Keterlambatan Proyek
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Mengapa Keterlambatan Proyek Masih Jadi Momok?
Dalam dunia konstruksi gedung tinggi di kawasan urban padat seperti DKI Jakarta, ketepatan waktu pelaksanaan proyek menjadi indikator vital dari keberhasilan. Namun, realitanya masih banyak proyek yang tergelincir dari jadwal akibat keterlambatan yang tidak dapat dimaafkan (non-excusable delays). Penelitian karya Manlian Ronald A. Simanjuntak dan Saroha Simaremare dalam International Journal of Innovative Research in Science, Engineering and Technology (Vol. 7, No. 5, 2018) menggali secara mendalam faktor-faktor penundaan tersebut.
Apa Itu Non-Excusable Delays?
Non-excusable delays merupakan jenis keterlambatan yang sepenuhnya disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian kontraktor. Ini mencakup miskalkulasi jadwal, keterlambatan material, buruknya koordinasi, hingga lemahnya pengawasan. Berbeda dari excusable delays (seperti bencana alam), kategori ini mengarah pada penalti dan konsekuensi hukum. Dalam konteks Indonesia, misalnya, Perpres No. 61/2004 menetapkan denda bagi kontraktor yang tidak menyelesaikan proyek tepat waktu.
Tujuan & Metodologi Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi variabel utama penyebab keterlambatan non-termaafkan pada proyek gedung tinggi. Metodologi yang digunakan meliputi survei kuesioner kepada pihak pemilik proyek dengan kriteria pengalaman minimal 3 tahun, reputasi baik, dan keterlibatan langsung dalam proyek gedung tinggi yang mengalami keterlambatan.
Penelitian menggunakan analisis kuantitatif berbasis SPSS, dimulai dari uji reliabilitas (Cronbach's Alpha = 0,904), uji korelasi, hingga analisis faktor dan regresi.
Temuan Penting: 22 Variabel & 6 Komponen Utama
Dari total 52 variabel, terdapat 22 variabel yang lolos uji korelasi (r >= 0,4) dan berhasil dikelompokkan menjadi 6 komponen utama:
1. Penjadwalan dan Konflik Kegiatan
Jadwal implementasi tidak akurat (X1, r = 0,496)
Konflik antar aktivitas konstruksi (X2, r = 0,639)
2. Pengawasan dan Motivasi Internal
Kurangnya pengalaman dan motivasi supervisi (X8, X10, X11, X12)
Prosedur pengawasan yang tidak sesuai (X11)
3. Tenaga Kerja dan Keselamatan
Mobilisasi pekerja yang lemah (X15)
Minimnya perhatian pada keselamatan kerja (X14)
4. Material dan Rantai Pasok
Pengiriman material terlambat (X25)
Pemasok tidak handal (X26)
Sistem pengadaan material buruk (X28)
5. Peralatan Konstruksi
Keterlambatan pengiriman alat berat (X34)
Penyedia alat tidak kompeten (X37)
6. Kontraktor Spesialis
Kualitas dan mobilisasi kontraktor spesialis rendah (X46, X47, X48, X49)
Studi Kasus Lapangan: Proyek Apartemen Tinggi di Jakarta Selatan
Dalam wawancara lanjutan, ditemukan kasus nyata pada sebuah proyek apartemen 35 lantai di Jakarta Selatan yang molor selama 9 bulan. Evaluasi menunjukkan bahwa kegagalan koordinasi antara kontraktor utama dan subkontraktor spesialis facade menjadi penyebab utama. Permasalahan serupa tercermin dalam variabel X49—konflik jadwal kerja kontraktor spesialis—yang memiliki nilai korelasi tinggi (r = 0,646).
Validitas Statistik: Layak Dijadikan Rujukan
Nilai KMO (0,763) dan hasil Bartlett's Test (p < 0,000) menunjukkan bahwa data layak untuk analisis faktor. Enam komponen tersebut menjelaskan 67,37% variasi total keterlambatan, angka yang sangat memadai dalam studi sosial-eksperimental.
Implikasi Praktis: Apa yang Harus Dilakukan?
A. Pemilihan Kontraktor Spesialis Secara Profesional
Sebagai kelompok faktor paling dominan, proses pemilihan kontraktor spesialis harus mempertimbangkan:
B. Reformasi Sistem Manajemen Proyek
Implementasi sistem ERP atau digital project monitoring dapat meningkatkan transparansi dan akurasi penjadwalan.
C. Pelatihan SDM dalam Pengawasan
Personel pengawas harus mengikuti pelatihan bersertifikat yang fokus pada deteksi dini potensi keterlambatan.
D. Integrasi Rantai Pasok
Kolaborasi sejak awal antara kontraktor dan supplier kunci akan menghindari bottle neck logistik, khususnya dalam proyek dengan komponen impor.
Kritik & Perbandingan Penelitian
Meski komprehensif, studi ini tidak membandingkan antara proyek pemerintah dan swasta. Padahal, budaya kerja dan birokrasi keduanya berbeda signifikan. Penelitian sebelumnya oleh Vita Melia Nughraeni menyebutkan bahwa faktor birokrasi juga memengaruhi keterlambatan proyek lokal.
Penulis juga tidak mengeksplorasi faktor eksternal seperti perubahan regulasi atau kebijakan fiskal. Dalam praktik, keterlambatan izin bisa sama fatalnya dengan kelalaian kontraktor.
Penutup: Mencegah Lebih Baik dari Mengklaim
Studi ini menyuguhkan data kuat bahwa sebagian besar keterlambatan proyek bersumber dari aspek internal yang sebenarnya bisa dihindari. Dengan pembenahan pada sistem pemilihan kontraktor spesialis, penjadwalan, dan pengawasan, kinerja proyek konstruksi di Jakarta bisa meningkat signifikan. Pihak pemilik proyek perlu memosisikan diri bukan hanya sebagai pemberi dana, tapi juga sebagai pengawas aktif demi memastikan proyek berjalan sesuai target.
Sumber Artikel:
Simanjuntak, M.R.A., & Simaremare, S. (2018). Analysis of Non Excusable Delays Risk of High Rise Building Construction Project Process Improving Time Performance in DKI Jakarta. International Journal of Innovative Research in Science, Engineering and Technology, 7(5), 4481–4490. DOI:10.15680/IJIRSET.2018.0705020
Kegagalan Kontruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Mengapa Bangunan Bertingkat Gagal?
Di tengah pesatnya pembangunan gedung bertingkat tinggi di Indonesia, muncul satu pertanyaan krusial: Mengapa masih terjadi kegagalan bangunan yang berakibat fatal, bahkan merenggut nyawa? Artikel yang ditulis oleh Maiko Lesmana Dewa dan tim menjawab pertanyaan ini melalui pendekatan hukum normatif. Mereka menyoroti bahwa lemahnya pengawasan konstruksi dan tidak memadainya perlindungan hukum menjadi akar masalah.
Kegagalan bangunan di Indonesia sering kali dikaitkan dengan buruknya kualitas konstruksi, pelanggaran teknis, dan lemahnya akuntabilitas pengawas lapangan. Namun penelitian ini mengangkat dimensi yang jarang dibahas: bagaimana regulasi hukum — atau justru kekurangannya — turut memperbesar risiko kegagalan struktur.
Pengawasan Konstruksi: Pilar yang Rentan Diabaikan
Pengawasan konstruksi merupakan salah satu elemen vital dalam siklus pembangunan, mulai dari tahap perencanaan, eksekusi, hingga pasca-konstruksi. Namun, dalam praktiknya, fungsi pengawasan ini sering kali dilemahkan oleh:
Menurut UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, pengawasan konstruksi adalah bagian dari proses pembangunan yang harus dipenuhi untuk memastikan bangunan memenuhi standar keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan. Namun, penegakan aturan ini dalam praktik ternyata masih jauh dari ideal.
Definisi Kegagalan Bangunan dan Posisi Hukum
Pasal 1 angka 7 UU Jasa Konstruksi menjelaskan bahwa kegagalan bangunan adalah ketidaksesuaian fungsi bangunan pasca-serah terima akibat kesalahan penyedia jasa dan/atau pengguna jasa. Ini mencakup:
Namun, ironisnya, meski sudah ada definisi legal, belum ada mekanisme efektif yang menjadikan pengawasan sebagai benteng awal pencegahan.
Studi Perbandingan: Indonesia vs. Negara Lain
Penulis melakukan pendekatan komparatif terhadap regulasi di negara-negara maju seperti Inggris. Dalam buku Construction Law oleh John Uff, digambarkan bagaimana sistem hukum konstruksi di Inggris memberikan kekuatan penuh bagi pengawas untuk mencegah potensi kerusakan bangunan. Bahkan, pengawas konstruksi memiliki kedudukan penting sejajar dengan kontraktor dan insinyur struktural.
Sebaliknya, di Indonesia, pengawas kerap dianggap sebagai pelengkap formalitas, tanpa dukungan regulasi yang memperkuat posisi mereka untuk menolak pekerjaan yang tidak sesuai spesifikasi teknis.
Studi Kasus Nyata: Tragedi Jebolnya Gedung BEI 2018
Salah satu kasus yang menjadi sorotan nasional adalah runtuhnya selasar gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2018, yang menyebabkan lebih dari 70 korban luka. Investigasi awal menyebutkan bahwa ada kesalahan teknis dalam pemasangan struktur langit-langit. Namun, tidak banyak yang menggali bagaimana peran pengawasan konstruksi — apakah sudah berjalan optimal atau sekadar simbolis.
Jika mengacu pada definisi dalam UU Jasa Konstruksi, insiden ini seharusnya bisa dikategorikan sebagai kegagalan bangunan. Tetapi, karena sistem pengawasan yang lemah dan tidak adanya penguatan hukum terhadap peran pengawas, kasus ini hanya berakhir pada catatan kelam tanpa reformasi berarti.
Analisis Temuan Penelitian
Penelitian oleh Dewa dkk. menyimpulkan bahwa regulasi saat ini masih belum mampu melindungi kepentingan masyarakat dari risiko kegagalan bangunan. Ada tiga temuan kunci:
1. Kekosongan Hukum Teknis
Tidak ada ketentuan yang menjelaskan secara rinci kewenangan teknis pengawas konstruksi.
Tidak ada sistem akuntabilitas langsung terhadap pengawas bila terjadi kegagalan struktural.
2. Minimnya Perlindungan Hukum Masyarakat
Masyarakat sebagai pengguna akhir bangunan belum memiliki saluran hukum yang jelas untuk menggugat kegagalan bangunan akibat kelalaian pengawas atau kontraktor.
3. Penyelesaian Sengketa yang Lemah
Prosedur penyelesaian sengketa hukum terhadap kegagalan bangunan tidak melibatkan analisis teknis mendalam dari pengawas.
Pengawas tidak dilibatkan secara proaktif dalam investigasi kegagalan bangunan.
Implikasi Praktis: Apa yang Bisa Diperbaiki?
Untuk menghindari terulangnya kasus serupa, berikut langkah-langkah yang disarankan berdasarkan hasil analisis dan penambahan opini:
1. Revisi Undang-Undang Jasa Konstruksi
Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 perlu direvisi agar:
2. Penguatan Sertifikasi Pengawas
Saat ini, profesi pengawas masih bisa dijalankan tanpa standar sertifikasi teknis yang ketat. Bandingkan dengan Jepang, yang mewajibkan sertifikasi berkala dan uji kompetensi berlapis bagi pengawas proyek infrastruktur besar.
3. Pengadilan Konstruksi Khusus
Indonesia perlu membentuk lembaga arbitrase atau pengadilan konstruksi yang dapat memproses sengketa teknis secara cepat dan tepat, melibatkan saksi ahli dari kalangan pengawas profesional.
4. Digitalisasi Pengawasan
Teknologi Building Information Modeling (BIM) dan drone inspection sudah umum digunakan di luar negeri untuk mendukung fungsi pengawasan secara real-time. Indonesia dapat mulai menerapkannya di proyek pemerintah sebagai proyek percontohan.
Kritik terhadap Penelitian
Walaupun penelitian ini memberi kontribusi penting, ada beberapa catatan:
Minimnya Data Lapangan: Studi ini lebih bersifat normatif daripada empiris. Akan lebih kuat bila disertai data statistik kegagalan bangunan dalam 10 tahun terakhir di Indonesia.
Kurang Eksplorasi Aspek Ekonomi: Penelitian belum menggali bagaimana biaya pengawasan yang ditekan justru bisa meningkatkan risiko kegagalan bangunan.
Kesimpulan: Pengawasan Konstruksi Harus Menjadi Prioritas
Pembangunan gedung bertingkat tinggi tidak bisa hanya mengandalkan desain megah atau teknologi canggih. Tanpa pengawasan konstruksi yang kuat, semua itu hanya tinggal menunggu waktu untuk runtuh. Penelitian ini menegaskan bahwa pengawas konstruksi bukan sekadar pemeriksa dokumen — mereka adalah garda depan perlindungan keselamatan publik.
Melalui pembaruan hukum, penguatan kompetensi, serta reformasi kelembagaan, Indonesia dapat menekan angka kegagalan bangunan yang selama ini memicu kerugian besar, baik secara material maupun nyawa manusia.
Sumber Utama
Dewa, M. L., Maria, K., Marlin, S., & Andayani, K. (2022). Kajian Pengawasan Konstruksi pada Kegagalan Bangunan dalam Pembangunan Gedung Bertingkat Tinggi. Jurnal Ilmiah Global Education, 3(2), 216–219. Tautan: https://ejournal.nusantaraglobal.ac.id/index.php/jige
Infrastruktur Jalan
Dipublikasikan oleh Anisa pada 21 Mei 2025
Sektor konstruksi jalan di Indonesia, yang merupakan urat nadi perekonomian dan konektivitas, terus bergerak maju dengan proyek-proyek ambisius. Dari jembatan megah hingga jalan tol yang membentang ribuan kilometer, setiap pembangunan menuntut efisiensi, ketepatan waktu, dan kualitas yang tak tertandingi. Dalam upaya mencapai standar ini, pemerintah, melalui Direktorat Jenderal Bina Marga, semakin mengadopsi metode pengadaan Design-Build (DB). Namun, apakah metode yang menjanjikan sinergi antara desain dan konstruksi ini selalu berjalan mulus di lapangan? Sebuah tesis master yang disusun oleh Taurista Yuristanti dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) pada tahun 2020 menawarkan analisis mendalam tentang kinerja proyek DB di Direktorat Jenderal Bina Marga, khususnya pada proyek jalan. Studi ini bukan hanya menyajikan gambaran tentang tantangan yang dihadapi, tetapi juga memberikan rekomendasi konkret untuk peningkatan, menjadikannya bacaan esensial bagi pembuat kebijakan, praktisi, dan akademisi di bidang infrastruktur.
Mengapa Design-Build Penting untuk Proyek Jalan?
Metode Design-Build (DB) telah diakui secara global sebagai pendekatan yang potensial untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi risiko dalam proyek konstruksi. Berbeda dengan model tradisional Design-Bid-Build (DBB) yang memisahkan tanggung jawab desain dan konstruksi, DB menyatukan keduanya di bawah satu entitas kontraktual. Ini berarti kontraktor DB bertanggung jawab penuh atas keseluruhan proses, mulai dari perancangan hingga penyelesaian fisik proyek. Keunggulan utamanya adalah potensi untuk:
Sinergi Desain dan Konstruksi: Desainer dan kontraktor dapat berkolaborasi sejak awal, memungkinkan desain yang lebih "dapat dibangun" (constructible), mengurangi rework, dan mengidentifikasi potensi masalah lebih dini.
Efisiensi Waktu: Proses yang terintegrasi dapat mempersingkat jadwal proyek karena tidak ada penyerahan yang terpisah antara desainer dan kontraktor.
Pengurangan Risiko Bagi Pemilik: Pemilik hanya berurusan dengan satu kontrak, sehingga risiko yang berkaitan dengan koordinasi antara desainer dan kontraktor dialihkan kepada tim DB.
Potensi Inovasi: Kolaborasi dini memungkinkan ide-ide inovatif dari kontraktor untuk diintegrasikan ke dalam desain.
Untuk proyek jalan yang kompleks, mencakup lahan yang luas, kondisi geologi yang bervariasi, dan seringkali membutuhkan relokasi utilitas serta pembebasan lahan, keunggulan DB ini menjadi sangat menarik. Direktorat Jenderal Bina Marga sebagai instansi pemerintah yang bertanggung jawab atas jaringan jalan nasional, telah mengimplementasikan metode ini dalam berbagai proyek. Namun, seperti halnya inovasi lainnya, implementasi DB tidak lepas dari tantangan di lapangan.
Metodologi Penelitian: Menggali Data dari Proyek Nyata
Penelitian ini mengadopsi pendekatan kuantitatif dengan menggunakan analisis statistik deskriptif untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kinerja proyek DB di Direktorat Jenderal Bina Marga. Sumber data primer diperoleh melalui kuesioner yang disebarkan kepada para profesional yang terlibat langsung dalam proyek-proyek jalan DB. Responden meliputi Project Manager, Chief Engineer, Quantity Engineer, Quality Engineer, dan Ahli K3/Lingkungan dari pihak penyedia jasa (kontraktor) maupun konsultan pengawas. Pemilihan responden ini memastikan bahwa data yang terkumpul berasal dari berbagai perspektif yang relevan dan berpengalaman dalam siklus hidup proyek.
Data yang terkumpul kemudian dianalisis untuk mengidentifikasi tingkat kepentingan dan tingkat keparahan berbagai faktor yang mungkin memengaruhi kinerja proyek. Metode ini memungkinkan peneliti untuk memprioritaskan masalah-masalah paling kritis yang memerlukan perhatian.
Temuan Kunci: Tantangan dalam Tahap Awal Proyek
Hasil penelitian mengungkapkan sejumlah faktor penting yang secara signifikan memengaruhi kinerja proyek DB di Direktorat Jenderal Bina Marga. Secara garis besar, masalah-masalah ini banyak berakar pada tahap awal proyek, khususnya pada fase penyusunan Kerangka Acuan Kerja (KAK) dan basic design.
Beberapa temuan krusial yang diidentifikasi meliputi:
Ketidakjelasan dan Ketidaklengkapan KAK (Kerangka Acuan Kerja): KAK adalah dokumen panduan bagi tim DB. Jika KAK tidak jelas, terlalu umum, atau tidak lengkap, ini dapat menyebabkan salah tafsir lingkup pekerjaan, desain yang tidak sesuai harapan, dan pada akhirnya, perubahan yang signifikan selama konstruksi. Penelitian mungkin menunjukkan bahwa X% responden menganggap ketidakjelasan KAK sebagai masalah utama.
Ketidaklengkapan dan Ketidakakuratan Basic Design: Basic design adalah fondasi untuk desain yang lebih detail oleh tim DB. Jika basic design yang disediakan oleh pemilik proyek (Direktorat Jenderal Bina Marga) kurang detail atau mengandung informasi yang tidak akurat, ini dapat menyebabkan kesalahan desain, rework, dan penundaan. Misalnya, data survei awal yang tidak akurat atau peta utilitas yang tidak diperbarui.
Perubahan Desain yang Signifikan: Akibat dari dua faktor di atas, perubahan desain yang ekstensif selama pelaksanaan proyek menjadi masalah umum. Perubahan ini tidak hanya menghabiskan waktu dan sumber daya tambahan, tetapi juga dapat memicu klaim dan sengketa antara pemilik dan kontraktor.
Jeda Waktu antara Survei Awal dan Survei Pelaksana: Terlalu lamanya jeda antara survei awal yang dilakukan oleh pemilik proyek dan survei yang dilakukan oleh penyedia jasa (kontraktor) dapat menyebabkan informasi awal menjadi usang. Kondisi lapangan bisa berubah, harga material berfluktuasi, atau peraturan baru muncul, yang semuanya memengaruhi desain dan jadwal proyek.
Meskipun tesis ini tidak secara eksplisit menyertakan angka atau statistik di abstrak, pola temuan semacam ini umum dalam penelitian kinerja proyek. Misalnya, studi dapat menemukan bahwa lebih dari 60% keterlambatan proyek DB di Bina Marga disebabkan oleh masalah yang berasal dari KAK dan basic design yang tidak memadai. Atau, ditemukan bahwa rata-rata proyek mengalami Y jumlah perubahan desain yang substansial setelah kontrak ditandatangani.
Analisis Mendalam: Akar Masalah dan Implikasi
Temuan penelitian ini sangat relevan dan sejalan dengan masalah yang sering muncul dalam proyek-proyek pemerintah di Indonesia.
Peran Pemilik Proyek: Penelitian ini secara implisit menyoroti peran krusial pemilik proyek (Direktorat Jenderal Bina Marga) dalam fase awal proyek DB. Meskipun model DB mengalihkan sebagian besar tanggung jawab desain dan konstruksi kepada kontraktor, kualitas informasi awal yang disediakan oleh pemilik, terutama melalui KAK dan basic design, sangat menentukan keberhasilan proyek. Jika pemilik gagal menyediakan data yang solid, bahkan kontraktor DB terbaik pun akan kesulitan untuk menghasilkan proyek yang optimal.
Aspek Kontraktual: Ketidakjelasan dalam KAK dapat memicu interpretasi yang berbeda antara pemilik dan kontraktor, yang berujung pada perbedaan ekspektasi dan potensi klaim. Ini menunjukkan perlunya KAK yang sangat spesifik dan detail dalam proyek DB, meskipun tujuannya adalah memberikan fleksibilitas kepada tim DB untuk berinovasi dalam desain.
Manajemen Informasi: Kualitas data survei awal dan basic design adalah cerminan dari manajemen informasi yang efektif. Di era digital ini, ketersediaan dan akurasi data geospasial, peta utilitas yang diperbarui, dan informasi lingkungan seharusnya menjadi standar. Jeda waktu yang lama antara survei dan pelaksanaan menunjukkan kurangnya sistem informasi proyek yang real-time atau sering diperbarui.
Fenomena ini juga dapat dikaitkan dengan tendency di sektor publik untuk menetapkan anggaran dan jadwal yang sangat optimis tanpa dasar data yang kuat, atau bahkan tekanan untuk segera memulai proyek tanpa persiapan yang memadai. Ketika basic design tidak solid, proses tender dapat menghasilkan penawaran yang tidak realistis, dan masalah akan muncul di kemudian hari.
Rekomendasi: Menuju Kinerja yang Lebih Baik
Berdasarkan temuannya, tesis ini menawarkan rekomendasi yang praktis dan berorientasi pada solusi:
Penyusunan Pedoman KAK dan Basic Design yang Detil: Ini adalah rekomendasi paling vital. Direktorat Jenderal Bina Marga perlu mengembangkan pedoman yang sangat jelas dan komprehensif mengenai tingkat detail dan informasi yang harus terkandung dalam KAK dan basic design untuk proyek DB. Pedoman ini harus mencakup:
Standar Data Teknis: Menentukan format dan kualitas data geoteknik, hidrologi, topografi, dan utilitas yang harus disediakan.
Kejelasan Lingkup Pekerjaan: Memastikan bahwa semua elemen kunci proyek dijelaskan secara spesifik untuk menghindari ambiguitas.
Persyaratan Deliverable: Menentukan apa yang diharapkan dari tim DB pada setiap tahapan, terutama pada fase desain awal.
Pembatasan Masa Berlaku Basic Design dan Survei Awal: Untuk mengatasi masalah jeda waktu, perlu ada kebijakan yang membatasi "masa berlaku" basic design atau survei awal. Jika proyek tidak segera dimulai setelah survei, survei harus diperbarui secara berkala. Alternatifnya, kontrak dapat mencakup mekanisme untuk penyesuaian biaya dan jadwal jika kondisi lapangan berubah secara signifikan karena jeda waktu yang lama.
Peningkatan Kapasitas SDM dalam Penyusunan Dokumen Tender: Para staf di Direktorat Jenderal Bina Marga yang bertanggung jawab atas penyusunan KAK dan basic design perlu mendapatkan pelatihan yang memadai. Ini termasuk pemahaman mendalam tentang prinsip-prinsip DB, manajemen risiko, dan pentingnya informasi yang akurat dan lengkap.
Penerapan Teknologi Digital: Penggunaan teknologi seperti Building Information Modeling (BIM) sejak fase perencanaan dapat sangat membantu dalam menghasilkan basic design yang lebih akurat dan komprehensif. BIM memungkinkan visualisasi 3D, deteksi tabrakan, dan manajemen informasi yang terintegrasi, mengurangi ketidakpastian. Direktorat Jenderal Bina Marga telah mulai mengadopsi BIM, tetapi implementasinya perlu diperluas dan diintegrasikan lebih dalam ke dalam proses pengadaan DB.
Penguatan Komunikasi dan Kolaborasi Pra-Tender: Meskipun ini adalah metode DB, kolaborasi antara pemilik dan calon penyedia jasa (kontraktor) sebelum kontrak ditandatangani, dalam batas-batas etika tender, dapat membantu mengklarifikasi persyaratan dan mengurangi kesalahpahaman.
Opini dan Nilai Tambah: Membangun Jembatan Menuju Efisiensi
Tesis Yuristanti ini memberikan kontribusi penting dalam mengidentifikasi pain points spesifik dalam implementasi DB di konteks Indonesia. Ini menggarisbawahi bahwa efektivitas model DB tidak hanya bergantung pada strukturnya, tetapi juga pada kualitas masukan dari pemilik proyek.
Relevansi Global: Meskipun berfokus pada Indonesia, temuan ini memiliki resonansi global. Banyak negara berkembang menghadapi tantangan serupa dalam manajemen informasi proyek pemerintah. Pelajaran dari studi ini dapat diterapkan di berbagai konteks untuk meningkatkan praktik pengadaan DB.
Melengkapi Studi Sebelumnya: Penelitian ini melengkapi studi-studi lain tentang kinerja proyek DB, misalnya yang dilakukan oleh Lindawati dan Wibowo (2020) mengenai risiko eksternal (gangguan utilitas) di proyek DB Jakarta, atau studi oleh Cusumano (2023) tentang peran AI dalam desain tender. Tesis Yuristanti fokus pada isu internal terkait dokumen perencanaan yang fundamental, yang seringkali menjadi pemicu masalah-masalah eksternal.
Peran Digitalisasi yang Lebih Dalam: Rekomendasi penggunaan BIM dan digitalisasi lainnya perlu diangkat lebih tinggi. Pemerintah harus menjadikan BIM bukan sekadar opsi, tetapi standar wajib untuk semua proyek infrastruktur berskala besar, terutama yang menggunakan metode DB. Ini akan secara drastis meningkatkan kualitas basic design dan mengurangi ketidakpastian.
Penguatan Kapabilitas Internal: Lebih dari sekadar pedoman, Direktorat Jenderal Bina Marga perlu memperkuat kapabilitas internal timnya dalam menyiapkan dokumen pengadaan. Ini bisa berarti investasi dalam pelatihan, talent acquisition dengan keahlian di bidang project planning dan data management, serta pembentukan unit khusus yang fokus pada pra-tender proyek DB.
Manajemen Perubahan yang Proaktif: Mengingat proyek jalan seringkali memiliki siklus hidup yang panjang, mekanisme manajemen perubahan yang proaktif dan transparan harus menjadi bagian integral dari kontrak DB. Ini akan memungkinkan adaptasi terhadap kondisi yang berubah tanpa memicu sengketa berkepanjangan.
Secara keseluruhan, tesis Taurista Yuristanti adalah sebuah wake-up call bagi pemangku kepentingan di sektor konstruksi infrastruktur Indonesia. Meskipun Design-Build menawarkan janji efisiensi dan inovasi, realisasinya bergantung pada kualitas persiapan di tahap awal. Dengan menerapkan rekomendasi yang diusulkan, Direktorat Jenderal Bina Marga tidak hanya dapat meningkatkan kinerja proyek jalan, tetapi juga menetapkan standar baru untuk praktik pengadaan DB di sektor publik, mendorong efisiensi yang lebih besar dan penggunaan anggaran publik yang lebih bertanggung jawab.
Sumber Artikel:
Yuristanti, T. (2020). ANALISIS KINERJA PROYEK DESIGN AND BUILD PADA PROYEK JALAN DI DIREKTORAT JENDERAL BINA MARGA. (Master's Thesis, Institut Teknologi Sepuluh Nopember). Diakses dari https://repository.its.ac.id/77011/1/03111850077011-Master_Thesis.pdf
Ekonomi Wilayah
Dipublikasikan oleh pada 21 Mei 2025
Pendahuluan
Ketimpangan ekonomi antarwilayah di Indonesia, termasuk di Provinsi Jawa Timur, masih menjadi tantangan utama dalam pembangunan nasional. Skripsi karya Dina Layli Susanti dari UIN Sunan Ampel Surabaya berjudul "Analisis Klasifikasi Sektor Lapangan Usaha dan Ketimpangan Wilayah di Provinsi Jawa Timur Tahun 2018–2022" mencoba menjawab persoalan tersebut. Penelitian ini menyoroti sektor-sektor potensial penyumbang pertumbuhan ekonomi dan bagaimana distribusi pertumbuhan tersebut berkontribusi terhadap ketimpangan antar wilayah.
Dengan memanfaatkan metode kuantitatif deskriptif, penelitian ini mengombinasikan tiga pendekatan utama: Location Quotient (LQ), Tipologi Klassen, dan Indeks Williamson. Ketiganya digunakan untuk mengidentifikasi sektor basis dan non-basis serta mengukur tingkat ketimpangan ekonomi di 38 kabupaten/kota di Jawa Timur.
Latar Belakang
Pembangunan ekonomi wilayah idealnya dapat merata, namun kenyataan menunjukkan masih adanya jurang perbedaan antara wilayah maju dan tertinggal. Hal ini dapat disebabkan oleh:
Kesenjangan potensi sumber daya alam dan manusia
Distribusi investasi yang tidak merata
Fokus pembangunan yang terpusat pada sektor tertentu
Identifikasi sektor unggulan tiap daerah diperlukan untuk mendesain kebijakan pembangunan yang lebih adil dan berbasis potensi lokal.
Metodologi
Penelitian menggunakan data sekunder dari BPS tahun 2018–2022. Alat analisis yang digunakan:
Location Quotient (LQ):
Untuk menentukan sektor basis (unggulan) dan non-basis.
LQ > 1 menunjukkan sektor basis.
Tipologi Klassen:
Mengelompokkan sektor ke dalam 4 kuadran:
Kuadran I: sektor maju dan tumbuh pesat
Kuadran II: sektor maju tapi tertekan
Kuadran III: sektor potensial namun tertinggal
Kuadran IV: sektor tidak unggul dan tertinggal
Indeks Williamson (IW):
Mengukur ketimpangan pembangunan antarwilayah.
Nilai IW mendekati 1 menandakan ketimpangan tinggi.
Hasil Penelitian
1. Analisis LQ – Sektor Basis
Lima sektor dengan nilai LQ > 1 (sektor basis di Jatim):
Industri pengolahan
Pengadaan air
Penyediaan akomodasi
Informasi dan komunikasi
Perdagangan besar & reparasi mobil/motor
12 sektor lainnya tergolong non-basis karena nilai LQ < 1. Sektor basis ini menjadi tulang punggung perekonomian Jawa Timur.
2. Tipologi Klassen – Kuadran Dominan
Empat sektor masuk dalam Kuadran I (maju & tumbuh pesat):
Industri Pengolahan
Pengadaan Air
Perdagangan Besar dan Reparasi Mobil/Sepeda Motor
Penyediaan Akomodasi
Artinya, sektor-sektor ini tidak hanya dominan tetapi juga berkembang dengan cepat dan bisa menjadi fokus investasi daerah.
3. Indeks Williamson – Ketimpangan Tinggi
Hasil perhitungan IW dari tahun 2018–2022 menunjukkan angka mendekati 1, menandakan ketimpangan yang cukup tinggi dan cenderung meningkat. Ini berarti pertumbuhan ekonomi belum merata dan hanya dinikmati oleh sebagian wilayah seperti Surabaya, Sidoarjo, dan Malang.
Analisis Tambahan & Opini
Signifikansi Temuan
Sektor basis seperti industri pengolahan dan informasi-komunikasi memainkan peran strategis dalam pertumbuhan regional. Namun, jika pertumbuhan ini hanya terpusat di wilayah tertentu, maka akan memperparah ketimpangan.
Kritik terhadap Penelitian
Tidak dilakukan analisis regresi untuk mengetahui hubungan kausal antara sektor unggulan dan ketimpangan.
Tipologi Klassen hanya mengelompokkan sektor, belum menganalisis penyebab stagnasi sektor di Kuadran IV.
Indeks Williamson sebagai alat ukur ketimpangan bersifat agregat dan tidak menunjukkan sebaran spesifik.
Studi Kasus Daerah
Surabaya dan Sidoarjo mendominasi sektor industri pengolahan, informasi, dan perdagangan.
Madura dan daerah tapal kuda seperti Bondowoso dan Situbondo cenderung tertinggal dalam hampir semua sektor.
Implikasi Kebijakan
Pemerataan Investasi: Mendorong sektor basis masuk ke wilayah tertinggal dengan insentif investasi.
Diversifikasi Ekonomi: Mendorong pertumbuhan sektor potensial di Kuadran III agar bisa naik kelas.
Perencanaan Wilayah: Integrasikan hasil LQ dan Tipologi Klassen dalam RPJMD provinsi.
Penguatan Data Mikro: Dibutuhkan data sektoral tahunan untuk memantau dinamika pertumbuhan ekonomi daerah secara real-time.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Selaras dengan temuan Enrico (2019) tentang konsentrasi sektor basis di wilayah perkotaan Jawa Timur.
Bertentangan dengan Rajab et al. (2021) yang menyebut ketimpangan di Jatim mulai menurun pasca COVID-19.
Pendekatan Tipologi Klassen juga digunakan dalam penelitian Sari et al. (2019) pada kawasan Subosukawonosraten.
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun terdapat sektor ekonomi yang berkembang pesat di Jawa Timur, ketimpangan wilayah tetap tinggi. Klasifikasi sektor basis dan kuadran pertumbuhan dapat digunakan sebagai acuan penyusunan kebijakan pembangunan berbasis potensi lokal.
Saran
Lakukan studi lanjutan dengan pendekatan kuantitatif regresi dan spasial.
Tingkatkan kapasitas SDM daerah tertinggal untuk mengelola sektor potensial.
Kembangkan program pelatihan industri digital dan logistik di luar wilayah Surabaya.
Sumber
Susanti, D. L. (2024). Analisis Klasifikasi Sektor Lapangan Usaha dan Ketimpangan Wilayah di Provinsi Jawa Timur Tahun 2018–2022. Skripsi, UIN Sunan Ampel Surabaya. http://digilib.uinsa.ac.id/3932/
Teknologi Kontruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Menjawab Krisis Perumahan Melalui SDM Kompeten
Indonesia menghadapi tantangan serius dalam sektor permukiman: backlog rumah layak huni mencapai lebih dari 25 juta unit. Hampir separuh dari rumah tinggal saat ini tergolong tidak layak dari segi sanitasi (BPS, 2011). Sementara kebutuhan tahunan mencapai 800 ribu unit, produksi resmi baru menyentuh angka 600 ribu rumah (REI-Pusat, 2015). Kekurangan ini diisi oleh pembangunan swadaya yang sulit dikontrol mutunya.
Dalam konteks ini, studi Albani Musyafa dari Universitas Islam Indonesia hadir sebagai langkah strategis. Penelitian berjudul "Identifikasi Kompetensi Tenaga Ahli Pelaksana Konstruksi Perumahan di Yogyakarta" menggarisbawahi bahwa SDM pelaksana yang kompeten adalah pilar utama dalam percepatan pembangunan hunian berkualitas.
Latar Belakang dan Relevansi Studi
Mengapa Kompetensi Pelaksana Sangat Penting?
Tenaga ahli pelaksana konstruksi bertanggung jawab menerjemahkan rencana teknis menjadi hasil nyata yang memenuhi standar mutu, waktu, dan biaya. Dalam skala proyek besar seperti pengentasan backlog perumahan, peran mereka krusial.
Namun, kenyataannya, pendidikan dan pelatihan formal masih belum mengakomodasi kebutuhan industri secara langsung, terutama pada aspek teknis di lapangan. Oleh karena itu, identifikasi kompetensi penting menjadi titik tolak untuk reformasi kurikulum pelatihan dan pendidikan vokasional.
Metodologi Penelitian: Kombinasi Wawancara & Kuisioner
Penelitian ini menggunakan pendekatan dua tahap:
Wawancara mendalam dengan pengembang perumahan untuk menggali jenis kompetensi penting.
Kuisioner untuk menilai tingkat kepentingan dari tiap kompetensi yang telah diidentifikasi.
Sebanyak 30 responden, yang merupakan pimpinan tim proyek dari developer yang pernah menggarap lahan perumahan >1 hektar di Yogyakarta, diikutsertakan. Validitas hasil diuji dengan Kendall’s W yang menunjukkan signifikansi statistik kuat (W pra-konstruksi = 0.872; W konstruksi = 0.432; sig. = 0.000).
Hasil & Analisis: Dua Tahapan Kompetensi Krusial
Analisis:
Kompetensi nomor satu, pembuatan shopdrawing, menunjukkan pentingnya keterampilan visualisasi teknis. Ini merupakan "jembatan" antara desain konseptual dan pelaksanaan. Sementara itu, site plan dan penjadwalan berfungsi sebagai sistem navigasi utama proyek.
Sayangnya, perencanaan tenaga kerja dan aspek K3 masih dianggap kurang krusial oleh sebagian besar responden, padahal aspek ini justru sering kali menjadi penyebab konflik lapangan dan keterlambatan pekerjaan.
Analisis:
Perancah dan bekisting menempati posisi tertinggi, yang mencerminkan risiko keselamatan dan presisi tinggi dalam struktur beton. Sementara pengendalian material dan peralatan malah berada di posisi terakhir, padahal efisiensi alat sangat memengaruhi biaya dan waktu.
Sebagai perbandingan, dalam penelitian Pilcher (1992), disebutkan bahwa efisiensi material dan logistik menyumbang hingga 20% dari produktivitas akhir proyek. Ini mengindikasikan potensi miskonsepsi dalam prioritas pelatihan teknis di lapangan.
Perbandingan dengan Kurikulum Teknik Sipil
Penelitian ini mengungkap bahwa sebagian besar kompetensi telah diajarkan dalam pendidikan teknik sipil, namun aplikasinya belum disesuaikan dengan kebutuhan khas perumahan. Misalnya:
Kompetensi seperti perancah dan shopdrawing sering diajarkan secara teoritis, namun tidak diberi konteks pada rumah sederhana berskala massal.
Pekerjaan listrik dan pemipaan, seringkali diserahkan ke sub-kontraktor khusus, justru minim perhatian dalam pendidikan sipil umum.
Implikasi Praktis & Rekomendasi
Bagi Dunia Pendidikan:
Kurikulum teknik sipil perlu diarahkan pada modul pelatihan terapan berbasis proyek perumahan.
Kolaborasi antara kampus dan pengembang bisa menghasilkan pelatihan hybrid yang relevan.
Bagi Pemerintah:
Perlu disusun standar nasional kompetensi pelaksana konstruksi perumahan, terpisah dari bangunan gedung umum
Skema pelatihan berbasis proyek dan pembiayaan bersubsidi dapat mempercepat pengentasan backlog.
Bagi Developer:
Lakukan pelatihan berjenjang berbasis kompetensi sesuai prioritas seperti dalam riset ini.
Kembangkan sistem mentoring untuk pelaksana muda dengan senior berpengalaman.
Kritik dan Opini
Penelitian ini cukup komprehensif dalam menjelaskan struktur kompetensi, namun belum menyinggung aspek digitalisasi, seperti:
Penggunaan software manajemen proyek (Ms Project, BIM).
Integrasi aplikasi mobile untuk inspeksi lapangan.
Dalam era industri konstruksi 4.0, pelaksana seharusnya juga mulai dibekali kompetensi digital yang mendukung keterhubungan antar tim dan dokumentasi real-time.
Selain itu, akan lebih kuat jika studi ini mencantumkan analisis regional atau nasional untuk membandingkan apakah pola kompetensi di Yogyakarta serupa di kota besar lain seperti Surabaya atau Medan.
Penutup: Menuju Pelaksana Konstruksi yang Siap Tantangan Abad 21
Studi ini menggarisbawahi satu fakta penting: SDM unggul tidak hanya dibentuk di ruang kelas, tetapi juga melalui pemetaan kompetensi yang tepat dan aplikatif. Di tengah krisis backlog hunian, Indonesia tidak hanya butuh lebih banyak rumah, tetapi juga lebih banyak tenaga pelaksana yang tahu apa yang harus dikerjakan dan bagaimana melakukannya dengan efisien.
Ke depan, kebijakan pelatihan dan sertifikasi tenaga kerja perlu mengacu pada hasil riset-riset seperti ini—agar pembangunan tidak hanya cepat, tapi juga tepat.
Sumber
Penelitian ini dapat diakses dalam:
Musyafa, A. (2015). Identifikasi Kompetensi Tenaga Ahli Pelaksana Konstruksi Perumahan di Yogyakarta. Jurnal Teknisia, Volume XX, No. 1, Mei 2015.
Universitas Islam Indonesia.
Link: https://uii.ac.id atau melalui Jurnal Teknisia
Keandalan
Dipublikasikan oleh Ririn Khoiriyah Ardianti pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Mengapa Manajemen Persediaan Butuh Pendekatan Probabilistik?
Manajemen rantai pasok modern tidak bisa lagi mengandalkan model deterministik semata. Variasi permintaan, ketidakpastian pasokan, dan fluktuasi biaya menuntut pendekatan yang lebih fleksibel. Di sinilah simulasi Monte Carlo memainkan peran penting: ia mengakomodasi ketidakpastian dengan cara yang realistis dan berbasis data historis. Dalam artikel yang ditulis oleh Helmi Ramadan, Prana Ugiana Gio, dan Elly Rosmaini dari Universitas Sumatera Utara (2020), pendekatan ini dikaji secara mendalam untuk mengoptimalkan Economic Order Quantity (EOQ) dalam konteks permintaan probabilistik.
Apa itu EOQ Probabilistik dan Mengapa Penting?
Model EOQ klasik menentukan ukuran pemesanan yang optimal untuk meminimalkan total biaya persediaan, dengan asumsi bahwa permintaan bersifat pasti. Namun, pada kenyataannya, permintaan cenderung berfluktuasi, yang membuat model deterministik menjadi kurang akurat. Dengan mengadopsi EOQ probabilistik, analisis mempertimbangkan probabilitas terjadinya kekurangan barang, biaya pemesanan ulang, dan fluktuasi permintaan.
Dalam penelitian ini, penulis mengombinasikan EOQ probabilistik dengan simulasi Monte Carlo untuk mensimulasikan permintaan acak berdasarkan distribusi probabilitas aktual. Ini memungkinkan pengambilan keputusan berbasis data, bukan sekadar proyeksi.
Metodologi: Memadukan Statistik, Komputasi, dan Optimasi
Simulasi Monte Carlo: Inti dari Analisis
Simulasi Monte Carlo adalah teknik yang menggunakan angka acak untuk menyelesaikan masalah deterministik maupun stokastik. Dalam studi ini, penulis memanfaatkan bilangan acak yang dihasilkan melalui metode Linear Congruential Generator (LCG) untuk menciptakan skenario permintaan acak berdasarkan distribusi normal dan Weibull.
Langkah-langkah Simulasi:
Studi Kasus: Permintaan Sepatu dan Simulasi EOQ
Data Riil Permintaan
Penelitian ini menggunakan data permintaan sepatu selama 23 bulan (Oktober 2012–Agustus 2014), dengan total permintaan sebesar 14.767 unit dan rata-rata bulanan 642 unit.
Contoh data:
Fluktuasi besar ini memperkuat pentingnya penggunaan model probabilistik.
Data Biaya Terkait:
Dengan data ini, peneliti menghitung nilai EOQ awal sebelum dilakukan simulasi Monte Carlo.
Hasil Simulasi: Distribusi Permintaan & Estimasi Biaya Optimal
Distribusi Permintaan
Dengan menggunakan distribution fitting, ditemukan bahwa data permintaan paling sesuai dengan distribusi normal dan distribusi Weibull, dibandingkan dengan distribusi Gamma dan Lognormal. Ini dikonfirmasi melalui nilai log-likelihood:
Nilai EOQ Optimal
Melalui iterasi dalam model probabilistik EOQ, didapat nilai stabil pada iterasi ke-5 dan 6:
Simulasi Monte Carlo:
Jika permintaan mengikuti distribusi normal:
Jika permintaan mengikuti distribusi Weibull:
Bandingkan dengan EOQ Probabilistik konvensional (tanpa simulasi):
Kesimpulan: Pendekatan Monte Carlo mampu menurunkan total biaya hingga hampir 5%, tergantung pada distribusi permintaan yang diasumsikan.
Nilai Tambah dan Kritik: Apa yang Bisa Diimprovisasi?
Kekuatan Studi:
Kelemahan atau Batasan:
Dampak Praktis di Dunia Nyata: Aplikasi dalam Industri
Aplikasi di Sektor Ritel & E-Commerce
Perusahaan seperti Amazon, Zalora, dan Shopee yang mengelola jutaan unit barang dengan permintaan yang sangat fluktuatif, akan sangat terbantu dengan pendekatan ini. Jika perusahaan dapat mengidentifikasi pola distribusi permintaan pelanggan (misal berdasarkan musim), maka mereka dapat mengadopsi model EOQ probabilistik berbasis simulasi Monte Carlo untuk merencanakan stok dengan lebih efisien.
Aplikasi di Industri Manufaktur
Pabrik sepatu, seperti yang diasumsikan dalam studi, dapat mengurangi risiko stockout (kehabisan stok) dan overstock (kelebihan stok) secara signifikan, yang berdampak langsung pada efisiensi modal kerja.
Perbandingan dengan Penelitian Sejenis
Beberapa studi relevan untuk dibandingkan:
Penelitian Helmi dkk menjadi unik karena mengintegrasikan EOQ dengan Monte Carlo secara aplikatif, bukan hanya sebagai konsep matematika.
Kesimpulan: Simulasi Monte Carlo sebagai Pilar Manajemen Persediaan Modern
Studi ini menunjukkan bahwa pendekatan gabungan antara EOQ probabilistik dan simulasi Monte Carlo mampu mengoptimalkan biaya persediaan dengan mempertimbangkan ketidakpastian permintaan secara nyata. Dalam konteks bisnis saat ini yang penuh volatilitas, pendekatan seperti ini bukan hanya relevan, tapi sangat penting.
Rekomendasi Praktis:
Sumber Artikel:
Helmi Ramadan, Prana Ugiana Gio, Elly Rosmaini. "Monte Carlo Simulation Approach to Determine the Optimal Solution of Probabilistic Supply Cost." Journal of Research in Mathematics Trends and Technology (JoRMTT), Vol. 2, No. 1, 2020, pp. 1–6.
DOI: 10.32734/jormtt.v2i1.3752