Menelisik Faktor Penentu Kemandirian Fiskal Provinsi Bali 2016–2020: Analisis Belanja Modal, Upah, dan Kemiskinan

Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah

22 Mei 2025, 08.00

pixabay

Pendahuluan: Mengapa Kemandirian Fiskal Itu Penting?

Kemandirian fiskal adalah indikator utama keberhasilan otonomi daerah. Sebuah daerah dikatakan mandiri secara fiskal jika mampu membiayai pengeluaran pemerintahannya tanpa sangat bergantung pada dana transfer dari pusat. Provinsi Bali, meskipun dikenal sebagai daerah pariwisata dengan kontribusi ekonomi signifikan, menunjukkan ketimpangan kemandirian fiskal antar wilayahnya. Hal ini mendorong studi yang dilakukan oleh Fabian Rabbani Hasri (2024), yang menganalisis faktor-faktor determinan kemandirian fiskal di Bali selama periode 2016–2020.

Latar Belakang: Ketimpangan Fiskal di Pulau Dewata

Meskipun indeks kemandirian fiskal Provinsi Bali menunjukkan klasifikasi "mandiri" dengan nilai berkisar antara 0,53 hingga 0,60, disparitas antar kabupaten/kota sangat mencolok. Kabupaten Badung, misalnya, mencapai skor 0,83 pada tahun 2019, sementara Kabupaten Bangli hanya sekitar 0,10. Ketimpangan ini diperparah dengan dominasi pembangunan di Bali Selatan, meninggalkan Bali Utara dalam ketertinggalan ekonomi.

Tujuan dan Metodologi Penelitian

Penelitian ini bertujuan menguji pengaruh belanja modal, jumlah penduduk, upah minimum, dan kemiskinan terhadap kemandirian fiskal menggunakan metode regresi data panel. Data sekunder dari BPS dan BPK RI selama 2016–2020 dianalisis untuk melihat pengaruh parsial dan simultan antar variabel.

Temuan Utama

1. Belanja Modal: Pengaruh Positif dan Signifikan

Belanja modal terbukti menjadi satu-satunya variabel yang secara statistik berpengaruh signifikan dan positif terhadap kemandirian fiskal. Hal ini logis, karena investasi pemerintah daerah dalam infrastruktur dan aset tetap memperkuat fondasi penerimaan asli daerah (PAD). Misalnya, Kabupaten Gianyar yang meningkatkan belanja modal dari Rp460 miliar (2016) menjadi Rp976 miliar (2020) menunjukkan peningkatan dalam indeks fiskal.

2. Jumlah Penduduk: Tidak Signifikan

Meskipun populasi meningkat, tidak ada hubungan langsung yang signifikan terhadap kemandirian fiskal. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan jumlah penduduk belum otomatis meningkatkan PAD, mungkin karena basis ekonomi yang belum cukup produktif atau tingginya beban pelayanan publik.

3. Upah Minimum: Tidak Signifikan

UMK di Bali terus meningkat selama periode penelitian, namun tidak serta-merta memengaruhi rasio kemandirian fiskal. Kenaikan upah tampaknya belum mampu memicu peningkatan pajak daerah secara substansial.

4. Kemiskinan: Tidak Signifikan

Tingkat kemiskinan yang relatif stagnan dan fluktuatif di berbagai kabupaten juga tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap kemandirian fiskal. Ini dapat diartikan bahwa alokasi anggaran untuk bantuan sosial tidak cukup besar untuk menggerus PAD.

Analisis Tambahan: Studi Kasus Kabupaten Badung vs Bangli

Kabupaten Badung menjadi contoh ekstrim daerah yang sangat mandiri secara fiskal karena dominasi sektor pariwisata dan retribusi pajak yang besar. Sebaliknya, Kabupaten Bangli, dengan basis ekonomi agraris dan minim objek pajak daerah, menunjukkan ketergantungan tinggi pada dana pusat. Studi ini menegaskan perlunya diferensiasi kebijakan fiskal dan investasi publik antar daerah.

Implikasi Praktis: Rekomendasi Kebijakan

  • Peningkatan Belanja Modal Terarah: Daerah dengan potensi ekonomi rendah perlu difasilitasi dengan belanja modal strategis seperti pembangunan pasar, infrastruktur digital, dan fasilitas wisata lokal.

  • Revitalisasi PAD: Meningkatkan efektivitas pajak daerah, retribusi, dan mengembangkan BUMD untuk memperkuat pendapatan.

  • Kebijakan Fiskal Berbasis Wilayah: Mendesain intervensi fiskal sesuai karakteristik lokal antara Bali Utara dan Selatan.

Kritik dan Perbandingan Penelitian Sebelumnya

Temuan Fabian Rabbani konsisten dengan Ariani & Putri (2016) dan Elisabeth Sukma Dewi (2020) yang menyatakan belanja modal berdampak positif terhadap kemandirian fiskal. Namun, hasil berbeda dengan studi Fitriyani & Suwarno (2021) yang menyebutkan pengaruh negatif. Perbedaan ini dapat dikaitkan dengan konteks wilayah dan alokasi anggaran yang berbeda.

Relevansi dengan Tren Industri dan Tata Kelola Daerah

Di era smart governance dan digitalisasi keuangan daerah, kemandirian fiskal menjadi prasyarat penting. Pembangunan berbasis belanja modal digital (seperti sistem perpajakan daring dan e-retribusi) dapat menjadi solusi untuk meningkatkan PAD dan menurunkan ketimpangan.

Kesimpulan: Fokus pada Belanja Modal sebagai Katalis

Penelitian ini menyimpulkan bahwa hanya belanja modal yang berkontribusi signifikan terhadap peningkatan kemandirian fiskal di Bali. Variabel lain seperti populasi, upah minimum, dan kemiskinan tidak menunjukkan korelasi kuat. Oleh karena itu, strategi fiskal daerah harus difokuskan pada peningkatan kualitas dan kuantitas belanja modal, khususnya di wilayah yang tertinggal.

Sumber

Fabian Rabbani Hasri. (2024). Faktor Determinan Kemandirian Fiskal Provinsi Bali Tahun 2016–2020. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.