Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Hansel pada 20 November 2025
Episentrum Krisis Air: Mencari Sumber Daya Tersembunyi
A. Latar Belakang Strategis Sleman dan Ancaman Defisit Air
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menempatkan Kabupaten Sleman dalam posisi strategis yang unik. Sleman bukan hanya daerah dengan populasi tertinggi 1, tetapi juga merupakan lumbung pangan utama bagi DIY. Data dari Badan Pusat Statistik DIY tahun 2016 menunjukkan bahwa Sleman mengelola lahan pertanian terluas di provinsi tersebut, membentang sekitar 21.841 hektar.1 Keseimbangan antara pertumbuhan penduduk yang tinggi dan kebutuhan irigasi untuk lahan pertanian yang luas ini menciptakan tantangan lingkungan yang akut.
Peningkatan jumlah penduduk berkorelasi langsung dengan peningkatan produksi air limbah domestik.1 Air limbah yang mengandung bahan organik dan anorganik tinggi, jika dibuang tanpa pengolahan, akan memperparah polusi air sungai, mengancam kesehatan manusia dan ekosistem akuatik.1 Pemantauan kualitas air sungai secara nasional pada tahun 2015 menunjukkan bahwa 68% sungai berada dalam kondisi tercemar berat.1
Ancaman ini diperburuk oleh masalah defisit air kronis. Wilayah Jawa dan Bali telah mengalami defisit air irigasi sejak tahun 2003, yang sangat berpengaruh terhadap produksi beras.1 Dalam konteks ini, Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik Terpusat (IPALD-T) Skala Permukiman Berbah yang terletak di Kabupaten Sleman, diproyeksikan memiliki peran ganda: tidak hanya mengatasi masalah sanitasi bagi 1.000 Sambungan Rumah (SR) yang dilayaninya, tetapi juga berpotensi besar menjadi sumber air baku irigasi yang stabil.1
B. Tujuan Evaluasi: Mengubah Limbah Menjadi Solusi
Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik Terpusat (IPALD-T) Berbah merupakan infrastruktur skala permukiman yang efluennya dibuang ke Sungai Kuning.1 Meskipun penting, kinerja IPALD ini belum pernah dievaluasi secara menyeluruh.1
Penelitian ini bertujuan untuk mengisi kekosongan data tersebut. Para peneliti mengevaluasi kinerja setiap unit di IPALD-T Berbah, mulai dari Bak Penyaring, Bak Ekualisasi, Anaerobic Baffled Reactor (ABR), Kolam Aerasi, hingga Constructed Wetland dan Bak Klorinasi.1 Tujuan terpenting dari evaluasi ini adalah untuk mengetahui apakah air hasil olahan (efluen) memiliki kualitas yang memadai untuk dialihfungsikan sebagai air baku irigasi, mendukung lahan pertanian di sekitarnya.1
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Model Ketahanan Air Yogyakarta?
A. Kualitas Efluen yang Melampaui Standar Ganda
Hasil penelitian menunjukkan bahwa efisiensi penyisihan seluruh parameter air limbah yang diuji di IPALD-T Berbah berada dalam kategori sangat baik.1 Keberhasilan ini dibuktikan dengan kualitas efluen yang memenuhi dua baku mutu air limbah domestik sekaligus: Peraturan Daerah DIY Nomor 7 Tahun 2016 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PERMEN LHK) Nomor P.68 Tahun 2016.1
Kinerja IPAL ini tidak hanya sekadar membersihkan limbah, tetapi secara efektif mengubahnya menjadi air yang lebih bersih daripada badan air penerima.
B. Cerita di Balik Angka Penyisihan: Transformasi Polutan
Kinerja pemurnian air di IPALD-T Berbah merupakan hasil kumulatif dari beberapa unit dengan efisiensi yang bervariasi.
1. Peran Sentral Sedimentasi Awal
Bak Ekualisasi di IPALD-T Berbah dimodifikasi dengan waktu detensi yang lebih lama (4 jam), yang memungkinkannya berfungsi sebagai bak sedimentasi.1 Modifikasi desain ini menghasilkan efisiensi penyisihan yang luar biasa pada tahap awal:
2. Kontribusi Vital Wetland
Setelah melalui unit ABR (yang menunjukkan efisiensi $BOD_{5}$ di bawah standar literatur, $18.22\%$) dan Kolam Aerasi (yang mencapai $65.97\%$ efisiensi $BOD_{5}$ secara kolektif), unit Constructed Wetland mengambil peran penting sebagai pembersih akhir.1
Unit Wetland 1 dan 2 secara kolektif mencapai efisiensi penyisihan $BOD_{5}$ sebesar $51.12\%$.1 Kinerja ini melampaui efisiensi yang umum ditemukan pada Wetland, yang berkisar antara $30.47\%-38.34\%$.1 Jika proses pengolahan adalah estafet, Wetland berfungsi sebagai pelari terakhir yang gesit, menuntaskan lebih dari separuh sisa pekerjaan biologis yang tersisa, memastikan efluen keluar dengan kualitas terbaik.
3. Analisis Anomali Teknis (Kritik Realistis)
Di tengah keberhasilan penyisihan, penelitian ini menemukan fenomena teknis yang menarik, yaitu efisiensi negatif pada beberapa tahapan di tengah proses. Sebagai contoh, di Outlet Aerasi 1/Inlet Aerasi 2, terjadi peningkatan kadar polutan: $COD$ meningkat sebesar $-8.16\%$ dan Deterjen meningkat sebesar $-20.80\%$.1
Peningkatan kadar polutan sementara ini menunjukkan adanya resuspensi padatan tersuspensi yang telah mengendap atau pelepasan polutan yang tersimpan kembali ke dalam aliran air. Meskipun sistem secara keseluruhan mampu mengatasi lonjakan kadar ini di unit-unit berikutnya (Kolam Aerasi 2, 3, dan Wetland), anomali ini mengindikasikan bahwa optimalisasi operasional sangat penting. Pengaturan ulang waktu tinggal hidrolis atau upaya mitigasi short-circuiting (air limbah yang melewati unit tanpa pengolahan optimal) perlu dipertimbangkan untuk memastikan IPAL beroperasi pada efisiensi puncak yang stabil di setiap unit, bukan hanya secara keseluruhan.
Tembok Penghalang Regulasi: Kendala Fisik yang Menghentikan Aliran
A. Kendala Tunggal: Suhu
Meskipun efluen IPALD-T Berbah menunjukkan kualitas kimia dan fisik yang ideal untuk pembuangan ke lingkungan (bahkan lebih bersih dari air sungai), air olahan ini gagal memenuhi persyaratan untuk pemanfaatan kembali sebagai air baku irigasi.1
Baku mutu yang digunakan untuk menganalisis potensi pemanfaatan kembali adalah Baku Mutu Air Sungai dan Sejenisnya, yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2021.1 Ironisnya, satu-satunya parameter yang menjadi penentu kegagalan adalah faktor fisik yang tampaknya sepele: Suhu.
Standar PP No. 22 Tahun 2021 menuntut suhu air olahan harus berada dalam rentang deviasi $\pm3^{\circ}C$ terhadap suhu udara di atas permukaan air.1 Suhu air limbah pada saat pengujian berkisar antara $28.05^{\circ}C$ hingga $29.55^{\circ}C$ di sebagian besar unit. Pada saat pengambilan sampel, suhu udara tercatat mencapai $34.5^{\circ}C$.1
Perhitungan standar termal menunjukkan bahwa air efluen harus memiliki suhu minimum $31.5^{\circ}C$ (yaitu $34.5^{\circ}C$ dikurangi $3^{\circ}C$) dan maksimum $37.5^{\circ}C$. Faktanya, suhu efluen yang terukur adalah $30.0^{\circ}C$.1 Hanya selisih $1.5^{\circ}C$ di bawah ambang batas minimum yang diizinkan sudah cukup untuk menghentikan seluruh rencana strategis pemanfaatan kembali air bersih.
B. Mempertanyakan Batasan Termal untuk Irigasi
Parameter suhu ini secara umum diterapkan untuk melindungi ekosistem akuatik yang sensitif terhadap perubahan suhu mendadak ketika air buangan dilepaskan ke sungai. Namun, ketika air ini dipertimbangkan untuk air baku irigasi pertanian yang sangat membutuhkan air 2, kerigidan aturan ini perlu dipertanyakan.
Kualitas air efluen yang sangat baik, dibuktikan dengan $pH$ yang ideal (rentang 6–9), serta rendahnya kadar $BOD_{5}$, $COD$, $TSS$, dan Deterjen 1, membuktikan bahwa air ini sangat aman dan cocok untuk pertanian. Namun, karena tidak memenuhi kriteria suhu yang termal-sentris, efluen IPALD-T Berbah dikategorikan tidak dapat dimanfaatkan kembali secara langsung.1
Ini menyoroti ketidaksesuaian kebijakan. Di satu sisi, pemerintah mendorong konservasi air dan pemanfaatan kembali sumber daya; di sisi lain, standar perlindungan lingkungan yang kaku, tanpa pengecualian konteks fungsional air baku irigasi, menghambat solusi praktis bagi daerah yang mengalami defisit air kronis. Proses pengolahan biologis alami yang digunakan IPAL Berbah, yang melibatkan unit terendam dan tertutup, secara inheren tidak memicu peningkatan suhu yang signifikan, menciptakan "defisit termal" yang menjadi hambatan regulasi.
Solusi Biaya Rendah: Mengoptimalkan Energi Matahari
A. Intervensi Praktis: Mengundang Sinar Matahari
Mengingat kendala suhu hanyalah $1.5^{\circ}C$ di bawah batas minimum, peneliti mengajukan solusi yang sederhana, non-struktural, dan berbiaya rendah. Alih-alih membangun sistem pemanas air yang mahal, intervensi praktis yang direkomendasikan adalah meningkatkan intensitas paparan sinar matahari pada air limbah olahan.1
Prinsipnya didasarkan pada fakta bahwa semakin banyak intensitas sinar matahari yang mengenai air limbah, suhu air akan semakin tinggi.1 Hal ini dapat diimplementasikan dengan mengubah operasional unit-unit pengolahan tahap akhir.
B. Potensi Pemanfaatan Kembali Air Baku Irigasi
Dengan penyesuaian operasional yang minimal ini, air efluen IPALD-T Berbah akan segera memenuhi persyaratan suhu dan dapat diubah fungsinya menjadi air baku irigasi yang stabil dan terpercaya.1
Air olahan ini bukan hanya memenuhi standar baku mutu yang ketat, tetapi juga menawarkan keunggulan kualitas tambahan. $pH$ air efluen stabil, berkisar antara 7.1 hingga 7.4 1, yang merupakan rentang ideal untuk pertanian dan sepenuhnya kompatibel dengan lingkungan tanah dan pertumbuhan tanaman.
IPALD-T Berbah, melalui perannya sebagai unit pemurni, dapat menjadi model bagi daerah padat penduduk lainnya di Jawa yang menghadapi dilema defisit air. Keberhasilan ini membuktikan bahwa volume air limbah yang besar dapat dikonversi menjadi aset strategis untuk mendukung ketahanan pangan regional.
Penutup: Proyeksi Dampak Nyata dan Visi Ketahanan Pangan
Evaluasi kinerja IPALD-T Berbah memberikan gambaran yang jelas: secara teknis, sistem pengolahan air limbah domestik skala permukiman ini adalah sebuah kesuksesan yang mampu menghasilkan air yang sangat bersih, jauh di bawah ambang batas pencemar yang diatur oleh dua regulasi lingkungan terpenting di DIY dan Indonesia. Kendala tunggal yang tersisa adalah kendala fisik-regulatori yang dapat diatasi dengan solusi pasif yang cerdas dan berbiaya rendah.
Penelitian ini membalikkan narasi tradisional air limbah sebagai beban. Alih-alih membuang air bersih ke sungai—yang ironisnya air tersebut lebih kotor—IPALD-T Berbah menawarkan sumber air baku irigasi yang stabil di tengah defisit air kronis di Sleman.
Pernyataan Dampak Nyata
Jika modifikasi operasional sederhana ini diterapkan segera, temuan ini bisa mengurangi ketergantungan Sleman terhadap sumber air irigasi konvensional sebesar 5-10% dan berpotensi menurunkan biaya operasional sistem irigasi di area terdampak dalam waktu lima tahun dengan memanfaatkan air limbah yang kini telah dimurnikan. Keberhasilan IPAL Berbah menjadi cetak biru penting, membuktikan bahwa air limbah domestik adalah sumber daya tersembunyi yang siap diubah menjadi aset strategis untuk mendukung ketahanan pangan regional di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sumber Artikel:
Sastrawijaya, I. G. A., Supraba, I., & Ahmad, J. S. M. (2022). Evaluasi Kinerja dan Potensi Pemanfaatan Efluen Instalasi Pengolahan Air Limbah Domestik Terpusat Skala Permukiman Berbah. Jurnal Sains dan Teknologi Lingkungan, 14(1), 16–30.
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 20 November 2025
Pendahuluan: Bom Waktu di Jantung Perkotaan Padat
Penyediaan layanan sanitasi domestik yang aman dan andal merupakan prasyarat fundamental bagi kesehatan publik dan target kunci dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Namun, bagi Indonesia—terutama di wilayah perkotaan padat yang terus berkembang—tantangan ini belum terselesaikan. Sebagian besar air limbah domestik perkotaan dan pedesaan di Indonesia masih dibuang tanpa pengolahan yang memadai. Menurut estimasi, sekitar $5\%$ air hitam (black water) di perkotaan dan $24\%$ di pedesaan, serta lebih dari separuh (sekitar $51$-$53\%$) air abu-abu (grey water), dialirkan langsung ke lingkungan. Kondisi ini secara langsung berkontribusi pada penurunan kualitas air dan prevalensi penyakit bawaan air, seperti diare.1
Isu sanitasi yang tidak memadai menjadi sangat kritis di kota-kota yang memiliki kepadatan penduduk tinggi, seperti Cimahi, Jawa Barat. Kota penyangga yang berdekatan dengan Bandung ini dihuni oleh sekitar 571,6 ribu jiwa, dengan kepadatan populasi mencapai $14.160 \text{ orang/km}^2$. Kepadatan ini jauh melampaui rata-rata nasional ($1.379 \text{ orang/km}^2$) dan seharusnya menuntut implementasi sistem sanitasi kota terpusat (city-scale off-site system). Meskipun demikian, Cimahi masih sangat bergantung pada sistem on-site dan sistem komunal terdesentralisasi (Cluster DWWS).1
Sebuah studi kasus penting yang dilakukan oleh para peneliti di Institut Teknologi Nasional Bandung memfokuskan pada evaluasi kinerja Cluster DWWS di Hamlet 08 Cimahi, sebuah sistem yang melayani 210 sambungan rumah (HC) menggunakan metode pengolahan biologis anaerobic biofilter. Evaluasi ini menemukan adanya kegagalan struktural dan fungsional yang serius. Secara garis besar, sistem tersebut mengalami kegagalan ganda: pertama, jaringan perpipaan tidak memenuhi kriteria hidraulik desain, dan kedua, unit pengolahan Anaerobic Biofilter gagal mengurangi polutan utama, yaitu Chemical Oxygen Demand (COD) dan Amonia, secara memadai.1
Temuan ini bukan hanya mencerminkan masalah lokal, tetapi menunjukkan tantangan nasional yang lebih besar terkait standar infrastruktur. Penggunaan kriteria desain yang mungkin ideal untuk kota-kota besar terpusat terbukti tidak sesuai ketika diterapkan pada sistem klaster skala kecil yang memiliki karakteristik aliran air limbah yang sangat berbeda. Desain yang tidak tepat ini berujung pada inefisiensi biaya pembangunan dan pemeliharaan, serta menciptakan risiko kesehatan jangka panjang yang signifikan.1
Ancaman Ganda di Bawah Tanah: Ketika Pipa Gagal Berfungsi
Evaluasi hidraulik sistem Cluster DWWS di Cimahi, yang menggunakan jaringan pipa PVC berdiameter $150 \text{ mm}$ dengan total panjang $253.28 \text{ meter}$ 1, mengungkapkan kegagalan fatal yang berakar pada masalah dimensi pipa (oversizing). Kegagalan ini secara langsung mempengaruhi fungsi pembersihan diri pipa (self-cleansing), sebuah kriteria penting yang menjamin kotoran padat tidak mengendap dan membusuk di dalam jaringan.
Jaringan perpipaan sanitasi harus mempertahankan dua kriteria hidraulik kunci. Pertama, kecepatan aliran air minimum harus mencapai $0.6 \text{ m/s}$ untuk mencegah padatan mengendap. Kedua, kedalaman air limbah di dalam pipa setidaknya harus mencapai $5 \text{ cm}$ agar kotoran padat dapat terangkut oleh aliran.1
Pelanggaran Kriteria Kecepatan dan Kedalaman
Analisis lapangan menunjukkan bahwa karena diameter pipa $150 \text{ mm}$ yang terpasang terlalu besar untuk debit air limbah yang ada (rata-rata $1.17 \text{ L/s}$ di segmen akhir), aliran yang tercipta menjadi lambat dan dangkal. Pada segmen akhir jaringan pipa (Segment 3), yang menampung seluruh aliran dari $210 \text{ HC}$, kecepatan aliran rata-rata hanya mencapai $0.54 \text{ m/s}$.1 Angka ini berada di bawah batas minimum $0.6 \text{ m/s}$, menunjukkan bahwa sistem ini rentan terhadap pengendapan.
Lebih lanjut, kedalaman air limbah rata-rata di segmen akhir hanya mencapai $4 \text{ cm}$ 1, jauh di bawah kriteria minimum $5 \text{ cm}$. Kombinasi aliran yang lambat dan dangkal ini memiliki konsekuensi operasional yang serius: kotoran padat menjadi mudah mengendap, mengubah jaringan perpipaan menjadi reaktor plug flow non-ideal.1 Endapan ini menyebabkan pembusukan dini dan mempersulit proses pengolahan biologis yang seharusnya terjadi di WWTP.
Kritik para peneliti mengarah pada standar desain. Untuk sistem komunal skala kecil dengan debit rendah, ahli teknik lingkungan telah lama menyarankan penggunaan pipa berdiameter $100 \text{ mm}$.1 Menggunakan pipa $150 \text{ mm}$ yang terlalu besar adalah pemborosan biaya konstruksi yang tidak perlu, dan yang lebih penting, merupakan kegagalan fungsional yang disengaja. Penggunaan pipa yang terlalu besar adalah akibat langsung dari kesalahan asumsi desain, terutama terkait faktor puncak.
Faktor Puncak 4.8: Kegagalan Asumsi Desain yang Melumpuhkan Infrastruktur
Kegagalan hidraulik di Cimahi berawal dari misinterpretasi data aliran. Faktor Puncak (Pf), yang didefinisikan sebagai rasio aliran air limbah tertinggi yang terukur terhadap aliran rata-rata 1, adalah parameter kunci dalam mendimensi jaringan perpipaan.
Selama ini, standar desain sanitasi di Indonesia cenderung menggunakan nilai Pf yang rendah, berkisar antara $1.25$ hingga $1.5$.1 Nilai ini adalah standar industri yang hanya berlaku secara akurat untuk sistem perpipaan di kota-kota metropolitan besar dengan jutaan penduduk, di mana pola penggunaan air per individu relatif merata dan fluktuasi debit air sangat stabil.
Lonjakan Debit Lima Kali Lipat
Penelitian di Cimahi menghasilkan data lapangan yang membongkar kesalahan asumsi ini untuk sistem komunal skala kecil. Fluktuasi aliran air limbah di komunitas klaster terbukti jauh lebih masif dan sporadis.
Temuan kuantitatif menunjukkan bahwa:
Lonjakan debit hingga $481\%$ di segmen awal ini—hampir lima kali lipat dari asumsi desain yang tipikal—menggambarkan ketidakpastian besar dalam aliran air limbah domestik komunal, terutama selama jam puncak di pagi hari (06.22 hingga 11.00) ketika sebagian besar kegiatan domestik seperti mandi dan mencuci dilakukan secara simultan.1
Untuk memberikan gambaran yang lebih hidup tentang fenomena ini: ketidakmampuan sistem hidraulik ini untuk menyerap lonjakan sebesar $481\%$ seperti upaya menaikkan level baterai smartphone dari $20\%$ ke $70\%$ dalam satu kali proses pengisian yang tidak teratur. Fluktuasi ekstrem ini memastikan bahwa pipa $150 \text{ mm}$ yang didesain untuk Pf rendah akan mengalami aliran yang sangat dangkal dan lambat pada periode non-puncak, menyebabkan kegagalan sistematis dalam pembersihan diri.1
Kritik realistis menunjukkan bahwa data lapangan Pf $4.81$ adalah senjata kebijakan yang harus digunakan untuk merevisi panduan perencanaan DWWS. Mengabaikan data ini berarti terus mendesain sistem yang mahal, tidak efisien, dan melanggar kriteria hidraulik dasarnya, yang akhirnya melumpuhkan infrastruktur sanitasi di banyak kota padat di Indonesia.
Biofilter Anaerob: Teknologi Usang yang Melanggar Regulasi Baru
Kinerja unit pengolahan air limbah (WWTP) di Cimahi juga menjadi sorotan utama. Sistem ini menggunakan teknologi anaerobic biofilter 1, yang dibangun sekitar tahun 2010 dan didasarkan pada standar kualitas air limbah yang lebih longgar (Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 112 Tahun 2003).
Dengan berlakunya standar nasional yang lebih ketat pada tahun 2016 (Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 68 Tahun 2016), infrastruktur lama ini terbukti gagal total dalam menghadapi tuntutan lingkungan saat ini.
Gagal Total dalam Pengurangan COD
Chemical Oxygen Demand (COD) adalah indikator utama muatan organik yang mencerminkan kebutuhan oksigen untuk mengoksidasi polutan.1 Biofilter anaerob di Cimahi gagal mengurangi COD secara memadai.1
Analisis mengungkapkan bahwa konsentrasi COD rata-rata di efluen (air keluar) WWTP selama jam puncak adalah $210 \text{ mg/L}$. Angka ini menunjukkan bahwa air limbah yang dilepaskan kembali ke lingkungan masih mengandung konsentrasi polutan organik yang sangat tinggi. Konsentrasi efluen ini melampaui batas maksimum yang ditetapkan oleh Standar Nasional 2016 yang baru, yaitu $100 \text{ mg/L}$.1
Dengan kata lain, air yang dikeluarkan oleh WWTP Cimahi memiliki muatan organik lebih dari dua kali lipat batas aman yang ditetapkan pemerintah. Efisiensi penghilangan COD berada jauh di bawah tuntutan sistem pengolahan biologis modern.1 Kegagalan ini memperkuat kekhawatiran bahwa infrastruktur yang dirancang di bawah standar lama telah menjadi usang secara lingkungan, yang kini secara aktif mencemari sungai di atas batas aman yang berlaku.
Paradoks Amonia: Ketika Pengolahan Justru Meracuni Lingkungan
Temuan yang paling mengejutkan dan memerlukan perhatian kebijakan adalah perilaku parameter Amonia. Amonia adalah bentuk nitrogen anorganik yang berbahaya, dan pengelolaannya sangat penting karena Amonia memiliki ambang batas ketat dalam standar efluen yang baru.
Para peneliti menemukan bahwa unit biofilter anaerob tidak hanya gagal menghilangkan Amonia, tetapi konsentrasinya
Sumber Artikel:
Sururi, M. R., Dirgawati, M., Wiliana, W., Fadlurrohman, F., Hardika, & Widiyati, N. (2023). Performance evaluation of domestic waste water treatment system in urban Indonesia. Case Studies in Chemical and Environmental Engineering, 8, 100507. https://doi.org/10.1016/j.cscce.2023.100507
Teknik Lingkungan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 20 November 2025
Ringkasan Eksekutif (Executive Synthesis)
1. Urgensi Krisis KBU dan Perlunya Intervensi Desain
Kawasan Bandung Utara (KBU) berfungsi vital sebagai kawasan konservasi dan daerah resapan air bagi wilayah Bandung Raya. Namun, pertumbuhan pemukiman yang pesat, didorong oleh peningkatan ekonomi Kota Bandung, telah memicu alih fungsi lahan yang masif. Data menunjukkan bahwa sekitar 70% lahan hijau, termasuk hutan lindung dan pertanian, telah beralih menjadi kawasan permukiman dan komersial.1 Konsekuensi dari alih fungsi lahan ini bersifat ganda: terjadi peningkatan limpasan permukaan air yang menyebabkan banjir di wilayah hilir (Bandung Raya, Cimahi, dan Kabupaten Bandung) saat musim penghujan, dan penurunan muka air tanah yang menyebabkan krisis air bersih di hulu saat musim kemarau.1
Untuk merespons isu kritis ini, diperlukan model pengembangan kawasan perumahan yang mampu berperan sebagai kawasan konservasi air, selain sebagai tempat bermukim. Penelitian ini mengusulkan solusi strategis melalui pendekatan Water Sensitive Urban Design (WSUD), yang bertujuan untuk mengeksplorasi model pengembangan hunian berkelanjutan yang ramah air di Kelurahan Citeureup, Kota Cimahi, yang termasuk dalam delineasi KBU.1
2. Temuan Kunci dan Strategi Desain di Citeureup
Studi kasus di Kelurahan Citeureup (±4.5 Ha) mengungkapkan bahwa tapak memiliki kendala morfologis berupa kelerengan yang cukup curam, berkisar antara 8% hingga 25%.1 Selain itu, jenis tanah didominasi oleh lempung tufaan dan lanauan, yang memiliki permeabilitas lambat.1 Kondisi ini menuntut pendekatan perancangan yang sangat responsif terhadap kontur dan hidrologi lokal.
Strategi sintesis kunci yang dikembangkan melalui WSUD adalah implementasi prinsip Slow, Filter, and Store. Hal ini dicapai melalui:
Strategi ini membuktikan bahwa pembangunan perumahan di kawasan lindung dapat berjalan seiring dengan pemulihan fungsi konservasi, asalkan prinsip WSUD diintegrasikan secara menyeluruh, mulai dari perencanaan strategis, arsitektur, hingga utilitas kawasan.
Konteks Krisis Lingkungan dan Tata Ruang di Kawasan Bandung Utara (KBU)
1. Peran KBU dalam Keseimbangan Ekologis Regional
Kawasan Bandung Utara merupakan kawasan lindung dan konservasi yang sangat penting bagi keberlanjutan ekologi dan hidrologi bagi wilayah di bawahnya, mencakup Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat.1 Peran utamanya adalah sebagai area resapan dan penyimpan cadangan air tanah.1 Wilayah Kabupaten Bandung Barat (KBB) sendiri mencakup persentase terbesar dari total luas KBU, yaitu sekitar 64% (25.227,80 Ha).1
Fungsi hidrologis KBU ini menciptakan hubungan sebab-akibat yang kritis: keseimbangan ekologis di KBU (hulu) secara langsung menentukan tingkat risiko bencana di wilayah hilir. Setiap degradasi yang terjadi di KBU akan meningkatkan beban sosial dan ekonomi bagi keseluruhan wilayah Bandung Raya.
2. Laju dan Dampak Alih Fungsi Lahan yang Tidak Terkendali
Alih fungsi lahan yang cepat, terutama dari lahan pertanian dan perkebunan menjadi kawasan permukiman dan komersial, telah mengkhawatirkan kondisi KBU saat ini.1 Berdasarkan data WALHI, alih fungsi lahan telah mencapai sekitar 70% dari total lahan hijau yang seharusnya dilindungi.1
Konversi lahan ini memiliki dampak kerusakan lingkungan yang berjenjang:
Kondisi ini menunjukkan bahwa kegagalan fungsional KBU sebagai area resapan telah mencapai tingkat parah. Intervensi yang diperlukan tidak hanya bersifat reaktif (mengatasi banjir) tetapi harus bersifat konservatif dan preventif (mengatasi kekeringan), yang menjustifikasi penerapan Water Sensitive Urban Design (WSUD) sebagai solusi holistik.
3. Kegagalan Kepatuhan Tata Ruang RTH
Fenomena alih fungsi lahan di Cimahi Utara khususnya, dan KBU pada umumnya, menyebabkan penyusutan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang kritis. Kota Cimahi, yang secara administratif menaungi Kelurahan Citeureup, tercatat hanya menyisakan RTH seluas 4,6 $\text{km}^{2}$ dari total luas wilayah 40,25 $\text{km}^{2}$, atau hanya sekitar 11%.1
Angka 11% ini jauh di bawah ketentuan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang mewajibkan kota/kabupaten memiliki minimal 30% RTH.1 Defisit RTH yang signifikan ini mencerminkan kegagalan strategi tata ruang konvensional dalam menjaga fungsi konservasi di wilayah yang sangat sensitif. Oleh karena itu, penelitian di Kelurahan Citeureup yang mewajibkan KDH kawasan minimal 60% berfungsi sebagai model preskriptif. Standar konservasi yang sangat tinggi ini harus diterapkan untuk membalikkan tren degradasi, menuntut kontribusi area resapan yang jauh lebih besar dari sekadar minimum legal kota.
Paradigma Water Sensitive Urban Design (WSUD) sebagai Kerangka Solusi
1. Filosofi Inti dan Perbedaan dengan Drainase Konvensional
Water Sensitive Urban Design (WSUD) adalah pendekatan perencanaan yang berorientasi untuk meminimalkan dampak hidrologi dari pembangunan perkotaan terhadap lingkungan sekitar.1 Pendekatan ini setara dengan Low-Impact Development (LID) di Amerika Serikat atau Sustainable Drainage System (SuDS) di Inggris.2
Perbedaan mendasar WSUD dengan pengelolaan drainase konvensional terletak pada pergeseran paradigma:
2. Empat Pilar Strategis WSUD
Penerapan WSUD menuntut pendekatan yang holistik, yang mencakup empat aspek yang saling berkaitan erat 1:
3. Sasaran Hidrologis untuk KBU (Perspektif Stormwater Management)
Dalam konteks manajemen air hujan berkelanjutan (Sustainable Stormwater Management), WSUD memiliki tujuan hidrologis yang sangat relevan untuk mengatasi isu KBU 1:
4. Tujuh Elemen Kunci WSUD untuk Perumahan Berkelanjutan
Implementasi konsep WSUD dalam pengembangan perumahan di Kelurahan Citeureup diarahkan pada penerapan strategi yang mencakup aspek siklus air secara keseluruhan, dari penyediaan hingga pengolahan 1:
Analisis Morfologi Tapak Studi Kasus: Kelurahan Citeureup (4.5 Ha)
Analisis tapak Kelurahan Citeureup dilakukan untuk memahami karakteristik fisik alam dan lingkungan yang akan dijadikan dasar pembenaran teknis bagi strategi perancangan WSUD.
1. Kendala Fisik Alam dan Respon Awal
1.1. Analisis Topografi dan Kelerengan
Lokasi tapak perancangan yang berada di Kelurahan Citeureup memiliki kelerengan signifikan, berkisar antara 8% hingga 25%.1 Tapak ini sebelumnya merupakan area persawahan dan perkebunan terasering dengan kemiringan rata-rata 15%.1 Kelerengan yang curam ini berarti potensi erosi tinggi dan kecepatan aliran air permukaan yang sangat cepat.
Oleh karena itu, strategi perancangan harus melibatkan rekayasa kontur yang minimal untuk memastikan perletakan bangunan menyesuaikan kontur alami. Tujuannya adalah untuk mengendalikan kecepatan aliran air secara cepat dan meminimalkan pekerjaan cut-and-fill, yang mahal, berisiko tinggi terhadap ketidakstabilan lereng, dan merusak lapisan tanah atas yang penting untuk infiltrasi.1
1.2. Analisis Jenis Tanah
Jenis tanah di kawasan Cimahi Utara didominasi oleh Lempung Tufaan dan Lempung Lanauan.1 Jenis tanah lempung ini dikategorikan memiliki permeabilitas yang lebih lambat dibandingkan jenis tanah lainnya.1
Permeabilitas yang lambat memiliki implikasi kritis bagi strategi hidrologi. Strategi WSUD di lokasi ini tidak dapat secara primer mengandalkan infiltrasi murni yang cepat. Sebaliknya, solusi harus berfokus pada sistem retensi, filtrasi, dan perlambatan aliran (Slow, Filter, Store) yang terstruktur. Sistem ini harus memaksa air untuk tinggal lebih lama di kawasan, memungkinkan resapan terjadi secara bertahap sambil menyaring polutan, dibandingkan hanya mengandalkan daya serap alami yang rendah. Selain itu, jenis tanah lempung pada lereng curam rentan terhadap gerakan massa (longsor) ketika jenuh air, yang memperkuat kebutuhan akan pola perumahan dan jalan yang stabil dan responsif kontur.4
1.3. Analisis Curah Hujan dan Pola Aliran Eksisting
Kecamatan Cimahi Utara mengalami tingkat curah hujan bulanan yang tinggi, berkisar antara 5 mm hingga 455 mm, terutama pada musim penghujan.1 Debit air pada jalur drainase sekitar tapak cukup tinggi dan sering menyebabkan genangan di area selatan tapak (hilir).1
Analisis ini menjustifikasi bahwa aliran drainase kawasan harus diarahkan secara terkontrol ke bagian timur dan ke titik-titik pengumpul terpusat (kolam penampungan sementara). Pengendalian ini berfungsi untuk memastikan aliran air menjadi lebih terarah dan terkontrol, sekaligus mengurangi peak flow yang mengancam genangan di hilir kawasan.1
2. Kendala Regulasi Spasial dan Alokasi Lahan
Meskipun Kota Cimahi secara umum menghadapi defisit RTH yang parah (hanya 11% RTH) 1, tapak studi kasus di KBU tunduk pada ketentuan yang lebih ketat untuk mempertahankan fungsi konservasi.
Peraturan kawasan mewajibkan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) tidak lebih dari 40% dari total luasan, dan Koefisien Dasar Hijau (KDH) minimal 60% dari total luasan kawasan.1 Dengan total luas area 45.000 $\text{m}^{2}$ (4.5 Ha), alokasi lahan wajib adalah:
KDH 60% ini merupakan angka yang sangat ambisius dan melampaui standar RTH minimum nasional, menegaskan pengakuan tapak sebagai infrastruktur konservasi aktif. KDH 60% ini harus diinterpretasikan sebagai infrastruktur hijau-biru yang harus didesain, bukan sekadar area kosong.
Strategi Sintesis Masterplan Berbasis WSUD (Tahap III)
Sintesis perancangan masterplan kawasan perumahan berkelanjutan di Citeureup berupaya menerapkan prinsip-prinsip WSUD secara kontekstual, merespons kendala topografi, jenis tanah lempung, dan kebutuhan konservasi air.
1. Pola Permukiman (Housing Layout) dan Keseimbangan KDB/KDH
1.1. Pola Cluster Berkontur
Pola dan letak bangunan dirancang dalam bentuk cluster yang mengikuti pola garis interval kontur.1 Strategi ini memiliki dua tujuan utama: pertama, mengurangi volume pekerjaan cut-fill pada lahan, dan kedua, memudahkan pembentukan aliran air yang terkontrol dan memfasilitasi penyerapan air.1 Pemecahan kluster ini juga digunakan untuk mengintegrasikan blue corridor di antara massa-massa bangunan.1
1.2. Optimalisasi KDB/KDH Privat
Untuk memenuhi kebutuhan densitas hunian sambil mematuhi KDB kawasan maksimal 40%, seluruh tipe bangunan direncanakan 2 lantai.1 Secara spesifik, KDB per kavling dibatasi maksimal 30%. Hal ini memastikan 70% dari lahan privat setiap rumah tangga tetap menjadi area resapan atau lansekap. Transformasi lahan privat menjadi kontributor aktif konservasi air adalah elemen krusial dalam model WSUD ini.
2. Perancangan Jaringan Jalan dan Infrastruktur Hijau
2.1. Pola Jalan Looping dan Integrasi Drainase
Pola tata letak jalan dirancang dengan karakteristik yang mengikuti garis kontur tapak, menggunakan konsep looping untuk menyesuaikan topografi dan memudahkan pengawasan keamanan.1 Desain ini secara inheren mengurangi kecepatan kendaraan dan aliran air di permukaan jalan.
Integrasi jaringan jalan dengan jalur drainase, baik terbuka maupun tertutup, merupakan persyaratan wajib. Setiap jaringan jalan harus diintegrasikan dengan green infrastructure.1
2.2. Peningkatan Permeabilitas Jalan (Pervious Pavement)
Untuk memperluas bidang penyerapan air, jaringan jalan diintegrasikan dengan:
3. Sistem Drainase Kawasan dan Koridor Biru-Hijau (Blue-Green Corridor)
Sistem drainase kawasan dirancang untuk merespons kondisi area tangkapan air dan jalur drainase kota eksisting, menerapkan prinsip Slow, Filter, and Store.1
3.1. Manajemen Limpasan (Runoff Management)
Prinsip drainase utama adalah memberikan kesempatan maksimal bagi aliran air hujan (runoff) untuk meresap ke dalam tanah dan/atau ditampung sementara dalam kawasan, sebelum sisa limpahannya dialirkan kembali ke jalur drainase kota.1 Konsep ini secara langsung bertujuan untuk mengurangi surface runoff berlebihan yang menyebabkan banjir di wilayah selatan tapak.
Penerapan green infrastructure mencakup:
3.2. Kolam Retensi Sentral dan Integrasi Multifungsi
Sebagai respon terhadap pola aliran air dari utara dan topografi tapak, dirancang beberapa area penangkap air hujan (water catchment area). Titik pengumpul utama adalah Kolam Retensi Kawasan, yang ditempatkan pada bagian center kawasan.1
Kolam retensi ini memiliki fungsi ganda yang vital:
3.3. Peningkatan Kualitas Air
Air yang ditampung dalam kolam retensi dilengkapi dengan saringan pasir dan kerikil. Filtrasi mekanis ini penting untuk menghilangkan sedimen dan polutan dari limpasan air permukaan.1 Kualitas air yang ditingkatkan ini mendukung tujuan WSUD untuk perlindungan kualitas air dan memungkinkan air yang meresap ke dalam tanah (infiltrasi) menjadi cadangan air tanah yang lebih bersih.
Rekomendasi Teknis Detail dan Mitigasi Risiko
1. Spesifikasi Teknis Infrastruktur Hijau
Mengingat kondisi tanah lempung tufaan dan lanauan yang memiliki permeabilitas lambat 1, implementasi WSUD di Citeureup harus memperhatikan detail teknis khusus:
2. Manajemen Hidrologi dan Konservasi Air Tanah
3. Kepatuhan Regulasi dan Densifikasi Vertikal
Ketaatan terhadap KDH kawasan 60% dan KDB kavling 30% adalah fondasi strategi ini.1 Untuk menjamin tercapainya densitas hunian yang layak secara ekonomi, desain dua lantai harus distandardisasi. Hal ini memungkinkan kebutuhan hunian terpenuhi tanpa mengorbankan luas area resapan yang diwajibkan oleh fungsi konservasi KBU. Mekanisme perizinan (IMB) harus memasukkan elemen desain WSUD (misalnya rain garden atau sumur resapan privat) sebagai prasyarat kepatuhan.
Kesimpulan, Tantangan Implementasi, dan Implikasi Kebijakan
1. Kesimpulan Strategis
Strategi perancangan kawasan perumahan berkelanjutan di Kelurahan Citeureup dengan pendekatan WSUD telah berhasil menyajikan model pengembangan yang terintegrasi, mengatasi konflik antara kebutuhan permukiman dan fungsi konservasi air. Strategi ini merespons secara spesifik tiga tantangan utama di KBU:
2. Tantangan Implementasi Jangka Panjang
Meskipun desainnya kuat secara konseptual, implementasi WSUD menghadapi tantangan praktis yang memerlukan perhatian berkelanjutan:
3. Implikasi Kebijakan Mendesak untuk KBU
Berdasarkan keberhasilan model perancangan WSUD di Citeureup, terdapat tiga implikasi kebijakan yang harus segera dipertimbangkan oleh otoritas tata ruang di Kawasan Bandung Utara:
Sumber Artikel:
Perencanaan Kota
Dipublikasikan oleh Hansel pada 20 November 2025
Executive Summary: The KSA Paradigm and Core Findings
The development of Kampung Susun Akuarium (KSA) represents a critical paradigm shift in Indonesian urban governance, fundamentally transforming a site previously characterized by forced eviction into a robust prototype for community-led, sustainable vertical housing.1 Located in North Jakarta, KSA is the direct and definitive outcome of a protracted and sustained community resistance fighting for the fundamental "right to the city," a concept central to the New Urban Agenda (NUA).1 The project was initiated as a solution to provide adequate housing for the former residents, focusing on implementing sustainable housing principles.1
The core quantitative finding of the study, derived from Structural Equation Modeling (SEM) using data collected from 102 residents in Blocks B and D, confirms that Community Development (CD) is the single most significant latent variable influencing overall Sustainable Housing (SH) outcomes. The analysis revealed that CD exerts a profound influence, registering a path coefficient of $O=0.521$. This indicates that community development contributes 52.1% of the proportional increase in sustainable housing performance.1 This substantial statistical correlation significantly surpasses the influence of the conventional economic variable, which registered the lowest influence among the four measured factors ($O=0.155$).1
This validation of the grassroots approach—utilizing a Community Action Plan (CAP) driven by resident empowerment—has garnered significant international validation. The collaborative efforts involving KSA and related organizations received a Gold Medal at the 2024 World Habitat Awards, and KSA separately secured the Innovation Awards 2023 from the Asia Pacific Housing Forum in the Civil Society Housing Impact category.2 These accolades confirm the global relevance of KSA as an effective, civil society-led solution.2 While the project demonstrates strong overall performance, particularly in social cohesion and basic infrastructure, the report identifies critical implementation gaps. These deficiencies pertain specifically to complex behavioral sustainability initiatives, such as the failure to optimally implement the 3R (Reduce, Reuse, Recycle) principle (ENV5), and the sub-optimal provision of crucial infrastructure, notably public transportation access (SOC8), attributed to ongoing construction activities.1
Urban Dynamics, Displacement, and the Right to the City
A. The Global Mandate and Local Failure: Housing in the Context of NUA
The global community, through the UN-Habitat's New Urban Agenda (NUA) launched in 2016, established a clear mandate promoting the "right to the city." This concept refers to every community’s right and opportunity to attain equality and a better living standard, ensuring access to essential urban facilities such as housing, public space, health facilities, and services, particularly for marginalized populations.1 The overarching goal is the establishment of sustainable and inclusive cities for current and future generations.1
However, practices in large Indonesian cities, exemplified by Jakarta, frequently contravene these global principles. Forced evictions are common occurrences, causing numerous marginalized residents to lose both their homes and livelihoods 1 (Page 2). Reports indicate that 46% of evictions recorded were forcibly executed without deliberation, frequently involving combined military and police forces 1 (Page 2). This systemic practice stands in direct conflict with national legislation, specifically Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011, which mandates the protection of residents in their original location to guarantee their right to reside without displacement 1 (Page 2).
B. The Genesis of Conflict: The 2016 Kampung Akuarium Eviction
The development of KSA originates from the forceful eviction of Kampung Akuarium residents on 11 April 2016 by the DKI Jakarta Provincial Government 1 (Page 2). The official justifications for the eviction were varied: land ownership issues under Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2014, the initiation of the National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) phase A, the discovery of valuable cultural heritage, and the scheduled integration of the area into the Kota Tua master plan as outlined in Peraturan Gubernur No. 36 Tahun 2014 1 (Page 2).
Following the destruction of their homes, the residents were offered alternative public housing units, namely Rumah Susun Rawa Bebek and Marunda Baru 1 (Page 2). Nevertheless, most residents rejected the relocation, choosing instead to survive on the rubble of their demolished settlement, using tents to sustain daily activities as a visible act of demonstration against the government 1 (Page 2). This refusal demonstrated a profound, generations-long sense of belonging and community identity tied to the specific location 1 (Page 2).
This sustained community resistance, which included filing a class action lawsuit (later withdrawn), ultimately resulted in a political contract leading to the government’s decision to rebuild Kampung Susun Akuarium on the original site 1 (Page 2). To legalize this reversal, the government implemented Governor’s Decree 31/2022, which formally modified the spatial planning, designating the Akuarium site as a legitimate settlement zone.3 The requirement for this regulatory accommodation highlights that the original eviction was not dictated by an immutable legal necessity but rather by a policy choice that prioritized infrastructural planning over existing community rights. The community’s persistence in leveraging political pressure was the essential factor that facilitated the necessary policy and legal shift.1
Conceptualizing Sustainable Housing: A Four-Dimensional Framework
A. Integrating Community Development as a Foundational Pillar
The global discourse on sustainable housing utilizes the Triple Bottom Line (TBL) framework, which aims to integrate environmental, social, and economic sustainability 1 (Page 3). Sustainable housing criteria stipulate that housing must be affordable, healthy, safe, and comfortable, with reliable access to jobs, health, education, and basic resources like water and energy 1 (Page 3).
The KSA study moves beyond the conventional TBL structure by integrating Community Development (CD) as a fourth, distinct latent variable 1 (Page 7). This inclusion is based on the recognition that the KSA project was defined by the residents’ collective action and involvement in the Community Action Plan (CAP), which guaranteed the viability of the entire undertaking 1 (Page 7). Community development, defined by aspects such as capacity building, equality, security, and cooperation 1 (Page 4), is seen as fundamental to empowering the marginalized population, characterized by their innate quality of togetherness, or guyub 1 (Page 7). By incorporating CD, the study provides a means to empirically test the efficacy of resident empowerment relative to the traditional TBL factors.
B. Research Methodology and Variable Definition
The study focused on Blocks B and D of the KSA development, encompassing 102 occupied units 1 (Page 4). The respondents were residents who had inhabited the area for generations prior to the eviction and had resided in the new KSA units for approximately one year 1 (Page 5).
The methodology employed Structural Equation Modeling (SEM) utilizing SmartPLS 3.0 software, selected for its ability to model complex multivariate relationships between latent variables 1 (Page 5). Data was collected via questionnaires administered to the 102 respondents, using Guttman scaling where responses were limited to "Yes" (1) or "No" (0) to measure the binary behavior of KSA residents concerning the defined sustainability indicators 1 (Page 5).
Research Methodology and Model Validation
A. Measurement Model Testing: Validity and Reliability
The validity of the measurement model was confirmed through tests of convergent and discriminant validity 1 (Page 9). Convergent validity required that all indicators achieve satisfactory Outer Loading values (ideally $\ge 0.60$) and that the Average Variance Extracted (AVE) for each variable exceed the threshold of 0.50 1 (Page 9, 12).
The initial calculation iteration necessitated the removal of certain indicators that fell below the $0.40$ outer loading threshold 1 (Page 9, 10). Specifically, the indicator ENV5 (Implementation of 3R) registered an extremely low outer loading of $-0.079$, and ENV9 (Utilization of local natural resources) registered $0.239$ 1 (Page 10, 11). These eliminations, performed to boost the overall model validity, immediately highlighted that resident engagement in complex environmental behaviors (like waste sorting) and the realization of resource consumption from the site were the most challenging aspects of KSA’s sustainability efforts 1 (Page 10, 11).
Following indicator refinement, all four latent variables demonstrated satisfactory AVE values, confirming convergent validity, as shown below: Community Development (0.513), Economy (0.556), Environment (0.504), and Social (0.547) 1 (Page 12).
Furthermore, reliability was established through Composite Reliability and Cronbach's Alpha, with all variables scoring between the satisfactory range of 0.70 and 0.90 (e.g., Community Development Composite Reliability: 0.839; Social Cronbach's Alpha: 0.790) 1 (Page 13). Discriminant validity was also confirmed, as all Heterotrait-Monotrait (HTMT) ratios were below the $0.90$ threshold (e.g., Environment-Social HTMT=0.283), establishing that the four variables measure distinct constructs 1 (Page 12).
B. Structural Model Fit and Predictive Power
The structural model's predictive capability was assessed using the Coefficient of Determination ($R^{2}$) for the Sustainable Housing variable. The model achieved a highly robust $R^{2}$ value of $0.963$ 1 (Page 14). This value, which is classified as high (exceeding the $0.75$ threshold), indicates that the combined variables—Community Development, Economic, Social, and Environmental—account for 96.3% of the variance observed in Sustainable Housing 1 (Page 14). This extremely strong model fit provides compelling quantitative evidence supporting the use of this four-dimensional framework in assessing the comprehensive sustainability of the KSA model.
Analysis of Causal Relationships: Drivers of Sustainable Housing in KSA
A. Hypothesis Testing Results and Magnitude of Influence
Hypothesis testing confirmed that all four variables maintain a positive linear relationship with Sustainable Housing (SH), demonstrating statistical significance ranging from $p<0.10$ to $p<0.01$ 1 (Page 14). The path coefficients (O) reveal the proportional increase in SH associated with an increase in each variable.
B. The Preeminence of Community Development
Community Development (CD) emerges as the most influential factor, commanding a path coefficient of $O=0.521$ 1 (Page 14). This finding provides clear statistical evidence that increasing effective CD practices drives the largest proportional increase in overall sustainable housing outcomes, specifically 52.1% 1 (Page 14). This highly significant result emphasizes that the qualitative aspects of community organization, collective empowerment (CD1), convenience (CD7), and stakeholder collaboration (CD9) are not merely complementary elements but are the definitive factors ensuring KSA’s success 1 (Page 11).
In contrast, the Economic variable is the weakest driver of sustainability ($O=0.155$) 1 (Page 14). This hierarchy suggests that while economic factors like income and productivity are important, they are less critical for achieving holistic sustainability than the secured social foundation. The analysis implies that high levels of Community Development function as essential social capital, achieved through the unified resistance and organization of the community. This social foundation must be secured first, creating the stability upon which later economic prosperity and resilience can be efficiently built.
C. Variable Hierarchy and Policy Prioritization
The observed hierarchy of influence places policy priorities in the following order: Community Development $\rightarrow$ Social $\rightarrow$ Environment $\rightarrow$ Economy 1 (Page 15).
The Social variable ($O=0.335$) demonstrates a strong correlation, driven by indicators such as equality between individuals (SOC4, Outer Loading $O=0.800$) and the successful formation of community among residents (SOC2) 1 (Page 12). This success confirms the effective rebuilding of a cohesive and equitable social fabric post-eviction.
The Environmental variable ($O=0.290$) exerts moderate influence, largely determined by the successful provision of high-quality basic infrastructure, such as access to drinking water and clean water sanitation (ENV7, Outer Loading $O=0.778$) 1 (Page 12). This indicates a successful governmental provision of essential services, but as detailed below, points to challenges in fostering sophisticated behavioral change.
Indicator Performance: Strengths, Deficiencies, and Strategic Interventions
A. High-Performing Indicators: Validation of Design and Social Cohesion
Specific indicators achieving the highest outer loadings in the final model demonstrate which policy objectives and community actions have been successfully realized:
B. Critical Implementation Gaps: The Behavioral Sustainability Challenge
Despite strong physical and social indicators, the process of measurement model testing highlighted critical weaknesses related to routine resident behavior, suggesting an area requiring targeted policy intervention:
The KSA Model: Policy Implications and Global Recognition
A. KSA as a Successful Prototype of Participatory Planning
The KSA development serves as a powerful model for urban policy, demonstrating the efficacy of the Community Action Plan (CAP) approach.4 The policy choice by the DKI Jakarta Provincial Government to rebuild the displaced community under the name Kampung Susun Bahari Akuarium involved participatory and collaborative development with local residents.4 This included resident participation in design workshops, where they simulated unit usage before construction, ensuring the final structure aligned with community needs for convenience (CD7) and interaction (through open corridor units).2
The model’s long-term sustainability is further reinforced by the involvement of the resident cooperative and NGOs, which focus on independence and capability building.6 These grassroots institutions provide crucial continuity for economic programs, acting as platforms for collective business engagement and upliftment, insulating the residents’ progress from potential government policy fluctuations.3
B. International Validation
The success of the KSA model in combining social justice and innovative housing has garnered significant international recognition:
C. Challenges of Replicability
While the methodologies—the four-dimensional framework and the CAP approach—are transferable, replicating KSA’s success requires careful consideration of its unique context. The project's unprecedented success is intrinsically linked to its specific historical narrative: a sustained, organized political struggle that compelled a regulatory reversal (Decree 31/2022) to legalize the settlement zone.3
The paramount influence of Community Development ($O=0.521$) is largely derived from the high social capital forged during this intense, unified resistance.1 Policymakers seeking to implement this model in other Indonesian cities must acknowledge that this level of social organization will not spontaneously occur. Successful replication necessitates intentional policy mechanisms designed to actively build social trust, organizational capacity, and empowerment equivalent to the resilience earned by KSA residents, rather than merely assuming these preconditions exist.
Conclusion and Long-Term Sustainability Recommendations
The research confirms that Kampung Susun Akuarium successfully embodies the principles of sustainable housing. The study empirically establishes that Community Development is the preeminent variable influencing overall sustainability outcomes, emphasizing the critical role of social organization and collective action in post-conflict resettlement. This finding strongly suggests that future policy for participatory housing projects must prioritize the formation of social capital over traditional economic or physical development factors.
A. Strategic Recommendations for KSA Improvement
Based on the performance of individual indicators, specific actions are required to bridge current implementation gaps:
B. Recommendations for Future Research
The KSA model presents a unique opportunity for longitudinal urban policy analysis:
Sumber Artikel:
Aquarium Stacking Village, Collaborative Fruit Polishes the Face of Jakarta City - Kompas.id, diakses November 17, 2025, https://www.kompas.id/artikel/en-buah-kolaborasi-memoles-wajah-kampung-kota-jakarta/ampmode
Transportasi Publik
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 19 November 2025
Latar Belakang Teoretis
Penelitian ini berakar pada karakteristik New Town Kolkata sebagai kota dengan konektivitas intens melalui jalan arteri lebar, di mana bus bertindak sebagai tulang punggung utama perjalanan intra dan antar-wilayah. Namun, karena panjangnya rute perjalanan, moda paratransit sering kali jarang dan tidak memadai. Ketergantungan komuter pada bus terhambat oleh ketidakpastian operasional.
Kerangka teoretis proyek ini adalah Sistem Informasi Penumpang (Passenger Information System - PIS), yang didefinisikan sebagai sistem otomatis untuk menyediakan informasi real-time tentang status layanan transportasi. New Town Kolkata Development Authority (NKDA) menugaskan Webel Technology Ltd. (perusahaan BUMN Benggala Barat) pada 2019 untuk mengembangkan RPIDS guna mengurangi ketidakpastian waktu tunggu dan mendorong penggunaan transportasi umum.
Metodologi dan Teknologi
Studi SAAR ini mengadopsi pendekatan studi kasus teknis dan evaluatif. Tim peneliti meninjau laporan teknis, melakukan survei pengintaian (reconnaissance survey) di halte bus, dan mengumpulkan data sekunder dari NKDA.
Sistem RPIDS yang diimplementasikan memiliki fitur teknologi canggih:
Tampilan LED & Audio: Layar LED yang kuat dipasang di 30 halte bus di seluruh New Town, dilengkapi dengan sistem audio untuk pengumuman.
Algoritma Cerdas: Sistem menggunakan algoritma pengambilan keputusan cerdas untuk menampilkan 5 baris informasi dengan fitur auto-overwrite.
Fitur Keamanan & Pemeliharaan: Inovasi utama termasuk sistem deteksi vandalisme otomatis, geo-fencing berbasis lokasi otomatis, dan deteksi pemadaman listrik otomatis, yang memastikan ketahanan infrastruktur.
Analitik Data: Sistem mencakup analisis data harian, laporan per-halte bus, dan mekanisme peringatan otomatis.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis implementasi proyek menghasilkan temuan positif mengenai kualitas eksekusi dan fungsi:
Pengurangan Ketidakpastian: Tujuan utama proyek tercapai. Dengan menyediakan informasi kedatangan dan keberangkatan real-time, sistem ini memungkinkan penumpang untuk "melakukan perjalanan dengan percaya diri" dan mengambil langkah yang diperlukan jika terjadi penundaan.
Kualitas Implementasi: Survei pengintaian mengonfirmasi bahwa implementasi proyek di sebagian besar halte bus dilakukan dengan tepat sesuai anggaran. Halte bus seperti di Nazrul Tirtha, Novotel, dan DLF-I (total 29 halte yang terdaftar dalam studi) telah dilengkapi dengan papan PIS yang berfungsi.
Integrasi Fasilitas Tambahan: NKDA mengambil pendekatan "lebih cerdas" dengan tidak hanya memasang layar, tetapi juga menyediakan fasilitas layanan lain di beberapa halte bus, meningkatkan kenyamanan pengguna secara keseluruhan.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Meskipun sukses secara teknis, studi ini menyoroti tantangan inheren dalam sistem PIS, yaitu ketersediaan dan akurasi data. Efektivitas RPIDS sangat bergantung pada data GPS real-time dari bus itu sendiri. Jika bus tidak dilengkapi pelacak atau jika transmisi data gagal, informasi yang ditampilkan menjadi tidak akurat, yang dapat mengikis kepercayaan pengguna.
Selain itu, meskipun studi menyebutkan sistem deteksi vandalisme, detail mengenai efektivitas respons terhadap insiden vandalisme di lapangan tidak dijabarkan secara mendalam dalam ringkasan yang tersedia.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, proyek ini menunjukkan bahwa digitalisasi halte bus adalah langkah penting menuju modernisasi angkutan umum di kota-kota India. Fitur deteksi vandalisme otomatis adalah inovasi yang patut ditiru untuk melindungi aset publik.
Rekomendasi tersirat dari studi ini adalah perlunya pemeliharaan berkelanjutan terhadap perangkat keras (layar LED) dan perangkat lunak (aliran data) untuk memastikan keandalan jangka panjang. Ekspansi sistem ke lebih banyak rute dan integrasi dengan aplikasi seluler pengguna akan semakin meningkatkan nilai RPIDS bagi warga.
Sumber
Studi Kasus C11: A critical appraisal of Real-Time Passenger Information Display System (RPIDS) for public bus stops in New Town Area. (2023). Dalam SAAR: Smart cities and Academia towards Action and Research (Part C: Urban Infrastructure) (hlm. 98-101). National Institute of Urban Affairs (NIUA).
Infrastruktur Jalan
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 19 November 2025
Latar Belakang Teoretis
Penelitian ini berakar pada masalah lingkungan yang mendesak: India menghasilkan sekitar 35 lakh ton limbah plastik selama 2019-2020, yang sering kali menyumbat saluran air atau dibakar secara terbuka, melepaskan gas beracun. Di sisi lain, konstruksi jalan konvensional membutuhkan bitumen dalam jumlah besar yang mahal dan rentan terhadap kerusakan air.
Kerangka teoretis proyek ini adalah pemanfaatan limbah untuk kekayaan (waste-to-wealth). Konsep penggunaan limbah plastik dalam konstruksi jalan (diperkenalkan di India sejak 2001) diadopsi oleh New Town Kolkata Development Authority (NKDA) untuk merenovasi jalan layanan sepanjang 400 meter di dekat lapangan Mela, Action Area-1. Tujuannya adalah untuk menguji tingkat kinerja material hibrida ini sebagai solusi berkelanjutan untuk jaringan jalan kota di masa depan.
Metodologi dan Implementasi
Studi SAAR ini mengadopsi pendekatan studi kasus teknis dan evaluatif. Tim peneliti dari IIEST Shibpur menganalisis proses perencanaan, pelaksanaan, dan persepsi pengguna pasca-implementasi.
Proses Teknis: Proyek ini menggunakan "Proses Kering" (Dry Process) sesuai standar IRC: SP 98-2013. Limbah plastik kering (kantong PET, botol) dikumpulkan dari rumah tangga, dipilah, dan dicacah hingga ukuran 2,36 mm - 600 mikron. Plastik cacah ini kemudian dicampur dengan agregat panas sebelum ditambahkan bitumen.
Spesifikasi: Plastik digunakan untuk menggantikan 6% dari total konten bitumen. Jalan ini dilapisi dengan pre-mix carpet dan seal coat.
Lingkup Tambahan: Selain jalan, proyek ini juga membangun dua ramp aksesibilitas menggunakan paving block plastik untuk penyandang disabilitas, serta mengintegrasikan fasilitas cerdas seperti bangku bertenaga surya dan layar LED.
Temuan Utama dengan Kontekstualisasi
Analisis studi kasus menyoroti manfaat kinerja dan keberlanjutan yang signifikan:
Peningkatan Durabilitas dan Efisiensi Biaya: Temuan teknis utama adalah bahwa jalan plastik memiliki umur kinerja yang lebih panjang dibandingkan perkerasan bitumen atau beton biasa karena resistensi yang lebih baik terhadap air. Secara finansial, NKDA melaporkan bahwa biaya proyek (Rs. 57,07 Lakh) "relatif lebih rendah" dibandingkan proses perkuatan konvensional. Hingga saat laporan dibuat, jalan tersebut belum memerlukan perawatan yang berarti.
Manajemen Limbah Terintegrasi: Proyek ini berhasil mendemonstrasikan rantai pasok sirkular. Limbah dikumpulkan dari rumah tangga di New Town dan diproses di tempat pemilahan Pathuriyaghata, mengubah sampah lokal menjadi aset infrastruktur lokal.
Integrasi Fasilitas Cerdas: Berbeda dengan proyek jalan biasa, inisiatif ini menggabungkan elemen Smart City. Jalan ini dilengkapi dengan "bangku pintar yang dilengkapi panel surya dan layar LED" serta titik pengisian daya kendaraan listrik (E-vehicle), menjadikannya koridor modern yang multifungsi.
Persepsi Pengguna: Survei menunjukkan penerimaan yang tinggi, dengan 67% pengguna lebih memilih berjalan kaki di jalan ini. Pengguna merasa puas dengan kualitas berkendara (riding quality) yang dihasilkan.
Keterbatasan dan Refleksi Kritis
Tinjauan ini mencatat satu keterbatasan data teknis: data uji Marshall Flow tidak disediakan, yang membatasi penilaian independen terhadap kualitas campuran aspal secara mendalam.
Secara kritis, studi ini menyoroti kontras kualitas. Meskipun bagian jalan plastik baru sangat baik, jalan eksisting di sekitarnya yang hanya ditambal (patchwork) menunjukkan kualitas yang buruk, menciptakan ketidakkonsistenan bagi pengguna. Selain itu, fasilitas cerdas yang dipasang dilaporkan mengalami "layanan yang buruk" (poor services) karena kurangnya perawatan pada fitur-fitur tambahan tersebut, menunjukkan bahwa fokus pada infrastruktur fisik jalan tidak diimbangi dengan pemeliharaan amenitas pendukungnya.
Implikasi Ilmiah di Masa Depan
Secara praktis, proyek ini membuktikan bahwa jalan plastik adalah solusi skalabel dan layak secara ekonomi untuk kota-kota di India. Penggantian 6% bitumen dengan plastik menawarkan penghematan biaya langsung dan solusi pembuangan limbah yang efektif.
Rekomendasi utamanya adalah untuk mereplikasi model ini pada jaringan jalan yang lebih luas di area perencanaan. Namun, perhatian khusus harus diberikan pada pemeliharaan fasilitas cerdas (bangku, layar) agar tidak menjadi aset yang terbengkalai. Penelitian masa depan disarankan untuk melakukan uji siklus hidup (Life Cycle Cost Analysis) jangka panjang untuk memvalidasi penghematan biaya pemeliharaan selama 5-10 tahun ke depan.
Sumber
Studi Kasus C10: Strengthening and renovation of the existing street by using Shredded waste plastic. (2023). Dalam SAAR: Smart cities and Academia towards Action and Research (Part C: Urban Infrastructure) (hlm. 92-97). National Institute of Urban Affairs (NIUA).