Pendahuluan: Mengapa Bangunan Bertingkat Gagal?
Di tengah pesatnya pembangunan gedung bertingkat tinggi di Indonesia, muncul satu pertanyaan krusial: Mengapa masih terjadi kegagalan bangunan yang berakibat fatal, bahkan merenggut nyawa? Artikel yang ditulis oleh Maiko Lesmana Dewa dan tim menjawab pertanyaan ini melalui pendekatan hukum normatif. Mereka menyoroti bahwa lemahnya pengawasan konstruksi dan tidak memadainya perlindungan hukum menjadi akar masalah.
Kegagalan bangunan di Indonesia sering kali dikaitkan dengan buruknya kualitas konstruksi, pelanggaran teknis, dan lemahnya akuntabilitas pengawas lapangan. Namun penelitian ini mengangkat dimensi yang jarang dibahas: bagaimana regulasi hukum — atau justru kekurangannya — turut memperbesar risiko kegagalan struktur.
Pengawasan Konstruksi: Pilar yang Rentan Diabaikan
Pengawasan konstruksi merupakan salah satu elemen vital dalam siklus pembangunan, mulai dari tahap perencanaan, eksekusi, hingga pasca-konstruksi. Namun, dalam praktiknya, fungsi pengawasan ini sering kali dilemahkan oleh:
- Kurangnya wewenang yang memadai bagi pengawas.
- Tidak adanya dukungan hukum yang kuat untuk menindak pelanggaran teknis.
- Rendahnya kesadaran hukum dari pemilik bangunan maupun kontraktor.
Menurut UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, pengawasan konstruksi adalah bagian dari proses pembangunan yang harus dipenuhi untuk memastikan bangunan memenuhi standar keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan. Namun, penegakan aturan ini dalam praktik ternyata masih jauh dari ideal.
Definisi Kegagalan Bangunan dan Posisi Hukum
Pasal 1 angka 7 UU Jasa Konstruksi menjelaskan bahwa kegagalan bangunan adalah ketidaksesuaian fungsi bangunan pasca-serah terima akibat kesalahan penyedia jasa dan/atau pengguna jasa. Ini mencakup:
- Bangunan tidak berfungsi sebagian atau sepenuhnya.
- Ketidaksesuaian dengan kontrak kerja konstruksi.
- Penyimpangan pemanfaatan bangunan dari fungsi aslinya.
Namun, ironisnya, meski sudah ada definisi legal, belum ada mekanisme efektif yang menjadikan pengawasan sebagai benteng awal pencegahan.
Studi Perbandingan: Indonesia vs. Negara Lain
Penulis melakukan pendekatan komparatif terhadap regulasi di negara-negara maju seperti Inggris. Dalam buku Construction Law oleh John Uff, digambarkan bagaimana sistem hukum konstruksi di Inggris memberikan kekuatan penuh bagi pengawas untuk mencegah potensi kerusakan bangunan. Bahkan, pengawas konstruksi memiliki kedudukan penting sejajar dengan kontraktor dan insinyur struktural.
Sebaliknya, di Indonesia, pengawas kerap dianggap sebagai pelengkap formalitas, tanpa dukungan regulasi yang memperkuat posisi mereka untuk menolak pekerjaan yang tidak sesuai spesifikasi teknis.
Studi Kasus Nyata: Tragedi Jebolnya Gedung BEI 2018
Salah satu kasus yang menjadi sorotan nasional adalah runtuhnya selasar gedung Bursa Efek Indonesia (BEI) pada tahun 2018, yang menyebabkan lebih dari 70 korban luka. Investigasi awal menyebutkan bahwa ada kesalahan teknis dalam pemasangan struktur langit-langit. Namun, tidak banyak yang menggali bagaimana peran pengawasan konstruksi — apakah sudah berjalan optimal atau sekadar simbolis.
Jika mengacu pada definisi dalam UU Jasa Konstruksi, insiden ini seharusnya bisa dikategorikan sebagai kegagalan bangunan. Tetapi, karena sistem pengawasan yang lemah dan tidak adanya penguatan hukum terhadap peran pengawas, kasus ini hanya berakhir pada catatan kelam tanpa reformasi berarti.
Analisis Temuan Penelitian
Penelitian oleh Dewa dkk. menyimpulkan bahwa regulasi saat ini masih belum mampu melindungi kepentingan masyarakat dari risiko kegagalan bangunan. Ada tiga temuan kunci:
1. Kekosongan Hukum Teknis
Tidak ada ketentuan yang menjelaskan secara rinci kewenangan teknis pengawas konstruksi.
Tidak ada sistem akuntabilitas langsung terhadap pengawas bila terjadi kegagalan struktural.
2. Minimnya Perlindungan Hukum Masyarakat
Masyarakat sebagai pengguna akhir bangunan belum memiliki saluran hukum yang jelas untuk menggugat kegagalan bangunan akibat kelalaian pengawas atau kontraktor.
3. Penyelesaian Sengketa yang Lemah
Prosedur penyelesaian sengketa hukum terhadap kegagalan bangunan tidak melibatkan analisis teknis mendalam dari pengawas.
Pengawas tidak dilibatkan secara proaktif dalam investigasi kegagalan bangunan.
Implikasi Praktis: Apa yang Bisa Diperbaiki?
Untuk menghindari terulangnya kasus serupa, berikut langkah-langkah yang disarankan berdasarkan hasil analisis dan penambahan opini:
1. Revisi Undang-Undang Jasa Konstruksi
Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 perlu direvisi agar:
- Menjelaskan secara eksplisit tanggung jawab pengawas konstruksi.
- Memberikan kewenangan menghentikan pekerjaan bila ditemukan penyimpangan teknis.
- Mewajibkan audit pengawasan pada proyek-proyek berskala besar.
2. Penguatan Sertifikasi Pengawas
Saat ini, profesi pengawas masih bisa dijalankan tanpa standar sertifikasi teknis yang ketat. Bandingkan dengan Jepang, yang mewajibkan sertifikasi berkala dan uji kompetensi berlapis bagi pengawas proyek infrastruktur besar.
3. Pengadilan Konstruksi Khusus
Indonesia perlu membentuk lembaga arbitrase atau pengadilan konstruksi yang dapat memproses sengketa teknis secara cepat dan tepat, melibatkan saksi ahli dari kalangan pengawas profesional.
4. Digitalisasi Pengawasan
Teknologi Building Information Modeling (BIM) dan drone inspection sudah umum digunakan di luar negeri untuk mendukung fungsi pengawasan secara real-time. Indonesia dapat mulai menerapkannya di proyek pemerintah sebagai proyek percontohan.
Kritik terhadap Penelitian
Walaupun penelitian ini memberi kontribusi penting, ada beberapa catatan:
Minimnya Data Lapangan: Studi ini lebih bersifat normatif daripada empiris. Akan lebih kuat bila disertai data statistik kegagalan bangunan dalam 10 tahun terakhir di Indonesia.
Kurang Eksplorasi Aspek Ekonomi: Penelitian belum menggali bagaimana biaya pengawasan yang ditekan justru bisa meningkatkan risiko kegagalan bangunan.
Kesimpulan: Pengawasan Konstruksi Harus Menjadi Prioritas
Pembangunan gedung bertingkat tinggi tidak bisa hanya mengandalkan desain megah atau teknologi canggih. Tanpa pengawasan konstruksi yang kuat, semua itu hanya tinggal menunggu waktu untuk runtuh. Penelitian ini menegaskan bahwa pengawas konstruksi bukan sekadar pemeriksa dokumen — mereka adalah garda depan perlindungan keselamatan publik.
Melalui pembaruan hukum, penguatan kompetensi, serta reformasi kelembagaan, Indonesia dapat menekan angka kegagalan bangunan yang selama ini memicu kerugian besar, baik secara material maupun nyawa manusia.
Sumber Utama
Dewa, M. L., Maria, K., Marlin, S., & Andayani, K. (2022). Kajian Pengawasan Konstruksi pada Kegagalan Bangunan dalam Pembangunan Gedung Bertingkat Tinggi. Jurnal Ilmiah Global Education, 3(2), 216–219. Tautan: https://ejournal.nusantaraglobal.ac.id/index.php/jige