Kompetensi Kunci Pelaksana Konstruksi Perumahan: Strategi Mengatasi Krisis Hunian di Indonesia

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj

21 Mei 2025, 09.31

pexels.com

Pendahuluan: Menjawab Krisis Perumahan Melalui SDM Kompeten

Indonesia menghadapi tantangan serius dalam sektor permukiman: backlog rumah layak huni mencapai lebih dari 25 juta unit. Hampir separuh dari rumah tinggal saat ini tergolong tidak layak dari segi sanitasi (BPS, 2011). Sementara kebutuhan tahunan mencapai 800 ribu unit, produksi resmi baru menyentuh angka 600 ribu rumah (REI-Pusat, 2015). Kekurangan ini diisi oleh pembangunan swadaya yang sulit dikontrol mutunya.

Dalam konteks ini, studi Albani Musyafa dari Universitas Islam Indonesia hadir sebagai langkah strategis. Penelitian berjudul "Identifikasi Kompetensi Tenaga Ahli Pelaksana Konstruksi Perumahan di Yogyakarta" menggarisbawahi bahwa SDM pelaksana yang kompeten adalah pilar utama dalam percepatan pembangunan hunian berkualitas.

Latar Belakang dan Relevansi Studi

Mengapa Kompetensi Pelaksana Sangat Penting?

Tenaga ahli pelaksana konstruksi bertanggung jawab menerjemahkan rencana teknis menjadi hasil nyata yang memenuhi standar mutu, waktu, dan biaya. Dalam skala proyek besar seperti pengentasan backlog perumahan, peran mereka krusial.

Namun, kenyataannya, pendidikan dan pelatihan formal masih belum mengakomodasi kebutuhan industri secara langsung, terutama pada aspek teknis di lapangan. Oleh karena itu, identifikasi kompetensi penting menjadi titik tolak untuk reformasi kurikulum pelatihan dan pendidikan vokasional.

Metodologi Penelitian: Kombinasi Wawancara & Kuisioner

Penelitian ini menggunakan pendekatan dua tahap:

  1. Wawancara mendalam dengan pengembang perumahan untuk menggali jenis kompetensi penting.

  2. Kuisioner untuk menilai tingkat kepentingan dari tiap kompetensi yang telah diidentifikasi.

Sebanyak 30 responden, yang merupakan pimpinan tim proyek dari developer yang pernah menggarap lahan perumahan >1 hektar di Yogyakarta, diikutsertakan. Validitas hasil diuji dengan Kendall’s W yang menunjukkan signifikansi statistik kuat (W pra-konstruksi = 0.872; W konstruksi = 0.432; sig. = 0.000).

Hasil & Analisis: Dua Tahapan Kompetensi Krusial

Analisis:

Kompetensi nomor satu, pembuatan shopdrawing, menunjukkan pentingnya keterampilan visualisasi teknis. Ini merupakan "jembatan" antara desain konseptual dan pelaksanaan. Sementara itu, site plan dan penjadwalan berfungsi sebagai sistem navigasi utama proyek.

Sayangnya, perencanaan tenaga kerja dan aspek K3 masih dianggap kurang krusial oleh sebagian besar responden, padahal aspek ini justru sering kali menjadi penyebab konflik lapangan dan keterlambatan pekerjaan.

Analisis:

Perancah dan bekisting menempati posisi tertinggi, yang mencerminkan risiko keselamatan dan presisi tinggi dalam struktur beton. Sementara pengendalian material dan peralatan malah berada di posisi terakhir, padahal efisiensi alat sangat memengaruhi biaya dan waktu.

Sebagai perbandingan, dalam penelitian Pilcher (1992), disebutkan bahwa efisiensi material dan logistik menyumbang hingga 20% dari produktivitas akhir proyek. Ini mengindikasikan potensi miskonsepsi dalam prioritas pelatihan teknis di lapangan.

Perbandingan dengan Kurikulum Teknik Sipil

Penelitian ini mengungkap bahwa sebagian besar kompetensi telah diajarkan dalam pendidikan teknik sipil, namun aplikasinya belum disesuaikan dengan kebutuhan khas perumahan. Misalnya:

  • Kompetensi seperti perancah dan shopdrawing sering diajarkan secara teoritis, namun tidak diberi konteks pada rumah sederhana berskala massal.

  • Pekerjaan listrik dan pemipaan, seringkali diserahkan ke sub-kontraktor khusus, justru minim perhatian dalam pendidikan sipil umum.

 

Implikasi Praktis & Rekomendasi

Bagi Dunia Pendidikan:

  • Kurikulum teknik sipil perlu diarahkan pada modul pelatihan terapan berbasis proyek perumahan.

  • Kolaborasi antara kampus dan pengembang bisa menghasilkan pelatihan hybrid yang relevan.

Bagi Pemerintah:

  • Perlu disusun standar nasional kompetensi pelaksana konstruksi perumahan, terpisah dari bangunan gedung umum

  • Skema pelatihan berbasis proyek dan pembiayaan bersubsidi dapat mempercepat pengentasan backlog.

Bagi Developer:

  • Lakukan pelatihan berjenjang berbasis kompetensi sesuai prioritas seperti dalam riset ini.

  • Kembangkan sistem mentoring untuk pelaksana muda dengan senior berpengalaman.

Kritik dan Opini

Penelitian ini cukup komprehensif dalam menjelaskan struktur kompetensi, namun belum menyinggung aspek digitalisasi, seperti:

  • Penggunaan software manajemen proyek (Ms Project, BIM).

  • Integrasi aplikasi mobile untuk inspeksi lapangan.

Dalam era industri konstruksi 4.0, pelaksana seharusnya juga mulai dibekali kompetensi digital yang mendukung keterhubungan antar tim dan dokumentasi real-time.

Selain itu, akan lebih kuat jika studi ini mencantumkan analisis regional atau nasional untuk membandingkan apakah pola kompetensi di Yogyakarta serupa di kota besar lain seperti Surabaya atau Medan.

Penutup: Menuju Pelaksana Konstruksi yang Siap Tantangan Abad 21

Studi ini menggarisbawahi satu fakta penting: SDM unggul tidak hanya dibentuk di ruang kelas, tetapi juga melalui pemetaan kompetensi yang tepat dan aplikatif. Di tengah krisis backlog hunian, Indonesia tidak hanya butuh lebih banyak rumah, tetapi juga lebih banyak tenaga pelaksana yang tahu apa yang harus dikerjakan dan bagaimana melakukannya dengan efisien.

Ke depan, kebijakan pelatihan dan sertifikasi tenaga kerja perlu mengacu pada hasil riset-riset seperti ini—agar pembangunan tidak hanya cepat, tapi juga tepat.

Sumber

Penelitian ini dapat diakses dalam:
Musyafa, A. (2015). Identifikasi Kompetensi Tenaga Ahli Pelaksana Konstruksi Perumahan di Yogyakarta. Jurnal Teknisia, Volume XX, No. 1, Mei 2015.
Universitas Islam Indonesia.
Link: https://uii.ac.id atau melalui Jurnal Teknisia