Ketenagakerjaan
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 22 Mei 2025
Pendahuluan: Tantangan Produktivitas di Proyek Konstruksi
Industri konstruksi Indonesia, meski berkontribusi besar terhadap PDB nasional, terus dibayangi isu klasik: rendahnya produktivitas tenaga kerja. Dalam proyek pembangunan dan renovasi Gedung Rumah Sakit Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar, peneliti Muhammad Rendy dan Andi Febra Ashari mencoba menyibak persoalan ini dengan pendekatan yang sistematis. Mereka menilai kinerja pekerja pada pekerjaan plafon dan instalasi listrik, dua elemen vital yang memengaruhi kecepatan dan kualitas proyek secara keseluruhan.
Dengan menggunakan pendekatan deskriptif-kuantitatif dan tools statistik SPSS versi 25, studi ini tidak hanya mengukur Labour Utilization Rate (LUR) dan produktivitas berdasarkan SNI, tapi juga mengevaluasi variabel-variabel yang memengaruhinya secara signifikan. Hasilnya? Temuan yang patut jadi acuan dalam pengelolaan proyek konstruksi, khususnya di masa pascapandemi.
Metodologi: Menggali Data dari Lapangan
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kuantitatif, dengan teknik pengumpulan data melalui:
Observasi langsung pekerja lapangan
Penyebaran kuesioner kepada 16 responden
Analisis statistik dengan SPSS v25
Subjek yang diamati mencakup berbagai peran, dari mandor hingga tukang dan pekerja harian. Fokus utama adalah aktivitas pekerjaan plafon dan instalasi listrik di proyek RS Unhas yang sempat tertunda akibat pandemi COVID-19.
Hasil Utama: Seberapa Produktif Tenaga Kerja di Proyek Ini?
1. Labour Utilization Rate (LUR)
LUR merupakan rasio waktu kerja efektif terhadap total waktu yang tersedia. Angka LUR digunakan sebagai indikator efisiensi tenaga kerja dalam memanfaatkan waktunya.
Rata-rata LUR yang dicapai adalah sebesar 92,98%. Artinya, hampir seluruh waktu kerja digunakan secara produktif. Bahkan, beberapa pekerja seperti Latif dan Komaruddin mencapai efisiensi lebih dari 95%.
Catatan: Menurut Oglesby (1989), LUR > 50% sudah termasuk kategori memuaskan. Maka capaian ini bisa dikatakan sangat tinggi.
2. Produktivitas Berdasarkan SNI
Menggunakan rumus produktivitas = volume pekerjaan ÷ waktu efektif (SNI 3436:2002), diperoleh:
Hari ke-1: 0,641 m²/menit
Hari ke-2: 0,6365 m²/menit
Hari ke-3: 0,6405 m²/menit
Rata-rata produktivitas: 0,6393 m²/menit
Sebagai perbandingan, standar efisiensi nasional dalam pekerjaan plafon berada di kisaran 0,5–0,7 m²/menit. Maka, hasil ini tergolong tinggi.
Studi Kasus: Pekerjaan Plafon di RS Unhas
Proyek yang dianalisis merupakan pekerjaan renovasi gedung Rumah Sakit Unhas. Pandemi COVID-19 sempat menghentikan proyek, menciptakan tantangan baru terkait produktivitas dan jadwal pengerjaan.
Jumlah pekerja: 16 orang + 1 mandor
Volume pekerjaan: 247,7475 m²
Total OH (orang-hari): 1,605 per hari
Dengan kondisi tersebut, tingkat efisiensi yang tinggi menunjukkan manajemen tenaga kerja yang cukup berhasil mengendalikan produktivitas bahkan dalam kondisi yang menantang.
Perbandingan dengan Penelitian Sebelumnya
Penelitian ini selaras dengan studi oleh Aprillian (2010) dan Febriyanto (2013) yang menunjukkan bahwa pengalaman kerja memiliki korelasi kuat dengan produktivitas tenaga kerja konstruksi. Namun, uniknya, penelitian ini juga mengonfirmasi bahwa tingkat pendidikan formal tidak selalu menjadi penentu utama dalam konteks lapangan.
Implikasi Praktis bagi Industri Konstruksi
Rekrutmen berbasis pengalaman: Pemilihan tenaga kerja sebaiknya mempertimbangkan jam terbang daripada sekadar latar belakang akademis.
Pelatihan berkelanjutan: Untuk pekerja muda, penting dilakukan on-the-job training untuk mempercepat kurva belajar.
Monitoring produktivitas harian: Metode LUR terbukti efisien sebagai alat pemantau lapangan.
Penggunaan SPSS dalam proyek: Pengolahan data statistik sebaiknya menjadi standar manajemen proyek profesional.
Kesimpulan: Pengalaman adalah Kunci
Penelitian ini memperkuat fakta bahwa pengalaman kerja merupakan faktor dominan dalam produktivitas tenaga kerja konstruksi. Meskipun beberapa variabel seperti upah, pendidikan, dan hubungan kerja tak menunjukkan signifikansi, efisiensi tetap dapat tercapai melalui pengelolaan waktu dan pemanfaatan SDM yang tepat.
Dengan LUR rata-rata 92,98% dan produktivitas 0,6393 m²/menit, proyek RS Unhas menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya manusia yang baik, bahkan di tengah krisis pandemi, mampu menghasilkan produktivitas optimal.
Rekomendasi Tambahan
Industri konstruksi di Indonesia perlu menjadikan LUR sebagai standar audit produktivitas di proyek.
Kebijakan insentif berbasis produktivitas harian akan mendorong perilaku kerja yang lebih efisien.
Investasi pada manajemen proyek berbasis data (seperti SPSS) akan mempercepat identifikasi faktor penghambat produktivitas.
Sumber:
Rendy, M., & Ashari, A. F. Y. (2022). Analisis Produktivitas Tenaga Kerja Pada Pekerjaan Plafond dan Instalasi Listrik (Studi Kasus Proyek Gedung Rumah Sakit Universitas Hasanuddin Kota Makassar). Journal of Applied Civil and Environmental Engineering, Vol. 2, No. 2. Link Jurnal Resmi (eISSN: 2775-0213)
Edukasi & Kebijakan Publik
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 22 Mei 2025
Pendahuluan: Urgensi Evaluasi Pendidikan Tinggi di Bali
Dalam konteks pembangunan nasional, pendidikan tinggi tidak hanya menjadi wahana peningkatan kualitas SDM, tetapi juga cerminan kesiapan daerah dalam menghadapi kompetisi global. Provinsi Bali, dengan segala keunggulan geokulturalnya, ternyata masih menyimpan persoalan mendasar dalam sektor pendidikan tinggi, terutama dalam aspek pemerataan dan mutu. Artikel ilmiah karya Ida Kintamani Dewi Hermawan ini menganalisis secara mendalam kondisi pendidikan tinggi di Bali berdasarkan dua pilar strategis: pemerataan akses dan peningkatan mutu, sebagaimana tertuang dalam Rencana Strategis Pendidikan Nasional 2005–2009.
Metodologi & Sumber Data: Integrasi Data Pendidikan dan Non-Pendidikan
Studi ini menggunakan data dari tahun akademik 2008/2009 dan mengombinasikannya dengan data non-pendidikan (demografi, geografi, dan sosial ekonomi). Dengan pendekatan kuantitatif-deskriptif, indikator kinerja pendidikan tinggi seperti APK (Angka Partisipasi Kasar), rasio mahasiswa per dosen, animo masuk perguruan tinggi, dan persentase dosen layak mengajar dianalisis untuk menilai performa daerah terhadap standar nasional dan standar ideal.
Profil Wilayah dan Kondisi Pendidikan Tinggi di Bali
Gambaran Umum Non-Pendidikan
Bali terbagi atas 8 kabupaten dan 1 kota, dengan populasi usia kuliah (19–24 tahun) sebanyak 333.300 jiwa. Wilayah ini memiliki topografi pegunungan dan karakter geografis yang memengaruhi distribusi akses ke fasilitas pendidikan tinggi, terutama di wilayah perbukitan dan kepulauan kecil seperti Nusa Penida dan Nusa Lembongan.
Lembaga Pendidikan Tinggi dan Distribusinya
Bali memiliki 36 institusi pendidikan tinggi: 11 universitas, 3 institut, 15 sekolah tinggi, 4 akademi, dan 3 politeknik. Dari total ini, hanya 4 institusi berstatus negeri, sisanya swasta. Mahasiswa terbanyak berada di universitas (70,88%), diikuti sekolah tinggi (18,83%), dan paling sedikit di akademi (1,72%).
Pilar 1: Pemerataan dan Perluasan Akses Pendidikan Tinggi
1. APK Masih di Bawah Nasional
Angka Partisipasi Kasar di Bali hanya 11,22%, lebih rendah dibanding APK nasional sebesar 12,9% dan jauh dari standar ideal 100%. APK laki-laki (11,74%) sedikit lebih tinggi dari perempuan (10,67%), mengindikasikan ketimpangan gender dengan indeks paritas gender (IPG) 0,91 (idealnya = 1).
2. Rasio Mahasiswa terhadap Dosen dan Lembaga
Rasio Mahasiswa per Dosen (R-M/D) di Bali sebesar 13, yang berarti satu dosen melayani 13 mahasiswa. Namun, terjadi kesenjangan ekstrem:
PT Negeri: 1 dosen melayani 6 mahasiswa.
PT Swasta: 1 dosen melayani hingga 47 mahasiswa.
Rasio Mahasiswa per Lembaga (R-M/Lbg) sebesar 1.039. Angka ini lebih rendah dari rerata nasional (1.342), menandakan ketimpangan kapasitas antar lembaga.
3. Tingginya Animo tapi Keterbatasan Daya Tampung
Meskipun animo ke PT di Bali sebesar 147,67%, banyak pendaftar gagal masuk karena daya tampung terbatas. PT Negeri menjadi primadona dengan animo mencapai 192,59%, sementara PT Swasta hanya 113,05%.
Pilar 2: Mutu, Relevansi, dan Daya Saing Pendidikan Tinggi
1. Rendahnya Dosen Berkualifikasi Layak
Hanya 50,55% dosen di Bali yang layak mengajar (memiliki S2 atau S3), masih jauh dari ideal 100%. PT Negeri memiliki persentase yang lebih baik (55,49%) dibandingkan PT Swasta (27,83%). Ketimpangan gender juga muncul: dosen perempuan memiliki kualifikasi lebih rendah dengan IPG sebesar 0,90.
2. Produktivitas Lulusan yang Rendah
Angka Produktivitas (jumlah lulusan dibanding jumlah mahasiswa aktif) hanya mencapai 7,04% — di bawah target ideal 25%. Institut memang menonjol (19,58%), namun politeknik dan akademi masih sangat rendah (masing-masing 3,43% dan 5,13%).
3. Rasio Dosen per Lembaga: Ketimpangan Ekstrem
Rata-rata nasional rasio dosen per lembaga adalah 78. Namun, di PT Negeri Bali, angkanya mencapai 578. Sebaliknya, PT Swasta hanya mencatat 16, menunjukkan kekurangan tenaga pengajar berkualitas secara akut.
Kinerja Pendidikan Tinggi: Kombinasi Pemerataan dan Mutu
Berdasarkan konversi nilai dan pembobotan indikator:
Nilai Pemerataan: 54,59%
Nilai Mutu: 43,92%
Nilai Kinerja Total: 49,25% (jauh dari standar ideal 100%)
Namun jika dibandingkan dengan standar nasional, Bali justru mencatat nilai baik:
Pemerataan: 80,51%
Mutu: 100,11%
Kinerja total: 88,21%
Ini menandakan bahwa standar nasional masih terlalu rendah dibandingkan ekspektasi ideal, dan Bali baru unggul relatif terhadap provinsi lain, bukan mutlak.
Kritik dan Analisis Tambahan
1. Keterbatasan Infrastruktur dan Keberpihakan terhadap PT Swasta
Kesenjangan sumber daya antara PT Negeri dan Swasta harus menjadi perhatian. Swasta menyumbang 88% jumlah lembaga, tetapi kekurangan dosen berkualitas dan beban pengajaran tidak proporsional. Kebijakan afirmatif dan insentif tenaga pengajar untuk PT Swasta perlu dipertimbangkan.
2. Kebutuhan Pemerataan Akses di Kawasan Terpencil
Wilayah seperti Nusa Penida dan Karangasem cenderung tertinggal secara akses. Pembangunan PT berbasis satelit atau kelas jauh bisa menjadi solusi.
3. Ketimpangan Gender sebagai Isu Strategis
IPG yang masih di bawah 1 pada indikator mahasiswa dan dosen mengindikasikan perlunya pendekatan berbasis gender dalam perencanaan pendidikan tinggi, termasuk beasiswa khusus dan program mentoring untuk perempuan.
Rekomendasi Strategis
Peningkatan APK hingga menyamai nasional (≥13%) melalui subsidi, beasiswa, dan penyebaran informasi ke pelosok.
Peningkatan rasio dosen layak mengajar, khususnya di PT Swasta, dengan rekruitmen terencana dan pelatihan.
Peningkatan rasio produktivitas lulusan melalui penguatan sistem akademik dan monitoring kelulusan.
Kebijakan penguatan kelembagaan PT Swasta termasuk peningkatan pendanaan operasional dan akreditasi.
Evaluasi animo mahasiswa secara komprehensif agar sejalan dengan daya tampung dan distribusi bidang keilmuan.
Kesimpulan
Studi ini membuka mata bahwa indikator makro seperti APK dan mutu dosen masih menunjukkan tantangan serius di Bali. Meskipun sudah cukup baik menurut ukuran nasional, pencapaian ideal masih jauh dari tuntas. Pemerintah pusat dan daerah harus bekerja sama untuk menghadirkan pendidikan tinggi yang tidak hanya dapat diakses secara adil, tetapi juga bermutu dan adaptif terhadap kebutuhan lokal dan global.
Sumber
Hermawan, Ida Kintamani Dewi. Analisis Profil Pendidikan Tinggi Menurut Pilar Kebijakan: Kasus Provinsi Bali Tahun 2008/2009. Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 16, No. 6, 2010.
Tautan: https://jurnaldikbud.kemdikbud.go.id/index.php/jurnaldikbud/article/view/1671
Ekonomi Daerah
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 22 Mei 2025
Pendahuluan: Mengapa Kemandirian Fiskal Itu Penting?
Kemandirian fiskal adalah indikator utama keberhasilan otonomi daerah. Sebuah daerah dikatakan mandiri secara fiskal jika mampu membiayai pengeluaran pemerintahannya tanpa sangat bergantung pada dana transfer dari pusat. Provinsi Bali, meskipun dikenal sebagai daerah pariwisata dengan kontribusi ekonomi signifikan, menunjukkan ketimpangan kemandirian fiskal antar wilayahnya. Hal ini mendorong studi yang dilakukan oleh Fabian Rabbani Hasri (2024), yang menganalisis faktor-faktor determinan kemandirian fiskal di Bali selama periode 2016–2020.
Latar Belakang: Ketimpangan Fiskal di Pulau Dewata
Meskipun indeks kemandirian fiskal Provinsi Bali menunjukkan klasifikasi "mandiri" dengan nilai berkisar antara 0,53 hingga 0,60, disparitas antar kabupaten/kota sangat mencolok. Kabupaten Badung, misalnya, mencapai skor 0,83 pada tahun 2019, sementara Kabupaten Bangli hanya sekitar 0,10. Ketimpangan ini diperparah dengan dominasi pembangunan di Bali Selatan, meninggalkan Bali Utara dalam ketertinggalan ekonomi.
Tujuan dan Metodologi Penelitian
Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh belanja modal, jumlah penduduk, upah minimum, dan kemiskinan terhadap kemandirian fiskal menggunakan metode regresi data panel. Data sekunder dari BPS dan BPK RI selama 2016–2020 dianalisis untuk melihat pengaruh parsial dan simultan antar variabel.
Temuan Utama
1. Belanja Modal: Pengaruh Positif dan Signifikan
Belanja modal terbukti menjadi satu-satunya variabel yang secara statistik berpengaruh signifikan dan positif terhadap kemandirian fiskal. Hal ini logis, karena investasi pemerintah daerah dalam infrastruktur dan aset tetap memperkuat fondasi penerimaan asli daerah (PAD). Misalnya, Kabupaten Gianyar yang meningkatkan belanja modal dari Rp460 miliar (2016) menjadi Rp976 miliar (2020) menunjukkan peningkatan dalam indeks fiskal.
2. Jumlah Penduduk: Tidak Signifikan
Meskipun populasi meningkat, tidak ada hubungan langsung yang signifikan terhadap kemandirian fiskal. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah penduduk belum otomatis meningkatkan PAD, mungkin karena basis ekonomi yang belum cukup produktif atau tingginya beban pelayanan publik.
3. Upah Minimum: Tidak Signifikan
UMK di Bali terus meningkat selama periode penelitian, namun tidak serta-merta memengaruhi rasio kemandirian fiskal. Kenaikan upah tampaknya belum mampu memicu peningkatan pajak daerah secara substansial.
4. Kemiskinan: Tidak Signifikan
Tingkat kemiskinan yang relatif stagnan dan fluktuatif di berbagai kabupaten juga tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap kemandirian fiskal. Ini dapat diartikan bahwa alokasi anggaran untuk bantuan sosial tidak cukup besar untuk menggerus PAD.
Analisis Tambahan: Studi Kasus Kabupaten Badung vs Bangli
Kabupaten Badung menjadi contoh ekstrim daerah yang sangat mandiri secara fiskal karena dominasi sektor pariwisata dan retribusi pajak yang besar. Sebaliknya, Kabupaten Bangli, dengan basis ekonomi agraris dan minim objek pajak daerah, menunjukkan ketergantungan tinggi pada dana pusat. Studi ini menegaskan perlunya diferensiasi kebijakan fiskal dan investasi publik antar daerah.
Implikasi Praktis: Rekomendasi Kebijakan
Peningkatan Belanja Modal Terarah: Daerah dengan potensi ekonomi rendah perlu difasilitasi dengan belanja modal strategis seperti pembangunan pasar, infrastruktur digital, dan fasilitas wisata lokal.
Revitalisasi PAD: Meningkatkan efektivitas pajak daerah, retribusi, dan mengembangkan BUMD untuk memperkuat pendapatan.
Kebijakan Fiskal Berbasis Wilayah: Mendesain intervensi fiskal sesuai karakteristik lokal antara Bali Utara dan Selatan.
Kritik dan Perbandingan Penelitian Sebelumnya
Temuan Fabian Rabbani konsisten dengan Ariani & Putri (2016) dan Elisabeth Sukma Dewi (2020) yang menyatakan belanja modal berdampak positif terhadap kemandirian fiskal. Namun, hasil berbeda dengan studi Fitriyani & Suwarno (2021) yang menyebutkan pengaruh negatif. Perbedaan ini dapat dikaitkan dengan konteks wilayah dan alokasi anggaran yang berbeda.
Relevansi dengan Tren Industri dan Tata Kelola Daerah
Di era smart governance dan digitalisasi keuangan daerah, kemandirian fiskal menjadi prasyarat penting. Pembangunan berbasis belanja modal digital (seperti sistem perpajakan daring dan e-retribusi) dapat menjadi solusi untuk meningkatkan PAD dan menurunkan ketimpangan.
Kesimpulan: Fokus pada Belanja Modal sebagai Katalis
Penelitian ini menyimpulkan bahwa hanya belanja modal yang berkontribusi signifikan terhadap peningkatan kemandirian fiskal di Bali. Variabel lain seperti populasi, upah minimum, dan kemiskinan tidak menunjukkan korelasi kuat. Oleh karena itu, strategi fiskal daerah harus difokuskan pada peningkatan kualitas dan kuantitas belanja modal, khususnya di wilayah yang tertinggal.
Sumber
Fabian Rabbani Hasri. (2024). Faktor Determinan Kemandirian Fiskal Provinsi Bali Tahun 2016–2020. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kebijakan Lingkungan & Investasi
Dipublikasikan oleh pada 21 Mei 2025
Pendahuluan
Indonesia dikenal sebagai negara kaya sumber daya alam, dan Jawa Timur menjadi salah satu provinsi yang berkontribusi besar dalam kekayaan mineral tersebut. Artikel ilmiah berjudul "Sumberdaya, Cadangan, Produksi Mineral dan Batuan Provinsi Jawa Timur Tahun 2018" yang ditulis oleh Gregorius Aryoko Gautama, Dandung Novianto, dan Agus Suhardono dari Politeknik Negeri Malang ini mengangkat pentingnya pemetaan potensi mineral secara sistematis dan ilmiah berdasarkan standar nasional. Fokus utamanya adalah menghitung cadangan dan produksi mineral serta memberikan gambaran neraca sumberdaya menggunakan acuan SNI 6728.4:2015.
Latar Belakang Penelitian
Sebagai bagian dari Cincin Api Pasifik, Jawa Timur memiliki potensi geologi luar biasa. Provinsi ini menyimpan tidak kurang dari 31 jenis komoditas mineral yang tersebar di berbagai daerah. Namun, pengelolaan dan pemanfaatannya belum optimal, terlihat dari besarnya sisa cadangan yang belum tergarap.
Mineral dalam studi ini dikategorikan menjadi tiga:
Mineral logam: emas, tembaga, besi, nikel, pasir besi
Mineral bukan logam: gamping, belerang, feldspar, kaolin
Mineral batuan: andesit, marmer, dolomit, tanah urug, sirtu
Penelitian ini penting karena:
Menyediakan data dasar untuk perencanaan wilayah dan tata ruang.
Menjadi rujukan dalam kebijakan pengelolaan sumber daya berbasis lingkungan.
Menawarkan alternatif pendapatan asli daerah (PAD) melalui pajak mineral.
Metodologi
Penulis mengandalkan data dari Dinas ESDM Provinsi Jawa Timur dan menyusun neraca mineral dengan tahapan:
Inventarisasi data: produksi, cadangan, dan sumberdaya.
Klasifikasi menurut SNI 6728.4:2015:
Sumberdaya: hipotetik, tereka, terindikasi, terukur
Cadangan: terkira, terbukti
Analisis kuantitatif: menyusun tabel dan grafik distribusi sumberdaya dan produksinya.
Hasil Penelitian
Komoditas Unggulan:
Mineral Logam: Potensi emas sebesar 144 juta ton, menjadikannya komoditas logam terbesar.
Mineral Bukan Logam: Batu gamping menonjol dengan total cadangan 4,36 miliar ton.
Mineral Batuan: Andesit menduduki posisi tertinggi dengan potensi 1,28 miliar ton.
Produksi:
Komoditas dengan volume produksi tertinggi:
Batu Gamping: 1.232.795 ton
Sirtu: 3.756.253 ton
Beberapa komoditas penting seperti emas dan pasir besi belum diproduksi sama sekali, menunjukkan potensi yang belum tergarap.
Cadangan Terbukti:
Batu gamping: 773 juta ton terbukti, 1,7 miliar ton terkira
Dolomit: 552 juta ton
Marmer: 9,8 juta ton
Analisis Tambahan & Opini
Pemanfaatan Masih Terbatas
Data menunjukkan bahwa banyak potensi mineral belum tergali. Hal ini bisa disebabkan oleh:
Keterbatasan infrastruktur penambangan
Kendala regulasi dan perizinan
Risiko lingkungan dan sosial di lokasi tambang
Dampak Ekonomi yang Belum Maksimal
Padahal sektor pertambangan berpotensi mendongkrak PAD jika:
Terdapat sistem penarikan pajak mineral yang transparan
Adanya insentif investasi untuk pelaku usaha tambang
Diterapkannya prinsip pertambangan berkelanjutan
Masalah Transparansi dan Data
Beberapa data seperti cadangan untuk komoditas besar tidak tersedia lengkap.
Produksi aktual untuk tahun 2019 tidak dicantumkan secara detil.
Studi Kasus Daerah
Trenggalek dan Banyuwangi memiliki potensi emas tinggi namun belum termanfaatkan secara optimal.
Tuban dan Blitar menjadi lumbung batu gamping, mendukung industri semen dan infrastruktur nasional.
Implikasi Kebijakan
Pengelolaan Terpadu: Sinergi antara pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat perlu diperkuat.
Transparansi Data: Publikasi data sumberdaya harus ditingkatkan untuk menarik investasi.
Kebijakan Berbasis Zonasi: Wilayah harus dikembangkan sesuai dengan karakteristik komoditas dominannya.
Lingkungan Hidup: Eksploitasi mineral harus disertai rencana reklamasi dan pengelolaan limbah.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Sejalan dengan studi Sembiring (2019) di Jawa Tengah tentang pentingnya evaluasi neraca mineral.
Berbeda dengan temuan Pamungkas (2018) yang menekankan nilai ekonomi sumberdaya mineral dalam rupiah, sementara penelitian ini fokus pada volume.
Kesimpulan
Jawa Timur memiliki kekayaan mineral luar biasa, tetapi belum tergarap secara optimal. Penelitian ini berhasil membuka mata bahwa pengelolaan berbasis data menjadi kebutuhan mutlak untuk pengembangan sumberdaya secara berkelanjutan.
Saran
Pemerintah perlu membentuk badan audit mineral daerah.
Perluasan eksplorasi untuk komoditas yang belum tercatat seperti pasir besi dan kaolin.
Pendidikan masyarakat lokal tentang potensi tambang dan pengelolaan dampaknya.
Sumber
Gautama, G. A., Novianto, D., & Suhardono, A. (2021). Sumberdaya, Cadangan, Produksi Mineral dan Batuan Provinsi Jawa Timur Tahun 2018. Jurnal Qua Teknika, 11(1), 52–66. https://ejournal.unisbablitar.ac.id/index.php/qua/article/view/3910
penelitian
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Urgensi Produktivitas dalam Dunia Konstruksi
Di tengah pesatnya pertumbuhan infrastruktur Indonesia, produktivitas di sektor konstruksi menjadi titik tumpu keberhasilan. Dalam proyek berskala besar maupun menengah, kinerja produktivitas menentukan apakah sebuah pekerjaan dapat diselesaikan tepat waktu, sesuai anggaran, dan dengan mutu optimal. Namun, bagaimana cara mengukur produktivitas tersebut secara adil dan objektif? Tesis Rintih Prastianing Atas Kasih dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember menjawab pertanyaan ini dengan menyusun sebuah model penilaian produktivitas proyek konstruksi (PPK) yang terstruktur, terukur, dan relevan dengan kondisi lapangan Indonesia.
Latar Belakang Penelitian
Produktivitas konstruksi di Indonesia menghadapi tantangan khas: padat karya, banyak ketergantungan pada tenaga manusia, serta dinamika proyek yang cepat berubah. Berdasarkan data dari Kementerian PUPR, nilai proyek konstruksi Indonesia mencapai Rp 1.000 triliun per tahun (Rahayu, 2015), namun sering terkendala manajemen buruk, mutu tak konsisten, dan pemborosan waktu.
Salah satu akar masalahnya adalah tidak adanya alat ukur produktivitas yang komprehensif dan spesifik bagi proyek konstruksi Indonesia. Sebagian besar penelitian hanya memetakan faktor-faktor penyebab produktivitas tanpa mengusulkan alat ukur yang dapat digunakan sebagai standar benchmarking di lapangan.
Tujuan dan Ruang Lingkup
Penelitian ini bertujuan untuk:
Mengembangkan model penilaian produktivitas konstruksi berdasarkan variabel internal dan eksternal.
Mengimplementasikan model tersebut ke dalam tujuh proyek nyata dari kontraktor besar dan menengah, baik BUMN maupun swasta.
Penilaian dilakukan dari sudut pandang pemilik proyek (owner), menjadikannya lebih relevan untuk evaluasi kinerja kontraktor.
Metodologi: Pendekatan Ilmiah yang Berbasis Praktik Lapangan
Penelitian ini menggunakan kombinasi:
Studi literatur mendalam untuk identifikasi variabel.
Kuesioner dan wawancara ahli untuk penilaian bobot menggunakan metode pairwise comparison.
Pengolahan data dilakukan dengan model Spider Web, yang menggambarkan performa secara visual dan komprehensif.
Model PPK dibagi ke dalam dua kategori besar:
Internal (73,8%), terdiri dari:
Manajemen (39,38%)
Sumber daya manusia (34,42%)
Eksternal (26,2%), termasuk lingkungan, kebijakan, dan faktor luar proyek.
Temuan Kunci: Faktor Human Menjadi Penentu Produktivitas Tertinggi
A. Internal – Human dan Manajemen
Faktor Human (SDM) mencakup usia, pengalaman kerja, tingkat pendidikan, sistem upah, lembur, dan waktu istirahat.
Faktor Manajemen mencakup keterampilan manajer proyek, sistem operasional, dan penerapan Project Management Maturity Model (OPM3).
Tingkat produktivitas tertinggi justru berasal dari kategori human, menegaskan bahwa kualitas dan kondisi tenaga kerja masih menjadi tulang punggung dalam proyek konstruksi di Indonesia.
B. Eksternal – Masih Kurang Signifikan
Termasuk regulasi pemerintah, cuaca, kondisi sosial, dan pasokan material.
Memiliki skor terendah dari total penilaian, menunjukkan bahwa kontrol eksternal yang lemah mengurangi pengaruhnya terhadap produktivitas langsung.
Studi Kasus: Implementasi Model pada Proyek Nyata
Model diuji pada 7 proyek konstruksi bangunan, baik BUMN maupun swasta. Hasilnya:
Skor produktivitas tertinggi dicapai oleh kategori Human (rata-rata 3,4 dari 5).
Skor produktivitas proyek secara keseluruhan berada pada level 3 (cukup produktif).
Proyek-proyek swasta cenderung memiliki skor yang lebih tinggi pada aspek manajemen dibandingkan proyek BUMN.
Visualisasi spider web menampilkan kelemahan dan kekuatan masing-masing proyek secara intuitif, memudahkan proses evaluasi dan perencanaan perbaikan.
Analisis Tambahan: Kenapa Human Jadi Kunci?
Banyak literatur menyebut bahwa efisiensi dalam konstruksi tidak hanya dipengaruhi teknologi atau manajemen, tetapi terutama oleh tenaga kerjanya. Dalam konteks Indonesia:
Ketergantungan pada pekerja manual sangat tinggi.
Produktivitas sangat dipengaruhi oleh sistem upah, motivasi, dan sistem kerja.
Sebagai pembanding, laporan McKinsey (2020) menyebut bahwa negara-negara dengan sistem insentif pekerja yang baik memiliki produktivitas 30% lebih tinggi dari rata-rata global.
Opini Kritis: Kekuatan dan Kelemahan Model PPK
Kekuatan:
Mengintegrasikan faktor manajemen dan SDM, bukan hanya fokus pada teknis.
Visualisasi spider web sangat membantu proses evaluasi cepat.
Pendekatan empiris dengan validasi proyek nyata, bukan sekadar simulasi.
Kelemahan:
Belum mempertimbangkan variabel teknologi secara eksplisit.
Representasi faktor eksternal masih terlalu luas dan kurang spesifik.
Tidak mengukur dampak perubahan kebijakan publik atau kondisi makroekonomi secara dinamis.
Perbandingan dengan Studi Lain
Penelitian ini lebih komprehensif dibandingkan model pengukuran sebelumnya:
Mateen (2015): Fokus pada project management maturity, belum menyentuh sisi produktivitas total.
El-Gohary & Aziz (2014): Mengidentifikasi faktor pengaruh produktivitas, tapi tanpa model pengukuran kuantitatif.
Dengan menggabungkan pendekatan OPM3, penelitian ini berada satu tingkat lebih maju, terutama dalam menjembatani gap antara penelitian teoritis dan aplikasi langsung di proyek.
Implikasi Praktis
Bagi Kontraktor:
Model ini bisa dijadikan alat evaluasi tahunan untuk mengukur performa proyek.
Menjadi dasar untuk menyusun strategi pelatihan dan manajemen tenaga kerja.
Bagi Pemerintah:
Dapat digunakan sebagai dasar pembuatan standar penilaian produktivitas nasional.
Menyediakan indikator baru untuk mengukur kualitas kontraktor dalam proses tender.
Bagi Akademisi:
Memberi arah baru untuk riset lanjutan dalam pengembangan model berbasis teknologi atau hybrid productivity.
Rekomendasi Penelitian Lanjutan
Integrasi teknologi: Masukkan elemen digitalisasi dan BIM sebagai faktor penilaian.
Pemodelan dinamis: Tambahkan sistem pemantauan real-time produktivitas proyek.
Ekspansi sektor: Terapkan model pada proyek infrastruktur jalan, jembatan, atau bendungan yang memiliki karakteristik berbeda dari bangunan gedung.
Kesimpulan
Tesis ini berhasil menyusun dan mengimplementasikan sebuah model penilaian produktivitas proyek konstruksi yang tidak hanya kuat secara metodologis, tetapi juga aplikatif di lapangan. Dengan mengutamakan faktor internal seperti manajemen dan SDM, serta memperkuat visualisasi penilaian melalui spider web, model ini bisa menjadi standar baru evaluasi kinerja proyek di Indonesia.
Namun demikian, penyempurnaan lebih lanjut masih diperlukan, terutama dalam hal integrasi teknologi dan perincian aspek eksternal. Dengan demikian, penelitian ini membuka pintu bagi pengukuran produktivitas konstruksi yang lebih akurat, adil, dan adaptif terhadap perubahan zaman
Sumber Artikel
Kasih, R. P. A. (2018). Model Penilaian Produktivitas pada Proyek Konstruksi di Indonesia. Tesis Magister, Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Tersedia di: https://repository.its.ac.id
Kontruksi Modern
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Produktivitas, Masalah Lama di Dunia Konstruksi
Industri konstruksi dikenal sebagai salah satu sektor penting dalam pembangunan nasional, tetapi ironi besar muncul ketika berbicara soal produktivitas. Dibandingkan sektor manufaktur, tingkat inovasi dan efisiensi konstruksi masih tertinggal jauh. Berdasarkan data dari Lean Construction Institute, sebanyak 57% aktivitas kontruksi tergolong “waste”, sementara hanya 10% yang benar-benar memberikan nilai tambah.
Dalam konteks inilah, artikel karya Paulus Setyo Nugroho menjadi sangat relevan. Penelitian ini tidak hanya memaparkan masalah klasik seperti keterlambatan proyek dan pembengkakan biaya, tetapi juga menawarkan solusi praktis melalui pemilihan metode konstruksi yang tepat, khususnya melalui penerapan teknologi pracetak dan inovasi sistem panel dinding serta metode Rheda untuk pembangunan rel kereta cepat.
Metodologi: Pendekatan Perbandingan Multi-Metode Konstruksi
Penelitian ini bersifat deskriptif-komparatif dengan pendekatan studi kasus di beberapa proyek nyata, termasuk:
Proyek Rusunawa Cilacap (penggunaan metode pracetak vs konvensional)
Proyek jalur rel kecepatan tinggi antara Belgia–Belanda (penggunaan metode Rheda 2000 NL)
Evaluasi sistem konstruksi gedung perumahan berbasis panel dinding prefab.
Fokus utamanya adalah mengukur efisiensi waktu, biaya, dan produktivitas kerja, yang kemudian dibandingkan antar metode.
Hasil Utama: Metode Konstruksi sebagai Game Changer
A. Pracetak vs Konvensional: Studi Kasus Rusunawa Cilacap
Metode beton pracetak (precast concrete) terbukti mampu memangkas waktu dan biaya proyek:
Durasi pelaksanaan struktur:
Pracetak: 168 hari
Konvensional: 196 hari
Efisiensi waktu: 14% lebih cepat
Penghematan biaya total struktur: Rp 227,5 juta (sekitar 6%)
Pengurangan biaya pelat: 10%
Penghematan kolom dan balok: 2%
B. Rheda 2000 NL: Solusi Efisiensi untuk Infrastruktur Rel
Untuk proyek skala besar seperti rel kereta cepat di perbatasan Belanda–Belgia, metode Rheda 2000 NL terbukti meningkatkan produktivitas hingga:
Pengurangan biaya lembur: 24,6%
Peningkatan kecepatan pembetonan (hingga 499 m/hari)
Kualitas pengerjaan meningkat berkat sistem kerja paralel dan peralatan modern
C. Teknologi Panel Dinding: Membangun Rumah dalam Hitungan Hari
Inovasi dalam sistem panel dinding modular (contoh: RISHA dan Smart Modula) dinilai mampu mempercepat proses pembangunan hunian:
Dimensi ringan (90x70 cm) → bisa diangkat oleh 1–2 orang
Tidak perlu alat berat
Sistem sambungan kering → mempercepat pemasangan
Estetika sederhana namun efisien
Analisis Tambahan: Kenapa Metode Berperan Vital?
1. Kunci Efisiensi: Meminimalisasi Pemborosan
Dalam konstruksi, pemborosan waktu dan sumber daya sering kali tidak disadari, seperti:
Proses bekisting yang memakan waktu
Perubahan desain mendadak
Penundaan material
Dengan metode seperti pracetak, aktivitas ini diminimalisasi karena:
Produksi dilakukan di pabrik
Komponen siap pasang
Pekerjaan lapangan dipersingkat
2. Mengurangi Ketergantungan pada Tenaga Ahli
Metode modular memungkinkan pekerja low-skilled bisa melakukan instalasi dengan pelatihan singkat, mengurangi beban biaya SDM. Di tengah kondisi kelangkaan tenaga kerja terampil, solusi ini sangat menjanjikan.
3. Adaptasi Terhadap Tantangan Urbanisasi
Kebutuhan akan pembangunan cepat dan masif (terutama di perkotaan) menuntut inovasi. Di sinilah metode konstruksi industrialisasi menjadi jawaban.
Kritik dan Refleksi: Tidak Semua Proyek Cocok dengan Pracetak
Meskipun metode pracetak terbukti unggul, ada beberapa catatan penting:
Tidak fleksibel terhadap perubahan desain
Biaya awal relatif mahal (biaya pabrikasi & crane)
Membutuhkan perencanaan matang sejak awal
Sebagai contoh, proyek kecil dengan banyak modifikasi di lapangan mungkin lebih cocok dengan metode konvensional atau campuran.
Perbandingan dengan Studi Lain
Artikel ini sejalan dengan temuan Low dan Chan (2001) serta Tam et al. (2007) yang menekankan bahwa pracetak:
Meningkatkan mutu
Mengurangi tenaga kerja
Mempermudah pengawasan
Namun, artikel ini unggul karena menyajikan data kuantitatif dan studi kasus nyata di Indonesia. Pendekatan lokal inilah yang membuatnya lebih aplikatif bagi industri konstruksi nasional.
Implikasi Praktis dan Strategi Implementasi
Bagi Pemerintah:
Dorong penggunaan pracetak melalui regulasi atau insentif
Tambahkan kurikulum modular building di pelatihan kerja
Bagi Kontraktor:
Lakukan studi kelayakan metode sebelum proyek dimulai
Investasi pada teknologi crane dan logistik modular
Bagi Akademisi:
Teliti lebih lanjut integrasi metode hybrid (kombinasi konvensional dan modular)
Kaji dampak metode terhadap emisi karbon proyek
Kesimpulan: Produktivitas adalah Pilihan Strategis
Produktivitas dalam konstruksi bukan sesuatu yang abstrak. Ia bisa dihitung, dibandingkan, dan ditingkatkan. Kuncinya? Pemilihan metode konstruksi yang tepat. Artikel ini secara meyakinkan membuktikan bahwa metode seperti pracetak, Rheda 2000 NL, dan teknologi panel dinding dapat memberikan lompatan besar dalam produktivitas.
Namun, seperti semua strategi, kuncinya ada di implementasi yang cermat dan kontekstual. Pemilihan metode konstruksi bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga soal kesesuaian terhadap kondisi proyek, lokasi, dan tujuan pembangunan.
Sumber
Nugroho, P. S. (2012). Peningkatan Produktivitas Konstruksi Melalui Pemilihan Metode Konstruksi. Dinamika Rekayasa, 8(1), 25–30.
Tersedia di: CORE.ac.uk