus melestarikan sumber daya air tanah. Berbagai negara telah membuktikan keberhasilan sistem pemanenan air hujan, yang juga mulai diadopsi di Indonesia dengan dukungan regulasi dan edukasi. Pengelolaan air hujan yang terintegrasi dan berkelanjutan merupakan kunci untuk mengatasi masalah kekurangan air, banjir, dan penurunan muka tanah di perkotaan dan daerah rawan.
Sumber Artikel
Haryoto Indriatmoko dan Nugro Rahardjo. “Kajian Pendahuluan Sistem Pemanfaatan Air Hujan.” Pusat Teknologi Lingkungan, BPPT, 2009.
Sumber Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 05 Juni 2025
Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki sekitar 17.000 pulau besar dan 13.000 pulau kecil, yang secara biofisik, geografis, dan sosial budaya memiliki karakteristik unik. Salah satu masalah utama yang dihadapi pulau-pulau kecil adalah keterbatasan sumber daya air bersih. Air tanah di pulau kecil biasanya merupakan lensa air tawar yang mengapung di atas air payau atau asin, sehingga sangat rentan terhadap intrusi air laut dan perubahan muka air tanah.
Desa Concong Tengah, Kecamatan Concong, Kabupaten Indragiri Hilir, menjadi contoh nyata permasalahan ini. Penduduknya mengandalkan air hujan sebagai sumber utama air bersih, terutama saat musim kemarau ketika air tanah dangkal kering dan air permukaan mengandung bahan organik dan zat besi yang tinggi sehingga tidak layak digunakan. Kondisi ekonomi yang rendah membuat warga kesulitan membeli air bersih dari sumber lain.
Metodologi: Simulasi Hidrologi Kuantitatif dengan Rain Cycle 2
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan simulasi menggunakan program bantuan Rain Cycle 2. Data input meliputi:
Simulasi dilakukan untuk mengukur potensi pemanenan air hujan skala individu dan seberapa besar kebutuhan air bersih masyarakat yang dapat dipenuhi dengan sistem ini.
Hasil Studi Kasus: Potensi Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih
Data Curah Hujan dan Luas Atap
Simulasi Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih
Data serupa untuk tahun-tahun berikutnya menunjukkan fluktuasi, misalnya tahun 2014 dengan 3 tangki hanya mampu memenuhi 53,5% kebutuhan air bersih, yang menunjukkan pengaruh variabilitas curah hujan terhadap ketersediaan air.
Pengaruh Luas Atap dan Jumlah Anggota Keluarga
Analisis dan Diskusi
Sensitivitas Curah Hujan
Parameter curah hujan sangat sensitif terhadap kuantitas air hujan yang dapat dipanen. Tahun dengan curah hujan tinggi memberikan kontribusi lebih besar dalam memenuhi kebutuhan air bersih. Sebaliknya, tahun dengan curah hujan rendah menyebabkan penurunan signifikan dalam pemenuhan kebutuhan air.
Kapasitas Tangki dan Kebutuhan Air
Kapasitas tangki penampungan sangat menentukan performa sistem pemanenan air hujan. Penggunaan 3-4 tangki fiber berkapasitas 1 m³ dianggap optimal untuk memenuhi kebutuhan air bersih sebagian besar keluarga di Desa Concong Tengah.
Keterbatasan dan Tantangan
Nilai Tambah dan Relevansi dengan Tren Global
Pemanfaatan air hujan sebagai sumber air bersih merupakan solusi berkelanjutan yang sesuai dengan prinsip konservasi sumber daya air dan adaptasi perubahan iklim. Studi ini sejalan dengan tren global yang mendorong pengelolaan air hujan di tingkat rumah tangga dan komunitas sebagai bagian dari strategi ketahanan air.
Saran dan Rekomendasi
Kesimpulan
Penelitian ini membuktikan bahwa pemanenan air hujan skala individu di Desa Concong Tengah mampu memenuhi sebagian besar kebutuhan air bersih masyarakat, dengan persentase pemenuhan yang dipengaruhi oleh luas atap, jumlah anggota keluarga, dan curah hujan tahunan. Sistem ini menjadi alternatif penting untuk mengatasi keterbatasan sumber air bersih di pulau kecil yang rentan terhadap kekeringan dan intrusi air payau.
Sumber Artikel
Indah Ameliana Beza D., Yohanna Lilis H., Imam Suprayogi. “Kajian Pemanfaatan Air Hujan Sebagai Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Di Pulau Kecil: Studi Kasus Desa Concong Tengah Kecamatan Concong Kabupaten Indragiri Hilir.” Jom FTEKNIK, Vol. 3 No. 1, Februari 2016. Fakultas Teknik, Universitas Riau.