Keinsinyuran
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 15 Maret 2025
Sertifikasi insinyur merupakan salah satu elemen penting dalam menjamin kualitas tenaga kerja teknik dan infrastruktur yang dihasilkan. Jurnal Analisis Kesesuaian Sertifikasi Insinyur Indonesia terhadap Best Practices of Certification karya Irika Widiasanti membahas sejauh mana sistem sertifikasi insinyur di Indonesia sesuai dengan praktik terbaik internasional.
Penelitian ini menyoroti perbedaan dan kesesuaian sertifikasi insinyur Indonesia dengan standar internasional, khususnya di Malaysia, Singapura, dan Filipina. Dengan menggunakan metode deskriptif normatif, jurnal ini mengidentifikasi berbagai faktor yang telah sesuai dan belum sesuai dengan praktik terbaik sertifikasi insinyur di tingkat global.
Sertifikasi insinyur di Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran, yang bertujuan untuk menjamin profesionalitas tenaga kerja teknik. Namun, peraturan pelaksanaannya hingga saat ini masih belum lengkap, termasuk panduan teknis implementasi sertifikasi. Hal ini menyebabkan adanya ketidaksesuaian dalam sistem sertifikasi, terutama jika dibandingkan dengan standar internasional.
Menurut penelitian ini, ada 16 faktor yang sesuai dan 20 faktor yang tidak sesuai dengan praktik terbaik sertifikasi insinyur di negara lain. Beberapa faktor utama yang tidak sesuai meliputi:
Perbandingan Sertifikasi Insinyur Indonesia dengan Praktik Internasional
Penelitian ini membandingkan sistem sertifikasi insinyur di Indonesia dengan tiga negara ASEAN: Malaysia, Singapura, dan Filipina. Negara-negara ini dipilih karena telah menerapkan sistem sertifikasi insinyur yang lebih matang dan diakui secara internasional.
Beberapa temuan utama dalam perbandingan ini adalah:
Ketidaksesuaian Sistem Sertifikasi Insinyur Indonesia
1. Dualisme Regulasi dalam Sertifikasi Insinyur
Di Indonesia, sertifikasi insinyur dikelola oleh dua lembaga utama:
Masalah yang muncul adalah banyak proyek konstruksi di Indonesia yang lebih mengutamakan SKK dibandingkan STRI. Akibatnya, banyak insinyur memilih SKK karena dianggap lebih praktis, sementara STRI yang seharusnya menjadi standar profesi tidak diakui secara luas.
2. Kurangnya Pengakuan terhadap Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB)
Dalam praktik terbaik sertifikasi internasional, Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB) menjadi syarat utama untuk perpanjangan sertifikasi insinyur. Di Indonesia, sistem PKB masih belum berjalan optimal. Beberapa masalah yang ditemukan meliputi:
3. Tidak Ada Standar Akreditasi Program Studi Teknik Berbasis Kompetensi Profesi
Best practices internasional menunjukkan bahwa lulusan program studi teknik harus terdaftar di lembaga sertifikasi insinyur nasional sebelum mereka dapat berpraktik. Namun, di Indonesia, akreditasi program studi teknik masih berbasis akademik dan belum terintegrasi dengan sertifikasi profesi.
Akibatnya, lulusan teknik sipil di Indonesia hanya memiliki gelar akademik Sarjana Teknik (ST) tanpa sertifikasi profesi yang diakui secara internasional. Hal ini membuat daya saing insinyur Indonesia lebih rendah dibandingkan negara lain yang sudah menerapkan sistem akreditasi berbasis kompetensi.
Harmonisasi Regulasi antara PII dan LSP
Pemerintah Indonesia perlu mengintegrasikan sistem STRI dan SKK dalam satu sistem sertifikasi yang diakui secara nasional dan internasional. Beberapa langkah yang dapat dilakukan meliputi:
Peningkatan Sistem Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB)
Untuk meningkatkan daya saing insinyur Indonesia, pemerintah dan asosiasi profesi harus mewajibkan insinyur mengikuti pelatihan berkelanjutan sebelum memperpanjang sertifikasi mereka. Langkah yang dapat diambil antara lain:
Reformasi Akreditasi Program Studi Teknik Berbasis Kompetensi
Agar lulusan teknik Indonesia lebih siap menghadapi persaingan global, diperlukan reformasi dalam sistem akreditasi program studi teknik, di antaranya:
Jurnal Analisis Kesesuaian Sertifikasi Insinyur Indonesia terhadap Best Practices of Certification mengungkap berbagai ketidaksesuaian dalam sistem sertifikasi insinyur di Indonesia. Beberapa temuan utama dalam penelitian ini adalah:
Dengan menyelaraskan regulasi dan meningkatkan standar sertifikasi, Indonesia dapat memperkuat daya saing tenaga kerja insinyurnya dalam persaingan global.
Sumber: Irika Widiasanti. Analisis Kesesuaian Sertifikasi Insinyur Indonesia terhadap Best Practices of Certification. SNITT-Politeknik Negeri Balikpapan, 2017, ISBN: 978-602-51450-0-1.
Keinsinyuran
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 15 Maret 2025
Profesi insinyur merupakan salah satu pilar utama dalam pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Dalam konteks ASEAN, regulasi keinsinyuran menjadi isu penting dalam meningkatkan daya saing tenaga kerja teknik Indonesia. Jurnal Regulasi Keinsinyuran dalam Konteks ASEAN Mutual Recognition Agreement on Engineering Services karya Vicky Septia Rezki, Rina Shahriyani Shahrullah, dan Elza Syarief menyoroti tantangan dan disharmoni regulasi keinsinyuran di Indonesia dalam menghadapi persaingan regional.
Jurnal ini mengkaji bagaimana perbedaan regulasi dalam Undang-Undang Keinsinyuran (UU No. 11 Tahun 2014) dan Undang-Undang Jasa Konstruksi (UU No. 2 Tahun 2017) berdampak pada profesi insinyur Indonesia. Selain itu, studi ini menyoroti implementasi Mutual Recognition Agreement (MRA) on Engineering Services di ASEAN serta bagaimana regulasi yang ada memengaruhi mobilitas tenaga kerja insinyur di kawasan ini.
Indonesia telah meratifikasi Mutual Recognition Agreement (MRA) on Engineering Services dalam rangka meningkatkan mobilitas tenaga insinyur di ASEAN. Namun, dalam praktiknya, terjadi ketidaksesuaian antara dua regulasi utama, yaitu Undang-Undang No. 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran dan Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Undang-undang pertama mengatur sertifikasi dan izin praktik insinyur melalui Surat Tanda Registrasi Insinyur (STRI) yang diterbitkan oleh Persatuan Insinyur Indonesia (PII), sedangkan undang-undang kedua mengatur tenaga kerja jasa konstruksi dan sertifikasi Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK) yang diterbitkan oleh Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) di bawah Kementerian PUPR.
Ketidakseimbangan antara kedua undang-undang ini menyebabkan ambiguitas dalam standar sertifikasi insinyur. STRI sering kali tidak dianggap sebagai persyaratan utama dalam tender pemerintah, sementara SKK lebih diutamakan.
Tantangan Implementasi ASEAN MRA on Engineering Services
Studi ini menemukan bahwa meskipun MRA bertujuan untuk membuka peluang bagi insinyur Indonesia bekerja di ASEAN, ada beberapa hambatan utama. Salah satunya adalah rendahnya jumlah insinyur tersertifikasi ASEAN Chartered Professional Engineer (ACPE). Indonesia hanya memiliki 3.038 insinyur per satu juta penduduk, jauh di bawah Singapura yang memiliki 28.235 insinyur. Selain itu, masih banyak insinyur Indonesia yang belum mengurus sertifikasi ACPE karena kurangnya sosialisasi dan pemahaman regulasi MRA. Kurangnya harmonisasi regulasi domestik juga menjadi tantangan besar, karena Indonesia belum memiliki kebijakan nasional yang menyelaraskan standar STRI dan SKK dalam mendukung MRA.
Kesenjangan dalam Regulasi Keinsinyuran
a. Sertifikasi Insinyur dalam Proyek Pemerintah
Dalam wawancara dengan Ketua PII Kepulauan Riau, ditemukan bahwa STRI tidak diwajibkan dalam tender proyek konstruksi pemerintah, sedangkan SKK menjadi persyaratan utama. Akibatnya, banyak insinyur yang memilih untuk mengurus SKK karena lebih mudah diperoleh dibandingkan STRI, meskipun STRI seharusnya menjadi standar yang diakui secara internasional.
b. Persaingan dengan Tenaga Kerja Asing
Seiring dengan implementasi MRA, insinyur dari negara lain seperti Malaysia dan Filipina lebih mudah memperoleh proyek di Indonesia karena mereka memiliki sertifikasi yang lebih diakui dalam standar ASEAN. Hal ini menjadi ancaman bagi tenaga kerja lokal yang belum tersertifikasi secara internasional.
Implikasi dan Rekomendasi
1. Penyelarasan Regulasi STRI dan SKK
Untuk meningkatkan daya saing insinyur Indonesia, pemerintah perlu mengintegrasikan STRI dan SKK dalam satu sistem sertifikasi yang diakui baik di dalam negeri maupun di ASEAN. STRI juga perlu dijadikan syarat wajib dalam proyek pemerintah, bukan hanya SKK. Selain itu, insentif harus diberikan bagi insinyur yang ingin mendapatkan sertifikasi ACPE agar lebih banyak tenaga profesional Indonesia yang dapat bersaing di tingkat regional.
2. Peningkatan Sosialisasi MRA kepada Insinyur Indonesia
Agar insinyur lebih siap bersaing di ASEAN, perlu dilakukan pelatihan dan edukasi mengenai MRA dan standar ACPE. Fasilitasi akses mudah terhadap sertifikasi internasional melalui kerja sama antara PII dan LPJK juga diperlukan untuk mempercepat proses sertifikasi bagi insinyur Indonesia.
3. Peran Aktif Pemerintah dalam Harmonisasi Regulasi
Pemerintah harus melakukan revisi regulasi untuk menyelaraskan UU No. 11 Tahun 2014 dan UU No. 2 Tahun 2017 agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan. Selain itu, perlu dibentuk satu lembaga pusat yang mengelola sertifikasi insinyur agar sistem lebih terstruktur dan tidak membingungkan para profesional teknik. Pengawasan yang lebih ketat terhadap penerapan regulasi juga diperlukan agar semua pihak mematuhi standar yang berlaku.
Jurnal Regulasi Keinsinyuran dalam Konteks ASEAN Mutual Recognition Agreement on Engineering Services mengungkapkan tantangan besar dalam harmonisasi regulasi keinsinyuran di Indonesia. Beberapa temuan utama dari jurnal ini adalah:
Dengan menyelaraskan regulasi domestik dan meningkatkan partisipasi dalam MRA, Indonesia dapat memperkuat daya saing tenaga kerja insinyurnya di tingkat ASEAN dan global.
Sumber: Vicky Septia Rezki, Rina Shahriyani Shahrullah, Elza Syarief. Regulasi Keinsinyuran dalam Konteks ASEAN Mutual Recognition Agreement on Engineering Services. Nagari Law Review, Vol. 6 No. 1, Oktober 2022, hal. 36-54.
Partisipasi Masyarakat
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 15 Maret 2025
Partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang merupakan aspek penting dalam demokrasi modern. Dalam jurnal Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-Undang (Studi Perbandingan Indonesia dengan Afrika Selatan) karya Siti Hidayati, dikaji bagaimana tingkat keterlibatan masyarakat dalam proses legislasi di Indonesia dibandingkan dengan Afrika Selatan.
Jurnal ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan metode perbandingan untuk mengevaluasi perbedaan dan persamaan antara kedua negara dalam melibatkan masyarakat dalam pembentukan undang-undang. Studi ini menyoroti bagaimana partisipasi masyarakat di Afrika Selatan lebih terstruktur dibandingkan di Indonesia, serta bagaimana pembelajaran dari sistem Afrika Selatan dapat diadaptasi untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam proses legislasi di Indonesia.
Dalam sistem demokrasi, keterlibatan masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dianggap sebagai mekanisme utama untuk memastikan bahwa undang-undang mencerminkan aspirasi rakyat. Namun, di Indonesia, mekanisme partisipasi masyarakat masih bersifat formalitas dan belum memiliki standar yang baku.
Sebagai perbandingan, Afrika Selatan telah mengatur partisipasi publik dalam proses pembentukan undang-undang secara lebih sistematis melalui Konstitusi 1996 dan Public Participation Framework, yang mewajibkan keterlibatan masyarakat dalam berbagai tahapan legislasi.
Penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis normatif, menggunakan data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, literatur akademik, serta hasil-hasil penelitian terkait. Pendekatan perbandingan hukum digunakan untuk mengevaluasi kesamaan dan perbedaan dalam partisipasi publik di Indonesia dan Afrika Selatan.
Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-Undang di Indonesia
Di Indonesia, partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang diatur dalam:
Bentuk partisipasi yang diakui meliputi:
Namun, pelaksanaan partisipasi ini masih memiliki berbagai kendala, antara lain:
Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-Undang di Afrika Selatan
Di Afrika Selatan, partisipasi masyarakat dalam pembentukan undang-undang adalah kewajiban konstitusional yang diatur dalam:
Bentuk-bentuk partisipasi yang diimplementasikan meliputi:
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Afrika Selatan memiliki sistem partisipasi yang lebih maju dibandingkan Indonesia karena:
Studi Kasus: Implementasi Partisipasi Masyarakat dalam Legislasi
1. Studi Kasus di Indonesia
Dalam penyusunan Undang-Undang Ketenagakerjaan, partisipasi masyarakat masih terbatas.
2. Studi Kasus di Afrika Selatan
Dalam penyusunan undang-undang, Afrika Selatan melibatkan berbagai mekanisme partisipasi masyarakat:
Perbandingan Indonesia dan Afrika Selatan
AspekIndonesiaAfrika SelatanDasar HukumUU No. 12 Tahun 2011, Peraturan DPR No. 1 Tahun 2014Konstitusi 1996, 9th Edition Rules of National AssemblyKewajiban PartisipasiOpsional, tidak wajibWajib dalam proses legislasiBentuk PartisipasiRDPU, kunjungan kerja, seminarPublic hearings, petitions, outreach programsAkses InformasiTerbatas, tidak semua dokumen tersedia untuk publikTerbuka, dokumen legislasi mudah diaksesPengaruh PartisipasiMasih sering bersifat formalitas Masukan masyarakat sering diakomodasi
Relevansi dan Implikasi
1. Pelajaran dari Afrika Selatan
Indonesia dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam legislasi dengan:
2. Dampak bagi Demokrasi
Jurnal Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-Undang (Studi Perbandingan Indonesia dengan Afrika Selatan) memberikan wawasan penting tentang pentingnya keterlibatan masyarakat dalam proses legislasi.
Poin utama yang dapat disimpulkan:
Sumber: Siti Hidayati. Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan Undang-Undang (Studi Perbandingan Indonesia dengan Afrika Selatan). Jurnal Bina Mulia Hukum, Volume 3, Nomor 2, Maret 2019.
Keinsinyuran
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 15 Maret 2025
Profesi insinyur sipil memainkan peran penting dalam pembangunan infrastruktur dan kesejahteraan masyarakat. Namun, profesionalisme dan etika dalam profesi ini sering menjadi tantangan, terutama dalam menghadapi kompleksitas proyek dan tanggung jawab sosial. Jurnal Profesionalisme Keinsinyuran karya Jeffry Yuliyanto Waisapi membahas pentingnya kode etik dan profesionalisme bagi insinyur sipil dalam menjalankan tugasnya.
Jurnal ini menyoroti konsep dasar profesionalisme, peran kode etik dalam mengatur perilaku insinyur, serta bagaimana penerapan prinsip-prinsip ini dapat meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat. Dalam resensi ini, kita akan membahas isi utama jurnal, studi kasus terkait penerapan profesionalisme dalam keinsinyuran, serta relevansinya terhadap tren industri teknik sipil saat ini.
Ringkasan Isi Jurnal
1. Pengertian dan Ciri-Ciri Profesionalisme Insinyur
Profesionalisme dalam bidang keinsinyuran tidak hanya berkaitan dengan keahlian teknis tetapi juga mencakup aspek moral dan etika. Seorang insinyur profesional harus memiliki:
Profesionalisme bukan hanya tentang keterampilan teknis, tetapi juga bagaimana seorang insinyur mampu menjaga standar moral dan memberikan layanan terbaik kepada masyarakat.
2. Pentingnya Kode Etik dalam Profesi Keinsinyuran
Kode etik profesi bertujuan untuk:
Di Indonesia, kode etik insinyur diatur oleh Persatuan Insinyur Indonesia (PII) melalui Catur Karsa Sapta Dharma Insinyur Indonesia, yang menekankan prinsip-prinsip dasar seperti:
3. Peran Insinyur dalam Masyarakat
Jurnal ini menegaskan bahwa peran insinyur sipil tidak hanya terbatas pada perancangan dan konstruksi, tetapi juga pada tanggung jawab sosial, seperti:
Studi Kasus: Penerapan Profesionalisme dalam Keinsinyuran
1. Kasus Kegagalan Infrastruktur Akibat Pelanggaran Etika
Beberapa proyek infrastruktur mengalami kegagalan karena kurangnya profesionalisme dan pelanggaran kode etik, misalnya:
Dampak dari kegagalan ini meliputi:
2. Penerapan Kode Etik dalam Proyek Infrastruktur Berhasil
Sebagai perbandingan, ada juga proyek yang berhasil karena penerapan etika profesional yang baik, seperti:
Keberhasilan proyek-proyek ini menunjukkan bahwa penerapan etika keinsinyuran dapat meningkatkan efisiensi proyek dan memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat.
Relevansi Profesionalisme Keinsinyuran dalam Industri Teknik Sipil
1. Tantangan dalam Meningkatkan Profesionalisme Insinyur
Beberapa tantangan yang masih dihadapi dalam meningkatkan profesionalisme insinyur di Indonesia meliputi:
2. Solusi untuk Meningkatkan Profesionalisme Insinyur
Untuk mengatasi tantangan tersebut, beberapa langkah yang bisa diterapkan adalah:
Kesimpulan
Jurnal Profesionalisme Keinsinyuran karya Jeffry Yuliyanto Waisapi memberikan wawasan mendalam tentang pentingnya profesionalisme dalam profesi insinyur sipil. Beberapa poin utama yang dapat disimpulkan dari jurnal ini adalah:
Dengan memahami pentingnya profesionalisme dalam keinsinyuran, diharapkan para insinyur dapat menjalankan tugasnya dengan integritas tinggi dan memberikan kontribusi positif bagi pembangunan.
Sumber: Jeffry Yuliyanto Waisapi. Profesionalisme Keinsinyuran. Formosa Journal of Social Sciences (FJSS), Vol. 1, No. 3, 2022: 299-314.
Keselamatan Kebakaran
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 14 Maret 2025
Dalam dunia industri, penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) menjadi aspek krusial yang bertujuan untuk mengurangi risiko kecelakaan kerja, termasuk kebakaran. PT. Putra Perkasa Abadi, perusahaan kontraktor pertambangan batubara yang beroperasi di Kalimantan Selatan, menyadari pentingnya memiliki Emergency Response Plan (ERP) yang efektif guna melindungi karyawan serta aset perusahaan dari bencana kebakaran.
Penelitian ini bertujuan untuk menyusun perencanaan ERP dan menentukan lokasi serta jenis Alat Pemadam Api Ringan (APAR) yang optimal di gedung office PT. Putra Perkasa Abadi. Metode yang digunakan adalah kuantitatif-deskriptif, dengan pendekatan identifikasi fire hazard, perencanaan jalur evakuasi, dan optimasi pemasangan APAR menggunakan metode set covering.
Penelitian ini melibatkan tiga tahap utama:
Penelitian mengidentifikasi berbagai sumber kebakaran di dalam gedung, antara lain:
Sebagian besar kebakaran yang terjadi di kantor umumnya berkaitan dengan korsleting listrik, yang merupakan penyebab utama 80% kebakaran gedung di Indonesia berdasarkan data Kementerian PUPR.
Evaluasi Jalur Evakuasi
Optimasi Pemasangan APAR
Jenis APAR yang digunakan di gedung ini adalah:
Lokasi pemasangan APAR ditentukan berdasarkan:
Metode set covering digunakan untuk mengoptimalkan lokasi pemasangan APAR, sehingga jumlah alat yang digunakan tetap efisien tetapi tetap memberikan perlindungan maksimal.
Komunikasi Darurat
Untuk memastikan respons cepat dalam situasi kebakaran, setiap ruangan akan dilengkapi dengan:
Sebagai perbandingan, studi ini mengulas beberapa insiden kebakaran yang terjadi di gedung perkantoran di Indonesia, termasuk:
1. Kebakaran Gedung Cyber 1 Jakarta (2021)
2. Kebakaran Gedung Keuangan Negara Jakarta (2020)
Dari studi kasus ini, terlihat bahwa kurangnya perencanaan ERP yang baik serta sistem deteksi kebakaran yang tidak optimal dapat memperburuk dampak kebakaran.
1. Peningkatan Kesadaran dan Pelatihan Karyawan
2. Optimalisasi Jalur Evakuasi dan Meeting Point
3. Peningkatan Sistem Proteksi Kebakaran
4. Peningkatan Infrastruktur Teknologi Keselamatan
Penelitian ini menunjukkan bahwa perencanaan Emergency Response Plan (ERP) dan penentuan lokasi APAR di gedung office PT. Putra Perkasa Abadi masih perlu ditingkatkan. Dengan menerapkan rekomendasi yang telah disebutkan, perusahaan dapat Meningkatkan efektivitas evakuasi dalam keadaan darurat. Meminimalkan risiko korban jiwa dan kerusakan materiil akibat kebakaran. Meningkatkan kepatuhan terhadap regulasi keselamatan kerja yang berlaku. Implementasi yang lebih baik dari sistem ERP dan optimasi proteksi kebakaran akan membantu menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman dan terlindungi dari ancaman kebakaran.
Sumber Asli Paper
Apgani, M. J. A., Fachruzzaki, & Lestari, R. (2023). Perencanaan Emergency Response Plan (ERP) dan Penentuan Alat Pemadam Api Ringan (APAR) pada Gedung Office PT. Putra Perkasa Abadi. Jurnal Keselamatan Kesehatan Kerja dan Lingkungan, 4(2), 113-120.
Keselamatan Kebakaran
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 14 Maret 2025
Kebakaran di gedung tinggi merupakan salah satu risiko terbesar dalam dunia konstruksi dan perkantoran. Tanpa sistem manajemen keselamatan kebakaran (Fire Safety Management/FSM) yang baik, insiden kebakaran dapat menyebabkan kerugian finansial yang besar, korban jiwa, serta gangguan operasional. Studi ini mengevaluasi penerapan FSM di Grand Slipi Tower, Jakarta, sebuah gedung perkantoran 40 lantai dengan luas 79.492,32 m². Evaluasi dilakukan berdasarkan Human System (faktor manusia), Equipment System (sistem peralatan proteksi kebakaran), dan SOP (prosedur operasional baku) serta kepatuhannya terhadap regulasi teknis proteksi kebakaran di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan teknik survei kuesioner yang dibagikan kepada 55 responden dari total 122 staf pengelola gedung.
Tiga variabel utama yang diteliti adalah:
Analisis data dilakukan dengan menggunakan regresi linier sederhana dan uji statistik t-test dan F-test untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel terhadap tingkat kepatuhan terhadap standar keselamatan kebakaran. Berdasarkan hasil analisis, faktor manusia (Human System) memiliki pengaruh sebesar 71,3% terhadap kepatuhan standar kebakaran.
Beberapa temuan penting terkait faktor manusia adalah:
Sistem proteksi kebakaran yang digunakan di gedung ini mencakup fire alarm, alat pemadam api ringan (APAR), sprinkler, dan hydrant. Namun, penelitian menemukan bahwa tingkat efektivitas sistem peralatan hanya mencapai 64,8% dari standar ideal. Beberapa masalah yang ditemukan adalah:
Beberapa kendala dalam penerapan SOP antara lain:
Ketika ketiga variabel (Human System, Equipment System, dan SOP) dikombinasikan, pengaruhnya terhadap kepatuhan terhadap standar keselamatan kebakaran mencapai 83,1%. Hal ini menunjukkan bahwa keselamatan kebakaran tidak hanya bergantung pada satu aspek saja, tetapi harus melibatkan sumber daya manusia, peralatan yang memadai, serta SOP yang jelas dan diterapkan secara konsisten.
Sebagai perbandingan, studi ini mengulas beberapa insiden kebakaran di Jakarta yang terjadi akibat kurangnya penerapan FSM, antara lain:
Kedua kasus ini menunjukkan bahwa tanpa FSM yang baik, kebakaran bisa menyebabkan kerugian besar dan menghambat operasional perusahaan dalam jangka panjang. Berdasarkan hasil penelitian, beberapa rekomendasi yang dapat diterapkan di Grand Slipi Tower dan gedung perkantoran lainnya adalah:
1. Peningkatan Kesadaran dan Pelatihan Karyawan
2. Optimalisasi Sistem Proteksi Kebakaran
3. Penyesuaian SOP dengan Standar Internasional
Studi ini menegaskan bahwa Fire Safety Management (FSM) di Grand Slipi Tower masih perlu ditingkatkan, terutama dalam aspek pelatihan karyawan, sistem peralatan proteksi kebakaran, dan penerapan SOP.
Dengan menerapkan strategi perbaikan yang telah direkomendasikan, gedung ini dapat:
✔ Meningkatkan kesiapan dalam menghadapi kebakaran.
✔ Meminimalkan potensi korban jiwa dan kerugian finansial.
✔ Mematuhi standar keselamatan kebakaran yang berlaku.
Implementasi FSM yang lebih baik tidak hanya akan meningkatkan keselamatan penghuni gedung, tetapi juga memastikan keberlanjutan operasional bisnis dalam jangka panjang.
Sumber
Effendie, M. I. N. (2017). Penerapan Fire Safety Management pada Bangunan Gedung Grand Slipi Tower Dikaitkan dengan Pemenuhan Peraturan dan Standar Teknis Proteksi Kebakaran. Jurnal Media Teknik & Sistem Industri, 1(1), 66-71.