Keinsinyuran

Analisis Kesesuaian Sertifikasi Insinyur Indonesia terhadap Best Practices of Certification

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 15 Maret 2025


Sertifikasi insinyur merupakan salah satu elemen penting dalam menjamin kualitas tenaga kerja teknik dan infrastruktur yang dihasilkan. Jurnal Analisis Kesesuaian Sertifikasi Insinyur Indonesia terhadap Best Practices of Certification karya Irika Widiasanti membahas sejauh mana sistem sertifikasi insinyur di Indonesia sesuai dengan praktik terbaik internasional.

Penelitian ini menyoroti perbedaan dan kesesuaian sertifikasi insinyur Indonesia dengan standar internasional, khususnya di Malaysia, Singapura, dan Filipina. Dengan menggunakan metode deskriptif normatif, jurnal ini mengidentifikasi berbagai faktor yang telah sesuai dan belum sesuai dengan praktik terbaik sertifikasi insinyur di tingkat global.

Sertifikasi insinyur di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran, yang bertujuan untuk menjamin profesionalitas tenaga kerja teknik. Namun, peraturan pelaksanaannya hingga saat ini masih belum lengkap, termasuk panduan teknis implementasi sertifikasi. Hal ini menyebabkan adanya ketidaksesuaian dalam sistem sertifikasi, terutama jika dibandingkan dengan standar internasional.

Menurut penelitian ini, ada 16 faktor yang sesuai dan 20 faktor yang tidak sesuai dengan praktik terbaik sertifikasi insinyur di negara lain. Beberapa faktor utama yang tidak sesuai meliputi:

  • Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses sertifikasi.
  • Belum adanya standar yang jelas dalam akreditasi program studi berbasis kompetensi profesi.
  • Dualisme regulasi antara Dewan Insinyur dan lembaga sertifikasi profesi yang menyebabkan kebingungan dalam registrasi insinyur.

Perbandingan Sertifikasi Insinyur Indonesia dengan Praktik Internasional

Penelitian ini membandingkan sistem sertifikasi insinyur di Indonesia dengan tiga negara ASEAN: Malaysia, Singapura, dan Filipina. Negara-negara ini dipilih karena telah menerapkan sistem sertifikasi insinyur yang lebih matang dan diakui secara internasional.

Beberapa temuan utama dalam perbandingan ini adalah:

  • Malaysia telah memiliki Registration of Engineers Act 1967, yang secara jelas mengatur proses sertifikasi dan registrasi insinyur.
  • Singapura memiliki Professional Engineers Act, yang menetapkan proses akreditasi ketat dan mewajibkan registrasi ulang secara berkala.
  • Filipina menggunakan Republic Act No. 544, yang membatasi jumlah asosiasi profesi untuk meningkatkan efektivitas pembinaan dan sertifikasi insinyur.
  • Indonesia masih menghadapi kendala dalam harmonisasi peraturan, di mana terdapat perbedaan kebijakan antara Persatuan Insinyur Indonesia (PII) dan Dewan Insinyur Indonesia.

Ketidaksesuaian Sistem Sertifikasi Insinyur Indonesia

1. Dualisme Regulasi dalam Sertifikasi Insinyur

Di Indonesia, sertifikasi insinyur dikelola oleh dua lembaga utama:

  1. Persatuan Insinyur Indonesia (PII) – Mengeluarkan Surat Tanda Registrasi Insinyur (STRI) sebagai izin praktik.
  2. Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) – Mengeluarkan Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) bagi tenaga kerja teknik.

Masalah yang muncul adalah banyak proyek konstruksi di Indonesia yang lebih mengutamakan SKK dibandingkan STRI. Akibatnya, banyak insinyur memilih SKK karena dianggap lebih praktis, sementara STRI yang seharusnya menjadi standar profesi tidak diakui secara luas.

2. Kurangnya Pengakuan terhadap Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB)

Dalam praktik terbaik sertifikasi internasional, Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) menjadi syarat utama untuk perpanjangan sertifikasi insinyur. Di Indonesia, sistem PKB masih belum berjalan optimal. Beberapa masalah yang ditemukan meliputi:

  • Tidak adanya kewajiban pelatihan berkelanjutan untuk memperbarui sertifikasi.
  • Masa berlaku sertifikasi insinyur di Indonesia adalah lima tahun, sementara di negara lain biasanya satu hingga tiga tahun untuk memastikan bahwa insinyur selalu mengikuti perkembangan teknologi dan regulasi terbaru.

3. Tidak Ada Standar Akreditasi Program Studi Teknik Berbasis Kompetensi Profesi

Best practices internasional menunjukkan bahwa lulusan program studi teknik harus terdaftar di lembaga sertifikasi insinyur nasional sebelum mereka dapat berpraktik. Namun, di Indonesia, akreditasi program studi teknik masih berbasis akademik dan belum terintegrasi dengan sertifikasi profesi.

Akibatnya, lulusan teknik sipil di Indonesia hanya memiliki gelar akademik Sarjana Teknik (ST) tanpa sertifikasi profesi yang diakui secara internasional. Hal ini membuat daya saing insinyur Indonesia lebih rendah dibandingkan negara lain yang sudah menerapkan sistem akreditasi berbasis kompetensi.

Harmonisasi Regulasi antara PII dan LSP

Pemerintah Indonesia perlu mengintegrasikan sistem STRI dan SKK dalam satu sistem sertifikasi yang diakui secara nasional dan internasional. Beberapa langkah yang dapat dilakukan meliputi:

  • Menjadikan STRI sebagai persyaratan utama dalam proyek konstruksi nasional.
  • Memastikan LSP dan PII bekerja sama dalam proses sertifikasi untuk menghindari dualisme kebijakan.
  • Memberikan insentif bagi insinyur yang mengikuti sertifikasi dengan standar internasional.

Peningkatan Sistem Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB)

Untuk meningkatkan daya saing insinyur Indonesia, pemerintah dan asosiasi profesi harus mewajibkan insinyur mengikuti pelatihan berkelanjutan sebelum memperpanjang sertifikasi mereka. Langkah yang dapat diambil antara lain:

  • Mengadopsi sistem registrasi ulang tahunan atau tiga tahunan untuk sertifikasi insinyur.
  • Menyediakan program PKB berbasis teknologi untuk mempermudah akses bagi insinyur di seluruh Indonesia.

Reformasi Akreditasi Program Studi Teknik Berbasis Kompetensi

Agar lulusan teknik Indonesia lebih siap menghadapi persaingan global, diperlukan reformasi dalam sistem akreditasi program studi teknik, di antaranya:

  • Mengintegrasikan akreditasi akademik dengan standar sertifikasi profesi.
  • Menetapkan standar kompetensi insinyur yang sesuai dengan Mutual Recognition Agreement (MRA) ASEAN.
  • Mengharuskan lulusan teknik terdaftar di Dewan Insinyur sebelum mendapatkan izin praktik.

Jurnal Analisis Kesesuaian Sertifikasi Insinyur Indonesia terhadap Best Practices of Certification mengungkap berbagai ketidaksesuaian dalam sistem sertifikasi insinyur di Indonesia. Beberapa temuan utama dalam penelitian ini adalah:

  1. Sistem sertifikasi insinyur di Indonesia masih belum sesuai dengan praktik terbaik internasional, dengan 20 faktor yang tidak sesuai.
  2. Dualisme regulasi antara PII dan LSP menyebabkan kebingungan dalam registrasi insinyur, sehingga perlu ada harmonisasi kebijakan.
  3. Kurangnya pengakuan terhadap Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) menghambat peningkatan kompetensi insinyur.
  4. Perlu reformasi akreditasi program studi teknik agar lulusan teknik di Indonesia memiliki daya saing yang lebih tinggi di pasar internasional.

Dengan menyelaraskan regulasi dan meningkatkan standar sertifikasi, Indonesia dapat memperkuat daya saing tenaga kerja insinyurnya dalam persaingan global.

Sumber: Irika Widiasanti. Analisis Kesesuaian Sertifikasi Insinyur Indonesia terhadap Best Practices of Certification. SNITT-Politeknik Negeri Balikpapan, 2017, ISBN: 978-602-51450-0-1.

Selengkapnya
Analisis Kesesuaian Sertifikasi Insinyur Indonesia terhadap Best Practices of Certification

Keinsinyuran

Regulasi Keinsinyuran dalam Konteks ASEAN Mutual Recognition Agreement on Engineering Services

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 15 Maret 2025


Profesi insinyur merupakan salah satu pilar utama dalam pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dalam konteks ASEAN, regulasi keinsinyuran menjadi isu penting dalam meningkatkan daya saing tenaga kerja teknik Indonesia. Jurnal Regulasi Keinsinyuran dalam Konteks ASEAN Mutual Recognition Agreement on Engineering Services karya Vicky Septia Rezki, Rina Shahriyani Shahrullah, dan Elza Syarief menyoroti tantangan dan disharmoni regulasi keinsinyuran di Indonesia dalam menghadapi persaingan regional.

Jurnal ini mengkaji bagaimana perbedaan regulasi dalam Undang-Undang Keinsinyuran (UU No. 11 Tahun 2014) dan Undang-Undang Jasa Konstruksi (UU No. 2 Tahun 2017) berdampak pada profesi insinyur Indonesia. Selain itu, studi ini menyoroti implementasi Mutual Recognition Agreement (MRA) on Engineering Services di ASEAN serta bagaimana regulasi yang ada memengaruhi mobilitas tenaga kerja insinyur di kawasan ini.

Indonesia telah meratifikasi Mutual Recognition Agreement (MRA) on Engineering Services dalam rangka meningkatkan mobilitas tenaga insinyur di ASEAN. Namun, dalam praktiknya, terjadi ketidaksesuaian antara dua regulasi utama, yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Undang-undang pertama mengatur sertifikasi dan izin praktik insinyur melalui Surat Tanda Registrasi Insinyur (STRI) yang diterbitkan oleh Persatuan Insinyur Indonesia (PII), sedangkan undang-undang kedua mengatur tenaga kerja jasa konstruksi dan sertifikasi Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) yang diterbitkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) di bawah Kementerian PUPR.

Ketidakseimbangan antara kedua undang-undang ini menyebabkan ambiguitas dalam standar sertifikasi insinyur. STRI sering kali tidak dianggap sebagai persyaratan utama dalam tender pemerintah, sementara SKK lebih diutamakan.

Tantangan Implementasi ASEAN MRA on Engineering Services

Studi ini menemukan bahwa meskipun MRA bertujuan untuk membuka peluang bagi insinyur Indonesia bekerja di ASEAN, ada beberapa hambatan utama. Salah satunya adalah rendahnya jumlah insinyur tersertifikasi ASEAN Chartered Professional Engineer (ACPE). Indonesia hanya memiliki 3.038 insinyur per satu juta penduduk, jauh di bawah Singapura yang memiliki 28.235 insinyur. Selain itu, masih banyak insinyur Indonesia yang belum mengurus sertifikasi ACPE karena kurangnya sosialisasi dan pemahaman regulasi MRA. Kurangnya harmonisasi regulasi domestik juga menjadi tantangan besar, karena Indonesia belum memiliki kebijakan nasional yang menyelaraskan standar STRI dan SKK dalam mendukung MRA.

Kesenjangan dalam Regulasi Keinsinyuran

a. Sertifikasi Insinyur dalam Proyek Pemerintah

Dalam wawancara dengan Ketua PII Kepulauan Riau, ditemukan bahwa STRI tidak diwajibkan dalam tender proyek konstruksi pemerintah, sedangkan SKK menjadi persyaratan utama. Akibatnya, banyak insinyur yang memilih untuk mengurus SKK karena lebih mudah diperoleh dibandingkan STRI, meskipun STRI seharusnya menjadi standar yang diakui secara internasional.

b. Persaingan dengan Tenaga Kerja Asing

Seiring dengan implementasi MRA, insinyur dari negara lain seperti Malaysia dan Filipina lebih mudah memperoleh proyek di Indonesia karena mereka memiliki sertifikasi yang lebih diakui dalam standar ASEAN. Hal ini menjadi ancaman bagi tenaga kerja lokal yang belum tersertifikasi secara internasional.

Implikasi dan Rekomendasi

1. Penyelarasan Regulasi STRI dan SKK

Untuk meningkatkan daya saing insinyur Indonesia, pemerintah perlu mengintegrasikan STRI dan SKK dalam satu sistem sertifikasi yang diakui baik di dalam negeri maupun di ASEAN. STRI juga perlu dijadikan syarat wajib dalam proyek pemerintah, bukan hanya SKK. Selain itu, insentif harus diberikan bagi insinyur yang ingin mendapatkan sertifikasi ACPE agar lebih banyak tenaga profesional Indonesia yang dapat bersaing di tingkat regional.

2. Peningkatan Sosialisasi MRA kepada Insinyur Indonesia

Agar insinyur lebih siap bersaing di ASEAN, perlu dilakukan pelatihan dan edukasi mengenai MRA dan standar ACPE. Fasilitasi akses mudah terhadap sertifikasi internasional melalui kerja sama antara PII dan LPJK juga diperlukan untuk mempercepat proses sertifikasi bagi insinyur Indonesia.

3. Peran Aktif Pemerintah dalam Harmonisasi Regulasi

Pemerintah harus melakukan revisi regulasi untuk menyelaraskan UU No. 11 Tahun 2014 dan UU No. 2 Tahun 2017 agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan. Selain itu, perlu dibentuk satu lembaga pusat yang mengelola sertifikasi insinyur agar sistem lebih terstruktur dan tidak membingungkan para profesional teknik. Pengawasan yang lebih ketat terhadap penerapan regulasi juga diperlukan agar semua pihak mematuhi standar yang berlaku.

Jurnal Regulasi Keinsinyuran dalam Konteks ASEAN Mutual Recognition Agreement on Engineering Services mengungkapkan tantangan besar dalam harmonisasi regulasi keinsinyuran di Indonesia. Beberapa temuan utama dari jurnal ini adalah:

  1. Ketidakharmonisan antara UU Keinsinyuran dan UU Jasa Konstruksi menyebabkan kebingungan dalam sertifikasi insinyur.
  2. Indonesia masih tertinggal dalam jumlah insinyur tersertifikasi ACPE dibandingkan negara ASEAN lain.
  3. Kurangnya sosialisasi mengenai MRA membuat banyak insinyur Indonesia tidak menyadari peluang internasional yang tersedia.
  4. Perlu harmonisasi regulasi dan peningkatan peran pemerintah dalam mendorong sertifikasi yang lebih kompetitif.

Dengan menyelaraskan regulasi domestik dan meningkatkan partisipasi dalam MRA, Indonesia dapat memperkuat daya saing tenaga kerja insinyurnya di tingkat ASEAN dan global.

Sumber: Vicky Septia Rezki, Rina Shahriyani Shahrullah, Elza Syarief. Regulasi Keinsinyuran dalam Konteks ASEAN Mutual Recognition Agreement on Engineering Services. Nagari Law Review, Vol. 6 No. 1, Oktober 2022, hal. 36-54.

Selengkapnya
Regulasi Keinsinyuran dalam Konteks ASEAN Mutual Recognition Agreement on Engineering Services

Partisipasi Masyarakat

Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-Undang (Studi Perbandingan Indonesia dengan Afrika Selatan)

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 15 Maret 2025


Partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang merupakan aspek penting dalam demokrasi modern. Dalam jurnal Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-Undang (Studi Perbandingan Indonesia dengan Afrika Selatan) karya Siti Hidayati, dikaji bagaimana tingkat keterlibatan masyarakat dalam proses legislasi di Indonesia dibandingkan dengan Afrika Selatan.

Jurnal ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan metode perbandingan untuk mengevaluasi perbedaan dan persamaan antara kedua negara dalam melibatkan masyarakat dalam pembentukan undang-undang. Studi ini menyoroti bagaimana partisipasi masyarakat di Afrika Selatan lebih terstruktur dibandingkan di Indonesia, serta bagaimana pembelajaran dari sistem Afrika Selatan dapat diadaptasi untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam proses legislasi di Indonesia.

Dalam sistem demokrasi, keterlibatan masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dianggap sebagai mekanisme utama untuk memastikan bahwa undang-undang mencerminkan aspirasi rakyat. Namun, di Indonesia, mekanisme partisipasi masyarakat masih bersifat formalitas dan belum memiliki standar yang baku.

Sebagai perbandingan, Afrika Selatan telah mengatur partisipasi publik dalam proses pembentukan undang-undang secara lebih sistematis melalui Konstitusi 1996 dan Public Participation Framework, yang mewajibkan keterlibatan masyarakat dalam berbagai tahapan legislasi.

Penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis normatif, menggunakan data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, literatur akademik, serta hasil-hasil penelitian terkait. Pendekatan perbandingan hukum digunakan untuk mengevaluasi kesamaan dan perbedaan dalam partisipasi publik di Indonesia dan Afrika Selatan.

Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-Undang di Indonesia

Di Indonesia, partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang diatur dalam:

  • Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Pasal 96)
  • Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib (Pasal 215-218)

Bentuk partisipasi yang diakui meliputi:

  • Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU)
  • Kunjungan kerja DPR
  • Sosialisasi dan diskusi publik
  • Seminar dan lokakarya

Namun, pelaksanaan partisipasi ini masih memiliki berbagai kendala, antara lain:

  • Tidak adanya mekanisme standar yang mengatur bagaimana masyarakat dapat berpartisipasi secara efektif.
  • Terbatasnya akses masyarakat terhadap informasi legislasi.
  • Sering kali partisipasi hanya bersifat simbolis, tanpa pengaruh nyata terhadap isi undang-undang.

Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-Undang di Afrika Selatan

Di Afrika Selatan, partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang adalah kewajiban konstitusional yang diatur dalam:

  • Konstitusi Afrika Selatan 1996
  • 9th Edition Rules of National Assembly

Bentuk-bentuk partisipasi yang diimplementasikan meliputi:

  • Public hearings (dengar pendapat publik)
  • Petitions (petisi masyarakat)
  • Committee proceedings and house sittings (partisipasi dalam sidang legislatif)
  • Public education programs (program edukasi publik mengenai legislasi)
  • Outreach programs (program penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan hak mereka dalam legislasi)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Afrika Selatan memiliki sistem partisipasi yang lebih maju dibandingkan Indonesia karena:

  • Ada kewajiban hukum bagi parlemen untuk melibatkan masyarakat.
  • Dokumen legislasi lebih mudah diakses oleh masyarakat.
  • Terdapat mekanisme untuk menindaklanjuti masukan masyarakat dalam proses legislasi.

Studi Kasus: Implementasi Partisipasi Masyarakat dalam Legislasi

1. Studi Kasus di Indonesia

Dalam penyusunan Undang-Undang Ketenagakerjaan, partisipasi masyarakat masih terbatas.

  • Dari enam forum yang memungkinkan keterlibatan masyarakat, hanya tiga forum yang benar-benar melibatkan masyarakat.
  • Dalam pembahasan RUU Cipta Kerja, banyak elemen masyarakat yang merasa kurang diakomodasi, sehingga memicu gelombang protes besar.

2. Studi Kasus di Afrika Selatan

Dalam penyusunan undang-undang, Afrika Selatan melibatkan berbagai mekanisme partisipasi masyarakat:

  • Konferensi Birchwood (2006) mempertemukan legislator dengan masyarakat sipil untuk merumuskan cara terbaik meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam legislasi.
  • Public hearings untuk RUU Perikanan, di mana para nelayan dan pemilik bisnis perikanan dilibatkan dalam proses legislasi secara langsung.
  • Parliamentary Monitoring Group (2015-2016) menunjukkan bahwa 46,1% responden merasa puas dengan batas waktu yang diberikan untuk memberikan masukan terhadap suatu RUU.

Perbandingan Indonesia dan Afrika Selatan

AspekIndonesiaAfrika SelatanDasar HukumUU No. 12 Tahun 2011, Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014Konstitusi 1996, 9th Edition Rules of National AssemblyKewajiban PartisipasiOpsional, tidak wajibWajib dalam proses legislasiBentuk PartisipasiRDPU, kunjungan kerja, seminarPublic hearings, petitions, outreach programsAkses InformasiTerbatas, tidak semua dokumen tersedia untuk publikTerbuka, dokumen legislasi mudah diaksesPengaruh PartisipasiMasih sering bersifat formalitas Masukan masyarakat sering diakomodasi

Relevansi dan Implikasi

1. Pelajaran dari Afrika Selatan

Indonesia dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam legislasi dengan:

  • Menjadikan partisipasi masyarakat sebagai kewajiban hukum dalam penyusunan undang-undang.
  • Menyediakan akses lebih luas terhadap informasi legislasi agar masyarakat dapat berkontribusi lebih efektif.
  • Mengembangkan mekanisme petisi dan forum diskusi online untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat.

2. Dampak bagi Demokrasi

  • Dengan meningkatkan transparansi, masyarakat akan lebih percaya terhadap proses legislasi.
  • Keputusan legislasi yang lebih inklusif akan meningkatkan legitimasi undang-undang yang dihasilkan.
  • Mengurangi potensi konflik dan protes, karena masyarakat merasa lebih didengar dalam pembuatan kebijakan.

Jurnal Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-Undang (Studi Perbandingan Indonesia dengan Afrika Selatan) memberikan wawasan penting tentang pentingnya keterlibatan masyarakat dalam proses legislasi.

Poin utama yang dapat disimpulkan:

  1. Partisipasi masyarakat dalam legislasi di Indonesia masih terbatas dan belum memiliki mekanisme yang jelas.
  2. Afrika Selatan memiliki sistem partisipasi publik yang lebih maju, dengan keterlibatan masyarakat yang diatur secara konstitusional.
  3. Indonesia perlu mengadaptasi beberapa praktik dari Afrika Selatan, seperti public hearings yang lebih inklusif dan aksesibilitas dokumen legislasi.
  4. Peningkatan partisipasi masyarakat akan berdampak positif pada demokrasi dan kualitas undang-undang yang dihasilkan.

Sumber: Siti Hidayati. Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-Undang (Studi Perbandingan Indonesia dengan Afrika Selatan). Jurnal Bina Mulia Hukum, Volume 3, Nomor 2, Maret 2019.

Selengkapnya
Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-Undang (Studi Perbandingan Indonesia dengan Afrika Selatan)

Keinsinyuran

Profesionalisme Keinsinyuran

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 15 Maret 2025


Profesi insinyur sipil memainkan peran penting dalam pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan masyarakat. Namun, profesionalisme dan etika dalam profesi ini sering menjadi tantangan, terutama dalam menghadapi kompleksitas proyek dan tanggung jawab sosial. Jurnal Profesionalisme Keinsinyuran karya Jeffry Yuliyanto Waisapi membahas pentingnya kode etik dan profesionalisme bagi insinyur sipil dalam menjalankan tugasnya.

Jurnal ini menyoroti konsep dasar profesionalisme, peran kode etik dalam mengatur perilaku insinyur, serta bagaimana penerapan prinsip-prinsip ini dapat meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat. Dalam resensi ini, kita akan membahas isi utama jurnal, studi kasus terkait penerapan profesionalisme dalam keinsinyuran, serta relevansinya terhadap tren industri teknik sipil saat ini.

Ringkasan Isi Jurnal

1. Pengertian dan Ciri-Ciri Profesionalisme Insinyur

Profesionalisme dalam bidang keinsinyuran tidak hanya berkaitan dengan keahlian teknis tetapi juga mencakup aspek moral dan etika. Seorang insinyur profesional harus memiliki:

  • Keahlian mendalam dalam bidang teknik sipil.
  • Kreativitas dan inovasi dalam menyelesaikan permasalahan teknik.
  • Integritas tinggi dan komitmen terhadap etika profesi.
  • Tanggung jawab sosial dalam setiap proyek yang dikerjakan.

Profesionalisme bukan hanya tentang keterampilan teknis, tetapi juga bagaimana seorang insinyur mampu menjaga standar moral dan memberikan layanan terbaik kepada masyarakat.

2. Pentingnya Kode Etik dalam Profesi Keinsinyuran

Kode etik profesi bertujuan untuk:

  • Mencegah tindakan tidak etis yang dapat merugikan individu, masyarakat, atau lingkungan.
  • Meningkatkan kepercayaan publik terhadap profesi insinyur.
  • Menjadi pedoman dalam pengambilan keputusan profesional.

Di Indonesia, kode etik insinyur diatur oleh Persatuan Insinyur Indonesia (PII) melalui Catur Karsa Sapta Dharma Insinyur Indonesia, yang menekankan prinsip-prinsip dasar seperti:

  1. Mengutamakan keselamatan dan kesejahteraan masyarakat.
  2. Berpegang teguh pada kompetensi profesional.
  3. Menghindari konflik kepentingan.
  4. Menjunjung tinggi kehormatan dan integritas profesi.

3. Peran Insinyur dalam Masyarakat

Jurnal ini menegaskan bahwa peran insinyur sipil tidak hanya terbatas pada perancangan dan konstruksi, tetapi juga pada tanggung jawab sosial, seperti:

  • Menjamin keselamatan infrastruktur agar tidak membahayakan publik.
  • Menggunakan teknologi yang ramah lingkungan dalam pembangunan.
  • Memastikan proyek konstruksi memenuhi standar hukum dan regulasi.

Studi Kasus: Penerapan Profesionalisme dalam Keinsinyuran

1. Kasus Kegagalan Infrastruktur Akibat Pelanggaran Etika

Beberapa proyek infrastruktur mengalami kegagalan karena kurangnya profesionalisme dan pelanggaran kode etik, misalnya:

  • Kasus robohnya jembatan Kutai Kartanegara (2011): Disebabkan oleh kelalaian dalam perawatan dan pengawasan teknis.
  • Kasus gagal konstruksi jalan tol di Indonesia: Beberapa proyek ditemukan memiliki kualitas buruk karena penyimpangan dalam spesifikasi material dan metode kerja.

Dampak dari kegagalan ini meliputi:

  • Kerugian finansial bagi pemerintah dan kontraktor.
  • Risiko keselamatan bagi masyarakat.
  • Penurunan kepercayaan terhadap profesi insinyur.

2. Penerapan Kode Etik dalam Proyek Infrastruktur Berhasil

Sebagai perbandingan, ada juga proyek yang berhasil karena penerapan etika profesional yang baik, seperti:

  • Pembangunan MRT Jakarta: Menggunakan standar internasional dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan proyek.
  • Proyek bendungan Jatiluhur: Dikerjakan dengan standar keamanan tinggi dan memperhatikan aspek lingkungan.

Keberhasilan proyek-proyek ini menunjukkan bahwa penerapan etika keinsinyuran dapat meningkatkan efisiensi proyek dan memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat.

Relevansi Profesionalisme Keinsinyuran dalam Industri Teknik Sipil

1. Tantangan dalam Meningkatkan Profesionalisme Insinyur

Beberapa tantangan yang masih dihadapi dalam meningkatkan profesionalisme insinyur di Indonesia meliputi:

  • Kurangnya standar sertifikasi yang ketat.
  • Minimnya pelatihan berkelanjutan bagi insinyur.
  • Kurangnya kesadaran akan pentingnya kode etik dalam praktik keinsinyuran.

2. Solusi untuk Meningkatkan Profesionalisme Insinyur

Untuk mengatasi tantangan tersebut, beberapa langkah yang bisa diterapkan adalah:

  • Mewajibkan sertifikasi profesional bagi semua insinyur yang bekerja di proyek infrastruktur.
  • Meningkatkan pendidikan dan pelatihan etika keinsinyuran dalam kurikulum teknik sipil.
  • Membentuk lembaga independen yang mengawasi kepatuhan terhadap kode etik insinyur.

Kesimpulan

Jurnal Profesionalisme Keinsinyuran karya Jeffry Yuliyanto Waisapi memberikan wawasan mendalam tentang pentingnya profesionalisme dalam profesi insinyur sipil. Beberapa poin utama yang dapat disimpulkan dari jurnal ini adalah:

  1. Profesionalisme insinyur tidak hanya tentang keterampilan teknis, tetapi juga mencakup aspek etika dan tanggung jawab sosial.
  2. Kode etik keinsinyuran berperan penting dalam menjaga standar profesi dan melindungi kepentingan masyarakat.
  3. Kasus kegagalan infrastruktur menunjukkan bahwa kurangnya penerapan etika profesional dapat berdampak serius.
  4. Diperlukan langkah-langkah konkret untuk meningkatkan profesionalisme insinyur, seperti sertifikasi wajib dan pendidikan etika yang lebih baik.

Dengan memahami pentingnya profesionalisme dalam keinsinyuran, diharapkan para insinyur dapat menjalankan tugasnya dengan integritas tinggi dan memberikan kontribusi positif bagi pembangunan.

Sumber: Jeffry Yuliyanto Waisapi. Profesionalisme Keinsinyuran. Formosa Journal of Social Sciences (FJSS), Vol. 1, No. 3, 2022: 299-314.

Selengkapnya
Profesionalisme Keinsinyuran

Keselamatan Kebakaran

Perencanaan Emergency Response Plan (ERP) dan Penentuan APAR di Gedung Office PT. Putra Perkasa Abadi: Evaluasi dan Rekomendasi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 14 Maret 2025


Dalam dunia industri, penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) menjadi aspek krusial yang bertujuan untuk mengurangi risiko kecelakaan kerja, termasuk kebakaran. PT. Putra Perkasa Abadi, perusahaan kontraktor pertambangan batubara yang beroperasi di Kalimantan Selatan, menyadari pentingnya memiliki Emergency Response Plan (ERP) yang efektif guna melindungi karyawan serta aset perusahaan dari bencana kebakaran.

Penelitian ini bertujuan untuk menyusun perencanaan ERP dan menentukan lokasi serta jenis Alat Pemadam Api Ringan (APAR) yang optimal di gedung office PT. Putra Perkasa Abadi. Metode yang digunakan adalah kuantitatif-deskriptif, dengan pendekatan identifikasi fire hazard, perencanaan jalur evakuasi, dan optimasi pemasangan APAR menggunakan metode set covering.

Penelitian ini melibatkan tiga tahap utama:

  1. Identifikasi Bahaya Kebakaran
    • Mengumpulkan data mengenai dimensi bangunan, fungsi setiap ruangan, dan potensi bahaya kebakaran (fire hazard).
    • Menggunakan pendekatan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 04 Tahun 1980 dan SNI 03-6574-2001 untuk evaluasi proteksi kebakaran.
  2. Perencanaan Jalur Evakuasi dan Meeting Point
    • Menentukan jalur evakuasi dengan minimal dua alternatif rute per lantai.
    • Menetapkan titik kumpul (muster point) yang aman dari risiko gedung runtuh.
  3. Optimasi Pemasangan APAR
    • Menentukan lokasi strategis pemasangan APAR menggunakan metode set covering untuk menjaga efisiensi jumlah APAR tanpa mengorbankan cakupan proteksi kebakaran.
    • Menentukan jenis APAR yang sesuai dengan klasifikasi kebakaran di gedung kantor.

Penelitian mengidentifikasi berbagai sumber kebakaran di dalam gedung, antara lain:

  • Peralatan elektronik (komputer, printer, AC) yang berpotensi mengalami korsleting.
  • Material mudah terbakar seperti meja, kursi, dan dokumen kertas.
  • Dapur/pantry yang memiliki risiko kebakaran akibat peralatan pemanas dan gas.

Sebagian besar kebakaran yang terjadi di kantor umumnya berkaitan dengan korsleting listrik, yang merupakan penyebab utama 80% kebakaran gedung di Indonesia berdasarkan data Kementerian PUPR.

Evaluasi Jalur Evakuasi

  • Gedung memiliki dua akses utama, tetapi beberapa koridor masih dianggap terlalu sempit untuk evakuasi massal.
  • Jarak maksimal evakuasi harus berada dalam batas 61 meter, sesuai standar NFPA 101 Life Safety Code.
  • Tanda evakuasi dan petunjuk arah belum sepenuhnya jelas, menyebabkan potensi kebingungan saat terjadi kebakaran.

Optimasi Pemasangan APAR

Jenis APAR yang digunakan di gedung ini adalah:

  • 1 unit APAR COâ‚‚, digunakan untuk perlindungan terhadap kebakaran akibat perangkat elektronik.
  • 7 unit APAR Multi-Purpose Powder, yang efektif dalam memadamkan kebakaran kelas A (benda padat), kelas B (cairan mudah terbakar), dan kelas C (peralatan listrik).

Lokasi pemasangan APAR ditentukan berdasarkan:

  • Aksesibilitas: Harus mudah dijangkau dari setiap ruangan.
  • Jarak maksimal: Setiap APAR harus bisa meng-cover radius 15 meter.
  • Potensi bahaya: Ruang server dan pantry mendapat prioritas pemasangan APAR tambahan.

Metode set covering digunakan untuk mengoptimalkan lokasi pemasangan APAR, sehingga jumlah alat yang digunakan tetap efisien tetapi tetap memberikan perlindungan maksimal.

Komunikasi Darurat

Untuk memastikan respons cepat dalam situasi kebakaran, setiap ruangan akan dilengkapi dengan:

  • Papan informasi darurat yang mencantumkan nomor darurat dan channel radio emergency.
  • SOP keadaan darurat yang disosialisasikan kepada seluruh karyawan

Sebagai perbandingan, studi ini mengulas beberapa insiden kebakaran yang terjadi di gedung perkantoran di Indonesia, termasuk:

1. Kebakaran Gedung Cyber 1 Jakarta (2021)

  • Penyebab: Korsleting listrik di ruang server.
  • Dampak: 2 orang meninggal akibat terjebak di dalam ruangan tanpa ventilasi.
  • Evaluasi: Kurangnya sistem deteksi asap dan sprinkler menyebabkan keterlambatan respons pemadaman.

2. Kebakaran Gedung Keuangan Negara Jakarta (2020)

  • Penyebab: Ledakan panel listrik di ruang arsip.
  • Dampak: Kerugian materiil miliaran rupiah karena dokumen penting terbakar.
  • Evaluasi: Sistem alarm tidak aktif secara otomatis, memperlambat evakuasi.

Dari studi kasus ini, terlihat bahwa kurangnya perencanaan ERP yang baik serta sistem deteksi kebakaran yang tidak optimal dapat memperburuk dampak kebakaran.

1. Peningkatan Kesadaran dan Pelatihan Karyawan

  • Melakukan simulasi kebakaran setiap enam bulan sekali.
  • Melatih karyawan dalam penggunaan APAR dengan benar.
  • Membentuk tim tanggap darurat internal yang siap siaga dalam situasi kebakaran.

2. Optimalisasi Jalur Evakuasi dan Meeting Point

  • Menyediakan tanda jalur evakuasi yang lebih besar dan jelas.
  • Memastikan semua jalur evakuasi tidak terhalang oleh perabotan atau sekat ruangan.
  • Menambah jumlah meeting point untuk menghindari kepadatan saat evakuasi.

3. Peningkatan Sistem Proteksi Kebakaran

  • Menambahkan sprinkler di setiap lantai untuk deteksi dan pemadaman dini.
  • Memasang detektor asap di semua ruangan dengan risiko tinggi.
  • Meningkatkan jumlah dan kualitas APAR, serta memastikan pengecekan rutin.

4. Peningkatan Infrastruktur Teknologi Keselamatan

  • Mengintegrasikan sistem alarm kebakaran dengan perangkat IoT untuk deteksi dini.
  • Menggunakan aplikasi mobile untuk memberikan instruksi evakuasi dalam keadaan darurat.

Penelitian ini menunjukkan bahwa perencanaan Emergency Response Plan (ERP) dan penentuan lokasi APAR di gedung office PT. Putra Perkasa Abadi masih perlu ditingkatkan. Dengan menerapkan rekomendasi yang telah disebutkan, perusahaan dapat Meningkatkan efektivitas evakuasi dalam keadaan darurat. Meminimalkan risiko korban jiwa dan kerusakan materiil akibat kebakaran. Meningkatkan kepatuhan terhadap regulasi keselamatan kerja yang berlaku. Implementasi yang lebih baik dari sistem ERP dan optimasi proteksi kebakaran akan membantu menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman dan terlindungi dari ancaman kebakaran.

 

Sumber Asli Paper

Apgani, M. J. A., Fachruzzaki, & Lestari, R. (2023). Perencanaan Emergency Response Plan (ERP) dan Penentuan Alat Pemadam Api Ringan (APAR) pada Gedung Office PT. Putra Perkasa Abadi. Jurnal Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lingkungan, 4(2), 113-120.

Selengkapnya
Perencanaan Emergency Response Plan (ERP) dan Penentuan APAR di Gedung Office PT. Putra Perkasa Abadi: Evaluasi dan Rekomendasi

Keselamatan Kebakaran

Penerapan Manajemen Keselamatan Kebakaran di Gedung Grand Slipi Tower: Analisis Kepatuhan terhadap Standar Keselamatan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 14 Maret 2025


Kebakaran di gedung tinggi merupakan salah satu risiko terbesar dalam dunia konstruksi dan perkantoran. Tanpa sistem manajemen keselamatan kebakaran (Fire Safety Management/FSM) yang baik, insiden kebakaran dapat menyebabkan kerugian finansial yang besar, korban jiwa, serta gangguan operasional. Studi ini mengevaluasi penerapan FSM di Grand Slipi Tower, Jakarta, sebuah gedung perkantoran 40 lantai dengan luas 79.492,32 m². Evaluasi dilakukan berdasarkan Human System (faktor manusia), Equipment System (sistem peralatan proteksi kebakaran), dan SOP (prosedur operasional baku) serta kepatuhannya terhadap regulasi teknis proteksi kebakaran di Indonesia.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan teknik survei kuesioner yang dibagikan kepada 55 responden dari total 122 staf pengelola gedung.

Tiga variabel utama yang diteliti adalah:

  1. Human System 
  2. Equipment System 
  3. SOP (Standard Operating Procedure) 

Analisis data dilakukan dengan menggunakan regresi linier sederhana dan uji statistik t-test dan F-test untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel terhadap tingkat kepatuhan terhadap standar keselamatan kebakaran. Berdasarkan hasil analisis, faktor manusia (Human System) memiliki pengaruh sebesar 71,3% terhadap kepatuhan standar kebakaran.

Beberapa temuan penting terkait faktor manusia adalah:

  • Kurangnya pelatihan kebakaran rutin, yang menyebabkan sebagian staf tidak mengetahui langkah-langkah darurat dengan baik.
  • Minimnya kesadaran akan penggunaan alat pemadam api.
  • Tidak adanya tim tanggap darurat yang terlatih secara profesional.

Sistem proteksi kebakaran yang digunakan di gedung ini mencakup fire alarm, alat pemadam api ringan (APAR), sprinkler, dan hydrant. Namun, penelitian menemukan bahwa tingkat efektivitas sistem peralatan hanya mencapai 64,8% dari standar ideal. Beberapa masalah yang ditemukan adalah:

  • Beberapa alat pemadam api tidak diperiksa secara berkala.
  • Sistem deteksi kebakaran belum terintegrasi dengan sistem evakuasi gedung.
  • Beberapa sprinkler tidak berfungsi dengan baik.

Beberapa kendala dalam penerapan SOP antara lain:

  • Tidak semua karyawan mengetahui jalur evakuasi.
  • Dokumentasi SOP tidak tersedia dalam bentuk yang mudah diakses oleh seluruh staf.
  • Kurangnya latihan evakuasi kebakaran secara berkala.

Ketika ketiga variabel (Human System, Equipment System, dan SOP) dikombinasikan, pengaruhnya terhadap kepatuhan terhadap standar keselamatan kebakaran mencapai 83,1%. Hal ini menunjukkan bahwa keselamatan kebakaran tidak hanya bergantung pada satu aspek saja, tetapi harus melibatkan sumber daya manusia, peralatan yang memadai, serta SOP yang jelas dan diterapkan secara konsisten.

Sebagai perbandingan, studi ini mengulas beberapa insiden kebakaran di Jakarta yang terjadi akibat kurangnya penerapan FSM, antara lain:

  1. Kebakaran Wisma Kosgoro (2015)
    • Penyebab: Korsleting listrik di lantai 16.
    • Dampak: Api menyebar ke 5 lantai lainnya karena tidak ada sprinkler yang berfungsi dengan baik.
    • Evaluasi: Sistem alarm berfungsi, tetapi proses evakuasi terganggu karena minimnya latihan kebakaran sebelumnya.
  2. Kebakaran Gedung Keuangan Negara (2020)
    • Penyebab: Ledakan panel listrik di ruang arsip.
    • Dampak: Data penting terbakar, kerugian mencapai miliaran rupiah.
    • Evaluasi: Sistem deteksi asap tidak dapat mengaktifkan alarm secara otomatis, menyebabkan keterlambatan respons.

Kedua kasus ini menunjukkan bahwa tanpa FSM yang baik, kebakaran bisa menyebabkan kerugian besar dan menghambat operasional perusahaan dalam jangka panjang. Berdasarkan hasil penelitian, beberapa rekomendasi yang dapat diterapkan di Grand Slipi Tower dan gedung perkantoran lainnya adalah:

1. Peningkatan Kesadaran dan Pelatihan Karyawan

  • Pelatihan keselamatan kebakaran harus dilakukan setiap 6 bulan.
  • Simulasi evakuasi harus dilakukan secara berkala dengan keterlibatan seluruh karyawan.
  • Setiap lantai harus memiliki petugas keamanan khusus yang dilatih sebagai tim tanggap darurat kebakaran.

2. Optimalisasi Sistem Proteksi Kebakaran

  • Seluruh peralatan pemadam api harus diuji setiap 3 bulan.
  • Memastikan semua sprinkler berfungsi dengan baik dan diperiksa oleh tim teknis.
  • Mengintegrasikan alarm kebakaran dengan sistem evakuasi otomatis untuk mempercepat respons darurat.

3. Penyesuaian SOP dengan Standar Internasional

  • Dokumentasi SOP harus tersedia dalam bentuk yang mudah diakses oleh seluruh staf, termasuk dalam bentuk digital.
  • Petunjuk jalur evakuasi harus diperjelas dengan tanda-tanda yang lebih besar dan mudah terlihat.
  • Tim keselamatan gedung harus melakukan audit berkala terhadap penerapan SOP.

Studi ini menegaskan bahwa Fire Safety Management (FSM) di Grand Slipi Tower masih perlu ditingkatkan, terutama dalam aspek pelatihan karyawan, sistem peralatan proteksi kebakaran, dan penerapan SOP.

Dengan menerapkan strategi perbaikan yang telah direkomendasikan, gedung ini dapat:
✔ Meningkatkan kesiapan dalam menghadapi kebakaran.
✔ Meminimalkan potensi korban jiwa dan kerugian finansial.
✔ Mematuhi standar keselamatan kebakaran yang berlaku.

Implementasi FSM yang lebih baik tidak hanya akan meningkatkan keselamatan penghuni gedung, tetapi juga memastikan keberlanjutan operasional bisnis dalam jangka panjang.

Sumber 

Effendie, M. I. N. (2017). Penerapan Fire Safety Management pada Bangunan Gedung Grand Slipi Tower Dikaitkan dengan Pemenuhan Peraturan dan Standar Teknis Proteksi Kebakaran. Jurnal Media Teknik & Sistem Industri, 1(1), 66-71.

Selengkapnya
Penerapan Manajemen Keselamatan Kebakaran di Gedung Grand Slipi Tower: Analisis Kepatuhan terhadap Standar Keselamatan
« First Previous page 134 of 909 Next Last »