Investigasi Energi & Lingkungan
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 21 Mei 2025
Menelisik Kedalaman dan Arus: Analisis Hidrologi dan Oseanografi dalam Penentuan Lokasi PLTN di Banten
Penyediaan energi nasional merupakan tantangan krusial bagi Indonesia, khususnya dengan pertumbuhan ekonomi yang signifikan pasca krisis. Dalam upaya memenuhi kebutuhan energi ini, pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) muncul sebagai salah satu opsi strategis masa depan. Namun, pembangunan fasilitas sebesar PLTN tidak bisa sembarangan. Proses pemilihan tapak harus melalui serangkaian studi komprehensif, salah satunya adalah analisis hidrologi dan oseanografi yang mendalam. Artikel ini akan mengupas tuntas hasil penelitian yang berfokus pada seleksi tapak PLTN di Provinsi Banten, menyoroti aspek-aspek krusial seperti batimetri, pasang surut, potensi tsunami, dan ketersediaan sumber daya air, serta menawarkan analisis tambahan yang memperkaya pemahaman kita.
Urgensi Pemilihan Tapak PLTN yang Aman dan Efisien
Sejak tahun 1972, studi tapak dan kelayakan pembangunan PLTN di Indonesia telah bergulir intensif, dengan konsultan Newjec pada periode 1991-1996 merekomendasikan Ujung Lemahabang sebagai tapak terbaik setelah mengevaluasi 16 aspek. Tapak ini, secara fisik, dinilai mampu menampung sekitar 7200 MWe, meskipun hasil studi CADES menunjukkan kapasitas optimal sekitar 4000 MWe dengan pertimbangan stabilitas jaringan. Dengan proyeksi kebutuhan energi yang terus meningkat, inventarisasi calon tapak potensial di seluruh Indonesia menjadi agenda penting. Provinsi Banten, dengan kedekatannya terhadap pusat beban listrik di Pulau Jawa, menjadi prioritas awal dalam penelitian ini.
Pemilihan lokasi PLTN harus memenuhi standar keselamatan IAEA, dengan investigasi menyeluruh terhadap faktor penolak (exclusion factor), keselamatan (safety factor), dan kecocokan (suitability factor). Salah satu faktor penolak utama adalah potensi bencana alam katastropik. Pantai selatan Pulau Jawa, misalnya, tidak layak dijadikan tapak PLTN karena kerawanannya terhadap gempa dan tsunami yang disebabkan oleh keberadaan lempeng tektonik. Demikian pula, Selat Sunda juga dikecualikan karena keberadaan Gunung Anak Krakatau yang aktif, yang dalam sejarahnya pernah meletus dahsyat pada tahun 1883, memicu tsunami setinggi 40 meter dan menelan lebih dari 30.000 korban jiwa. Oleh karena itu, penelitian ini memfokuskan kajian pada pantai utara Banten.
PLTN yang berlokasi di tepi pantai harus tahan terhadap berbagai bahaya eksternal, terutama banjir. Banjir dapat diakibatkan oleh badai (storm surge), tsunami yang dipicu gempa dasar laut, letusan gunung api bawah laut, tumbukan meteor di perairan laut, curah hujan ekstrem, atau kegagalan struktur bangunan penyimpan air seperti dam dan waduk di daerah hulu. Tujuan utama penelitian ini adalah mengidentifikasi calon tapak potensial yang aman dari bahaya eksternal, baik yang bersifat alamiah maupun akibat aktivitas manusia, serta menjamin perlindungan terhadap operator PLTN, masyarakat, dan lingkungan dari bahaya radiasi pengion. Secara spesifik, penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran kondisi batimetri, pasang surut, dan hidrologi di wilayah calon tapak, mengevaluasi keselamatan PLTN dari aspek hidrologi dan oseanografi (potensi banjir pantai dan tsunami), dan menilai faktor kecocokan batimetri untuk fasilitas water intake.
Metodologi dan Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka dengan mengandalkan data sekunder yang diperoleh dari instansi terkait seperti Dinas Perhubungan Laut, Dinas Pengairan, dan Dinas Kelautan Provinsi Banten. Data sekunder yang terkumpul kemudian diseleksi dan sebagian dikonfirmasi melalui peninjauan lapangan. Untuk menganalisis kelayakan tapak, digunakan sistem perangkingan berdasarkan parameter batimetri, pasang naik maksimum, dan potensi tsunami.
Ruang lingkup penelitian hidrologi dan oseanografi difokuskan sepanjang pantai utara Banten, mulai dari Tanjung Pujut (Kabupaten Serang) hingga Mauk (Kabupaten Tangerang). Namun, karena keterbatasan waktu dan dana, penelitian awal ini lebih bersifat eksplorasi data sekunder yang terbatas pada parameter dan lokasi tertentu. Analisis batimetri dilakukan sepanjang Pantai Utara dari Tanjung Pujut hingga Tanjung Pasir, sedangkan kondisi pasang surut dianalisis berdasarkan data yang tersedia. Identifikasi keberadaan sungai juga dilakukan untuk memperkirakan pengaruhnya terhadap keberadaan PLTN.
Hasil dan Pembahasan: Menimbang Pro dan Kontra Setiap Lokasi
Provinsi Banten, yang terletak di bagian Barat Pulau Jawa, secara geografis berada pada koordinat 105°1’11” – 106°7’12” Bujur Timur dan 5°7’50” – 7°1’1” Lintang Selatan, dengan luas total 8.800,83 km$^2$. Wilayah ini berbatasan dengan Laut Jawa di Utara, Samudra Indonesia di Selatan, Provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta di Timur, serta Selat Sunda di Barat. Meskipun Provinsi Banten terdiri dari empat kabupaten dan dua kota, penelitian ini memfokuskan kajian pada Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang, Kota Cilegon, dan Kota Tangerang yang berada di wilayah pantai utara.
1. Kondisi Batimetri dan Kebutuhan Water Intake
Batimetri atau kontur kedalaman dasar laut adalah informasi vital dalam penentuan lokasi PLTN, terutama kaitannya dengan fasilitas air pendingin. Untuk PLTN di Pulau Jawa, air laut lebih disarankan sebagai sumber pendingin untuk menjamin kontinuitas debitnya, mengingat debit air sungai yang fluktuatif musiman. Persyaratan umum untuk water intake adalah kedalaman perairan 10-15 meter, dengan jarak dari pantai yang semakin pendek akan mengurangi biaya konstruksi. Selain itu, lokasi tidak boleh mengalami pendangkalan atau sedimentasi yang cepat, harus memenuhi persyaratan kualitas air (suhu, pH, TSS, TDS, turbiditas), dan tidak menimbulkan konflik kepentingan dengan kegiatan lain.
Berdasarkan analisis batimetri:
Tanjung Pontang: Kedalaman 15 meter dapat dicapai sekitar 4 km dari tepi pantai, menjadikannya cukup layak untuk pembangunan fasilitas water intake.
Tanjung Kait: Meskipun masih layak, wilayah ini kurang menguntungkan dari sisi batimetri. Kedalaman laut 15 meter baru tercapai sekitar 6 km dari garis pantai, yang berarti biaya konstruksi water intake akan lebih tinggi.
Tanjung Pasir: Wilayah ini cukup layak untuk pembangunan water intake, dengan jarak garis pantai ke kedalaman 15 meter sekitar 2,5 km.
Berdasarkan faktor kecocokan batimetri dengan kelayakan pembangunan fasilitas water intake, urutan rangking calon tapak terbaik adalah: Tanjung Pujut (Skor 5), Tanjung Pasir (Skor 4), Tanjung Pontang (Skor 3), Tanjung Kait (Skor 2), dan Teluk Banten (Skor 1).
2. Pasang Surut dan Potensi Tsunami: Ancaman Alam yang Perlu Diwaspadai
Data pasang surut muka air laut dan tsunami sangat vital untuk PLTN di tepi pantai. Data ini digunakan untuk analisis faktor penolak (apabila potensi tsunami katastropik mungkin terjadi dalam kurun waktu operasi PLTN, tapak akan ditolak), analisis penyebaran material radioaktif jika terjadi kecelakaan, dan penentuan desain basis kebutuhan air pendingin. Kombinasi pasang naik tinggi dengan curah hujan ekstrem juga dapat memicu banjir pantai.
Secara geografis, pantai barat Provinsi Banten memiliki ancaman serius terhadap tsunami yang dipicu oleh letusan Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda. Sejarah mencatat letusan dahsyat Krakatau pada 26 Agustus 1883 yang menghasilkan tsunami setinggi 40 meter dan menewaskan lebih dari 30.000 orang. Meskipun Krakatau lenyap pasca letusan tersebut, Anak Krakatau muncul kembali dan terus aktif. Tsunami yang dibangkitkan oleh letusan Anak Krakatau pada tahun 2004 di Selat Sunda juga mempengaruhi Teluk Banten, meskipun tingkat keparahannya masih dalam tahap studi lebih lanjut.
Berdasarkan data pasang surut dan potensi tsunami:
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tanjung Kait dan Tanjung Pasir lebih cocok ditinjau dari aspek tsunami yang mungkin ditimbulkan oleh Gunung Krakatau. Ini mungkin mengacu pada posisi geografis relatif mereka yang sedikit lebih terlindungi dibandingkan wilayah lain di pantai utara Banten.
3. Kondisi Hidrologi dan Sedimentasi Pantai Banten
Pantai utara Banten umumnya merupakan perairan dangkal dengan dasar perairan didominasi lumpur berpasir. Perairan Laut Jawa dipengaruhi oleh dua musim, yaitu musim barat dan musim timur. Suhu air di Teluk Banten berkisar antara 28-31,5°C dengan rata-rata 29,5°C. Salinitas di pesisir utara sekitar 28-33,8 ppm, dengan salinitas rendah saat musim hujan (Januari-Februari) akibat masuknya air hujan melalui muara sungai.
Teluk Banten telah mengalami pendangkalan, yang dibuktikan dengan keberadaan benteng Speelwijk sejauh 300 meter ke arah daratan dari lokasi aslinya di tepi pantai. Selain itu, proses pendangkalan signifikan juga terjadi di sisi timur Teluk Banten yang disebabkan oleh limpasan Sungai Ciujung. Pendangkalan ini juga terjadi di muara Sungai Ciujung Lama dan endapan dari Sungai Cibanten. Sisi barat Teluk Banten mengalami tingkat pendangkalan yang relatif kecil.
Ketersediaan data historis mengenai kejadian dan atau potensi bencana alam yang sifatnya katastropik menjadi faktor penapis awal. Potensi banjir sungai di pantai diperkirakan terjadi pada flood plain (dataran banjir) sungai-sungai besar. Untuk analisis ini, diperlukan studi mendalam dengan karakteristik meteorologi, topografi, dan oseanografi, serta kajian probable maximum flood (PMF).
Berdasarkan potensi banjir sungai dan sedimentasi:
Sungai-sungai besar yang bermuara di pantai utara Provinsi Banten meliputi Ci Banten, Ciujung, Cikande, Cipangaur, Cisadane, dan St.Angke. Sungai Ciujung di dekat muara bercabang-cabang, sebagian bermuara di Tanjung Pujut dan sebagian lainnya di sisi barat Teluk Banten.
Integrasi Hasil dan Rekomendasi: Membangun Perspektif Holistik
Berdasarkan analisis hidrologi dan oseanografi, dapat ditarik beberapa kesimpulan penting terkait seleksi tapak PLTN di Provinsi Banten:
Potensi Banjir dan Sedimentasi: Dari aspek potensi banjir, Tanjung Pujut, Tanjung Kait, dan Tanjung Pasir menunjukkan kategori "Baik", mengindikasikan risiko banjir sungai yang lebih rendah dibandingkan Teluk Banten dan Tanjung Pontang. Namun, masalah sedimentasi di Teluk Banten menjadi perhatian serius, mengingat pendangkalan yang terus terjadi akibat limpasan sungai dan endapan. Teluk Banten secara keseluruhan kurang ideal untuk pembangunan PLTN karena isu sedimentasi yang signifikan.
Secara keseluruhan, meskipun Tanjung Pujut sangat unggul dalam aspek batimetri, potensi tsunami dan risiko banjir harus menjadi pertimbangan utama. Lokasi-lokasi seperti Tanjung Kait dan Tanjung Pasir menunjukkan harapan lebih baik dalam mitigasi tsunami, namun perlu dilengkapi dengan data hidrologi dan oseanografi yang lebih komprehensif, terutama terkait pasang surut dan sedimentasi.
Perspektif dan Nilai Tambah
Penelitian ini memberikan fondasi yang kuat dalam proses seleksi tapak PLTN di Provinsi Banten, dengan fokus pada aspek hidrologi dan oseanografi. Namun, terdapat beberapa area yang dapat diperdalam untuk meningkatkan akurasi dan keandalan temuan:
Secara keseluruhan, penelitian ini menegaskan kompleksitas dalam pemilihan lokasi PLTN. Setiap calon tapak memiliki karakteristik uniknya sendiri yang perlu dianalisis secara cermat. Dengan integrasi data yang lebih lengkap, model simulasi yang canggih, dan pertimbangan multi-aspek, Indonesia dapat melangkah lebih dekat menuju pembangunan PLTN yang aman, efisien, dan berkelanjutan untuk memenuhi tantangan energi di masa depan. Kemitraan antara peneliti, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya akan menjadi kunci keberhasilan dalam merealisasikan visi energi nasional ini.
Sumber
Yarianto S. Budi Susilo. (2006). Analisis Hidrologi Dan Oseanografi Dalam Seleksi Tapak PLTN Di Wilayah Provinsi Banten. Jurnal Pengembangan Energi Nuklir Vol. 8 No.2.
Kualitas
Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Kualitas Bukan Sekadar Standar, tapi Kepercayaan
Dalam dunia manufaktur transportasi, kualitas bukan hanya soal kelengkapan produk—ia adalah jaminan keselamatan, efisiensi, dan reputasi. Artikel karya Wahyu Andy Prastyabudi dan tim dari Telkom University menyajikan pendekatan analitis untuk mengatasi tantangan kualitas dalam industri manufaktur kereta melalui integrasi dua metode teruji: Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) dan Fault Tree Analysis (FTA).
Penelitian ini mengangkat kasus nyata dari produksi komponen kereta yang mengalami rata-rata 10–12 cacat per unit, menyebabkan keterlambatan pengiriman hingga dua bulan. Sebuah sinyal bahaya bahwa ada masalah sistemik dalam proses produksi.
Mengapa FMEA dan FTA?
FMEA adalah alat klasik namun ampuh untuk mengidentifikasi kegagalan potensial berdasarkan tiga metrik: tingkat keparahan (Severity), kemungkinan terjadi (Occurrence), dan deteksi (Detection). Sedangkan FTA menawarkan pendekatan deduktif, membangun peta penyebab utama dari suatu kegagalan menggunakan struktur pohon logika. Gabungan dua metode ini menghasilkan sinergi: FMEA menyaring prioritas, FTA menyelami akar masalah.
Studi Kasus: Industri Kereta yang Kompleks
Berbeda dengan industri otomotif atau tekstil, manufaktur kereta memiliki karakteristik produksi panjang, bersifat kustom, dan harus mematuhi regulasi keselamatan yang ketat. Kompleksitas ini membuat kegagalan kecil bisa menjelma menjadi bencana operasional.
Hasil Analisis: Fakta Berbicara Lewat Data
Data Awal: 599 Laporan Cacat
Dari 1.300 data cacat yang dikumpulkan melalui non-conformance report (NCR), sebanyak 599 kasus diklasifikasikan dan ditelusuri lebih dalam. Hasilnya:
Metodologi Skoring RPN
Dengan menghitung RPN (Risk Priority Number) dari 18 jenis cacat, ditemukan bahwa 8 di antaranya melebihi nilai kritis 209—angka yang dihitung dari total RPN dibagi jumlah jenis cacat. Salah satu yang tertinggi adalah cacat retak pada pengelasan dengan skor RPN 504.
No.Jenis Cacat
RPN
3
Retakan pada pengelasan
504
4
Sambungan kabel longgar
384
13
Cat tidak merata
336
Pareto 80/20: Fokus pada Penyebab Dominan
Dengan prinsip Pareto, 80% masalah berasal dari 20% jenis cacat. Tiga cacat utama yang dianalisis lebih dalam adalah:
Mengupas Akar Masalah Lewat FTA
Defect 1: Kerusakan Panel Komponen
FTA mengungkap bahwa kombinasi antara kualitas material rendah dan kesalahan tenaga kerja (fatigue, kurang pelatihan) menjadi pemicu utama.
Defect 3: Retakan Pengelasan
Ditemukan bahwa ketidaksesuaian arus pengelasan (ampere mismatch) dan kurangnya inspeksi visual saat proses merupakan penyebab langsung. Ini menjadi bukti bahwa quality assurance tak boleh hanya mengandalkan SOP, tetapi butuh pengawasan aktif.
Defect 13: Cat Bergaris atau Tidak Merata
Masalah ini lebih kepada aspek visual—penerangan kerja yang buruk, lingkungan kerja yang tidak ergonomis, serta kurangnya perhatian pekerja terhadap detil.
Dampak dan Implikasi Nyata bagi Industri
Keterlambatan dua bulan dalam pengiriman produk akibat cacat adalah kerugian finansial dan reputasi yang signifikan. Apalagi dalam konteks industri perkeretaapian di mana keterlambatan tidak hanya berdampak pada biaya, tapi juga pada keselamatan publik.
Ilustrasi Kerugian:
Misalnya, jika satu kereta memiliki nilai kontrak Rp10 miliar dan keterlambatan pengiriman menimbulkan penalti 1% per minggu, maka dalam dua bulan kerugian bisa mencapai Rp800 juta per unit.
Pembelajaran dari Kasus Boeing
Seperti halnya skandal Boeing 737 MAX yang berakar pada kualitas kontrol yang longgar dan tekanan produksi berlebihan (Denning, 2013; Herkert et al., 2020), studi ini mengingatkan kita bahwa kontrol kualitas bukan sekadar formalitas, tapi landasan etika rekayasa.
Rekomendasi Praktis: Dari Temuan ke Tindakan
Artikel ini tidak berhenti pada diagnosis masalah, tetapi memberikan resep perbaikan berdasarkan kategori penyebab:
Material
Personel
Visual
Dokumentasi
Kritik dan Komparasi dengan Penelitian Lain
Dibandingkan pendekatan data-intensive seperti Bayesian Network (Chen et al., 2017) atau Lean Six Sigma (Fibriani et al., 2023), metode FMEA + FTA dalam studi ini lebih praktis untuk diterapkan di lingkungan industri yang belum terlalu digital.
Namun, keterbatasannya terletak pada ketergantungan pada data historis dan input subjektif dari para ahli. Ke depan, penggunaan teknik data mining atau pemodelan simulasi dapat meningkatkan objektivitas dan prediksi jangka panjang.
Kesimpulan: Integrasi yang Tepat untuk Masalah Kompleks
Penelitian ini menunjukkan bahwa dalam dunia manufaktur modern, pendekatan hybrid seperti FMEA dan FTA bukan sekadar alat teknik, tetapi instrumen strategis dalam manajemen risiko kualitas.
Temuan kunci:
Dengan memberikan pendekatan sistematis terhadap cacat produksi, perusahaan dapat mengurangi kegagalan, mempercepat pengiriman, dan yang terpenting—meningkatkan kepercayaan pelanggan.
Referensi
Prastyabudi, W. A., Faharga, R. A., & Chandra, H. (2024). Systematic Risk Analysis of Railway Component Quality: Integration of Failure Mode & Effect Analysis (FMEA) and Fault Tree Analysis (FTA). Spektrum Industri, 22(2), 77–89. https://doi.org/10.12928/si.v22i2.223
Kualitas Produksi
Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Menguak Masalah Kualitas pada Industri Garam
Industri pengolahan garam di Jawa Timur menghadapi tantangan serius dalam pengendalian kualitas. Dengan tingkat kecacatan produk yang mencapai 15%, perusahaan garam tempat studi ini dilakukan telah melampaui ambang batas toleransi internal sebesar 5%. Tiga bentuk utama cacat yang diidentifikasi meliputi:
Permasalahan ini tidak hanya berdampak pada kualitas produk, tetapi juga mencerminkan ketidakefisienan proses produksi yang dapat berujung pada kerugian finansial dan menurunnya kepercayaan konsumen.
Dua Pendekatan Perbaikan Kualitas: TQM vs BPR
Penelitian ini menggarisbawahi dua pendekatan utama dalam manajemen kualitas:
Untuk kasus industri garam, pendekatan yang digunakan lebih selaras dengan TQM melalui identifikasi akar masalah dan prioritisasi risiko menggunakan kombinasi metode Fault Tree Analysis (FTA) dan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA).
Metodologi: Kombinasi FTA dan FMEA
Tahapan yang Diterapkan:
Studi Kasus: Analisis Data Produksi Januari 2024
Selama Januari 2024, total produksi mencapai 2.186 unit. Dari jumlah tersebut, sebanyak 348 unit mengalami cacat, yang berarti sekitar 15,9% dari total produksi.
Distribusi jenis cacat mencakup 94 unit karena kontaminasi benda asing, 24 unit karena warna tidak sesuai, dan 230 unit karena kadar iodium yang tidak sesuai dengan standar.
Analisis Diagram Fishbone
Kontaminasi Produk
Penyebab utama cacat jenis ini adalah mesin yang kotor, proses penyortiran yang masih manual, rendahnya ketelitian pekerja, serta bahan baku dari suplier yang tidak bersih.
Kadar Iodium Tak Sesuai
Penyebab utama termasuk tidak adanya SOP uji sampling, kurangnya ruang penyimpanan bahan baku, variasi kandungan iodium dari suplier, dan lemahnya prosedur pengambilan sampel.
Warna Tidak Sesuai
Masalah ini disebabkan oleh mesin yang kotor atau berkarat, tidak diterapkannya sistem FIFO dalam penggunaan bahan baku, SOP yang diabaikan oleh operator, serta bahan baku yang disimpan terlalu lama.
Fault Tree Analysis: Merinci Akar Masalah
FTA digunakan untuk memvisualisasi struktur kegagalan secara hierarkis. Sebagai contoh, cacat “warna tidak sesuai” disebabkan oleh karat pada mesin yang tidak dilaporkan, operator yang mengabaikan SOP, serta suhu ruangan yang tinggi sebagai indikator lingkungan kerja yang tidak optimal.
Failure Mode and Effect Analysis: Menentukan Prioritas Risiko
Dengan mengukur Severity, Occurrence, dan Detection, peneliti menghitung nilai RPN untuk setiap penyebab cacat. Beberapa temuan penting adalah:
Rekomendasi Perbaikan Proses
Berdasarkan nilai RPN tertinggi, berikut adalah saran konkret:
Untuk cacat akibat kontaminasi, disarankan adanya penjadwalan perawatan mesin secara rutin agar kebersihan dan kondisi mesin selalu terjaga.
Untuk masalah warna tidak sesuai, perlu penegakan disiplin bagi pekerja agar SOP pengendalian warna dipatuhi secara ketat.
Sedangkan untuk kadar iodium yang tidak sesuai, solusi terbaik adalah menyusun dan menerapkan SOP khusus uji sampling sebelum produksi dilakukan.
Komparasi dengan Penelitian Lain
Hasil dari penelitian ini sejalan dengan studi-studi sebelumnya yang diterapkan pada industri tas, kertas, dan beton ringan. Kombinasi metode FTA dan FMEA terbukti efektif dalam:
Yang membedakan studi ini adalah fokusnya pada industri garam—sektor yang sering kali terabaikan dalam wacana perbaikan kualitas industri manufaktur.
Kritik dan Opini
Penelitian ini memberikan pendekatan struktural dan berbasis data yang sangat baik. Namun demikian, ada beberapa hal yang bisa ditingkatkan ke depan:
Pertama, perlu adanya simulasi biaya yang menunjukkan dampak ekonomi dari setiap rekomendasi perbaikan. Kedua, penggunaan teknologi seperti IoT untuk memonitor kondisi mesin secara otomatis dapat meningkatkan deteksi dini terhadap potensi kegagalan. Ketiga, pelatihan tenaga kerja secara berkala perlu dijadikan strategi jangka panjang agar kualitas produk tetap terjaga.
Kesimpulan
Studi ini menunjukkan bahwa integrasi metode FTA dan FMEA efektif dalam mengidentifikasi akar penyebab cacat dan menyusun prioritas perbaikan berbasis risiko. Dengan penerapan yang konsisten, industri garam berpotensi besar untuk menurunkan tingkat kecacatan dari 15% menuju target 5%.
Sumber: Yafi, M. M., & Cahyono, M. D. N. (2024). The implementation of Fault Tree Analysis (FTA) and Failure Mode and Effect Analysis (FMEA) to improve the quality of salt industry in East Java. GREENOMIKA, 06(1), 94–102. https://doi.org/10.55732/unu.gnk.2024.06.1.10
Geospasial & Kebencanaan
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 21 Mei 2025
Pendahuluan
Fenomena petir tidak hanya menjadi pemandangan dramatis di langit, tetapi juga menyimpan risiko besar terhadap keselamatan manusia dan infrastruktur. Indonesia, sebagai negara tropis yang berada di jalur konveksi aktif, mengalami frekuensi sambaran petir jauh lebih tinggi dibanding negara-negara subtropis. Dalam konteks ini, penelitian berjudul *"Analisis Kerapatan Sambaran Petir Wilayah Provinsi Banten Periode Juli 2020 – Juni 2021" * karya Yosita Cecilia menjadi sangat relevan. Penelitian ini tidak hanya memetakan intensitas petir, tetapi juga mengaitkannya dengan kepadatan penduduk untuk menyusun strategi mitigasi risiko.
Petir dan Urgensi Penelitian Spasial
Petir jenis Cloud-to-Ground (CG) merupakan tipe yang paling berbahaya karena langsung menyambar permukaan bumi. Di daerah padat penduduk, sambaran jenis ini berpotensi menimbulkan kerusakan fisik hingga korban jiwa. Berdasarkan data BMKG, kerapatan sambaran petir di Indonesia berkisar 5–15 kali per km² per tahun, jauh di atas rata-rata Eropa atau Jepang yang hanya 1–3 kali per km².
Dalam konteks Provinsi Banten, dengan karakteristik geografis yang diapit oleh Laut Jawa dan Selat Sunda serta kepadatan penduduk yang tinggi (1.232 jiwa/km²), risikonya kian kompleks. Oleh karena itu, pemetaan spasial sambaran petir menjadi alat penting untuk prediksi dan perencanaan mitigasi bencana.
Metode: Kolaborasi Data Observasi dan Teknologi Geospasial
Penelitian ini menggunakan metode interpolasi Inverse Distance Weighting (IDW) berbasis perangkat lunak QGIS 3.14 untuk memvisualisasikan distribusi sambaran petir. Data primer diambil dari sensor petir Lightning Detector LD-250 yang beroperasi real-time di BMKG Stasiun Geofisika Klas I Tangerang. Dengan total 500.459 sambaran petir selama periode satu tahun (Juli 2020–Juni 2021), data ini kemudian diproses menjadi peta tematik.
Klasifikasi dilakukan berdasarkan jumlah sambaran per km²:
Tanpa sambaran: 0–1 kali
Rendah: 1–7 kali
Sedang: 7–12 kali
Tinggi: >12 kali
Temuan Utama
Wilayah Rawan dan Aman
Peta hasil analisis menunjukkan bahwa daerah seperti Pandeglang, bagian selatan Lebak, dan Serang selatan tergolong aman (tanpa sambaran). Sementara Tangerang Timur, Kota Tangerang, dan Tangerang Selatan tergolong wilayah berkerapatan sambaran tinggi.
Hubungan dengan Kepadatan Penduduk
Analisis regresi linier menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0,546, artinya terdapat pengaruh antara kepadatan penduduk dan kerapatan petir, meskipun tidak signifikan secara statistik. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor-faktor lain seperti topografi, tutupan lahan, dan iklim mikro juga berperan besar dalam persebaran petir.
Studi Kasus dan Dampak Praktis
Di wilayah Tangerang Selatan, yang dikenal sebagai kawasan urban berkembang pesat, frekuensi sambaran petir tinggi dapat membahayakan gedung tinggi, jaringan listrik, dan peralatan elektronik. Dalam beberapa kasus, petir bahkan menyebabkan kematian mendadak, kebakaran, dan kerusakan sistem komunikasi.
Tren urbanisasi cepat di Banten juga berdampak pada perubahan tutupan lahan. Permukaan yang semula vegetatif berubah menjadi beton, yang memperkuat efek pulau panas dan meningkatkan kemungkinan terbentuknya awan Cumulonimbus pemicu petir.
Kritik dan Perbandingan
Penelitian ini unggul dalam pengolahan data spasial dan visualisasi. Namun, bisa lebih kuat jika menggunakan data multivariat yang melibatkan variabel seperti kelembaban, suhu, dan jenis penggunaan lahan. Sebagai perbandingan, studi oleh Faizatin et al. (2014) di Pasuruan memasukkan faktor-faktor atmosferik dan menghasilkan pemetaan yang lebih komprehensif.
Selain itu, pengujian hubungan dengan kepadatan penduduk seharusnya dilengkapi analisis spasial-temporal menggunakan metode seperti Geographically Weighted Regression (GWR) untuk mengakomodasi heterogenitas wilayah.
Implikasi dan Rekomendasi Kebijakan
Hasil penelitian ini sebaiknya menjadi dasar:
Mitigasi risiko bencana: Penggunaan penangkal petir wajib untuk bangunan tinggi di wilayah berisiko tinggi.
Perencanaan tata ruang: Pengembangan kawasan sebaiknya mempertimbangkan indeks kerawanan petir.
Pendidikan masyarakat: Kampanye tentang bahaya petir dan langkah perlindungan pribadi perlu digalakkan terutama di daerah dengan klasifikasi tinggi.
Integrasi sistem peringatan dini: BMKG dapat mengembangkan dashboard publik berbasis GIS yang menyajikan data real-time sambaran petir.
Kesimpulan
Penelitian ini membuktikan bahwa integrasi antara observasi ilmiah dan teknologi geospasial dapat menghasilkan peta risiko yang strategis. Meskipun hubungan statistik antara kepadatan penduduk dan sambaran petir belum signifikan, kombinasi faktor lingkungan dan manusia jelas mempengaruhi risiko petir.
Sebagai provinsi dengan dinamika geografis dan demografis tinggi, Banten membutuhkan pendekatan mitigasi petir yang tidak hanya teknis tetapi juga sosial dan kebijakan.
Sumber
Yosita Cecilia. Analisis Kerapatan Sambaran Petir Wilayah Provinsi Banten Periode Juli 2020 – Juni 2021. Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Walisongo Semarang, 2022.
Pembangunan Daerah
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 21 Mei 2025
Pendahuluan
Ketahanan pangan telah menjadi isu strategis dan multidimensi dalam pembangunan nasional, terlebih di era globalisasi dan perubahan iklim yang tidak menentu. Dalam konteks Provinsi Banten, isu ini menjadi semakin penting karena wilayah tersebut merupakan penyangga ibukota negara dan berperan sebagai pintu gerbang Jawa-Sumatera. Paper yang ditulis oleh Yeni Budiawati dan Ronnie S. Natawidjaja berjudul “Situasi dan Gambaran Ketahanan Pangan di Provinsi Banten Berdasarkan Peta FSVA dan Indikator Ketahanan Pangan” yang diterbitkan dalam Jurnal Agribisnis Terpadu Vol. 13 No. 2, 2020, memberikan potret komprehensif atas ketahanan pangan wilayah ini dengan membandingkan dua pendekatan metodologis: Peta FSVA tahun 2018 dan studi Deby Eryani Setiawan et al. (2017).
Artikel ini akan menguraikan secara analitis bagaimana indikator-indikator tersebut membentuk pemetaan kerawanan pangan, menjelaskan urgensi tiap indikator, serta menyoroti kesenjangan spasial yang terjadi antardaerah dalam Provinsi Banten.
Latar Belakang
Isu ketahanan pangan bukan sekadar soal ketersediaan beras atau kecukupan kalori, melainkan menyangkut hak fundamental setiap warga untuk memperoleh akses terhadap pangan yang bergizi, aman, dan terjangkau secara berkelanjutan. Di tengah kompleksitas tantangan global seperti perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, konversi lahan pertanian, hingga pandemi, ketahanan pangan menjadi indikator utama kesejahteraan dan stabilitas sosial suatu wilayah.
Provinsi Banten sebagai daerah strategis dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan urbanisasi yang cepat menghadapi tantangan tersendiri dalam menjaga ketahanan pangan. Wilayah ini memiliki profil geografis yang beragam—dari kawasan pesisir, pegunungan, hingga urban-industrial. Kondisi ini menciptakan ketimpangan akses dan pemanfaatan pangan antarwilayah, yang berimplikasi pada meningkatnya angka stunting, rendahnya pendidikan gizi, serta ketergantungan pada distribusi pangan dari luar daerah.
Untuk itu, penting adanya pemetaan dan analisis berbasis data spasial guna memahami situasi riil ketahanan pangan di setiap kabupaten/kota di Provinsi Banten. Paper yang ditulis oleh Yeni Budiawati dan Ronnie S. Natawidjaja ini hadir untuk menjawab kebutuhan tersebut, dengan membandingkan dua sumber utama data indikator ketahanan pangan: FSVA (Food Security and Vulnerability Atlas) tahun 2018 dan penelitian oleh Setiawan et al. (2017). Penelitian ini tidak hanya mengukur level kerawanan pangan, tetapi juga memetakan wilayah prioritas intervensi dan menyusun dasar kebijakan berbasis bukti yang lebih kontekstual.
Kerangka Analisis Ketahanan Pangan
Apa Itu Ketahanan Pangan?
Merujuk pada UU No. 18 Tahun 2012, ketahanan pangan tidak hanya berarti tersedianya pangan dalam jumlah dan mutu yang cukup, tetapi juga menekankan pada aksesibilitas individu terhadap pangan yang aman, bergizi, dan terjangkau. Berdasarkan Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) dan konsep dari World Food Programme (WFP), ketahanan pangan ditentukan oleh tiga pilar utama:
Ketersediaan pangan (food availability),
Akses pangan (food access), dan
Pemanfaatan pangan (food utilization).
FSVA memperluasnya dengan memasukkan kerentanan terhadap pangan transien, seperti bencana alam, deforestasi, hingga fluktuasi curah hujan.
Metodologi dan Pendekatan Perbandingan
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-komparatif dengan membandingkan Peta FSVA tahun 2018 yang mencakup 9 indikator dengan penelitian Deby Eryani Setiawan et al. yang menggunakan 6 indikator. Fokus utama adalah menganalisis persebaran ketahanan pangan serta indikator-indikator kritis yang memengaruhi ketahanan tersebut pada level kabupaten/kota di Banten.
Temuan Utama dan Analisis Mendalam
1. Rasio Konsumsi vs Ketersediaan Pangan
Menurut FSVA, wilayah Banten terbagi menjadi tiga zona:
Surplus tinggi (barat),
Surplus sedang (timur),
Surplus rendah (utara).
Analisis:
Meski secara keseluruhan surplus, pola ini mengindikasikan ketimpangan distribusi. Surplus tidak otomatis menjamin keamanan pangan di level rumah tangga karena keterbatasan akses dan distribusi logistik.
2. Stunting dan Gizi Buruk
Stunting mencapai 30-39% (FSVA), bahkan >40% (Setiawan et al.). Gizi buruk juga signifikan di beberapa kecamatan.
Analisis:
Ini adalah indikator paling mengkhawatirkan. Tingginya angka stunting dan gizi buruk menunjukkan permasalahan sistemik dalam pemanfaatan pangan dan akses gizi berkualitas. Wilayah seperti Kabupaten Pandeglang mencatat angka stunting sebesar 37,8%—salah satu yang tertinggi di Indonesia.
3. Akses terhadap Air Bersih dan Listrik
Sebagian besar rumah tangga di wilayah selatan tidak memiliki akses air bersih (60–70%).
Akses listrik membaik, tetapi masih ada wilayah tanpa sambungan (Level <10%).
Analisis:
Ketiadaan air bersih memperparah masalah gizi dan kesehatan. Listrik berpengaruh pada penyimpanan makanan dan akses terhadap informasi pangan.
4. Lama Sekolah Perempuan
Sebagian besar perempuan di atas usia 15 tahun hanya menempuh pendidikan 6–8,5 tahun. Hal ini tergolong rendah dan menjadi indikator penting dalam pemanfaatan pangan.
Analisis:
Edukasi perempuan sangat penting dalam pola konsumsi rumah tangga, pemilihan makanan sehat, dan pengasuhan anak. Daerah dengan tingkat pendidikan rendah lebih berisiko mengalami kerentanan pangan.
5. Proporsi Pengeluaran untuk Pangan
Sebagian besar rumah tangga menghabiskan 30–40% pendapatannya untuk makanan. Angka ini cukup tinggi dan menunjukkan keterbatasan ekonomi masyarakat.
Analisis:
Semakin besar proporsi pengeluaran untuk makanan, semakin sedikit dana untuk pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan penting lainnya. Ini memperkuat lingkaran setan kemiskinan dan rawan pangan.
6. Angka Harapan Hidup dan Rasio Tenaga Kesehatan
Angka harapan hidup 64–70 tahun.
Rasio tenaga kesehatan <5 per wilayah (baik).
Analisis:
Indikator ini tergolong positif dan mencerminkan perkembangan layanan dasar. Namun, tidak boleh mengaburkan fakta bahwa aspek lain seperti stunting masih menjadi masalah besar.
Ketimpangan Wilayah: Kota vs Kabupaten
Indeks Ketahanan Pangan (IKP) menunjukkan disparitas antarwilayah:
Kota Serang memiliki skor IKP terendah: 59,16 (kategori rawan pangan).
Kota Tangerang Selatan memiliki skor tertinggi: 83,33 (kategori sangat tahan pangan).
Analisis:
Kota besar umumnya memiliki infrastruktur dan akses pasar yang lebih baik, sedangkan daerah seperti Serang dan Pandeglang masih tertinggal secara struktural dan sosial. Hal ini membutuhkan pendekatan yang lebih kontekstual dan kebijakan yang tidak seragam (tailored policy).
Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi
Fokus pada Intervensi Gizi Anak
Prioritaskan pemberantasan stunting dan gizi buruk melalui program pangan bergizi di sekolah dan posyandu.
Pembangunan Infrastruktur Dasar
Perluasan jaringan air bersih dan listrik ke wilayah perdesaan harus menjadi prioritas.
Edukasi dan Pemberdayaan Perempuan
Program literasi dan pelatihan gizi untuk ibu rumah tangga bisa berdampak signifikan pada ketahanan pangan keluarga.
Distribusi Pangan Berkeadilan
Sistem distribusi pangan perlu ditata ulang agar surplus pangan di satu wilayah dapat menutupi kekurangan di wilayah lain secara efisien.
Pemanfaatan Data Spasial
Data FSVA dan pemetaan spasial bisa digunakan secara aktif oleh pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan berbasis bukti.
Kritik dan Perbandingan dengan Studi Lain
Dibandingkan dengan studi serupa di Sulawesi Utara (Purwantini et al., 2002), ditemukan pola serupa: surplus pangan di level regional tidak menjamin keamanan pangan di level rumah tangga. Hal ini menunjukkan pentingnya memperhatikan akses dan pemanfaatan, bukan hanya produksi.
Kesimpulan
Studi ini memberikan wawasan kritis bahwa meskipun Provinsi Banten secara umum masuk dalam kategori "tahan pangan" berdasarkan peta FSVA, namun masih terdapat disparitas signifikan antarwilayah dan indikator. Ketahanan pangan harus dilihat secara menyeluruh: dari ketersediaan, akses, hingga pemanfaatan. Fokus intervensi tidak hanya pada kuantitas produksi tetapi juga kualitas konsumsi dan distribusi yang merata.
Sumber
Yeni Budiawati dan Ronnie S. Natawidjaja. Situasi dan Gambaran Ketahanan Pangan di Provinsi Banten Berdasarkan Peta FSVA dan Indikator Ketahanan Pangan. Jurnal Agribisnis Terpadu, Vol. 13 No. 2, Desember 2020. ISSN 1979-4991.
Arsitektur Berbasis Kearifan Lokal
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 21 Mei 2025
Pendahuluan
Ketika industri pariwisata berkembang pesat, muncul kebutuhan mendesak untuk mengintegrasikan nilai-nilai lokal dalam perencanaan kawasan wisata. Artikel karya Michella Elizabeth Reifiana ini mengambil langkah strategis dengan menghadirkan pendekatan arsitektur tradisional Sunda dalam perencanaan Tanjung Lesung Eco Resort di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Pendekatan ini tidak hanya menawarkan diferensiasi estetika, tetapi juga membangun identitas kultural yang otentik.
Resensi ini bertujuan untuk menelaah kontribusi paper secara menyeluruh, mengupas pendekatan desain yang digunakan, relevansinya terhadap isu lingkungan dan budaya, serta menilai efektivitas konsep dalam menjawab kebutuhan wisata berkelanjutan masa kini.
Latar Belakang: Konteks Lokal dan Arsitektur Tradisional
Tanjung Lesung telah ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) pariwisata berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2012. Wilayah ini memiliki kekayaan ekosistem pesisir, potensi budaya, dan lokasi strategis di Selat Sunda. Namun, pengembangan wisata di kawasan ini masih menghadapi tantangan seperti belum optimalnya infrastruktur, kurangnya konsep berbasis lokal, serta kebutuhan akan pariwisata berkelanjutan.
Dalam konteks ini, pendekatan arsitektur tradisional Sunda menjadi jawaban kreatif terhadap kebutuhan fungsional, ekologis, sekaligus pelestarian nilai-nilai lokal. Paper ini memperlihatkan bahwa tradisi bukan sekadar warisan, melainkan sumber inspirasi desain yang hidup.
Tujuan dan Metodologi Perancangan
Tujuan utama penelitian ini adalah merancang kawasan eco resort yang harmonis dengan lingkungan dan budaya lokal. Penulis menggunakan pendekatan arsitektural yang responsif terhadap alam (ekologis), sosial (budaya), dan ekonomi (daya tarik wisata).
Metode perancangan dilakukan dengan beberapa tahapan:
Studi literatur arsitektur Sunda
Analisis tapak dan potensi lahan
Pengumpulan data primer dan sekunder
Perancangan makro dan mikro ruang
Penyesuaian bentuk dan material bangunan
Rancangan yang dihasilkan adalah sebuah eco resort dengan karakter lokal kuat, namun tetap memenuhi kenyamanan dan standar internasional.
Analisis Tapak dan Konsep Zonasi
Penulis menyajikan peta analisis tapak yang komprehensif, mempertimbangkan aspek:
Arah angin dan cahaya matahari
Kontur tanah dan potensi banjir
Vegetasi lokal dan konservasi
Aksesibilitas dan konektivitas jalan
Dari hasil analisis, kawasan dibagi menjadi beberapa zona:
Zona Penginapan (Villa dan Bungalow): Mengadopsi bentuk rumah panggung dan material kayu lokal.
Zona Publik (Restoran, Galeri, Pusat Kebudayaan): Menonjolkan atap pelana dan elemen terbuka khas Sunda.
Zona Konservasi dan Edukasi: Untuk mendukung wisata alam dan pelestarian lingkungan.
Zona Komersial dan Servis: Dirancang seminimal mungkin untuk menjaga harmoni kawasan.
Konsep zonasi ini mencerminkan prinsip-prinsip keberlanjutan (sustainable development) dan keharmonisan spasial yang menjadi fondasi arsitektur Nusantara.
Arsitektur Sunda: Implementasi Konsep Lokal
Paper ini tidak hanya menampilkan elemen arsitektur Sunda secara visual, tapi juga menyerap nilai-nilai filosofisnya, seperti:
Tri Tangtu di Buana: Konsep pembagian ruang menjadi buana nyungcung (atas), buana tengah, dan buana larang (bawah).
Tatali Paranti Karuhun: Prinsip menghormati leluhur yang diterjemahkan dalam struktur dan ornamen bangunan.
Material alami: Pemanfaatan bambu, kayu, ijuk, dan batu lokal sebagai bahan utama.
Dalam penggambaran denah dan tampak bangunan, penggunaan atap tinggi, ventilasi silang, dan ruang terbuka menunjukkan kesadaran ekologis dalam desain.
Keberlanjutan dan Efisiensi Energi
Salah satu kekuatan utama dari perancangan ini adalah komitmen terhadap prinsip ramah lingkungan:
Desain pasif untuk penghematan energi (ventilasi alami, pencahayaan maksimal).
Pengelolaan air limbah dengan sistem biopori dan daur ulang air.
Konservasi vegetasi asli di sekitar bangunan tanpa eksploitasi berlebihan.
Konsep bangunan modular yang mempermudah perluasan tanpa merusak lingkungan.
Langkah-langkah ini memperlihatkan bahwa pembangunan wisata tidak harus merusak alam, justru bisa menjadi bagian dari pelestariannya.
Studi Banding: Praktik Serupa di Destinasi Lain
Sebagai perbandingan, konsep serupa juga diterapkan di beberapa destinasi unggulan seperti:
Ubud, Bali dengan villa bernuansa tradisional Bali dan sistem irigasi subak.
Desa Wisata Nglanggeran, Yogyakarta yang berbasis komunitas dan konservasi alam.
Green Village Bali yang sepenuhnya menggunakan bambu sebagai material utama.
Namun, perbedaan mencolok dari perancangan Tanjung Lesung adalah fokus kuat pada identitas Sunda, yang relatif jarang diangkat dalam industri pariwisata arsitektural nasional.
Kelebihan dan Kritik
Kelebihan:
Kuatnya narasi lokalitas dalam desain, bukan sekadar dekoratif.
Keseimbangan antara estetika dan fungsi dalam penataan ruang.
Pendekatan ekologis yang konkret, bukan sekadar jargon.
Potensi edukatif terhadap pengunjung mengenai budaya Sunda.
Kritik:
Belum cukup penekanan pada keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaan.
Perlu kajian keberlanjutan finansial jangka panjang jika ingin direalisasikan secara nyata.
Kurang dibahas potensi mitigasi terhadap bencana alam seperti tsunami atau gempa yang menjadi risiko kawasan pesisir Banten.
Dampak dan Implikasi Nyata
Jika direalisasikan, rancangan ini tidak hanya menjadi destinasi wisata, tetapi juga bisa berfungsi sebagai:
Model desain arsitektur lokal kontemporer yang bisa direplikasi.
Sarana pelestarian budaya Sunda dalam wujud fisik dan pengalaman wisata.
Simbol pariwisata hijau yang bisa mendorong daya saing KEK Tanjung Lesung secara global.
Dalam jangka panjang, pendekatan semacam ini juga berpotensi mendukung green investment dan memperluas peluang kerja masyarakat sekitar.
Kesimpulan
Paper karya Michella Elizabeth Reifiana ini berhasil membuktikan bahwa pendekatan arsitektur tradisional Sunda bukanlah hambatan modernisasi, melainkan solusi autentik untuk pariwisata berkelanjutan. Melalui riset tapak yang cermat, desain ruang yang kontekstual, serta komitmen pada pelestarian budaya dan lingkungan, rancangan Tanjung Lesung Eco Resort memberikan blueprint konkret untuk pengembangan wisata lokal yang berkelas dunia.
Penelitian ini memperkaya wacana arsitektur Indonesia kontemporer dan menginspirasi pendekatan serupa di wilayah lain. Kelemahan minor yang ada tidak menutupi kualitas metodologis dan inovatif dari studi ini.
Sumber
Reifiana, Michella Elizabeth. Perencanaan dan Perancangan Tanjung Lesung Eco Resort Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten dengan Pendekatan Arsitektur Tradisional Sunda.