Konstruksi

Faktor Penentu Produktivitas Pekerja Konstruksi: Studi Kasus Brastagi Supermarket

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 21 Mei 2025


Pendahuluan: Produktivitas Sebagai Kunci Sukses Proyek Konstruksi

Dalam dunia konstruksi, produktivitas bukan sekadar angka statistik—ia adalah cerminan efisiensi, ketepatan waktu, dan kualitas hasil. Proyek besar seperti pembangunan Brastagi Supermarket di Medan, yang menjadi objek dalam penelitian ini, membutuhkan lebih dari sekadar material berkualitas dan desain arsitektur; kunci keberhasilannya terletak pada sumber daya manusianya, yakni para pekerja konstruksi.

Penelitian ini berangkat dari kebutuhan nyata di lapangan: mengidentifikasi faktor-faktor yang benar-benar mempengaruhi produktivitas pekerja. Sebab, meskipun proyek disokong dana besar dan perencanaan matang, ketidakefisienan tenaga kerja dapat menimbulkan keterlambatan dan kerugian.

Tujuan dan Lingkup Penelitian

Tujuan utama skripsi ini adalah untuk mengetahui:

  • Apa saja faktor yang mempengaruhi produktivitas pekerja di proyek pembangunan Brastagi Supermarket?

  • Faktor mana yang memiliki pengaruh paling dominan?

 

Lingkup penelitian difokuskan pada tahap pekerjaan basement dan lantai 1, melibatkan tukang, asisten mandor, dan mandor sebagai responden.

 

Metodologi Penelitian: Kuantitatif dengan Analisis SPSS

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif berbasis survei. Instrumen utama adalah kuesioner dengan skala Likert, yang kemudian dianalisis melalui uji validitas, reliabilitas, dan penghitungan rata-rata (mean) menggunakan SPSS versi 26.

Enam variabel diuji, yaitu:

  1. Usia

  2. Pengalaman kerja

  3. Upah

  4. Jumlah tanggungan keluarga

  5. Kesehatan

  6. Kondisi lapangan
     

Nilai produktivitas dihitung berdasarkan skor agregat tiap faktor, menghasilkan total skor 3.124 poin.

 

Hasil Temuan: Upah sebagai Faktor Terkuat

Dari seluruh variabel yang diteliti, faktor upah menempati posisi tertinggi dalam mempengaruhi produktivitas pekerja, dengan koefisien sebesar 32,400. Disusul oleh pengalaman kerja dan kesehatan sebagai variabel signifikan lainnya.

Statistik Penting:

  • Total skor produktivitas: 3.124 poin

  • Koefisien tertinggi (faktor upah): 32,400

  • Usia dan jumlah tanggungan memiliki pengaruh sedang

  • Faktor lingkungan (kondisi lapangan) juga turut berkontribusi, meski tidak sebesar faktor ekonomi

 

Analisis Tambahan: Kenapa Upah Jadi Penentu?

Secara sosiologis dan psikologis, upah bukan hanya soal kompensasi, tetapi juga cermin penghargaan dan motivasi. Ketika pekerja merasa dihargai secara finansial, hal itu meningkatkan rasa tanggung jawab dan loyalitas mereka terhadap proyek.

Dalam konteks Medan dan sektor konstruksi Sumatera Utara, standar upah sering kali menjadi isu. Berdasarkan data dari BPS 2023, rata-rata upah harian tukang bangunan di Indonesia berkisar antara Rp 120.000–150.000. Bila proyek seperti Brastagi Supermarket menerapkan skema upah di bawah atau tidak sesuai dengan kompleksitas kerja, maka potensi penurunan produktivitas meningkat signifikan.

 

Perbandingan dengan Studi Terdahulu

Penelitian ini mengonfirmasi hasil penelitian sebelumnya:

  • Faradina (2021): Faktor kesehatan paling dominan dalam proyek MTsN 3 Pekanbaru.

  • Iqbal (2018): Faktor upah berpengaruh signifikan dalam proyek PT. Mega Prima Development.

  • Widayat (2017): Faktor usia dan pengalaman memiliki korelasi tinggi terhadap produktivitas.

Namun, dalam studi Alexius ini, faktor upah justru menempati posisi puncak. Hal ini memperlihatkan bahwa dinamika produktivitas bisa sangat tergantung pada konteks lokal proyek.

 

Studi Kasus Nyata: Proyek MRT Jakarta

Sebagai pembanding, proyek MRT Jakarta fase 1 juga mengalami dinamika serupa. Pada awal 2020, produktivitas pekerja sempat menurun karena isu pembayaran yang tertunda. Setelah manajemen memperbaiki sistem insentif dan pemberian bonus berbasis kinerja, produktivitas meningkat hingga 20% dalam tiga bulan (sumber: Laporan PT MRT Jakarta, 2021).

Hal ini membuktikan bahwa insentif finansial yang adil dan terukur dapat menjadi pemicu percepatan proyek secara keseluruhan.

 

Implikasi Praktis Penelitian

Bagi Kontraktor dan Manajemen Proyek:

  • Penyesuaian upah berdasarkan UMR dan kondisi proyek sangat penting.

  • Program pelatihan kesehatan kerja dan manajemen stres bisa meningkatkan produktivitas jangka panjang.

Bagi Pemerintah Daerah:

  • Perlu diterapkan regulasi minimum wage khusus untuk sektor konstruksi.

  • Mendorong pengawasan yang lebih ketat terhadap standar kerja di proyek-proyek publik dan swasta.

Kelebihan dan Keterbatasan Penelitian

Kelebihan:

  • Analisis statistik berbasis SPSS memberikan hasil kuantitatif yang dapat dipertanggungjawabkan.

  • Studi lapangan secara langsung di proyek yang sedang berjalan.

Keterbatasan:

  • Penelitian hanya mencakup area basement dan lantai 1 proyek, yang mungkin belum mencerminkan keseluruhan kondisi proyek.

  • Fokus hanya pada faktor internal pekerja, belum mempertimbangkan faktor manajerial atau kebijakan proyek.

 

Opini dan Rekomendasi Penulis

Penelitian ini sangat relevan dengan tantangan produktivitas yang dihadapi sektor konstruksi Indonesia. Penulis menyarankan agar penelitian serupa dilakukan secara longitudinal, tidak hanya pada satu fase proyek, untuk melihat perubahan dinamika produktivitas dari awal hingga akhir proyek.

Lebih lanjut, akan sangat menarik bila dikembangkan studi komparatif antar provinsi atau wilayah—untuk memahami pengaruh budaya kerja dan kebijakan lokal terhadap produktivitas.

 

Kesimpulan

Produktivitas pekerja adalah elemen kritis dalam keberhasilan proyek konstruksi. Melalui penelitian Alexius Awalludin Hulu ini, kita belajar bahwa faktor upah, pengalaman kerja, dan kesehatan memiliki pengaruh signifikan terhadap produktivitas pekerja.

Untuk menjawab tantangan produktivitas, diperlukan pendekatan manajerial yang holistik: mulai dari kebijakan pengupahan yang adil hingga peningkatan kapasitas tenaga kerja melalui pelatihan berkelanjutan. Dengan begitu, proyek konstruksi di Indonesia dapat diselesaikan lebih cepat, efisien, dan dengan kualitas yang lebih baik.

 

Sumber Artikel

Hulu, A. A. (2023). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Pekerja pada Proyek Pembangunan Brastagi Supermarket. Skripsi, Universitas Medan Area.
Tersedia di: repository.uma.ac.id

Selengkapnya
Faktor Penentu Produktivitas Pekerja Konstruksi: Studi Kasus Brastagi Supermarket

Manajemen Proyek

Strategi Mitigasi Keterlambatan Proyek Rumah Sakit dengan Metode House of Risk (HOR)

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Mei 2025


Pembangunan proyek infrastruktur, khususnya rumah sakit, adalah tugas kompleks yang penuh risiko. Artikel berjudul “Langkah Mitigasi Risiko Keterlambatan Pekerjaan dengan Pendekatan Metode House of Risk (HOR) pada Proyek Pembangunan Rumah Sakit” oleh Kyrra Sandra Sarkisian dkk., menawarkan pendekatan sistematis dalam mengidentifikasi dan mengelola risiko keterlambatan proyek konstruksi menggunakan metode House of Risk (HOR). Resensi ini akan membahas secara menyeluruh isi paper tersebut dengan penekanan pada studi kasus, angka-angka yang signifikan, dan relevansi praktisnya di industri konstruksi Indonesia.

Tantangan dalam Proyek Rumah Sakit: Kompleksitas dan Kebutuhan Khusus

Penelitian ini mengambil studi kasus pembangunan rumah sakit tujuh lantai di Sidoarjo yang menjadi bagian dari fasilitas penunjang tambahan sebuah rumah sakit eksisting. Rumah sakit, berbeda dengan bangunan komersial lain seperti ruko atau apartemen, memiliki regulasi dan standar infrastruktur khusus, seperti sistem sanitasi, sterilisasi, dan sirkulasi udara yang kompleks. Ini menjadikan proyek rumah sakit jauh lebih menantang.

Dalam proyek ini, keterlambatan mulai terlihat dari minggu ke-7 sampai minggu ke-10. Rinciannya:

  • Minggu ke-7: deviasi keterlambatan 0,369%

  • Minggu ke-8: 1,876%

  • Minggu ke-9: 2,940%

  • Minggu ke-10: 1,440%

Keterlambatan ini terjadi pada fase pekerjaan pondasi tiang pancang, yang diperparah oleh akses lokasi yang terbatas dan kondisi site yang tidak mendukung.

Pendekatan HOR: Sistematik dan Berbasis Data

House of Risk (HOR) adalah metode yang dikembangkan oleh Pujawan dan Geraldin (2009), dengan dua fase utama:

  1. Fase 1: Identifikasi risiko dan prioritas pemicu keterlambatan

  2. Fase 2: Formulasi langkah mitigasi terhadap pemicu yang diprioritaskan

HOR menggabungkan pendekatan kuantitatif dan kualitatif menggunakan data observasi, kuesioner, wawancara dengan staf ahli di lapangan, dan teknik evaluasi seperti Pareto Analysis dan perhitungan Aggregate Risk Potential (ARP).

Hasil Identifikasi Risiko (Fase 1)

Penelitian menemukan 7 risk agent (pemicu risiko) utama:

  1. Lamanya proses fabrikasi material

  2. Terlambatnya pengiriman material akibat perubahan spesifikasi tiang pancang

  3. Perubahan desain pondasi dan titik pondasi

  4. Perubahan kedalaman tiang pancang

  5. Perubahan lokasi water tank

  6. Lokasi proyek yang sulit diakses

  7. Kerusakan alat berat

Melalui analisis Pareto, tiga faktor teratas dengan kontribusi signifikan terhadap keterlambatan diprioritaskan:

  • Kerusakan alat berat

  • Lokasi site yang sulit

  • Perubahan kedalaman tiang pancang

Misalnya, faktor "kerusakan alat berat" menyumbang 47,09% potensi keterlambatan (ADPj = 172 dari total 81). Ini menunjukkan betapa krusialnya manajemen peralatan berat di lapangan.

Strategi Mitigasi Efektif (Fase 2)

Setelah mengidentifikasi prioritas risiko, peneliti menyusun lima langkah mitigasi yang kemudian dievaluasi berdasarkan efektivitas dan tingkat kesulitannya:

  1. PA4: Melakukan penjadwalan ulang (reschedule)
    Strategi ini menjadi yang paling efektif karena mampu menyesuaikan dengan perubahan kondisi lapangan dan fleksibel terhadap dinamika proyek. Memiliki nilai efektivitas tertinggi (TEk = 375) dan rasio efektivitas terhadap kesulitan (ETDk) sebesar 375.

  2. PA3: Pembagian zona kerja (scope)
    Membagi pekerjaan menjadi beberapa zona mengurangi ketergantungan antar aktivitas dan mempercepat eksekusi bagian yang tidak terdampak. Nilai efektivitasnya cukup tinggi (TEk = 375) dengan ETDk = 168.75.

  3. PA2: Penyesuaian jadwal mobilisasi dan fabrikasi material
    Langkah ini mengatur ulang proses logistik proyek untuk menghindari bottleneck akibat keterlambatan material. TEk = 225 dengan ETDk = 112.5.

  4. PA1: Pemeriksaan berkala alat berat
    Pemeliharaan rutin menjadi langkah pencegahan sederhana namun penting untuk menghindari kerusakan alat berat. ETDk = 125 meskipun skor efektivitasnya (TEk = 375) sama dengan PA4 dan PA3, tetapi karena tingkat kesulitannya lebih tinggi, rankingnya lebih rendah.

  5. PA5: Survei awal desain tanah
    Langkah ini berguna untuk meminimalkan perubahan mendadak terkait desain pondasi. Namun ETDk-nya hanya 66, menjadi opsi mitigasi dengan ranking terendah karena tantangan pelaksanaan awal yang tinggi.

Relevansi Strategi HOR dalam Industri Konstruksi

Metode HOR memberikan cara yang terstruktur dan berbasis data untuk mengelola risiko konstruksi. Hal ini menjadi sangat relevan di Indonesia yang memiliki dinamika proyek kompleks dan kerap menghadapi kendala administratif, geografis, serta logistik. Dalam studi kasus ini, penggabungan data primer (wawancara) dan sekunder (kurva S, laporan deviasi) memperkaya analisis dan menjadikan rekomendasi lebih praktis dan implementatif.

Strategi seperti rescheduling dan scope splitting bukan hanya relevan dalam pembangunan rumah sakit, tetapi juga di proyek-proyek besar lainnya seperti pembangunan gedung pemerintah, pusat perbelanjaan, bahkan proyek infrastruktur seperti jalan tol dan jembatan.

Meski paper ini sangat aplikatif, terdapat beberapa kekurangan:

  • Jumlah responden terbatas (hanya dua staf proyek), padahal validitas data bisa lebih kuat dengan melibatkan lebih banyak pihak seperti vendor material, konsultan perencana, atau manajemen rumah sakit.

  • Evaluasi efektivitas mitigasi lebih banyak mengandalkan persepsi responden daripada data historis proyek sejenis, yang bisa menjadi peluang pengembangan penelitian lebih lanjut.

Penelitian lanjutan dapat memperluas metode HOR dengan tambahan teknologi seperti Building Information Modeling (BIM) untuk memperkirakan keterlambatan secara lebih presisi.

Penelitian oleh Sarkisian dkk. menjadi kontribusi nyata dalam mengatasi permasalahan klasik dunia konstruksi: keterlambatan proyek. Metode House of Risk terbukti mampu mengidentifikasi dan mengatasi penyebab keterlambatan secara sistematis, dengan hasil konkret yang bisa dijadikan pedoman teknis oleh manajer proyek dan pelaksana lapangan.

Langkah mitigasi seperti penjadwalan ulang, pemecahan zona kerja, hingga pengawasan alat berat bukan hanya mengurangi risiko tetapi juga meningkatkan efisiensi proyek. Dengan mengadopsi pendekatan seperti ini secara luas, proyek konstruksi di Indonesia dapat menjadi lebih tepat waktu, efisien, dan sesuai mutu yang direncanakan.

Sumber asli artikel (dalam bahasa Indonesia):
Sarkisian, Kyrra Sandra; Gede Sarya; Masca Indra Triana. "Langkah Mitigasi Risiko Keterlambatan Pekerjaan dengan Pendekatan Metode House of Risk (HOR) pada Proyek Pembangunan Rumah Sakit." PORTAL: Jurnal Teknik Sipil, Volume 16, Edisi Khusus, Januari 2023.

Selengkapnya
Strategi Mitigasi Keterlambatan Proyek Rumah Sakit dengan Metode House of Risk (HOR)

Manajemen Udara

Mengintegrasikan GIS untuk IWRM yang Efektif di Afrika Barat: Studi Kasus Sungai Agneby

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 21 Mei 2025


Mengapa IWRM Membutuhkan Terobesan Teknologi?

Air Pengelolaan sumber daya air semakin kompleks. Di tengah perubahan tekanan iklim, urbanisasi, dan pertumbuhan penduduk, pendekatan konvensional terbukti tidak lagi cukup. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (IWRM) hadir sebagai solusi holhadir sebagai solusi holistik, namun pelaksanaannya sering terganjal pada dua aspek krusial: minimnya data dandan kurangnya alat bantu teknis . Di akhir tesis Christ Herbert Koffi menawarkan solusi visioner: membangun alat pendukung keputusan berbasis GIS di wilayah Sungai Agneby, Pantai Gading.

Peta Masalah: Krisis Air di Sungai Agneby

Sungai Agneby membentang sepanjang 277 km dengan luas DAS 8.525 km². Meskipun wilayah ini menyimpan potensi udara yang besar, permasalahannya tidak sepele:

  • Distribusi udara yang tidak merata
  • Ketiadaan sistem informasi spasial untuk manajemen
  • Tumpang kewenangan antar kementerian dan lembaga
  • Fragmentasi data di berbagai institusi

Misalnya, data kualitas dan kuantitas udara yang tersebar di berbagai institusi, namun tidak terintegrasi , membuat pengambilan keputusan hampir mustahil dilakukan secara tepat waktu dan akurat.

Solusi Cerdas: Sistem Pendukung Keputusan Berbasis GIS

Dalam tesisnya, Koffi membangun sebuah sistem Web-GIS berbasis open-source, yang mengintegrasikan berbagai komponen:

  • Basis data spasial menggunakan PostgreSQL + PostGIS
  • Peta tematik : administrasi, infrastruktur, pemanfaatan lahan, hingga fasilitas kesehatan
  • Antarmuka Web Interaktif : berbasis Leaflet dan GeoServer

Alat ini dirancang bukan hanya sebagai alat visualisasi, tetapi juga sebagai platform koordinasi lembaga lintas yang memungkinkan penyusunan kebijakan berbasis data nyata di lapangan.

Apa Saja Temuan Utama?

1. Pemetaan Terintegrasi

Sistem berhasil menyatukan data spasial seperti:

  • 277 km aliran sungai utama
  • 8525 km² daerah tangkapan
  • Data curah hujan tahunan >2000 mm
  • Suhu rata-rata 24–33°C
  • Relief dan morfometri DAS

2. Prototipe Web-GIS yang Fungsional

Dengan tampilan yang user-friendly, sistem mampu menyajikan:

  • Data udara permukaan dan infrastruktur
  • Titik-titik pemanfaatan udara (irigasi, konsumsi, sanitasi)
  • Lapisan penggunaan lahan yang berubah dengan cepat akibat urbanisasi dan intensifikasi pertanian

3. Potensi Kolaborasi Lintas Sektor

Sistem ini dirancang untuk digunakan oleh:

  • Kementerian (Udara, Lingkungan, Pertanian, Energi)
  • LSM dan sektor swasta
  • Akademisi dan pelajar
  • Komunitas lokal dan manajer DAS

Kritik dan Analisis Tambahan

Kelebihan Utama:

  • Open-source : Tidak tergantung vendor
  • Interoperabel : mengikuti standar OGC (Open Geospatial Consortium)
  • Fleksibel : Dapat diakses melalui web di berbagai perangkat

Tantangan Implementasi:

  • Belum adanya peraturan nasional tentang sistem informasi udara terpadu
  • Ketergantungan pada koneksi internet untuk Web-GIS
  • Perlu pelatihan SDM agar sistem tidak hanya dimiliki, tetapi juga digunakan

Perbandingan dengan Studi Serupa

Penelitian seperti Pearson dkk. (2009) dan Zhang dkk. (2009) telah mengembangkan DSS serupa di California dan Tiongkok. Namun, pendekatan Koffi lebih membumi dan sesuai konteks Afrika Barat yang memiliki keterbatasan sumber daya dan infrastruktur.

Studi Kasus & Relevansi Global

Dalam Skala global, studi ini menjadi model penting bagi negara-negara berkembang yang menghadapi:

  • Keterbatasan akses air
  • Data yang tersebar dan tidak sinkron
  • Fragmentasi kelembagaan

UN SDG 6 menjadi acuan kuat di sini: memastikan ketersediaan udara dan pengelolaan berkelanjutan untuk semua. Sistem ini adalah wujud nyata dari tata kelola berbasis data untuk mendukung target tersebut.

Dampak Praktis di Lapangan

Dengan alat ini, para pemangku kepentingan dapat:

  • Menyusun kebijakan berbasis fakta spasial
  • Mengidentifikasi wilayah rawan banjir atau kekeringan
  • Menentukan lokasi strategi pembangunan infrastruktur udara
  • Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam konservasi sumber daya udara

Kesimpulan: Dari Prototipe ke Penerapan Nasional

Karya Koffi menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya air berbasis data bukan hanya impian teknokratik , tetapi kebutuhan yang mendesak. Di era gangguan iklim dan tekanan urbanisasi, alat seperti ini bisa jadi tulang punggung sistem peringatan dini, pengawasan kualitas udara, hingga perencanaan tata ruang berkelanjutan.

Dengan penguatan regulasi dan dukungan kelembagaan, prototipe ini dapat berkembang menjadi sistem informasi nasional , menjawab kebutuhan riil masyarakat dan lingkungan sekaligus.

Referensi

Koffi, CH (2021). Pengembangan Alat Pendukung Berbasis GIS untuk Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu: Studi Kasus di Cekungan Sungai Agneby, Selatan Pantai Gading . Institut Ilmu Air dan Energi Universitas Pan-Afrika

Selengkapnya
Mengintegrasikan GIS untuk IWRM yang Efektif di Afrika Barat: Studi Kasus Sungai Agneby

Cekungan Bandung

Daya Dukung Air di Cekungan Bandung: Krisis Tersembunyi di Balik Pertumbuhan Kota

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 21 Mei 2025


Pendahuluan: Bandung, Kota yang Dihimpit Kemajuan dan Krisis Air

Bandung bukan sekadar kota kreatif atau surga wisata, melainkan juga medan pertarungan antara pertumbuhan dan keinginan. Dalam makalah “Daya Dukung Sumber Daya Air di Cekungan Bandung” , peneliti dari LIPI, D. Marganingrum, memaparkan dinamika yang mencemaskan: daya dukung udara di wilayah ini kian berkurang seiring meningkatnya tekanan urbanisasi dan kerusakan lingkungan.

Makalah ini menjadi penting karena mengusulkan pendekatan sistem dinamis untuk memahami krisis udara yang kompleks di kawasan Bandung Raya—sebuah pendekatan yang selama ini belum dominan digunakan dalam tata perencanaan

Dampak Nyata di Lapangan: Dari Rumah Tangga Hingga Hulu Sungai

Krisis air bukan hanya wacana teknis di ruang seminar. Di Bandung, dampaknya nyata dan terasa:

1. Air Bersih Tidak Lagi Merata

Wilayah Bandung Timur dan Selatan sering mengalami kekurangan pasokan air bersih, khususnya saat musim kemarau. Warga di perbukitan bahkan bergantung pada tangki air swasta yang mahal dan tidak selalu higienis.

2. Sungai sebagai “Tempat Sampah Cair”

Sungai-sungai utama seperti Cikapundung dan Citarum bagian hulu mengalami penurunan kualitas drastis karena limbah domestik, industri, dan pertanian. Udara permukaan yang seharusnya bisa menopang kebutuhan, kini justru menjadi sumber penyakit.

3. Ketegangan Sosial dan Ketimpangan Ekonomi

Akses terhadap air berkualitas semakin menjadi indikator kelas sosial. Perumahan elite memiliki sumur artesis dan sistem pengolahan, sementara warga pinggiran harus antre jeriken di musim kering. Hal ini menciptakan kesenjangan yang makin leyang makin lebar.

Integrasi ke Kebijakan Nyata: Dari Dokumen ke Aksi

Salah satu tantangan besar yang disampaikan dalam makalah ini adalah kesenjangan antara kajian ilmiah dan kebijakan implementasi . Konsep daya dukung sering diabaikan dalam penyusunan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), apalagi pada skala lokal (RT/RW).

Langkah Nyata yang Bisa Diambil:

  • Menjadikan analisis daya dukung udara sebagai syarat utama untuk menerbitkan izin pembangunan (apartemen, kawasan industri, dsb).
  • Mengintegrasikan model keluaran sistem dinamis ke dalam dashboard kebijakan Dinas Sumber Daya Udara dan Lingkungan Hidup.
  • Mendorong data terbuka agar masyarakat bisa ikut menyatukan kapasitas udara wilayahnya.

Keterkaitan dengan Agenda Global: SDGs dan Keberlanjutan Perkotaan

Kajian ini sangat relevan dengan target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG 6) yaitu “air bersih dan sanitasi layak untuk semua.” Bandung bisa menjadi model percontohan nasional jika:

  • Daya dukung dijadikan indikator tetap pembangunan.
  • Model sistem dinamis dijalankan secara real-time melalui teknologi pemantauan berbasis satelit dan sensor lapangan (IoT).
  • Pembangunan kota diarahkan ke smart city yang sadar lingkungan.yang sadar lingkungan.

Keberlanjutan Selain itu, makalah ini juga mendukung visi Urban Sustainability ala UN- Hala UN-Habitat yang mensyaratkan keseimbangan antara ekologi, ekonomi, dan sosial.

Pendekatan Partisipatif: Peran Komunitas dan Akademisi

Penulis juga secara implisit membuka peluang kolaborasi lintas pihak. Tanpa partisipasi masyarakat, semua konsep teknokratis akan gagal di lapangan. Beberapa inisiatif komunitas yang dapat mendukung implementasi daya dukung air:

  • Program Biopori dan Sumur Resapan Warga di RW- RWdi RW-RW perkotaan.
  • Kampanye “Satu Rumah Satu Tandon” untuk konservasi hujan.
  • Kolaborasi kampus-sekolah-masyarakat dalam pemantauan kualitas udara lokalsains berbasis ilmu pengetahuan warga.

Tantangan Masa Depan: Iklim, Migrasi, dan Perubahan Gaya Hidup

Daya dukung udara di Bandung bukan hanya ditekan oleh urbanisasi, namun juga oleh perubahan iklim dan migrasi internal .

Tren yang Perlu Diantisipasi:

  • Kenaikan suhu global dapat mengubah pola hujandapat mengubah pola hujan Bandung yang selama ini mendukung pertanian sayuran dataran tinggi.
  • Perluasan wilayah perkotaanperkotaan akan mendorong permakan mendorong organisasi pembohong di bantaran sungai dan kaki gunung, membantu risiko banjir dan polusi.
  • Gaya hidup konsumtif (lebih banyak kolam renang pribadi, penggunaan udara berlebih di sektor perhotelan) menambah beban sistem udara kota.

Tanpa intervensi yang terukur dan sistematis, skenario krisis tidak lagi fiksi, namun kepastian waktu.

Penutup: Saatnya Bandung Menjadi Model Tata Kelola Air Cerdas

Makalah karya D. Marganingrum ini bukan hanya menawarkan wacana, tapi peta jalan ilmiah menuju sistem pengmenuju sistem pengelolaan air yang lebih adil dan berkelanjutan di Cekungan Bandung.

Beberapa simpulan praktis yang perlu diambil:

  • Mulai dari pengukuran yang benar , melalui model sistem dinamis yang dapat memproyeksikan tekanan udara dari berbagai skenario pembangunan.
  • Membantu masyarakat dan dunia akademik dalam penyusunan kebijakan berbasis data.
  • Jadikan daya dukung air sebagai kompas pembangunan , bukan sekadar syarat administratif.

Jika Bandung ingin tetap menjadi kota yang layak huni dalam 20–30 tahun ke depan, maka udara harus dijaga dengan kecermatan ilmiah dan komitmen sosial-politik yang kuat .

Sumber Referensi

2018 Daya Marganingrum, D. (2018). Daya Dukung Sumber Daya Air di Cekungan BandungKonferensi : Ilmu 118( 1), 012026. DOISeri Konferensi IOP: Ilmu Bumi dan Lingkungan, 118(1), 012026.

Selengkapnya
Daya Dukung Air di Cekungan Bandung: Krisis Tersembunyi di Balik Pertumbuhan Kota

Manajemen Risiko

Evaluasi Manajemen Risiko pada Pekerjaan Subgrade Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Mei 2025


Dalam era pembangunan infrastruktur masif di Indonesia, proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung menjadi simbol ambisi nasional dalam mendorong konektivitas antarwilayah secara cepat dan efisien. Dengan waktu tempuh hanya 36 menit dari Jakarta ke Bandung, proyek ini diharapkan mampu memangkas jarak dan waktu secara signifikan. Namun, di balik ambisi besar tersebut, tersembunyi tantangan yang sangat kompleks, terutama dalam hal manajemen risiko yang melekat dalam proyek konstruksi berskala besar.

Penelitian ini mengadopsi pendekatan deskriptif kuantitatif dengan menggunakan kuesioner berbasis skala Likert dan wawancara kepada para profesional proyek. Pengolahan data dilakukan melalui severity index (SI) dan pengkategorian risiko berdasarkan matriks risiko PMBOK 2013. Penelitian ini tidak hanya mengandalkan persepsi lapangan dari 35 responden, tapi juga memvalidasi data melalui wawancara dengan tiga pakar berpengalaman lebih dari 15 tahun di bidang konstruksi jalan.

Lokasi penelitian difokuskan pada wilayah kerja subgrade 11A DK52+846 – DK53+372 di Karawang, dengan total panjang area 526 meter dan lebar 13,6 meter. Pelaksanaan proyek ini dilakukan oleh PT. Wijaya Karya (main kontraktor) dan PT. Eureka Putra Mandiri (subkontraktor), berlangsung selama 9 bulan dari Oktober 2020 hingga Juli 2021.

Temuan Utama: Identifikasi 38 Risiko dan 4 Risiko Dominan

Dari 41 variabel risiko yang diajukan, sebanyak 38 variabel lolos validasi dan digunakan dalam analisis. Berdasarkan hasil severity index dan matriks risiko, ditemukan bahwa:

  • 1 risiko dikategorikan sebagai unacceptable.

  • 14 risiko sebagai undesirable.

  • 23 risiko sebagai acceptable.

  • 0 risiko negligible.

Peneliti kemudian memfokuskan analisis pada 4 risiko dominan dengan dampak paling signifikan terhadap kelancaran proyek, yaitu:

  1. Pengaruh Cuaca terhadap Aktivitas Konstruksi
    Risiko ini memiliki probabilitas dan dampak tertinggi (kategori risiko tinggi). Hujan deras, genangan air, dan potensi banjir lokal mengganggu produktivitas dan menghambat mobilisasi alat berat.

  2. Perubahan Spesifikasi Material antara Owner dan Kontraktor
    Perbedaan persepsi atau kondisi lapangan menyebabkan material yang digunakan tidak sesuai dengan rencana awal, yang bisa berdampak pada kualitas struktur dan estimasi biaya proyek.

  3. Terganggunya Mobilisasi Alat Berat akibat Medan yang Sulit
    Akses ke lokasi proyek yang terjal dan rusak menyebabkan alat berat sulit masuk dan bekerja optimal. Hal ini menghambat progres pekerjaan dan berpotensi meningkatkan biaya operasional.

  4. Kerusakan Jalan Akses Proyek yang Menghambat Pengiriman Material
    Jalan rusak, beban kendaraan berat, dan cuaca buruk memperparah kondisi akses jalan, menyebabkan keterlambatan material yang berdampak langsung pada timeline proyek.

Studi Kasus: Strategi Pengendalian Risiko di Lapangan

Sebagai bentuk mitigasi, penulis menyarankan pendekatan pengendalian risiko yang dikembangkan dari wawancara dengan pakar proyek. Beberapa strategi proaktif dan reaktif yang diusulkan antara lain:

  • Untuk cuaca ekstrem:

    • Memanfaatkan data klimatologi untuk menghindari bulan-bulan dengan curah hujan tinggi saat menyusun jadwal proyek.

    • Membuat sistem drainase sementara (parit) dan irigasi untuk menghindari genangan di area kerja.

    • Menegosiasikan klausul kontrak untuk rescheduling dan penyesuaian Analisa Harga Satuan (AHS) agar tidak menimbulkan penalti.

  • Untuk masalah spesifikasi material:

    • Mengkaji ulang penggunaan material baru dari segi teknis dan alat yang sesuai.

    • Menyusun ulang AHS untuk memperhitungkan biaya pengadaan dan penerapan material yang disesuaikan.

  • Untuk mobilisasi alat berat:

    • Menyediakan alat berat cadangan seperti excavator atau bulldozer di lokasi sulit dijangkau.

    • Menentukan penanggung jawab atas akses proyek dan menegosiasikan pemeliharaan akses dalam kontrak.

  • Untuk masalah pengiriman material:

    • Menyiapkan stockpile sementara di area yang dapat dijangkau dump truck.

    • Melakukan double handling untuk mengangkut material dari stockpile ke lokasi kerja.

    • Memastikan kendaraan pengangkut dalam kondisi optimal untuk menghindari kerusakan akses akibat beban statis.

Kritik dan Saran: Menuju Manajemen Risiko yang Lebih Tangguh

Salah satu kekuatan utama dari paper ini adalah keterlibatan aktif tim proyek dan validasi ahli dalam menyusun langkah mitigasi yang konkret. Namun, penelitian ini akan lebih kaya bila turut membandingkan hasilnya dengan proyek subgrade serupa di luar negeri, seperti High-Speed Rail di Tiongkok atau Eropa. Ini akan memperluas cakrawala pembaca mengenai standar global dalam mitigasi risiko.

Selain itu, metode severity index yang digunakan memang efektif dalam kuantifikasi risiko, namun akan lebih menarik jika disandingkan dengan pendekatan lain seperti FMEA (Failure Mode and Effect Analysis) atau Monte Carlo Simulation untuk memberikan lapisan analisis probabilistik yang lebih dalam.

Relevansi dan Implikasi terhadap Industri Konstruksi di Indonesia

Studi ini sangat relevan bagi para praktisi teknik sipil dan manajer proyek di Indonesia, terutama yang terlibat dalam proyek berskala besar. Dalam iklim geografis tropis seperti Indonesia, risiko cuaca bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan. Selain itu, pendekatan paper ini menunjukkan pentingnya fleksibilitas dalam pengelolaan kontrak dan pengambilan keputusan berbasis data lapangan yang aktual.

Studi ini juga mencerminkan pentingnya manajemen logistik proyek: mulai dari spesifikasi teknis, pemilihan material yang tepat, hingga perencanaan rute distribusi. Gagalnya antisipasi pada faktor-faktor ini akan berdampak bukan hanya pada jadwal, tetapi juga pada anggaran dan kualitas proyek.

Kesimpulan: Menuju Pengelolaan Risiko Proyek Infrastruktur yang Lebih Adaptif

Paper ini memberikan kontribusi penting terhadap literatur manajemen risiko di proyek infrastruktur di Indonesia. Dengan menyisir aspek cuaca, spesifikasi teknis, logistik, dan kontraktual secara bersamaan, penulis mampu menunjukkan bahwa risiko proyek bukan hanya masalah teknis, tetapi juga manajerial dan strategis.

Melalui studi kasus pada proyek Subgrade Kereta Cepat Jakarta–Bandung, kita belajar bahwa:

  • Antisipasi terhadap cuaca ekstrem dan medan yang sulit harus dimasukkan sejak tahap perencanaan proyek.

  • Negosiasi kontrak tidak hanya soal harga, tapi juga tentang fleksibilitas menghadapi dinamika di lapangan.

  • Sinergi antara kontraktor utama, subkontraktor, dan manajemen proyek sangat menentukan efektivitas penanganan risiko.

Dalam konteks pembangunan infrastruktur nasional ke depan, hasil penelitian ini menekankan bahwa kesiapan teknis saja tidak cukup. Manajemen risiko yang holistik dan responsif adalah kunci untuk menjamin keberhasilan proyek berskala besar di tengah ketidakpastian yang kerap muncul di dunia konstruksi.

Sumber asli artikel:

Dicky Ferryawan, Akhmad Dofir. "Evaluasi Manajemen Risiko pada Pelaksanaan Pekerjaan Perkerasan Subgrade (Studi Kasus Proyek Subgrade Kereta Cepat Jakarta - Bandung)." Jurnal Artesis, Vol.2 (2): 110-115. Fakultas Teknik, Universitas Pancasila.

Selengkapnya
Evaluasi Manajemen Risiko pada Pekerjaan Subgrade Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung

inovasi teknologi

Meningkatkan Kesejahteraan Pekerja Konstruksi: Model Bantuan Karyawan sebagai Solusi Holistik

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 21 Mei 2025


Pendahuluan: Menggali Masalah Sistemik dalam Dunia Konstruksi

Industri konstruksi adalah salah satu sektor yang paling berbahaya di dunia, dengan tingkat kecelakaan dan fatalitas yang terus menempati peringkat teratas dibandingkan industri lain. Di Afrika Selatan, seperti juga di banyak negara berkembang lainnya, para pekerja konstruksi terjebak dalam kondisi kerja yang keras, kurang perlindungan, dan rentan terhadap masalah psikologis serta sosial. Tesis karya Priscilla Mageret James ini mengupas secara mendalam isu-isu tersebut, sekaligus menawarkan solusi konkret melalui Employee Assistance Programme (EAP) yang dirancang khusus untuk perusahaan konstruksi menengah.

Tujuan dan Signifikansi Penelitian

Penelitian ini tidak sekadar mengidentifikasi masalah, tetapi juga menyusun model solusi yang terstruktur. Tujuannya adalah:

  • Mengungkap kondisi kesejahteraan pekerja konstruksi dari sisi psikologis, sosial, dan fisik.

  • Menilai kebutuhan mereka terhadap bantuan organisasi.

  • Menyusun model EAP yang relevan dan praktis untuk meningkatkan performa dan kesejahteraan kerja.
     

Dengan pendekatan ini, penelitian James menjadi acuan penting dalam pengembangan SDM di sektor konstruksi, terutama dalam lingkungan kerja berisiko tinggi.

Gambaran Industri Konstruksi dan Permasalahan Kesejahteraan

Konstruksi: Profesi dengan Risiko Tertinggi

Berdasarkan data dari Bureau of Labor Statistics (2002), industri konstruksi menyumbang sekitar 20% dari semua kecelakaan kerja fatal di AS. Di Afrika Selatan, 162 kasus kematian pekerja konstruksi dilaporkan hanya dalam satu tahun (2007–2008), dengan biaya klaim mencapai lebih dari R133 juta (sekitar 7 juta USD). Penelitian James menghubungkan angka-angka ini dengan rendahnya perhatian terhadap aspek kesejahteraan pekerja.

Pekerja Konstruksi: Jauh dari Keluarga, Dekat dengan Risiko

Hasil observasi dan wawancara dalam tesis ini menunjukkan bahwa banyak pekerja harus bekerja jauh dari keluarga, menghadapi tekanan emosional, stres berkepanjangan, bahkan kecanduan alkohol. Ini tidak hanya menurunkan performa kerja tetapi juga memperburuk kondisi kesehatan mental dan sosial pekerja.

Metodologi Penelitian: Studi Kasus Kualitatif yang Mendalam

Pendekatan Kualitatif untuk Realitas Lapangan

James menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara semi-terstruktur kepada 34 pekerja laki-laki di perusahaan konstruksi menengah di Western Cape. Dengan metode ini, diperoleh pemahaman mendalam tentang pengalaman hidup para pekerja, tekanan emosional, dan kebutuhan akan dukungan organisasi.

Temuan Utama

  • 93% responden mengaku mengalami stres tinggi akibat tekanan kerja dan jarak dengan keluarga.

  • 76% menyatakan kebutuhan mendesak akan program pendampingan psikososial.

  • 59% menyebut penyalahgunaan alkohol sebagai cara pelarian dari stres.
     

Temuan ini memperkuat urgensi penerapan EAP sebagai sarana intervensi strategis di tempat kerja.

Model Employee Assistance Programme (EAP) yang Diusulkan

Apa Itu EAP?

Menurut Rober

tson (2006), EAP adalah program yang menyediakan layanan penilaian, konseling jangka pendek, dan rujukan untuk karyawan dan keluarga mereka yang mengalami kesulitan emosional, sosial, atau pekerjaan. Di Afrika Selatan, EAP masih tergolong baru, namun potensial sebagai alat strategis perusahaan.

Komponen Kunci Model EAP yang Disarankan

James menyusun model EAP berdasarkan standar EAPA-SA, yang mencakup:

  • Desain Program dan Kebutuhan Asesmen: Program harus dimulai dengan survei kebutuhan nyata di lapangan.

  • Kerahasiaan dan Aksesibilitas: Menjamin privasi pekerja dalam menggunakan layanan.

  • Sistem Rujukan Terstruktur: Termasuk self-referral, rujukan informal, dan rujukan oleh atasan.

  • Pelatihan Supervisor: Agar manajemen mampu mendeteksi masalah dini dan memberi respon yang tepat.

  • Layanan Konseling & Aftercare: Termasuk konseling keluarga, penanganan kecanduan, dan trauma kerja.
     

Analisis Tambahan dan Relevansi Praktis

Kontekstualisasi di Dunia Industri Saat Ini

Dalam konteks global pasca-pandemi, kesehatan mental menjadi perhatian utama. Laporan WHO (2022) menyebut bahwa masalah kesehatan mental di tempat kerja menyebabkan kerugian ekonomi global mencapai $1 triliun per tahun akibat produktivitas yang hilang. Ini menunjukkan bahwa pendekatan seperti EAP bukan hanya solusi sosial, tetapi juga strategi ekonomi.

Perbandingan Internasional

Jika dibandingkan dengan negara-negara seperti Amerika Serikat, di mana EAP sudah lazim sejak 1940-an (berawal dari penanganan alkoholisme), Afrika Selatan baru mulai mengadopsi pendekatan ini pada awal 1980-an. Namun, karena mengadopsi model yang sudah matang, perkembangan EAP di Afrika Selatan berjalan cukup cepat.

 

Nilai Tambah: Kritik, Kelebihan, dan Tantangan Model EAP

Kelebihan Model James

  • Fleksibel dan Holistik: Tidak hanya fokus pada masalah individu, tapi juga produktivitas dan budaya kerja.

  • Berbasis Bukti Lapangan: Menggunakan data empirik dari industri nyata.

  • Sesuai Konteks Lokal: Mempertimbangkan realitas sosial dan budaya Afrika Selatan.
     

Tantangan Implementasi

  • Stigma Sosial: Banyak pekerja enggan mengakui masalah pribadi karena takut dipandang lemah.

  • Kurangnya SDM Terlatih: Terutama dalam bidang konseling dan kesehatan mental.

  • Keterbatasan Anggaran: Perusahaan menengah kecil sering kali kekurangan dana untuk program semacam ini.
     

Rekomendasi dan Implikasi untuk Dunia Konstruksi

  1. Integrasi EAP sebagai Strategi SDM

    • Tidak hanya sebagai layanan tambahan, tetapi sebagai bagian dari kebijakan manajemen risiko dan produktivitas.

  2. Kampanye Edukasi Karyawan

    • Menghapus stigma terhadap penggunaan layanan bantuan psikologis di tempat kerja.

  3. Kemitraan dengan Lembaga Eksternal

    • Menggandeng organisasi kesehatan mental, pusat rehabilitasi, dan konselor profesional.

  4. Evaluasi Berkala dan Umpan Balik

    • Melakukan pengukuran dampak EAP terhadap produktivitas dan retensi karyawan secara berkala.
       

Kesimpulan: Mewujudkan Kesejahteraan sebagai Fondasi Produktivitas

Tesis Priscilla Mageret James adalah seruan akademik sekaligus praktis bagi pelaku industri konstruksi untuk tidak lagi menunda penerapan model bantuan karyawan sebagai bagian dari strategi utama perusahaan. EAP bukan hanya soal empati, tetapi juga efisiensi, keberlanjutan tenaga kerja, dan peningkatan profit jangka panjang.

Jika perusahaan ingin membangun struktur yang kokoh, mereka harus lebih dahulu membangun manusia yang sehat secara fisik dan mental. Karena pada akhirnya, kesejahteraan pekerja adalah pondasi dari bangunan apa pun—baik secara harfiah maupun metaforis.

 

Sumber

James, P. M. (2011). The well-being of workers in the construction industry: a model for employment assistance. Cape Peninsula University of Technology.
[DOI atau tautan resmi tidak tersedia; akses melalui perpustakaan institusi atau permintaan kepada penulis]

Selengkapnya
Meningkatkan Kesejahteraan Pekerja Konstruksi: Model Bantuan Karyawan sebagai Solusi Holistik
« First Previous page 144 of 1.113 Next Last »